5/26/2011
Oase Laut Utara 07: Dan Api Semakin Memercik - spesial!
(by: juzoef@yahoo.com)
Kemarin, sekitar jam 8 malam aku mendapat telepon dari Bahar. Itu menurut Pak Roy yang kebetulan menerimanya. Bahar telepon lewat jalur sentral. Barangkali sebelumnya dia sudah mencoba telepon ke kamarku tapi tidak ada yang mengangkat.
Malam itu aku memang sedang keluar diajak Pak Gunawan nongkrong dan ngobrol-ngobrol di Boulevard pinggir laut. Pantas, aku agak gelisah waktu itu. Pak Gun sampai beberapa kali menegurku karena tak menyimak apa yang sedang diobrolkannya.
Ah! aku jadi merasa bersalah pada Bahar. Padahal itu adalah teleponnya yang kedua dalam dua minggu ini setelah telepon pertamanya yang 'nakal' itu (baca Oase 6). Aku tak ingin merasa bahwa sejak dekat dengan Pak Gunawan, aku seperti tak mengharapkan lagi telepon dari Bahar.
Malam itu sepulangku dari Boulevard, Pak Roy menyampaikan pesan telepon itu. Dan selanjutnya malam itu aku sengaja nongkrong di dekat telepon sambil baca-baca majalah. Baru sekitar pukul 10 telepon itu akhirnya berdering. Langsung kuangkat. Dan suara Bahar terdengar bersemangat di seberang sana.
"Apa kabar Mas?" sapanya hangat
"Baik. Abang gimana?" balasku
"Baik juga. Lumayan sibuk. Mas Har tadi sedang kemana?"
Aku agak tercekat. Tapi aku jawab apa adanya, bahwa aku diajak keluar Pak Gunawan, Kepala Mess, ke Boulevard. Bahar tidak bertanya lebih lanjut siapa itu Pak Gunawan. Kami lalu ngobrol ini dan itu, terutama mengenai pekerjaan kami masing-masing.
Di sela-sela pembicaraan di telepon itu, aku sempat terdiam beberapa kali. Bukan apa-apa, mendengar suara Bahar aku jadi merasa bersalah bila teringat bahwa saat ini aku tengah dekat dengan Pak Gun.
"Mas, sudah mau tidur ya?" tanya Bahar mencoba membaca sikapku
"Beluum. Aku sengaja kok nunggu telepon dari Bang Bahar"
"Kangen ya?" canda Bahar
"Ya!" kataku cepat, tapi kembali aku merasa bersalah. Meskipun saat itu aku memang benar-benar kangen sama dia.
Beberapa kali Bahar mencoba mencandaiku dengan kata-katanya yang kocak, hangat dan kadang-kadang mesra.
"Bagaimana? kesepian nggak?" tanyanya
"Pake nanya lagi!" kataku merajuk
"Tahan nggak?"
"Nggaakk!" aku menjawab dengan nada kheki tapi sedikit becanda
"Abang sendiri gimana?" gantian aku yang bertanya
"Tergantung!" jawabnya seenaknya
"Tergantung apa?"
"Tergantung yang menggantung.."
"Hush! mulai deh.."
Ketawa Bahar terdengar lepas. Omongannya yang mulai nyerempet-nyerempet itu membuatku berpikir bahwa ia tampaknya sedang 'menginginkan' sesuatu.
"Bang Bahar lagi 'BT' ya?" tanyaku mencoba menyelidik
"Apa tuh, BT?"
"Birahi Tinggi!" kini gantian aku yang ketawa ngakak. Di seberang sana terdengar suara Bahar yang mengumpat-umpat. Sejenak aku bisa melupakan kegelisahanku. Tapi cuma sejenak, karena tiba-tiba nada suara Bahar jadi serius.
"Mas Har, boleh nggak aku cerita sedikit?" dia bertanya dengan suara datar, kaku.
"Boleh, kenapa?" tanyaku agak heran, kok tiba-tiba suasananya jadi agak lain.
Kami berdua diam sejenak. Lalu Bahar mulai bercerita tentang teman-temannya di galangan kapal Surabaya yang menurutnya tak jauh dari apa yang biasa disebut dengan 'orang kapal'.
"Beberapa hari yang lalu, beberapa teman itu mengajakku ke Dolly.." Bahar tak melanjutkan ucapannya. Seolah menunggu reaksiku. Bagiku, kata 'Dolly' di Surabaya sudah memberiku gambaran kemana arah cerita Bahar. Aku sedikit menghela nafas. Ada rasa cemburu dalam dadaku.
"Mas Har marah?" tanya Bahar terdengar ragu
"Hmmh..?" aku malah menggumam dengan nada tanya
"Mas Har marah?" Bahar mengulangi pertanyaannya
Marah? Harusnya aku tak perlu marah atau cemburu. Bahar memang berbeda dibandingkan aku. Ia punya keinginan dan pengalaman seperti itu. Dan Bahar toh sudah mencoba untuk terbuka. Itu berarti ia masih menganggap dan menghargai aku. Sementara aku sendiri di sini toh juga punya 'cerita' juga dengan Pak Gun. Bahkan aku malah belum ada niat untuk terbuka pada Bahar untuk soal yang satu itu.
"Mas, .." suara Bahar menegurku. Aku menarik nafas.
"Ya..," sahutku,"saya ngerti maksud Abang kok. Saya tak berhak mencegah orang lain melakukan apa yang ingin dilakukannya. Cuma, kalau boleh saya minta, yang penting Abang masih ingat sama saya dan bisa jaga diri.." aku nyerocos karena nervous, dan mungkin juga karena cemburu.
"Di Surabaya sini, aku ingat terus sama Mas Har.." suaranya bergetar, seolah meminta permaklumanku.
"Bahkan waktu 'begituan' di Dolly.., Abang ingat terus sama Mas Har.."
"Iya! saya tahu!" kataku memotong.
Aku bisa memahami maksud Bahar, karena sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama: teringat terus wajahnya ketika 'bermain-main' dengan Pak Gun beberapa hari yang lalu. Beberapa saat kami terdiam. Hanya desahan nafas kami yang mengisi pulsa telepon.
"Bang.., sebenarnya.. Sayalah yang mustinya minta maaf.." akhirnya aku buka suara.
"Kenapa?" nada suaranya skeptis.
"Mmm.., aku juga ada cerita. Kalau boleh.."
"Siapa?" pertanyaan Bahar langsung mengarah.
Aku diam tak menjawab. Di seberang sana kudengar Bahar menghela nafas panjang. Sepertinya ia bisa menebak jawabanku.
Akhirnya aku mengakui kedekatanku dengan Pak Gunawan. Bahar masih diam tak berkomentar. Aku takut ia tidak bisa menerima pengakuanku. Bagaimanapun di antara kami harusnya memang ada komitmen kebersamaan, meskipun hubungan kami tidak saling mengikat. Tapi kondisi Bahar sendiri tak mungkin bagiku untuk mengekangnya. Memang, kadang ada rasa cemburu bila aku menyadari bahwa Bahar bisa melakukan apa saja yang dia maui. Kalau saja Bahar bisa membuatku lebih yakin, bahwa bagaimanapun antara aku dan dia saat ini terjalin suatu hubungan antara dua manusia, terlepas dari permasalahan yang ada ketika melakoni hubungan semacam ini.
"Yang namanya Pak Gunawan pasti orangnya ganteng ya?" ada nada cemburu dalam suara Bahar. Aku mengiyakannya dalam hati.
"Ya sudah.., mau gimana lagi.." lanjut Bahar tanpa menunggu jawabanku
"Abang marah?" tanyaku begitu mendengar nada suara Bahar yang tampaknya kesal. Dia diam tak menjawab pertanyaanku. Aku tahu, dia marah.
"Ya. Saya marah.." jawab Bahar pendek setelah beberapa lama terdiam,"Sulit bagi saya membayangkan Mas Har bercinta dengan laki-laki lain.."
"Ya, tapi Abang sendiri..?" jawabku seolah mengungkit apa yang dilakukannya di Surabaya.
"Aku kan main sama perempuan!" ia tak mau kalah
"O jadi begitu?!" balasku kesal.
Entahlah, malam itu aku merasa kami berdua saling bersikap egois tapi sekaligus berusaha untuk saling menenggang rasa. Benturan-benturan perasaan seperti ini bukannya tak pernah kami alami. Sering. Namun yang ini tampaknya sulit untuk kami redakan. Barangkali karena saat ini kami tengah berjauhan. Sebuah komunikasi memang akan lebih efektif bila dilakukan secara face to face. Tidak melalui telepon seperti ini, yang bisa banyak menimbulkan kesalah pahaman. Karena bagaimanapun ada nuansa yang berbeda antara berdebat melalui telepon dengan bicara secara langsung.
"Oke, sudah dulu ya. Barangkali Mas Har mau tidur.." kata Bahar mencoba mengakhiri percakapan. Aku diam saja. Terserah, kataku dalam hati.
"Oke?" Bahar ingin mempertegas
"Oke..!" nada suaraku kubuat seenteng mungkin.
Klik. Telepon pun kututup.
Sejak itu, selama seminggu aku gelisah dan uring-uringan terus. (Belakangan Bahar juga mengaku mengalami kegelisahan yang sama). Selama seminggu itu juga aku berusaha untuk tak ketemu dengan Pak Gunawan. Pernah ia sekali menelponku tapi aku katakan aku sedang sibuk mengolah data penelitian, dan ia bisa memaklumi.
Tapi entah angin apa yang sedang berhembus malam itu. Ketika aku tengah pusing menganalisa data-data yang ada, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku segera mematikan rokok dan menuju pintu.
Pak Gun rupanya. Aku sedikit tertegun memandangnya. Dia sendiri malah tersenyum lebar. Ramah dan seperti biasanya: kebapakan.
"Ada apa?" tanyanya dengan nada enteng begitu melihat wajahku yang mungkin terlihat kusut.
"Nggak pa-pa. Lagi sibuk saja Pak" kataku sambil mencoba senyum.
Pak Gun langsung saja masuk dan duduk menggelosoh di sofa. Malam itu dia pakai t-shirt warna biru gelap. Cakep. Wajahnya tampak bersih dan segar. Habis mandi tampaknya.
"Mau kopi Pak?" kataku menawari.
"Boleh.."
Begitu kopi kusajikan, tangan Pak Gun langsung menahan bahuku. Dimintanya aku duduk di sampingnya. Aku menurut.
"Kalau lagi ada masalah, cerita saja" katanya sambil memandangku lurus-lurus.
Sok tahu ini orang, pikirku dalam hati. Namun yang keluar dari mulutku: "Oh, nggak, saya baik-baik saja kok Pak"
"Jangan begitu. Bapak tahu kamu lagi ada masalah. Ya kan?"
Aku lalu diam dan menghela nafas. Kepalaku menunduk memandang lantai. Cukup lama. Pak Gun mencoba memijat bahuku. Aku tetap diam saja.
Akhirnya aku ceritakan semua masalahku padanya. Dan karena Pak Gun bertanya lebih jauh, secara flash back akupun menceritakan jalinan hubunganku dengan Bahar.
Beberapa saat Pak Gun terdiam, namun kepalanya mengangguk-angguk. Entah apa artinya.
"Ya sudah, kalau begitu, kalian harus bicara lagi. Maaf ya, ternyata Bapak sudah masuk terlalu jauh dalam hubungan kalian" kata Pak Gun dengan nada yang sulit kumengerti. Kulihat wajahnya seperti orang yang merasa bersalah, tapi juga ada kekecewaan di sana.
"Saya yakin, dia masih mengharapkanmu.." lanjut Pak Gun dengan agak bergetar.
"Ya, saya tahu. Saya juga.. Masih mengharapkan dia.."
Pak Gun kembali memandangku, kali ini agak kaget dengan kalimatku yang terakhir. Aku sendiri kaget dengan kekagetan yang sempat kutangkap dari tatapan matanya. Apakah Pak Gun cemburu?
Malam itu suasana menjadi agak kikuk. Meski Pak Gunawan mencoba bersikap wajar padaku, aku bisa menangkap kegelisahannya. Dan ketika ia pamitan untuk pulang, aku hanya bisa mengiyakan saja.
Sejak malam itu aku merasa bahwa aku seperti tak punya siapa-siapa lagi. Pertama, karena sudah hampir dua minggu aku dan Bahar saling menahan diri untuk tak berkomunikasi. Aku hapal dengan sikapnya itu, begitupun dia, pasti mengerti bagaimana reaksiku saat ini. Yang kedua, seminggu sejak malam itu, tak kulihat sedikitpun kelebatan sosok Pak Gun. Padahal ia orang yang paling rajin bertandang dan berkeliling ke segala sudut mess ini. Itu hampir dilakukannya tiap hari. Kemana dia hari-hari terakhir ini?
Aku mendapat jawabannya sehari setelah aku selesai menghubungi Bahar. Menghubungi Bahar? Ya. Semalam aku berpikir apa salahnya untuk mengontak dia dan mengalah dari semua persoalan ini. Tapi ternyata emosiku yang mulai cair menjadi menggumpal kembali, ketika Bahar dengan sengaja menunjukkan sikap dan rasa malas untuk berkomunikasi denganku. Oke! Aku sudah berusaha memulai. Sekarang terserah dia. Aku kemudian berusaha mendinginkan semua yang berkecamuk dalam pikiranku selama hampir tiga minggu ini. Mendinginkan sampai sedingin-dinginnya!
Dan esoknya, secara tiba-tiba Pak Gun muncul di belakangku ketika aku tengah membetulkan pagar halaman. Suara ketukan paluku rupanya telah menyamarkan kedatangannya. Aku baru menyadarinya ketika hendak beringsut mengambil potongan kayu di belakangku.
Aku hampir berteriak kaget. Dia hanya tersenyum memandang keterkejutanku. Tampaknya ia sudah lama berdiri di situ. Lalu, kenapa tak menyapa atau memanggilku? Tapi aku memasabodohkan semua itu. Karena kulihat tatapan matanya meneduh, sepertinya ada ajakan untuk 'berdamai'.
Aku beranikan untuk menatap. Memastikan yang tersirat dalam pikiranku. Bibirnya masih tersenyum. Dan matanya itu, ternyata memang teduh.
"Maafkan saya Dik Har, sudah lama nggak ke sini.." katanya kalem. Tapi justru kekalemannya itu yang membuat aku salah tingkah.
"Pak Gun ini, gitu saja kok pake minta maaf.." balasku sambil berusaha meredakan ketegangan perasaan.
Aku akhirnya menghentikan pekerjaanku dan mengajaknya ke teras depan. Kupersilakan dia duduk dan kemudian aku masuk ke dapur untuk membuatkannya minum.
Untuk kedua kalinya Pak Gun muncul di belakangku tanpa kuketahui. Diam-diam ia menyusulku ke dapur.
"Sudah. Dik Har mandi dulu sana, biar saya yang bikin minuman" kata Pak Gun mengagetkanku sambil tangannya menunjuk lelehan keringat yang membasahi t-shirt yang kupakai.
"Nggak pa-pa Pak. Mosok tamunya yang bikin minuman" balasku.
"Hei, sejak kapan saya dianggap tamu?" dia memprotes omonganku sambil tangannya meraih gelas yang kugenggam. Meletakkannya kembali ke meja dapur. Dan kedua tangannya lalu melingkar ke pinggangku..
Aku sempat terhenyak ketika ia berusaha memelukku. Kaget dan merasa risih karena aku masih berkeringat. Tapi ia memaksa. Dan akhirnya aku pun 'terpaksa' pasrah dipeluk olehnya. Ini adalah puncak dari kejutan-kejutan yang dilakukannya sejak di halaman depan tadi.
Terasa dada kami saling berdeburan. Helaan dan tarikan nafas kami saling beradu. Ada rasa kangen yang seolah ingin kami tumpahkan. Dan tanpa kusadari pipi kami saling bersentuhan. Lalu bibirnya kurasakan mulai bergeser menyentuh tulang rahangku. Nafasnya hangat di sana.
Dan ketika bibir yang padat itu mulai menyentuh pipi kiriku, kemudian bibirku, aku merasakan seluruh sendiku melemas. Lolos. Ringan. Seperti melayang. Aku seperti melayang! Padahal Pak Gun hanya melumat bibirku beberapa saat. Tangannya lalu memeluk kepalaku lagi dan membenamkannya ke lehernya yang tengadah. Kudengar ia menarik nafas dan makin erat memelukku.
"Bapak kangen, Har.." ia berdesah lirih. Dan aku tersentuh.
Tersentuh bukan karena apa-apa. Di saat suasana hati yang sedang berusaha kubuat sedingin mungkin karena sikap Bahar di telepon kemarin, suara Pak Gun menjadi satu kehangatan yang seketika mencairkan kebekuan itu. Dan rasa kesalku yang masih ada seolah mendorongku untuk memasabodokan segala tentang Bahar dan menerima 'permintaan maaf' Pak Gun siang ini yang telah disampaikannya dengan cara yang sentimentil.
"Bagaimana kabar Abangmu?" ia mencoba bertanya
Tapi pertanyaan itu tak kujawab. Malah kurasakan mukaku jadi kecut mendengar Pak Gun menyinggung kembali masalahku dengan Bahar.
"Ya sudah.. Bapak cuma nanya saja kok, siapa tahu bisa menenangkan pikiranmu.." suaranya mulai romantis.
Kembali Pak Gun menatapku. Kali ini pandangannya lebih teduh. Ada senyum tipis di balik kumisnya yang khas itu. Kuberanikan untuk membalas senyuman itu dengan kecupan. Dia merespon. Dan kami pun tenggelam lagi dalam ciuman-ciuman yang dalam. Dan lebih lama.
"Mau dimandiin?" katanya di sela-sela pagutan bibirnya.
Dimandiin?, "Hhmmhh.." aku hampir ketawa tapi mulutku segera dibungkamnya lebih ketat.
"Mau?" tanyanya lagi, kali ini sambil melepas pagutannya.
Aku mengangguk, seperti anak kecil menuruti perintah bapaknya.
Aku segera melangkah ke kamar mandi. Melepas seluruh pakaianku dan melilitkan handuk putih ke pinggulku. Pak Gun menyusul kemudian. Lengan bajunya sudah tersingkap ke atas. Demikian juga dengan celana panjangnya.
"Pakai ini segala!" tangannya langsung menarik handuk yang melilit bagian bawah tubuhku. Ketelanjanganku pun langsung mendapat reaksi. Tangannya segera menggenggam bagian tubuhku yang sudah mulai membesar itu. Meremasnya. Dan terus meremas. Aku merintih..
"Pak Gun sendiri masih berpakaian.." protesku di sela rintihan. Tapi ia diam saja. Maka tanpa diminta, aku segera melepasi kancing bajunya, membuka ikat pinggang dan menarik resleting celananya. Tapi aku tak bisa melanjutkan aksiku lebih jauh. Karena ia makin merangsek dan mendesakku.
Merasa kondisi pakaiannya yang sudah acak-acakan dan setengah terbuka, Pak Gun lalu melepas sendiri baju dan celana panjang itu. Kini ia hanya bercelana dalam. Warnanya putih, modelnya konservatif. Khas bapak-bapak. Tapi bagiku malah terlihat seksi.
Entah karena dorongan apa, tiba-tiba aku sudah mengambil posisi jongkok, lalu pelan-pelan kupelorotkan pakaian terakhir yang menutup tubuhnya itu. Pak Gun sempat kaget, lalu diam, menunggu apa yang akan kuperbuat. Tapi belum sampai celana dalam itu kutarik sampai ke lututnya, tangan Pak Gun sudah mengarahkan meriam kecilnya yang sudah siaga penuh itu ke wajahku. Tanganku langsung menggenggamnya dan kuakhiri dengan sebuah lumatan.
Aku tak tahu apakah Pak Gun pernah diperlakukan begini oleh seorang laki-laki. Tapi yang jelas inilah pertama kali aku melakukannya padanya. Dan aku selanjutnya tak peduli lagi dengan itu semua. Karena kini benda yang kulumat itu makin mengeras dan mulutku terasa mulai penuh. Sehingga aku akhirnya lebih banyak melakukan jilatan saja, terutama di sekujur batang dan kedua bola kecil miliknya yang penuh dengan bulu keriting. Sementara kuluman hanya aku lakukan di bagian kepalanya saja. Itupun sudah membuatku kerepotan karena 'helm' miliknya tergolong berukuran spesial (baca oase sebelumnya).
Belum puas aku melakukan itu semua, tangan Pak Gun menyuruhku berdiri dan lalu memelukku kuat-kuat sambil mencium dengan gemas. Aku yang sudah sulit mengatur nafas karena permainan mulut di bawah tadi, kini jadi terengah-engah disumbat oleh bibirnya yang terus menempel ketat.
Sambil terus menciumiku, tangannya pelan-pelan meloloskan celana dalamnya sendiri yang dari tadi masih menyangkut di atas lututnya. Begitu lolos, kedua pahanya yang kekar berbulu itu langsung dengan leluasanya menjepit kuat tubuhku. Ini yang membuatku heran. Gerakan-gerakan Pak Gun seperti orang yang kegemasan.
"Sudah lama nggak main begini.." nafasnya terengah-engah, seolah menjawab keherananku.
"Begini bagaimana?"
"Main 'anggar' dan diisap.."
"O ya?" aku tak percaya.
"Istriku tak mau melakukan oral" katanya menjawab keraguanku, "Tadi sudah hampir keluar.." sambungnya, ".. Kamu pintar melakukannya.."
"Mau dilanjutkan?" tanyaku menawari. Ia menggeleng.
"Kenapa?" tanyaku lagi
"Nanti saja. Sayang kalau dikeluarin sekarang.." sambil matanya mengerling nakal.
Siang itu, akhirnya Pak Gun jadi memandikan aku. Seluruh tubuhku rasanya tak luput dari jarahan dan keusilan tangannya yang berlumuran busa sabun, khususnya di bagian-bagian tubuhku yang sensitif. Aku sampai memintanya untuk berhenti bila dibagian itu ia melakukan gerakan yang tak hanya sekedar membasuh.
"Kenapa?" tanyanya.
"Sayang kalau dikeluarin sekarang.." kataku meledek mengulangi ucapannya tadi.
Kami lalu tertawa bersama. Dan Pak Gun pun meredakan aksinya. Kini ia benar-benar memandikan aku. Persis seperti seorang bapak tengah memandikan anaknya.
Akhirnya, "Sudah.." katanya sambil melakukan guyuran yang terakhir. Diambilnya handuk dan dikeringkannya seluruh tubuhku. Kemudian ia sendiri mengguyur badannya beberapa kali untuk membersihkan cipratan air dan busa sabun, lalu gantian aku yang membantu mengeringkan tubuhnya. Selesai.
Pak Gun lalu menciumku. Aku membalasnya. Kami pun berciuman. Lumat dan lama. Kami masih telanjang, belum berpakaian. Sehingga tercium aroma segar yang muncul dari tubuh kami berdua.
"Har.., Bapak pingin mengisap punyamu.." bisiknya di telingaku.
Dengan senang hati aku segera melebarkan posisi kakiku begitu Pak Gun mengambil posisi jongkok tepat di tengahnya. Dan langsung melahap benda yang ada di hadapannya. Tampak sekali ia menikmati milikku. Seperti anak kecil mendapat mainan baru. Setiap kali selesai menjilat atau mengisap, dalam beberapa saat ia pasti akan mengamati dengan seksama benda bulat panjang yang terus digenggamnya erat-erat itu. Seolah ia belum pernah melihat sebelumnya. Sesekali wajahnya mendongak ke atas dan tersenyum ke arahku.
