Sepuluh tahun yang lalu, aku hanyalah anak laki-laki biasa yang senang bermain bola di lapangan yang becek sisa hujan semalam atau berlari-larian mengejar layangan putus sampai ke kebun orang dan dimarahi sang pemilik kebun.
Kadang juga sering membolos sekolah demi mengikuti ajakan temanku mencuri buah apel di perkebunan Agrowisata. Seperti bengalnya anak remaja belasan tahun, sepeti itulah yang aku jalani di masa mudaku.
Di sore hari itu, di dalam rumahku.
"Kak, mandi dulu baru makan!" teriak ibuku dari dapur.
"Ntar ah, lapar nih, Bu!" balasku juga berteriak.
"Kamu sih, main dari mulai pulang sekolah, baru pulang sore-sore begini." Ibuku mengomel.
Habis mau bagaimana lagi aku suka sekali bermain layangan, apalagi sekarang sedang musimnya, jadi banyak sekali layang-layang yang berterbangan di atas langit sana mengajakku bermain kejar-kejaran dengannya.
"Ntar Bang Panjaitan mau ke sini lho!" ucap ibuku.
"Iya, udah tahu!" balasku.
Bang Panjaitan, pamanku, adalah anak dari kakak perempuan ayahku yang tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah yang terkenal dengan candi Borobudurnya, dan di situ pulalah Bang Panjaitan bekerja sebagai seorang tentara berpangkat sersan dua. Tapi walaupun tempat tinggal kami berjauhan, keluarga kami dan paman sudah sangat dekat. Dua atau tiga minggu sekali Bang Panjaitan datang berkunjung ke rumah kami di Bandung.
Apabila paman datang aku pasti merasa sangat senang. Mengapa? Karena paman sangat baik, ia selalu mengajakku pergi berbelanja ke supermarket, dia membelikan banyak sekali barang yang kuminta. Permen, coklat ataupu camilan kesukaaanku. Ia sangat suka dengan anak kecil. Selain itu Bang Panjaitan belum menikah padahal umurnya sudah hampir kepala tiga. Ia bilang pada ayahku bahwa ia belum siap untuk berumah tangga. Dan juga katanya, kontrak kerja di kemiliteran, mengharuskan setiap pria tidak boleh menikah selama 10 tahun masa pendidikan kemiliteran.
Dan beneran, saat menjelang maghrib, kudengar teriakan ibuku.
"Indra sini, ada Bang Panjaitan." panggil ibuku dari ruang tamu.
"Bentar Bu, lagi mandi." teriakku dari dalam kamar mandi.
Kupercepat mandiku, kubilas seluruh busa-busa sabun yang menempel di badan hingga bersih, kemudian kuambil handuk dan kukeringkan di tubuhku. Lalu aku bergegas masuk kamar. Saat pintu kamar kubuka, ternyata Bang Panjaitan sudah ada di dalam kamar.
"Udah mandinya?" tanyanya.
"Udah, seger banget Mas!" jawabku.
"Sini dibajuin sama Bang Panjaitan."katanya.
"Lepasin dulu handuknya, Ndra!" perintahnya penuh wibawa.
Kulepaskan handuk dari tubuhku. Paman menatapku dengan pandangan aneh, lurus dan tajam ke arahku, tepatnya tubuhku.
"Mas…..! Bang Panjaitan kenapa!" kupanggil namanya beberapa kali. Dan seperti bangun dari mimpinya, dengan sedikit terhentak Bang Panjaitan tersadar kembali.
"Oh, mm, kamu ambil bajunya terus bawa ke sini, biar Bang Panjaitan yang pakein."
Kupilih salah satu t-shirt di dalam lemari, juga kaus dalam, CD, dan celana pendeknya, dan kemudian memberikannya pada Bang Panjaitan. Bang Panjaitan menerimanya dan meletakkan semuanya di atas kasur. Kemudian ia meraih bedak powder di atas meja di samping ranjang.
"Mas itu mah bedaknya ade. Aku kan udah gede udah nggak pake bedak kayak begituan lagi" ucapku saat itu juga.
"Ah, nggak apa-apa kok biar wangi." jawabnya.
Bang Panjaitan mulai menaburkan bedak dan menggosokkannya dengan rata ke seluruh tubuhku, termasuk pantatku, dan selangkangku. "Badan kamu bagus, udah besar mau jadi apa? Mau nggak jadi tentara?" tanya pamanku masih sambil menggosok-gosokan bedak di tubuhku.
"Nggak tau ah, gimana entar aja." jawabku sambil agak ketawa, habis geli banget diraba-raba sama Bang Panjaitan.
"Sebentar yah!" Bang Panjaitan beranjak dari ranjang menuju pintu kamar kemudian menguncinya.
"Kalo kamu jadi tentara nanti badan kamu bakal kebentuk seperti paman. Nih Bang Panjaitan tunjukin badan Bang Panjaitan." Katanya memaerkan tubuhnya.
Pamanku itu mulai membuka pakaiannya helai demi helai. Diawali dengan kemeja biru langitnya, lalu kaus singletnya. Wah, badan Bang Panjaitan memang bagus banget, dadanya keren, walaupun tidak begitu besar tapi berisi. Perutnya, wah kalau sekarang nih orang bilang six-packs. Lalu Bang Panjaitan mulai membuka celana panjangnya. Di dalamnya terlihat CD-nya yang berwarna putih. Kemudian ia lanjutkan helai terakhir dan, wah.. besar sekali, di sekelilingnya juga ada hamparan bulu-bulu halus yang rapi terpotong pendek.
"Sini coba kamu pegang badan Bang Panjaitan." pintanya.
"Nah, kalau kamu mau jadi tentara kamu harus banyak olahraga dari sekarang, jadi badan kamu akan terbentuk seperti badan Bang Panjaitan." Dijelaskannya bagaimana ia bisa memiliki tubuh yang dibanggakannya sambil menuntun tanganku di sekitar dada dan perutnya.
"Ini kamu juga bakal ikut besar." ucapnya sambil memegang kontolku.
"Indra! Turun dulu!" ibuku berteriak. Bang Panjaitan spontan melepaskan tangannya dari kontolku dan kembali memakai pakaian yang tadi dilepasnya saat mendengar teriakan Ibuku dari bawah.
"Iya!" teriakku sambil memakai pakaian yang dari tadi menunggu untuk kukenakan.
Saat malam sambil menonton televisi di ruang keluarga, paman menghampiri dan menaikkanku dalam pangkuannya.
"Kok nggak belajar?" tanyanya memulai percakapan.
"Nggak ada PR" jawabku singkat.
"Belajar kan nggak harus pas ada PR." ucapnya menasehati. Aku diam saja, tak membalas.
