5/30/2011

Kolonel Amri


Sebenarnya tidak pernah terjadi apa-apa bila saja aku tidak mempunyai urusan dengan Kolonel Amri, seorang anggota militer yang bertugas di kota tempatku bekerja. Masalahnya adalah secara tidak sengaja mobilku menyenggol bamper belakang mobil Escudonya. Setengah mati rasa takutku, ketika seorang laki-laki kekar dengan pakaian militernya keluar dari mobilnya. Aku pun keluar dari mobil dan langsung meminta maaf, karena aku benar-benar bersalah.

"Maaf Pak, saya benar-benar tidak sengaja," kataku.
"Saya akui saya salah.."
"Kenapa Mas bisa teledor.." katanya dengan nada keras, tapi kemudian dia tersenyum ketika melihat wajahku yang merasa bersalah.
"Saya memang sedang kurang konsentrasi, Pak." kataku kemudian, sambil terus kuperhatikan kerusakan mobil miliknya.
"Tapi baiklah, saya akan menanggung semua perbaikan mobil Bapak."
"Kenapa kurang konsentrasi dalam berkendaraan?"
Pertanyaan yang membuatku gugup dan terkejut. Aku merasa dia mengetahui apa yang sedang kupikirkan pada saat mengendarai mobil tadi. Terus terang saja aku tadi sedang memikirkan suatu masalah besar, masalah yang menyangkut pribadiku. Pikiranku kacau dan kalut semenjak aku dipindah kerja ke kota lain, kota yang jauh sekali dari harapanku.

"Kenapa Mas?"
"Oh tidak Pak," kataku sambil diam sejenak.
"Terus terang saya sedang ada masalah Pak. Saya baru beberapa minggu tinggal di kota ini. Saya kesal dan kecewa di kota ini. Saya tidak punya terman untuk bercerita."
Orang itu hanya memandangku heran. Aku bisa mengerti keheranannya.
"Maksud saya.. saya punya masalah yang sangat pribadi, dimana saya tidak bisa bercerita padasembarang orang." kataku kemudian.
"Oh ya Pak, di mana kita bisa perbaiki mobil Bapak?"
Tapi rupanya dia tidak lagi tertarik dengan perbaikan mobilnya. Sehingga dia tetap mendesakku untuk menceritakan masalah yang kuhadapi saat ini. Aku pun tidak mengerti kenapa dia tertarik dengan masalahku.

"Baiklah Pak, saya akan bicara.." kataku kemudian, sambil kuajak dia ke rumahku yang tak jauh dari tempat kejadian. Dan aku tinggal sendiri di rumah itu. Aku pun baru tahu kenapa dia tertarik dengan masalahku. Dia pun pernah mengalami hal yang sama seperti diriku. Dia pernah mempunyai masalah berat dan sulit yang mengacaukan kehidupannya. Rupanya dia empati dengan diriku.

Mulailah kami berkenalan. Rupanya dia seorang Kolonel, seorang anggota militer, Kolonel Amri namanya. Seperti penampilan anggota militer umumnya, dia memiliki tubuh yang kekar, tegap dan gagah. Wajahnya menurutku sangat ganteng dengan kumis melintang dan rapih di bawah hidung dan berewok yang juga tercukur rapi. Penampilannya begitu sempurna, aku yakin pasti banyak wanita yang tergila-gila padanya. Aku sendiri kagum dan senang melihatnya.

"Saya tadi benar-benar bodoh dan teledor," kataku pada Kolonel Amri.
"Entah kenapa saya tadi seperti tidak melihat mobil Bapak di depan mobil saya."
"Ya.. karena kamu melamun," katanya. "Apa masalahmu, Di? Sehingga kamu benar-benar dalam keadaan seperti itu."

Aku diam sejenak, menimbang-nimbang apakah aku akan menceritakan masalahku padanya. Rupanya Kolonel Amri tahu itu.
"Sudahlah.. ceritakan saja." katanya mendesak diriku, "Kamu juga sudah kenal saya, walau baru sebentar."
"Saya sedang dalam kesulitan, di kota ini saya tidak punya teman pribadi." akhirnya kumulai ceritaku.
"Saya baru saja pindah ke kota ini, dan saya kehilangan seseorang yang baik dalam hidup saya. Dia jauh di seberang lautan. Seorang teman yang mengerti segalanya, seorang sahabat dan juga seorang saudara saya, bahkan kami seperti sepasang kekasih. Dia begitu baik pada saya, dia mencintai dan menyayangi saya. Dan saat ini saya benar-benar rindu ingin bertemu.."

Kolonel Amri hanya tersenyum.
"Saya tahu mungkin Bapak menertawai saya."
"Bukan, saya hanya tidak habis pikir, apakah di kota ini tidak ada wanita seperti dia bahkan lebih baik dan cantik lagi."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya.
"Sahabat saya bukan seorang wanita," kataku kemudian dengan nada pelan.

Sekali lagi Kolonel Amri diam, memandang tanpa berkata apa-apa.
"Saya senang dengan sesama jenis, Pak." kataku kemudian.
Kolonel Amri hanya mengernyitkan keningnya dan terlihat begitu terheran-heran.
"Saya sedang dalam keadaan nafsu yang tinggi sekali. Saya ingin berhubungan dengan teman saya. Tadi pagi sudah saya keluarkan dengan cara onani dua kali, dengan harapan bisa meredakan ketegangan yang saat ini sedang saya alami."

Kolonel Amri diam mendengarkan ceritaku, sambil meminum air es yang sudah kusediakan tadi.
"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi.. maksudku.. wah aku benar-benar tidak mengerti." kata Kolonel Amri.
"Bagaimana mungkin kamu yang berpenampilan seperti ini menyenangi sesama jenis? Aku lihat kamu cukup gagah, ramah, jantan.. wah aku benar-benar tidak mengerti.
"Itulah yang terjadi pada diri saya," kataku.
Aku pun sudah tidak tahan memandang wajah dan penampilan Kolonel Amri. Penampilannya yang gagah membuat jantungku berdetak kencang, kencang sekali. Setiap senyum dan ucapannya begitu gagah. Pikiranku pun menerawang jauh, jauh sekali. Aku membayangkan aroma tubuh Kolonel Amri, Aku bisa merasakan tubuhnya yang kekar, dan mungkin senjatanya yang..

"Saya senang dengan Bapak, kalau boleh saya cium pipi Bapak.." kataku memberanikan diri.
Kolonel Amri terkejut, raut wajahnya berubah.
"Tidak mungkin," katanya. "Saya tidak seperti itu, dan saya pasti tidak bisa melakukannya."
"Tidak pa-pa Pak, Bapak diam saja, biar saya yang melakukannya," kataku makin berani.
"Ha ha ha.. apa rasanya?"
"Bapak akan tahu nanti.." kukunci pintu rumahku, dan aku pun mulai mendekati Kolonel Amri, dan saat ini sudah duduk di sampingnya.

Kolonel Amri tidak bergeser sedikit pun dan hanya diam saja sambil sesekali tersenyum. Melihat reaksinya yang tidak marah, aku pun mencium pipinya yang hijau karena brewoknya dicukur bersih. Benar-benar aku bisa merasakan aroma kejantanannya, seperti yang sudah kuduga. Sambil terus kucium pipinya, tanganku pun mulai membuka satu persatu kancing bajunya yang ketat itu, di balik bajunya ada kaos ketat hijau menyelimuti tubuh kekarnya.

Kolonel Amri hanya diam dengan semua yang kulakukan. Sepertinya dia ingin tahu, seperti yang dia katakan tadi. Badannya yang kekar sudah tidak lagi terbungkus selembar benang. Bulu-bulu lembut menutupi sekitar dadanya. Kuciumi sekujur tubuhnya yang menyebarkan aroma kejantanannya itu. Ohh.. nikmat sekali, aku belum pernah merasakan tubuh seorang anggota militer. Nikmat sekali rasanya. Benar-benar seorang laki-laki tulen. Sambil kuciumi tubuhnya, tanganku terus beraksi ke bawah, dengan perlahan kubuka ikat pinggang dan reitsleting celananya. Oh besar sekali, tapi rupanya belum menegang, dia masih tertidur. Dan terus kucoba untuk merangsangnya. Rupanya agak sedikit sulit membangunkan senjata ampuhnya itu. Tapi aku terus melakukan gerilya di seluruh tubuhnya, hingga benar-benar tak ada selembar benang pun. Dan aku pun juga melepas satu persatu pakaianku.

Kemudian kuhisap senjatanya yang masih tidur pulas. Besar sekali.. masuk ke dalam mulutku, sambil terus kuhisap daging kenyal itu. Aku mencoba membayangkan besarnya saat bangun nanti. Lama sekali aku mencoba merangsangnya, hingga jari jemariku pun ikut bermain diantara lubangnya, di bawah senjata.

Dengan tanganku itu rupanya senjata ampuhnya mulai bergerak mengeras, sehingga membuat tanganku terus masuk ke dalam lubang anusnya. Rupanya dia merasakan rangsangan di daerah tersebut. Kulihat Kolonel Amri mulai mengerang, menikmati jari tanganku yang keluar masuk ke dalam lubangnya.

Sejalan dengan itu, senjatanya benar-benar menegang maksimal, hingga mulutku agak kesulitan, dan kemudian kukocok dengan tanganku yang lain. "Ohh.. nikmat sekali Adi.. terus lakukan..aku menikmatinya.. teruss.. Ohh.. nikmat sekali.."

Kolonel Amri benar-benar sudah dalam nafsu yang besar. Aku berhasil membangkitkan gairah nafsunya. Dia menikmatinya, ketiga jariku yang masuk ke dalam lubangnya. Dan aku pun terus juga terangsang.

Kemudian dengan izinnya kumasukkan burungku ke dalam lubang Kolonel Amri. Dia menyukainya, diamenyenanginya, dia menikmatinya. Terus kugenjot ke depan dan ke belakang. "Ohh.. kamu membuatku gila.. terus masukkan yang dalam.. teruuss.. ohh nikmat sekali.. terus lih keras lagi.. terus masukkan.."
Sementara burungku pun sudah tak tahan berada di dalam seangkarnya, keluar masuk. Pantatku maju mundur untuk memberi kepuasan pada Kolonel Amri. Aku pun menikmatinya.

"Enak sekali Kolonel.. oh.. oh.. oh.. enak sekali Kolonel.."
Tanganku terus mengocok senjata Kolonel Amri yang besar itu.
"Aku mau keluar.. ohh.. aku mau keluar.. kocok lebih keras lagi.. masukkan lebih dalamlagi.. aku menikmatinya Adi.. Terus Di.. Ohh.. teruuss.. Ohh.. aku keluar.."
Tanganku makin keras mengocok, pantatku makin dalam menembus tubuh Kolonel Amri. Karena aku punbenar-benar sudah tak tahan lagi.

"Croot.. croot.. croot.." Banyak sekali lava putih mengalir dari senjata milik Kolonel Amri. Aku pun tak tahan melihat wajah Kolonel Amri yang begitu menikmatinya, aku pun keluar di dalam tubuh Kolonel. Oh, puas sekali yang kurasakan. Tubuhku pun jatuh lemas di atas tubuh Kolonel Amri. Kami berdua lemas, sementara senjataku masih menusuk di dalam tubuh Kolonel. Tangan Kolonel Amri membelai tubuh dan rambutku.

"Benar-benar nikmat.. belum pernah aku merasakan yang demikan nikmatnya." katanya dengan nafas masih tersengal-sengal, "Kamu orang pertama yang melakukan ini pada saya."
"Terima kasih Kolonel.. saya sangat menikmati tubuh Kolonel. Maafkan saya mebuat Kolonel seperti ini.."
"Sudahlah, yang penting saya menikmati juga.."
"Kita mandi Kolonel," kataku sambil mencabut senjataku dari tubuh Kolonel Amri. Dia pun meringis kesakitan.
Sementara walau pun sudah keluar, senjataku masih tegak berdiri, masih bernafsu memeluk tubuh kekar itu.