Aku mengira-ngira, sepertinya Pak Gun sudah lama, bahkan mungkin belum pernah melakukan oral seks dengan laki-laki. Tapi, kalau merasakan isapan dan sedotannya yang cukup kuat dan cukup bervariasi itu, tampaknya ia pernah melakukan itu sebelumnya.
Tapi buat apa mempertanyakan pengalaman dia. Aku terlalu kenikmatan untuk memikirkan itu. Sungguh, aku kenikmatan sekali. Sepertinya Pak Gun bisa memenuhi perlakuan-perlakuan yang kuinginkan tanpa aku memintanya. Bahkan ia melakukannya lebih dari yang kubayangkan. Sampai-sampai aku harus memegangi kepalanya yang agak botak itu. Bukan untuk memberinya dorongan untuk melakukan lebih jauh, tapi justru untuk sedikit menahan aksinya yang rada liar itu.
Ah! kini tangan kanannya malah menjalar ke daerah pantatku melalui celah paha yang memang sengaja kubuka lebar-lebar. Telapak tangannya lalu mengusap dan meremas lembut bongkahan di belakang tubuhku. Sesekali menjalar di sepanjang jalur di tengahnya, lalu turun hingga ke pangkal kantung pelirku. Merambat naik lagi, merayap sepanjang jalur, mengusap dan berakhir dengan remasan pada bukit pantatku. Dan setiap remasan dibarengi dengan isapan yang kuat di bagian depan. Punggungku sampai melengkung dan kepalaku beberapa kali harus terjulur merasakan desiran-desiran di bawah sana.
Rasanya, aku harus meralat kalimat 'sayang kalau dikeluarkan sekarang' yang tadi kuucapkan. Karena sekarang aku ingin sekali 'dikeluarkan' oleh mulut Pak Gun. Tapi aku tak perlu memintanya. Sebab dari perlakuan yang kurasakan, ia tampaknya memang berniat membuatku ejakulasi. Dan aku dengan senang hati menerimanya.
Segala cara ia lakukan. Banyak teknik dan 'perbendaharaan' permainan oral yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Karena rupanya ia tak sekedar bermain dengan mulut saja, tapi juga memaksimalkan seluruh fungsi jari dan telapak tangannya. Sasarannya pun tak hanya pada bagian 'pusat' saja, tapi juga menelusur hingga ke bukit di belakang sampai ke celah-celahnya, merambah hutan lebat dan semak-semak yang ada, serta terus mengusik gundukan yang menggantung, seolah dianggap tak bertuan..
Padahal sang tuannya kini tengah gelagapan, tak tahu harus berbuat apa lagi. Mata sang tuan sudah sedemikian sayu namun raut wajahnya mengencang merah. Entah kata-kata apa yang bisa melukiskan semua kenikmatan ini.
"Paakk.. Ohh, enakk.. Pakk.." hanya itu yang terus keluar dari mulutku.
Sementara orang yang dipanggil di bawah sana hanya menggeram-geram bagai singa yang tak mau diganggu ketika tengah menikmati daging mentah santapannya.
Ketika kepalanya asyik tenggelam di bawah kantung pelirku sementara tangan kanannya meremas-remas batang di bagian atasnya, ejakulasiku pun datang tak terbendung lagi. Aku berteriak, benar-benar berteriak. Barangkali kalau ada orang lewat, pasti bisa mendengar teriakanku. Pak Gun sampai berusaha menenangkanku,"Ssshh.. Ssshh.." bisiknya sambil tangannya memilin-milin sekujur batang kemaluanku seolah-olah ingin mengeluarkan seluruh isinya. Matanya bergantian memandang ke atas melihat ekspresi orgasmeku, lalu memandang ke bawah lagi mengamati proses ejakulasi yang sedang berlangsung di depan wajahnya.
Mulutku masih menguncup mendesis-desis, tapi sudah tak mengeluarkan teriakan lagi.
".. Ohh.. Ohh.." akhirnya aku bisa menarik nafas kepuasan dan bisa kembali memandang Pak Gunawan dengan jelas meskipun mataku masih sayu. Yang kupandang tersenyum 'tanpa dosa', dan aku pun tersenyum 'penuh dosa'.
"Enak?" tanyanya ketika ia sudah berdiri kembali menghadap ke arahku.
Aku hanya bisa mengangguk-angguk mengiyakan. Mataku belum sepenuhnya melek dan mulutku masih sedikit terbuka karena nafas yang belum teratur. Kulihat mulut Pak Gun agak belepotan dengan cairan, demikian juga dengan ujung kumisnya. Kuulurkan tanganku dan kuusap pelan-pelan. Lalu kusentuhkan bibirku ke sana. Dan yang punya bibir langsung menyambutnya dengan sebuah lumatan. Padahal deru nafasku belum sepenuhnya reda.
Tiba-tiba dengan tak sabar, tangan Pak Gun menggelandangku keluar kamar mandi.
"Sekarang kita ke kamar saja.." ajaknya sambil menarikku menuju ruang makan, melewati ruang tengah, menuju ke arah ruang tidur.
Hey?!, Sejak kapan dia tahu letak kamar tidurku?
E N D
Kemarin, sekitar jam 8 malam aku mendapat telepon dari Bahar. Itu menurut Pak Roy yang kebetulan menerimanya. Bahar telepon lewat jalur sentral. Barangkali sebelumnya dia sudah mencoba telepon ke kamarku tapi tidak ada yang mengangkat.
Malam itu aku memang sedang keluar diajak Pak Gunawan nongkrong dan ngobrol-ngobrol di Boulevard pinggir laut. Pantas, aku agak gelisah waktu itu. Pak Gun sampai beberapa kali menegurku karena tak menyimak apa yang sedang diobrolkannya.
Ah! aku jadi merasa bersalah pada Bahar. Padahal itu adalah teleponnya yang kedua dalam dua minggu ini setelah telepon pertamanya yang 'nakal' itu (baca Oase 6). Aku tak ingin merasa bahwa sejak dekat dengan Pak Gunawan, aku seperti tak mengharapkan lagi telepon dari Bahar.
Malam itu sepulangku dari Boulevard, Pak Roy menyampaikan pesan telepon itu. Dan selanjutnya malam itu aku sengaja nongkrong di dekat telepon sambil baca-baca majalah. Baru sekitar pukul 10 telepon itu akhirnya berdering. Langsung kuangkat. Dan suara Bahar terdengar bersemangat di seberang sana.
"Apa kabar Mas?" sapanya hangat
"Baik. Abang gimana?" balasku
"Baik juga. Lumayan sibuk. Mas Har tadi sedang kemana?"
Aku agak tercekat. Tapi aku jawab apa adanya, bahwa aku diajak keluar Pak Gunawan, Kepala Mess, ke Boulevard. Bahar tidak bertanya lebih lanjut siapa itu Pak Gunawan. Kami lalu ngobrol ini dan itu, terutama mengenai pekerjaan kami masing-masing.
Di sela-sela pembicaraan di telepon itu, aku sempat terdiam beberapa kali. Bukan apa-apa, mendengar suara Bahar aku jadi merasa bersalah bila teringat bahwa saat ini aku tengah dekat dengan Pak Gun.
"Mas, sudah mau tidur ya?" tanya Bahar mencoba membaca sikapku
"Beluum. Aku sengaja kok nunggu telepon dari Bang Bahar"
"Kangen ya?" canda Bahar
"Ya!" kataku cepat, tapi kembali aku merasa bersalah. Meskipun saat itu aku memang benar-benar kangen sama dia.
Beberapa kali Bahar mencoba mencandaiku dengan kata-katanya yang kocak, hangat dan kadang-kadang mesra.
"Bagaimana? kesepian nggak?" tanyanya
"Pake nanya lagi!" kataku merajuk
"Tahan nggak?"
"Nggaakk!" aku menjawab dengan nada kheki tapi sedikit becanda
"Abang sendiri gimana?" gantian aku yang bertanya
"Tergantung!" jawabnya seenaknya
"Tergantung apa?"
"Tergantung yang menggantung.."
"Hush! mulai deh.."
Ketawa Bahar terdengar lepas. Omongannya yang mulai nyerempet-nyerempet itu membuatku berpikir bahwa ia tampaknya sedang 'menginginkan' sesuatu.
"Bang Bahar lagi 'BT' ya?" tanyaku mencoba menyelidik
"Apa tuh, BT?"
"Birahi Tinggi!" kini gantian aku yang ketawa ngakak. Di seberang sana terdengar suara Bahar yang mengumpat-umpat. Sejenak aku bisa melupakan kegelisahanku. Tapi cuma sejenak, karena tiba-tiba nada suara Bahar jadi serius.
"Mas Har, boleh nggak aku cerita sedikit?" dia bertanya dengan suara datar, kaku.
"Boleh, kenapa?" tanyaku agak heran, kok tiba-tiba suasananya jadi agak lain.
Kami berdua diam sejenak. Lalu Bahar mulai bercerita tentang teman-temannya di galangan kapal Surabaya yang menurutnya tak jauh dari apa yang biasa disebut dengan 'orang kapal'.
"Beberapa hari yang lalu, beberapa teman itu mengajakku ke Dolly.." Bahar tak melanjutkan ucapannya. Seolah menunggu reaksiku. Bagiku, kata 'Dolly' di Surabaya sudah memberiku gambaran kemana arah cerita Bahar. Aku sedikit menghela nafas. Ada rasa cemburu dalam dadaku.
"Mas Har marah?" tanya Bahar terdengar ragu
"Hmmh..?" aku malah menggumam dengan nada tanya
"Mas Har marah?" Bahar mengulangi pertanyaannya
Marah? Harusnya aku tak perlu marah atau cemburu. Bahar memang berbeda dibandingkan aku. Ia punya keinginan dan pengalaman seperti itu. Dan Bahar toh sudah mencoba untuk terbuka. Itu berarti ia masih menganggap dan menghargai aku. Sementara aku sendiri di sini toh juga punya 'cerita' juga dengan Pak Gun. Bahkan aku malah belum ada niat untuk terbuka pada Bahar untuk soal yang satu itu.
"Mas, .." suara Bahar menegurku. Aku menarik nafas.
"Ya..," sahutku,"saya ngerti maksud Abang kok. Saya tak berhak mencegah orang lain melakukan apa yang ingin dilakukannya. Cuma, kalau boleh saya minta, yang penting Abang masih ingat sama saya dan bisa jaga diri.." aku nyerocos karena nervous, dan mungkin juga karena cemburu.
"Di Surabaya sini, aku ingat terus sama Mas Har.." suaranya bergetar, seolah meminta permaklumanku.
"Bahkan waktu 'begituan' di Dolly.., Abang ingat terus sama Mas Har.."
"Iya! saya tahu!" kataku memotong.
Aku bisa memahami maksud Bahar, karena sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama: teringat terus wajahnya ketika 'bermain-main' dengan Pak Gun beberapa hari yang lalu. Beberapa saat kami terdiam. Hanya desahan nafas kami yang mengisi pulsa telepon.
"Bang.., sebenarnya.. Sayalah yang mustinya minta maaf.." akhirnya aku buka suara.
"Kenapa?" nada suaranya skeptis.
"Mmm.., aku juga ada cerita. Kalau boleh.."
"Siapa?" pertanyaan Bahar langsung mengarah.
Aku diam tak menjawab. Di seberang sana kudengar Bahar menghela nafas panjang. Sepertinya ia bisa menebak jawabanku.
Akhirnya aku mengakui kedekatanku dengan Pak Gunawan. Bahar masih diam tak berkomentar. Aku takut ia tidak bisa menerima pengakuanku. Bagaimanapun di antara kami harusnya memang ada komitmen kebersamaan, meskipun hubungan kami tidak saling mengikat. Tapi kondisi Bahar sendiri tak mungkin bagiku untuk mengekangnya. Memang, kadang ada rasa cemburu bila aku menyadari bahwa Bahar bisa melakukan apa saja yang dia maui. Kalau saja Bahar bisa membuatku lebih yakin, bahwa bagaimanapun antara aku dan dia saat ini terjalin suatu hubungan antara dua manusia, terlepas dari permasalahan yang ada ketika melakoni hubungan semacam ini.
"Yang namanya Pak Gunawan pasti orangnya ganteng ya?" ada nada cemburu dalam suara Bahar. Aku mengiyakannya dalam hati.
"Ya sudah.., mau gimana lagi.." lanjut Bahar tanpa menunggu jawabanku
"Abang marah?" tanyaku begitu mendengar nada suara Bahar yang tampaknya kesal. Dia diam tak menjawab pertanyaanku. Aku tahu, dia marah.
"Ya. Saya marah.." jawab Bahar pendek setelah beberapa lama terdiam,"Sulit bagi saya membayangkan Mas Har bercinta dengan laki-laki lain.."
"Ya, tapi Abang sendiri..?" jawabku seolah mengungkit apa yang dilakukannya di Surabaya.
"Aku kan main sama perempuan!" ia tak mau kalah
"O jadi begitu?!" balasku kesal.
Entahlah, malam itu aku merasa kami berdua saling bersikap egois tapi sekaligus berusaha untuk saling menenggang rasa. Benturan-benturan perasaan seperti ini bukannya tak pernah kami alami. Sering. Namun yang ini tampaknya sulit untuk kami redakan. Barangkali karena saat ini kami tengah berjauhan. Sebuah komunikasi memang akan lebih efektif bila dilakukan secara face to face. Tidak melalui telepon seperti ini, yang bisa banyak menimbulkan kesalah pahaman. Karena bagaimanapun ada nuansa yang berbeda antara berdebat melalui telepon dengan bicara secara langsung.
"Oke, sudah dulu ya. Barangkali Mas Har mau tidur.." kata Bahar mencoba mengakhiri percakapan. Aku diam saja. Terserah, kataku dalam hati.
"Oke?" Bahar ingin mempertegas
"Oke..!" nada suaraku kubuat seenteng mungkin.
Klik. Telepon pun kututup.
Sejak itu, selama seminggu aku gelisah dan uring-uringan terus. (Belakangan Bahar juga mengaku mengalami kegelisahan yang sama). Selama seminggu itu juga aku berusaha untuk tak ketemu dengan Pak Gunawan. Pernah ia sekali menelponku tapi aku katakan aku sedang sibuk mengolah data penelitian, dan ia bisa memaklumi.
Tapi entah angin apa yang sedang berhembus malam itu. Ketika aku tengah pusing menganalisa data-data yang ada, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku segera mematikan rokok dan menuju pintu.
Pak Gun rupanya. Aku sedikit tertegun memandangnya. Dia sendiri malah tersenyum lebar. Ramah dan seperti biasanya: kebapakan.
"Ada apa?" tanyanya dengan nada enteng begitu melihat wajahku yang mungkin terlihat kusut.
"Nggak pa-pa. Lagi sibuk saja Pak" kataku sambil mencoba senyum.
Pak Gun langsung saja masuk dan duduk menggelosoh di sofa. Malam itu dia pakai t-shirt warna biru gelap. Cakep. Wajahnya tampak bersih dan segar. Habis mandi tampaknya.
"Mau kopi Pak?" kataku menawari.
"Boleh.."
Begitu kopi kusajikan, tangan Pak Gun langsung menahan bahuku. Dimintanya aku duduk di sampingnya. Aku menurut.
"Kalau lagi ada masalah, cerita saja" katanya sambil memandangku lurus-lurus.
Sok tahu ini orang, pikirku dalam hati. Namun yang keluar dari mulutku: "Oh, nggak, saya baik-baik saja kok Pak"
"Jangan begitu. Bapak tahu kamu lagi ada masalah. Ya kan?"
Aku lalu diam dan menghela nafas. Kepalaku menunduk memandang lantai. Cukup lama. Pak Gun mencoba memijat bahuku. Aku tetap diam saja.
Akhirnya aku ceritakan semua masalahku padanya. Dan karena Pak Gun bertanya lebih jauh, secara flash back akupun menceritakan jalinan hubunganku dengan Bahar.
Beberapa saat Pak Gun terdiam, namun kepalanya mengangguk-angguk. Entah apa artinya.
"Ya sudah, kalau begitu, kalian harus bicara lagi. Maaf ya, ternyata Bapak sudah masuk terlalu jauh dalam hubungan kalian" kata Pak Gun dengan nada yang sulit kumengerti. Kulihat wajahnya seperti orang yang merasa bersalah, tapi juga ada kekecewaan di sana.
"Saya yakin, dia masih mengharapkanmu.." lanjut Pak Gun dengan agak bergetar.
"Ya, saya tahu. Saya juga.. Masih mengharapkan dia.."
Pak Gun kembali memandangku, kali ini agak kaget dengan kalimatku yang terakhir. Aku sendiri kaget dengan kekagetan yang sempat kutangkap dari tatapan matanya. Apakah Pak Gun cemburu?
Malam itu suasana menjadi agak kikuk. Meski Pak Gunawan mencoba bersikap wajar padaku, aku bisa menangkap kegelisahannya. Dan ketika ia pamitan untuk pulang, aku hanya bisa mengiyakan saja.
Sejak malam itu aku merasa bahwa aku seperti tak punya siapa-siapa lagi. Pertama, karena sudah hampir dua minggu aku dan Bahar saling menahan diri untuk tak berkomunikasi. Aku hapal dengan sikapnya itu, begitupun dia, pasti mengerti bagaimana reaksiku saat ini. Yang kedua, seminggu sejak malam itu, tak kulihat sedikitpun kelebatan sosok Pak Gun. Padahal ia orang yang paling rajin bertandang dan berkeliling ke segala sudut mess ini. Itu hampir dilakukannya tiap hari. Kemana dia hari-hari terakhir ini?
Aku mendapat jawabannya sehari setelah aku selesai menghubungi Bahar. Menghubungi Bahar? Ya. Semalam aku berpikir apa salahnya untuk mengontak dia dan mengalah dari semua persoalan ini. Tapi ternyata emosiku yang mulai cair menjadi menggumpal kembali, ketika Bahar dengan sengaja menunjukkan sikap dan rasa malas untuk berkomunikasi denganku. Oke! Aku sudah berusaha memulai. Sekarang terserah dia. Aku kemudian berusaha mendinginkan semua yang berkecamuk dalam pikiranku selama hampir tiga minggu ini. Mendinginkan sampai sedingin-dinginnya!
Dan esoknya, secara tiba-tiba Pak Gun muncul di belakangku ketika aku tengah membetulkan pagar halaman. Suara ketukan paluku rupanya telah menyamarkan kedatangannya. Aku baru menyadarinya ketika hendak beringsut mengambil potongan kayu di belakangku.
Aku hampir berteriak kaget. Dia hanya tersenyum memandang keterkejutanku. Tampaknya ia sudah lama berdiri di situ. Lalu, kenapa tak menyapa atau memanggilku? Tapi aku memasabodohkan semua itu. Karena kulihat tatapan matanya meneduh, sepertinya ada ajakan untuk 'berdamai'.
Aku beranikan untuk menatap. Memastikan yang tersirat dalam pikiranku. Bibirnya masih tersenyum. Dan matanya itu, ternyata memang teduh.
"Maafkan saya Dik Har, sudah lama nggak ke sini.." katanya kalem. Tapi justru kekalemannya itu yang membuat aku salah tingkah.
"Pak Gun ini, gitu saja kok pake minta maaf.." balasku sambil berusaha meredakan ketegangan perasaan.
Aku akhirnya menghentikan pekerjaanku dan mengajaknya ke teras depan. Kupersilakan dia duduk dan kemudian aku masuk ke dapur untuk membuatkannya minum.
Untuk kedua kalinya Pak Gun muncul di belakangku tanpa kuketahui. Diam-diam ia menyusulku ke dapur.
"Sudah. Dik Har mandi dulu sana, biar saya yang bikin minuman" kata Pak Gun mengagetkanku sambil tangannya menunjuk lelehan keringat yang membasahi t-shirt yang kupakai.
"Nggak pa-pa Pak. Mosok tamunya yang bikin minuman" balasku.
"Hei, sejak kapan saya dianggap tamu?" dia memprotes omonganku sambil tangannya meraih gelas yang kugenggam. Meletakkannya kembali ke meja dapur. Dan kedua tangannya lalu melingkar ke pinggangku..
Aku sempat terhenyak ketika ia berusaha memelukku. Kaget dan merasa risih karena aku masih berkeringat. Tapi ia memaksa. Dan akhirnya aku pun 'terpaksa' pasrah dipeluk olehnya. Ini adalah puncak dari kejutan-kejutan yang dilakukannya sejak di halaman depan tadi.
Terasa dada kami saling berdeburan. Helaan dan tarikan nafas kami saling beradu. Ada rasa kangen yang seolah ingin kami tumpahkan. Dan tanpa kusadari pipi kami saling bersentuhan. Lalu bibirnya kurasakan mulai bergeser menyentuh tulang rahangku. Nafasnya hangat di sana.
Dan ketika bibir yang padat itu mulai menyentuh pipi kiriku, kemudian bibirku, aku merasakan seluruh sendiku melemas. Lolos. Ringan. Seperti melayang. Aku seperti melayang! Padahal Pak Gun hanya melumat bibirku beberapa saat. Tangannya lalu memeluk kepalaku lagi dan membenamkannya ke lehernya yang tengadah. Kudengar ia menarik nafas dan makin erat memelukku.
"Bapak kangen, Har.." ia berdesah lirih. Dan aku tersentuh.
Tersentuh bukan karena apa-apa. Di saat suasana hati yang sedang berusaha kubuat sedingin mungkin karena sikap Bahar di telepon kemarin, suara Pak Gun menjadi satu kehangatan yang seketika mencairkan kebekuan itu. Dan rasa kesalku yang masih ada seolah mendorongku untuk memasabodokan segala tentang Bahar dan menerima 'permintaan maaf' Pak Gun siang ini yang telah disampaikannya dengan cara yang sentimentil.
"Bagaimana kabar Abangmu?" ia mencoba bertanya
Tapi pertanyaan itu tak kujawab. Malah kurasakan mukaku jadi kecut mendengar Pak Gun menyinggung kembali masalahku dengan Bahar.
"Ya sudah.. Bapak cuma nanya saja kok, siapa tahu bisa menenangkan pikiranmu.." suaranya mulai romantis.
Kembali Pak Gun menatapku. Kali ini pandangannya lebih teduh. Ada senyum tipis di balik kumisnya yang khas itu. Kuberanikan untuk membalas senyuman itu dengan kecupan. Dia merespon. Dan kami pun tenggelam lagi dalam ciuman-ciuman yang dalam. Dan lebih lama.
"Mau dimandiin?" katanya di sela-sela pagutan bibirnya.
Dimandiin?, "Hhmmhh.." aku hampir ketawa tapi mulutku segera dibungkamnya lebih ketat.
"Mau?" tanyanya lagi, kali ini sambil melepas pagutannya.
Aku mengangguk, seperti anak kecil menuruti perintah bapaknya.
Aku segera melangkah ke kamar mandi. Melepas seluruh pakaianku dan melilitkan handuk putih ke pinggulku. Pak Gun menyusul kemudian. Lengan bajunya sudah tersingkap ke atas. Demikian juga dengan celana panjangnya.
