5/27/2011

Oase Laut Utara 10: Morning Blues - spesial!

(by: juzoef@yahoo.com)

Dua malam sudah kami menginap di rumah kebun milik Om Tei. Dua malam yang penuh dengan cinta dan gelora birahi. Dua malam pula aku terus berusaha membujuk agar Bahar mau singgah di mess sepulangnya nanti dari kebun ini. Tapi dia tetap bersikukuh tak mau memenuhi permintaanku. Sikapnya ini sempat membuatku kesal.

"Abang takut ketemu Pak Gun, ya?" aku memulai menyinggungnya waktu kami berdua sedang berbaring menjelang waktu tidur.
Bahar menggeleng, "Bukan begitu Mas. Kehadiranku di mess nanti pasti akan bikin kaget dia, dan ini bisa membuat suasana jadi tak enak"

Bahar menyebut Pak Gun dengan sebutan 'dia'. Seperti ada rasa antipati. Alasan yang dikemukakan Bahar pun rasanya juga terlalu berlebihan. Sebab sejauh yang kukenal, Pak Gun orangnya cukup toleran dan pengertian.

Kedatangan Bahar ke Manado kemarin memang mendadak. Demikian juga kepergian kami ke kebun ini. Dan Pak Gun belum tahu itu semua. Aku memang tak selalu pamit bila meninggalkan mess, kecuali untuk urusan yang penting. Apalagi pikiranku waktu itu lebih banyak terpusat pada kehadiran Bahar yang mendadak, jadi tak sempat pamitan dengan orang mess.

"Abang terlalu berlebihan.." kataku setengah menggumam. ".. Sebenarnya, ada apa sih, Bang?" lanjutku ingin mendapatkan jawaban yang lebih jelas dan tegas.

Bahar terhenyak mendengar intonasi kalimat terakhirku yang sengaja kubuat serius. Matanya menatapku, seperti menyimak sesuatu.

"Kenapa?" tanyaku membalas tatapannya itu.

Bahar menarik nafas sebentar, "Ehmmhh..," ia mendesah sebentar, lalu, ".. Saya hanya risih saja dengan orang-orang di mess nanti.."
"Terutama risih dengan Pak Gun, kan?" sahutku menambahi. Dan Bahar diam tak menyahut.

Selama ini aku dan Bahar memang, dan tentu saja, menjaga kerahasiaan hubungan kami. Barangkali Bahar merasa risih, karena di mess sudah ada orang yang telah mengetahui hubungan kami, meskipun orang itu-Pak Gun-tak ada bedanya dengan kami berdua. Jadi kenapa harus risih?

Hingga menjelang tidur, Bahar tetap tak memberikan jawaban apakah ia jadi mau mampir ke mess atau tidak.

"Ya sudah.., terserah..," akhirnya aku menyerah dengan sikapnya yang tetap diam.

Hari ketiga akhirnya menjadi sebuah antiklimaks. Pagi-pagi, begitu bangun tidur, aku rasanya sudah mau uring-uringan. Barangkali kalau tak berada di rumah Om Tei, mungkin sudah kulampiaskan kekesalanku menghadapi sikap Bahar semalam yang kukuh itu.

Pagi itu rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur. Aku masih duduk tepekur di pinggir ranjang membelakangi tubuh Bahar yang masih terlelap, ketika tiba-tiba kurasakan tangannya menggapai punggungku. Aku hanya meliriknya sesaat. Malas untuk menanggapi.

"Mas.." tegurnya dengan suara masih parau. Aku tak menyahut. Diam.

Tubuhnya lalu beringsut mendekatiku. Masih dalam posisi berbaring, kedua tangannya lalu dilingkarkan ke pinggangku dari belakang, seperti tengah memeluk guling. Aku tetap duduk tak bergeming.

"Sudah bangun belum, sih?" tegurnya mencoba menggodaku yang tetap diam tak menanggapi. Aku harus bisa bertahan dari godaannya yang kadang-kadang memang jahil itu. Makanya aku segera berdiri, menepis kedua tangannya dari pinggangku dan beranjak masuk ke kamar mandi. Menutup pintunya. Klik! Langsung mandi.

Sebelum pintu kamar mandi kututup tadi, sempat kudengar Bahar berteriak 'Hey!' memprotes sikapku yang tak mengacuhkannya pagi ini.

Air mandi yang sejuk lumayan meredakan emosiku yang sudah tersulut sejak semalam. Sebenarnya aku paling benci bila pagi-pagi sudah uring-uringan. Bisa-bisa kebawa terus sepanjang hari. Bahar tahu persis kebiasaan jelekku itu.

Ada sekitar seperempat jam aku membersihkan badan. Ketika keluar dari kamar mandi, sayup-sayup kudengar alunan lagu blues. Kupikir Om Tei yang menyetelnya. Karena orang tua itu memang suka sekali dengan musik jenis ini dan cukup banyak pula koleksi piringan hitamnya. Tapi ternyata Bahar yang punya kerjaan.

Kulihat ia tengah bersandar menghadap keluar jendela kamar sambil merokok. Ia masih dalam 'pakaian tidurnya', bercelana dalam saja. Tubuhnya tampak bergoyang-goyang pelan mengikuti irama blues yang sendu, romantis dan mendayu-dayu itu.

Sebenarnya, bias matahari pagi yang menerobos jendela besar di kamar ini telah menciptakan sebuah siluet yang indah pada tubuh tegap yang hanya terbalut cawat putih tipis itu. Tapi aku mencoba tak menghiraukannya. Aku harus segera berpakaian karena saat itu tubuhku hanya terbalut handuk saja.

Tapi, sialan! Lemari pakaian tak bisa kubuka. Beberapa kali kutarik pintunya, tapi tak mau terbuka juga. Tampaknya terkunci dan kuncinya entah kemana. Pasti Bahar yang bikin ulah, gerutuku langsung menuduh, karena ia yang kemarin memasukkan tas dan pakaian kami ke lemari ini. Bagaimana aku bisa berpakaian? Dia kalau sedang usil, ada saja kelakuannya.

Kubalikkan badanku dan kutatap tubuhnya yang masih bersandar santai menghadap keluar jendela. Kudengar ia bersiul-siul di sela-sela isapan rokoknya. Aku hanya bisa mendengus. Sebal!

Tiba-tiba tubuhnya berbalik dan melihatku. Dia menghentikan siualannya dan mematikan rokoknya pada tepi jendela dan membuang puntungnya keluar. Lalu tersenyum ke arahku.