Masih dalam pangkuan Bang Panjaitan, waktu berlalu tanpa berkata sampai mataku akhirnya terpejam kelelahan, terlelap dalam pangkuannya.
Dan masih dalam deraan rasa ngantuk luar biasa, aku dipindahkan oleh Bang Panjaitan ke dalam kamar tidur. Lalu akupun terlelap lagi.
Tapi dalam hening malam itu, aku terusik oleh sesuatu. Tapi apa? Aku merasa ada seseorang yang meraba-raba tubuhku. Aku merasa begitu geli. Tapi kemudian rabaan-rabaan itu berhenti. Aku ingin membuka mataku.
Sedikit demi sedikit mataku terbuka. Dimana ini? Oh ini kan kamar tidur Bang Panjaitan yang memakai kamar tidur tamu, pasti tadi Bang Panjaitan menggotongku ke kamarnya karena aku ketiduran. Bola mataku bergerak ke arah kanan dan kulihat samar Bang Panjaitan berdiri di samping ranjang sedang membuka helai demi helai pakaiannya. Setelah semua pakaiannya tanggal dari tubuhnya kemudian ia mengambil sesuatu di dalam tas ransel yang dibawanya. Kemudian paman duduk di ranjang, tepat di sampingku. Segera aku kembali memejamkan mataku, berpura-pura tidur. Tapi kemudian..
Tangan kekar Bang Panjaitan merabai badanku dan tepat berhenti di selangkanganku. Lama tangan itu menggosok gosok bagian sensitifku itu. Dan diperlakukan seperti itu, aku menjadi terangsang. Ada rasa nikmat mendera tubuhku, dan sungguh aku ingin terus diperlakukan seperti itu. Meskipun umurku belum genap 15 tahun, tapi kontolku bisa menegang dn mengeras. Lalu kurasakan jari tangan Bang Panjaitan menyeruak dan membuka celana kolorku. Lalu kurasakan tangan itu mengocok kocok kontolku secara pelan. Akupun merasakan nikmat yang tiada terkira. Kau masih terus berpura pura tidur, meskipun sebenarnya aku begitu menikmati dan merasakan kocokan tangan Bang Panjaitan dengan penuh perasaan.
Pengalaman pertama aku dikocok oleh orang lain.
Nikmatnya sungguh membuatku seolah sedang bermimpi masuk ke dalam surga. Yah, kurasakan surga dunia saat tangan itu mimijit dan mengremasi batang kontolku yang imut itu.
Di tengah mimpiku merasakan nikmat surga itu, tiba tiba kurasakan Paman Agus berpindah tempat dnegan masih tetap mengocoki kontolku. Dan tiba tiba celana kolorku semakin diturunkan, dan selanjutnya “Happ…”. Kurasakan kehangatan dan basah menyelimuti kontolku. Rasanya lebih nikmat dari yang tadi. Ada sesuatu yang kenyal menyentuh dan menjepit batang kontolku. Aku intip, rupanya mulut Bang Panjaitan yang sedang mengulum batang kontolku.
Ah, kok bisa kontol dikulum kulum. Tidakkah Bang Panjaitan yang seorang tentara ini jijik mengulum kontol remaja sepertiku. Kepalaku tidak mampu untuk berfikir sejauh itu, karena yang kurasakan sengatan rasa nikmatnya kini melambungkan anganku lebih dalam ke surga yang sesungguhnya.
Hingga akhirnya aku rasakan ada desakan dari dalam pangkal kontolku, menyeruak dan akhirnya lepas. Aku merasakan sedang kencing. Yah, rasa itu kurasakan saat akhir kencing, tubuhku bergidik dan bergetar diikutu rasa nikmat yang hebat. Tapi yang kali ini aku rasakan, rasa begidik dan rasa nikmat itu seiring dengan semprotan dan semburan air kencingku. Ah, aku bukan sedang kencing!!. Tapi sedang mengeluarkan sesuatu, karena kalau air kencing dia keluarnya deras dan tidak terputus putus seperti ini.
Akhirnya aku merasa begitu lemas, namun hatiku terasa begitu bahagianya. Rasa nikmat itu masih membawaku dalam suasana di surga. Apalagi sesaat pamanku mendekap tubuhku dengan erat, semakin aku merasa tentram dan damai.
“Enak, ga tadi” bisik Bang Panjaitan yang sadar kalau aku tidak sedang tidur.
Aku masih pura pura tidur, namun aku sunggingkan senyum. Walaupun senyumku itu tidak nampak Bang Panjaitan.
Tapi satu pengalaman baru aku rasakan bersama Pamanku yang tentara ini.
Di pagi hari, saat aku terbangun tidur. Kubuka mataku pelan-pelan.
Ada perasaan berdebar-debar teringat pengalaman enak tadi malam, aku menyingkap selimutku. Ternyata saat itu aku sudah tidak lagi memakai baju. Sama seperti Bang Panjaitan yang juga sudah telanjang di sebelahku. Kemudian kurasakan paman membalikkan tubuhnya dan membelakangiku. Lalu tanganku diraihnya agar memeluk Bang Panjaitan dari belakang. Aku hanya pasrah saja. Kupeluk tubuh kekar itu dari belakang, hingga tanganku hanya sampai di perutnya. Sesaat kemudia, tanganku dipindahkan dan diarahkan ke selangkangan Bang Panjaitan. Aku kaget, karena menyentuh sesuatu yang keras dan kenyal.
Rupanya kontol Bang Panjaitan yang sedang tegang. Lalu tanganku dan tangan Bang Panjaitan bersamaan memegangi kontol itu dan mengambil posisi mengocok kocok. Rupanya Bang Panjaitan memberi contoh agar aku mengocoki kontolnya. Karena setelahnya, dia melepaskan tangannya sendiri dan memilin milin dada dan pentilnya sendiri. Dri mulutnya Bang Panjaitan melenguh dan mendesah desah.
Lalu MA sAgus berbalik posisi dan menghadap ke aku, tapi aku masih terus disuruhnya mengocoki batang kontolnya yang besar itu. Kini kedua tanganku melakukan kocokan di kontolnya tang semakin mengeras dan menegang. Lalu tangan Bang Panjaitan meraih kepalaku, dan mendorongku agar kepalaku tepat berada di depan selangkangannya. Dia lalu mendorong pantatnya agar kontolnya menyentuh ke mukaku.
Ada bau khas tercium dari situ. Bau lelaki. Bau keringat dibagian selangkangan yang berbeda dengan bau di bagian tubuh lain. Ada pesingnya. Ada keringatnya. Ah, bau itu sungguh maskulin. Bau yang kusuka. Bau itu begitu membiusku. Bau jantan. Ah…
Lalu jari pamanku menyentuh mulutku dan membuka binirku, dan menyuruh mulutku yang mengatup untuk membuka.