"Pakai ini segala!" tangannya langsung menarik handuk yang melilit bagian bawah tubuhku. Ketelanjanganku pun langsung mendapat reaksi. Tangannya segera menggenggam bagian tubuhku yang sudah mulai membesar itu. Meremasnya. Dan terus meremas. Aku merintih..
"Pak Gun sendiri masih berpakaian.." protesku di sela rintihan. Tapi ia diam saja. Maka tanpa diminta, aku segera melepasi kancing bajunya, membuka ikat pinggang dan menarik resleting celananya. Tapi aku tak bisa melanjutkan aksiku lebih jauh. Karena ia makin merangsek dan mendesakku.
Merasa kondisi pakaiannya yang sudah acak-acakan dan setengah terbuka, Pak Gun lalu melepas sendiri baju dan celana panjang itu. Kini ia hanya bercelana dalam. Warnanya putih, modelnya konservatif. Khas bapak-bapak. Tapi bagiku malah terlihat seksi.
Entah karena dorongan apa, tiba-tiba aku sudah mengambil posisi jongkok, lalu pelan-pelan kupelorotkan pakaian terakhir yang menutup tubuhnya itu. Pak Gun sempat kaget, lalu diam, menunggu apa yang akan kuperbuat. Tapi belum sampai celana dalam itu kutarik sampai ke lututnya, tangan Pak Gun sudah mengarahkan meriam kecilnya yang sudah siaga penuh itu ke wajahku. Tanganku langsung menggenggamnya dan kuakhiri dengan sebuah lumatan.
Aku tak tahu apakah Pak Gun pernah diperlakukan begini oleh seorang laki-laki. Tapi yang jelas inilah pertama kali aku melakukannya padanya. Dan aku selanjutnya tak peduli lagi dengan itu semua. Karena kini benda yang kulumat itu makin mengeras dan mulutku terasa mulai penuh. Sehingga aku akhirnya lebih banyak melakukan jilatan saja, terutama di sekujur batang dan kedua bola kecil miliknya yang penuh dengan bulu keriting. Sementara kuluman hanya aku lakukan di bagian kepalanya saja. Itupun sudah membuatku kerepotan karena 'helm' miliknya tergolong berukuran spesial (baca oase sebelumnya).
Belum puas aku melakukan itu semua, tangan Pak Gun menyuruhku berdiri dan lalu memelukku kuat-kuat sambil mencium dengan gemas. Aku yang sudah sulit mengatur nafas karena permainan mulut di bawah tadi, kini jadi terengah-engah disumbat oleh bibirnya yang terus menempel ketat.
Sambil terus menciumiku, tangannya pelan-pelan meloloskan celana dalamnya sendiri yang dari tadi masih menyangkut di atas lututnya. Begitu lolos, kedua pahanya yang kekar berbulu itu langsung dengan leluasanya menjepit kuat tubuhku. Ini yang membuatku heran. Gerakan-gerakan Pak Gun seperti orang yang kegemasan.
"Sudah lama nggak main begini.." nafasnya terengah-engah, seolah menjawab keherananku.
"Begini bagaimana?"
"Main 'anggar' dan diisap.."
"O ya?" aku tak percaya.
"Istriku tak mau melakukan oral" katanya menjawab keraguanku, "Tadi sudah hampir keluar.." sambungnya, ".. Kamu pintar melakukannya.."
"Mau dilanjutkan?" tanyaku menawari. Ia menggeleng.
"Kenapa?" tanyaku lagi
"Nanti saja. Sayang kalau dikeluarin sekarang.." sambil matanya mengerling nakal.
Siang itu, akhirnya Pak Gun jadi memandikan aku. Seluruh tubuhku rasanya tak luput dari jarahan dan keusilan tangannya yang berlumuran busa sabun, khususnya di bagian-bagian tubuhku yang sensitif. Aku sampai memintanya untuk berhenti bila dibagian itu ia melakukan gerakan yang tak hanya sekedar membasuh.
"Kenapa?" tanyanya.
"Sayang kalau dikeluarin sekarang.." kataku meledek mengulangi ucapannya tadi.
Kami lalu tertawa bersama. Dan Pak Gun pun meredakan aksinya. Kini ia benar-benar memandikan aku. Persis seperti seorang bapak tengah memandikan anaknya.
Akhirnya, "Sudah.." katanya sambil melakukan guyuran yang terakhir. Diambilnya handuk dan dikeringkannya seluruh tubuhku. Kemudian ia sendiri mengguyur badannya beberapa kali untuk membersihkan cipratan air dan busa sabun, lalu gantian aku yang membantu mengeringkan tubuhnya. Selesai.
Pak Gun lalu menciumku. Aku membalasnya. Kami pun berciuman. Lumat dan lama. Kami masih telanjang, belum berpakaian. Sehingga tercium aroma segar yang muncul dari tubuh kami berdua.
"Har.., Bapak pingin mengisap punyamu.." bisiknya di telingaku.
Dengan senang hati aku segera melebarkan posisi kakiku begitu Pak Gun mengambil posisi jongkok tepat di tengahnya. Dan langsung melahap benda yang ada di hadapannya. Tampak sekali ia menikmati milikku. Seperti anak kecil mendapat mainan baru. Setiap kali selesai menjilat atau mengisap, dalam beberapa saat ia pasti akan mengamati dengan seksama benda bulat panjang yang terus digenggamnya erat-erat itu. Seolah ia belum pernah melihat sebelumnya. Sesekali wajahnya mendongak ke atas dan tersenyum ke arahku.
Aku mengira-ngira, sepertinya Pak Gun sudah lama, bahkan mungkin belum pernah melakukan oral seks dengan laki-laki. Tapi, kalau merasakan isapan dan sedotannya yang cukup kuat dan cukup bervariasi itu, tampaknya ia pernah melakukan itu sebelumnya.
Tapi buat apa mempertanyakan pengalaman dia. Aku terlalu kenikmatan untuk memikirkan itu. Sungguh, aku kenikmatan sekali. Sepertinya Pak Gun bisa memenuhi perlakuan-perlakuan yang kuinginkan tanpa aku memintanya. Bahkan ia melakukannya lebih dari yang kubayangkan. Sampai-sampai aku harus memegangi kepalanya yang agak botak itu. Bukan untuk memberinya dorongan untuk melakukan lebih jauh, tapi justru untuk sedikit menahan aksinya yang rada liar itu.
Ah! kini tangan kanannya malah menjalar ke daerah pantatku melalui celah paha yang memang sengaja kubuka lebar-lebar. Telapak tangannya lalu mengusap dan meremas lembut bongkahan di belakang tubuhku. Sesekali menjalar di sepanjang jalur di tengahnya, lalu turun hingga ke pangkal kantung pelirku. Merambat naik lagi, merayap sepanjang jalur, mengusap dan berakhir dengan remasan pada bukit pantatku. Dan setiap remasan dibarengi dengan isapan yang kuat di bagian depan. Punggungku sampai melengkung dan kepalaku beberapa kali harus terjulur merasakan desiran-desiran di bawah sana.
Rasanya, aku harus meralat kalimat 'sayang kalau dikeluarkan sekarang' yang tadi kuucapkan. Karena sekarang aku ingin sekali 'dikeluarkan' oleh mulut Pak Gun. Tapi aku tak perlu memintanya. Sebab dari perlakuan yang kurasakan, ia tampaknya memang berniat membuatku ejakulasi. Dan aku dengan senang hati menerimanya.
Segala cara ia lakukan. Banyak teknik dan 'perbendaharaan' permainan oral yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Karena rupanya ia tak sekedar bermain dengan mulut saja, tapi juga memaksimalkan seluruh fungsi jari dan telapak tangannya. Sasarannya pun tak hanya pada bagian 'pusat' saja, tapi juga menelusur hingga ke bukit di belakang sampai ke celah-celahnya, merambah hutan lebat dan semak-semak yang ada, serta terus mengusik gundukan yang menggantung, seolah dianggap tak bertuan..
Padahal sang tuannya kini tengah gelagapan, tak tahu harus berbuat apa lagi. Mata sang tuan sudah sedemikian sayu namun raut wajahnya mengencang merah. Entah kata-kata apa yang bisa melukiskan semua kenikmatan ini.
"Paakk.. Ohh, enakk.. Pakk.." hanya itu yang terus keluar dari mulutku.
Sementara orang yang dipanggil di bawah sana hanya menggeram-geram bagai singa yang tak mau diganggu ketika tengah menikmati daging mentah santapannya.
Ketika kepalanya asyik tenggelam di bawah kantung pelirku sementara tangan kanannya meremas-remas batang di bagian atasnya, ejakulasiku pun datang tak terbendung lagi. Aku berteriak, benar-benar berteriak. Barangkali kalau ada orang lewat, pasti bisa mendengar teriakanku. Pak Gun sampai berusaha menenangkanku,"Ssshh.. Ssshh.." bisiknya sambil tangannya memilin-milin sekujur batang kemaluanku seolah-olah ingin mengeluarkan seluruh isinya. Matanya bergantian memandang ke atas melihat ekspresi orgasmeku, lalu memandang ke bawah lagi mengamati proses ejakulasi yang sedang berlangsung di depan wajahnya.
Mulutku masih menguncup mendesis-desis, tapi sudah tak mengeluarkan teriakan lagi.
".. Ohh.. Ohh.." akhirnya aku bisa menarik nafas kepuasan dan bisa kembali memandang Pak Gunawan dengan jelas meskipun mataku masih sayu. Yang kupandang tersenyum 'tanpa dosa', dan aku pun tersenyum 'penuh dosa'.
"Enak?" tanyanya ketika ia sudah berdiri kembali menghadap ke arahku.
Aku hanya bisa mengangguk-angguk mengiyakan. Mataku belum sepenuhnya melek dan mulutku masih sedikit terbuka karena nafas yang belum teratur. Kulihat mulut Pak Gun agak belepotan dengan cairan, demikian juga dengan ujung kumisnya. Kuulurkan tanganku dan kuusap pelan-pelan. Lalu kusentuhkan bibirku ke sana. Dan yang punya bibir langsung menyambutnya dengan sebuah lumatan. Padahal deru nafasku belum sepenuhnya reda.
Tiba-tiba dengan tak sabar, tangan Pak Gun menggelandangku keluar kamar mandi.
"Sekarang kita ke kamar saja.." ajaknya sambil menarikku menuju ruang makan, melewati ruang tengah, menuju ke arah ruang tidur.
Hey?!, Sejak kapan dia tahu letak kamar tidurku?
E N D
Oase Laut Utara 06: Bermain Api Di Tengah Air - spesial!
(by: juzoef@yahoo.com)
(Special for someone who call me 'The Great Pretender')
Irama kehidupan di sebuah mess agak berbeda dengan irama keseharian di luar sana. Karena sebuah mess biasanya hanya digunakan sebagai persinggahan atau tempat tinggal sementara bagi keperluan yang berkaitan dengan program pendidikan.
Keterangan di atas aku terima dari Kepala Mess, Pak Roy, ketika aku tengah menyelesaikan urusan administrasi berkaitan dengan rencana tinggalku di mess ini untuk waktu yang agak lama. Saat ini mess sedang kosong dan baru minggu depan akan ada program pendidikan baru. Jadi Pak Roy punya waktu kosong untuk mengajakku keliling mengenali lingkungan mess.
Fasilitas yang ada di situ cukup lengkap dan semuanya berkaitan dengan masalah laut dan kelautan. Ada perpustakaan, laboratorium, kolam renang, tempat simulasi penyelaman, arena untuk berbagai olah raga, kantin, dsb; di samping ruang-ruang kelas, ruang rapat, aula dan sederetan rumah dinas pegawai mess.
Selain Pak Roy, masih ada beberapa orang pegawai di lingkungan Kelautan yang tinggal di rumah dinas di lingkungan mess tersebut. Pada umumnya mereka para instruktur dan pegawai pendukung. Aku sempat dikenalkan dengan beberapa orang di antaranya.
Tempat terakhir yang aku kunjungi adalah rumah dinas Kepala Instruktur, yang katanya seorang purnawirawan TNI. Sayang sekali kami tidak ketemu orangnya karena sedang mengantar anaknya ke sekolah. Tapi kami sempat ketemu istrinya dan berbasa-basi sebentar.
"Pak Harso boleh menggunakan fasilitas yang ada di sini kapan saja," kata Pak Roy ketika selesai berkeliling dan aku berpamitan untuk kembali ke paviliun.
Siang itu aku mulai menata persiapan bahan dan perlengkapan untuk pengolahan data penelitianku. Lay out ruangan terpaksa aku ubah sedikit sehingga lebih praktis tapi cukup efisien sebagai ruang kerja pribadi.
Sorenya aku ingin santai tapi tak mau sekedar duduk-duduk diam. Olah raga? rasanya lapangan tenis dan badminton tampak kosong tidak ada yang main. Begitu juga dengan meja ping pong. Renang? Kayaknya terlalu 'serius' apalagi kalau sendirian.
Pilihanku akhirnya jatuh pada joging. Segera kuganti pakaianku dengan kaos oblong tanpa lengan dan celana kanvas pendek. Untung aku tak lupa bawa sepatu kets yang sudah cukup lama tak kupakai ini.
Hampir tiga kali aku mengitari kompleks mess sebelum akhirnya berkeliling di sekitar lapangan rumput yang tampaknya mulai ramai orang. Rupanya aku terlalu 'siang' berolah raga, karena baru menjelang sore mulai banyak anak-anak, bapak-bapak dan warga mess lainnya yang memanfaatkan fasilitas olah raga di sini.
Yang paling ramai dikunjungi memang di lapangan rumput ini. Beberapa orang tampak memperhatikanku. Maklum, karena aku orang baru di lingkungan ini. Sementara di pojok lapangan sana beberapa gadis dan ibu-ibu melihatku sambil cekikikan. Aku agak salah tingkah juga.
Sepertinya penampilanku cukup menarik perhatian orang. Di samping karena aku orang baru, postur tubuhku yang agak gede tampaknya menyolok di antara yang lain. Apalagi ternyata pakaianku agak 'berani' dibandingkan dengan pakaian orang-orang yang ada di situ.
Dengan kaos tanpa lengan yang agak terbuka, otot lengan dan bagian ketiakku jadi terlihat jelas. Sementara celana pendek yang kupakai tak mampu menyembunyikan bulu-bulu yang tumbuh lebat di sekitar betis dan pahaku. Tiba-tiba aku jadi risih sendiri. Beberapa gadis di sana masih melihatku dengan pandangan tertentu.
"Sore Pak!" ada suara agak berat menyapaku dari belakang.
"Sore..," jawabku agak ragu sambil menyambut tangan seorang bapak yang menyapaku. Orangnya gagah, agak gemuk, sedikit botak, tapi wajahnya ganteng terutama karena senyum dan kumisnya yang..
"Gunawan..," katanya sopan sambil tersenyum ramah.
"Oh, Pak Gunawan. Saya Harsoyo Pak," kataku langsung mengenalkan diri begitu tahu kalau orang yang berdiri di depanku ini Pak Gunawan, Kepala Instruktur di sini, yang tidak sempat kutemui siang tadi.
Kami lalu berbincang-bincang ringan selayaknya orang yang baru saling kenal. Pak Gunawan saat itu tampaknya juga sedang berolah raga. Kaosnya tampak basah oleh keringat. Demikian juga handuk kecil yang sesekali diusapkan ke leher dan dahinya yang berpeluh. Terus terang, ada sesuatu pada diri Pak Gunawan yang membuat gelisah pikiranku.
Bapak ini ternyata seorang laki-laki yang memiliki daya tarik tidak saja secara fisik tapi juga karena usia dan kematangannya. Dan aku tak fair bila tak mengakui hal itu. Meski pakaian olah raganya cukup rapat, training spaak dan kaos lengan panjang, tapi ketegapan tubuhnya tak bisa disembunyikan dari pandanganku. Oh, tiba-tiba wajah Bahar membayangiku..
"Dik Har olah raganya apa?" lamunanku dibuyarkan oleh suaranya yang kebapakan itu. Panggilan 'dik' kepadaku terasa lebih akrab dan hangat.
"Apa saja Pak, yang murah meriah," jawabku."Tapi yang paling sering ya joging dan renang," lanjutku menjelaskan.
"Wah, renang!, itu olah raga wajib di Kelautan sini lho," katanya sambil tertawa. Cara tertawanya benar-benar menawan. Oh, Bahar maafkan aku!
Sore itu kami belum sempat ngobrol banyak karena sudah keburu petang. Pulangnya kami berjalan kaki lewat belakang memutari lapangan. Kebetulan rumahnya searah dengan paviliunku. Waktu pamitan, dia janji akan mampir ke tempatku kapan-kapan. Tangannya menepuk punggungku. Akrab dan hangat.
"Ayo Dik," dia berpamitan sebelum berlalu meninggalkanku
"Mari Pak.."
Sesampai di rumah aku langsung mandi karena keringat sudah mengering dari tadi. Malamnya aku baca-baca dan.. Aku baru teringat bahwa di tempatku tak ada pesawat televisi. Mati aku! Bisa kuper aku kalau begini caranya.
Kucoba menelepon ke kantor Pak Roy tapi tidak ada yang mengangkat. Barangkali kalau malam begini kantornya memang sudah tutup, tidak ada yang jaga. Lalu?
Tiba-tiba kudengar suara ketukan pintu. Siapa?
Aku bergegas ke depan, dan ternyata Pak Gunawan! Surprise! Aku sampai agak gelagapan menyapanya.
"Maaf nih Dik Harso, bapak bertamu malam-malam," katanya masih di ambang pintu.
"Nggak pa-pa Pak. Kebetulan ada beberapa yang mau saya bicarakan," kataku meyakinkan dia agar tak mengurungkan niatnya untuk bertamu.
Kami segera larut dalam obrolan kesana kemari, termasuk masalah televisi yang belum ada di kamarku. Dari televisi pembicaraan jadi berkembang kemana-mana. Wawasannya cukup luas dan termasuk pembicara serta pendengar yang baik. Orangnya juga baik, akrab dan humoris.
Pak Gunawan ternyata berasal dari Bengkulu dan istrinya dari Jepara, Jawa Tengah. Anaknya satu, baru kelas dua SMP. Sementara usia Pak Gunawan sendiri sudah lima puluh tahun lebih. Agak telat kawin tampaknya.
"Makanya jangan telat Dik. 'Ntar kayak saya lho," katanya mengingatkanku.
"Yaa.. Kalau belum ketemu jodohnya, gimana Pak?" kataku mengelak
"Maaf ya, umur Dik Harso sekarang berapa?"
"Tiga puluh.."
"Sebenarnya belum telat juga ya."
"Ya. Apalagi laki-laki."
"Tapi, mosok sih selama tiga puluh tahun cuma buat kencing doang?" ledeknya sambil ketawa ngakak.
Aku agak kaget dengan komentarnya, meskipun itu guyonan yang klise. Tapi karena Pak Gunawan mengucapkannya sambil tertawa dan tanpa maksud apa-apa, aku pun ikut tertawa menanggapinya. Bahkan aku malah suka dengan omongannya yang mulai nyerempet itu.
"Pak Gun sendiri kawin umur berapa, Pak?" tanyaku.
"Wah, saya nikahnya telat. Hampir empat puluh baru nikah" katanya sambil matanya menerawang, lalu, "Kalau 'kawin' sih sudah saya lakukan sejak usia dua puluhan" lanjutnya dan kembali ketawa ngakak.
Tadinya aku kurang tanggap dengan kata-katanya. Tapi karena kata"kawin" sengaja diucapkannya dengan nada tertentu, aku baru paham, dan jadi ikut ketawa.
"Dik Har kapan mulai kawin?" tanyanya kemudian.
"Ya, nanti kalau ketemu jodohnya Pak" jawabku.
"Maksudku 'kawin' lho, bukan nikah" jelas Pak Gunawan sambil senyum-senyum.
Semula aku agak kaget juga. Pertama, karena jawabanku tadi nggak nyambung, dan yang kedua, karena omongan Pak Gunawan tampaknya makin mengarah.
"Maksud Pak Gun, mengenal seks?" aku nekad memperjelas maksud pertanyaannya.
"Ya!" jawabnya sambil mengangguk-angguk.
"Kalau itu sih, sama dengan Pak Gunawan, di usia dua puluhan."
"Habis itu, pasti berlanjut terus ya?"
"Nggak juga."
"Ah masa?, Dik Har kan orangnya masih segar begini. Gagah. Pasti masih kuat gairahnya."
"Ya. Tapi kan nggak bisa sembarangan, Pak."
"Orang seganteng Dik Har 'kan pasti banyak yang suka. Tinggal pilih saja. Apalagi Manado sini terkenal dengan ceweknya yang.." Pak Gun tak melanjutkan kalimatnya, tapi membuat isyarat dengan jempolnya.
Aku hanya senyum-senyum saja mendengar komentar-komentar Pak Gunawan tentang diriku. Sebenarnya aku agak bingung menjawab pertanyannya tentang pengalaman seks-ku. Bukan apa-apa. Rasanya tak mungkin kuceritakan bahwa aku pernah tidur dengan satu dua perempuan, dan selanjutnya pengalaman ranjangku lebih banyak terjadi dengan laki-laki.
"Saya dulu termasuk play boy lho," tanpa kutanya Pak Gunawan memulai bercerita.
Sebenarnya aku tidak kaget dengan omongannya itu. Pak Gunawan memang laki-laki yang menarik. Pasti waktu mudanya banyak digilai oleh gadis-gadis. Dari tampangnya kelihatan kalau dia punya bakat play boy. Senyum dan sorot matanya mempertegas hal itu.
"Wah, boleh dong bagi-bagi ilmunya, Pak," kataku memancing.
"Aahh, sebenarnya Dik Har sendiri sudah punya modal untuk jadi play boy, lho," jawabnya menunjuk ke arahku.
Pak Gunawan lalu bercerita bahwa dulu ia punya senjata andalan: kumisnya. Menurutnya, banyak gadis-gadis yang tertarik dengan kumisnya yang cukup tebal itu. Memang sejak awal kenal, harus kuakui bahwa bagian yang paling menarik dari wajah Pak Gunawan adalah kumisnya. Khas pejabat militer. Dan di mataku, kumis itu kelihatan sexy.
"Tapi masa mereka hanya tertarik sama kumis?" tanyaku makin menyelidik.
Pak Gunawan tersenyum mendengar komentarku sambil telunjuknya bergerak-gerak ke arahku, seolah-olah paham arah pertanyaanku.
"Maksudmu, soal beginian?" katanya sambil menjepitkan jempolnya di antara telunjuk dan jari tengah, "Itu sih rahasia perusahaan. Tapi yang jelas, tak ada wanita yang tak pernah puas dengan saya.."
Aku hanya tersenyum saja mendengar penuturannya. Pancinganku ternyata masih belum terlalu mengena. Padahal aku sudah penasaran ingin mendengar omongannya lebih mengarah lagi ke hal-hal yang lebih sensistif.
"Yang jelas, perempuan 'tu lebih menyukai kalau kita punya barang yang gede.." katanya setengah berbisik, seolah menjawab apa yang tengah jadi pikiranku.
"Kalau gitu, punya Pak Gun gede dong?" tanyaku sambil menahan nafas.