"Eh, Mas Har. Sudah selesai mandinya?" tanyanya seperti basa-basi, tapi nada suaranya lebih terdengar seperti meledek.

Aku diam, kesal. Dia masih terus tersenyum, lalu melanjutkan siulannya mengikuti lagu berikutnya. Tubuhnya kemudian pelan-pelan menuju ke arahku sambil sedikit bergoyang-goyang mengikuti irama blues. Tangannya terentang seolah mengajakku untuk ikut menikmati irama lagu itu.

Sebenarnya kalau sedang tak kesal, akan kutanggapi kegilaannya pagi ini. Karena goyangan tubuh yang hanya bercelana dalam itu terlihat sexy, sangat sexy. Apalagi sesekali pinggulnya sengaja bergerak secara erotis. Menyentak-nyentak mengikuti bunyi bass irama blues yang khas berdentum-dentum. Tapi aku tetap diam saja. Bahkan sesekali aku menutup mataku dan menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menunjukkan bahwa aku sedang tak mau menanggapi candanya pagi ini. Tapi anehnya, pejaman mata dan gelengan kepalaku itu kurasakan bukan sebagai sikap penolakan, tapi lebih disebabkan karena aku sulit untuk menepis godaannya.

Melihat sikapku, Bahar tak jadi menghampiriku. Tinggal beberapa tapak lagi ia menghentikan langkahnya. Tapi sikapnya tetap santai. Jarinya menjentik-jentik, kepalanya bergerak-gerak dan pinggulnya bergoyang-goyang pelan di tempat ia berdiri. Bibirnya bersenandung menikmati irama.

"Mana kunci lemarinya?!" akhirnya aku keluar omongan dengan nada kesal sambil menadahkan tanganku ke arahnya.
"Di sini.." katanya tenang sambil menunjuk ke bagian depan celana dalamnya. Sementara tubuhnya terus bergoyang-goyang dengan santainya. Dasar tengil!
"Bang! Aku serius nih!"
"Aku juga serius..," dia tetap tenang sambil bersiul-siul.

Akhirnya kubanting tubuhku ke kursi dekat lemari pakaian dengan perasaan jengkel. Tak tahu musti berbuat apa lagi. Kalau saja kondisiku tidak hanya berbalut handuk seperti ini, aku pasti sudah keluar meninggalkannya sendirian di kamar ini.

Dia kalau semakin dikejar biasanya malah semakin menjengkelkan. Tapi apa lagi yang bisa kuperbuat? Mau tak mau aku terpaksa duduk memperhatikan tingkahnya yang pagi ini seperti anak kecil ingin diperhatikan. Barangkali dia sedang kerasukan setan kebun!, umpatku.

Lagu berikutnya terdengar sangat kental irama bluesnya, membuat gerakan Bahar makin menjadi-jadi. Sesekali kedua tangannya diangkatnya ke atas, menampakkan bulu lebat yang tumbuh subur di sepanjang ketiaknya. Sambil mengangkat tangan begitu, pelan-pelan pinggulnya bergerak ke kiri dan ke kanan. Maunya erotis, tapi aku lebih melihatnya seperti seorang binaragawan yang tengah beraksi. Hampir saja aku tertawa geli melihat gayanya yang konyol. Tapi aku masih gengsi menampakkan reaksiku atas kegilaannya itu.

Dasarnya Bahar memang sedang berniat untuk menggoda. Dan ia tahu persis bagaimana harus menggodaku. Kini, masih dengan tangan terangkat dan pinggul berputar-putar pelan, tubuhnya lalu berbalik membelakangiku. Kemudian pelan-pelan kedua tangannya turun ke arah pantatnya. Mengelus-ngelus, meremas dan lalu memutar-mutar kedua bongkahan padat yang tertutup celana dalam putih itu. Hey, dari mana dia belajar menari dengan gaya striptease seperti itu?

Aku akhirnya harus tersenyum. Tapi aku akan tetap tak akan menanggapi keinginannya pagi ini. Akan kulihat sampai sejauh mana ia akan tahan. Kubiarkan ia memanaskan sendiri tungku birahinya, dan biar ia sendiri yang menuntaskannya. Aku tak mau terlibat! Bahkan seseru apapun pertunjukkan yang dipertontonkan padaku; seperti ketika kedua tangannya pelan-pelan mulai memelorotkan bagian belakang celana dalamnya, sehingga sedikit demi sedikit belahan dan bukit pantatnya yang berbulu itu mulai terkuak. Lalu ditingkahi dengan goyangan yang erotis.

Kulihat beberapa kali matanya melirik ke arahku dan tersenyum. Kelihatan sekali ia mau menggodaku. Cepat-cepat aku pasang muka acuh tak acuh, meski dalam hati aku mulai senang dengan hiburan gratis yang dipertontonkan padaku.

Aku belum pernah melihat pertunjukan striptease. Apa dan bagaimana striptease itu, aku pun tak pernah membayangkannya. Apalagi striptease yang dilakukan oleh laki-laki. Tapi pagi ini, ada orang yang dengan sukarela memberiku gambaran bagaimana striptease itu. Mungkin bukan gambaran yang memuaskan, karena Bahar bukanlah profesional untuk itu. Ia melakukannya karena ingin menggoda dan merayuku yang pagi ini sedang ngambek berat.

Musik blues masih terus mengalun dari piringan hitam milik Om Tei. Bahar masih dalam posisi memunggungiku. Kedua tangannya kini pindah ke bagian depan celana dalamnya, sementara bagian pantatnya tetap dibiarkan terkuak. Tangannya lalu membuat gerakan-gerakan tertentu yang seolah tak boleh terlihat olehku. Nampaknya ia ingin membuatku penasaran. Tapi aku tahu apa yang sebenarnya tengah dilakukannya: ia tengah merangsang miliknya sendiri. Kulihat beberapa kali bukit pantatnya mengempis berkonstraksi seperti tengah menahan rasa nikmat.

Sialan! Aku mulai terpengaruh. Milikku yang tertutup handuk itu mulai bereaksi. Tapi kubiarkan saja. Aku tetap duduk santai dan kedua tanganku tetap bertelekan di kedua lengan kursi. Hanya kini nafasku mulai agak sesak menahan getaran yang mulai memercik-mercik.

Dan percikan itu berubah menjadi desiran-desiran yang kuat ketika tiba-tiba kulihat Bahar memelorotkan celana dalamnya hingga terlepas ke lantai. Tapi posisinya masih membelakangiku, hingga aku tetap tak bisa melihat kondisi tubuh bagian depannya. Yang mulai kudengar hanya sayup-sayup lenguhannya meningkahi musik blues yang tampaknya kini tak lagi dihiraukannya. Dia lebih asyik bermasturbasi!