Kemudian kami pun mandi berdua. Setelah selesai kuberikan handuk besar padanya, dan Kolonel pun melilitkannya ke pinggang hingga menutupi senjatanya yang besar itu, seperti basoka. Kemudian dia duduk lagi di atas bangku panjang sambil terus memperhatikan aku yang sedang mengelap badan dengan handuk yang lain. Tadinya aku tak tahu kalau Kolonel Amri memperhatikanku, kalau saja dia tidak mulai bicara.

"Badan kamu juga bagus," katanya, "Gempal dan keras. Kenapa burungmu masih juga tegang.."
"Nggak tahu nich.." kataku, "Saya masih nafsu dengan Kolonel."
Aku tertawa kecil dan Kolonel Amri hanya tersenyum.
"Kamu mau lagi?" tanyanya.
Aku terkejut mendengar tawarannya. "Siapa takut," kataku dalam hati. Segera kulempar handukku dan kuhampiri tubuh gagah itu, segera kubuka handuk Kolonel Amri yang menutupi senjatanya. Saat itu pula Kolonel Amri beraksi lebih agresif. Dia juga langsung memeluk dan menghempaskan tubuhku ke lantai. Kali ini dia seperti banteng liar menyambar tubuhku. Dia menciumi seluruh tubuhku, dia juga menghisap burungku, seperti yang kulakukan padanya. Walau tidak terlalu enak hisapannya, karena mungkin belum tahu teknisnya, aku kadang meringis sakit ketika giginya menyentuh daging kenyalku.

Kemudian Kolonel Amri sudah mulai menindih tubuhku. Pantatnya yang bulat berisi kuraba terus kuraba, dan dia mulai memainkan dan menggosok-gosok senjatanya beradu dengan senjataku.

Kolonel Amri terus bernafsu menyerangku, pantatnya naik turun dengan kerasnya. Dia berusaha memasukkan senjatanya yang besar itu ke lubangku, tapi akhirnya dia mengerti bahwa itu tak mungkin. Aku pun bersyukur, karena tak tahu apa yang terjadi bila senjata besar itu menembus tubuhku. Aku sendiri walau seperti ini, tapi belum pernah dimasuki senjata kejantanan laki-laki. Aku selalu takut sakit. Sehingga senjata besar itu hanya bermain di sela-sela pahaku, terus berayun, terus naik dan turun, terus bergoyang di tubuhku.

"Ohh.. aku tak tahan Kolonel.. aku mau keluar.. oohh.. nikmat sekali Kolonel..Terus genjot yang keras Kolonel.. Teruuss.."
Mendengar nafasku yang terus bernafsu, Kolonel Amri makin keras lagi menggoyangkan pantatnya naik dan turun. Bibirnya pun mulai mencium bibirku, hal itu tidak mau dilakukan saat yang pertama. Tapi kali ini dia benar-benar beringas. Dia benar-benar Banteng Jantan!

"Aku juga menikmatinya, Di.." katanya.
Makin keras genjotanya, makin nikmat rasanya. Makin kasar ciumannya makin kunikmati. Permainannya begitu keras dan sedikit kasar khas seorang militer. Tapi aku sangat menikmati, belum pernah kurasakan nikmat seperti ini. Mungkin karena dia seorang militer, sehingga begitu keras dan kasar permainannya. "Ohh.. nikmat sekali.. jantan sekali.."

"Saya keluar Kolonel.."
"Aku juga.. Ohh.. aku keluar.."
"Croot.. croot.. croot.."
Banyak sekali sperma yang tumpah dari senjata milik Kolonel Amri dan juga senjataku, walau pun sudah yang kedua kali.
Kami tidur di lantai sambil terus berpelukan, sampai tidak tahu bahwa hari sudah mulai gelap. Kami pun terus bersahabat, dan setiap saat melakukan permaianan dahsyat itu. Terima kasih Kolonel.

TAMAT

Kenikmatan dari Sang Polisi


Selalu saja penyesalan terjadi belakangan. Seandainya saja aku tidak bernafsu ingin melihat VCD "Belum Ada Judul" yang sempat menghebohkan itu, tentunya aku tidak harus terkena masalah. Teman-temanku selalu tidak ketinggalan barang baru. Aku selalu jadi cemoohan, karena aku selalu yang paling akhir menikmati apa saja yang jadi santapan mereka. Entah itu perselingkuhan si mandor, tertangkap basahnya bos dengan sekretarisnya di kamar mandi, bahkan hal-hal kecil, seperti adanya blue VCD baru.

Bekerja di perusahaan rancang bangun selalu kehabisan waktu, namun penuh tantangan, maka sangat dibutuhkan hiburan agar pikiran selalu fresh, apalagi aku selaku designer rancang bangunnya, sangat butuh itu. Aku penasaran ingin membuktikan kehebohan VCD itu, maka ketika akhirnya temanku ada yang membawakannya, tanpa pikir panjang aku menerimanya.

Dengan Tiger kesayanganku, kupacu motorku kencang agar secepatnya bisa menonton VCD. Yogya-Magelang yang biasanya sebentar, terasa begitu lama, meski aku mempercepat laju motorku di atas 110 km/jam. Mungkin perasaan was-wasku penyebabnya. Aku sengaja pulang lebih sore daripada biasanya, berharap tidak ada polisi yang sedang operasi. Rasa lega menyeruak, begitu memasuki kota Yogya. Namun di depan sebuah plaza, aku tersentak, ketika ada sedikit kemacetan.

Ahh sial, gerutuku. Semoga hanya operasi kelengkapan surat-surat saja, bisikku dalam hati. Aku berhenti agak jauh dari tempat diberhentikannya kendaraan-kendaraan. Aku celingukan, mencoba mencari jalan tikus yang bisa kujadikan jalan selamat. Namun belum sempat aku mematikan motorku, seorang polisi telah mendekatiku.

"Selamat petang, Mas. Maaf mengganggu kenyamanan Anda. SIM dan STNK, mohon dikeluarkan?", keramahan polisi itu sedikit menyejukkanku.
"Oh iya, Pak. Ada", bergegas kusodorkan.
"Terima kasih, silakan melanjutkan perjalanan Anda!". Aku sedikit mengelus dada, syukur. Segera kuhidupkan motorku. Tanpa mengengok lagi, aku melaju.
"Mas! Maas, berhenti!". Aku menoleh, dan polisi itu kembali melambaikan tangannya. Terpaksa aku berhenti.
"Sekali lagi maaf, Mas. Ini operasi sajam dan narkoba. Saya harus memeriksa isi tas Anda!".

Duerr, serasa sebuah peluru menembus kepalaku. Aku lunglai. Aku yakin, polisi itu akan mencibir atau memperkarakanku dengan semua isi di tasku. Dua batang penis buatan yang dibawakan temanku untuk melambungkan gairah istriku. Bullshit. Terngiang sindiran teman-temanku yang menjamin bahwa istriku akan klimaks 5 kali dengan benda itu. Belum lagi VCD bokep sialan itu.

"Maaf, Pak. Ini pinjaman dari temanku. Kalau bapak berkenan silakan ambil, atau kuharap ini bisa membuka hati Bapak!", aku menyodorkan KTP dan secarik kertas yang telah kutuliskan nomor HP-ku.
"Saya ada 3 juta, tapi di rumah. Saya mohon bapak mengerti posisi saya, lagipula barang itu tidak berbahaya dan tidak termasuk kategori operasi Bapak, kan?".

Polisi itu mengangguk, sambil menerima KTP dan nomor HP-ku, lalu mempersilakanku melaju. Aku melonjak girang dalam hati. Meski sial, namun 3 juta tidak sebanding dengan nama baikku yang bakal tercoreng. Bagaimana aku harus menjelaskan kepada istriku? Bagaimana kesan keluargaku, jika tahu bahwa aku berurusan dengan polisi karena film bokep? Belum lagi pada para remaja yang menganggapku serba sempurna, saat aku memimpin rapat karang taruna mingguan mereka.

'Kutunggu di tempat kemarin kami operasi, jam setengah 7 malam, tepat. Kuharap Anda sudah siap', begitu SMS yang di kirim polisi itu, sebelum aku berangkat ke proyek. Setengah celingukan aku melambatkan laju motorku, mencari sosok polisi itu, sore itu. Hmm, jam 18:25, mungkin polisi itu belum datang, gumamku.

"Selamat petang, ikuti aku!". Seseorang menjabatku. Ohh, polisi itu tidak berseragam, pantas saja aku pangling. Segera kuikuti motornya.

Di kawasan yang tidak begitu padat, polisi itu menghentikan motornya. Persisnya di depan rumah yang tidak besar namun terlihat asri. Dia membuka pagar dan masuk. Tangannya melambai, menyuruh aku juga memasukkan motorku.

"OK Dj, inilah rumahku!". Plak, aku serasa tertampar. Darimana dia tahu nama samaran itu? Aku bingung, ternganga.
"Ada yang salah?". Senyum yang menggantung di bibirnya itu kurasa sengaja mempermainkanku. Aku makin bingung, namun kulihat di rona wajahnya seakan sedang sangat bahagia, seolah baru mendapatkan sesuatu yang lama diidamkan.
"Setengah tahun lalu kamu ganti nomor polisi motormu, kan? Kenapa? Takut ada yang mengenali motormu? Takut ada yang minta jatah dan kau tidak mau? Salahmu sendiri, kenapa terlalu jujur dan mencantumkan identitas motormu di ceritamu, itu berarti kau mengumumkan kepada kaum gay bahwa ini lho aku, Dj-paijo!".

Rentetan kata-kata bernada menyindir itu seolah menohokku, bagaimana dia tahu?'

"Kamu semakin menggemaskan kalau kebingungan begitu. Lucu, tapi menggairahkan". Aku hanya ternganga tak percaya.
"Jangan begitu, dong. Dua bulan lebih aku mencari informasi siapa gerangan pemutasi nomor polisi lamamu itu, begitu aku pindah tugas ke Yogya. Aku selalu deg-degan kalau kebetulan melihat pengendara Tiger, mungkinkah kamu? Sebetulnya bisa aku percepat, tapi aku tidak mau dicurigai ada apa-apa oleh teman korpsku. Jadinya yaa harus sabar, dan memang orang sabar banyak rejeki, kan? Kita jodoh, dan bertemu".
"Jadi..".
"Heran ada orang sepertimu di tempatku bekerja? Banyak, cah bagus, di instansi manapun juga pasti ada!".
"Jadi..".
"Iya. Aku tahu kamu dari sumbercerita.com, dan kemarin sebenarnya bukan operasi sajam atau narkoba, tapi ada kecelakaan. Sepintas aku lihat Tiger metalik dengan agak ragu-ragu melaju, kucocokkan nomor polisinya dengan catatan hasil investigasiku yang sudah kuhafal di luar kepala. Begitu aku yakin kalau itu adalah nomor barumu, baru aku dekati kamu".

Aku mengangguk, mulai memahami. Aku menjadi lebih tenang. Kusodorkan sejumlah uang yang kujanjikan, dan meminta KTP-ku. Namun polisi itu tersenyum, menggeleng.

"Aku tidak butuh uang itu. Aku butuh lebih dari itu". Senyuman misterius itu masih saja membuatku tak habis pikir.
"Aku memang puas menyaksikan berbagai bentuk penis teman-temanku ketika mandi atau bertukar pakaian, namun perlu kau tahu, aku jarang bergumul dengan mereka, bahaya. Tidak mudah menemukan seseorang yang dalam keadaan sepertimu. Bisa saja aku menggunakan gigolo, tapi riskan. Aku bisa kehilangan pekerjaan. Aku maunya dengan yang sepertimu, yang takut kalau ketahuan, yang akan sama-sama tahu untuk tidak bekoar, dan aku yakin bukan tipemu mengumbar omongan dan ngobral privasiku ke orang lain yang mungkin saja tertarik dengan kehidupanku, demikian juga aku. Jadi akan sangat aman bagiku".