"Haa.. Ha.. Haa.. Ha.." dia ketawa sambil meninju bahuku,"Sebenarnya, yang penting bukan ukuran, tapi cara menggunakannya.." lanjutnya diplomatis, dan tawanya makin berderai-derai.
"Tapi kan harus ditunjang dengan fisik yang kuat juga, Pak" kataku menambahkan.
"O iya, itu pasti. Makanya harus rajin-rajin olah raga."
"Pak Gunawan waktu itu olah raganya apa?" tanyaku
"Dulu saya hampir suka semua olah raga, terutama volley dan renang."
"Renang di kasur.." aku mencoba mencandainya
"Bisa saja kamu ini. O ya, katanya Dik Harso suka renang juga? Besok sore saya punya rencana mau renang. Gimana, mau ikut nggak?" ajaknya tiba-tiba
Aku diam tidak sempat menjawab.
"Kenapa? Nggak punya celana renang? Saya punya beberapa. Bisa dipinjam, kalau mau." katanya begitu melihat aku tak menjawab ajakannya.
"Saya ada celana renang kok, Pak" kataku, lalu,"Lagian kalau pakai punya Pak Gunawan 'kan belum tentu cukup."
"Kenapa? Wah, punyamu pasti ukurannya lebih gede ya?" katanya menggodaku sambil matanya sengaja mengarah ke bagian depan celanaku.
Akhirnya pembicaraan kami berhenti sampai pada rencana untuk renang besok. Pak Gunawan lalu pamitan dan besok sore dia janji akan mampir ke sini lebih dahulu sebelum ke kolam renang.
Namun keesokan harinya, ajakan Pak Gunawan bukan sesuatu yang mudah kupenuhi. Ada kegelisahan sendiri memikirkan hal itu. Aku takut terseret oleh daya tariknya. Takut bila ternyata Pak Gunawan bukan seseorang seperti yang kubayangkan. Namun di sisi lain, aku masih berharap bahwa ia memang seperti seseorang yang kuinginkan dalam pikiranku. Tapi kegelisahan ini menimbulkan ketakutan di sisi lain: bayangan Bahar terlalu sulit untuk kukhianati. Belum seminggu aku jauh darinya, sudah ada godaan seperti ini. Mungkinkah Bahar juga mengalami seperti ini di Surabaya sana?
Akhirnya aku putuskan untuk melakukan penjajagan saja. Wait and see. Lalu bagaimana kalau ternyata apa yang kuharapkan benar? Entahlah, sulit menjawabnya. Aku memang dalam sebuah dilema.
Sebenarnya ada kelegaan sedikit, ketika sampai jam 4 sore Pak Gunawan belum juga datang menjemputku. Artinya, untuk saat ini, aku tak perlu terombang-ambing oleh keinginan dan naluri penolakanku.
Tapi kelegaan itu ternyata hanya berumur sepuluh menit. Dia datang dengan hanya bersandal jepit, bercelana pendek dan menenteng handuk serta peralatan mandi lainnya. Dadaku galau, antara bimbang dan senang.
"Ayo. Jadi ikut 'kan?" ajaknya akrab seperti biasanya.
"Sebentar ya Pak" kataku sambil masuk. Segera kuganti celana dalamku dengan celana renang dan kukenakan celana bermuda.
"Mari Pak.." ajakku kemudian sambil menutup pintu
Kami langsung menuju kolam renang. Ada beberapa anak kecil tengah bermain di sana. Tapi segera lari menghambur keluar begitu kami berdua masuk.
"Lho, lho.., kok sudah selesai?" sapa Pak Gunawan ramah pada anak-anak penghuni mess itu.
Mereka hanya tertawa-tawa saja sambil berhambur melewati kami berdua. Mungkin mereka sudah lama main-main di kolam ini dan memang sebenarnya ini sudah terlalu sore untuk berenang, karena udara sudah agak teduh bila dibandingkan satu dua jam yang lalu.
Pak Gunawan tanpa sungkan-sungkan melepas baju kaosnya dan memelorotkan celana pendeknya, hingga tubuhnya kini hanya bercawat renang saja. Seksi juga bapak-bapak ini, pikirku. Cawat yang dipakai pun cukup gaya: model bikini bergaris-garis vertikal warna biru.
Kedua kakinya kulihat berjingkat-jingkat sambil tangannya membetulkan ujung karet celana renangnya agar lebih nyaman posisinya. Kadang-kadang diselingi dengan gerakan berjongkok dengan kedua lengan terlipat di belakang leher. Ah, dasar instruktur!
Gerakan pemanasan yang dilakukan Pak Gunawan tak urung membuatku berdesir. Karena dalam beberapa posisi tak urung gerakan itu memperjelas garis lekukan dan tonjolan yang ada di beberapa bagian tubuhnya. Sebenarnya aku agak kikuk melihatnya, mengingat antara kami belum akrab benar. Dan aku pura-pura tak memperhatikan lagi.
Segera kubuka pakaianku dan berusaha menahan diri untuk tetap tak 'terpengaruh' oleh aksinya. Untuk kesempatan ini aku sengaja memakai celana renang model trunk sehingga sebagian pinggulku agak tertutup, jadi agak lebih 'sopan'. Bukan apa-apa, aku tak mau menyolok. Siapa tahu kolam ini ternyata penuh dengan orang-orang, seperti di lapangan olah raga kemarin.
Pak Gunawan ternyata memperhatikanku selama aku membukai pakaianku. Tapi pandangannya santai dan senyumnya ringan-ringan saja. Aku saja yang ge-er. Tapi pikiranku jadi berubah ketika dia tiba-tiba memberiku isyarat dengan mengangkat lengan kanannya dan menunjukkan otot bisepnya sambil menunjuk-nunjuk tubuhku, lalu mengacungkan jempolnya. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa aku punya tubuh yang bagus.
Padahal, ukuran tubuh kami tak jauh berbeda. Meskipun perut Pak Gunawan agak buncit, namun bahu dan dadanya cukup padat dan proporsional. Memang bulu di tubuhnya tak sebanyak milikku. Bulunya lebih keriting dan lebih banyak tumbuh di sekitar perut dan bagian bawah pusarnya saja, di bagian atas hanya tumbuh di sekitar puting dadanya.
Pak Gunawan lalu menganjurkan aku untuk melakukan gerakan pemanasan seperti yang dilakukannya tadi. Sementara ia sudah selesai pemanasan dan sekarang sedang berlari-lari kecil mengitari kolam renang. Gerakannya cukup gesit dan atletis. Dari seberang kolam renang aku jadi lebih bebas mengamati segala gerak-geriknya. Tubuhnya yang setengah telanjang itu meliuk-liuk membentuk siluet tertimpa sinar matahari sore. Dengan hanya bercelana renang, ketegapan tubuhnya makin terlihat nyata dari kejauhan. Sialan, aku jadi terpengaruh juga akhirnya. Kurasakan bagian depan celana renangku mulai mengeras.
Beberapa saat kemudian kami berdua sudah berada di air. Kami sempat beberapa kali melakukan renang sprint bolak-balik. Lumayan capek. Lima menit kemudian kami sepakat untuk menyudahinya begitu sampai di tepi kolam sebelah timur yang terkena sinar matahari.
Ketika aku menyentuh pinggiran kolam, ternyata Pak Gunawan sudah sampai duluan dan sudah duduk melepas lelah di bagian tepinya. Salah satu kakinya masih berada di air dan yang satunya lagi diangkat ke atas tepian kolam, sehingga posisi duduknya agak mekangkang. Sebuah pemandangan yang menakjubkan untuk dinikmati.
Dari bagian tepi kolam aku bisa dengan jelas melihat pemandangan yang mengejutkan itu. Garis batang kemaluan Pak Gunawan jadi tampak jelas menonjol di balik celananya yang basah. Tampak juga bulu-bulu keriting yang tumbuh di sekujur pahanya bagian dalam.
"Capek Dik?" tanyanya dengan nafas ngos-ngosan.
"Lumayan" kataku tak kalah ngos-ngosan, karena tarikan nafasku terganggu oleh detak jantungku yang makin tak karuan menghadapi pemandangan yang terpampang persis di depan wajahku itu.
Pak Gunawan lalu menarik nafas panjang sambil menyeka rambutnya yang basah ke belakang.
"Aaagghh.." terdengar dia membuang nafas panjang.
Lalu pelan-pelan, ia merebahkan punggungnya ke lantai di pinggir kolam, sementara kedua kakinya kini dijuntaikan masuk ke dalam air. Kini, dengan posisi rebahan seperti itu, tonjolan kemaluan Pak Gunawan makin terlihat jelas. Dan aku dengan leluasa dapat menikmatinya tanpa takut ketahuan karena posisi Pak Gunawan tak memungkinkannya untuk melihatku ke bawah.
Punyaku sendiri sudah tegang dari tadi. Makanya aku sengaja tidak segera naik ke tepi kolam. Di samping takut ketahuan, aku juga tak mau melewatkan pemandangan yang menggairahkan yang ada di depanku saat ini.
"Dik Har..," sapaannya tiba-tiba mengejutkan konsentrasiku.
"Ya Pak?" jawabku
"Saya duluan ke kamar bilas ya"
"O, silakan Pak. Nanti saya menyusul"
Dia lalu bangkit dari rebahannya, mengambil handuk dan peralatan mandinya, terus masuk ke kamar bilas yang ada di sudut area kolam renang ini. Aku sendiri masih berusaha menenangkan 'adik kecil'ku yang masih tegang di bawah air.
Ketika aku naik ke tepi kolam dan duduk sebentar di situ, pikiranku dipenuhi oleh bayangan tubuh Pak Gunawan. Haruskah aku tertarik padanya? Akankah semua ini hanya berhenti pada ketertarikan saja dan tak terjadi apa-apa? Bertepuk sebelah tangan?
"Hei..!" tiba-tiba kepala Pak Gunawan nongol dari balik pintu kamar bilas dan tangannya memberiku isyarat untuk segera menyusulnya.
Aku agak kaget juga mendengar teriakannya. Segera kusambar handukku dan dengan sedikit mengendap-endap aku masuk ke kamar bilas, takut sekaligus berharap bisa menjumpai sebuah pemandangan yang menggairahkan. Tapi, lagi-lagi aku terlalu berharap. Pak Gunawan tidak sedang telanjang. Celana renangnya masih utuh melekat.
"Dik Har nggak bawa sabun untuk berbilas ya? Pakai saja punya saya" katanya sambil menyodorkan kotak peralatan mandinya. Aku baru sadar, kok aku bisa lupa bawa peralatan mandi. Mungkin sudah lama tidak renang di kolam seperti ini.
"Pak Gun sudah selesai berbilasnya?" tanyaku
"Beluum.." katanya sambil tertawa,"Sudahlah, gabung saja dengan saya di sini"
Semula aku agak kikuk. Tapi melihat Pak Gunawan dengan santainya membilas tubuhnya di bawah shower, aku pun lalu mengambil tempat di salah satu shower yang ada di situ.
"Kalau pas lagi ada program pendidikan, biasanya banyak siswa yang berenang di sini. Maklum, orang kelautan kan harus bisa renang" Pak Gun bercerita di sela-sela acara berbilasnya.
"Rame dong Pak" kataku menanggapi
"O ya, apalagi kalau sedang ada di kamar bilas ini"
"Kenapa?"
"Biasa, namanya juga anak muda. Acara berbilas bisa jadi acara kontes burung" kata Pak Gun sambil terus menggosoki tubuhnya dengan busa sabun.
"Jadi, mereka pada telanjang?" aku penasaran
"Ya, nggak semua. Tergantung orangnya. Ada yang cuek. Ada juga yang malu-malu"
"Pak Gun sendiri ikutan kontes juga"
"Nggak lah ya" katanya sambil tertawa,"Saya hanya mengawasi mereka dari luar. Jadi cuma bisa mendengar suara ribut dan tawa mereka yang rame itu"
"Kalau Pak Gun ikut, pasti menang ya Pak" candaku sambil sengaja melihat ke arah selangkangannya.
"Ukuran saya sih sedang-sedang saja kok" katanya sambil memegangi lalu mengelus-elus sendiri tonjolan di bagian depan celana renangnya. Dalam pandanganku, sepertinya Pak Gun mempunyai ukuran penis yang cukup besar, meskipun aku belum pernah melihatnya.
"Kayaknya punya Dik Har lebih gede dari punya saya.." katanya gantian melihat ke bagian depan celanaku.
Terus terang, dalam kondisi begini, apalagi waktu melihat Pak Gun mengelus-elus miliknya tadi, sulit bagiku untuk menahan rangsangan yang timbul. Meskipun belum sepenuhnya tegang, namun celana renangku yang basah tak mampu menyembunyikan milikku yang mulai membesar. Padahal aku sudah berusaha menutupinya dengan membuat busa sabun sebanyak-banyaknya di sekitar daerah selangkanganku.
Sementara itu kulihat milik Pak Gun tampaknya tak bereaksi apa-apa. Ukurannya tak menunjukkan perubahan yang berarti. Barangkali sebagai instruktur di mess ini, ia sudah terbiasa menghadapi hal-hal begini, bahkan mungkin lebih dari itu, sebagaimana ceritanya tentang siswa yang melakukan 'kontes burung' tadi.
Kulihat ia masih asyik menyabuni badannya dengan sabun dan air berulang-ulang. Dan sekarang ia tampak sibuk menyabuni bagian perutnya yang membuncit itu, lalu, tiba-tiba tangannya turun ke bawah menelusup masuk ke celana renangnya dan kemudian dengan cueknya menyabuni daerah itu. Celana renangnya tampak sedikit tersingkap oleh gerakan tangannya, dan sekilas aku bisa melihat sebagian batang kemaluannya dan bulu-bulu hitam yang ada di sekitarnya.
"Kenapa Dik?" tanya Pak Gun sambil ketawa, mengagetkan pandanganku.
"Nggak. Kayaknya Pak Gun asyik banget mandinya" kataku agak terbata mengomentari caranya menyabun.
"He.. He.. He.." dia hanya tertawa menanggapi komentarku sambil terus dengan santainya menggosok-gosok daerah itu.
Coba aku yang melakukan, pikiran nakalku mulai bicara. Rasanya aku tak kuat lagi digoda seperti ini. Oh, tiba-tiba terlintas wajah Bahar. Forgive me..
"Sudah belum berbilasnya, Dik?" pertanyaan Pak Gun mengagetkanku. Tampaknya ia sudah hampir selesai.
"Belum Pak. Sebentar lagi"
"Oke, saya tungguin"
Aku segera menyabuni bagian tubuhku yang belum kubilas. Lalu tanpa kuduga sama sekali, Pak Gun tanpa rasa sungkan tiba-tiba melepas celana renangnya. Sehingga kini bisa kulihat dengan jelas alat vitalnya yang menggantung tanpa penutup apapun.
Urat-urat di batangnnya tampak jelas menyembul dan bagian kepala kemaluannya membulat besar seperti bentuk jambu air. Rambut di sekitar daerah itu cukup lebat meskipun dalam kondisi basah kuyup. Pak Gun sama sekali tak berusaha menutupi semua kepolosan itu.
Tangannya kemudian malah dengan santainya mulai mengeringkan daerah itu dengan handuk. Cuek saja. Seolah sengaja membiarkan aku memperhatikan segala gerak-geriknya. Dan ketika tangan Pak Gun tengah mengeringkan bagian atas tubuhnya, gerakannya menyebabkan batang kemaluannya berayun-ayun bagai lonceng.
"Sorry ya Dik Har" Pak Gun mencoba permaklumanku atas ketelanjangannya itu. Aku hanya bisa nyengir menghadapi sikapnya yang makin terbuka.
".. Wah, ternyata, punya Pak Gun memang gede ukurannya.." aku mencoba mengomentari apa yang aku lihat.
Pak Gunawan ketawa lalu memegang kemaluannya dan mencoba mengamatinya sendiri.
"Masa sih?" katanya seolah tak percaya. Matanya lalu beralih ke arahku.
"Punya Dik Har kayaknya lebih gede. Coba.." katanya seolah menyuruhku.
Kini gantian aku yang mencoba memegang bagian depan celanaku dan mengelusnya seolah sedang mengukur besarnya.
".. Ehhmm.. Sebenarnya, punya saya lagi 'gini'.." tanganku mencoba membentuk simbol bahwa aku sedang ereksi. Rasanya aku tak perlu lagi malu-malu di depan Pak Gun. Toh, ia juga sedang telanjang di hadapanku.
"Wah, kalau banding-bandingan begini, akhirnya kita jadi kontes burung nih.." kata Pak Gun sambil ketawa.
"Pak Gun.. Mau lihat punya saya..?" aku mencoba untuk berani menawarkan
"Boleh juga. Biar adil.." katanya sambil mendekatiku.
Aku lalu melepas celana renangku dan dalam sekejap batang kemaluanku sudah mencuat. Pak Gun sudah berada di depanku. Dadaku rasanya mau meledak, sampai-sampai harus kutarik nafasku dalam-dalam.
Kulihat Pak Gun takjub memandangi milikku yang sedang dalam posisi meradang itu.
"Boleh..?" tanyanya sambil tangannya terulur dan mencoba menggenggam milikku.
Aku menahan nafas ketika mulai merasakan sentuhan tangan Pak Gun pada bagian tubuhku yang paling sensitif itu. Terasa otot milikku itu makin membesar dalam genggamannya.
"Ini sih bukan gede lagi, tapi ukuran kuda!" komentarnya sambil sedikit memberi remasan. Aku menggeliat. Geli.
Tanpa diminta, aku pun lalu menggenggam milik Pak Gun dan mencoba meremas-remasnya. Semula ia agak tersentak dengan gerakan tanganku yang tiba-tiba itu. Namun kemudian membiarkan perbuatanku.
"Biar adil, punya Pak Gun juga harus dibangunkan.." kataku seolah memberi alasan perbuatanku. Kami lalu tertawa bersama.
Sore itu warna langit mulai teduh dan warna lembayung mulai muncul membayang merah. Di kamar bilas ini pun kurasakan suasananya makin memerah, makin memanas. Karena acara berbilas ini akhirnya telah berkembang jauh.
Tangan kami akhirnya saling asyik meremas satu sama lain. Dalam genggamanku, milik Pak Gun terasa hangat dan kenyal. Meskipun sudah berumur, otot itu masih terasa padat dan kencang. Bagian kepalanya mempunyai ukuran di atas rata-rata. Dan bentuknya bagus mirip jambu air. Bulat lonjong dan mengkilat.
"Kok, belum bangun Pak?" tanyaku merasakan milik Pak Gun yang hanya bereaksi membesar saja.
"Maklum. Perlu perjuangan.." katanya sambil masih terus meremasi milikku dan menjaganya agar tak menjadi kendur.
Perlu perjuangan? Oke! Kini kubuat gerakanku tidak lagi meremas. Kuganti dengan mengocok.
"Coba pakai sabun" dia menganjurkan aku untuk berbuat lebih jauh.
Maka sejenak aku melepas kocokanku dan membuat busa sabun sebanyak-banyaknya di telapak tanganku. Lalu kulumurkan ke sepanjang batang kemaluannya. Dan tanganku kemudian mulai melakukan gerakan mengocok lagi. Kulihat Pak Gunawan tersenyum melihat ulahku.
Tiba-tiba tangannya meraih sebagian busa sabun yang meleleh di tanganku, lalu mengoleskannya pada batang kemaluanku. Dan memilin-milinnya. Tanpa sadar aku melenguh kenikmatan. Kembali Pak Gun tersenyum melihat reaksiku.
Busa sabun itu telah mempercepat reaksi kami. Sesaat kemudian milik Pak Gun jadi membesar dan semakin mengencang. Milikku yang sudah keras pun makin menghangat dan tampak makin meradang. Tapi kami tampaknya tak berniat untuk mengakhiri acara saling merangsang ini.
Tadinya, kita memang 'berniat' hanya kontes burung saja. Saling membandingkan ukuran masing-masing. Dan kini kedua 'burung' itu sudah siap untuk dibandingkan. Jadi, apakah cukup sampai di sini saja?
"Mau diteruskan..?" Pak Gun mencandaiku.
Entahlah, nyatanya tangan kami masih saling meremas. Mata kami sesekali saling bertatapan dan sesekali melihat ke bawah seolah ingin membandingkan ukuran satu sama lain. Milik Pak Gun sedikit di bawah ukuranku. Tapi bagian kepalanya lebih besar dari milikku. Kami masih sempat bercanda ketika membandingkan kedua benda bulat panjang itu.
"Punya Dik Har keras sekali.." komentarnya sambil membuat pijitan agak keras.
"Punya Bapak bentuknya bagus.." balasku
"Batangmu pejal.." tangannya mengurut sepanjang batang kemaluanku. Aku bergidik kegelian.
"Helm Pak Gun gede.." kupegang dan kuremas-remas pelan kepala kemaluannya yang bulat membesar itu. Gantian ia menggelinjang.
Aku lalu mencoba menggenggam kantung pelirnya yang sedari tadi kubiarkan saja. Bagian itu terasa padat dan berkulit tebal. Kedua 'telor'nya lebih besar dari milikku. Ketika aku mencoba meremasnya, Pak Gun spontan menarik pantatnya ke belakang. Rupanya ia kegelian. Namun aku terus berusaha mempertahankan genggamanku di bagian itu. Pak Gun lalu berusaha membalas meremas buah pelirku juga. Aku menghindar. Tapi hanya pura-pura. Dan kubiarkan tangannya menggenggam dan meremasi kantung kemaluanku itu. Tanpa sadar, kami tertawa seperti dua anak kecil tengah bercanda.
"Ssst Pak.. Gimana nanti kalau ketahuan orang.." tiba-tiba rasa was-wasku muncul
Pak Gun hanya menatapku kocak sambil menahan suara ketawanya yang biasanya lepas itu,"Mau segera diselesaikan apa?" tanyanya kemudian
"Pak Gun sendiri gimana?" aku balik bertanya. Dan ia mengangguk.
"Kita keluarkan bersama ya.." lanjutnya masih dengan nada kebapakan sambil mempergencar gerakan tangannya.
Langit di atas sedang dalam puncak warna merahnya sebelum menuju malam. Satu dua lampu mess sudah mulai dinyalakan. Kamar bilas itu untuk beberapa saat menjadi sepi. Hanya terdengar suara kocokan tangan kami yang diselingi desahan tertahan yang keluar dari mulut kami berdua. Beberapa kali kudengar Pak Gun mendesis seperti tengah menahan sesuatu. Matanya memicing terus ke arahku dalam pandangan yang sulit aku mengerti. Keringat mulai membasahi kening kami berdua. Mulut Pak Gun sebentar mendengus, sebentar menguncup mendesis. Aku sendiri hanya bisa meringis dan menahan nafas beberapa kali.
Ketika erangan yang keluar dari mulutnya makin meracau, kupercepat gerakan tanganku di bawah sana. Tangan kiri Pak Gun sampai memegangi bahuku seperti butuh penyangga, sementara tangan kanannya tetap aktif bekerja di bawah. Semenit kemudian ia menjerit tertahan dan muncratlah cairan hangat miliknya membasahi perutku. Spontan tangannya mendekap tubuhku erat-erat dan membenamkan kepalanya di sela bahu dan leherku. Pantatnya bergerak tak karuan, menyentak-nyentak ke depan menekan pinggul dan daerah sekitar kemaluanku.