“Disedot ya”,bisiknya lirih.
Antara takt, jijik dan tidak tau apa yang sednag berlangsung, aku hanya menurut saja. Apalagi semalam aku mengalami, kalau pamanku in juga melakukan hal yang sama dengan kontolku. Yah diapun semalam mengulumi kontolku. Jadi mungkin pagi ini dia minta aku yang gantia mengulumi kontolnya.
Karena aku ingin ini semua segera berakhir, tanpa banyak bertanya langsung saja aku menuruti keinginnya. Aku dapat merasakan kontol itu semakin lama semakin membesar. Warnanya pun yang tadinya kuning kecoklatan kini agak memerah dan mengeras. Sampai akhirnya mulutku hanya dapat dimasuki bagian kepalanya saja. Sementara aku yang masih mengantuk, mendengar suara desahan-desahan Bang Panjaitan yang kian menderu. Hingga saat dimana kurasakan kontolnya menyodok-nyodok masuk ke mulutku. Lalu sekilas kurasakan juga tangan Bang Panjaitan juga mengocok kocok kontolnya, tetapi tetap ujung kontolnya masih di arahkan ke mulutku. Dan tanganku juga dibimbing Bang Panjaitan untuk merabai perut dan pentil teteknya.
Cukup lama Bang Panjaitan mengocoki kontolnya, dan sesekali dia melepaskan tangannya, lalu menyorongkan kontolnya agar masuk ke mulutku lagi. Karena terlalu panjang kontol itu, aku tersedak dan tidak bisa bernafas. Lalu Bang Panjaitan menarik lagi kontolnya dan mengocoknya lagi, sambil mulutnya terus mendesis desis, hingga akhirnya aku rasakan tubuhnya bergetar dan perutnya mengejang. Lalu tangannya berhenti mengocok tapi cuma memegangi kontolnya saja dan kepalaku didorongnya agar kontolnya masuk ke mulutku. Kontol itu berkedut kedut lalu menyemburlah cairan hangat dan membanjiri mulutku.
Saat semburan pertama, aku kaget karena semburannya cukup kuat hingga cairan hangat itu menyemprot ke dalam tenggorokanku, sehingga mau gak mau aku menelannya. Rasanya getir, sedikit masnis, tapi agak amis juga. Ini bukan cairan kencing, karena baunya tidak pesing. Tetapi kepalaku ditahan oleh Bang Panjaitan agar posisiku tetap mengulum kontolnya. Dan benar saja, semburan demi semburan, akhirnya keluar dari kontolnya dan memenuhi rongga mulutku. Kemudian Bang Panjaitan menarikku ke dalam dekapannya. Memelukku erat, mencium bibirku juga. Lalu diciuminya leherku, dielusnya tubuhku, sementara aku diam membisu. Kurasakan cairan hangat tadi rasanya agak aneh. Baunyapun juga begitu kuat. Jadi itu bukan air kencing. Ah, inikah yang namanya sperma itu?
Setelah kejadian itu, aku dan Bang Panjaitan terpisah lagi. Dan kami berjanji untuk menyimpan rahasia bersama. Dan aku tetap setia tidak membocorkan atau bercerita kepada siapapun kejadian malam itu. Apalagi aku dengar Bang Panjaitan ditugaskan ke daerah konflik Ambon. Lalu berpindah ke Aceh. Hingga akhirnya enam tahun dari kejadian itu, keluargaku mendapatkan undangan untuk menghadiri pesta pernikahan di rumah dinas Bang Panjaitan. Bang Panjaitan yang kini sudah jadi perwira itu telah melangsungkan pernikahan dengan gadis pujaannya yang ditemuinya di daerah konflik Aceh.
Setelah pesta pernikahan di gedung aula di kompleks militer itu, malamnya semua tamu sudah pada pulang. Beberapa keluarga juga sudah larut tertidur, karena kecapean dengan pesta pernikahan Bang Panjaitan.
Tapi aku yang kini sudah semakin dewasa, masih penasaran. Kuambil salah satu kursi. Kemudian kuletakkan tepat di depan pintu. Pintu kamar dimana Bang Panjaitan dan istrinya tidur. Sengaja aku tak tidur sampai lewat tengah malam begini hanya untuk membuktikan sesuatu. Kulihat dari celah udara yang sempit itu dan, memang benar adanya. Di malam pertama pengantin itu kulihat Bang Panjaitan di sana tepat sedang menindih tubuh istrinya. Bang Panjaitan menggerak-gerakkan kontolnya keluar masuk vagina istrinya sambil tangannya mengelus-elus kedua buah dada istrinya. Sementara bibirnya sedang menggerayangi bagian leher. Aku yang menyaksikan adegan itu cukup terangsang juga. Kontolku akhirnya menegang keras.
Istri Bang Panjaitan terlihat sangat menikmatinya, terlihat dari erangan-erangannya. Kadang dia menjambak dan mencakari tubuh kekar Bang Panjaitan. Lalu mendesis desis. Kadang berpindah posisi dan istrinya yang menggoyang goyang. Memang dari sekitar satu jam permainan suami-istri itu, nampak kalau istrinya yang banyak aktif bergerak. Bang Panjaitan lebih banyak diam dan pasif saja. Apalagi erangan dan rintihan lebih banyak terdengar dari mulut istrinya. Sedangkan suara Bang Panjaitan hanya lenguhan sesaat saja. Lama kemudian semua berakhir, Bang Panjaitan akhirnya rebah di sebelah istrinya yang tampak lemas dan berkeringat. Lalu kudengar suara dengkuran. Ah, mengapa begitu cepat.
Kuletakkan kembali kursi kembali ke tempatnya. Lalu aku beranjak ke ruang keluarga dan menyalakan TV. Sendiri dalam temaram hanya ada cahaya televisi aku berniat untuk begadang sampai pagi dan mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Karena jawaban dari pertanyaanku sepertinya sudah terjawab langsung di mataku. Mungkin memang aku yang beranggapan salah..
"Kok belum tidur?" Tiba-tiba saja kudengar suara Bang Panjaitan di sampingku mengagetkanku. Tapi aku diam tidak bisa menjawab. Bang Panjaitan yang datang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek itu membuatku menjadi gagu. Aku kaget, karena aku sudah mengira dia sudah tidur. Oh rupanya suara dengkuran itu, suara istrinya yang kelelahan.
"Tolong pijitin Bang Panjaitan, dong!" Tiba-tiba kalimat itu terdengar lagi setelah sekian lama. Tapi aku tetap diam.
"Ayo dong, sebentar aja kok!" lanjutnya sambil mengajakku ke kamar tidurku.