Aku menelan ludah melihat gerakan-gerakan tubuhnya dari belakang. Tampaknya nikmat sekali ia melakukan onani. Sesekali kepalanya mendongak dan mengeluarkan desahan yang merangsang. Aku tak tahu apakah kini Bahar masih ingin menggodaku ataukah ia sudah larut dalam keasyikannya sendiri. Biarlah, toh aku tadi juga berjanji tak akan menanggapinya.

Tiba-tiba ia membalik tubuhnya menghadapku. Tentu saja kondisi kemaluannya sudah sangat meradang. Kulit dadanya tampak memerah sehingga makin menambah gelap bulu-bulu yang tumbuh di sekitarnya. Nafasnya ngos-ngosan dan wajahnya serius menatapku, seperti orang sedang marah. Aku balas tatapannya dengan pandangan yang serius dan mimik muka yang seolah mengatakan: 'mau apa kau?'.

Tadinya kupikir ia akan mendatangiku. Ternyata tidak. Tubuhnya malah bergerak mundur sambil terus menatapku, menuju ke ranjang. Lalu dalam posisi telentang dan bersandar pada bantal, ia meneruskan acara swalayannya di atas kasur. Kali ini aku benar-benar tergoda demi melihat posisi dan gerakannya di atas ranjang sambil asyik mengocok-ngocok. Ia memberiku sebuah pertunjukan striptease yang meskipun amatiran tapi cukup menggoda. Tapi, kembali gengsiku mengingatkan nafsuku, bahwa aku harus bisa bertahan dari godaannya pagi ini, sampai kuperoleh jawaban: ia mau singgah di mess-ku.

Blues masih mendayu-dayu di kamar ini. Musiknya jadi terdengar lebih romatis-erotis. Cocok untuk mengiringi orang tengah bercinta. Sayangnya pagi ini kami sedang tidak bermain cinta. Kami sedang perang urat syaraf!

Di atas kasur Bahar masih sibuk meloco miliknya. Benda bulat panjang berwarna kecoklatan itu kini tampak meluncur-luncur dalam genggamannya. Kulit batangnya tampak mengkilat. Mungkin basah oleh olesan air liurnya atau cairan lendir yang memang terlihat sudah keluar dari ujung kepala kemaluannya. Urat-urat di sekitar batangnya pun tampak menonjol, menandakan betapa tegang dan kerasnya benda itu saat ini.

Aku sendiri kini dalam kondisi yang tak jauh berbeda. Hanya tanganku tak beraksi. Kubiarkan si kecil bandel meronta-ronta di balik handuk. Tonjolannya nyata sekali menyembul. Meronta ingin keluar dan 'dikeluarkan'. Lendir precum-ku juga sudah keluar dan tampak merembes ke serat handuk. Menimbulkan bercak basah pada ujung tonjolan itu.

Posisi dudukku kini agak menyandar ke belakang dengan kedua kaki terentang menjuntai. Kedua sikuku tetap bertelekan di kedua sandaran kursi. Aku sengaja berbuat begitu demi melihat Bahar mulai melirik-lirik ke arahku, terutama ke gundukan di selangkanganku. Barangkali dia heran karena aku sudah terangsang tapi tetap tak bergeming. Kini, giliran aku membuatnya penasaran.

Kulihat dia dengan nafas yang memburu terus mengocok dan mengocok. Sesekali ekspresinya menyeringai seperti menahan sesuatu yang seharusnya dikeluarkannya. Matanya yang mulai sayu itu terus memandangku dengan tatapan yang sudah sulit untuk diartikan.

Tiba-tiba ia menghentikan kegiatannya, lalu memberi isyarat, tepatnya memohon, padaku untuk naik ke atas ranjang. Tak tahan lagi rupanya. Aku menggeleng menanggapi isyaratnya. Ia mendengus kesal. Dan aku merasa setengah meraih kemenangan.

Setengah kemenanganku semakin nampak ketika kulihat Bahar pelan-pelan mulai beringsut turun dari ranjang. Batang miliknya terayun-ayun seiring langkahnya menuju ke arahku. Lagu blues, entah yang ke berapa, seperti mengiringi langkahnya yang pelan namun penuh dendam, bagai koboi berjalan menuju arena duel.

Aku tetap diam di kursi. Menanti apa kelanjutannya. Karena ia kadang penuh dengan kejutan. Tapi ternyata tidak. Pahanya langsung mengangkangi kedua kakiku yang selonjor di pinggir kursi. Tangannya lalu mencoba menyingkap handuk yang melilit di pinggangku, tapi segera kucekal. Ia melotot. Aku menatapnya dengan tenang."Mau apa?!" kataku setengah meledek.

".. Please.." Bahar mendesah. Memohon.
"Apa.., Bang..?" tanyaku kali ini dengan nada benar-benar meledek.

Ia tak menjawab, tapi malah meremas-remas kemaluannya yang dari tadi mengacung beberapa inchi di depan wajahku. Seolah memberi isyarat padaku apa yang diinginkannya. Aku mengangguk, pura-pura memahami maksudnya yang memang sudah aku pahami.

"Boleh saja..," kataku santai, "Tapi, Abang harus janji dulu..," kataku mengultimatum.
"Ya" jawabnya cepat-cepat dengan nafas yang masih memburu. Padahal aku belum mengatakan permintaanku agar ia berjanji mau ikut aku ke mess.
"Ya, apa?" tanyaku mendesak.
"Ngembaliin kunci lemari," jawabnya sekenanya.

Aku tak bisa lagi menahan ketawaku mendengar jawabannya yang pura-pura bodoh itu.

"Bukan ituu!!" kataku sambil mencubit pahanya. Ia mengaduh.
"Apa dong?" ia masih pura-pura bodoh.
"Sudah ah! Sana! Sana..!" kudorong tubuhnya dengan kesal. Kali ini aku benar-benar kesal. Aku capek menghadapi candanya.

Aku hampir berdiri ketika tangannya menahan bahuku dan mendudukkanku kembali. Ia lalu membisikiku, minta maaf dan berjanji mau singgah di mess sepulang dari kebun ini..

Oh, akhirnya.. Aku hanya bisa menghela nafas. Kenapa harus pakai acara marah dulu untuk menerima jawaban seperti itu, hah? Aku kembali mengumpat.