Aku mengangguk kembali. Berkali mengangguk. Kulihat senyumnya masih menggantung di bibir manisnya. Dia menghela nafas panjang. Kemudian aku mendekat, berharap dia mau menerima uangku dan menyerahkan KTP-ku, agar aku tidak punya beban padanya. Namun uang itu dimasukkan kembali ke tasku. Dengan isyarat telunjuk yang ditempelkan ke bibirnya, dia menyuruhku diam. Kurasakan wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Mulutnya membuka, mencoba menemukan mulutku. Untuk pertama kalinya, aku merasa nyaman dengan laki-laki. Mungkin karena dia adalah seorang polisi, yang selain macho, ada sensasi tersendiri yang telah sejak lama kukhayalkan.

Aku mulai mengikuti aksinya. Dengan aktif kulumat bibirnya. Begitu juga dia. Nafas kami mulai berpacu, dan membakar gairah petang. Kami berpagutan lama, seolah kami benar-benar merindukan hal itu sangat lama. Lidahnya sangat nakal bermain di mulutku, kusedot balik lidahnya. Dia mulai mengerang. Tanganku mulai menggerayangi selangkangannya. Kurasakan benjolan keras di balik celana panjangnya. Aku mulai tak tahan.

Kubuka kaos ketatnya, agak kesulitan memang, namun semua sebanding dengan badan tegap nan berisi yang ditawarkannya. Kekar tubuhnya yang terlatih setiap hari, semakin menggetarkan hasratku, aku semakin kesetanan. Kuraih celana panjangnya, dan mencoba melepasnya. Masih dengan berpagutan, aku berhasil menelanjanginya. Penis yang terbungkus celana dalam yang sangat ketat, kujamah dengan tanganku. Kupermainkan, agak sedikit kasar. Dia mengaduh, namun tetap membiarkan aksiku. Dia masih sibuk dengan gairah di mulutku. Tangannya mulai menuruni dadaku, mencoba mencari benda kesayanganku.

Aku terpekik, ketika tangannya mulai menemukan penisku. Dia mulai gemas. Dengan kasar, dia renggut apa pun yang kupakai. Tak kalah kasarnya, kutarik celana dalamnya, sekali lagi dia mengaduh, namun tak lama aku didekapnya erat. Penisnya yang keras, menusuk perutku, begitu pula penisku, ketika kami yang sama-sama telanjang, kembali berpagutan.

Aksinya yang kasar namun romantis, membuatku melambung tinggi. Mulutnya dengan ganas menyedot dua putingku bergantian. Aku mengerang. Aku dekap kepalanya yang berambut cepak, saat sensasi hebat bermain di kedua putingku. Aku semakin melambung, saat lidah kasarnya menjilati putingku. Tanganku tak kalah hebatnya mencakar daerah selangkangannya, dan merancap penis besarnya.

"Uuh, Yeahh". Kata-kata itu berulang kali keluar dari mulutnya, semakin membuatku begitu menikmatinya. Apalagi ketika mulutnya mulai menemukan penisku, aku mengerang.

Berkali-kali disentilnya penisku. Dua pelirku, tak luput dari gigitan nakalnya. Bergantian mulut indah itu mengulum buah pelirku. Sesekali aku mengaduh, saat dia menggigitnya. Kembali aku mengerang. Jari-jari tangannya menusuk-nusuk anusku, sementara mulutnya tak henti, bahkan semakin agresif menyedot penisku, seolah ingin meminum semua spermaku yang masih jauh di dalam. Sensasi di dua titik kenikmatanku, serasa melambungkan jiwaku. Aku mendesah, setengah terpekik.

Tak kalah agresifnya, aku berbuat hal yang sama. Kubanting dia, kemudian kurancap penisnya. Rasa jijik ketika menjilati penis yang sebelumnya ada, entah mengapa, dengannya justru berganti nikmat. Bagai kesetanan, berkali kugigit ujung penisnya, glands penisnya yang sudah berair kumainkan dengan ujung bibirku. Aku semakin bergairah, saat kulihat wajahnya yang memang tampan dan sangat jantan melukiskan berjuta rasa. Rasa antara nikmat, sakit, dan entah apalagi. Berkali mulutnya ternganga disertai desisan penuh kenikmatan, membuat aku ingin sekali melumat bibir itu. Namun aku lebih tertarik melumat penisnya. Tanganku meremas keras dua pelirnya. Dia terpekik, mulutnya masih menganga, mengimbangi sensasi yang dirasakannya, namun matanya terpejam.

Aku tak bisa menahan gairahku sendiri. Aku dekap erat dia. Aroma kelelakiannya menyebar dari tubuh kekarnya. Aku terbuai dan begitu gemas melihat reaksi yang diperlihatkannya. Begitupun dia. Kembali kami berpelukan erat. Tanganku masih bermain dengan penisnya, begitu juga dia. Kami sama-sama membisikkan kata yang semakin melambungkan gairah. Membisikkan kata terindah yang aku sendiri tidak tahu darimana datangnya.

"Oohh. Pakai seragammu, please!". Tiba-tiba aku sangat ingin melihatnya utuh sebagai polisi dengan seragam lengkap. Aku begitu ingin, seolah ada sensasi lain yang bisa kudapatkan.

Dengan berpelukan dan berciuman, dia menuntunku ke kamarnya. Seragam yang sekiranya akan dicuci, diambilnya dari tempat pakaian kotor. Dengan gairah yang masih tinggi, dia pakai seragamnya, komplet dengan sepatu, kecuali topinya, seperti yang kupinta.

Belum sepenuhnya selesai dia mengenakan seragamnya, aku sudah menubruknya. Kembali kami berpagutan, semakin panas, karena aku telah menemukan sensasi lain. Ahh, tubuhnya yang terbalut seragam penuh pesona itu benar-benar membuatku gila. Aku semakin agresif memagutnya serasa ingin melumat apapun yang dia miliki. Pantat, selangkangan dan apapun yang dia punya semakin membuatku melambung begitu dibalut seragamnya. Aku semakin gemas, mencengkeram apa pun yang ada padanya. Berkali dia mengaduh, namun tetap membiarkan aksiku.

Dengan paksa kubuka retsliting celananya. Aku benar-benar sudah tidak tahan. Kukeluarkan penis besarnya, berikut dua buah pelirnya. Sengaja kubiarkan tidak membuka celana panjangnya, karena aku ingin dia tetap dengan seragamnya. Semakin agresif aku mengunyah penisnya. Dua tanganku pun seolah tidak ingin melewatkan sensasi indah itu. Penis dan buah pelirnya yang menjulur dari retsliting celana coklat tua itu, membuatku kesetanan.

Dia mengamuk berat saat kupercepat aksi tanganku di penisnya. Aku dibanting ke bibir tempat tidurnya. Tubuhku terhempas ke kasur, sementara pahaku menjulur ke lantai. Penisnya yang keras, memerah dan panas, mencoba menusuk pantatku. Aku terpekik, saat berkali penisnya mencoba menusuk anusku. Tangannya berkali mengambil ludah dari mulutnya, dan dilumurkan ke anusku, berharap penisnya akan sedikit gampang masuknya. Namun tetap saja sulit, dan aku merasa kesakitan, karena inilah pertama kalinya anusku tersodomi. Aku memejam, begitu kurasakan dia memperlambat aksinya. Dengan lembut jarinya menusuk-nusuk anusku, mencoba mencarikan jalan untuk penisnya.

Kembali aku terpekik, saat glands penisnya mulai masuk ke anusku. Aku mengaduh, setengah mendesis. Berkali pula dia mendesis, sambil mengucapkan kata-kata indah, mencoba memberiku semangat. Gairahku semakin melambung, saat kulihat wajahnya yang mulai berkeringat, menegang. Mulutnya menganga dan mendesah saat penis yang menjulur dari retsliting seragamnya berjuang masuk ke anusku.

Kulumat jemarinya, saat dia telah berhasil memasukkan hampir semua penisnya. Aku benar-benar merasakan sensasi hebat, yang baru pertama kali kurasakan. Rasa mengganjal di anusku. Penisnya yang beraksi di anusku benar-benar memberikan pengalaman pertamaku, dan sebanding dengan kenikmatan yang didatangkannya. Pelan, dia maju-mundurkan pantatnya. Kami mendesis bersahutan. Tanganku beralih ke penisku. Kurancapnya semakin kencang. Aku benar-benar sudah tidak bisa menahan gairahku demi melihat wajahnya yang semakin tegang menghadirkan berjuta rasa. Kubiarkan sperma mulai memasuki ujung dalam penisku. Kurasakan sperma itu begitu kencang mengalir, memenuhi kantung spermaku.

Aku mempercepat aksiku. Rasa nikmat berganda di penis dan anusku, seolah melambung ke ubun-ubunku. Aku mulai mengejang kuat seiring dengan percepatan reaksi di penisku, dan akhirnya aku mengerang panjang saat spermaku mulai muncrat deras. Saking derasnya, sperma itu muncrat ke wajahnya. Refleks dia mendekapku erat, dengan penis masih menancap di anusku, mencoba memberikan semua birahinya.

"Hayoo, sayang! Ougghh!".

Dia membisikkan berbagai kata di telingaku, mencoba menambah gairahku. Penisku yang baru sekali memuntahkan sperma, berdenyut di baju seragamnya. Aku yakin, seragamnya akan belepotan spermaku seperti halnya wajahnya yang belepotan muncratan spermaku, karena saat dia dekap erat aku, aku masih merasakan kejang penisku memuntahkan spermanya. Tangannya mengurut penisku dengan kasar.

Belum habis sensasi yang kurasakan, dia melepas dekapannya. Wajahnya kulihat semakin tegang dan mengejang. Mulutnya ternganga, matanya berkejap-kejap. Desahan dan erangan berkali keluar dari mulutnya, saat dia mempercepat aksi penisnya di anusku.

Aku sangat menikmati saat dia berada di puncak gairah. Dengan seragam lengkap, wajah menegang, mulut menganga, mendesah. Mata berkejap-kejap, membuatku menemukan sensasi indah. Akhirnya dia meraung panjang, saat spermanya mulai muncrat. Dicabutnya penisnya dari anusku, dan ditempelkan di penisku. Spermanya yang panas, dan lengket kurasakan membasahi penisku yang setengah melemas. Kurancap kuat penisnya. Berkali dia mengerang panjang.

Tanganku masih mengurut penisnya, saat dia dengan erat dan mesra mendekapku. Bibirnya berkali mengecup keningku, dan aku pun membalasnya. Kuucapkan terima kasih, lirih. Dia pun mengatakan hal yang sama. Kami masih berpelukan erat, entah berapa lama.

Ternyata aku mulai menemukan sensasi indah yang semula kuanggap aneh. Aku mulai menikmati lekuk tubuh lelaki, yang semula masih bisa kutahan dengan melampiaskan gairah itu pada istriku. Aah..!


E N D

Tukang Pijat Keliling


Pada malam-malam tertentu di sekitar kompleks rumah kost-ku ada beberapa tukang pijat keliling yang suka lewat. Kedatangan mereka ditandai dengan suara-suara yang berasal dari kaleng-yang entah diisi apa-hingga mengeluarkan bunyi-bunyian yang khas. Beberapa kali aku pernah mencoba memakai jasa mereka kalau kebetulan badanku lagi pegal-pegal dan ingin dipijat. Sebenarnya pijatan mereka tidak terlalu enak dan kelihatan 'amatiran' dibandingkan tunanetra yang memang terlatih untuk memijat. Makanya tak jarang aku memakai jasa tukang pijat keliling itu untuk tujuan iseng saja: ketika libidoku lagi tinggi. Sayangnya niatku yang satu ini belum pernah kesampaian secara tuntas. Kadang-kadang orang yang kupanggil ternyata kurang menarik seleraku. Tapi begitu ketemu yang rada cocok, ternyata tidak mau menanggapi permintaanku, meski aku cuma sekedar minta 'dipegang-pegang' saja. Kalau sudah begitu biasanya aku tidak akan memakai jasa mereka lagi.

