Udara dingin menyengat sekujur tubuhku. Jam dinding menunjukkan pukul 10 malam. Malam itu aku suntuk, kedua orang tuaku sedang dinas keluar kota. Pikiran kotor membawaku ke lamunan mesum, entahlah malam itu aku melamunkan seorang satpam dealer mobil di sebelah rumahku. Perawakannya tinggi, tubuhnya kekar, dan mukanya hitam manis. Setiap kali aku melewati dealer mobil itu, ia selalu tersenyum kepadaku.
Aku bermasturbasi sebentar, lalu terlintas dalam pikiranku untuk 'menjenguknya', hal itu memang sudah biasa kulakukan. Tanpa mengenakan sehelai kainpun aku melompat keluar lewat jendela kamarku. Dengan sangat berhati-hati aku berjalan menuju pekarangan belakang rumahku. Udara dingin semakin menusuk sekujur tubuhku. Dari belakang rumah dengan mudah kupanjat dinding menuju bagian belakang dealer mobil. Baru saja kuinjakkan kaki di sana, aku tersentak kaget saat melihat dia sedang buang air kecil, aku terdiam, mataku segera menuju bagian kemaluannya, ukuran penisnya yang begitu besar dan panjang membuatku terpana, belum pernah kulihat penis sebesar itu sebelumnya, membuatku horny banget.
Ia langsung menyadari keberadaan diriku, jantungku berdetak kencang, dapat kurasakan rasa malu bercampur hornyku yang sudah memuncak, aku membalikkan tubuhku memandang tembok, dan ingin rasanya segera memanjat tembok itu, namun kedua kakiku sudah terkulai lemas, rasanya tak sanggup lagi. Ia segera menghampiri diriku, kurasakan suara langkah kakinya semakin dekat.
"Loh kamu ngapain disini? Hayo tadi ngintipin Om yah?" rasanya mulutku tak sanggup membalas perkataannya.
"Kamu nggak kedinginan? Ck ck ck.. Mulus banget body kamu, sexy lagi.." kurasakan wajahku memanas.
"Mau nggak temenin Om malam ini, Om janji nggak kasih tau orang laen deh.." saat itu rasanya seperti disamber geledek, rasa gelisahku langsung memudar, kurasakan penisku mengeluarkan cairan yang mengalir ke paha kananku, aku semakin horny, entah kenapa aku menganggukkan kepalaku tanda setuju dengan permintaannya.
Aku terperanjat kaget saat mengetahui dirinya sudah mendekap diriku dari belakang. Kedua tangannya sudah melingkari perutku, kurasakan kedua tangannya yang besar dan sangat kasar, ia mulai menciumi leherku, kurasakan lidahnya bermain liar di sana, belum lagi saat lidahnya mulai bermain di telingaku.
"Emmh.." tak kusadari aku mengerang akibat kenikmatan yang mulai kuterima.
Mendengar eranganku, lidahnya semakin menggelitik lubang telinga kananku. Tangannya mulai menuju penisku lalu tanpa aba-aba lagi ia mulai mengocok lembut penisku yang saat itu sudah mengeras. Tangannya yang satu lagi terus memijat, mengelus dan kadang mencubit kasar kedua putingku. Kurasakan penisnya semakin menonjol dari dalam celananya, dan digesek-gesekkannya tepat di belahan pantatku.
Eranganku semakin menjadi-jadi, tangan kananku menjambak rambutnya, tanda baginya untuk terus memainkan lidahnya, sedang tangan kiriku meraba penisnya. Ia tahu tak lama lagi aku akan ejakulasi, dengan segera ia menghentikan permainannya, ia berbisik..
"Isep dong kontol Om, udah keras nih.."
Segera kubalikkan tubuhku menghadap dirinya dan kukulum bibirnya yang memerah, lidah kami terus beradu di dalam, sambil mulai kulepaskan kancing bajunya satu per satu, kuraba kedua dadanya yang berbulu lebat, kujilat dan kugigit lembut kedua putingnya, ia mulai mendesah, "Aahh.. Ahh".