"Maaf ya.." katanya sekali lagi, tapi kali ini kata maafnya sekaligus dipakai untuk meminta ijin agar tangannya boleh merogoh ke celah handuk yang kupakai.

Kali ini aku tak berontak dan mendiamkannya. Tak kucekal lagi tangannya. Kubiarkan ia meremas-remas agar semua kembali menegang. Kubiarkan tangannya menyingkap handukku dan mengeluarkan isinya. Lalu jari-jarinya bermain-main dengan liarnya. Tanganku sendiri sengaja tak bereaksi, tetap bertenger di kedua sisi sandaran kursi. Aku bahkan tak menyentuh tubuhnya sama sekali. Masih ada sedikit rasa 'kesal' padanya.

Ketika semua sudah siap, Bahar mengambil ancang-ancang mengangkangiku dan mencoba menyelipkan milikku ke sela-sela pantatnya. Agak susah. Karena celah itu belum lentur benar. Tapi bukan Bahar namanya kalau tak berusaha. Kepala kemaluanku yang tumpul membulat itu dioles-oleskannya di sekitar celah miliknya. Menimbulkan rasa geli pada kami berdua. Merangsang lendirku keluar lebih banyak sehingga mulai melumasi liang kecil miliknya yang juga mulai terasa membasah.

Aku tetap tak bergeming dari posisi dudukku. Sementara Bahar terus menggunakan milikku untuk merangsang bagian bawah tubuhnya. Sampai akhirnya aku mulai merasa sesuatu telah menjepit milikku. Lalu pelan-pelan seperti terisap dan akhirnya terlahap seluruhnya oleh sebuah liang liat ketat yang berdenyut-denyut. Tak sengaja pantatku sedikit terangkat ke atas, hingga milikku makin tertusuk lebih dalam..

Bahar mengira aku telah memberi reaksi padanya. Maka pelan-pelan diputarnya pinggulnya, bagai tengah mengaduk sesuatu. Aku hanya bisa memejamkan matanya menikmati lumatan-lumatan pada batangku yang ditimbulkan oleh gerakan itu.

Akhirnya kami melakukannya pagi itu. Aku tak lagi diam pasif. Kuimbangi semua gerakan-gerakan Bahar di atas tubuhku. Aku cukup dalam posisi duduk bersender dan menyentak-nyentakkan pinggulku ke atas. Menusuk dan mengocokkan batangku bila sudah masuk sampai pangkalnya. Sementara Bahar tak henti-hentinya mengulir dan menggenjot pantatnya. Batang kemaluannya tampak mengangguk-angguk di atas perutku. Sedikitpun Bahar tak tampak lelah, meskipun ia harus menekuk lututnya berkali-kali.

Akhirnya dialah yang pertama kali memuncratkan cairan kepuasannya. Banyak dan menyembur ke arah perut dan dadaku. Memang dialah yang memulai semua ini. Orgasmenya menurutku datang terlalu cepat, tak seperti biasanya. Mungkin ia sudah demikian meradangnya.

Puncak kenikmatanku datang tak beberapa lama kemudian, setelah Bahar dengan sisa-sisa tenaganya membuat gerakan pantat sedemikian rupa hingga aku mengerang kenikmatan mencapai puncak. Keringatnya yang deras mengalir bercampur dengan keringatku sewaktu kami berpelukan di atas kursi itu. Sesekali aku masih menyentakkan pantatku ke atas, menusuk. Dan Bahar membalasnya dengan memutar pantatnya, meremas. Lalu yang tinggal hanya dengus dan desahan nafas kami berdua.

Musik blues masih mengalun. Tapi cahaya matahari di luar sana sudah mulai terang. Siang ini kami akan balik ke mess di Manado.

"Bang, mana kunci lemarinya?" kataku mengingatkan sambil kudorong tubuh bugilnya dari pangkuanku.
"Kunci??" wajah Bahar tampak kebingungan. Ia berdiri sambil celingak celinguk.
"Tadi katanya ditaruh di celanamu," aku mengingatkan lagi

Tiba-tiba tawa Bahar meledak. Lalu pelan-pelan ia berjalan ke arah lemari pakaian. Lalu dengan gaya meledek, digesernya pintu lemari dan..

"Bukan ditarik Mas.. Tapi digeser.." ia memeragakan cara membuka lemari.

Ya ampun! Aku cuma melongo. Hampir kupukul dia kalau saja tak segera menghilang ke kamar mandi.


E N D

Akhir Dari Segalanya

(by: dedybtm@yahoo.com)

Sebut saja namaku Dian Prasetyo, umurku
sekarang ini lebih kurang 23 tahun. Aku di lahirkan di kota Jambi,
tanggal 28 desember 1980. Aku anak 1 (pertama) dari 3 bersaudara yaitu
adikku yang kedua laki laki sedangkan adikku yang paling kecil
perempuan. Banyak perbedaan sifat dan karakter di antara kami bertiga.
Aku sendiri orangnya sangat kalem dan cendrung berdiam diri sehingga
banyak teman temanku yang mengatakan susah untuk berkomunikasi dengan
saya. Sedangkan adikku yang kedua orangnya pemalu dan bertindak sangat
tegas dalam sesuatu hal, nah adikku yang cewek banyak orang bilang
seperti burung nuri karena tak mulutnya selalu berkicau dan sangat
ramah kepada siapapu sehingga banyak orang yang senang dan gemas
melihatnya.

Jujur saja kukatakan kalau aku itu adalah seorang gay dengan kata
lain suka melakukan hubungan sex dengan sesama jenis baik itu
laki-laki(straight), gay maupun bisex. Tetapi itu semua berawal dari
keluarga kami yang tidak harmonis dengan kata lain Broken home. Sejak
aku duduk di bangku kelas 1 SD, orangtuaku cerai. Bapakku sendiri pergi
entah ke mana seolah olah hilang ditelan bumi, dan Ibuku menikah dengan
pria lain. Sejak saat itulah terpaksa kami harus diasuh oleh nenek
kami. Begitu susahnya kehidupan ekonomi kami saat itu, karena nenekku
yang kesehariannya cuman pedagang nasi kecil kecilan, dan berkebun
seadanya saja, terpaksa harus menanggung beban hidup kami bertiga,
rasanya saat itu aku menyesal kenapa saya harus di lahirkan ke dunia
ini kalau harus menderita hidup. Kami tetap sabar dan berusaha dan
berjuang untuk hidup sehingga akupun sampai di kelas 3 SLTP. Saat itu
pulalah aku baru menyadari tentang jati diriku maksudnya pertama kali
aku melakukan sex dengan bapak guruku sendiri yang kebetulan punya
kelainan sex.