Aku tak dapat menolaknya. Dengan ogah ogahan, aku mengikutinya dan sesampainya di kamar aku mulai meijiti punggungnya. Belum lima menit, Bang Panjaitan yang tidur telentang itu membalikkan tubuh dan memandangiku. Lalu tangannya mengarah ke selangkanganku. Jujur aku kaget dia akan melakukan itu. Apalagi saat itu kontolku sedang engeras karena memijiti ototnya yang kekar itu. Kemudian ia melepaskan pakaianku sambil merabai dada dan perutku. Ia juga menjelajah daerah leherku, dijilatnya leher dan telingaku sampai memerah. Lalu ia bangkit dan membuka celana pendeknya yang dipakainya.
Setelah celana pendeknya terlepas kuambil inisiatif untuk membuka sendiri celana dalam yang dikenakannya. Dan terlihat jelas kini apa yang sudah enam tahun tak pernah lagi kulihat. Tubuh itu masih tampak kekar. Sebuah kontol berukuran besar yang teracung berwarna kemerahan dan di sekitarnya nampak bulu-bulu halus kini terpampang di depanku. Kujilati kontol itu dengan lidahku dari buahnya sampai kepala kontolnya. Lalu kulahap masuk ke dalam mulutku. Kugerakkan keluar masuk sambil kumainkan lidahku.
"Ohhh..!" Bang Panjaitan melenguh. Kemudian ia melepaskan celana dan CD-ku. Sambil tangannya terus merabai dan meremas jendolan kontolku.
Setelah kontolku terlepas dari celana dalamku, dia langsung meraihnya dan mengocoknya. Lalu dikulumnya kontolku sampai memerah. Lidahnya diputar putar di sekitar biji pelerku, lalu bibirnya menjepit batang kontolku. Ahhhh.. rasa nikmat itu kembali aku rasakan. Lalu dia memutar mengambil posisi berbeda. Kini selangkanganku di depan mukanya, begitu sebaliknya, selangkangannya tepat di depan mukaku.
Kontolku yang tidak sebesar kontolnya dilahap sampai masuk seluruh batang kontolku ke mulutnya. begitu hangat dan lembut mulut Pamanku yang tentara ini. Akupun tak mau kalahbertindak, dalam posisi 69 itu kurenggut kontolnya, kurebakkan bulu jembutnya yang lebat. Hanya setengah kontolnya yang bisa kukulum ke dalam mulut. Lidahku berputar putar menyapu ujung kontol yang besar dan berurat itu.
Bau amis dan bau khas lelaki itu begitu kuat menyerang indra pembauanku. Dan baru kusadar, apakah tadi Bang Panjaitan sempat membasuh kontolnya ini, karena habis dia pergunakan bertempur engan istrinya.
Tapi aku tidak mau berfikir jauh, karena nafsu birahiku sudah sedemikian memuncaknya.
Kulakukan kuluman dan hisapan hisapan kuat di batang kontol Bang Panjaitan. Hingga akhirnya Bang Panjaitan meminta posisi yang berbeda.
"Sekarang kamu masukin punya kamu ke sini, yah!" ucapnya sambil bergaya doggy style dan menunjuk lubang anusnya.
Aku kaget setengah mati. Mengapa dia yang begitu kekar dan jantan ini minta disodomi. Ahhh. Mungkinkah selama di asrama di daeah konflik dia menjadi sasaran atasannya? Ataukah dia melakukan seks sodomi ini dengan teman kesatuannya? Entahlah.
Aku yang belum siap itu hanya terbengong. Dan dikejutkan dengan tarikan tangan Bang Panjaitan yang melumuri batang kontolku dengan ludahnya. Lalu dengan bimbingannya, kumasukkan kontolku perlahan, pertama memang terasa sulit. Kumasukkan ujung kontolku, setelah agak masuk lalu aku dorong pelan pelan. Sambil aku tarik sedikit, lalu aku dorong lagi hingga akirnya seluruh batang kontolku masuk seluruhnya dalam lubang anusnya. Jepitan dinding anus Bang Panjaitan sudah tidak begitu rapat, namun rasa hangatnya membuatku melayang karena rasa nikmat. Kucoba dorong dan cabut kontolku secara perlahan.
Namun rupanya Bang Panjaitan menggoyang pantatnya dengan cukup keras, sehingga kontolku hampir tercabut. Aku yang terbayang akan adegan waktu mengintip tadi, menjadi terngat aksi istri Bang Panjaitan yang akktif bergerak. Tapi kini malah Bang Panjaitan yang aktif bergerak. Karena jepitan anus Bang Panjaitan yang semakin keras dipadu dengan goyangan goyangan pantatnya, membuatku semakin bernafsu hingga akhirnya kurasakan kontolku semakin panas dan akhirnya mau meledak. Kumpulan cairan spermaku yang terkumpul beberapa lama ini akhirnya tak kuat lagi akan melesak keluar.
"Ah.. Ah.. Ah! Mas Aku mau keluar, nih!" ucapku dalam gairah.
Dan dengan tiba tiba Bang Panjaitan mencabut pantatnya hingga kontolku tercabut. Lalu melumuri tangannya dengan ludah dan dibalurkan ke kontolnya. Sementara tangannya yang satu mendorongku hingga terjengkal ke ranjangku. Lalu kakiku diangkat ke pundaknya. Dia mengambil posisi jongkok di depanku dan mengarahkan kontolnya ke lubang pantatku. Ah, Bang Panjaitan juga ingin menyodomiku?
Aku hanya pasrah saja, apalagi saat itu ejakulasiku juga hampir sampai. Dan saat ujung kontol Bang Panjaitan hampir menempel di lubang anusku, secara tiba tiba muncratlah spermaku menyembur ke dadaku. Semprotan yang lain mengenai perutku. Ada sekitar 7 semprotan nikmat yang kurasakan.
Karena aku ejakulasi, membuat seluruh tubuhku berkontraksi, dan tak luput pula lubang anusku juga turut berkontraksi. Tubuhku bergetar turut berkontraksi diiringi eranganku. Padahal kontol Bang Panjaitan baru kepalanya saja yang masuk ke lubang anusku. Akhirnya walau belum masuk seluruhnya, kontol Bang Panjaitan juga ejakulasi. Spermanya menyemprot dan menyembur di lubang anusku. Hampir sebagian besar spermanya muncrat meleleh membasahi pantatku dan menetes ke seprei ranjangku. Ah…mengapa begitu cepat dan terburu buru ejakulasi. Padahal akupun ingin tau rasanya digagahi oleh cowok, apalagi pria kekar seperti Bang Panjaitan yang tentara ini.
Lalu Bang Panjaitan rebah menindihku sambil mengecup keningku. Namun dia buru buru mengelap sisa cairan spermaku di perutnya dan sekujur badannya dengan celana dalamku. Setelah itu dia memakai bajunya lagi dan buru buru keluar dari kamarku. Aku hanya melongo saja..