Aku mengimbangi gerakan orgasmenya itu dengan memeluk pinggangnya yang gempal itu dan membuat gerakan sedemikian rupa sehingga batang kemaluan kami saling menggosok. Air mani Pak Gun membuat gerakan itu jadi licin dan menimbulkan rasa geli yang nikmat.
Akhirnya aku pun mencapai orgasme dalam pelukan Pak Gun yang kini gantian menopang tubuhku agar tak limbung karena ledakan puncak birahi. Tiba-tiba nafsuku memicu kenekatanku untuk mencari-cari bibir Pak Gunawan. Dan ia membiarkan aku menciumnya lumat-lumat. Ah! Kumisnya terasa bermain-main di lubang hidungku. Aku tak peduli. Aku terus melumat bibirnya sambil merasakan kenikmatan orgasme yang tengah menjalar ke sekujur tubuhku. Tak kusangka Pak Gun membalas ciumanku dengan hangat. Lidah kami saling menjulur dan berpilin-pilin. Oh My God! akhirnya, aku berhasil mencium laki-laki ini. Dia ternyata 'the great kisser' dan tampak sekali kalau sudah berpengalaman. Aku sangat menikmati semua respon yang ia berikan untuk menambah kenikmatan orgasmeku. Ia memperlakukanku dengan cara yang matang dan kebapakan, membuat puncak birahiku jadi terasa total.
Dan senja merah pun makin meredup. Mendekati malam.
Kami masih berpelukan dan sesekali badan kami bergetar oleh sisa kenikmatan yang belum sepenuhnya reda. Beberapa saat kemudian Pak Gun membisikiku sesuatu, tapi aku tak menangkap apa yang disampaikan. Ia lalu mencium pipiku dan menarikku ke bawah shower dan langsung membuka kran. Aku kaget ketika tiba-tiba air sudah menyemprot tubuh kami berdua.
O, kini aku baru faham apa yang dibisikkannya tadi. Tampaknya acara berbilas harus kami lakukan sekali lagi. Tapi kali ini betul-betul cuma berbilas saja. Karena di luar senja sudah mulai merambat menjadi malam..
E N D
(Special for someone who call me 'The Great Pretender')
Irama kehidupan di sebuah mess agak berbeda dengan irama keseharian di luar sana. Karena sebuah mess biasanya hanya digunakan sebagai persinggahan atau tempat tinggal sementara bagi keperluan yang berkaitan dengan program pendidikan.
Keterangan di atas aku terima dari Kepala Mess, Pak Roy, ketika aku tengah menyelesaikan urusan administrasi berkaitan dengan rencana tinggalku di mess ini untuk waktu yang agak lama. Saat ini mess sedang kosong dan baru minggu depan akan ada program pendidikan baru. Jadi Pak Roy punya waktu kosong untuk mengajakku keliling mengenali lingkungan mess.
Fasilitas yang ada di situ cukup lengkap dan semuanya berkaitan dengan masalah laut dan kelautan. Ada perpustakaan, laboratorium, kolam renang, tempat simulasi penyelaman, arena untuk berbagai olah raga, kantin, dsb; di samping ruang-ruang kelas, ruang rapat, aula dan sederetan rumah dinas pegawai mess.
Selain Pak Roy, masih ada beberapa orang pegawai di lingkungan Kelautan yang tinggal di rumah dinas di lingkungan mess tersebut. Pada umumnya mereka para instruktur dan pegawai pendukung. Aku sempat dikenalkan dengan beberapa orang di antaranya.
Tempat terakhir yang aku kunjungi adalah rumah dinas Kepala Instruktur, yang katanya seorang purnawirawan TNI. Sayang sekali kami tidak ketemu orangnya karena sedang mengantar anaknya ke sekolah. Tapi kami sempat ketemu istrinya dan berbasa-basi sebentar.
"Pak Harso boleh menggunakan fasilitas yang ada di sini kapan saja," kata Pak Roy ketika selesai berkeliling dan aku berpamitan untuk kembali ke paviliun.
Siang itu aku mulai menata persiapan bahan dan perlengkapan untuk pengolahan data penelitianku. Lay out ruangan terpaksa aku ubah sedikit sehingga lebih praktis tapi cukup efisien sebagai ruang kerja pribadi.
Sorenya aku ingin santai tapi tak mau sekedar duduk-duduk diam. Olah raga? rasanya lapangan tenis dan badminton tampak kosong tidak ada yang main. Begitu juga dengan meja ping pong. Renang? Kayaknya terlalu 'serius' apalagi kalau sendirian.
Pilihanku akhirnya jatuh pada joging. Segera kuganti pakaianku dengan kaos oblong tanpa lengan dan celana kanvas pendek. Untung aku tak lupa bawa sepatu kets yang sudah cukup lama tak kupakai ini.
Hampir tiga kali aku mengitari kompleks mess sebelum akhirnya berkeliling di sekitar lapangan rumput yang tampaknya mulai ramai orang. Rupanya aku terlalu 'siang' berolah raga, karena baru menjelang sore mulai banyak anak-anak, bapak-bapak dan warga mess lainnya yang memanfaatkan fasilitas olah raga di sini.
Yang paling ramai dikunjungi memang di lapangan rumput ini. Beberapa orang tampak memperhatikanku. Maklum, karena aku orang baru di lingkungan ini. Sementara di pojok lapangan sana beberapa gadis dan ibu-ibu melihatku sambil cekikikan. Aku agak salah tingkah juga.
Sepertinya penampilanku cukup menarik perhatian orang. Di samping karena aku orang baru, postur tubuhku yang agak gede tampaknya menyolok di antara yang lain. Apalagi ternyata pakaianku agak 'berani' dibandingkan dengan pakaian orang-orang yang ada di situ.
Dengan kaos tanpa lengan yang agak terbuka, otot lengan dan bagian ketiakku jadi terlihat jelas. Sementara celana pendek yang kupakai tak mampu menyembunyikan bulu-bulu yang tumbuh lebat di sekitar betis dan pahaku. Tiba-tiba aku jadi risih sendiri. Beberapa gadis di sana masih melihatku dengan pandangan tertentu.
"Sore Pak!" ada suara agak berat menyapaku dari belakang.
"Sore..," jawabku agak ragu sambil menyambut tangan seorang bapak yang menyapaku. Orangnya gagah, agak gemuk, sedikit botak, tapi wajahnya ganteng terutama karena senyum dan kumisnya yang..
"Gunawan..," katanya sopan sambil tersenyum ramah.
"Oh, Pak Gunawan. Saya Harsoyo Pak," kataku langsung mengenalkan diri begitu tahu kalau orang yang berdiri di depanku ini Pak Gunawan, Kepala Instruktur di sini, yang tidak sempat kutemui siang tadi.
Kami lalu berbincang-bincang ringan selayaknya orang yang baru saling kenal. Pak Gunawan saat itu tampaknya juga sedang berolah raga. Kaosnya tampak basah oleh keringat. Demikian juga handuk kecil yang sesekali diusapkan ke leher dan dahinya yang berpeluh. Terus terang, ada sesuatu pada diri Pak Gunawan yang membuat gelisah pikiranku.
Bapak ini ternyata seorang laki-laki yang memiliki daya tarik tidak saja secara fisik tapi juga karena usia dan kematangannya. Dan aku tak fair bila tak mengakui hal itu. Meski pakaian olah raganya cukup rapat, training spaak dan kaos lengan panjang, tapi ketegapan tubuhnya tak bisa disembunyikan dari pandanganku. Oh, tiba-tiba wajah Bahar membayangiku..
"Dik Har olah raganya apa?" lamunanku dibuyarkan oleh suaranya yang kebapakan itu. Panggilan 'dik' kepadaku terasa lebih akrab dan hangat.
"Apa saja Pak, yang murah meriah," jawabku."Tapi yang paling sering ya joging dan renang," lanjutku menjelaskan.
"Wah, renang!, itu olah raga wajib di Kelautan sini lho," katanya sambil tertawa. Cara tertawanya benar-benar menawan. Oh, Bahar maafkan aku!
Sore itu kami belum sempat ngobrol banyak karena sudah keburu petang. Pulangnya kami berjalan kaki lewat belakang memutari lapangan. Kebetulan rumahnya searah dengan paviliunku. Waktu pamitan, dia janji akan mampir ke tempatku kapan-kapan. Tangannya menepuk punggungku. Akrab dan hangat.
"Ayo Dik," dia berpamitan sebelum berlalu meninggalkanku
"Mari Pak.."
Sesampai di rumah aku langsung mandi karena keringat sudah mengering dari tadi. Malamnya aku baca-baca dan.. Aku baru teringat bahwa di tempatku tak ada pesawat televisi. Mati aku! Bisa kuper aku kalau begini caranya.
Kucoba menelepon ke kantor Pak Roy tapi tidak ada yang mengangkat. Barangkali kalau malam begini kantornya memang sudah tutup, tidak ada yang jaga. Lalu?
Tiba-tiba kudengar suara ketukan pintu. Siapa?
Aku bergegas ke depan, dan ternyata Pak Gunawan! Surprise! Aku sampai agak gelagapan menyapanya.
"Maaf nih Dik Harso, bapak bertamu malam-malam," katanya masih di ambang pintu.
"Nggak pa-pa Pak. Kebetulan ada beberapa yang mau saya bicarakan," kataku meyakinkan dia agar tak mengurungkan niatnya untuk bertamu.
Kami segera larut dalam obrolan kesana kemari, termasuk masalah televisi yang belum ada di kamarku. Dari televisi pembicaraan jadi berkembang kemana-mana. Wawasannya cukup luas dan termasuk pembicara serta pendengar yang baik. Orangnya juga baik, akrab dan humoris.
Pak Gunawan ternyata berasal dari Bengkulu dan istrinya dari Jepara, Jawa Tengah. Anaknya satu, baru kelas dua SMP. Sementara usia Pak Gunawan sendiri sudah lima puluh tahun lebih. Agak telat kawin tampaknya.
"Makanya jangan telat Dik. 'Ntar kayak saya lho," katanya mengingatkanku.
"Yaa.. Kalau belum ketemu jodohnya, gimana Pak?" kataku mengelak
"Maaf ya, umur Dik Harso sekarang berapa?"
"Tiga puluh.."
"Sebenarnya belum telat juga ya."
"Ya. Apalagi laki-laki."
"Tapi, mosok sih selama tiga puluh tahun cuma buat kencing doang?" ledeknya sambil ketawa ngakak.
Aku agak kaget dengan komentarnya, meskipun itu guyonan yang klise. Tapi karena Pak Gunawan mengucapkannya sambil tertawa dan tanpa maksud apa-apa, aku pun ikut tertawa menanggapinya. Bahkan aku malah suka dengan omongannya yang mulai nyerempet itu.
"Pak Gun sendiri kawin umur berapa, Pak?" tanyaku.
"Wah, saya nikahnya telat. Hampir empat puluh baru nikah" katanya sambil matanya menerawang, lalu, "Kalau 'kawin' sih sudah saya lakukan sejak usia dua puluhan" lanjutnya dan kembali ketawa ngakak.
Tadinya aku kurang tanggap dengan kata-katanya. Tapi karena kata"kawin" sengaja diucapkannya dengan nada tertentu, aku baru paham, dan jadi ikut ketawa.
"Dik Har kapan mulai kawin?" tanyanya kemudian.
"Ya, nanti kalau ketemu jodohnya Pak" jawabku.
"Maksudku 'kawin' lho, bukan nikah" jelas Pak Gunawan sambil senyum-senyum.
Semula aku agak kaget juga. Pertama, karena jawabanku tadi nggak nyambung, dan yang kedua, karena omongan Pak Gunawan tampaknya makin mengarah.
"Maksud Pak Gun, mengenal seks?" aku nekad memperjelas maksud pertanyaannya.
"Ya!" jawabnya sambil mengangguk-angguk.
"Kalau itu sih, sama dengan Pak Gunawan, di usia dua puluhan."
"Habis itu, pasti berlanjut terus ya?"
"Nggak juga."
"Ah masa?, Dik Har kan orangnya masih segar begini. Gagah. Pasti masih kuat gairahnya."
"Ya. Tapi kan nggak bisa sembarangan, Pak."
"Orang seganteng Dik Har 'kan pasti banyak yang suka. Tinggal pilih saja. Apalagi Manado sini terkenal dengan ceweknya yang.." Pak Gun tak melanjutkan kalimatnya, tapi membuat isyarat dengan jempolnya.
Aku hanya senyum-senyum saja mendengar komentar-komentar Pak Gunawan tentang diriku. Sebenarnya aku agak bingung menjawab pertanyannya tentang pengalaman seks-ku. Bukan apa-apa. Rasanya tak mungkin kuceritakan bahwa aku pernah tidur dengan satu dua perempuan, dan selanjutnya pengalaman ranjangku lebih banyak terjadi dengan laki-laki.
"Saya dulu termasuk play boy lho," tanpa kutanya Pak Gunawan memulai bercerita.
Sebenarnya aku tidak kaget dengan omongannya itu. Pak Gunawan memang laki-laki yang menarik. Pasti waktu mudanya banyak digilai oleh gadis-gadis. Dari tampangnya kelihatan kalau dia punya bakat play boy. Senyum dan sorot matanya mempertegas hal itu.
"Wah, boleh dong bagi-bagi ilmunya, Pak," kataku memancing.
"Aahh, sebenarnya Dik Har sendiri sudah punya modal untuk jadi play boy, lho," jawabnya menunjuk ke arahku.
Pak Gunawan lalu bercerita bahwa dulu ia punya senjata andalan: kumisnya. Menurutnya, banyak gadis-gadis yang tertarik dengan kumisnya yang cukup tebal itu. Memang sejak awal kenal, harus kuakui bahwa bagian yang paling menarik dari wajah Pak Gunawan adalah kumisnya. Khas pejabat militer. Dan di mataku, kumis itu kelihatan sexy.
"Tapi masa mereka hanya tertarik sama kumis?" tanyaku makin menyelidik.
Pak Gunawan tersenyum mendengar komentarku sambil telunjuknya bergerak-gerak ke arahku, seolah-olah paham arah pertanyaanku.
"Maksudmu, soal beginian?" katanya sambil menjepitkan jempolnya di antara telunjuk dan jari tengah, "Itu sih rahasia perusahaan. Tapi yang jelas, tak ada wanita yang tak pernah puas dengan saya.."
Aku hanya tersenyum saja mendengar penuturannya. Pancinganku ternyata masih belum terlalu mengena. Padahal aku sudah penasaran ingin mendengar omongannya lebih mengarah lagi ke hal-hal yang lebih sensistif.
"Yang jelas, perempuan 'tu lebih menyukai kalau kita punya barang yang gede.." katanya setengah berbisik, seolah menjawab apa yang tengah jadi pikiranku.
"Kalau gitu, punya Pak Gun gede dong?" tanyaku sambil menahan nafas.
"Haa.. Ha.. Haa.. Ha.." dia ketawa sambil meninju bahuku,"Sebenarnya, yang penting bukan ukuran, tapi cara menggunakannya.." lanjutnya diplomatis, dan tawanya makin berderai-derai.
"Tapi kan harus ditunjang dengan fisik yang kuat juga, Pak" kataku menambahkan.
"O iya, itu pasti. Makanya harus rajin-rajin olah raga."
"Pak Gunawan waktu itu olah raganya apa?" tanyaku
"Dulu saya hampir suka semua olah raga, terutama volley dan renang."
"Renang di kasur.." aku mencoba mencandainya
"Bisa saja kamu ini. O ya, katanya Dik Harso suka renang juga? Besok sore saya punya rencana mau renang. Gimana, mau ikut nggak?" ajaknya tiba-tiba
Aku diam tidak sempat menjawab.
"Kenapa? Nggak punya celana renang? Saya punya beberapa. Bisa dipinjam, kalau mau." katanya begitu melihat aku tak menjawab ajakannya.
"Saya ada celana renang kok, Pak" kataku, lalu,"Lagian kalau pakai punya Pak Gunawan 'kan belum tentu cukup."
"Kenapa? Wah, punyamu pasti ukurannya lebih gede ya?" katanya menggodaku sambil matanya sengaja mengarah ke bagian depan celanaku.
Akhirnya pembicaraan kami berhenti sampai pada rencana untuk renang besok. Pak Gunawan lalu pamitan dan besok sore dia janji akan mampir ke sini lebih dahulu sebelum ke kolam renang.
Namun keesokan harinya, ajakan Pak Gunawan bukan sesuatu yang mudah kupenuhi. Ada kegelisahan sendiri memikirkan hal itu. Aku takut terseret oleh daya tariknya. Takut bila ternyata Pak Gunawan bukan seseorang seperti yang kubayangkan. Namun di sisi lain, aku masih berharap bahwa ia memang seperti seseorang yang kuinginkan dalam pikiranku. Tapi kegelisahan ini menimbulkan ketakutan di sisi lain: bayangan Bahar terlalu sulit untuk kukhianati. Belum seminggu aku jauh darinya, sudah ada godaan seperti ini. Mungkinkah Bahar juga mengalami seperti ini di Surabaya sana?
Akhirnya aku putuskan untuk melakukan penjajagan saja. Wait and see. Lalu bagaimana kalau ternyata apa yang kuharapkan benar? Entahlah, sulit menjawabnya. Aku memang dalam sebuah dilema.
Sebenarnya ada kelegaan sedikit, ketika sampai jam 4 sore Pak Gunawan belum juga datang menjemputku. Artinya, untuk saat ini, aku tak perlu terombang-ambing oleh keinginan dan naluri penolakanku.
Tapi kelegaan itu ternyata hanya berumur sepuluh menit. Dia datang dengan hanya bersandal jepit, bercelana pendek dan menenteng handuk serta peralatan mandi lainnya. Dadaku galau, antara bimbang dan senang.
"Ayo. Jadi ikut 'kan?" ajaknya akrab seperti biasanya.
"Sebentar ya Pak" kataku sambil masuk. Segera kuganti celana dalamku dengan celana renang dan kukenakan celana bermuda.
"Mari Pak.." ajakku kemudian sambil menutup pintu
Kami langsung menuju kolam renang. Ada beberapa anak kecil tengah bermain di sana. Tapi segera lari menghambur keluar begitu kami berdua masuk.
"Lho, lho.., kok sudah selesai?" sapa Pak Gunawan ramah pada anak-anak penghuni mess itu.
Mereka hanya tertawa-tawa saja sambil berhambur melewati kami berdua. Mungkin mereka sudah lama main-main di kolam ini dan memang sebenarnya ini sudah terlalu sore untuk berenang, karena udara sudah agak teduh bila dibandingkan satu dua jam yang lalu.
Pak Gunawan tanpa sungkan-sungkan melepas baju kaosnya dan memelorotkan celana pendeknya, hingga tubuhnya kini hanya bercawat renang saja. Seksi juga bapak-bapak ini, pikirku. Cawat yang dipakai pun cukup gaya: model bikini bergaris-garis vertikal warna biru.
Kedua kakinya kulihat berjingkat-jingkat sambil tangannya membetulkan ujung karet celana renangnya agar lebih nyaman posisinya. Kadang-kadang diselingi dengan gerakan berjongkok dengan kedua lengan terlipat di belakang leher. Ah, dasar instruktur!
Gerakan pemanasan yang dilakukan Pak Gunawan tak urung membuatku berdesir. Karena dalam beberapa posisi tak urung gerakan itu memperjelas garis lekukan dan tonjolan yang ada di beberapa bagian tubuhnya. Sebenarnya aku agak kikuk melihatnya, mengingat antara kami belum akrab benar. Dan aku pura-pura tak memperhatikan lagi.
Segera kubuka pakaianku dan berusaha menahan diri untuk tetap tak 'terpengaruh' oleh aksinya. Untuk kesempatan ini aku sengaja memakai celana renang model trunk sehingga sebagian pinggulku agak tertutup, jadi agak lebih 'sopan'. Bukan apa-apa, aku tak mau menyolok. Siapa tahu kolam ini ternyata penuh dengan orang-orang, seperti di lapangan olah raga kemarin.
Pak Gunawan ternyata memperhatikanku selama aku membukai pakaianku. Tapi pandangannya santai dan senyumnya ringan-ringan saja. Aku saja yang ge-er. Tapi pikiranku jadi berubah ketika dia tiba-tiba memberiku isyarat dengan mengangkat lengan kanannya dan menunjukkan otot bisepnya sambil menunjuk-nunjuk tubuhku, lalu mengacungkan jempolnya. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa aku punya tubuh yang bagus.
Padahal, ukuran tubuh kami tak jauh berbeda. Meskipun perut Pak Gunawan agak buncit, namun bahu dan dadanya cukup padat dan proporsional. Memang bulu di tubuhnya tak sebanyak milikku. Bulunya lebih keriting dan lebih banyak tumbuh di sekitar perut dan bagian bawah pusarnya saja, di bagian atas hanya tumbuh di sekitar puting dadanya.
Pak Gunawan lalu menganjurkan aku untuk melakukan gerakan pemanasan seperti yang dilakukannya tadi. Sementara ia sudah selesai pemanasan dan sekarang sedang berlari-lari kecil mengitari kolam renang. Gerakannya cukup gesit dan atletis. Dari seberang kolam renang aku jadi lebih bebas mengamati segala gerak-geriknya. Tubuhnya yang setengah telanjang itu meliuk-liuk membentuk siluet tertimpa sinar matahari sore. Dengan hanya bercelana renang, ketegapan tubuhnya makin terlihat nyata dari kejauhan. Sialan, aku jadi terpengaruh juga akhirnya. Kurasakan bagian depan celana renangku mulai mengeras.
Beberapa saat kemudian kami berdua sudah berada di air. Kami sempat beberapa kali melakukan renang sprint bolak-balik. Lumayan capek. Lima menit kemudian kami sepakat untuk menyudahinya begitu sampai di tepi kolam sebelah timur yang terkena sinar matahari.
Ketika aku menyentuh pinggiran kolam, ternyata Pak Gunawan sudah sampai duluan dan sudah duduk melepas lelah di bagian tepinya. Salah satu kakinya masih berada di air dan yang satunya lagi diangkat ke atas tepian kolam, sehingga posisi duduknya agak mekangkang. Sebuah pemandangan yang menakjubkan untuk dinikmati.
Dari bagian tepi kolam aku bisa dengan jelas melihat pemandangan yang mengejutkan itu. Garis batang kemaluan Pak Gunawan jadi tampak jelas menonjol di balik celananya yang basah. Tampak juga bulu-bulu keriting yang tumbuh di sekujur pahanya bagian dalam.
"Capek Dik?" tanyanya dengan nafas ngos-ngosan.
"Lumayan" kataku tak kalah ngos-ngosan, karena tarikan nafasku terganggu oleh detak jantungku yang makin tak karuan menghadapi pemandangan yang terpampang persis di depan wajahku itu.
Pak Gunawan lalu menarik nafas panjang sambil menyeka rambutnya yang basah ke belakang.
"Aaagghh.." terdengar dia membuang nafas panjang.
Lalu pelan-pelan, ia merebahkan punggungnya ke lantai di pinggir kolam, sementara kedua kakinya kini dijuntaikan masuk ke dalam air. Kini, dengan posisi rebahan seperti itu, tonjolan kemaluan Pak Gunawan makin terlihat jelas. Dan aku dengan leluasa dapat menikmatinya tanpa takut ketahuan karena posisi Pak Gunawan tak memungkinkannya untuk melihatku ke bawah.