Bapak guruku itu orangnya sangat baik dan sangat perhatian sama
saya sebut saja namanya Pak Ak, Pak Ak yang kesehariannya mengajarkan
bidang study bahasa Indonesia yang sekaligus wali kelas kami kelas 3.
Wajahnya yang kebapakan, meskipun usianya yang sudah hampir baya tetapi
badannya masih tetap segar dan boleh di katakana atletis. Senyumannya
yang manis di tambah lagi dengan wajahnya yang ganteng kadang kadang
membuat birahiku kadang kadang naik di saat dia sedang mengajar di
depan kelas, di tandai dengan penisku sering ngaceng cuman semua itu
kupendam dan kusimpan dan di malam harinya barulah kutumpahkan
segalanya dengan ngebayangin Pak Ak ada di sisiku sambil aku melakukan
onani. Entah firasat darimana dan aku juga bingung apakah gerak gerikku
sudah tercium oleh Pak Ak sendiri sehingga rasanya setiap hari kami
semakin dekat saja, sampai.. KejaDian itupun terjadi.

Awal dari kejaDian itu adalah di saat aku berada di kantin dan
ternyata cuman kami berdua saja yaitu aku dan Pak Ak sendiri. Bahkan
secara tak sengaja sampai ke obrolan yang sangat pribadi. Yaitu tentang
pribadi saya dan juga Pak Ak.

"Jadi sekarang ini di rumah sendirian donk," tanyaku!

"Iya Dian, bapak sangat kesepian sekali semenjak istri bapak meninggal sekitar 2 tahun yang lalu."

Dan akupun mulai bicara tentang diriku kepada Ak, "Begitu juga Dian
pak, Dian sangat kesepian, dan merasa kekurangan kasih sayang karena
sejak kecil Dian tidak kenal dengan wajah bapak Dian sendiri, belom
lagi dengan Ibuku yang seolah olah lepas dari tanggung jawabnya dan
kamipun di asuh oleh nenekku dengan penuh perjuangan.

"Jadi kita punya nasib yang sama yah Dian?" Tanya Pak Ak lagi dan
kubalas dengan sebuah senyuman, Pak Akpun tersenyum kepadaku. Dengan
senyumannya yang manis. Dan belpun berbunyi menandakan kalau kami sudah
masuk kelas dan mengakhiri perbincangan kami berdua.

Hari hariku selalu bersama Pak Ak, dan cuman dialah orang yang
paling dekat dengan aku saat itu, begitu juga dengan Pak Ak, dia sangat
senang kepadaku dan pernah mengatakan kepadaku dia ingin terus ngobrol
denganku tentang apa aja, bahkan dia kepingin lebih dekat lagi
denganku, karena aku itu orangnya sangat pendiam ditambah lagi dengan
wajahku yang lugu dan kalem sehingga menambah point tersendiri
kepadanya sehingga hal itu enggak akan membuat orang curiga tentang
kami. Makanya meskipun sebenarnya aku otakku yang enggak terlalu
pintar, tetapi nilaiku selalu bagus dan aku selalu meraih rangking 1 di
kelas tentunya dengan bantuan Pak Ak karena kedekatanku dengannya dan
kerja sama yang baik di antara kami berdua. Dan sudah barang tentu
kalau hal itupun kumanfaatkan dan mengambil keuntungan dari dia.

Secara diam diam akupun ingin memanfaatkan suasana ini. Aku ingin
suatu saat nanti Pak Ak bertekuk lutut di hadapanku sehingga apa yang
kuminta dari dia harus ada, bukan cuman nilai yang kudapatkan, kasih
sayang, harta, bahkan aku ingin mereguk kasih sayang darinya karena aku
adalah orang yang benar benar kekurangan kasih sayang. Siang malam aku
terus memikirkan misi itu, dan bagaimana caranya supaya aku bisa
berhasil nanti. Ternyata ide cemerlang itupun datang bahkan dari Pak Ak
sendiri, yaitu Pak secara tiba tiba Pak Ak mengundangku datang ke
rumahnya untuk membantu membersihkan pekarangan rumahnya. Sudah barang
tentu kuterima dengan senang hati apalagi dia memang menjanjikan
memberikan upah kepadaku, jadi saya enggak usah terlalu repot repot
untuk mencari uang lagi seperti biasa saya lakukan sehabis pulang
sekolah saya harus mencari uang tambahan dengan cara mojok mojok di
luaran. Sementara adik adikku sibuk membantu nenekku berjualan nasi di
rumahnya. Dengan rasa bahagia kudekati Pak Ak.

"Pak memangnya Dian nanti jam berapa ke rumah bapak"

"Yah.. Terserah Dian aja." sahut Pak Ak!

"Sehabis pulang sekolaHPun saya siap ke sana sama sama bapak," jawabku dengan semangatnya.

"Oklah!" kata Pak Ak.

Dan akupun tersenyum tetapi yang ada di pikiranku saat itu adalah
(kamu akan tahu siapa Dian yang sebenarnya dan akupun ingin tahu apakah
kamu itu sakit juga seperti saya). Akhirnya kamipun pulang ke rumah Pak
Ak sama sama.

Dan kamipun sampai ke rumah Ak yang memang enggak terlalu jauh dari
sekolah kami, rumahnya memang sederhana dengan rumput yang sudah
lumayan memblukar. Sampai di dalam rumah akupun di persilak duduk di
sofanya dan Pak Ak pun bergegas ke dapur untuk mengambil minuman karena
siang siang begini memang terasa haus sekali. Setelah selasai minum
kami berduapun melanjutkan makan siang bersama karena memang selama ini
kami sudah dekat jadi aku itu enggak ngerasa canggung lagi di rumahnya
Pak Ak. Dan Pak Akpun bisa memahami itu. Saat makan siang Pak Akpun
menanyakan sesuatu kepadaku.

"Memangnya nanti kamu enggak dicariin nanti kenapa enggak langsung pulang ke rumah." Tanya Pak Ak.!

"Oh.. enggak pa pa kok Pak sudah biasa," jawabku dengan tegas!