Kadang juga sering membolos sekolah demi mengikuti ajakan temanku mencuri buah apel di perkebunan Agrowisata. Seperti bengalnya anak remaja belasan tahun, sepeti itulah yang aku jalani di masa mudaku.
Di sore hari itu, di dalam rumahku.
"Kak, mandi dulu baru makan!" teriak ibuku dari dapur.
"Ntar ah, lapar nih, Bu!" balasku juga berteriak.
"Kamu sih, main dari mulai pulang sekolah, baru pulang sore-sore begini." Ibuku mengomel.
Habis mau bagaimana lagi aku suka sekali bermain layangan, apalagi sekarang sedang musimnya, jadi banyak sekali layang-layang yang berterbangan di atas langit sana mengajakku bermain kejar-kejaran dengannya.
"Ntar Bang Panjaitan mau ke sini lho!" ucap ibuku.
"Iya, udah tahu!" balasku.
Bang Panjaitan, pamanku, adalah anak dari kakak perempuan ayahku yang tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah yang terkenal dengan candi Borobudurnya, dan di situ pulalah Bang Panjaitan bekerja sebagai seorang tentara berpangkat sersan dua. Tapi walaupun tempat tinggal kami berjauhan, keluarga kami dan paman sudah sangat dekat. Dua atau tiga minggu sekali Bang Panjaitan datang berkunjung ke rumah kami di Bandung.
Apabila paman datang aku pasti merasa sangat senang. Mengapa? Karena paman sangat baik, ia selalu mengajakku pergi berbelanja ke supermarket, dia membelikan banyak sekali barang yang kuminta. Permen, coklat ataupu camilan kesukaaanku. Ia sangat suka dengan anak kecil. Selain itu Bang Panjaitan belum menikah padahal umurnya sudah hampir kepala tiga. Ia bilang pada ayahku bahwa ia belum siap untuk berumah tangga. Dan juga katanya, kontrak kerja di kemiliteran, mengharuskan setiap pria tidak boleh menikah selama 10 tahun masa pendidikan kemiliteran.
Dan beneran, saat menjelang maghrib, kudengar teriakan ibuku.
"Indra sini, ada Bang Panjaitan." panggil ibuku dari ruang tamu.
"Bentar Bu, lagi mandi." teriakku dari dalam kamar mandi.
Kupercepat mandiku, kubilas seluruh busa-busa sabun yang menempel di badan hingga bersih, kemudian kuambil handuk dan kukeringkan di tubuhku. Lalu aku bergegas masuk kamar. Saat pintu kamar kubuka, ternyata Bang Panjaitan sudah ada di dalam kamar.
"Udah mandinya?" tanyanya.
"Udah, seger banget Mas!" jawabku.
"Sini dibajuin sama Bang Panjaitan."katanya.
"Lepasin dulu handuknya, Ndra!" perintahnya penuh wibawa.
Kulepaskan handuk dari tubuhku. Paman menatapku dengan pandangan aneh, lurus dan tajam ke arahku, tepatnya tubuhku.
"Mas…..! Bang Panjaitan kenapa!" kupanggil namanya beberapa kali. Dan seperti bangun dari mimpinya, dengan sedikit terhentak Bang Panjaitan tersadar kembali.
"Oh, mm, kamu ambil bajunya terus bawa ke sini, biar Bang Panjaitan yang pakein."
Kupilih salah satu t-shirt di dalam lemari, juga kaus dalam, CD, dan celana pendeknya, dan kemudian memberikannya pada Bang Panjaitan. Bang Panjaitan menerimanya dan meletakkan semuanya di atas kasur. Kemudian ia meraih bedak powder di atas meja di samping ranjang.
"Mas itu mah bedaknya ade. Aku kan udah gede udah nggak pake bedak kayak begituan lagi" ucapku saat itu juga.
"Ah, nggak apa-apa kok biar wangi." jawabnya.
Bang Panjaitan mulai menaburkan bedak dan menggosokkannya dengan rata ke seluruh tubuhku, termasuk pantatku, dan selangkangku. "Badan kamu bagus, udah besar mau jadi apa? Mau nggak jadi tentara?" tanya pamanku masih sambil menggosok-gosokan bedak di tubuhku.
"Nggak tau ah, gimana entar aja." jawabku sambil agak ketawa, habis geli banget diraba-raba sama Bang Panjaitan.
"Sebentar yah!" Bang Panjaitan beranjak dari ranjang menuju pintu kamar kemudian menguncinya.
"Kalo kamu jadi tentara nanti badan kamu bakal kebentuk seperti paman. Nih Bang Panjaitan tunjukin badan Bang Panjaitan." Katanya memaerkan tubuhnya.
Pamanku itu mulai membuka pakaiannya helai demi helai. Diawali dengan kemeja biru langitnya, lalu kaus singletnya. Wah, badan Bang Panjaitan memang bagus banget, dadanya keren, walaupun tidak begitu besar tapi berisi. Perutnya, wah kalau sekarang nih orang bilang six-packs. Lalu Bang Panjaitan mulai membuka celana panjangnya. Di dalamnya terlihat CD-nya yang berwarna putih. Kemudian ia lanjutkan helai terakhir dan, wah.. besar sekali, di sekelilingnya juga ada hamparan bulu-bulu halus yang rapi terpotong pendek.
"Sini coba kamu pegang badan Bang Panjaitan." pintanya.
"Nah, kalau kamu mau jadi tentara kamu harus banyak olahraga dari sekarang, jadi badan kamu akan terbentuk seperti badan Bang Panjaitan." Dijelaskannya bagaimana ia bisa memiliki tubuh yang dibanggakannya sambil menuntun tanganku di sekitar dada dan perutnya.
"Ini kamu juga bakal ikut besar." ucapnya sambil memegang kontolku.
"Indra! Turun dulu!" ibuku berteriak. Bang Panjaitan spontan melepaskan tangannya dari kontolku dan kembali memakai pakaian yang tadi dilepasnya saat mendengar teriakan Ibuku dari bawah.
"Iya!" teriakku sambil memakai pakaian yang dari tadi menunggu untuk kukenakan.
Saat malam sambil menonton televisi di ruang keluarga, paman menghampiri dan menaikkanku dalam pangkuannya.
"Kok nggak belajar?" tanyanya memulai percakapan.
"Nggak ada PR" jawabku singkat.
"Belajar kan nggak harus pas ada PR." ucapnya menasehati. Aku diam saja, tak membalas.
Masih dalam pangkuan Bang Panjaitan, waktu berlalu tanpa berkata sampai mataku akhirnya terpejam kelelahan, terlelap dalam pangkuannya.