Sampai pada suatu malam, ketika aku sedang asyik nonton TV, tiba-tiba terdengar suara khas itu. Semula aku agak ragu, jangan-jangan yang lewat orang yang itu-itu lagi. Aku lalu keluar rumah dan berdiri di depan teras menunggu si tukang pijat lewat. Ternyata ia bersepeda dan tampaknya belum pernah kupakai jasanya. Setelah yakin, aku memanggil dan memintanya untuk menyusul ke kamarku.

Seperti biasa, aku mencopot seluruh pakaianku. Dan ketika tinggal celana dalam yang akan kulepas, orang itu mengetuk kamarku dan segera kupersilakan ia untuk masuk.

"Saya copot semua ya Mas," kataku sambil melepas celana dalamku.

Orang itu cuma tersenyum dan mulai menyiapkan perlengkapan pijatnya. Aku segera berbaring telungkup di atas kasur.

"Belum pernah lewat sini ya?" tanyaku membuka obrolan.

Kali ini ia sudah duduk di samping kanan dan mulai memijat telapak kakiku.

"Pernah. Tapi baru sekali ini mijat di sini," sahutnya datar.

Mungkin waktu ia lewat aku sedang tidak di tempat atau sedang tidak perlu jasa pemijatan.

"Nggak 'pa-pa kan saya telanjang begini?" pancingku.
"Nggak 'pa-pa," sahutnya ringan. Logat Jawanya cukup kental. Ia mulai memijat bagian betis dan kakiku.
"Orang lain ada yang dipijat sambil telanjang begini nggak?" tanyaku lagi.
"Ada juga. Tapi kadang ditutupi sarung atau handuk."
"Sampean banyak langganannya?" tanyaku lagi.
"Belum. Saya belum ada satu bulan jalan."

Pantas. Tapi pijatannya lumayan enak. Katanya ia memang punya pengalaman memijat di kampungnya. Sayangnya di sana jasa pemijatan kurang laku. Makanya ia mencoba mengadu nasib ke Jakarta.

Terus terang dari awal aku tertarik sama orang ini. Wajahnya cukup menarik. Berkumis. Rambutnya ikal agak cepak. Tingginya sedang saja, tapi badannya lumayan kekar dan kulitnya agak gelap. Rupanya ia dari Jawa Timur (masih ada turunan Madura, katanya), sudah beristri dan belum punya anak. Kutaksir umurnya belum ada 30-an.

"Saya sudah tiga puluh tiga tahun kok," ia meralat tebakanku.
"Masa sih? Berarti sampean awet muda dong," sahutku mulai menjurus. Ia cuma ketawa ringan.

Pijatannya sudah mulai menyentuh belakang pahaku. Aku sengaja menggelinjang beberapa kali. Aku yakin ia bisa melihat biji pelirku dari celah belakang pahaku. Aku memang sengaja memposisikan telungkupku sedemikian rupa sehingga bijiku terjepit ke arah belakang. Maksudnya memang untuk memberi 'pemandangan provokasi' padanya. Kontolku sendiri sudah ngaceng dari tadi. Terus terang malam ini tadinya aku berniat mau ngocok. Karena sudah hampir seminggu ini aku tidak 'muncrat. Biasanya aku melakukan onani minimal tiga kali dalam seminggu. Cukup sering memang. Tapi kalau lagi 'tinggi' begini mau gimana lagi? Gairah seksualku selama ini memang lebih banyak kusalurkan lewat onani. Sudah lama aku tak ketemu laki-laki yang cocok untuk diajak nge-sex.

Aku kembali mulai menggelinjang, ketika pijatannya sudah mulai merambah bagian pantatku. Aku paling senang kalau dipijat di bagian ini. 'Si Otong' jadi semakin kencang saja. Ingin rasanya aku segera berbalik dan meminta dia melocoku. Tapi terus terang aku agak ragu. Aku takut kalau ia seperti tukang pijat yang lain, tak mau diajak 'main-main'.

"Geli Mas.." aku agak 'mengaduh' sambil nyengir dan mengangkat pinggul ketika ia menekan pantatku agak keras.

Tapi ia tak bereaksi dengan komentarku, hanya agak mengendurkan pijatannya.

"Saya kalau dipijat pantatnya, suka tegang sendiri.." aku mulai berkomentar lagi, sambil kuselusupkan tanganku ke bawah membetulkan posisi 'rudal'-ku.
"Sekarang lagi tegang ya?" tanyanya setengah bercanda. Pancinganku mulai masuk.
"Iya nih. Dari tadi!" balasku sambil menengok ke arahnya, "Sudah seminggu ini nggak dikeluarin sih," aku mencoba becanda sambil melihat reaksinya. Ia cuma tersenyum sambil terus mengurut. Kali ini gantian pinggulku yang jadi sasaran pijatannya.

Aku lalu agak menggeser tubuhku untuk meraih remote control dan menyetel musik. Aku tak ingin pembicaraanku yang sudah mulai mengarah ini terdengar sampai keluar kamar. Ketika tubuhku beringsut, aku sengaja memperlihatkan sebagian batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat itu. Aku yakin ia pasti sempat melihat bagian tubuhku itu. Kulihat matanya tadi sempat melirik.

"Sampean sih enak, punya isteri," aku kemudian meneruskan obrolan setelah kembali telungkup.
"Isteri saya di kampung kok Mas," sahutnya.
"Lha?" aku kaget tapi cukup senang juga karena punya celah untuk ngomong lebih 'jauh'.
"Tapi sampean kalau lagi pingin 'kan bisa pulang. Lha kalau saya?" lanjutku.
"Pulang? Emang nggak pake ongkos?" balasnya sambil ketawa.
"Terus kalau lagi kepingin gimana?"
"He he he.. Mas ini kok suka mancing-mancing sih?". Sialan! Ia tahu arah pembicaraanku. Tapi aku ketawa juga mendengar kalimatnya.
"Saya sih, terus terang kalau lagi pingin, ya ngocok saja..," aku mulai berterus terang.
"Tapi kok seminggu ini belum dikeluarin?" tanyanya cukup 'kritis' juga. Nadanya rada becanda, membuatku mulai tumbuh harapan.
"Maunya sih dikeluarin. Tapi masa di depan sampean?" balasku sambil ketawa. Ia diam tak menanggapi kalimatku, tapi sempat kudengar ia menarik nafas. Entah apa artinya.

Beberapa saat kemudian ia memintaku untuk berbalik telentang karena bagian belakang sudah selesai dipijat. Nah, ini dia!

"Nih lihat!" kataku begitu berbalik telentang menghadap ke arahnya, sambil kutunjukkan batang kontolku yang masih membesar tegang ke arahnya. Ia tersenyum geli melihat ulahku. Tapi matanya agak takjub demi melihat batang kemaluanku yang meradang itu. Mungkin ia belum pernah melihat kemaluan laki-laki lain. Atau mungkin ini pengalaman aneh baginya. Atau ia memang suka dengan pemandangan yang kuberikan. Entahlah, aku tak peduli. Aku hanya ingin memprovokasi dia. Maka, dalam posisi telentang itu, aku mulai meremas dan mengurut-urut sendiri punyaku. Sementara ia mulai memijat bagian depan kaki dan pahaku. Senjataku secara frontal nyaris tegak mengacung di hadapannya. Sengaja aku memamerkan semua ini. Toh dari tadi aku sudah cukup terbuka padanya.

"Gede juga," tiba-tiba ia nyeletuk dengan tawa tertahan. Sialan, aku tambah ngaceng mendengar komentarnya.
"Gedean mana sama punya sampean?" pancingku.
"Hmm.. Sama lah," sahutnya.

Tiba-tiba tangannya yang tengah memijat pahaku itu terulur dan meraih punyaku. Aku sempat menahan nafas. Ada beberapa saat ia sempat menggenggam dan meremas batang kemaluanku. Darahku langsung berdesir. Aku hampir berteriak kegirangan. Tapi sesaat kemudian ditariknya lagi tangannya. Terus terang aku kecewa. Tapi keyakinanku mulai timbul lagi.

"Punya sampean keras banget," rupanya tadi ia ingin mengetes kematangan 'pisang ambon'-ku. Komentarnya membuatku semakin terinspirasi untuk berbuat lebih jauh. Aku kembali mulai memilin-milin batang kontolku. Bahkan kali ini aku mulai melakukan gerakan mengocok, pelan dan kuat secara bergantian. Beberapa kali kutangkap matanya memperhatikan gerakan tanganku dengan pandangan tertentu. Membuatku semakin vulgar beronani di depan dia.

"Sampean mau bantuin nggak?" akhirnya aku meminta. Kurasakan kalimatku agak tercekat oleh gejolak birahi yang makin mengental. Kulihat dia sempat menarik nafas. Lalu kembali ia cuma senyum-senyum saja dan meneruskan pijatannya di pahaku. Ya sudah, pikirku. Aku akan menyelesaikannya sendiri kalau memang ia tak mau.

Ada beberapa saat aku asyik meloco dengan kocokan-kocokan yang makin kuat dan liat. Cairan bening sudah banyak keluar dari lubang kecil di ujung kepala kontolku dan mulai meleleh. Aku meraihnya dan mengoleskannya ke sekujur batangku, lalu menggunakannya sebagai pelumas. Kembali aku memompa kontolku dengan gerakan yang sudah rutin aku lakukan. Aku mulai melenguh kenikmatan. Sementara ia masih mulai memijat bagian dada dan perutku. Matanya sesekali mengamati perbuatanku dengan pandangan agak serius.

Akhirnya aku tak kuat lagi. Kucoba meraih tangannya dan mengarahkannya ke selangkanganku. Semula ia pasif saja. Tapi tanganku terus membimbingnya untuk meremas dan mengocok milikku. Sampai sesaat kemudian ia mulai merespon. Pelan-pelan kulepas tanganku. Kini tangannya mengambil alih memijat milikku! Sementara tangannya yang lain pelan-pelan mulai mengusap-usap dan mempermainkan jembut yang ada di bawah perut dan sekitar lipatan pahaku. Bingo!

Aku menghela nafas lega, memejam mata dan meresapi sentuhan tangannya. Akhirnya kesampaian juga keinginanku untuk di-onani oleh seorang tukang pijat. Kegembiraanku lalu berganti dengan desah dan lenguh kenikmatan. Ia benar-benar mau membantuku. Sentuhan jari dan tangannya memang sepertinya terlatih untuk memijat. Kadang hanya dengan dua jari ia menjepit batangku, lalu memijat-mijatnya, dan itu sudah menimbulkan rasa yang sangat enak sekali. Jarinya bergerak laksana sedang memanjat sebuah pohon berbatang lurus dengan gerakan naik turun secara teratur.

Beberapa saat kemudian ia menjepitkan jarinya pada pangkal kemaluanku sehingga membuat batang dan kepala kontolku padat mengeras. Aku senang karena ia penuh dengan inisiatif. Apalagi kemudian ia melumuri sekujur otot kenikmatanku itu dengan minyak yang tadi digunakan untuk memijat. Sesaat kemudian jari-jarinya mulai mengelus, memilin dan mengurut batangku yang mengeras dan penuh minyak itu dengan gerakan yang benar-benar terampil. Badanku sampai bergidik merasakan hasil perbuatannya. Tapi ia malah senyum-senyum melihat aku tersiksa oleh perbuatan tangannya itu. Cukup lama ia mengerjai milikku dengan cara seperti itu, sebelum akhirnya ia melocoku dengan gerakan yang umum dilakukan laki-laki bila sedang onani. Rasanya enak sekali..

"Sampean mau?" tanyaku di sela-sela acara main-main itu. Ia menggeleng dengan gerakan yang lucu. Tapi tanpa sepengetahuannya aku berusaha meraih selangkangannya dan menemukan sebuah tonjolan kenyal yang padat di depan celananya. Aku meremasnya. Ia kaget karena memang tidak menyadari perbuatanku. Ia berusaha menepis tanganku, tapi aku bertahan. Dan akhirnya ia menyerah. Membiarkanku meremas-remas.