Karena memang aku sudah tidak perduli lagi dengan sesuatu yang
jelas aku itu harus bisa mendapatkannya hari ini terbesit di benakku.
Enggak terasa ternyata pekerjaan itupun selesai hanya dalam beberapa
jam saja dan sudah menunjukkan jam 06.00 sore, dan kami pun masuk lagi
ke dalam rumah untuk beristirahat dan mandi. Selesai mandi kami pun
kembali duduk duduk di sofa untuk istirahat sejenak sambil mimun teh.
Suasana di dalam rumah itu memang terasa sepi karena Pak Ak sendirilah
yang ada di sana, karena istrinya sudah meninggal sementara dia cuman
punya anak laki laki satu dan sekarang sudah kuliah di kota. Dan kadang
kadang saja anak Pak Ak itu pulang ke rumahnya untuk mengambil biaya
sekolahnya.

Kusandarkan pundakku di sofanya Pak Ak yang empuk itu sambil
melirik lirik Pak Ak, Sedagkan Pak Ak nya sendiri kelihatannya masih
sedikit capek sambil mengisap rokok di hadapanku.

"Capek ya pak," tanyaku!

"Yah lumayanlah Dian" jawab Pak Ak lagi! Terbukti dari tangan Pak
Aku yang dari tadi terus terus mengurut pundaknya dan kakinya karena
mungkin terasa pegal pegal. Akhirnya otakkupun encer saat itu karena
aku enggak ingin berlama lama lagi dan aku ingin secepatnya terbang
dengan Pak Ak, jadi sengajapun ku cari jalan untuk memancing arah
pembicaraan yang menjurus ke arah itu.

"Capek capek begini enaknya ngapain yah pak?" tanyaku kepada ak!
Dan Pak Akpun melirikku dengan tatapan mata yang penuh arti, seolah
olah Pak Akupun sudah paham akan sesuatunya.

"Menurut Dian sendiri apa?" Tanya Pak Ak lagi.

"Apa yah??" tanyaku dengan suara yang sedikit manja sambil tersenyum manis ke arahnya.

Secara tak sengaja pandangan matakupun beralih ke sesuatu hal yakni
aku melihat Pak Ak sedang meraba raba kontolnya dengan sangat
lembutnya. Mataku hampir saja melotot melihatnya dan nafaskupun sedikit
sesak seolah olah aku merasakan sesuatu bisikan, agar aku bisa
menggantikan Pak Ak dengan tanganku sendiri untuk meraba raba benda
yang ada di dalam celananya itu. Secara spontan kujawab sendiri
pertanyaanku tadi.

"Kalau bagi Dian sih pak, capek-cepek gini enaknya urut-urutan aja pak," pintaku seketika.!

"Boleh" kata Pak Ak, "Bapakpun kepingin ngerasain pijatanmu Dian" sahut Pak Ak.

Selang beberapa saat Pak Ak pun datang menghampiri aku dan kamipun
mengambil posisi yaitu Pak Ak duduk di hadapanku ke arah depan dan
akupun sambil duduk di sofa sedangkan Pak Ak duduk lantai yang memang
di alasi karpet berwarna merah. Terus tanganpun memulainya, di awali
dengan sentuhan sentuhan di punggungnya. Padahal sebenarnya aku itu
enggak ada ilmu untuk memijit orang tetapi itu demi sebuah misi untuk
mendapatkan hati Pak Ak sepenuhnya. Terserah apakah Pak Ak tahu atau
enggak apakah aku cukup professional atau tidak di bidang pijat
memijat, yang jelas malahan Pak Ak tetap memujiku dengan kata kata..
Enak sekali Dian.. Enak sekali.. Betapa lembutnya tanganmu.. Dan terus
menerus..

Akhirnya akupun sudah tak tahan dengan kondisi tubuhku saat itu
yang sudah mulai horny.. Di tandai dengan kontolku yang dari tadi sudah
naik turun menempel di punggungnya Pak Ak, bahkan secara tak sengaja
kontolku kugesek gesekkan di punggungnya Pak Ak. Tiba tiba Pak Ak
menyuruhku membuka bajunya, katanya panas dan memang tubuh Pak Akpun
sudah mulai keringatan, akupun membuka baju Pak Ak. Astaga..!! ya
ampun..!! ternyata tubuh Pak Ak sangat bagus dan kekar di dadanya ada
bulu bulu halus yang membuatku semakin terangsang. Matakupun tak bosan
bosannya memandang tubuhnya yang sexy itu, tangannya yang berotot dan
berbulu halus menambah ke sexy annya.

Kontolkupun naik turun dan bergerak gerak ke sana ke mari seolah
olah ingin meronta ronta. Sesekali kutahan nafas birahi itu, agar
suasana tetap hangat. Sekarang jari jarikupun sudah tak beraturan lagi
malahan semakin liar menggerayangi tubuh Pak Ak, belom lagi aroma
tubuhnya yang maskulin menambah darahku semakin berdesir kencang.

"Dian rasanya ada sesuatu yang mengganjal di punggung bapak, apa itu?" Tanya Pak Ak seketika!

Akupun tersentak seketika dari kebisuanku dan menjawabnya, "Ular, pak!" candaku.

"Wah ternyata selama ini kamu pintar juga yah bercanda Dian?" kata Pak Ak lagi!

"Memang kenapa pak?"

"Enggak soalnya selama bapak lihat kamu itu orangnya sangat lugu dan pendiam," kata Pak Ak dengan nakalnya.

"Jadi ularmu kok begerak gerak terus?" kata Pak Ak lagi.

"Enggak tahu.." Jawabku dengan manja.

"Memangnya kenapa pak?" aku balik bertanya.

Pak Ak pun tersenyum dan memandangiku begitu juga aku, memandangnya dengan hati yang bergetar geter. Pak Ak pun menjawabnya.

"Ingin lihat aja Dian".

"Ehmm.. Ternyata bapak suka nengok ular yah?" candaku lagi.

"Ii.. Iiya.. Dian, Dian sendiri bagaimana? Suka enggak!"

"Tentu donk" jawabku.

Ternyata rahasia di antara kami berdua pun sudah terungkap jelas,
yaitu kami sama sama sakit, sama sama suka ular alias kontol. Pak Ak
pun tiba tiba meraba raba kontolku dan memandangiku dengan tajam.

"Ya sudahlah Dian itu rahasia kita berdua aja ya? dan Bapak akan sayang sama kamu."

"Benar, pak!!"

"Yupp," kata Pak Ak, "Bahkan rasa sayangku lebih dari segala
galanya kalau kamu enggak menyakiti aku, karena aku sudah lama
menginginkanmu Dian, dan bapak selama ini merasa kesepian, dan bapak
kepingin bersama kamu terus untuk menenemaniku, boleh kan?"