Punyaku sendiri sudah tegang dari tadi. Makanya aku sengaja tidak segera naik ke tepi kolam. Di samping takut ketahuan, aku juga tak mau melewatkan pemandangan yang menggairahkan yang ada di depanku saat ini.
"Dik Har..," sapaannya tiba-tiba mengejutkan konsentrasiku.
"Ya Pak?" jawabku
"Saya duluan ke kamar bilas ya"
"O, silakan Pak. Nanti saya menyusul"
Dia lalu bangkit dari rebahannya, mengambil handuk dan peralatan mandinya, terus masuk ke kamar bilas yang ada di sudut area kolam renang ini. Aku sendiri masih berusaha menenangkan 'adik kecil'ku yang masih tegang di bawah air.
Ketika aku naik ke tepi kolam dan duduk sebentar di situ, pikiranku dipenuhi oleh bayangan tubuh Pak Gunawan. Haruskah aku tertarik padanya? Akankah semua ini hanya berhenti pada ketertarikan saja dan tak terjadi apa-apa? Bertepuk sebelah tangan?
"Hei..!" tiba-tiba kepala Pak Gunawan nongol dari balik pintu kamar bilas dan tangannya memberiku isyarat untuk segera menyusulnya.
Aku agak kaget juga mendengar teriakannya. Segera kusambar handukku dan dengan sedikit mengendap-endap aku masuk ke kamar bilas, takut sekaligus berharap bisa menjumpai sebuah pemandangan yang menggairahkan. Tapi, lagi-lagi aku terlalu berharap. Pak Gunawan tidak sedang telanjang. Celana renangnya masih utuh melekat.
"Dik Har nggak bawa sabun untuk berbilas ya? Pakai saja punya saya" katanya sambil menyodorkan kotak peralatan mandinya. Aku baru sadar, kok aku bisa lupa bawa peralatan mandi. Mungkin sudah lama tidak renang di kolam seperti ini.
"Pak Gun sudah selesai berbilasnya?" tanyaku
"Beluum.." katanya sambil tertawa,"Sudahlah, gabung saja dengan saya di sini"
Semula aku agak kikuk. Tapi melihat Pak Gunawan dengan santainya membilas tubuhnya di bawah shower, aku pun lalu mengambil tempat di salah satu shower yang ada di situ.
"Kalau pas lagi ada program pendidikan, biasanya banyak siswa yang berenang di sini. Maklum, orang kelautan kan harus bisa renang" Pak Gun bercerita di sela-sela acara berbilasnya.
"Rame dong Pak" kataku menanggapi
"O ya, apalagi kalau sedang ada di kamar bilas ini"
"Kenapa?"
"Biasa, namanya juga anak muda. Acara berbilas bisa jadi acara kontes burung" kata Pak Gun sambil terus menggosoki tubuhnya dengan busa sabun.
"Jadi, mereka pada telanjang?" aku penasaran
"Ya, nggak semua. Tergantung orangnya. Ada yang cuek. Ada juga yang malu-malu"
"Pak Gun sendiri ikutan kontes juga"
"Nggak lah ya" katanya sambil tertawa,"Saya hanya mengawasi mereka dari luar. Jadi cuma bisa mendengar suara ribut dan tawa mereka yang rame itu"
"Kalau Pak Gun ikut, pasti menang ya Pak" candaku sambil sengaja melihat ke arah selangkangannya.
"Ukuran saya sih sedang-sedang saja kok" katanya sambil memegangi lalu mengelus-elus sendiri tonjolan di bagian depan celana renangnya. Dalam pandanganku, sepertinya Pak Gun mempunyai ukuran penis yang cukup besar, meskipun aku belum pernah melihatnya.
"Kayaknya punya Dik Har lebih gede dari punya saya.." katanya gantian melihat ke bagian depan celanaku.
Terus terang, dalam kondisi begini, apalagi waktu melihat Pak Gun mengelus-elus miliknya tadi, sulit bagiku untuk menahan rangsangan yang timbul. Meskipun belum sepenuhnya tegang, namun celana renangku yang basah tak mampu menyembunyikan milikku yang mulai membesar. Padahal aku sudah berusaha menutupinya dengan membuat busa sabun sebanyak-banyaknya di sekitar daerah selangkanganku.
Sementara itu kulihat milik Pak Gun tampaknya tak bereaksi apa-apa. Ukurannya tak menunjukkan perubahan yang berarti. Barangkali sebagai instruktur di mess ini, ia sudah terbiasa menghadapi hal-hal begini, bahkan mungkin lebih dari itu, sebagaimana ceritanya tentang siswa yang melakukan 'kontes burung' tadi.
Kulihat ia masih asyik menyabuni badannya dengan sabun dan air berulang-ulang. Dan sekarang ia tampak sibuk menyabuni bagian perutnya yang membuncit itu, lalu, tiba-tiba tangannya turun ke bawah menelusup masuk ke celana renangnya dan kemudian dengan cueknya menyabuni daerah itu. Celana renangnya tampak sedikit tersingkap oleh gerakan tangannya, dan sekilas aku bisa melihat sebagian batang kemaluannya dan bulu-bulu hitam yang ada di sekitarnya.
"Kenapa Dik?" tanya Pak Gun sambil ketawa, mengagetkan pandanganku.
"Nggak. Kayaknya Pak Gun asyik banget mandinya" kataku agak terbata mengomentari caranya menyabun.
"He.. He.. He.." dia hanya tertawa menanggapi komentarku sambil terus dengan santainya menggosok-gosok daerah itu.
Coba aku yang melakukan, pikiran nakalku mulai bicara. Rasanya aku tak kuat lagi digoda seperti ini. Oh, tiba-tiba terlintas wajah Bahar. Forgive me..
"Sudah belum berbilasnya, Dik?" pertanyaan Pak Gun mengagetkanku. Tampaknya ia sudah hampir selesai.
"Belum Pak. Sebentar lagi"
"Oke, saya tungguin"
Aku segera menyabuni bagian tubuhku yang belum kubilas. Lalu tanpa kuduga sama sekali, Pak Gun tanpa rasa sungkan tiba-tiba melepas celana renangnya. Sehingga kini bisa kulihat dengan jelas alat vitalnya yang menggantung tanpa penutup apapun.
Urat-urat di batangnnya tampak jelas menyembul dan bagian kepala kemaluannya membulat besar seperti bentuk jambu air. Rambut di sekitar daerah itu cukup lebat meskipun dalam kondisi basah kuyup. Pak Gun sama sekali tak berusaha menutupi semua kepolosan itu.
Tangannya kemudian malah dengan santainya mulai mengeringkan daerah itu dengan handuk. Cuek saja. Seolah sengaja membiarkan aku memperhatikan segala gerak-geriknya. Dan ketika tangan Pak Gun tengah mengeringkan bagian atas tubuhnya, gerakannya menyebabkan batang kemaluannya berayun-ayun bagai lonceng.
"Sorry ya Dik Har" Pak Gun mencoba permaklumanku atas ketelanjangannya itu. Aku hanya bisa nyengir menghadapi sikapnya yang makin terbuka.
".. Wah, ternyata, punya Pak Gun memang gede ukurannya.." aku mencoba mengomentari apa yang aku lihat.
Pak Gunawan ketawa lalu memegang kemaluannya dan mencoba mengamatinya sendiri.
"Masa sih?" katanya seolah tak percaya. Matanya lalu beralih ke arahku.
"Punya Dik Har kayaknya lebih gede. Coba.." katanya seolah menyuruhku.
Kini gantian aku yang mencoba memegang bagian depan celanaku dan mengelusnya seolah sedang mengukur besarnya.
".. Ehhmm.. Sebenarnya, punya saya lagi 'gini'.." tanganku mencoba membentuk simbol bahwa aku sedang ereksi. Rasanya aku tak perlu lagi malu-malu di depan Pak Gun. Toh, ia juga sedang telanjang di hadapanku.
"Wah, kalau banding-bandingan begini, akhirnya kita jadi kontes burung nih.." kata Pak Gun sambil ketawa.
"Pak Gun.. Mau lihat punya saya..?" aku mencoba untuk berani menawarkan
"Boleh juga. Biar adil.." katanya sambil mendekatiku.
Aku lalu melepas celana renangku dan dalam sekejap batang kemaluanku sudah mencuat. Pak Gun sudah berada di depanku. Dadaku rasanya mau meledak, sampai-sampai harus kutarik nafasku dalam-dalam.
Kulihat Pak Gun takjub memandangi milikku yang sedang dalam posisi meradang itu.
"Boleh..?" tanyanya sambil tangannya terulur dan mencoba menggenggam milikku.
Aku menahan nafas ketika mulai merasakan sentuhan tangan Pak Gun pada bagian tubuhku yang paling sensitif itu. Terasa otot milikku itu makin membesar dalam genggamannya.
"Ini sih bukan gede lagi, tapi ukuran kuda!" komentarnya sambil sedikit memberi remasan. Aku menggeliat. Geli.
Tanpa diminta, aku pun lalu menggenggam milik Pak Gun dan mencoba meremas-remasnya. Semula ia agak tersentak dengan gerakan tanganku yang tiba-tiba itu. Namun kemudian membiarkan perbuatanku.
"Biar adil, punya Pak Gun juga harus dibangunkan.." kataku seolah memberi alasan perbuatanku. Kami lalu tertawa bersama.
Sore itu warna langit mulai teduh dan warna lembayung mulai muncul membayang merah. Di kamar bilas ini pun kurasakan suasananya makin memerah, makin memanas. Karena acara berbilas ini akhirnya telah berkembang jauh.
Tangan kami akhirnya saling asyik meremas satu sama lain. Dalam genggamanku, milik Pak Gun terasa hangat dan kenyal. Meskipun sudah berumur, otot itu masih terasa padat dan kencang. Bagian kepalanya mempunyai ukuran di atas rata-rata. Dan bentuknya bagus mirip jambu air. Bulat lonjong dan mengkilat.
"Kok, belum bangun Pak?" tanyaku merasakan milik Pak Gun yang hanya bereaksi membesar saja.
"Maklum. Perlu perjuangan.." katanya sambil masih terus meremasi milikku dan menjaganya agar tak menjadi kendur.
Perlu perjuangan? Oke! Kini kubuat gerakanku tidak lagi meremas. Kuganti dengan mengocok.
"Coba pakai sabun" dia menganjurkan aku untuk berbuat lebih jauh.
Maka sejenak aku melepas kocokanku dan membuat busa sabun sebanyak-banyaknya di telapak tanganku. Lalu kulumurkan ke sepanjang batang kemaluannya. Dan tanganku kemudian mulai melakukan gerakan mengocok lagi. Kulihat Pak Gunawan tersenyum melihat ulahku.
Tiba-tiba tangannya meraih sebagian busa sabun yang meleleh di tanganku, lalu mengoleskannya pada batang kemaluanku. Dan memilin-milinnya. Tanpa sadar aku melenguh kenikmatan. Kembali Pak Gun tersenyum melihat reaksiku.
Busa sabun itu telah mempercepat reaksi kami. Sesaat kemudian milik Pak Gun jadi membesar dan semakin mengencang. Milikku yang sudah keras pun makin menghangat dan tampak makin meradang. Tapi kami tampaknya tak berniat untuk mengakhiri acara saling merangsang ini.
Tadinya, kita memang 'berniat' hanya kontes burung saja. Saling membandingkan ukuran masing-masing. Dan kini kedua 'burung' itu sudah siap untuk dibandingkan. Jadi, apakah cukup sampai di sini saja?
"Mau diteruskan..?" Pak Gun mencandaiku.
Entahlah, nyatanya tangan kami masih saling meremas. Mata kami sesekali saling bertatapan dan sesekali melihat ke bawah seolah ingin membandingkan ukuran satu sama lain. Milik Pak Gun sedikit di bawah ukuranku. Tapi bagian kepalanya lebih besar dari milikku. Kami masih sempat bercanda ketika membandingkan kedua benda bulat panjang itu.
"Punya Dik Har keras sekali.." komentarnya sambil membuat pijitan agak keras.
"Punya Bapak bentuknya bagus.." balasku
"Batangmu pejal.." tangannya mengurut sepanjang batang kemaluanku. Aku bergidik kegelian.
"Helm Pak Gun gede.." kupegang dan kuremas-remas pelan kepala kemaluannya yang bulat membesar itu. Gantian ia menggelinjang.
Aku lalu mencoba menggenggam kantung pelirnya yang sedari tadi kubiarkan saja. Bagian itu terasa padat dan berkulit tebal. Kedua 'telor'nya lebih besar dari milikku. Ketika aku mencoba meremasnya, Pak Gun spontan menarik pantatnya ke belakang. Rupanya ia kegelian. Namun aku terus berusaha mempertahankan genggamanku di bagian itu. Pak Gun lalu berusaha membalas meremas buah pelirku juga. Aku menghindar. Tapi hanya pura-pura. Dan kubiarkan tangannya menggenggam dan meremasi kantung kemaluanku itu. Tanpa sadar, kami tertawa seperti dua anak kecil tengah bercanda.
"Ssst Pak.. Gimana nanti kalau ketahuan orang.." tiba-tiba rasa was-wasku muncul
Pak Gun hanya menatapku kocak sambil menahan suara ketawanya yang biasanya lepas itu,"Mau segera diselesaikan apa?" tanyanya kemudian
"Pak Gun sendiri gimana?" aku balik bertanya. Dan ia mengangguk.
"Kita keluarkan bersama ya.." lanjutnya masih dengan nada kebapakan sambil mempergencar gerakan tangannya.
Langit di atas sedang dalam puncak warna merahnya sebelum menuju malam. Satu dua lampu mess sudah mulai dinyalakan. Kamar bilas itu untuk beberapa saat menjadi sepi. Hanya terdengar suara kocokan tangan kami yang diselingi desahan tertahan yang keluar dari mulut kami berdua. Beberapa kali kudengar Pak Gun mendesis seperti tengah menahan sesuatu. Matanya memicing terus ke arahku dalam pandangan yang sulit aku mengerti. Keringat mulai membasahi kening kami berdua. Mulut Pak Gun sebentar mendengus, sebentar menguncup mendesis. Aku sendiri hanya bisa meringis dan menahan nafas beberapa kali.
Ketika erangan yang keluar dari mulutnya makin meracau, kupercepat gerakan tanganku di bawah sana. Tangan kiri Pak Gun sampai memegangi bahuku seperti butuh penyangga, sementara tangan kanannya tetap aktif bekerja di bawah. Semenit kemudian ia menjerit tertahan dan muncratlah cairan hangat miliknya membasahi perutku. Spontan tangannya mendekap tubuhku erat-erat dan membenamkan kepalanya di sela bahu dan leherku. Pantatnya bergerak tak karuan, menyentak-nyentak ke depan menekan pinggul dan daerah sekitar kemaluanku.
Aku mengimbangi gerakan orgasmenya itu dengan memeluk pinggangnya yang gempal itu dan membuat gerakan sedemikian rupa sehingga batang kemaluan kami saling menggosok. Air mani Pak Gun membuat gerakan itu jadi licin dan menimbulkan rasa geli yang nikmat.
Akhirnya aku pun mencapai orgasme dalam pelukan Pak Gun yang kini gantian menopang tubuhku agar tak limbung karena ledakan puncak birahi. Tiba-tiba nafsuku memicu kenekatanku untuk mencari-cari bibir Pak Gunawan. Dan ia membiarkan aku menciumnya lumat-lumat. Ah! Kumisnya terasa bermain-main di lubang hidungku. Aku tak peduli. Aku terus melumat bibirnya sambil merasakan kenikmatan orgasme yang tengah menjalar ke sekujur tubuhku. Tak kusangka Pak Gun membalas ciumanku dengan hangat. Lidah kami saling menjulur dan berpilin-pilin. Oh My God! akhirnya, aku berhasil mencium laki-laki ini. Dia ternyata 'the great kisser' dan tampak sekali kalau sudah berpengalaman. Aku sangat menikmati semua respon yang ia berikan untuk menambah kenikmatan orgasmeku. Ia memperlakukanku dengan cara yang matang dan kebapakan, membuat puncak birahiku jadi terasa total.
Dan senja merah pun makin meredup. Mendekati malam.
Kami masih berpelukan dan sesekali badan kami bergetar oleh sisa kenikmatan yang belum sepenuhnya reda. Beberapa saat kemudian Pak Gun membisikiku sesuatu, tapi aku tak menangkap apa yang disampaikan. Ia lalu mencium pipiku dan menarikku ke bawah shower dan langsung membuka kran. Aku kaget ketika tiba-tiba air sudah menyemprot tubuh kami berdua.
O, kini aku baru faham apa yang dibisikkannya tadi. Tampaknya acara berbilas harus kami lakukan sekali lagi. Tapi kali ini betul-betul cuma berbilas saja. Karena di luar senja sudah mulai merambat menjadi malam..
E N D
Mall Pagi-pagi
(by: seragam123@yahoo.co.uk)
Ceritanya berawal pada ketika saya mulai
menginjak SMA, mulai saat itu saya sangat suka sekali atau istilahnya
terangsang sekali dengan orang yang berseragam. Saya tidak tahu kenapa
tapi itulah kenyataannya. Baik itu dengan sesama teman sekolah, satpam,
orang kantor berdasi, militer atau bahkan polisi dll.. (asal jangan
hansip saja, he, he, he..)
Semasa remaja saya pun mengalami seperti remaja remaja ibukota
lainnya yaitu berpacaran dengan gadis-gadis satu sekolah dan itu
berlanjut sampai saya kuliah. Tapi di balik rasa suka dengan wanita,
tidak tahu aneh atau apa, saya pun suka dengan sosok pria, apalagi yang
memakai seragam terutama sosok polisi yang gagah dengan kemeja
dinasnya, walaupun tidak perlu berbadan atletis ataupun kekar seperti
binaragawan pada umumnya. Saya suka yang bersifat kebapakan, perut agak
gendut pun tidak bermasalah bagi saya. Apalagi memiliki kumis atau
brewok tipis. Saya tidak tahan membayangkannya! Sampai sekarang saya
tidak bisa habis membayangkan kalau saja barang saya dimainkan oleh
(misalnya saja) seorang polisi yang lengkap sedang memakai seragam
dinasnya. Uaah..
Dan cerita yang akan saya tuliskan ini benar benar berawal dari
Masa pertemuan saya dengan seorang Om yang benar-benar membangkitkan
libido saya, begini ceritanya..
Suatu hari di salah satu mall yang ada di Jakarta, seperti bisaanya
sehabis pekan atau Sabtu, ketika saya sedang off kerja, saya
menyempatkan diri mampir ke mall tersebut dengan maksud hanya
berjalan-jalan. Lalu ketika saya sempat menyantap restoran fast food
yang ada disana plus minum, seperti bisaa ada keinginan untuk membuang
air kecil di WC yang letaknya tidak jauh dari situ. Dan sayapun kesana
untuk segera melakukan itu. Di tengah-tengah saya sedang membuang air
kecil, tanpa saya sadari ada satu sosok pria yang juga sedang kencing
sedang memperhatikan saya dan kemaluan saya. Dan sosok itu tepat
berdiri di samping saya. Dengan rasa ragu dan takut, ya karena belum
pernah diperlakukan seperti itu sebelumnya, sayapun tidak berani
berlama-lama di WC tersebut. Setelah mencuci tangan dan muka, sayapun
keluar.
Ternyata dugaan saya benar, pria tersebut yang lumayan sudah agak
tua (mungkin sekitar 60 tahun umurnya dan saya pada waktu itu berumur
20 tahun) mengikuti langkah saya kemanapun saya pergi. Akhirnya setelah
diikuti beberapa menit olehnya, sayapun ingin berlari karena rasa takut
mungkin ingin dirampok atau dipalak dan semacamnya. Ternyata pria itu
tidak kuat untuk mengejar saya dan memanggil saya dari kejauhan.
"Dik, tolong saya!", katanya lumayan kencang.
Saya bingung bercampur heran, lalu rasa kemanusiaan saya membuat saya untuk mendekatinya dan bertanya.
"Kenapa Om ikutin saya terus sih?"
Dengan tanpa rasa basa basi dia langsung menjawab, "Karena saya suka kamu!".
Saya bingung hampir tidak percaya. Lalu dia mengajak saya untuk
berjalan-jalan di mall tersebut sembari ngobrol kesana kemari, baik
tentang hobi, wanita, olahraga bahkan games. Sepertinya dia mengerti
segalanya tentang kegiatan yang ada di dunia ini.
Tidak lama kita berjalan akhirnya dia berhenti di salah satu toko
yang berukuran lumayan besar. Saya bingung dan akhirnya dia mengatakan
kalo ini adalah toko miliknya. Sayapun mengangguk dan diajak Masuk
serta diperkenalkan dengan semua anak buahnya yang ada di tokonya
tersebut. Diapun menyuruh saya duduk di bagian dalam dan dia mengambil
sepasang gelas berisikan air putih. Diapun duduk di samping saya dan
kembali bercerita kalau dia sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Saya
pun bingung dan bertanya mengapa kalau sudah punya keluarga apalagi
anak, kok menyukai saya.
Diapun tersenyum dan menjawab, "Siapa yang suka kamu?".
Hening sesaat dan kembali menyambung pembicaraannya, "Saya suka kontol kamu!"
Bagaikan disambar petir saya kaget dan diapun tau akan reaksi saya dan kembali berbicara.
"Tenang, dulu sayapun begitu, tapi setelah bertambahnya umur saya
menyadari kalau diri saya biseks, suka wanita, juga suka pria, seperti
kamu!".
Saya bingung dan kembali bertanya bahwa tahu darimana dia tentang diri saya karena ini baru pertama kalinya kami bertemu.
Dia kembali menjawab, "Saya bisa melihat orang dari fisiknya apalagi matanya, gak mungkin bohong!"
Sayapun menunduk malu dan berkata, "Iya Om, tapi sumpah sampai
detik ini saya belum pernah sekalipun bermain apalagi bercinta dengan
wanita apalagi pria, takut kena penyakit".
Dia pun tertawa mendengarnya.
Dan dia menyambung, "Besok jam 8 pagi tepat datanglah kemari, Om akan tunggu kamu di sini."
"Saya akan membuatmu merasakan nikmatnya surga dunia!" Sayapun
mengangguk tanda setuju dan setelah beberapa menit kita mengobrol
sayapun pamit untuk pulang.
"Tepat jam 8 pagi? Apa sudah buka mall sepagi itu?", pikirku.
Ah tanpa banyak pikiran, saya pun melacu kencang motor saya untuk
sampai di mall tersebut. Setelah memarkir motor yang memang Masih
benar-benar sepi di perparkiran itu. Saya beranjak turun dan Masuk dari
pintu Masuk yang memang Masih gelap tapi sudah dibuka. Akhirnya saya
sudah tiba di tokonya yang memang ternyata Om yang bernama Peter ini
sudah gelisah menunggu saya dari tadi.
"Kok lama?" tanyanya.
"Enggak lah Om, baru jam 8 lewat 5!"
Tanpa basa basi lagi saya ditarik Masuk lalu dikuncinya toko yang
berpintu kaca itu dari luar kemudian digiringnya saya ke pojok toko
yang berbentuk L itu sehingga orang manapun tidak dapat melihat apa
yang akan kami lakukan didalam dari luar.