Aku mulai berlutut, kulepaskan celananya, saat itu tercium bau pesing yang menyengat dari cawat putihnya, bulunya yang sangat lebat banyak keluar dari cawatnya. Saat itu, rasa hornyku telah menguasai seluruh pikiranku, tanpa merasa jijik lagi kujilat ujung penisnya yang masih di dalam cawatnya yang basah, entah karena air seninya atau cairan precum.
Ia kembali mendesah. Saat kuperosotkan cawatnya, penisnya yang sudah tegang segera menyembul keluar mengenai bibirku. Aku kembali terpana melihat ukurannya yang sangat besar, entah apakah bisa masuk ke dalam mulutku, tanganku mulai mengocok lembut, kulihat kepala penisnya memerah akibat permainan tanganku. Selang beberapa detik, ia kembali memintaku untuk mengoral penisnya, sejujurnya aku belum pernah melakukan oral seks, hanya seringkali kusaksikan di film-film porno, oleh sebab itu aku sangat tertarik untuk mencobanya.
Aku mulai mendekatkan bibirku, kusentuhkan sekali lagi dengan kepala penisnya, lalu kujilat lubang kencingnya, kudengar desahan kenikmatan. Kubuka mulutku, dan mulai kucoba memasukkan batang kemaluannya, saat itu rasanya tidak ada ruang yang kosong lagi di rongga mulutku. Saat kucoba untuk memasukkan seluruh bagian penisnya, kurasakan ujung penisnya telah mentok di saluran kerongkonganku yang paling dalam, padahal masih ada kira-kira 1/4 bagian penisnya di luar mulutku, kubayangkan betapa panjangnya ukuran penisnya itu.
Bulu-bulunya yang lebat membuatku kesulitan untuk bernafas. Kulakukan gerakan maju mundur, penisnya terus menggesek rongga mulutku, lidahku terus merasakan urat-urat penisnya yang semakin menonjol, terkadang kubantu dengan kocokan tanganku. Kukulum buah pelirnya, selama itu ia terus menjambak kasar rambutku, dan terus mendesah, kudengar desahannya semakin kencang, kupercepat tempo permainanku, hingga akhirnya kurasakan ia memuncak, tubuhnya kaku, dan penisnya menegang keras lalu menyemburkan cairan hangat yang membanjiri rongga mulutku, saking banyaknya ada yang menetes keluar dari mulutku.
Aku kaget saat jari tangannya mulai menjepit hidungku, dipaksanya aku untuk menelan habis seluruh air maninya. Setelah itu, dibantunya aku berdiri, didekapnya erat tubuhku, kami kembali bercumbu mesra, dikulumnya kedua bibirku, kubalas mengulum bibirnya. Lidah kami terus mengadu lincah. Keringat kami bercampur menjadi satu, tubuh kami terus menempel erat, dan penisku terus kugesekkan dengan penisnya, sambil diterangi cahaya bulan.
Kami bercumbu cukup lama. Setelah itu, ia menggenggam tanganku mengajakku ke pos satpamnya, karena situasi sangat sepi, kami berani berjalan lambat melintasi bagian depan dealer. Karena kedua tubuh kami masih belum dilapisi sehelai kainpun. Sesampainya di sana ia mengambil sebotol pil, yang kutebak adalah Viagra, kami meminumnya masing-masing 2 butir. Kami kembali bercumbu liar di sana. Diangkatnya tubuhku dan didudukkannya di atas meja.
Mulai kurasakan efek Viagra, yang rasanya seperti membakar sekujur tubuhku, kulihat iapun merasakan hal yang sama. Kedua putingku menjadi sangat tegang, dan dengan cepat penis kamipun mengeras, sambil terus bercumbu kukaitkan kedua kakiku ke belakang tubuhnya, tangannya yang nakal kembali memijat, mencubit kasar kedua putingku. Setelah cukup lama kami bercumbu, ia kembali berkata..
"Sekarang Om mau cobain punya kamu, boleh yah?" kembali kuanggukkan kepalaku.
