Om Hasan itu adik tiri ibuku, dia tinggal di rumah sejak dia mulai SPG (Sekolah pendidikan guru). Waktu itu aku masih kecil, masih kelas 5 SD. Salah satu kebiasaan om Hasan yang tanpa sengaja aku ketahui adalah dia selalu tidur dengan telanjang bulat. Waktu itu malam hari, di rumah kedatangan saudara papa, jadi aku dan papa pindah tidur ke kamar atas tempat om hasan tidur.
Aku berjalan pelan menaiki tangga, dan kemudian membuka pintu kamarnya. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan saat itu, tapi dia sangat terkejut saat melihatku masuk membawa guling. Lampu meja belajarnya masih menyala sehingga masih terlihat tubuh telanjangnya dan saat itu aku sangat ingat kontolnya sedang ngaceng penuh. “Adi mau tidur sini ya om,” ujarku tanpa memberi kesempatan Om Hasan untuk bangun dari tempat tidurnya dengan langsung merebahkan diriku di kasur. Om Hasan tampak bingung, tapi akhirnya dia tetap di kasurnya. “Adi, pintunya dikonci aja dulu. Nanti ada yang naek kayak malem-malem itu sama papa,” kata om Hasan. Aku kunci pintunya lalu kembali ke tempat tidur, dan menghadap dirinya yang sepertinya agak canggung.
Lalu aku memegang batang kontolnya yang masih ngaceng dan om Hasan sama sekali tidak menyuruhku melepaskannya. “Ini apa om?” tanyaku sambil mengusap-usap jembutnya, saat itu aku sudah tau kalau itu jembut tapi aku kan hanya pura-pura. “Jembut,” ujarnya dengan suara yang sangat pelan. Jembut om Hasan aku usap-usap, kadang aku tarik-tarik biar lurus. Jembut om Hasan memang sangat lebat, mungkin pengalaman pertama ini yang membuatku selalu bernafsu kalau melihat cowok yang berjembut sangat lebat. “Kok jembutnya tumbuh juga ya om di titit,” kataku sambil mendekatkan wajahku ke batang kontolnya terutama di bagian pangkal yang ditumbuhi jembut. Lalu aku memegang buah pelernya dan juga dipenuhi bulu-bulu jembut.
Lalu aku memegang-megang batang kontolnya dan tanpa sengaja aku membuat gerakan mengocok yang sama sekali tidak aku sadari kalau itu adalah cara orang mengocok. Kadang batang kontol aku putar-putar sambil aku rebahan di kasur. “Di, di lepasin dulu,” ujar om Hasan. “Kenapa om?” tanyaku tanpa mau melepas. Nampaknya om Hasan tak bisa menunggu berlama-lama lagi dan muncratlah spermanya berkali-kali dari lobang kencingnya, sebagian kecil ada yang mengenai jari-jariku yang masih melingkar di batang kontolnya yang berwarna ungu tua dan berurat kekar. “Kok om Hasan kencing sih?” tanyaku penuh dengan keheranan. Om Hasan masih belum menjawab, nampaknya dia masih mengatur nafasnya. Setelah itu dia berkata “Kalo sudah besar, nanti kencingnya kayak gini di,” “Oh gitu, tapi kok lengket ya,” “Eh jangan dipegang, tunggu..” Om usman lalu bangkit dari tempat tidur, dan dia mengambil sebuah kain dari balik kasur.
Dia mengelap tanganku dan juga spermanya yang berhamburan di perut dan dadanya. “Adi jangan bilang siapa-siapa ya?” ujarnya. Aku mengangguk mengiyakan.
Sejak saat itulah aku selalu ketagihan untuk mengocok kontol Om Hasan. Hampir setiap malam aku tidur dengan Om Hasan dan mengocok kontolnya. Pada saat aku sedang duduk di bangku SMA, Om hasan mulai memintaku untuk menghisap dengan bibirku dan bahkan om hasan minta untuk dimasukkan ke anusku. Awalnya sakit sekali. Tetapi tampaknya Om Hasan sudah berpengalaman, sehingga dia sudah tahu cara menganal.
Sekarang Om Hasan sudah menikah dan telah pindah kerja ke daerah Bandung. Aku sungguh kesepian saat ini. Aku mendambakan seseorang seperti Om Hasan.