Dan masih dalam deraan rasa ngantuk luar biasa, aku dipindahkan oleh Bang Panjaitan ke dalam kamar tidur. Lalu akupun terlelap lagi.
Tapi dalam hening malam itu, aku terusik oleh sesuatu. Tapi apa? Aku merasa ada seseorang yang meraba-raba tubuhku. Aku merasa begitu geli. Tapi kemudian rabaan-rabaan itu berhenti. Aku ingin membuka mataku.
Sedikit demi sedikit mataku terbuka. Dimana ini? Oh ini kan kamar tidur Bang Panjaitan yang memakai kamar tidur tamu, pasti tadi Bang Panjaitan menggotongku ke kamarnya karena aku ketiduran. Bola mataku bergerak ke arah kanan dan kulihat samar Bang Panjaitan berdiri di samping ranjang sedang membuka helai demi helai pakaiannya. Setelah semua pakaiannya tanggal dari tubuhnya kemudian ia mengambil sesuatu di dalam tas ransel yang dibawanya. Kemudian paman duduk di ranjang, tepat di sampingku. Segera aku kembali memejamkan mataku, berpura-pura tidur. Tapi kemudian..
Tangan kekar Bang Panjaitan merabai badanku dan tepat berhenti di selangkanganku. Lama tangan itu menggosok gosok bagian sensitifku itu. Dan diperlakukan seperti itu, aku menjadi terangsang. Ada rasa nikmat mendera tubuhku, dan sungguh aku ingin terus diperlakukan seperti itu. Meskipun umurku belum genap 15 tahun, tapi kontolku bisa menegang dn mengeras. Lalu kurasakan jari tangan Bang Panjaitan menyeruak dan membuka celana kolorku. Lalu kurasakan tangan itu mengocok kocok kontolku secara pelan. Akupun merasakan nikmat yang tiada terkira. Kau masih terus berpura pura tidur, meskipun sebenarnya aku begitu menikmati dan merasakan kocokan tangan Bang Panjaitan dengan penuh perasaan.
Pengalaman pertama aku dikocok oleh orang lain.
Nikmatnya sungguh membuatku seolah sedang bermimpi masuk ke dalam surga. Yah, kurasakan surga dunia saat tangan itu mimijit dan mengremasi batang kontolku yang imut itu.
Di tengah mimpiku merasakan nikmat surga itu, tiba tiba kurasakan Paman Agus berpindah tempat dnegan masih tetap mengocoki kontolku. Dan tiba tiba celana kolorku semakin diturunkan, dan selanjutnya “Happ…”. Kurasakan kehangatan dan basah menyelimuti kontolku. Rasanya lebih nikmat dari yang tadi. Ada sesuatu yang kenyal menyentuh dan menjepit batang kontolku. Aku intip, rupanya mulut Bang Panjaitan yang sedang mengulum batang kontolku.
Ah, kok bisa kontol dikulum kulum. Tidakkah Bang Panjaitan yang seorang tentara ini jijik mengulum kontol remaja sepertiku. Kepalaku tidak mampu untuk berfikir sejauh itu, karena yang kurasakan sengatan rasa nikmatnya kini melambungkan anganku lebih dalam ke surga yang sesungguhnya.
Hingga akhirnya aku rasakan ada desakan dari dalam pangkal kontolku, menyeruak dan akhirnya lepas. Aku merasakan sedang kencing. Yah, rasa itu kurasakan saat akhir kencing, tubuhku bergidik dan bergetar diikutu rasa nikmat yang hebat. Tapi yang kali ini aku rasakan, rasa begidik dan rasa nikmat itu seiring dengan semprotan dan semburan air kencingku. Ah, aku bukan sedang kencing!!. Tapi sedang mengeluarkan sesuatu, karena kalau air kencing dia keluarnya deras dan tidak terputus putus seperti ini.
Akhirnya aku merasa begitu lemas, namun hatiku terasa begitu bahagianya. Rasa nikmat itu masih membawaku dalam suasana di surga. Apalagi sesaat pamanku mendekap tubuhku dengan erat, semakin aku merasa tentram dan damai.
“Enak, ga tadi” bisik Bang Panjaitan yang sadar kalau aku tidak sedang tidur.
Aku masih pura pura tidur, namun aku sunggingkan senyum. Walaupun senyumku itu tidak nampak Bang Panjaitan.
Tapi satu pengalaman baru aku rasakan bersama Pamanku yang tentara ini.
Di pagi hari, saat aku terbangun tidur. Kubuka mataku pelan-pelan.
Ada perasaan berdebar-debar teringat pengalaman enak tadi malam, aku menyingkap selimutku. Ternyata saat itu aku sudah tidak lagi memakai baju. Sama seperti Bang Panjaitan yang juga sudah telanjang di sebelahku. Kemudian kurasakan paman membalikkan tubuhnya dan membelakangiku. Lalu tanganku diraihnya agar memeluk Bang Panjaitan dari belakang. Aku hanya pasrah saja. Kupeluk tubuh kekar itu dari belakang, hingga tanganku hanya sampai di perutnya. Sesaat kemudia, tanganku dipindahkan dan diarahkan ke selangkangan Bang Panjaitan. Aku kaget, karena menyentuh sesuatu yang keras dan kenyal.
Rupanya kontol Bang Panjaitan yang sedang tegang. Lalu tanganku dan tangan Bang Panjaitan bersamaan memegangi kontol itu dan mengambil posisi mengocok kocok. Rupanya Bang Panjaitan memberi contoh agar aku mengocoki kontolnya. Karena setelahnya, dia melepaskan tangannya sendiri dan memilin milin dada dan pentilnya sendiri. Dri mulutnya Bang Panjaitan melenguh dan mendesah desah.
Lalu MA sAgus berbalik posisi dan menghadap ke aku, tapi aku masih terus disuruhnya mengocoki batang kontolnya yang besar itu. Kini kedua tanganku melakukan kocokan di kontolnya tang semakin mengeras dan menegang. Lalu tangan Bang Panjaitan meraih kepalaku, dan mendorongku agar kepalaku tepat berada di depan selangkangannya. Dia lalu mendorong pantatnya agar kontolnya menyentuh ke mukaku.
Ada bau khas tercium dari situ. Bau lelaki. Bau keringat dibagian selangkangan yang berbeda dengan bau di bagian tubuh lain. Ada pesingnya. Ada keringatnya. Ah, bau itu sungguh maskulin. Bau yang kusuka. Bau itu begitu membiusku. Bau jantan. Ah…
Lalu jari pamanku menyentuh mulutku dan membuka binirku, dan menyuruh mulutku yang mengatup untuk membuka.
“Disedot ya”,bisiknya lirih.