Kurasakan tonjolan di bagian depan celananya itu mulai memadat. Aku terus berusaha meremas dan mengelus-elusnya dengan kuat. Ia kembali berusaha menepis, tapi aku setengah memaksa. Ia lalu mempergencar rangsangannya pada batang kemaluanku agar perhatianku teralih. Bahkan tangannya berusaha mengatur posisi kaki dan pahaku agar lebih terkangkang. Lalu ia mulai mengocokku dengan gerakan lebih liat dan kuat. Sisa olesan minyak tadi memperlancar gerakan tangannya, membuat kontolku meluncur-luncur licin dalam genggamannya. Benar saja, konsentrasiku buyar dan aku melepas tanganku dari selangkangannya. Aku kini lebih terfokus menikmati pijat auratnya itu. Kurasakan desiran-desiran rasa nikmat mulai merayapi pangkal kemaluanku. Tubuhku beberapa kali menggelinjang tak terkendali. Sementara ia mempermainkan kontolku dengan berbagai variasi yang setiap gerakannya memberiku rasa nikmat yang terus mengalir. Mulutku hanya bisa ber-'ah uh' saja merasakan itu semua. Dan ketika ia mulai mengerjai biji pelirku dengan cara meremasinya dengan minyak, sementara tangannya yang lain mengurut-urut batangnya, aku mulai merasakan puncak birahiku datang menjelang. Beberapa kali tanpa sadar pantatku tersentak ke atas, seiring gerakan yang ia lakukan pada wilayah di sekitar alat vitalku itu.

Aku merintih dan terus merintih. Nikmat itu makin mengental. Ia mengurut dan terus mengurut. Makin nikmat. Tambah nikmat, dan.. Ohh, tubuhku melenting, menggeliat, menggelepar tak karuan. Kucengkeram ujung sprei yang sudah sejak tadi berantakan dan basah oleh keringatku. Tubuhku mengejang. Mulutku mendesis-desis keenakan. Dan akhirnya aku mengerang cukup keras ketika ejakulasiku datang dengan derasnya.. Perut dan spreiku basah oleh cairan mani yang memancar banyak dan berkali-kali dari ujung lubang kontolku. Aku berusaha menahan tangannya yang terus menggenggam milikku yang sudah kelojotan itu. Tapi ia bertahan. Dan ia baru melepas tangannya ketika aku berusaha menggapai-gapai dan membalas meremas selangkangannya.

Ada beberapa saat kami saling meremas-remas. Kurasakan senjatanya sudah sangat mengeras. Ketika aku berusaha membuka celananya, ia malah berdiri dan kemudian menarik resleting dan melepas sendiri celananya sehingga kini bagian bawah tubuhnya hanya tertutup celana dalam saja. Sementara ia belum melepas kaos oblongnya yang mulai basah oleh keringat itu. Terus terang aku takjub dan kaget dengan apa yang ia lakukan. Malam ini aku tak hanya mendapat service tambahan, tapi tampaknya sebentar lagi akan kudapatkan juga tubuh laki-laki ini.

Ketika celana dalamnya yang berwarna putih itu akan dilepasnya, aku menahannya. Aku lalu duduk di tepi ranjang, menghadap dia yang berdiri mengangkang di depanku. Dan ketika ia sibuk melepas baju kaosnya, kuulurkan tanganku untuk meraih benda bulat panjang yang menonjol miring di bagian depan celana dalamnya. Kuelus dan kugosok-gosok sekujur otot kelelakiannya itu. Ia menghela nafas beberapa kali merasakan perbuatanku. Dadanya yang bidang itu kembang kempis oleh desakan nafsu birahinya. Sesekali tanganku merayap ke sana, memainkan putingnya yang banyak ditumbuhi rambut halus.

Ketika akhirnya kain segitiga putih yang membalut sisa tubuhnya itu kutarik ke bawah, kulihat batang bulat panjang dengan kepala kontol yang besar membonggol, basah oleh cairannya sendiri. Jembutnya lebat keriting. Kulit skrotum-nya padat dan penuh bulu. Aku mengelus-elus bagian itu. Dan kurasakan tubuhnya bergidik. Dan ia pelan-pelan meregangkan pahanya. Seolah memintaku untuk berbuat lebih. Dan aku meneruskan perbuatanku mengelus-elus biji pelirnya. Tubuhnya kembali bergetar akibat sentuhanku itu. Beberapa saat kemudian tangannya bergerak ke bawah dan mencoba mengocok miliknya sendiri. Kubiarkan. Aku justru menikmati pemandangan langka: seorang laki-laki tengah onani. Tubuhnya tersengal-sengal oleh gerakan tangannya yang menurutku agar kasar itu. Nafsunya mungkin sudah sampai ke ubun-ubun. Mulutnya menggeram tak jelas. Aku takut ia muncrat sebelum aku sempat menikmatinya. Kuminta ia untuk berbaring saja di kasur. Dan ia menurut.

Tubuhnya segera rebah. Pahanya yang gempal padat itu langsung terbuka mengangkang. Poisisinya seolah memintaku untuk segera 'menyetubuhi'nya, layaknya beberapa laki-laki yang pernah tidur denganku. Aku lalu naik ke ranjang dan memposisikan tubuhku di antara rentang pahanya. Tanganku langsung menggenggam. Benda bulat panjang itu pun langsung bereaksi. Berdenyut-denyut dalam genggamanku. Hangat dan pejal. Tubuhnya mulai gelisah. Matanya terpejam tapi mulutnya seperti ikan tengah kehabisan air.

Kini gantian aku harus melayani hasrat seksual laki-laki pemijat yang baru kukenal ini. Malam ini aku seperti mendapat durian runtuh. Dan durian itu sebentar lagi akan kubelah. Kuendus aromanya. Aroma khas tubuh lelaki: bau selangkangan yang lembab oleh keringat birahi. Sementara daging dalam genggamanku laksana daging durian yang mengkal siap santap. Maka, aku pun tak kuasa untuk langsung melahapnya! Aku tak peduli apakah ia tahu perbuatanku atau tidak, berkenan atau tidak, aku tak peduli. Mulutku langsung penuh. Langsung melumat dan melamuti bagian kepala 'durian' runtuh ini. Ia menggeliat dan mulutnya mengerang penuh kenikmatan. Tiba-tiba kurasakan tangannya memegangi kepalaku. Jadi ia tahu apa yang kuperbuat. Dan tampaknya ia menyukainya. Tangannya berusaha menekan kepalaku, memintaku untuk menelan lebih banyak dan lebih dalam. Terus terang aku harus berusaha keras karena ukurannya gede. Tapi aku menyukainya. Daging kontolnya terasa liat dan legit dalam jepitan mulutku. Meluncur licin dalam pilinan lidah dan bibirku. Benda itu sudah basah kuyup oleh ludah dan mungkin precum-nya yang sesekali terasa asin di lidahku. Kontol tukang pijat ini memang enak untuk diisap dan dikenyot-kenyot.

Entah sudah berapa lama aku tak menikmati kontol lelaki. Makanya malam ini aku seperti balas dendam. Bukan hanya batang dan kepala kontolnya saja yang jadi bulan-bulanan mulutku. Daerah sekitar celah paha dan selangkangannya yang penuh bulu pun tak luput kujelajahi. Beberapa kali ia sempat meronta kegelian, sampai aku harus menindih kakinya agar tak banyak bergerak. Dan ketika aku menarik batang penisnya ke atas, lalu secara merata kujilati kantung pelir dan daerah bawah di dekat lubang anusnya (tulang pirenium), ia mengerang dan punggungnya terangkat. Tentu saja ia kegelian. Aku pun pernah merasakan dikerjai di daerah itu. Makanya tak heran, suara 'ah-oh' yang panjang mulai keluar dari mulutnya ketika aku terus menelusupkan mulutku ke bagian itu. Beberapa kali kudengar guMaman dan suara menggeram yang tak jelas dari mulutnya. Ia terlihat sangat kenikmatan. Sekilas kulihat tubuh dan wajahnya sudah penuh keringat. Kumisnya tampak basah, sementara mulutnya menguncup dengan nafas yang menderu.

Beberapa saat kemudian tubuhnya menggelinjang hebat. Pahanya berusaha menjepit kepalaku yang masih terbenam di selangkangannya. Terus terang aku agak kewalahan.

"Aku mau keluarhh.. Mau keluarhh..," desahnya sambil mengarahkan tangannya ke kontolnya. Aku segera mengambil alih. Dan ia menarik tangannya kembali. Segera ku-onani dia dengan gerakan yang pelan namun liat bertenaga. Kini kedua tangannya terentang ke atas. Pasrah dalam kenikmatan. Kepalanya meliuk-liuk tak karuan. Bulu ketiaknya yang lebat tampak menyeruak basah penuh keringat. Kedua kakinya kini terjulur, merentang ke samping. Tapi pinggulnya pelan-pelan bergerak ritmis, seiring kocokan tanganku. Tampak sekali ia menikmati perlakuanku.

Ada beberapa saat suasana agak hening. Yang terdengar hanya suara kocokan tanganku pada kontolnya dan desah kenikmatan dari mulutnya. Pinggulnya sesekali masih berputar-putar mengikuti remasan yang kulakukan. Lalu pelan-pelan ia mulai gelisah. Kali ini pantatnya mulai menyentak-nyentak ke atas. Lalu gerakan pinggulnya makin tak teratur. Patah-patah. Lalu mengejang. Dan akhirnya cairan putih kental menyembur banyak dan berkali-kali dari lubang kontolnya. Sebagian tumpah di atas perut dan dadanya. Tapi ada sebagian tadi yang muncrat ke wajahku. Segera saja aroma khas sperma menyebar. Aku menghirupnya laksana udara pagi yang segar menyehatkan. Aku puas melihat ia puas. Tapi tanganku masih berusaha memijati batang kontolnya yang mulai melemas. Sementara ia menggelepar lunglai dengan tubuh basah kuyup. Sesekali tubuhnya tersengal diiringi suara desah kepuasan dari mulutnya. Matanya merem melek, sayu, tapi penuh rasa puas.

"Gimana? Enak kan?" kataku sambil mendekat ke wajahnya. Senyumnya mengembang. Tangannya lalu meninju bahuku. Kami lalu tertawa bersama.
"Sampean ini..," katanya sambil berusaha bangun.
"Kenapa?" tanyaku.
"Bisa saja..," sahutnya masih tak jelas.
"Sampean nyesel ya?" tanyaku lagi. Ia menghela nafas. Lalu menggeleng.
"Belum pernah saya begitu," katanya.
"Begitu gimana? Diisap?" tanyaku penasaran.
"Semuanya!" sahutnya. Kembali kami tertawa.
"Tapi gimana? Enak 'kan? Suka nggak?" aku memberondong.
"Yahh, lumayan. Sudah dua minggu nggak muncrat!" katanya sambil ngakak.

Pantas, kataku dalam hati sambil mengamati tubuh bugilnya yang mulai beranjak bangun. Baru kusadari kalau laki-laki ini sexy sekali. Seluruh rambut dan bulu yang ada di tubuhnya tampak basah oleh keringat. Aku membiarkannya beberapa saat, sebelum akhirnya kupinjami ia handuk untuk mengeringkan tubuhnya.

Kami lalu berpakaian. Kubayar ia dua puluh ribu, tarif standar. Lalu kutambahi sepuluh ribu. Ia tertawa dan berusaha menolak, karena ia juga merasa mendapat 'service tambahan'. Tapi aku memaksanya untuk menerima uang itu. Tentu saja aku mengharap dia masih mau datang lagi. Dengan gaya kocak ia mengiyakan permintaanku, meski aku sendiri ragu.