Wah, pagi ini Om Peter keliatan gagah disbanding kemarin yang Cuma
memakai T-shirt. Pagi ini ia memakai kemeja putih tangan pendek dibalut
dengan singlet didalamnya serta celana bahan warna coklat tua. Keren
sekali menurut saya karena di umurnya yang sudah lebih dari setengah
abad, ia masih nampak gagah. Ia mendorongkan tubuh saya ke pojok yang
paling pojok dengan kemudian menciumi leher saya dan mulai membuka
kancing kemeja saya satu persatu sampai TELANJANG DADA kemudian
menjilati puting saya, aahh.. Saya menggelinjang. Saya pun bertanya
bahwa saya mau diapakan. Om Peter menjawab, "Kubawa melayang jauh ke
awan!" Saya pun terdiam karena rasa enak karena dijilat dan
dipegang-pegang oleh tangannya yang macho membuat semua dunia terasa
berputar dan tanpa terasa batang sudah mengeras ke puncaknya.
Tanpa basa basi Om Peter seperti sudah merasakan adanya tegangan
tinggi dalam diri saya, dia pun membuka retsleting celana saya, membuka
ban pinggang serta langsung menelanjangi diri saya bulat-bulat. Dan
untuk pertama kalinya saya telanjang bulat di depan seorang pria yang
baru saya kenal. Saya pun pasrah, rasa enak dan nikmat mengalahkan akal
sehat. Dia pun membuka kemeja putihnya satupersatu singlet seksi yang
ternyata merk Rider itu dibiarkan dipakai, lalu dibukanya celana
panjang serta CD miliknya, ternyata batangnya tidak begitu keras,
mungkin karena faktor usia menentukan, tapi besar sekali dengan bulu
yang tercukur rapi seperti saya punya. Saya suka pria seperti Om Peter,
dari lekuk tubuhnya dapat diketahui bahwa pada mudanya ia pasti gagah,
bentuk tubuhnya yang tinggi besar, tapi perutnya agak sedikit
membuncit, pasti karena factor usia juga. Ada sedikit kumis dan brewok
tipis yang baru tercukur rapi.
Dia dengan ganasnya menciumi semua tubuh saya dan kemudian saya
disuruh tiduran di lantai dengan matras tipis yang memang sengaja ia
sediakan sebelumnya. Kembali ia menciumi tapi kali ini ia mulai
memainkan tangan kokohnya ke bagian paling sensitive di tubuh gua, rasa
enak bercampur geli kembali menyatu dalam diri gua. Gua pasrah pagi
ini, sangat pasrah sekali. Mau apapun gua kasih dah, begitu pikir gua.
Tangan kanannya mulai mengocok pelan kencang pelan kencang. Sepertinya
Om Peter sudah ahli dalam menciumi menjilat dan memainkan tangannya.
Ah, betapa bahagia istrinya yang mendampinginya selama ini, ia pasti
diberikan nikmat surga dunia seperti yang diberikannya kepada saya.
Setelah puas mengocok turun naik kemudian giliran mulutnya ingin menghisap.
"Lu bener bersih kan?"
"Kalo Om ga percaya kenapa Om ajak saya? Gua sumpah Om, lu kira gua juga mau sembarangan!" kata gua sedikit marah.
"He he he lu jangan marah, gua juga tau dari pertama kali gua liat elu. Elu pasti anak baek-baek!", ujarnya sambil tersenyum.
Ia pun meneruskan permainan menjelajah yang hebat dengan memasukkan
batang kemaluanku ke mulutnya dan dikulumnya. aahh.. Rasa apa ini?
Tanyaku. Rasa enak bercampur geli bercampur menjadi satu, lebih nikmat
dari segala apa yang ada di dunia.
Saya menggelinjang ke kanan ke kiri. Tapi Om Peter dengan lihainya
meng-ORAL sehingga benar benar nikmat surga dunia yang gua rasakan.
Sampai akhirnya waktu tanpa terasa sudah jam 9 kurang 15.
"Om sudah mau jam 9 nih, entar karyawan Om pada datang lagi."
"Tenang, ini senjata gua paling terakhir!"
Dia menekan-nekan titik titik dalam tubuh saya, entah kenapa rasa
yang saya rasakan jauh lebih nikmat dari sebelumnya, dan dalam waktu
yang singkat serta dalam tempo yang sependek-pendeknya.
"Om saya sudah ga tahaan nih, mau keluar..!!"
"Iya kluarin aja, gua siap!" katanya.
Aahh.. Gua bener bener mau kluar dan dengan sigap dia langsung
menganga. lava putih hangat memuncrat ke dalam rongga mulut Om Peter,
ditelannya habis tanpa sisa begitu juga sisa lava yang menempel di
kepala batangku dijilatnya sampai habis. Wah, memang benar-benar nikmat
pagi ini. Terima kasih Om Peter, kataku.
"Lho, Om Peter sendiri engga mau dikluarin, Om?", tanyaku.
"Enggak perlu! Untuk orang seumur Om, lebih enak membuat orang keluar, he he".
Dia pun kembali memakai celana dalam, celana panjang serta kemeja
putihnya dan merapikan semua seperti seolah tidak terjadi apaapa di
dalam toko ini. Saya pun juga ikut memakai semua dan merapikan baju dan
celana saya. Kita pun mengobrol sampai akhirnya jam 9.30 karyawan Om
Peter berdatangan. Dan akhirnya saya pun pamit pergi.
Tapi sebelum berpamitan, saya berjanji untuk datang sesering
mungkin 'menjenguk' Om Peter. Ada satu nasehat berharga dari Om Peter
yang engga bakal saya lupain selamanya.
"Dik, kita begini karena nasib atau takdir kita, jangan menyesal
untuk menjadi seorang biseks, kita harus bangga dengan apa yang kita
miliki, tapi satu hal, elu juga musti kawin dan punya keturunan".
Mulai saat itu kami sering berhubungan mungkin seminggu sekali
karena jadwal kerja saya yang padat tapi selalu tepat jam 8 atau
mungkin lebih pagi dan tentunya Om Peter lebih jago memainkan tangan
dan mulutnya. Dia tidak keberatan saya menjadi seorang pasif. Dia lebih
senang akan itu, tapi sekarang Om Peter telah meninggal dunia karena
sakit tuanya. Tepatnya 2 tahun yang lalu dia meninggalkan saya untuk
selama-lamanya.
Sejak saat itu tidak ada satu orang pria pun yang dapat
menggantikan kedudukan Om Peterku tercinta. Barangkali diantara pembaca
ada yang berminat untuk berkenalan atau sesuai dengan persyaratan yang
saya inginkan, jangan segan untuk kirim email ke alamat saya
seragam123@yahoo.co.uk, setiap mail yang masuk pasti akan saya balas, terima kasih atas perhatiannya.
Pembaca yang budiman, saya tidak menyesal walaupun saya seorang biseks,
karena tidak semua orang memiliki 2 sifat sekaligus, betul gak pembaca?
Akhirnya, selamat jalan Om Peter..
Ceritanya berawal pada ketika saya mulai
menginjak SMA, mulai saat itu saya sangat suka sekali atau istilahnya
terangsang sekali dengan orang yang berseragam. Saya tidak tahu kenapa
tapi itulah kenyataannya. Baik itu dengan sesama teman sekolah, satpam,
orang kantor berdasi, militer atau bahkan polisi dll.. (asal jangan
hansip saja, he, he, he..)
Semasa remaja saya pun mengalami seperti remaja remaja ibukota
lainnya yaitu berpacaran dengan gadis-gadis satu sekolah dan itu
berlanjut sampai saya kuliah. Tapi di balik rasa suka dengan wanita,
tidak tahu aneh atau apa, saya pun suka dengan sosok pria, apalagi yang
memakai seragam terutama sosok polisi yang gagah dengan kemeja
dinasnya, walaupun tidak perlu berbadan atletis ataupun kekar seperti
binaragawan pada umumnya. Saya suka yang bersifat kebapakan, perut agak
gendut pun tidak bermasalah bagi saya. Apalagi memiliki kumis atau
brewok tipis. Saya tidak tahan membayangkannya! Sampai sekarang saya
tidak bisa habis membayangkan kalau saja barang saya dimainkan oleh
(misalnya saja) seorang polisi yang lengkap sedang memakai seragam
dinasnya. Uaah..
Dan cerita yang akan saya tuliskan ini benar benar berawal dari
Masa pertemuan saya dengan seorang Om yang benar-benar membangkitkan
libido saya, begini ceritanya..
Suatu hari di salah satu mall yang ada di Jakarta, seperti bisaanya
sehabis pekan atau Sabtu, ketika saya sedang off kerja, saya
menyempatkan diri mampir ke mall tersebut dengan maksud hanya
berjalan-jalan. Lalu ketika saya sempat menyantap restoran fast food
yang ada disana plus minum, seperti bisaa ada keinginan untuk membuang
air kecil di WC yang letaknya tidak jauh dari situ. Dan sayapun kesana
untuk segera melakukan itu. Di tengah-tengah saya sedang membuang air
kecil, tanpa saya sadari ada satu sosok pria yang juga sedang kencing
sedang memperhatikan saya dan kemaluan saya. Dan sosok itu tepat
berdiri di samping saya. Dengan rasa ragu dan takut, ya karena belum
pernah diperlakukan seperti itu sebelumnya, sayapun tidak berani
berlama-lama di WC tersebut. Setelah mencuci tangan dan muka, sayapun
keluar.
Ternyata dugaan saya benar, pria tersebut yang lumayan sudah agak
tua (mungkin sekitar 60 tahun umurnya dan saya pada waktu itu berumur
20 tahun) mengikuti langkah saya kemanapun saya pergi. Akhirnya setelah
diikuti beberapa menit olehnya, sayapun ingin berlari karena rasa takut
mungkin ingin dirampok atau dipalak dan semacamnya. Ternyata pria itu
tidak kuat untuk mengejar saya dan memanggil saya dari kejauhan.
"Dik, tolong saya!", katanya lumayan kencang.
Saya bingung bercampur heran, lalu rasa kemanusiaan saya membuat saya untuk mendekatinya dan bertanya.
"Kenapa Om ikutin saya terus sih?"
Dengan tanpa rasa basa basi dia langsung menjawab, "Karena saya suka kamu!".
Saya bingung hampir tidak percaya. Lalu dia mengajak saya untuk
berjalan-jalan di mall tersebut sembari ngobrol kesana kemari, baik
tentang hobi, wanita, olahraga bahkan games. Sepertinya dia mengerti
segalanya tentang kegiatan yang ada di dunia ini.
Tidak lama kita berjalan akhirnya dia berhenti di salah satu toko
yang berukuran lumayan besar. Saya bingung dan akhirnya dia mengatakan
kalo ini adalah toko miliknya. Sayapun mengangguk dan diajak Masuk
serta diperkenalkan dengan semua anak buahnya yang ada di tokonya
tersebut. Diapun menyuruh saya duduk di bagian dalam dan dia mengambil
sepasang gelas berisikan air putih. Diapun duduk di samping saya dan
kembali bercerita kalau dia sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Saya
pun bingung dan bertanya mengapa kalau sudah punya keluarga apalagi
anak, kok menyukai saya.
Diapun tersenyum dan menjawab, "Siapa yang suka kamu?".
Hening sesaat dan kembali menyambung pembicaraannya, "Saya suka kontol kamu!"
Bagaikan disambar petir saya kaget dan diapun tau akan reaksi saya dan kembali berbicara.
"Tenang, dulu sayapun begitu, tapi setelah bertambahnya umur saya
menyadari kalau diri saya biseks, suka wanita, juga suka pria, seperti
kamu!".
Saya bingung dan kembali bertanya bahwa tahu darimana dia tentang diri saya karena ini baru pertama kalinya kami bertemu.
Dia kembali menjawab, "Saya bisa melihat orang dari fisiknya apalagi matanya, gak mungkin bohong!"
Sayapun menunduk malu dan berkata, "Iya Om, tapi sumpah sampai
detik ini saya belum pernah sekalipun bermain apalagi bercinta dengan
wanita apalagi pria, takut kena penyakit".
Dia pun tertawa mendengarnya.
Dan dia menyambung, "Besok jam 8 pagi tepat datanglah kemari, Om akan tunggu kamu di sini."
"Saya akan membuatmu merasakan nikmatnya surga dunia!" Sayapun
mengangguk tanda setuju dan setelah beberapa menit kita mengobrol
sayapun pamit untuk pulang.
"Tepat jam 8 pagi? Apa sudah buka mall sepagi itu?", pikirku.
Ah tanpa banyak pikiran, saya pun melacu kencang motor saya untuk
sampai di mall tersebut. Setelah memarkir motor yang memang Masih
benar-benar sepi di perparkiran itu. Saya beranjak turun dan Masuk dari
pintu Masuk yang memang Masih gelap tapi sudah dibuka. Akhirnya saya
sudah tiba di tokonya yang memang ternyata Om yang bernama Peter ini
sudah gelisah menunggu saya dari tadi.
"Kok lama?" tanyanya.
"Enggak lah Om, baru jam 8 lewat 5!"
Tanpa basa basi lagi saya ditarik Masuk lalu dikuncinya toko yang
berpintu kaca itu dari luar kemudian digiringnya saya ke pojok toko
yang berbentuk L itu sehingga orang manapun tidak dapat melihat apa
yang akan kami lakukan didalam dari luar.
Wah, pagi ini Om Peter keliatan gagah disbanding kemarin yang Cuma
memakai T-shirt. Pagi ini ia memakai kemeja putih tangan pendek dibalut
dengan singlet didalamnya serta celana bahan warna coklat tua. Keren
sekali menurut saya karena di umurnya yang sudah lebih dari setengah
abad, ia masih nampak gagah. Ia mendorongkan tubuh saya ke pojok yang
paling pojok dengan kemudian menciumi leher saya dan mulai membuka
kancing kemeja saya satu persatu sampai TELANJANG DADA kemudian
menjilati puting saya, aahh.. Saya menggelinjang. Saya pun bertanya
bahwa saya mau diapakan. Om Peter menjawab, "Kubawa melayang jauh ke
awan!" Saya pun terdiam karena rasa enak karena dijilat dan
dipegang-pegang oleh tangannya yang macho membuat semua dunia terasa
berputar dan tanpa terasa batang sudah mengeras ke puncaknya.
Tanpa basa basi Om Peter seperti sudah merasakan adanya tegangan
tinggi dalam diri saya, dia pun membuka retsleting celana saya, membuka
ban pinggang serta langsung menelanjangi diri saya bulat-bulat. Dan
untuk pertama kalinya saya telanjang bulat di depan seorang pria yang
baru saya kenal. Saya pun pasrah, rasa enak dan nikmat mengalahkan akal
sehat. Dia pun membuka kemeja putihnya satupersatu singlet seksi yang
ternyata merk Rider itu dibiarkan dipakai, lalu dibukanya celana
panjang serta CD miliknya, ternyata batangnya tidak begitu keras,
mungkin karena faktor usia menentukan, tapi besar sekali dengan bulu
yang tercukur rapi seperti saya punya. Saya suka pria seperti Om Peter,
dari lekuk tubuhnya dapat diketahui bahwa pada mudanya ia pasti gagah,
bentuk tubuhnya yang tinggi besar, tapi perutnya agak sedikit
membuncit, pasti karena factor usia juga. Ada sedikit kumis dan brewok
tipis yang baru tercukur rapi.
Dia dengan ganasnya menciumi semua tubuh saya dan kemudian saya
disuruh tiduran di lantai dengan matras tipis yang memang sengaja ia
sediakan sebelumnya. Kembali ia menciumi tapi kali ini ia mulai
memainkan tangan kokohnya ke bagian paling sensitive di tubuh gua, rasa
enak bercampur geli kembali menyatu dalam diri gua. Gua pasrah pagi
ini, sangat pasrah sekali. Mau apapun gua kasih dah, begitu pikir gua.
Tangan kanannya mulai mengocok pelan kencang pelan kencang. Sepertinya
Om Peter sudah ahli dalam menciumi menjilat dan memainkan tangannya.
Ah, betapa bahagia istrinya yang mendampinginya selama ini, ia pasti
diberikan nikmat surga dunia seperti yang diberikannya kepada saya.
Setelah puas mengocok turun naik kemudian giliran mulutnya ingin menghisap.
"Lu bener bersih kan?"
"Kalo Om ga percaya kenapa Om ajak saya? Gua sumpah Om, lu kira gua juga mau sembarangan!" kata gua sedikit marah.
"He he he lu jangan marah, gua juga tau dari pertama kali gua liat elu. Elu pasti anak baek-baek!", ujarnya sambil tersenyum.
Ia pun meneruskan permainan menjelajah yang hebat dengan memasukkan
batang kemaluanku ke mulutnya dan dikulumnya. aahh.. Rasa apa ini?
Tanyaku. Rasa enak bercampur geli bercampur menjadi satu, lebih nikmat
dari segala apa yang ada di dunia.
Saya menggelinjang ke kanan ke kiri. Tapi Om Peter dengan lihainya
meng-ORAL sehingga benar benar nikmat surga dunia yang gua rasakan.
Sampai akhirnya waktu tanpa terasa sudah jam 9 kurang 15.
"Om sudah mau jam 9 nih, entar karyawan Om pada datang lagi."
"Tenang, ini senjata gua paling terakhir!"
Dia menekan-nekan titik titik dalam tubuh saya, entah kenapa rasa
yang saya rasakan jauh lebih nikmat dari sebelumnya, dan dalam waktu
yang singkat serta dalam tempo yang sependek-pendeknya.
"Om saya sudah ga tahaan nih, mau keluar..!!"
"Iya kluarin aja, gua siap!" katanya.
Aahh.. Gua bener bener mau kluar dan dengan sigap dia langsung
menganga. lava putih hangat memuncrat ke dalam rongga mulut Om Peter,
ditelannya habis tanpa sisa begitu juga sisa lava yang menempel di
kepala batangku dijilatnya sampai habis. Wah, memang benar-benar nikmat
pagi ini. Terima kasih Om Peter, kataku.
"Lho, Om Peter sendiri engga mau dikluarin, Om?", tanyaku.
"Enggak perlu! Untuk orang seumur Om, lebih enak membuat orang keluar, he he".
Dia pun kembali memakai celana dalam, celana panjang serta kemeja
putihnya dan merapikan semua seperti seolah tidak terjadi apaapa di
dalam toko ini. Saya pun juga ikut memakai semua dan merapikan baju dan
celana saya. Kita pun mengobrol sampai akhirnya jam 9.30 karyawan Om
Peter berdatangan. Dan akhirnya saya pun pamit pergi.
Tapi sebelum berpamitan, saya berjanji untuk datang sesering
mungkin 'menjenguk' Om Peter. Ada satu nasehat berharga dari Om Peter
yang engga bakal saya lupain selamanya.
"Dik, kita begini karena nasib atau takdir kita, jangan menyesal
untuk menjadi seorang biseks, kita harus bangga dengan apa yang kita
miliki, tapi satu hal, elu juga musti kawin dan punya keturunan".
Mulai saat itu kami sering berhubungan mungkin seminggu sekali
karena jadwal kerja saya yang padat tapi selalu tepat jam 8 atau
mungkin lebih pagi dan tentunya Om Peter lebih jago memainkan tangan
dan mulutnya. Dia tidak keberatan saya menjadi seorang pasif. Dia lebih
senang akan itu, tapi sekarang Om Peter telah meninggal dunia karena
sakit tuanya. Tepatnya 2 tahun yang lalu dia meninggalkan saya untuk
selama-lamanya.
Sejak saat itu tidak ada satu orang pria pun yang dapat
menggantikan kedudukan Om Peterku tercinta. Barangkali diantara pembaca
ada yang berminat untuk berkenalan atau sesuai dengan persyaratan yang
saya inginkan, jangan segan untuk kirim email ke alamat saya
seragam123@yahoo.co.uk, setiap mail yang masuk pasti akan saya balas, terima kasih atas perhatiannya.
Pembaca yang budiman, saya tidak menyesal walaupun saya seorang biseks,
karena tidak semua orang memiliki 2 sifat sekaligus, betul gak pembaca?
Akhirnya, selamat jalan Om Peter..
Aku Ketahuan
(by: djpaijo@yahoo.com)
Entah mengapa aku menjadi gagu saat membuka
email. Sejak cerita berjudul DOMPET, banyak teman yang mengirimku
email. Aku jadi serba salah saat harus membalas email yang memang
beragam inginnya. Ada yang sekedar memberikan komentar, yang mau
kenalan, yang minta no HP, ada yang ingin ketemuan, bahkan tidak
sedikit yang menanyakan ciri-ciri fisikku, ukuran penisku, gayaku
bercinta dengan istriku, dan lain-lain.
Aku mungkin kaget dengan keadaan yang tidak kubayangkan sebelumnya,
karena memang alasanku semula mengirim cerita, hanya ingin agar
traumaku yang sejak kecil kupendam, bisa sedikit kubagi. Tidak mungkin
aku cerita tentang apa yang kualami kepada sembarang orang, bahkan pada
sahabat terdekatku sekalipun, karena menurutku, dengan membuka aibku
kepada seseorang, berarti aku sudah menggadaikan hidupku padanya, dan
aku tidak mau itu. Pikirku, dengan bercerita di dunia maya, maka aku
bisa seekspresif mungkin. Aku tidak harus takut akan dihujat, dihina,
dicemooh, bahkan dijauhi, karena toh tidak ada yang tahu sedikitpun
tentang aku.
Aku bingung saat harus menjawab email yang intinya mengajak
ketemuan. Di satu sisi, tidak mau mengecewakan yang telah mencurahkan
energinya untuk mengirimku email, tetapi aku belum siap untuk membuka
diri. Terlalu banyak yang harus dipertaruhkan jika sampai ada yang
tahu. Akhirnya aku hanya bisa sedikit membatasi diri. Namun kejadian
selanjutnya sungguh membuatku shock berat dan tidak kubayangkan
sebelumnya.
Jika biasanya langsung kuhapus semua file begitu yakin ceritaku
terkirim, namun setelah mengirim "Antara Dua Rasa", tidak kuhapus
karena akan kukirim ke teman-teman yang tidak sedikit minta kiriman
ceritaku. Namun ternyata aku masih manusia, yang jauh dari alpa.
*****
Setelah dari warnet, hari itu aku ke kampus. Kuliah ekstensi-Filsafat,
yang dulu menjadi pilihan keduaku ketika lulus SMA, setelah Teknik
Sipil, akhirnya bisa kuambil.
"Hafidz..! Naah, kebetulan ketemu. Tinggal kamu yang belum mengumpulkan tugas syarat ujian. Tak tunggu sampai sore ini yaa!"
Tepukan di bahuku mengejutkanku di tengah sibuknya aku mengisi
segala persyaratan ujian. Aahh, aab Saddam (begitu biasa saya
menyebutnya karena selain asalnya dari Irak, kumisnya yang melintang
menambah tepat julukan itu).
"Iyaa.. Pak, maaf. Banyak kerjaan. Nanti kukirim tugasnya!"
Aku gugup, merasa bersalah, kenapa tidak sekalian ketika di warnet
tadi. Namun sebelum beliau menjauh, aku baru ingat bahwa aku telah
menyimpan tugas itu di disket, dan aku ingat betul tadi kumasukkan
dalam tasku. Bergegas kuambil disket dan mengejarnya. Sambil
berbasa-basi aku menyerahkannya.