Ia mulai berlutut, diletakkannya kakiku di atas meja, aku mengangkang kubuka lebar-lebar kedua kakiku, ia terdiam mungkin terpana melihat penisku yang tanpa jembut itu, karena belum lama baru saja kucukur habis. Tanpa aba-aba lagi ia mulai menjilati penisku, dengan mudah ia melahap habis seluruh bagian penisku sepanjang 13 cm. Dengan mulutnya yang sangat terampil ia mulai mengocok penisku, layaknya sedang menikmati es mambo.
Tak tahan aku menerima kenikmatan yang tiada tara itu, aku terus mengerang tertahan, giliran kedua tanganku terus menjambak kasar rambutnya. Tak selang berapa lama aku tahu akan segera ejakulasi, ia pun langsung melambatkan tempo permainannya, dikulumnya kedua pelirku, dan terkadang dijilatnya lubang anusku. Tak tahan rasanya menerima rasa geli yang terus menggelitik bibir anusku.
Saat ia kembali memijat penisku dengan mulutnya, tiba-tiba sekujur tubuhku menegang kaku, akupun segera memuntahkan lahar panas ke dalam mulutnya, kurasakan cairan spermaku cukup memenuhi rongga mulutnya, saat itu anehnya aku tidak merasa letih sedikitpun, malah rasanya aku semakin horny. Mungkin akibat Viagra yang telah kutenggak. Ia kembali bangkit berdiri, dengan segera ia mendekap dan menyambar kedua bibirku.
Entah kenapa ia sangat menyukai bercumbu denganku, aku kaget saat ternyata di dalam mulutnya masih tersimpan cairan spermaku, kujilat habis spermaku sendiri dari dalam mulutnya, terkadang ia kembali mencumbui leherku dengan penuh nafsu. Saat itu keringat kami kembali bercucuran, baunya sampai memenuhi ruangan pos. Sebenarnya aku ingin segera pulang, tubuhku telah lengket dengan keringat, namun aku belum mampu menahan nafsu yang masih membara. Kulihat ia mengambil kunci, lalu berkata..
"Kita cobain mobil di dalam yuk.." sambil terus menarik tanganku keluar dari pos satpam.
Asep, begitu panggilannya, anak Bogor katanya. Sekolah STM Mesin di Manggarai. Wuu.. Muda banget. Lihat jari-jari tangannya masih licin. Rasanya paling 18 tahun. Kakinya, betisnya, tangannya, bibirnya, masih serba licin. Dia bilang pamannya yang ngajari 'bercinta'. Sampai ketagihan, sementara pamannya sudah pindah kerja di luar Jawa.
Aku berusaha banget untuk menyenangkan dia. Akhirnya aku yang ajak makan di restoran Aston. Dia baru merasakan makan di hotel ini. Kami ngobrol macam-macam. Aku berusaha menyelami dunianya. Tentang idola, tentang musik, bola atau panjat tebing. Ternyata dia sangat cerdas. Dia bilang suka macam aku yang lebih tua. "Sabar," katanya.
Memang benar. Aku pengin berpuas-puas dengannya. Jarang dapat anak segar macam dia. Dia mau pulang pagi. Besok minggu lIbur. Dia telpon ke rumahnya bilang tidur di rumah temannya. Ah, lelaki, biar masih mudapun sudah pinter bohong.
Aku suka ketiaknya yang sangat seksi. Malam itu berkali-kali aku kembali melumat dan menciumi ketiak itu. Dalam kamar aku merasa sangat nyaman. Leluasa, aman tanpa khawatir diintip Satpam. Kami mulai dengan berpagutan mesra. Dia macam anak gadis. Mendesah, merintih manja silih beganti.
Dia pengin mandi kucing. Dijilati seluruh detail tubuhnya.
"Pamanku paling senang," katanya.
Ah.. Tentu aku juga "paling" senang donk. Dia menggeliat-geliat saat lidahku menelusuri betisnya, pahanya dan kemudian lubang pantatnya. Ah, dasar "anak gadis". Baunya masih terasa alami. Selangkangannya yang licin mulus menjadi terminal jilatan, kecupan dan sedotan bibirku. Rambut kemaluannya masih tipis. Segar banget rasanya.