Malam itu aku tidur dengan rasa puas. Puas karena kudapatkan laki-laki yang mungkin bisa jadi tempat pelampiasan birahiku selama ini. Hanya satu yang agak kusesali mengenai kejadian malam itu: aku lupa menanyakan namanya!

Ternyata namanya Hasbi. Suatu malam, setelah kurang lebih sebulan sejak pertemuan pertama dulu, dia kembali muncul. Kudapati ia sedang duduk di teras depan rumah kos menunggu aku pulang dari kantor. Katanya ia menunggu sejak maghrib tadi. Terus terang aku surprise dengan kedatangannya yang tampaknya sangat diniati itu. Tentu saja aku senang. Karena ia pasti punya maksud lebih dari sekedar ingin menawarkan jasa pemijatan.

"Kok tahu kalau saya lagi pegal-pegal?" aku mulai becanda setelah kami saling bersalaman dan bertegur sapa layaknya kawan akrab. Ia cuma ber-'he he he' saja menanggapi guyonanku. Segera kupersilakan ia masuk ke kamar. Saat itulah aku menanyakan namanya dan ia menanyakan namaku. Lucu juga, kami baru berkenalan setelah sekitar sebulan ketemu.

Ternyata ia baru datang dari kampungnya. Ia membawa travel bag penuh berisi pakaian dan oleh-oleh. Ada sebulan ini ia pulang ke kampung. Pantas, pikirku. Selama ini aku tak pernah melihatnya beredar. Waktu itu aku sempat berpikir, jangan-jangan ia kapok dengan kejadian yang pernah kami lakukan dulu.

"Ya nggak lah," jawabnya ketika kutanyakan hal itu, "Saya pulang kampung mendadak. Paman saya sakit. Sekarang sudah sembuh," lanjutnya bercerita.
"Oo, terus ke sini mau ngapain?" aku mencoba menggodanya. Awalnya ia agak kaget dengan pertanyaanku itu. Tapi aku lalu menetralisir dengan tawaku.
"kalau gitu, saya pulang saja deh!" balasnya pura-pura ngambek sambil ketawa.

Aku lalu berbaring melepas penat. Sementara ia sibuk dengan isi travel bag-nya dan memberiku oleh-oleh makanan khas kampungnya.

"Makasih Mas Hasbi. Sampean baik banget sih," kataku.
"Walah, wong cuman oleh-oleh gitu kok," sahutnya dengan nada kocak.

Hasbi kulihat tampak lebih legam. Rambut ikalnya juga terlihat agak panjang. Ia sedikit gemukan. Tapi terus terang ia jadi kelihatan lebih ganteng. Cambang dan berewoknya tampak tak tercukur. Tapi menurutku malah pas dengan kumisnya yang khas itu.

"Mas Bowo, saya boleh numpang mandi nggak?" tanyanya kepadaku. Sialan! Mendengar kata 'mandi', tiba-tiba ada yang mengeras di dalam celanaku.
"Boleh saja. Mau mandi bareng apa?" sahutku menggoda.

Ia memeletkan lidahnya ke arahku. Meledek. Aku geli melihat ulahnya. Tapi aku merasa ia masih 'jaga jarak' denganku untuk hal-hal yang sensitif. Dan aku tak mau memaksa. Lagi pula jam segini teman-teman kos sudah mulai pada pulang.

"Boleh saya pinjam handuknya?" katanya kemudian.
"Boleh," aku lalu mengambil handuk dari lemari pakaian dan memberikan kepadanya."Sabun dan lain-lain ada di kamar mandi, di tempat plastik warna hitam," kataku menjelaskan.
"Ok. Makasih. Tapi saya mau ngelempengin punggung sebentar ah!," katanya sambil berbaring di karpet.
"Tiduran di atas aja Mas," kataku.

Tapi ia menolak. Aku lalu beranjak, nyetel musik, ganti pakaian, ambil minuman buat dia dan kembali berbaring di kasur. Kulihat matanya terpejam berbantal kedua tangannya. Sementara kakinya bergerak-gerak mengikuti irama musik. Aku mengambil koran dan mulai baca berita.

"Kamar mandinya sebelah mana?" katanya tiba-tiba. Ia sudah berdiri, bersiap mau mandi.
"Dari kamar ini ke kiri. Terus ke ke belakang, belok kanan," kataku menjelaskan.
"Ok. Saya mandi dulu ya!" ia pamitan.
"Ok," sahutku pendek.

Tak kuteruskan membaca koran. Karena kembali aku merasakan ketegangan di dalam celanaku. Membayangkan ia mandi, sambil menggosok tubuhnya yang padat berbulu. Ah! Aku sampai merogoh ke dalam celanaku dan mulai mengelus-elus milikku sendiri. Malam ini ada kejadian dengan dia nggak ya? Pikiranku menerawang ke mana-mana. Lalu tiba-tiba mataku tertumbuk pada handuk yang tadi kuberikan padanya, ternyata masih ada di atas kursi. Ia lupa membawanya. Segera kuambil handuk itu dan kuantar ke kamar mandi. Pikiranku makin ke mana-mana. Terus terang birahiku jadi naik. Nafasku menderu. Beberapa kali aku sampai menarik nafas.

Ada beberapa saat aku berdiri di depan pintu kamar mandi. Kebetulan waktu itu tidak ada teman kos yang kelihatan di sekitar situ. Sayup-sayup kudengar ia bersenandung. Entah lagu apa. Kontolku mulai ngaceng lagi.

"Mas Hasbi," kataku mulai mengetuk. Baru pada ketukan ketiga pintu dibuka.
"Handuknya ketinggalan," kataku setengah berbisik.

Ia sudah basah kuyup. Setengah tubuh bugilnya terhalang pintu. Tapi aku bisa melihat pinggulnya yang telanjang polos menyembul. Aku menelan ludah. Ia menerima handuk sambil tersenyum dan melihat ke arahku penuh arti. Sejenak kami bertatapan. Aku kembali menelan ludah.

"Makasih," katanya dan ada gelagat untuk tak segera menutup pintu.

Aku bisa menangkap sinyal-sinyal seperti itu dalam hitungan detik, dan tak boleh kusia-siakan. Maka kudorong pintu kamar mandi. Ia diam saja, bahkan mundur untuk memberiku jalan masuk. Begitu berada di dalam, mataku langsung terarah ke kontolnya. Besar, tapi belum tegang. Jembutnya yang lebat itu tampak basah kuyup. Kami lalu bertatapan. Hampir bersamaan aku dan dia menarik nafas. Sinyal kedua. Dan aku yakin akan ada kejadian malam ini. Maka segera kulolosi pakaianku, menemaninya mandi.

Punyaku yang sudah tegang itu langsung menyembul begitu celana dalam kulepas. Ia melirik dan tersenyum. Kami lalu saling memegang. Kuraih miliknya yang mulai membesar tapi belum tegang itu. Ia sempat menghindar, menarik pinggulnya ke belakang. Tapi aku terus mendesak sampai ia terpepet ke pinggir bak kamar mandi. Tanganku langsung menggenggam. Ia langsung menggeram. Kami lalu saling meremas. Kenikmatan langsung menjalar.

Dengan gemas aku meremas kontol yang selama sebulan ini memenuhi pikiranku. Tubuhnya yang basah memperlicin gerakan tanganku. Maka tak ada satu menit, batang kemaluannya yang besar itu langsung mengeras. Aku lalu mengguyurkan air ke tubuhku. Tentu saja ia terkaget. Tapi ini cuma trik untuk membuat suara-suara supaya tidak menimbulkan kecurigaan di luar. Tanganku lalu membuka kran sehingga suara aliran airnya lumayan bisa untuk menambah kamuflase.

Sedapat mungkin kami harus menahan suara-suara yang mencurigakan. Dan ini agak susah untuk dilakukan. Karena ketika tangan kami saling meremas dengan menggunakan sabun, rasa nikmat yang timbul sangat sulit untuk kami atasi. Hasbi terus mendesis-desis keenakan. Sementara nafasku terdengar menderu dari hidung dan mulutku. Mata kami sama-sama sayu tapi saling menatap tak berkedip. Kelihatan sekali kalau ia lagi bernafsu. Matanya memicing. Mulutnya menganga dengan nafas menderu. Rambut dan kumisnya yang basah membuatnya tampak sexy. Ada dorongan kuat ingin menciumnya. Tapi aku berusaha menahan diri. Takut malah merusak acara. Maka aku hanya bisa mendekatkan wajahku, sambil menikmati hembusan nafas birahinya yang panas menerpa-nerpa pipiku.

"Mau dikeluarin di sini?" tanyaku berbisik
"Terserah..," desahnya
"Enak?" tanyaku lagi sambil memilin kontolnya
"Enak banget.." jawabnya sambil membalas meremas kontolku dengan gerakan yang liat. Aku meringis. Memang enak..
"Mas Bowo mau dikeluarin juga?" tanyanya di sela-sela desahan

Aku diam, tak menanggapi. Aku takut kalau acaraku dengan dia hanya selesai kamar mandi ini. Terus terang malam ini aku menginginkan bisa berbuat lebih jauh dengan dia di tempat tidur.

"Atau kita ke kamar saja?" aku menawari.

Ia menggeleng dengan alasan tanggung. Berarti ia mau dituntaskan di sini. Ya sudah, pikirku. Aku pun tampaknya sudah tak kuat menahan desakan rasa nikmat di pangkal kemaluanku. Apalagi ia kini mulai memain-mainkan biji pelirku dengan busa sabun. Pahaku langsung meregang. Dan kurasakan tangannya malah makin menelusup ke bawah, ke celah pantatku, menggelitik sejenak, lalu kembali mengerjai biji pelir dan batang kemaluanku bergantian. Apakah ia kenal perilaku seksual sesama lelaki atau cuma kebetulan saja? Aku sempat menatap heran ke arahnya ketika ia menyentuh anusku tadi.

"Kenapa? Enak?" tanyanya sambil nyengir, menanggapi tatapanku.
"Eenghh..," aku hanya bisa mendengus sambil mulai merambah celah pantatnya juga.
"Geli nggak?" tanyanya lagi
"Gelian mana sama ini," sahutku sambil kutelusupkan jari tengahku ke celah pantatnya.

Suara 'oh' tertahan terlontar dari mulutnya. Kepalanya agak tengadah, dan matanya kemudian terpejam menikmati sentuhan jariku pada sela-sela pantatnya. Kunikmati ekspresi wajah laki-laki yang sedang kenikmatan itu. Sebuah pemandangan sexy yang jarang kulihat.

Ada beberapa menit kami masih saling merangsang dengan berbagai cara. Saling membalas. Bergantian menyentuh bagian-bagian yang kami anggap nikmat apabila disentuh. Dan acara saling 'nyabun' ini akhirnya mencapai puncaknya ketika Hasbi tiba-tiba mendesak tubuhku ke arah dinding kamar mandi, sambil berbisik kalau ia mau 'keluar'. Dirapatkannya tubuhnya ke tubuhku hingga kontol kami beradu dan saling menggesek dalam kondisi penuh dengan busa sabun. Tentu saja licin dan menimbulkan rasa geli yang enak. Aku pun langsung membalas gerakan pinggulnya.

Dan akhirnya kami saling berdekapan, saling menekan dan menggesek dengan asyiknya. Beberapa saat kemudian rasa enak itu berpuncak pada semburan air kenikmatan yang datang saling menyusul. Dia muncrat duluan diiringi erangan tertahan. Lalu menyusul milikku yang muncrat dalam genggamannya. Setiap semprotan yang keluar kami iringi dengan hentakan pinggul karena rasa nikmat yang luar biasa. Ia berusaha meredam ekspresi puncak birahinya dengan cara menekan mulutnya di bahuku sementara aku menenggelamkan wajahku di lehernya. Tangan kami saling berusaha menekan pantat agar makin merapat. Kurasakan titik pusat pertemuan di selangkangan kami makin terasa licin oleh campuran sabun dan air mani. Sesekali di sisa-sisa puncak kenikmatan, aku dan dia masih saling menggesek. Rasa geli yang muncul sesekali menimbulkan desiran dan membuat tubuh kami bergetar.