Antara takt, jijik dan tidak tau apa yang sednag berlangsung, aku hanya menurut saja. Apalagi semalam aku mengalami, kalau pamanku in juga melakukan hal yang sama dengan kontolku. Yah diapun semalam mengulumi kontolku. Jadi mungkin pagi ini dia minta aku yang gantia mengulumi kontolnya.
Karena aku ingin ini semua segera berakhir, tanpa banyak bertanya langsung saja aku menuruti keinginnya. Aku dapat merasakan kontol itu semakin lama semakin membesar. Warnanya pun yang tadinya kuning kecoklatan kini agak memerah dan mengeras. Sampai akhirnya mulutku hanya dapat dimasuki bagian kepalanya saja. Sementara aku yang masih mengantuk, mendengar suara desahan-desahan Bang Panjaitan yang kian menderu. Hingga saat dimana kurasakan kontolnya menyodok-nyodok masuk ke mulutku. Lalu sekilas kurasakan juga tangan Bang Panjaitan juga mengocok kocok kontolnya, tetapi tetap ujung kontolnya masih di arahkan ke mulutku. Dan tanganku juga dibimbing Bang Panjaitan untuk merabai perut dan pentil teteknya.
Cukup lama Bang Panjaitan mengocoki kontolnya, dan sesekali dia melepaskan tangannya, lalu menyorongkan kontolnya agar masuk ke mulutku lagi. Karena terlalu panjang kontol itu, aku tersedak dan tidak bisa bernafas. Lalu Bang Panjaitan menarik lagi kontolnya dan mengocoknya lagi, sambil mulutnya terus mendesis desis, hingga akhirnya aku rasakan tubuhnya bergetar dan perutnya mengejang. Lalu tangannya berhenti mengocok tapi cuma memegangi kontolnya saja dan kepalaku didorongnya agar kontolnya masuk ke mulutku. Kontol itu berkedut kedut lalu menyemburlah cairan hangat dan membanjiri mulutku.
Saat semburan pertama, aku kaget karena semburannya cukup kuat hingga cairan hangat itu menyemprot ke dalam tenggorokanku, sehingga mau gak mau aku menelannya. Rasanya getir, sedikit masnis, tapi agak amis juga. Ini bukan cairan kencing, karena baunya tidak pesing. Tetapi kepalaku ditahan oleh Bang Panjaitan agar posisiku tetap mengulum kontolnya. Dan benar saja, semburan demi semburan, akhirnya keluar dari kontolnya dan memenuhi rongga mulutku. Kemudian Bang Panjaitan menarikku ke dalam dekapannya. Memelukku erat, mencium bibirku juga. Lalu diciuminya leherku, dielusnya tubuhku, sementara aku diam membisu. Kurasakan cairan hangat tadi rasanya agak aneh. Baunyapun juga begitu kuat. Jadi itu bukan air kencing. Ah, inikah yang namanya sperma itu?
Setelah kejadian itu, aku dan Bang Panjaitan terpisah lagi. Dan kami berjanji untuk menyimpan rahasia bersama. Dan aku tetap setia tidak membocorkan atau bercerita kepada siapapun kejadian malam itu. Apalagi aku dengar Bang Panjaitan ditugaskan ke daerah konflik Ambon. Lalu berpindah ke Aceh. Hingga akhirnya enam tahun dari kejadian itu, keluargaku mendapatkan undangan untuk menghadiri pesta pernikahan di rumah dinas Bang Panjaitan. Bang Panjaitan yang kini sudah jadi perwira itu telah melangsungkan pernikahan dengan gadis pujaannya yang ditemuinya di daerah konflik Aceh.
Setelah pesta pernikahan di gedung aula di kompleks militer itu, malamnya semua tamu sudah pada pulang. Beberapa keluarga juga sudah larut tertidur, karena kecapean dengan pesta pernikahan Bang Panjaitan.
Tapi aku yang kini sudah semakin dewasa, masih penasaran. Kuambil salah satu kursi. Kemudian kuletakkan tepat di depan pintu. Pintu kamar dimana Bang Panjaitan dan istrinya tidur. Sengaja aku tak tidur sampai lewat tengah malam begini hanya untuk membuktikan sesuatu. Kulihat dari celah udara yang sempit itu dan, memang benar adanya. Di malam pertama pengantin itu kulihat Bang Panjaitan di sana tepat sedang menindih tubuh istrinya. Bang Panjaitan menggerak-gerakkan kontolnya keluar masuk vagina istrinya sambil tangannya mengelus-elus kedua buah dada istrinya. Sementara bibirnya sedang menggerayangi bagian leher. Aku yang menyaksikan adegan itu cukup terangsang juga. Kontolku akhirnya menegang keras.
Istri Bang Panjaitan terlihat sangat menikmatinya, terlihat dari erangan-erangannya. Kadang dia menjambak dan mencakari tubuh kekar Bang Panjaitan. Lalu mendesis desis. Kadang berpindah posisi dan istrinya yang menggoyang goyang. Memang dari sekitar satu jam permainan suami-istri itu, nampak kalau istrinya yang banyak aktif bergerak. Bang Panjaitan lebih banyak diam dan pasif saja. Apalagi erangan dan rintihan lebih banyak terdengar dari mulut istrinya. Sedangkan suara Bang Panjaitan hanya lenguhan sesaat saja. Lama kemudian semua berakhir, Bang Panjaitan akhirnya rebah di sebelah istrinya yang tampak lemas dan berkeringat. Lalu kudengar suara dengkuran. Ah, mengapa begitu cepat.
Kuletakkan kembali kursi kembali ke tempatnya. Lalu aku beranjak ke ruang keluarga dan menyalakan TV. Sendiri dalam temaram hanya ada cahaya televisi aku berniat untuk begadang sampai pagi dan mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Karena jawaban dari pertanyaanku sepertinya sudah terjawab langsung di mataku. Mungkin memang aku yang beranggapan salah..
"Kok belum tidur?" Tiba-tiba saja kudengar suara Bang Panjaitan di sampingku mengagetkanku. Tapi aku diam tidak bisa menjawab. Bang Panjaitan yang datang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek itu membuatku menjadi gagu. Aku kaget, karena aku sudah mengira dia sudah tidur. Oh rupanya suara dengkuran itu, suara istrinya yang kelelahan.
"Tolong pijitin Bang Panjaitan, dong!" Tiba-tiba kalimat itu terdengar lagi setelah sekian lama. Tapi aku tetap diam.
"Ayo dong, sebentar aja kok!" lanjutnya sambil mengajakku ke kamar tidurku.