Mungkin dia lelah sehingga dia sama sekali tidak tahu saat aku dan papa masuk ke kamarnya. Papa menghidupkan lampu kamar dan saat itulah aku pertama kalinya melihat laki-laki dewasa telanjang. Sejak saat itu aku selalu terbayang kejadian itu, dan suatu malam memutuskan untuk pindah tidurnya ke kamar om hasan yang memang adem kalau malam hari karena terletak di lantai 2 yang setengah terbuka.
Aku berjalan pelan menaiki tangga, dan kemudian membuka pintu kamarnya. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan saat itu, tapi dia sangat terkejut saat melihatku masuk membawa guling. Lampu meja belajarnya masih menyala sehingga masih terlihat tubuh telanjangnya dan saat itu aku sangat ingat kontolnya sedang ngaceng penuh. “Adi mau tidur sini ya om,” ujarku tanpa memberi kesempatan Om Hasan untuk bangun dari tempat tidurnya dengan langsung merebahkan diriku di kasur. Om Hasan tampak bingung, tapi akhirnya dia tetap di kasurnya. “Adi, pintunya dikonci aja dulu. Nanti ada yang naek kayak malem-malem itu sama papa,” kata om Hasan. Aku kunci pintunya lalu kembali ke tempat tidur, dan menghadap dirinya yang sepertinya agak canggung.
Lalu aku memegang batang kontolnya yang masih ngaceng dan om Hasan sama sekali tidak menyuruhku melepaskannya. “Ini apa om?” tanyaku sambil mengusap-usap jembutnya, saat itu aku sudah tau kalau itu jembut tapi aku kan hanya pura-pura. “Jembut,” ujarnya dengan suara yang sangat pelan. Jembut om Hasan aku usap-usap, kadang aku tarik-tarik biar lurus. Jembut om Hasan memang sangat lebat, mungkin pengalaman pertama ini yang membuatku selalu bernafsu kalau melihat cowok yang berjembut sangat lebat. “Kok jembutnya tumbuh juga ya om di titit,” kataku sambil mendekatkan wajahku ke batang kontolnya terutama di bagian pangkal yang ditumbuhi jembut. Lalu aku memegang buah pelernya dan juga dipenuhi bulu-bulu jembut.
Lalu aku memegang-megang batang kontolnya dan tanpa sengaja aku membuat gerakan mengocok yang sama sekali tidak aku sadari kalau itu adalah cara orang mengocok. Kadang batang kontol aku putar-putar sambil aku rebahan di kasur. “Di, di lepasin dulu,” ujar om Hasan. “Kenapa om?” tanyaku tanpa mau melepas. Nampaknya om Hasan tak bisa menunggu berlama-lama lagi dan muncratlah spermanya berkali-kali dari lobang kencingnya, sebagian kecil ada yang mengenai jari-jariku yang masih melingkar di batang kontolnya yang berwarna ungu tua dan berurat kekar. “Kok om Hasan kencing sih?” tanyaku penuh dengan keheranan. Om Hasan masih belum menjawab, nampaknya dia masih mengatur nafasnya. Setelah itu dia berkata “Kalo sudah besar, nanti kencingnya kayak gini di,” “Oh gitu, tapi kok lengket ya,” “Eh jangan dipegang, tunggu..” Om usman lalu bangkit dari tempat tidur, dan dia mengambil sebuah kain dari balik kasur.
Dia mengelap tanganku dan juga spermanya yang berhamburan di perut dan dadanya. “Adi jangan bilang siapa-siapa ya?” ujarnya. Aku mengangguk mengiyakan.
Sejak saat itulah aku selalu ketagihan untuk mengocok kontol Om Hasan. Hampir setiap malam aku tidur dengan Om Hasan dan mengocok kontolnya. Pada saat aku sedang duduk di bangku SMA, Om hasan mulai memintaku untuk menghisap dengan bibirku dan bahkan om hasan minta untuk dimasukkan ke anusku. Awalnya sakit sekali. Tetapi tampaknya Om Hasan sudah berpengalaman, sehingga dia sudah tahu cara menganal.
Sekarang Om Hasan sudah menikah dan telah pindah kerja ke daerah Bandung. Aku sungguh kesepian saat ini. Aku mendambakan seseorang seperti Om Hasan.
Adakah seseorang tersebut di kota Malang? Aku ingin tahu…
No comments:
Post a Comment