Saat mendekati klimaksnya dia bangun mendorong aku agar telentang. Dia duduki wajahku, menyapu-nyapukan anusnya ke bibirku sambil mengerang dan terus mendesah-desah.
Tangannya mengocoki penisnya hingga klimaksnya datang. Dia berteriak setengah histeris sambil menunjukkan puncratan spermanya yang sebagiannya terlempar jauh mengenai cermin kamar tidurku dan sebagian lainnya melumuri wajahku.
"Ahh.. Oom.. Oom.. Oomm.. Enak Oom.." racaunya.
Aku yang juga sudah demikian menahan birahiku langsung menubruk dan menindih tubuhnya. Aku 'entot' dia. Aku peluk dan ciumi bibir, leher dan dadanya sambil penisku terus berusaha menembusi analnya. Saat mau keluar dia mendorong bangkit aku. Dia raih penisku.
"Keluarin di mulut Asep, Oom.. Keluarin di mulut Asep, Oom.."
Sambil dia kocoki penisku yang memang sudah siap menyemprotkan spermanya. Edan anak ini. Dia minum dan jilati seluruh cipratan spermaku. Semalaman kami nyaris tidak tidur. Aku terbangun saat tiba-tiba kurasakan dia tengah menciumi dadaku atau selangkanganku. Sebaliknya kalau dia tidur aku tak mampu menahan diri untuk menggumuli ketiaknya, bokongnya, ngisepin penisnya atau apa saja yang bisa kuraih.
Pagi harinya kami makan di kamar. Aku pesan American breakfast. Nampak kami sangat kelaparan. Sebelum pulang saat dia mau kencing kuikuti. Kutadahi dalam gelas air seninya yang bening dan wangi itu. Aku bilang untuk minumanku hari ini. Dia melihatku dengan heran. Wajahnya yang bengong demikian tampan dan sekaligus cantik. Tak puas-puasnya aku memandangi dan mengagumi wajahnya 'cantik'nya itu. Ah.. Kapan kita ketemu lagi, Sep??
Sepagian itu aku banyak laporan ke bossku. Semua informasi yang diperlukan telah aku dapatkan. Dan sesuai dengan rencana aku akan pulang Minggu malam. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan sebelum pulang.
Gun Wijaya, China tambun pedagang komputer dari Dusit Mangga Dua itu telpon. Nanti malam dia pengin ngajak ke kafe LM di Jakarta Pusat. Sesaat aku mengingat-ingat. Rasanya aku pernah denger itu kafé para gay Jakarta ngumpul. Ah.. Kenapa tidak. Kusanggupi ajakan Koh Gun. Jam 8 malam dia mau jemput aku.
Bukan main mewahnya kafe LM ini. Di bawah lampu yang sangat eksotis, dua orang resepsionis yang ganteng dan ayu menerima kami. Koh Gun rupanya sudah pesan meja dengan 4 kursi.
"Loh.., kok kursinya 4?"
"Sabar Pak Koco, lihat saja.."
Belum selesai dia ngomong, ada 2 pria setengah baya mendekat dan memperkenalkan sebagai teman Koh Gun. Aku langsung tahu. Koh Gun rupanya buat acara khusus. Orgi bersama mereka ini. Ha.. Ha.. Ha.. Ahh, ramahnya Jakarta..
Memang benar cerita temanku. Kafe LM hanya dikunjungi pria. Mereka semua ini bisa dipastikan kaum gay. Ada yang bule, China, Jawa, hitam, Ambon, Arab atau turunan. Wuiihh.. Asyikk banget jadi gay di Jakarta. Serba ada. Selama 2 jam di kafe itu banyak orang-orang yang menengok ke kami juga. Barangkali mereka ini berharap bisa gabung bersama kami.