"Dengan senang hati sayang..!" seketika kupanggil dia kata kata
sayang dan bukan bapak lagi. Dan dia pun tersenyum tetapi tangannya
terus menerus meraba raba kontolku.

Tiba tiba Pak Ak membuka celananya termasuk CD nya yang berwajah putih itu, jadilah Pak Ak telanjang bulat di hadapanku.

"Lihatlah ular bapak ini Dian, dia juga sangat ke sepenian dan rindu di sayang sayang, apakah kamu suka Dian?"

Kupandangi kontolnya dengan perlahan lahan, dan sesekali kudekatkan
bibirku di telinganya dan menghembuskan nafas-nafas asmara yang semakin
membara. Seketika kamipun hanyut dalam kebisuan, dan entah apa yang ada
di dalam hati Pak Ak, dan begitu juga dengan aku, apalagi ini adalah
pengalamanku yang pertama membuatku kehilangan akal tak karuan,
jantungnya berdetak detak kencang nafasku semakin memburu, begitu juga
dengan Pak Ak, bibirnya menempererat di perutku dan wajahnya bersandar
pahaku, begitu juga dengan keadaan kontolku yang sudah keras tadi
sementara mataku masih tetap asyik memandangi kontol Pak Ak yang lagi
berdiri, tegang dan begitu gagah, besar, panjang, dan di batangnya
terdapat urat-urat yang menonjol menambah kegagahan kontolnya Pak Ak,
benar benar indah kontol ini, pujiku dalam hati. Benar benar indah
kurasakan saat itu, pertama kali memandang kontol dan bentuknya sangat
sempurna persis seperti yang kuidam-idamkan selama ini, betapa
beruntungnya aku, pikirku saat itu. Rasanya aku ingin menikmati yang
lain lainnya.. Yang lebih nikmat dan..

"Masa dari tadi cuman bapak yang telanjang Dian?" tanya Pak lagi, "Dian juga donk?"

"Iya.. Pak," sahutku.

Akupun berdiri dan membuka satu persatu pakaianku hingga akupun
sudah telanjang bulat, sekilas kupandang Pak Ak memandangku dengan
tatapan mata yang tak berkedip. Sekarang posisi benar benar sudah
telanjang bulat tetapi kami masih kami dalam keadaan posisi yang tadi.
Begitu juga dengan Pak Ak, tangannya menggenggam kontolku dengan
mesranya.

"Gede juga kontolmu yah Dian?," tanya Pak Ak lagi. Akupun tersenyum.

"Dian.. kontol bapak di pegang juga donk?"

Tangankupun menjulur perlahan lahan ke bawah..

"Kenapa, takut yah"

"Enggak sayang, enggak apa apa kok," kata Pak Ak lagi.

Akupun segera meraih kontol itu dan menggenggamnya penuh perasaan.
Perasaanku saat itu adalah beginilah rasanya kontol betapa enaknya
memegangnya dan terasa olehku kontol itu berdenyut denyut dan di
kepalanya ada cairan cairan putih seperti lender, begitu juga dengan
kontolku, menandakan kalau kami sudah sama sama terangsang tinggi saat
itu. Saat itu kami sudah sama sama meraba, telanjang dan horny berat.
Hingga terdengar suara ohh.. ahh.. uhh nikmat nikmat.. nafas nafas kami
pun semakin memburu, berdesah ke nikmatan yang tiada tara, pikiranku
seolah melayang layang sampai ke langit yang ke tujuh, begitu juga
dengan pahaku terus menerus di ciumnya dan di jilatinnya sesekali
kutempelkan kontolku di wajahnya dan kugesek gesekkan ke sana kemari.
Matanya Pak Ak terpejam dan kadang kadang memandangiku dengan sangat
mesranya dan kubalas dengan senyuman.

Sekilas kulihat jam sudah menunjukkan jam 19.30 malam, sungguh waktu rasanya tak terasa apalagi saat saat seperti ini.

"Dian.. Gimana kalau kita ke kamar saja sayang, soalnya bapak takut nanti ada orang masuk sayang.."pinta Pak Ak lagi.

Dan akupun menggangguk menandakan aku setuju, dan pintu kunci dan
mematikan lampu dan Pak Ak pun mengangkatku, mengendongku ke dalam
kamar tidurnya. Tubuh yang sedikit kurus, maklum saja aku baru SMP saat
itu, memudahkan Pak Ak melakukannya apalagi tubuh Pak Ak sangak strong
dan jangkung. Kurangkul pundaknya dengan kedua tanganku dan kugigit
gigit kecil lehernya, Pak Akpun berdesah lirih dengan nafas yang tak
beraturan, kurasakan detakan jantungya begitu kencang, kontolnya
berdiri kedepan tepat berada di bawah pantatku dan kugenggam mesra.
Begitu juga dengan kontolku di genggamnya.

Sampailah kami di dalam kamar dan tubuhkupun di rebahkannya di
ranjangnya yang empuk secara perlahan lahan. Kutatap wajahnya yang
ganteng. Dan Pak Ak pun menindihku begitu mesranya dan begitu rapatnya,
spontan kontol kamipun saling bergesekan, begitu juga dengan tubuh kami
dengan goyangan erotis perlahan lahan tapi asyik, kupeluk tubuhnya yang
menindihku dan kaki kami saling melilit seakan tak ingin lepas. Ohh..
Begitu nikmat.. Nikmat sekali.. Kupandangi dadanya yang kekar menempel
erat di tubuhku dan kurasakan aroma tubuhnya dan sesekali bibirnya
dekat di telingaku, kurasakan nafasmya mendesah desah membuatku semakin
mabuk kepayang. Sesekali kujepit kontolnya di antara kedua pahaku.. Dan
kontolku menempel di perutnya, bulu bulunya yang lebat kurasakan sangat
nikmat, kudengar Akhh.. Ohh.. Enak kali sayang.. Enak sayang.. Betapa
nikmatnya ini.. Baru kali bapak merasakan nikmat yang tiada tara,
pahaku yang putih dan berkeringat menambah kelegitan kontol yang
sekarang berada di antara ke dua pahaku.

Pantasan saja, guruku ini mengerang nikmat dan mendesah nikmat,
kami tidak perduli lagi dengan suasana di situ yang jelas cuman kami
berdua saja. Dibalik desahan guruku itu.. Terasa ada air yang menetes
di dadaku, ternyata Pak Ak menangis, memangis karena bahagia. Dan
feelingku mengatakan kalau namaku sudah tertancap di dalam lubuk
hatinya yang paling dalam. Hore.. Aku tersenyum puas ternyata aku
berhasil pikirku sejenak. Memang aku ingin menyerpis habis dirinya,
terbukti baru di tahap starting saja, sudah kudapatkan banyak point
kemenangan.