Ada beberapa saat kami masih saling berdekapan di dinding kamar mandi, sebelum akhirnya membasuh badan dan menyelesaikan mandi. Aku yang pertama kali keluar dari kamar mandi, sekedar untuk melihat situasi di luar, apakah ada teman kos atau tidak. Begitu suasana kulihat aman, aku segera memberitahu Hasbi untuk segera ikut keluar.

Sesampai di kamarku, kami langsung berganti pakaian dan segera keluar untuk cari makan malam. Hasbi berniat menginap. Tentu saja aku senang. Selesai makan, kami ngobrol-ngobrol santai sambil nonton TV. Kurang lebih jam 10 kulihat ia sudah molor di sampingku. Mungkin capek setelah melakukan perjalanan dengan bis antar kota yang makan lebih dari setengah hari. Mungkin juga capek oleh acara di kamar mandi tadi.

Ia tidur memakai celana pendek dan kaos milikku. Kuamati tubuhnya. Ia memang nampak lebih berisi. Perutnya tampak penuh, bergerak seiring dengkurnya yang halus. Dengan celana pendek yang dipakainya, pahanya yang penuh bulu itu terlihat padat kokoh. Wajahnya teduh. Meskipun ia agak 'berantakan' dengan cambang dan brewoknya yang sudah seharusnya dicukur. Dan ketika aku melihat kumisnya, kembali ada dorongan untuk menciumnya. Tapi aku tak yakin, meski tanganku pelan-pelan mulai menyentuh bibirnya. Kurasakan hembusan hangat dari hidungnya. Ia tak bergeming, bahkan ketika kubelai kumisnya. Aku sempat menarik nafas, sebelum akhirnya kuberanikan diri mencium bibirnya.

Ada beberapa detik bibir kami bertemu. Ia tetap tak bergeming, sampai akhirnya ia mendesah dan aku segera melepas ciumanku. Aku takut ia tak berkenan. Tapi kulihat matanya tetap terpejam, hanya bibirnya sedikit bergerak-gerak seperti orang tengah mengecap sesuatu. Lalu kembali terlelap. Aku mematikan lampu dan menyusul tidur.

Subuh. Udara dingin. Kurasakan ada tangan kokoh memelukku dari belakang. Sesaat kemudian aku sadar kalau Hasbi menginap. Dan kini ia tengah mendekapku. Kurasakan hembusan nafasnya di leherku. Mungkin ia memelukku tanpa sadar, mengira aku guling. Kudengar ia masih mendengkur pelan. Di luar masih gelap. Udara dingin subuh tampaknya telah membuat Hasbi mempererat dekapannya. Kakinya melingkar di pinggulku dari arah belakang. Dan sebuah benda padat agak kenyal terasa menekan bukit pantatku. Aku terangsang. Punyaku yang sudah bangun pagi itu jadi makin menegang. Apalagi tonjolan miliknya itu makin lama kurasakan makin mengeras menekan. Sesekali aku pura-pura menggeliatkan pinggulku sekedar untuk membuat gerakan menggesek. Tanpa sadar, Hasbi makin mempererat dekapan dan belitan pahanya ke tubuhku, seolah takut 'guling'-nya lepas. Setelah beberapa kali melakukan manuver itu, Hasbi akhirnya terbangun dan agak kaget menyadari ia tengah memelukku dari belakang.

"Sorry.." ujarnya pendek sambil menarik tangan dan kakinya yang tadi membelitku.
"Ehh.. sudah bangun?" balasku seolah-olah aku juga baru terbangun."Ada apa?" lanjutku pura-pura tak tahu.
"Nggak. Dingin aja," sahutnya pendek.
"Sama," kataku sambil memegang pinggangnya.

Ia diam saja, tapi kemudian pura-pura memukul perutku. Kupegang tangannya. Ia mengelak, dan kemudian malah melingkarkan tangannya. Memeluk tubuhku. Lalu kubalas pelukannya. Sesaat kemudian kami saling mendekap, saling mengelus punggung, makin dekat, makin erat. Lalu tiba-tiba tubuh kami sudah saling tindih, saling menggesek dalam dinginnya udara subuh.

Kudengar ia mulai mengeram pelan setiap bagian depan tubuh kami bersentuhan. Tak jarang ia membuat gerakan menekan, sehingga aku bisa merasakan kalau kemaluannya sudah mengeras. Ada beberapa saat kami bergelut dengan cara seperti itu. Sampai akhirnya kucoba menelusupkan tanganku ke celana pendeknya. Ia mendengus merasakan genggamanku. Ia lalu membalas. Maka acara pun berganti menjadi acara saling meremas.

Ia yang pertama kali menarik lepas celanaku, lalu menelanjangiku sebelum ia sendiri melepas seluruh pakaiannya. Oh, akhirnya kudapatkan laki-laki ini. Semua yang diinginkannya kini adalah mengajakku main sex pagi ini. Menyalurkan hasratnya yang sejak selama ini terus kupancing untuk dilampiaskan padaku.

Tubuh bugilnya langsung menghimpit tubuhku. Menekan dan menggesek-gesek. Sesekali ia menyelipkan kontolnya ke celah pahaku yang basah oleh keringat. Lalu tubuhnya menyentak, menyodok-nyodok. Kasar sekali.

"Masshh.." bisikku ke kupingnya, "Pelan-pelan.."
"Hheehh.." ia hanya mendengus lalu kembali menggeluti tubuhku.

Sejenak kemudian kuputar tubuhnya sehingga gantian aku yang menindihnya. Nafasnya menderu penuh nafsu. Perutnya yang penuh bulu itu tampak basah berkeringat. Kugenggam batang kemaluannya dan kukocok pelan-pelan. Ia mulai menggelinjang. Keenakan.

"Isapp.. Mass.." rintihnya tiba-tiba. Lalu kudekati wajahnya yang menegang penuh nafsu itu.
"Cium dulu.." kataku mencoba bernegosiasi.

Kudekatkan bibirku ke bibirnya. Sejenak kami saling bertatapan, sebelum akhirnya ia membuka bibirnya untuk kucium. Kucari cara agar ia benar-benar bisa menikmati ciuman antar lelaki ini. Kujilati dan kukulum bibirnya, kumasukkan dan kumainkan lidahku ke mulutnya, kucium ia dengan mesra, liat, bergantian. Dan ketika lidahnya kurasakan mulai mencoba masuk ke mulutku, aku merasa berhasil membuatnya menikmati ciuman dengan seorang lelaki.

Setelah puas berciuman, aku langsung menuju ke bawah untuk memenuhi keinginan oral seks-nya. Tubuhnya langsung menggeliat. Kedua kakinya meregang lebar-lebar, sehingga kepalaku leluasa menyelip. Kupegangi kedua pahanya dan kubenamkan wajahku ke selangkangannya. Bau tubuhnya yang segar langsung menyergap. Bulu kemaluannya yang lebat pun langsung menyeruak menggelitik hidung dan pipiku. Aku menghisap dan terus menghisap. Entah berapa banyak air liurku berlelehan di sekujur kontolnya. Sesekali kuusap dan kuremas kantung pelirnya dan kupermainkan tonjolan bijinya. Ia tersentak dan mengerang setiap kulakukan itu. Aku berharap ia tak segera ejakulasi, karena sebenarnya aku belum puas melamuti kontolnya. Tapi ketika aku mencoba menarik mulutku, tangannya langsung menekan kepalaku. Dan aku pun akhirnya harus menyelesaikan semuanya sampai ia orgasme. Spermanya sengaja kubiarkan menyembur ke dalam mulutku, berkali-kali. Baunya khas dan terasa masih segar di pagi hari ini. Usai pelepasan hasrat birahi itu, tubuhnya langsung menggelosor penuh kepuasan.

Beberapa saat kemudian kutindih tubuhnya. Tapi ia mengelak dan bergantian menindihku. Kurasakan tangannya menggenggam milikku. Meremas dan sesekali mengocoknya. Mata kami sempat bertatapan lama. Pandangannya sayu. Mungkin karena sisa orgasmenya masih ia rasakan. Sementara aku hanya diam menatapnya. Mataku meminta ia melakukan sesuatu padaku. Aku ingin tuntas. Mudah-mudahan ia mengerti maksud tatapanku.

"Kenapa?" tiba-tiba ia menanyaiku dengan mimik kocak. Mungkin ia menangkap tatapanku yang rada aneh.
"Jangan cuma dikocok dong..," balasku sambil mengelus tangannya yang masih terus memegangi milikku.
"Terus diapain?" sahutnya.

Aku ragu menyampaikan keinginanku. Tapi melihat sikapnya yang agak santai, aku akhirnya meminta ia untuk memilih: melakukan oral atau anal seks untukku. Kulihat wajahnya agak ragu, menimbang-nimbang. Sesaat kemudian ia tersenyum nakal ke arahku.

"Punya pelumas nggak?" tanyanya.

Rupanya ia memilih untuk menyetubuhiku saja. It's all right. Mungkin ia berpikir bahwa perbuatan itu tak ubahnya persenggamaan normal dengan perempuan. Sementara oral seks terhadap laki-laki mungkin sesuatu yang masih aneh buat dia.

"Sudah pernah?" tanyaku sambil menyerahkan sebotol kecil baby oil padanya. Ia menggeleng dengan mimik yang lucu.
"Tapi saya tahu caranya..," ujarnya sambil mulai mengoleskan cairan licin itu ke sekitar anusku.

Ia seorang pemijat. Ia tahu tahu apa yang harus diperbuat. Sejenak saja celah anusku telah digarap oleh jari-jarinya. Aku pasrah saja. Bahkan ketika ia mulai melakukan penetrasi. Semuanya berjalan lancar karena celahku bukan sekali ini saja dimasuki batang laki-laki.

Gerakannya lembut. Sepertinya ia tengah menikmati sebuah sensasi baru. Posisi kami yang saling berhadapan memungkinkan mata kami saling bertatapan. Kulihat ia mulai mendesis dan sesekali melenguh kenikmatan. Aku pun mulai kenikmatan dengan sodokan-sodokannya yang lembut dan ritmis. Akhirnya kami saling memacu dengan nafas yang makin lama makin menderu. Dan ketika ia menyambar kontolku dan mulai mengocoknya, aku merasakan sebuah kenikmatan yang sangat tinggi. Sampai akhirnya pejuhku muncrat berhamburan membasahi perutnya. Dan beberapa saat kemudian ia pun mencapai puncak kenikmatannya dengan membenamkan batang kemaluannya sedalam-dalamnya, memeluk tubuhku dan menggigiti bahu kananku. Aku yakin ia telah bisa menikmati semua ini. Menikmati hubungan sesama lelaki. Memang semua ini baru awal. Tapi aku yakin akan ada kesempatan bagi kami berdua untuk ketemu dan melakukan semua ini di hari-hari selanjutnya.

Keringat berlumuran di tubuh kami berdua. Hawa kamar rasanya panas sekali. Padahal di luar pagi masih sangat dini. Masih subuh, dan cahaya matahari sama sekali belum muncul. Tapi hari ini rasanya aku telah mendapat sebuah matahari baru yang lebih hangat dan terang dalam kehidupanku.

E N D

turkish: daddies

turkish: big mustache

































Orang Tak Dikenal di Laut Ketang

(by: hayudian@telkom.net)

Kejadian ini adalah pengalaman nyata penulis. Tidak ada adegan hubungan anal disini, karena memang seperti itulah kejadiannya. Webpage: http://www.geocities.com/hayudian/index.html

*****

Sore hari senin saat pemilu presiden, aku bosan di rumah dan memutuskan untuk pergi ke laut yang tidak jauh dari rumah. Tempatnya sepi apalagi kalau sudah sore dan yang ada hanya mereka yang suka memancing. Sebenarnya ini juga alasanku pergi ke laut Ketang.