Dua orang teman Koh Gun adalah Wawan yang berprofesi" marketing eksekutip" untuk perusahaan garmen terbesar di Indonesia dan yang satunya Doddy peragawan dan anggota Dance Group terkenal, kelompok tari dan nyanyi pimpinan artis yang akhir-akhir ini juga politikus dari partai pemenang pemilu.
Mereka ini simpatik banget. Koh Guan pinter mencari teman. Lihat saja, Wawan ini, walaupun nampak badannya kerempeng, tetapi dengan dadanya yang bidang macam itu aku bisa membayangkan pasti ketiaknya lebar dan leluasa banget untuk jadi sasaran ciuman ataupun jilatan. Dan Doddy, dengan postur yang jangkung sangat menjanjikan bahwa permukaan pahanya sangat nyaman untuk jelajah lidah dan bibir lawan mainnya. Ahh.. Itu mah pandangan subyektipku.. Aku ngaceng..
Kami sepakat untuk menghabiskan malam bersama di Puncak, Bogor. Koh Gun bilang sekitar 1,5 jam perjalanan. Disana hawanya segar. Itu villa temannya.
"Aku boleh pakai kapan saja," sambil menunjukkan serentetan kunci villa tersebut.
Kita bisa main-main di dalam maupun di luar rumah, lanjutnya. Bukan main. Ini sangat surprise bagi aku yang 'bocah Semarang' ini. Ah.. Ramahnya Jakarta..
Jadinya aku tidak tidur di hotel malam ini. Sesudah melewati jalan berliku di antara pokok-pokok cemara, sekitar jam 1 malam kami baru memasuki halaman villa. Hawa dingin langsung menerpa begitu kami turun dari mobil. Terasa embun sudah turun membasahi rerumputan. Villa ini benar-benar kosong, oh.., bukan. Ternyata Koh Gun yang mengatur. Sore tadi dia telepon ke penjaganya. Dia boleh lIbur untuk pulang ke rumahnya, karena malamnya rombongannya mau datang.
Koh Gun membuka pintu dan menyalakan lampu. Woo.., bukan main. Lengkap. Dari ruang tamu, dapur dan kamar tidurnya cukup mewah. Lihat, sofanya dari kulit asli. Pasti mahal sekali.
Koh Gun langsung membuka lemari es mengeluarkan beberapa botol bier. Rupanya Wawan maupun Doddy bukan yang pertama kali ke tempat ini. Dan yang surprise lagi bagiku, mereka berdua ini langsung ber-asyik masyuk. Saling rangkul dan berpagutan. Koh Gun tertawa saja menyaksikan mereka sambil melirik padaku. Aku pengin duduk dulu sejenak. Kubuka botol bier dan kutuang ke gelasku. Sambil menyaksikan kedua anak itu. Edan. Tangan Wawan sudah merogohi gundukkan celana Doddy. Aku ngaceng.
Rupanya mereka, teman-teman baruku ini orang-orangnya pragmatis banget. Koh Gun keluar dari kamar tidur hanya bercelana kolor. Dia langsung duduk disampingku. Tangannya tak menunggu ijinku lagi langsung meraba dan meremasi gundukkan celanaku yang semakin menggunung, hangat dan keras ini. Aku tersenyum asyik. Koh Gun sangat bernafsu padaku.
Adegan Wawan dan Doddy mempercepat aliran syahwatku. Mungkin itu juga yang membuat Koh Gun begitu bernafsu. Dia sudah menarik resliting dan menarik celanaku hingga jatuh ke lantai. Dan lihat, dia nyungsep langsung ke selangkanganku. Rupanya dia akan berpuas diri dengan membuka CD alias celana dalamku dengan bibirnya.
Aku bersandar ke sofa dan mulai merem-melek menikmati rasanya dikerjain sama Koh Gun ini. Giginya menggigit pinggiran CD-ku kemudian menariknya kebawah. Tak bisa sekaligus, beberapa kali dia memindahkan giginya pada tepian berikutnya hingga berhasil menariknya ke pahaku. Penisku sudah macam Tugu Monas, ngaceng kaku dan berkilatan kepalanya menahan ledakkan birahiku. Koh Gun mulai menjilati kepalanya yang sudah basah oleh 'precum'.