Aku tak dapat menolaknya. Dengan ogah ogahan, aku mengikutinya dan sesampainya di kamar aku mulai meijiti punggungnya. Belum lima menit, Bang Panjaitan yang tidur telentang itu membalikkan tubuh dan memandangiku. Lalu tangannya mengarah ke selangkanganku. Jujur aku kaget dia akan melakukan itu. Apalagi saat itu kontolku sedang engeras karena memijiti ototnya yang kekar itu. Kemudian ia melepaskan pakaianku sambil merabai dada dan perutku. Ia juga menjelajah daerah leherku, dijilatnya leher dan telingaku sampai memerah. Lalu ia bangkit dan membuka celana pendeknya yang dipakainya.
Setelah celana pendeknya terlepas kuambil inisiatif untuk membuka sendiri celana dalam yang dikenakannya. Dan terlihat jelas kini apa yang sudah enam tahun tak pernah lagi kulihat. Tubuh itu masih tampak kekar. Sebuah kontol berukuran besar yang teracung berwarna kemerahan dan di sekitarnya nampak bulu-bulu halus kini terpampang di depanku. Kujilati kontol itu dengan lidahku dari buahnya sampai kepala kontolnya. Lalu kulahap masuk ke dalam mulutku. Kugerakkan keluar masuk sambil kumainkan lidahku.
"Ohhh..!" Bang Panjaitan melenguh. Kemudian ia melepaskan celana dan CD-ku. Sambil tangannya terus merabai dan meremas jendolan kontolku.
Setelah kontolku terlepas dari celana dalamku, dia langsung meraihnya dan mengocoknya. Lalu dikulumnya kontolku sampai memerah. Lidahnya diputar putar di sekitar biji pelerku, lalu bibirnya menjepit batang kontolku. Ahhhh.. rasa nikmat itu kembali aku rasakan. Lalu dia memutar mengambil posisi berbeda. Kini selangkanganku di depan mukanya, begitu sebaliknya, selangkangannya tepat di depan mukaku.
Kontolku yang tidak sebesar kontolnya dilahap sampai masuk seluruh batang kontolku ke mulutnya. begitu hangat dan lembut mulut Pamanku yang tentara ini. Akupun tak mau kalahbertindak, dalam posisi 69 itu kurenggut kontolnya, kurebakkan bulu jembutnya yang lebat. Hanya setengah kontolnya yang bisa kukulum ke dalam mulut. Lidahku berputar putar menyapu ujung kontol yang besar dan berurat itu.
Bau amis dan bau khas lelaki itu begitu kuat menyerang indra pembauanku. Dan baru kusadar, apakah tadi Bang Panjaitan sempat membasuh kontolnya ini, karena habis dia pergunakan bertempur engan istrinya.
Tapi aku tidak mau berfikir jauh, karena nafsu birahiku sudah sedemikian memuncaknya.
Kulakukan kuluman dan hisapan hisapan kuat di batang kontol Bang Panjaitan. Hingga akhirnya Bang Panjaitan meminta posisi yang berbeda.
"Sekarang kamu masukin punya kamu ke sini, yah!" ucapnya sambil bergaya doggy style dan menunjuk lubang anusnya.
Aku kaget setengah mati. Mengapa dia yang begitu kekar dan jantan ini minta disodomi. Ahhh. Mungkinkah selama di asrama di daeah konflik dia menjadi sasaran atasannya? Ataukah dia melakukan seks sodomi ini dengan teman kesatuannya? Entahlah.
Aku yang belum siap itu hanya terbengong. Dan dikejutkan dengan tarikan tangan Bang Panjaitan yang melumuri batang kontolku dengan ludahnya. Lalu dengan bimbingannya, kumasukkan kontolku perlahan, pertama memang terasa sulit. Kumasukkan ujung kontolku, setelah agak masuk lalu aku dorong pelan pelan. Sambil aku tarik sedikit, lalu aku dorong lagi hingga akirnya seluruh batang kontolku masuk seluruhnya dalam lubang anusnya. Jepitan dinding anus Bang Panjaitan sudah tidak begitu rapat, namun rasa hangatnya membuatku melayang karena rasa nikmat. Kucoba dorong dan cabut kontolku secara perlahan.
Namun rupanya Bang Panjaitan menggoyang pantatnya dengan cukup keras, sehingga kontolku hampir tercabut. Aku yang terbayang akan adegan waktu mengintip tadi, menjadi terngat aksi istri Bang Panjaitan yang akktif bergerak. Tapi kini malah Bang Panjaitan yang aktif bergerak. Karena jepitan anus Bang Panjaitan yang semakin keras dipadu dengan goyangan goyangan pantatnya, membuatku semakin bernafsu hingga akhirnya kurasakan kontolku semakin panas dan akhirnya mau meledak. Kumpulan cairan spermaku yang terkumpul beberapa lama ini akhirnya tak kuat lagi akan melesak keluar.
"Ah.. Ah.. Ah! Mas Aku mau keluar, nih!" ucapku dalam gairah.
Dan dengan tiba tiba Bang Panjaitan mencabut pantatnya hingga kontolku tercabut. Lalu melumuri tangannya dengan ludah dan dibalurkan ke kontolnya. Sementara tangannya yang satu mendorongku hingga terjengkal ke ranjangku. Lalu kakiku diangkat ke pundaknya. Dia mengambil posisi jongkok di depanku dan mengarahkan kontolnya ke lubang pantatku. Ah, Bang Panjaitan juga ingin menyodomiku?
Aku hanya pasrah saja, apalagi saat itu ejakulasiku juga hampir sampai. Dan saat ujung kontol Bang Panjaitan hampir menempel di lubang anusku, secara tiba tiba muncratlah spermaku menyembur ke dadaku. Semprotan yang lain mengenai perutku. Ada sekitar 7 semprotan nikmat yang kurasakan.
Karena aku ejakulasi, membuat seluruh tubuhku berkontraksi, dan tak luput pula lubang anusku juga turut berkontraksi. Tubuhku bergetar turut berkontraksi diiringi eranganku. Padahal kontol Bang Panjaitan baru kepalanya saja yang masuk ke lubang anusku. Akhirnya walau belum masuk seluruhnya, kontol Bang Panjaitan juga ejakulasi. Spermanya menyemprot dan menyembur di lubang anusku. Hampir sebagian besar spermanya muncrat meleleh membasahi pantatku dan menetes ke seprei ranjangku. Ah…mengapa begitu cepat dan terburu buru ejakulasi. Padahal akupun ingin tau rasanya digagahi oleh cowok, apalagi pria kekar seperti Bang Panjaitan yang tentara ini.
Lalu Bang Panjaitan rebah menindihku sambil mengecup keningku. Namun dia buru buru mengelap sisa cairan spermaku di perutnya dan sekujur badannya dengan celana dalamku. Setelah itu dia memakai bajunya lagi dan buru buru keluar dari kamarku. Aku hanya melongo saja..
No comments:
Post a Comment