Tiba tiba saja kami terdiam sejenak dan mata kamipun saling memandang.

"Percayalah Dian bapak sangat menyukai kamu sayang"

"Dian juga pak!" jawabku.

Kemudian bibir kamipun bertemu, saling melumat dan lidah kamipun
saling bertemu saling melilit, seolah olah di antara kami tak ada yang
mau kalah, sesekali lidah kumasukkan ke dalam mulutnya dan Pak Akpun
mengulumnya dan menariknya seolah olah ingin menelannya sedalam
dalamnya, begitu juga dengan aku memberikan balasan yang sama. Bibirku
yang merah dan sexy itu di lumatnya terus menerus berpindah ke leherku
sampai kedua buah putingku di jilatnya dengan rakusnya, tak ketinggalan
tubuhku yang putih bersih di jilatinya sampai sampai aku ohh.. ahh..
uhh.. oohh.. uhh.. nikmat Pak nikmat.. Teruskan pak.

Sampai akhirnya tiba di daerah yang paling sensitiv ku yaitu
kontolku sendiripun sudah mulai di hisapnya. Kurasakan hawa panas dari
dalam mulutnya yang mana kontolku waktu sudah bersarang di dalam
mulutnya.. Ohh.. Begitu enaknya sayang.. Hisap terus kontol Dian pak,
aku seperti merengek rengek di buatnya. Tiba tiba saja Pak Ak pun sudah
mendekatkan kontolnya di hadapanku, kulihat lagi kontol itu kupegang
kubelai menandakan..

"Enggak pa pa Dian, hisap saja kontol bapak sayang.. Seperti yang
bapak lakukan sayang.." kembali kudengar suara Pak Ak yang sudah
kesetanan.

"Sayang hisap sayang.. Bapak sudah tak tahan lagi sayang.. Hisap sayang," pintanya lagi.

Kupandangi lagi kontol itu yang sudah berdiri tegak di hadapanku,
dan akupun memulainya meskipun aku belum merasakan bagaimana rasanya
kontol selama ini, tetapi apa yang dilakukan Pak Ak terhadapku sudah
cukup memberikan pelajaran kepadaku. Akupun memulainya dengan mengisap
kepala kontolnya Pak Ak, seketika kudengar desahannya Pak Ak semakin
keras.. Ternyata kami pun sudah mengambil posisi 69, akupun semakin
bergairah dan memasukkan kontolnya ke mulutku. Dan terus kuhisap kontol
itu, kurasakan aroma kontol pertama kali.. Dan aku enggak tahu gimana
lagi melukiskan itu semua.. Sungguh nikmat dan enak sekali.. Mengisap
kontol.

Kujilati batang kontolnya, kuemut dan kusedot ada rasa asin di
dalam mulutku, sesekali kulepas kontol itu dari mulutku.. Dan
menghembuskan nafas ohh.. ahh.. uhh enaknya.. Nikmat kurasakan saat itu
dan kembali kuhisap.. Begitu juga dengan Pak Ak terus mengisap kontolku
sampai aku merasakan sesuatu yaitu teryata spermaku suda mau muncrat,
seiring dengan itu kupercepat goyangan kontol ku ke dalam mulutnya
sampai sampai..

"Pak.. Dian tak tahan lagi pak.. Dian mau keluarr.. Dian mau keluar"

"Oh ya.. Dian, bapak juga sayang.. Hisap terus sayang.. Kita keluar sama sama yah.."

Kontol Pak Ak terus menerus menghujam mulutku begitu kencangnya
sampai sampai ke kerongkanganku. Dan secara bersamaan tubuh kami sama
sama kaku dan tegang.. Aku sudah tak tahan lagi.. Dan akhirnya..

Crett.. Crott.. Crott.. Crott..

Kamipun sama sama mencapai klimax kenikmatan itu yang tiada
taranya. Spermanya Pak Ak muncrat di mulutku begitu banyaknya, begitu
juga dengan diriku. Kurasakan sperma itu, bagaimana baunya dan
sebagainya.. Ohh nikmatnya. Kamipun saling berpelukan, saling
berciuman, meskipun sperma kami masih belum kering.. Hingga kulihat jam
menunjukkan jam 21.45 malam., dan kulihat Pak Ak sudah tertidur pulas
di sampingku. Dan akupun melamun sejenak sebelum mataku terpejam.

Ini belum akhir dari segalanya karena hari esok masih ada. Apakah hari esok itu? Akupun tertidur..

E N D

Eh, Anu - kok banyak yang minta yah #2

... padahal bentuknya yah sama semua - hihihi
1 33
.



4 26
3 26
0 34
2 25
1 31
0 14
0 12 1

0 5 1
F
Pakde2 1
Y
2
Gv
Yty
H
B 22
A 24
Dsaad
B
A
13
A 2 1
D 8
C 8
Qa
B 10


K 5
.
1 26
.
21 1
.
22
.
24
.
23
.
25
.
21
.
3 8
.
5 1
.
4 3
.
6 1
.
7 3
.
8 5
.
9 4
.
20 1
.
2 9
.
19 3
.
18 4
.
17 2
.
16 4
.
15 1
.
14 1
.
13 1
.
12 1
.
11 1
.
10 1
.
1 11
.
1 12
.
2 10
.
4 4
.
5 2
.
6 2
.
11 2
.
8 6
.
9 5
.

A 39
B 38
I 11
B 28
A 30
F 24
H 13
G 17
F 19
E 20
H 19
D 27
D 20
C 27
B 25
A 27
C 20
A 5
B 2
F 13
E 13
D 14
C 17
B 19
A 19
H 3
G 5
F 5
E 5
D 5
C 5
B 7
A 5
5 14
4 21
3 23
2 22
.

9 10
.
8 11
.
7 10
.
6 12
.
4 19
.
2 20
.
3 21
.
26
.
1 24
.
1 13
.
2 11
.
4 5
.
3 9
.
5 3
.
6 3
.
7 4
.
8 7
.
1 19
Add caption
9 6
.
10 3
.
11 4
.
12 3
.
13 3
.
14 3
.

4 28
.
D 4
.
1 46
.
9 14
.
4 34
.
5 22
.
13 2
.
14 2
.
15 2
.
A 64
.

Paling Populer Selama Ini