Dua hari aku disibukkan dengan proyek kantor, sampai saat menjelang
malam saat tiba di rumah, istriku memberikan pesan dari aab Saddam yang
katanya siangnya ke rumah. Aku berpikir keras, ada apa? Kubaca pesannya
sekali lagi. Yaah.. Hanya sebuah alamat dan sepenggal tulisan, "Harap
datang!".
Aku masih belum bisa menebak apa gerangan, bahkan sampai ketika
kupencet bel kontrakan bercat krem, sebagaimana alamat tertera. Dengan
senyum mengembang, aab Saddam mempersilakanku masuk. Aku masih bingung.
"Aahh, ceritamu bagus, Dj-Paijo!"
Plaak. Seolah tamparan keras telah mengahantamku. Spontan aku
gemetaran saat nama samaranku disebut. Wuiihh, disket itu. Aku baru
sadar bahwa aku telah salah menyerahkan disket. Aku bengong. Keringat
dingin mulai mengucur.
"Maaf, jika membuatmu salah tingkah. Buatku bukan apa-apa, dan aku tahu perasaanmu!"
Sentuhan aab Saddam mengejutkan keterpakuanku. Aku mencoba menepisnya, namun aku benar-benar di batas kebimbangan..
"Perlu kau ketahui, aku mengikuti setiap ceritamu, Dj. Bayangkan,
dari bulan April, aku begitu terobsesi dengan sosok yang ternyata
adalah salah satu mahasiswaku, ha-ha-ha"
Aku menyengir mencoba mengimbangi tawanya. Entah mengapa aku mulai sedikit lega setelah mendengar pengakuannya.
"Kau pasti tahu Mr.DOT, kan?".
Aahh, iyaa. Sosok itulah yang paling sering mengirimku email yang isinya berbau cabul. Diakah?
"Tanpa kejadian inipun aku sudah sangat terobsesi denganmu, Dj. Setiap
kau tidak masuk kelasku, kuliahku jadi hambar. Tapi kini, kuharap kau
ngerti dan sedikit mau berbagi!"
Aab Saddam semakin berani merajuk. Aku menggeleng, mencoba meminta pengertiannya. Tapi justru dia semakin penasaran.
"Bukan tipeku pemaksa, Dj, tapi aku ingin kau ngerti, please! Aku benar-benar ingin lebih darimu"
Aku semakin serba salah. Aab Saddam yang semula begitu kuhormati, kini
seolah monster yang siap melahapku. Rasa tidak enakku sudah terkalahkan
dengan ketidakberdayaanku. Aku hanya terdiam, pasrah.
"Istrimu, keluargamu, dan yang mengenalmu tentu belum tahu
sebenarnya, kan? Dan aku juga yakin kau belum siap untuk diketahui.
So.. Gimana?"
Nada yang begitu sopan dan lirih, justru telah mengulitiku habis.
Sangat berkesan memaksa. Aku semakin membisu, ketika tangannya
menyentuh wajahku. Ketidaksiapanku akan terbongkarnya rahasiaku,
membuat semakin leluasa tangannya meraih apapun yang ingin disentuhnya
di diriku. Aku berpikir keras dan tidak mau kalah sebelum perang. Akal
sehatku berputar, mencoba menemukan apa yang bisa kuperbuat. Ahaa..
Akhirnya aku mendapatkan ide cemerlang.
Lumatan bibirnya yang semula kurasakan hambar, kubalas jauh lebih
ganas. Aku harus benar-benar berakting. Kugigit bibirnya, dia mengaduh,
namun aku tetap mengganas. Meski terganggu dengan kumisnya yang
melintang tebal, namun aku harus. Bahkan kini aku yang mengambil
inisiatif, harus membuatnya terlena. Kutarik paksa kaosnya, nyaris
robek. Meski sudah menduga sebelumnya namun aku sempat terkejut juga
dengan apa yang di depanku. Darah Iraknya membuat hampir semua badannya
di tumbuhi rambut. Sangat lebat. Aku tak peduli. Kupagut semua yang
menempel di dadanya. Dua putingnya kulumat dan kugigit.
Dia meraung, mendekapku erat. Tangannya ganas mencopot bajuku, sehingga
tak seberapa lama, semua yang kupakai sudah direnggutnya. Aku pun
berbuat yang sama. Kutarik paksa celana dalamnya yang masih tersisa,
dan aah... aku sempat ngeri melihat betapa panjang dan besar penisnya.
Bayangan betapa wibawanya dia ketika sedang di kelas yang begitu rapi,
berdasi, sepatu, rambut klimis suara berat, badan kekar hilang sudah.
Ahh sudah kepalang.
Dia menindihku, garang. Aku kelabakan menahan nafas saat mulutku
dibungkam dengan mulutnya. Belum lagi gairah yang membubung di
ubun-ubun seiring dengan permainan tangannya di penisku. Dijilatinya
hampir sekujur tubuhku. Bahkan anusku yang aku sendiri jijik
membayangkannya, tak luput dari jilatannya. Aku mendesah-desah ketika
sensasi luar biasa kurasakan, setiap lidahnya menusuk-nusuk anusku. Aku
rancap penisku seiring permainan gilanya. Aku mengerang, bahkan sedikit
kudramatisir berharap agar dia semakin memuncak, bernafsu dan lupa
diri.
Ketika mulutnya menemukan penisku, kuhentikkan aksiku. Kuajukan
syarat, agar dia mau ditutup matanya. Benar dugaanku, hasrat membaranya
tidak lagi bisa membaca apa mauku. Dengan ganas dilumatnya penisku. Aku
semakin mengerang. Aku berdiri, masih dengan mendesah kumaju-mundurkan
pantatku. Semakin ganas melumatku. Rasa nikmat yang ditawarkan masih
menyadarkanku untuk mengambil ponsel kameraku. Kubidik dengan pas
setiap aksinya melumat penisku. Kujambak rambutnya dan kutengadahkan
wajahnya agar aku bisa membidik tepat wajahnya. Kuambil pose terbagus
saat dia menjilati penisku. Aku mendesah penuh kemenangan. Kukembalikan
ponselku, dan kunikmati permainan.
Kubuka tutup matanya. Kuraih penisnya yang sudah sangat tegang.
Rasa mual yang pernah hadir ketika harus mengulum penis, kulupakan,
demi hebatnya aktingku. Dia mulai meraung, ketika semakin kupercepat
mulutku. Tadinya aku hendak menyerahkan anusku yang memang sampai
sekarang belum pernah termasuki penis. Namun untungnya dia sudah tidak
tahan. Dia meraung semakin keras. Aku yakin geloranya sudah memuncak.
Dipegangya kepalaku dengan kuat. Tapi aku tidak mau spermanya muncrat
di mulut. Dengan cepat pula kucabut mulutku, dan kuraih penisnya.
Kubanting dia, dan mulai kubisikkan berbagai kata di kupingnya yang
bisa memacu laju spermanya. Sambil kurancap, kugigit berkali-kali
kupingnya, dan akhirnya dia meraung panjang, ketika kurasakan spermanya
muncrat membasahi perutku. Didekapnya tubuhku erat, seolah tidak hendak
dilepasnya. Aku tersenyum. Ah, satu-satu.
Aku sudah hendak beranjak, saat dia terbaring lemas. Namun ternyata
dia menuntut agar bisa melihat bagaimana wajahku ketika spermaku
muntah. Tanpa pikir panjang, aku berdiri. Kusodorkan penisku ke
mulutnya. Sambil berjongkok, dia terus menatap wajahku. Aku meringis,
merem melek, menelan ludah, mendesah dan banyak lagi aksi wajahku yang
menggambarkan saat hasratku menegang. Dia semakin mempercepat aksinya.
Aku mulai mengejang. Kurasakan spermaku sudah di ujung tanduk untuk
dimuncratkan. Kucabut penisku dari mulutnya. Kurancap kencang di depan
wajahnya, sambil mendesah keras kumuncratkan spermaku ke wajahnya.
Belum habis spermaku muncrat, dia kulum penisku. Kusodokkan muncratan
terakhir spermaku ke mulutnya, penuh dengan bahagia. Aku tak peduli
ketika dia telan spermaku.
Lebih dua jam kami habiskan berdua, dan banyak hal yang dimauninya.
Aku tahu banyak darinya bahwa di negaranya, dia tidak pernah
mendapatkan kenikmatan yang diingininya. Dia hanya bisa merancap diri
sambil membayangkan lelaki pujaannya, tidak lebih dari itu. Namun,
setelah 2 tahun di Jogja, dia mula menemukan keasyikkan baru yang
semula hanya sebuah angan, dan aku bisa membayangkan bagamana
bergairahnya dia setiap melampiaskan hasrat terpendamnya.
Belum hilang rasa capekku, dia kembali mencoba menaikkan gairahku
lagi. Sebenarnya aku tidak mau lagi, karena malamnya aku harus melayani
istriku yang sudah 4 hari tidak kukabulkan hasratnya. Namun karena aku
belum yakin akan keberhasilan jepretanku, maka aku hanya mengangguk dan
mengangguk, karena memang aku belum tahu hasil jepretanku sebagai
senjata tandingannya.
Kami kembali bergumul, untuk kesekian kalinya, dan aku tidak tahu
entah berapa kali aku harus bisa berbaik-baik dengannya, dan entah
untuk berapa lama. Namun aku berharap semoga hasil jepretanku akan
baik, dan bisa dijadikan senjata tandingan.
E N D
Entah mengapa aku menjadi gagu saat membuka
email. Sejak cerita berjudul DOMPET, banyak teman yang mengirimku
email. Aku jadi serba salah saat harus membalas email yang memang
beragam inginnya. Ada yang sekedar memberikan komentar, yang mau
kenalan, yang minta no HP, ada yang ingin ketemuan, bahkan tidak
sedikit yang menanyakan ciri-ciri fisikku, ukuran penisku, gayaku
bercinta dengan istriku, dan lain-lain.
Aku mungkin kaget dengan keadaan yang tidak kubayangkan sebelumnya,
karena memang alasanku semula mengirim cerita, hanya ingin agar
traumaku yang sejak kecil kupendam, bisa sedikit kubagi. Tidak mungkin
aku cerita tentang apa yang kualami kepada sembarang orang, bahkan pada
sahabat terdekatku sekalipun, karena menurutku, dengan membuka aibku
kepada seseorang, berarti aku sudah menggadaikan hidupku padanya, dan
aku tidak mau itu. Pikirku, dengan bercerita di dunia maya, maka aku
bisa seekspresif mungkin. Aku tidak harus takut akan dihujat, dihina,
dicemooh, bahkan dijauhi, karena toh tidak ada yang tahu sedikitpun
tentang aku.
Aku bingung saat harus menjawab email yang intinya mengajak
ketemuan. Di satu sisi, tidak mau mengecewakan yang telah mencurahkan
energinya untuk mengirimku email, tetapi aku belum siap untuk membuka
diri. Terlalu banyak yang harus dipertaruhkan jika sampai ada yang
tahu. Akhirnya aku hanya bisa sedikit membatasi diri. Namun kejadian
selanjutnya sungguh membuatku shock berat dan tidak kubayangkan
sebelumnya.
Jika biasanya langsung kuhapus semua file begitu yakin ceritaku
terkirim, namun setelah mengirim "Antara Dua Rasa", tidak kuhapus
karena akan kukirim ke teman-teman yang tidak sedikit minta kiriman
ceritaku. Namun ternyata aku masih manusia, yang jauh dari alpa.
*****
Setelah dari warnet, hari itu aku ke kampus. Kuliah ekstensi-Filsafat,
yang dulu menjadi pilihan keduaku ketika lulus SMA, setelah Teknik
Sipil, akhirnya bisa kuambil.
"Hafidz..! Naah, kebetulan ketemu. Tinggal kamu yang belum mengumpulkan tugas syarat ujian. Tak tunggu sampai sore ini yaa!"
Tepukan di bahuku mengejutkanku di tengah sibuknya aku mengisi
segala persyaratan ujian. Aahh, aab Saddam (begitu biasa saya
menyebutnya karena selain asalnya dari Irak, kumisnya yang melintang
menambah tepat julukan itu).
"Iyaa.. Pak, maaf. Banyak kerjaan. Nanti kukirim tugasnya!"
Aku gugup, merasa bersalah, kenapa tidak sekalian ketika di warnet
tadi. Namun sebelum beliau menjauh, aku baru ingat bahwa aku telah
menyimpan tugas itu di disket, dan aku ingat betul tadi kumasukkan
dalam tasku. Bergegas kuambil disket dan mengejarnya. Sambil
berbasa-basi aku menyerahkannya.
Dua hari aku disibukkan dengan proyek kantor, sampai saat menjelang
malam saat tiba di rumah, istriku memberikan pesan dari aab Saddam yang
katanya siangnya ke rumah. Aku berpikir keras, ada apa? Kubaca pesannya
sekali lagi. Yaah.. Hanya sebuah alamat dan sepenggal tulisan, "Harap
datang!".
Aku masih belum bisa menebak apa gerangan, bahkan sampai ketika
kupencet bel kontrakan bercat krem, sebagaimana alamat tertera. Dengan
senyum mengembang, aab Saddam mempersilakanku masuk. Aku masih bingung.
"Aahh, ceritamu bagus, Dj-Paijo!"
Plaak. Seolah tamparan keras telah mengahantamku. Spontan aku
gemetaran saat nama samaranku disebut. Wuiihh, disket itu. Aku baru
sadar bahwa aku telah salah menyerahkan disket. Aku bengong. Keringat
dingin mulai mengucur.
"Maaf, jika membuatmu salah tingkah. Buatku bukan apa-apa, dan aku tahu perasaanmu!"
Sentuhan aab Saddam mengejutkan keterpakuanku. Aku mencoba menepisnya, namun aku benar-benar di batas kebimbangan..
"Perlu kau ketahui, aku mengikuti setiap ceritamu, Dj. Bayangkan,
dari bulan April, aku begitu terobsesi dengan sosok yang ternyata
adalah salah satu mahasiswaku, ha-ha-ha"
Aku menyengir mencoba mengimbangi tawanya. Entah mengapa aku mulai sedikit lega setelah mendengar pengakuannya.
"Kau pasti tahu Mr.DOT, kan?".
Aahh, iyaa. Sosok itulah yang paling sering mengirimku email yang isinya berbau cabul. Diakah?
"Tanpa kejadian inipun aku sudah sangat terobsesi denganmu, Dj. Setiap
kau tidak masuk kelasku, kuliahku jadi hambar. Tapi kini, kuharap kau
ngerti dan sedikit mau berbagi!"
Aab Saddam semakin berani merajuk. Aku menggeleng, mencoba meminta pengertiannya. Tapi justru dia semakin penasaran.
"Bukan tipeku pemaksa, Dj, tapi aku ingin kau ngerti, please! Aku benar-benar ingin lebih darimu"
Aku semakin serba salah. Aab Saddam yang semula begitu kuhormati, kini
seolah monster yang siap melahapku. Rasa tidak enakku sudah terkalahkan
dengan ketidakberdayaanku. Aku hanya terdiam, pasrah.
"Istrimu, keluargamu, dan yang mengenalmu tentu belum tahu
sebenarnya, kan? Dan aku juga yakin kau belum siap untuk diketahui.
So.. Gimana?"
Nada yang begitu sopan dan lirih, justru telah mengulitiku habis.
Sangat berkesan memaksa. Aku semakin membisu, ketika tangannya
menyentuh wajahku. Ketidaksiapanku akan terbongkarnya rahasiaku,
membuat semakin leluasa tangannya meraih apapun yang ingin disentuhnya
di diriku. Aku berpikir keras dan tidak mau kalah sebelum perang. Akal
sehatku berputar, mencoba menemukan apa yang bisa kuperbuat. Ahaa..
Akhirnya aku mendapatkan ide cemerlang.
Lumatan bibirnya yang semula kurasakan hambar, kubalas jauh lebih
ganas. Aku harus benar-benar berakting. Kugigit bibirnya, dia mengaduh,
namun aku tetap mengganas. Meski terganggu dengan kumisnya yang
melintang tebal, namun aku harus. Bahkan kini aku yang mengambil
inisiatif, harus membuatnya terlena. Kutarik paksa kaosnya, nyaris
robek. Meski sudah menduga sebelumnya namun aku sempat terkejut juga
dengan apa yang di depanku. Darah Iraknya membuat hampir semua badannya
di tumbuhi rambut. Sangat lebat. Aku tak peduli. Kupagut semua yang
menempel di dadanya. Dua putingnya kulumat dan kugigit.
Dia meraung, mendekapku erat. Tangannya ganas mencopot bajuku, sehingga
tak seberapa lama, semua yang kupakai sudah direnggutnya. Aku pun
berbuat yang sama. Kutarik paksa celana dalamnya yang masih tersisa,
dan aah... aku sempat ngeri melihat betapa panjang dan besar penisnya.
Bayangan betapa wibawanya dia ketika sedang di kelas yang begitu rapi,
berdasi, sepatu, rambut klimis suara berat, badan kekar hilang sudah.
Ahh sudah kepalang.
Dia menindihku, garang. Aku kelabakan menahan nafas saat mulutku
dibungkam dengan mulutnya. Belum lagi gairah yang membubung di
ubun-ubun seiring dengan permainan tangannya di penisku. Dijilatinya
hampir sekujur tubuhku. Bahkan anusku yang aku sendiri jijik
membayangkannya, tak luput dari jilatannya. Aku mendesah-desah ketika
sensasi luar biasa kurasakan, setiap lidahnya menusuk-nusuk anusku. Aku
rancap penisku seiring permainan gilanya. Aku mengerang, bahkan sedikit
kudramatisir berharap agar dia semakin memuncak, bernafsu dan lupa
diri.
Ketika mulutnya menemukan penisku, kuhentikkan aksiku. Kuajukan
syarat, agar dia mau ditutup matanya. Benar dugaanku, hasrat membaranya
tidak lagi bisa membaca apa mauku. Dengan ganas dilumatnya penisku. Aku
semakin mengerang. Aku berdiri, masih dengan mendesah kumaju-mundurkan
pantatku. Semakin ganas melumatku. Rasa nikmat yang ditawarkan masih
menyadarkanku untuk mengambil ponsel kameraku. Kubidik dengan pas
setiap aksinya melumat penisku. Kujambak rambutnya dan kutengadahkan
wajahnya agar aku bisa membidik tepat wajahnya. Kuambil pose terbagus
saat dia menjilati penisku. Aku mendesah penuh kemenangan. Kukembalikan
ponselku, dan kunikmati permainan.
Kubuka tutup matanya. Kuraih penisnya yang sudah sangat tegang.
Rasa mual yang pernah hadir ketika harus mengulum penis, kulupakan,
demi hebatnya aktingku. Dia mulai meraung, ketika semakin kupercepat
mulutku. Tadinya aku hendak menyerahkan anusku yang memang sampai
sekarang belum pernah termasuki penis. Namun untungnya dia sudah tidak
tahan. Dia meraung semakin keras. Aku yakin geloranya sudah memuncak.
Dipegangya kepalaku dengan kuat. Tapi aku tidak mau spermanya muncrat
di mulut. Dengan cepat pula kucabut mulutku, dan kuraih penisnya.
Kubanting dia, dan mulai kubisikkan berbagai kata di kupingnya yang
bisa memacu laju spermanya. Sambil kurancap, kugigit berkali-kali
kupingnya, dan akhirnya dia meraung panjang, ketika kurasakan spermanya
muncrat membasahi perutku. Didekapnya tubuhku erat, seolah tidak hendak
dilepasnya. Aku tersenyum. Ah, satu-satu.
Aku sudah hendak beranjak, saat dia terbaring lemas. Namun ternyata
dia menuntut agar bisa melihat bagaimana wajahku ketika spermaku
muntah. Tanpa pikir panjang, aku berdiri. Kusodorkan penisku ke
mulutnya. Sambil berjongkok, dia terus menatap wajahku. Aku meringis,
merem melek, menelan ludah, mendesah dan banyak lagi aksi wajahku yang
menggambarkan saat hasratku menegang. Dia semakin mempercepat aksinya.
Aku mulai mengejang. Kurasakan spermaku sudah di ujung tanduk untuk
dimuncratkan. Kucabut penisku dari mulutnya. Kurancap kencang di depan
wajahnya, sambil mendesah keras kumuncratkan spermaku ke wajahnya.
Belum habis spermaku muncrat, dia kulum penisku. Kusodokkan muncratan
terakhir spermaku ke mulutnya, penuh dengan bahagia. Aku tak peduli
ketika dia telan spermaku.
Lebih dua jam kami habiskan berdua, dan banyak hal yang dimauninya.
Aku tahu banyak darinya bahwa di negaranya, dia tidak pernah
mendapatkan kenikmatan yang diingininya. Dia hanya bisa merancap diri
sambil membayangkan lelaki pujaannya, tidak lebih dari itu. Namun,
setelah 2 tahun di Jogja, dia mula menemukan keasyikkan baru yang
semula hanya sebuah angan, dan aku bisa membayangkan bagamana
bergairahnya dia setiap melampiaskan hasrat terpendamnya.
Belum hilang rasa capekku, dia kembali mencoba menaikkan gairahku
lagi. Sebenarnya aku tidak mau lagi, karena malamnya aku harus melayani
istriku yang sudah 4 hari tidak kukabulkan hasratnya. Namun karena aku
belum yakin akan keberhasilan jepretanku, maka aku hanya mengangguk dan
mengangguk, karena memang aku belum tahu hasil jepretanku sebagai
senjata tandingannya.
Kami kembali bergumul, untuk kesekian kalinya, dan aku tidak tahu
entah berapa kali aku harus bisa berbaik-baik dengannya, dan entah
untuk berapa lama. Namun aku berharap semoga hasil jepretanku akan
baik, dan bisa dijadikan senjata tandingan.
E N D
Subscribe to:
Posts (Atom)
Paling Populer Selama Ini
-
Pagi masih gelap saat kudengar ibu membangunkan aku yang terlelap. Seperti biasa aku hanya mengubah posisi berbaringku menjadi meringkuk. “T...
-
. Album Berikutnya
-
Sebagai penghuni baru di Kota ini, sore itu aku memutuskan untuk jalan-jalan di salah satu mall terkenal di daerah selatan Jakarta. Aku ingi...
-
Namaku Suryati, biasa dipanggil Yati. Sejak berkeluarga dan tinggal di Jakarta aku selalu sempatkan pulang mudik menengok orang tua di Semar...
-
---------- 1. Mature Gay Daddy - Oldermen Lihat Cuplikan Size: 44,11 MiB Duration: 00:11:20 Type: avi Video: 400x300 http://b93d...
-
Album Sebelumnya
-
Cerita lainnya tanpa gambar tapi tak kalah seru, klik aja ini
-
Untuk menghabiskan anggaran tahunan, perusahaan kami berniat membeli beberapa peralatan kantor berupa komputer dan beberapa perlengkapan lai...
-
(by: haus_lelaki@yahoo.com) Tugas kantor selesai. 10 hari di Biak jenuh juga. Masalahnya tidak mudah menemukan pasangan sesama lelaki unt...
-
(by: rustyryans@gmail.com) Siang itu memang terasa sangat membosankan,setelah hampir 2 minggu menghabiskan waktu liburan akhir semester ta...