Ah, asyiknyaa.. Ku-elus-elus rambutnya agar birahinya semakin terbakar. Kemudian lidahnya menjalar ke batang, ke pangkal dan sebagai selingan terkadang dia nyungsep ke belantara jembutku untuk menghirup aroma selangkangan yang pasti nikmat bagi Koh Gun ini. Aku jadi blingsatan tak terkendali. Sulit untuk tidak mengerang dan merintih. Elusan tanganku berubah menjadi remasan menahan syahwat.
Koh Gun melepasi seluruh busana bawahku agar leluasa beroperasi. Kakiku diangkat hingga rapat dengan dadaku. Hasilnya adalah wilayah analku terbuka. Dia pusatkan jilatan selanjutnya di tempat itu. Kurasakan lidah dan bibirnya yang tak henti-henti menjilat dan menyedoti. Ah, kenikmatan yang tak kurencanakan sendiri ini demikian hebatnya. Aku hanyut dalam gairah birahi yang luar biasa. Koh Gun benar-benar tahu titik-titik sensitive seorang pria macam aku.
Saat lidahnya menyapu pinggiran analku, jangan tanya lagi, aku menjerit kecil. Kegatalan yang menyergapku membuat aku bertekuk pasrah pada nafsu Koh Gun.
Untuk bisa lebih meraih duburku dia berbisik,
"Kamu nungging pegangan sofa ya, Mas," aku ikuti.
Saat aku bergerak bangun kulihat Doddy dan Wawan ternyata sedang saling mengocok-ocok penis pasangannya sambil menyaksikan tingkah kami berdua yang rupanya sangat atraktip bagi erotik mereka. Aku nungging menghadap ke jok sofa. Koh Gun langsung menerkam bokongku. Analku dia jilat dan sedoti kembali. Sesekali jari-jarinya menyodok masuk dan mengutik-utik dinding anusku. Nikmatnya membuat serasa jantungku mau copot.
Kurasakan Koh Gun berdiri, kemudian dia meludahi analku. Aku merasa bahwa Koh Gun ingin 'menembak' pantatku. Dan sesaat kemudian kurasakan tonjolan bulat hangat mendorong lubang pantatku.
"Ampunn.. Pedih banget siihh.. Dan pelan-pelan.."
Bless..
"Uuuhh.. Ampunn.. Sakiitt.."
Kog Gun tak terpengaruh oleh rintihan-rintihanku. Malahan semakin semangat untuk terus menembusi lubang yang sangat sempit ini. Dia mulai memompa pelan-pelan. Dia rubuh memelukku dari belakang sambil mencium kudukku. Pompaan penisnya men-cepat. Bles.. Bles.. Bles.. Nikmatnyaa.. Hawa dingin pegunungan yang meniup ke villa ini tak mampu menahan keringatku yang mengalir deras.
Tiba-tiba Koh Gun mencopot penisnya. Kudengar suara Wawan bergumam. Ah, rupanya mereka menggilir aku. Kurasai penis Wawan di pantatku. Sambil berpegang pada pinggulku di tusukkannya ke anusku. Bless.. Wawan mendesah. Sementara dari arah depan Doddy mendekati aku dan menyodorkan kemaluannya ke mulutku. Duh, gedenyaa..
Aku tak mampu menunda, langsung kulumat-lumat. Mulutku mengulum merasakan kerasnya otot-otot penis Doddy. Eeehh.. Rupanya Koh Gun mendekati Doddy dan mulai menciumi punggungnya kemudian meluncur turun ke bokongnya. Nampak Doddy menggeliat menahan gelinjangnya.
Aku mengocoki penisku menyalurkan kegatalan birahi. Wawan menggenjot cepat penisnya menembusi anusku. Duh, pedihnya.. Panass..