Biasanya selesai memancing, para pemancing itu suka mandi di laut mereka berbasah-basah dan setelah selesai mereka pergi ke balik bebatuan untuk mengganti pakaiannya yang basah. Dan aku senang sekali berada di bebatuan itu bisa mengintip mereka yang tanpa malu-malu telanjang mengganti pakaiannya.

Nah di hari itu laut sedang surut dan ada dua orang yang aku nggak tau apakah mereka nelayan atau hanya orang biasa yang punya hobi mancing. Mereka berdua bertubuh tegap, satunya berwajah lumayan dengan bodi kekar serta kulit tidak terlalu hitam, yang satunya lagi berkulit gelap. Yang aku incar yang berkulit tidak terlalu hitam ini yang sedang berburu ikan dengan tongkat berujung besi tajam, tingginya sekitar 165cm dan dia memakai celana training panjang warna putih yang pudar. Kalau dia mengangkat tangan untuk menghunjam tongkatnya aku menjadi gemas, karena tangannya terlihat sangat kuat dan kekar.

Setelah aku mendekat, wuih pemandangannya menyenangkan. Ternyata dia sama sekali tidak memakai kolor, karena saat dia berdiri, terlihat jelas kontolnya tercetak di celana, dan bayangan hitam jembutnya juga terlihat. Aku bukan penyuka mereka yang berbadan besar, tapi badannya memang kekar dan mungkin berhubungan dengan pekerjaan sehari-hari dia dan di dekat pusar bulu-bulunya terlihat lebat, kontolku ngaceng seketika. Aku kemudian berjalan menuju bebatuan tempat biasa orang berganti pakaian dan dengan sabar menunggu dia mengganti pakaian sambil berpura-pura mengambil ikan-ikan kecil.

Tempat biasa mereka ganti pakaian itu terdiri dari bebatuan yang biasa ada di laut dan tinggi-tinggi. Sekelilingnya semak belukar dan tempat itu cukup terlindung kalau anda memang tidak sengaja untuk melihatnya atau memang berada di dekat situ. Ternyata kesabaranku berbuah hasil, dia berjalan ke arah bebatuan tempat aku berada sambil membawa celana jeans birunya, aku lihat dia lirik kiri kanan. Dia memperhatikan aku sebentar, aku tahu itu, lalu dia menurunkan celana panjangnya dan aku melirik, ASTAGA!

Itu kontol terbesar yang pernah aku lihat, bahkan dalam keadaan seperti itu, panjang kontolnya hampir menyamaiku kontolku kalau ngaceng, padahal aku pernah ukur kontolku kalau ngaceng sekitar 14cm. Aku berdiri dan berjalan ke arahnya sambil pura-pura memperhatikan sekitar. Lalu saat itu dia menatapku, dan aku juga menatapnya, lalu aku menurunkan pandanganku ke arah kontol yang kini terlihat sangat jelas.

Kontolnya ternyata tidak berjembut lebat hanya ada sedikit saja itupun tidak terlalu panjang, tapi kepala kontolnya sangat besar sampai-sampai aku tak percaya apa yang aku lihat. Lalu aku tersadar kalau aku melakukan kesalahan dengan menatap seperti itu, lalu aku menatap dia lagi dan ternyata dia masih menatapku tanpa ekspresi. Kemudian dia melirik ke arah kontolnya dan kembali menatapku. Aku mencoba tersenyum dan ternyata dia juga tersenyum meski terlihat sangat kaku.

"Maaf Mas, nggak sengaja. Soalnya baru sekali ini aku lihat ada kontol sebesar itu," ujarku dengan berani.

Aku melihat ekspresi wajahnya yang terkejut dengan perkataanku. Lalu dia menjawab,

"Nggak apa-apa, saya biasa mandi telanjang di kali jadi banyak yang liat juga"

Aku semakin berani dan berjalan mendekatinya sambil sesekali berpura-pura melihat ikan di air.

"Kalau lemes aja segede gitu, gimana kalau ngaceng"

Aku yakin sekali belum pernah ada laki-laki mengatakan hal seperti itu padanya, sehingga dia terlihat sangat canggung menjawab pertanyaanku.

"Ah bisa aja"
"Bener kok," ujarku sambil kemudian duduk di batu dan aku melihat dia agak canggung namun dia masih telanjang bulat.
"Kalau punya aku segede itu, aku pasti seneng banget"

Dia hanya tersenyum (lagi-lagi) canggung mendengar perkataanku barusan.

"Pernah ngukur nggak Mas?" tanyaku lagi.
"Nggak pernah, yah memang gini adanya"
"Mas, boleh nggak aku pegang kontol Mas, aku pengen ngerasain sebesar apa kalau ngaceng"

Dia terlihat kaget lagi dengan perkataanku dan sedikit menelan ludah dengan agak gugup dia berkata,

"Ngapain megang kan semua kontol sama aja"
"Yah nggak sama lah Mas, kontolku nggak segede itu. Bagaimana boleh ya," ujarku semakin berani dan semakin dekat dengannya.
Dia menengok kiri kanan beberapa kali lalu berkata, "Yah.. Ya boleh lah, tapi kalau ada orang lepasin ya"
"Beres" ujarku sambil tersenyum.

Lalu aku dengan sedikit gugup memegang batang kontolnya. Hangat sekali terasa dan dalam hitungan detik kontol itu membesar di genggamanku sampai maksimal. GIla.. Gede banget!! Kepala kontolnya itu membuat aku tak tahan. Aku melirik ke arahnya, dan ternyata dia juga sedang memperhatikan aku sambil sesekali memperhatikan sekelilingnya.

Sambil terus ku elus-elus batang kontol itu aku berkata,

"Pernah ada yang giniin nggak Mas?"
"Nggh.. Nggak pernah"
"kalau pada mandi di kali apa temen-temennya nggak pada ngeliatin kontol segede ini?"

Dia masih juga ragu, entah antara enak atau canggung menjawabnya tapi dia tetap berusaha,

"Yah, kadang-kadang jadi bahan lelucon aja"

Aku masih mengelus-elus kepala kontolnya, lalu batangnya mulai aku kocok-kocok. Semakin lama kocokanku semakin kencang dan sesekali aku memilin pelan batang kontolnya. Aku merasakan ada gerakan dia seperti sedikit maju mundur atau memompa tanganku dan juga seperti berputar. Sementara aku mengisap batangnya, jemariku bergerilya ke arah perutnya yang berotot, rasanya bergelombang-gelombang dan jantan sekali, belum lagi bulu-bulu di sekitar perut dan pusarnya yang lebat, herannya di daerah jembut dia tidak terlalu lebat. Dia pasti merapikannya.

Sekarang sambil aku kocok batangnya, tanganku yang kanan mulai menjalar ke arah biji pelirnya. Biji pelernya sangat tidak sinkron karena berukuran biasa saja, sementara batangnya begitu panjang dan besar serta berurat. Seperti juga dipangkal kontolnya, biji peler dia bahkan sama sekali tidak berjembut. Aku pijat pelan biji pelernya dan dia mulai berdesah-desah pelan. Aku melihat dia memejamkan matanya, aku pikir sekarang atau tidak sama sekali.

Dengan cepat aku menempelkan bibirku di kepala kontolnya. Dia segera bereaksi dan sangat kaget dengan yang aku lakukan, dia sedikit menarik dirinya. Tapi aku tidak mau melepasnya, aku pegang pantatnya lalu mendorong kembali ke arahku. Sekarang batang kontolnya aku arahkan ke atas dan aku mulai menjilat bagian bawah batang kontolnya mulai dari bagian bawah hingga ke lobang kencingnya, memainkan ujung lidahku di kepala kontolnya yang semakin berwarna ungu, aku tahu dia sangat keenakan.

Aku lirik dia sambil lidahku tetap merayap pelan mengelilingi kepala kontolnya dan bermain-main di bagian frenulumnya. Dari dahinya yang berkerut dan mata yang seperti menahan sesuatu aku sangat yakin dia merasakan kenikmatan yang sangat, karena aku juga sangat merasa nikmat jika mendapat hal yang sama.

Lalu dengan beberapa kali usaha aku berhasil memasukkan kepala kontolnya ke mulutku dan langsung aku sedot-sedot dengan kencang, dan aku bisa merasakan urat-urat disekeliling batang kontolnya semakin membesar dan dia juga semakin kuat mengocok mulutku.

Kini tangan kananku menggenggam pangkal batang kontolnya dan tangan kiriku berada di batang atas tangan kananku. Sambil mencium-cium kecil lobang kencingnya dengan ujung bibir, kedua tanganku membuat gerakan memeras dan memelintir batang kontol itu pelan sekali, kuregangkan dan kemudian kulakukan lagi.

"Ahh.." dia mendesah pelan.

Kulupaskan genggamanku dan mulai merayap pelan ke atas dan berhenti di pentil kecilnya yang kemudian ku pilin pelan dan kutarik-tarik sekali. Desahannya semakin kuat, nampaknya dia memang sangat suka pentilnya di perlakukan seperti itu.

"Lepas Mas, lepas, saya mau keluar," kata dia.
"Mmgrrpphh" ujarku tak jelas karena mulutku penuh dengan kontolnya sambil menggelengkan kepalaku tanda aku tak mau melepasnya, dan aku malah memasukkan seluruh batang kontolnya hingga hidungku menyentuh kulit pangkal kontolnya, aku pegang pantatnya dengan kedua tanganku untuk menahan kontol itu, dan dia masih sedikit berontak.

Aku terus menggerilyakan lidahku menjilati sekenanya batang kontol yang ada dimulutku, dan sepertinya dia pasrah tak mampu berkata apa-apa lagi. Kedua tangannya memegang batu yang ada di belakang dirinya, lalu dia sedikit mengerang dan tak lama mulutku penuh dengan sperma yang menyemprot berkali-kali dengan jumlah yang banyak dari lobang kontolnya, aku telan sebanyak yang aku bisa meskipun banyak juga yang mengalir ke luar dan menetes. Aku terus menyimpan kontolnya di mulutku sampai akhirnya perlahan kontolnya mulai lemas dan aku lepaskan. Aku mendengar hembusan nafas yang terasa berat lepas dari dirinya.

Setelah batang kontolnya berada di luar, aku pegang sekali lagi lalu aku jilat-jilat kepalanya dan sisa-sisa sperma yang masih ada, enak sekali. Spermanya kental, mungkin sudah lama dia nggak pernah ngocok kontolnya.

Dia terduduk di bebatuan dan terlihat mengatur nafasnya pelan-pelan. Dia tersenyum kepadaku seperti senyum yang cangguh, aneh dan mungkin merasa malu melakukan hal seperti itu, kemudian dia memakai celana jeansnya tanpa memakai celana kolor.

"Namanya siapa Mas?" tanyaku.
"Agus," jawabnya pendek.
"Kenalin aku Adi," ujarku lagi sambil mengulurkan tanganku.

Setelah beberapa lama terdiam, dia berkata,

"Mas Adi ini suka ya yang beginian"
"Iya, aku suka banget sama kontol apalagi kalau gede kayak punya sampean"
Dia tertawa pelan, lalu aku berkata, "Temen satunya nggak ganti baju juga"

Dia lagi-lagi tersenyum.

"Kayaknya enggak, dia cuman pake celana itu"
"kalau kamu pernah nggak Mad yang beginian?"
"Ah nggak Mas, paling-paling ngocok aja"
"Mad, jangan panggil Mas lagi ya, panggil aja Adi"
"Iya deh. Emm aku pergi dulu ya di, nanti temanku nungguin"
"Ya udah, tapi kalau kamu masih mau diisep lagi kapan-kapan, aku sering kok kesini. Itu mobilku, jadi kalau ada mobil itu pasti ada aku. Kalau mau ajak teman kamu itu juga nggak apa-apa"

Dia hanya tertawa saja, lalu permisi dan pergi. Ah enak sekali ngisep kontol gede orang tak dikenal di laut Ketang.


E N D

Om-om Tampan
memang tak ada duanya #2 ;-)





















Paling Populer Selama Ini