Enak benar si Doddy. Dari depan aku melumati penisnya, dari belakang Koh Gun menjilati analnya. Dia mengerang dan mendesah-desah sambil tangan kanannya meremasi rambutku dan tangan kirinya rambut Koh Gun. Terdengar paduan desahan, erangan dan rintihan kami ber-empat. Seperti orkestra Jakarta yang telah tiada itu. Sesekali bunyi kecupan keras dari segala arah. Stereo dan surround, ha.. Ha..
Rupanya ini merupakan acara perdana keberadaan kami di villa sejuk ini. Beberapa saat kemudian penis Doddy menyemprotkan spermanya ke mulutku. Panas dan guriihh.. Banget. Aku agak tersedak saat lidahku meraupi semprotan-semprotannya. Kurasakan penis manis ini menganguk-angguk 6 atau 7 kali memompa keluar air maninya. Doddy langsung rubuh bertumpu pada tepian sofa, sementara Koh Gun belum melepaskan jilatan pada anusnya sambil sIbuk mengocok penisnya sendiri.
"Ooohh.." rupanya Koh Gun juga mau memuntahkan spermanya, Lihat kocokkannya semakin cepat. Dan benar. Dia seketika berdiri sambil berteriak nyaring tetapi tertahan. Diasongkannya penisnya ke wajahku.
"Minum ini. Minum Pak Koco.., ayoo minum.., telan..," pintanya histeris.
Dan dengan sigap kuraih dan ku-emut penisnya yang langsung memuncratkan air maninya membasahi wajahku, bibirku dan masuk ke mulutku juga. Aku tegak dan jilati semua yang tercecer. Ah, tidak sampai 3 menit sudah 2 penis memuntahkan air maninya ke mulutku. Aku berkecap-kecap merasai gurihnya air mani mereka.
Menyusul kemudian Wawan yang semakin membuat panas pantatku. Dia genjot penisnya dengan cepat. Semakin cepat.., hingga kembali kudengar dia mengeluarkan auman yang mengiringi keluar spermanya. Belum tuntas seluruhnya ketika dengan cepat dia mencabut penisnya dari anusku sambil tangannya mengocokinya. Dia menarik aku agar jongkok menerima semprotannya. Aku bergegas jongkok dan mengangakan mulutku. Sekali lagi cairan kental hangat dan gurih memenuhi mulutku.
Ah, rupanya mereka telah merekayasa semua ini untukku. 3 muntahan sperma dari 3 lelaki telah menyemprot dan tumpah ke mulutku. Kompak benar.
Aku capai tetapi puas banget. Langsung aku merosot telentang di lantai parket yang terbuat dari kayu itu. Terus terang baru pertama kali ini aku ber-seks ria rame-rame. Belum pernah aku mengalaminya. Aku sungguh-sungguh mendapatkan pengalaman erotis yang luar biasa.
Kami sama-sama istirahat. Dengan setengah telanjang kami meneruskan membuka makanan yang Koh Gun pesan dari kafe dan minum bier. Semalaman kami nyaris tidak tidur, dan bagiku ini malam ke-2 yang kurang cukup tidur sesudah kemarinnya bersama Asep di kamar hotelku.
Malam pertama di Puncak kami penuhi dengan segala cara dan gaya. Dan ternyata dari mereka semua itu hanya aku yang memiliki kesukaan menelan apapun yang keluar dari tubuh pasangan seksku. Menjelang pagi, karena pengaruh minuman bier, teman-teman banyak kencing. Koh Gun mengusulkan bagaimana kalau mereka kencingi mulutku rame-rame. Aku agak sedikt tersipu tetapi dengar usulan itu kurasakan syahwatku menyala. Aku hanya memandangi mereka penuh arti sebagai jawaban persetujuanku.
Mereka rencanakan besok pagi, dimana air seni mereka sedang pekat-pekatnya, siapapun yang bangun lebih dahulu akan langsung mengencingi aku, walaupun aku masih tertidur. Aku tidak komentar kecuali tersenyum tanda tidak menolak. Ah, asyiknyaa.. Aku membayangkan nikmat birahiku yang akan menyala besok pagi. Menjelang pagi aku tak mampu menahan kantukku, tertidur..
Aku merasa seperti sedang jalan-jalan pagi di lapangan Monas saat tiba-tiba air mancur Monas menyemprot aku dengan air panasnya. Aku terkaget dan bangun. Ternyata itu mimpi pagi hariku. Saat kubuka mata kulihat sentoran air hangat itu keluar dari kemaluan Doddy. Air kencingnya yang kuning pekat menyirami wajahku. Dengan sedikit gelagapan aku teringat akan kesepakatan semalam. Ah, .. Sepertinya mereka benar-benar memanjakan aku. Dengan senyum aku menyambut semburan cairan kuning pekat yang hangat itu. Aku membuka mulutku lebar-lebar. Aku mendesah dalam batinku,
"Doddy, aku adalah urinoir-mu. Kencinglah, biar kujadikan penyegar pagi hariku".
Kuminum sebagian kencing Doddy. Dan sebagian lainnya membuat ranjangku basah dan pesing. Belum usai Doddy kencing datang Koh Gun yang hanya bercelana dalam. Dia lantas keluarin burungnya dan siap seperti di depan urinoir dia memancurkan kencingnya ke mulutku pula. Kemudian nampak menyusul Wawan dari kamarnya telanjang. Penisnya yang gede itu ngaceng hingga agak sesaat baru berhasil mengeluarkan air kencingnya. Kini genaplah tiga pancuran air kencing yang menyirami mulutku, wajahku, leherku dan bagian tubuhku yang lain. Mereka lakukan itu dengan kegembiraan penuh tawa dan canda.
Koh Gun tidak peduli akan tempat tidurnya yang akan berbau pesing nantinya. Yaa.., aku jadi ingat tulisan 'Therapi Urine' bahwa air seni itu bisa dijadikan obat alternatif. Siapa tahu aku jadi tambah sehat sesudah minum kencing mereka.
Itulah nikmat bersama terakhir di Puncak. Karena Koh Gun mesti urus tokonya, sesudah sarapan pagi kami balik ke Jakarta. Saat aku ambil kinci kamar di resepsionis, petugas hotel menyerahkan amplop surat. Katanya dari relasiku. Siapa? Kubuka. Ah si sopir taksi itu. Dia pengin ketemu lagi.
"Aku terkesan sama barangnya Oom yang gede," tulisnya. Dia mau telpon ke kamarku nanti.
Walau hanya tas cangkingan kecil, seorang room boy menjemputku dan membawakan tas kecilku itu. Mungkin dia perlu uang tip. Sesampai di kamar dia taruh tasku di meja rias, aku merogoh kantongku memberi dia 10 ribu rupiah. Kemudian tanpa buka baju dan sepatu kurebahkan badanku ke ranjang. Uh, capainya..
Ternyata room boy itu tidak langsung keluar.
"Mau pijat, Oom?".
Oo.., dia nawari aku pijat. Aku jadi bangkit,
"Kamu bisa pijat aku?," sambil aku memperhatikan anak itu.
Masih muda, mungkin sekitar 20 tahunan. Lugu. Tetapi simpatik amat anak ini, pikirku. Dia tidak menunggu jawabanku tetapi langsung jongkok melepasi sepatuku. Kemudian juga melepasi celana panjangku. Dia membiarkan aku setengah telanjang kecuali celana dalamku yang tinggal menutupi auratku. Biarlah. Kuperhatikan sosoknya.
Badannya bersih terawat dan sehat. Wajah dan sosoknya mengingatkan Syahrul Gunawan, tokoh sinetron itu. Ternyata ketika tersenyum juga mirip selebriti itu. Aku kembali berbaring telentang di ranjang. Aku jadi membayangkan Syahrul Gunawan yang saat ini mijiti kakiku. Ah, enak juga pijitannya. Aku hampir tertidur ketika aku merasakan geli pada kakiku. Ketika aku membuat mata kulihat Syahrul ini mengulum jari-jari kakiku dengan penuh nafsu. Saat itu aku kaget dan hampir menarik kakiku. Tetapi aku kasihan sama Syahrul ini. Kubiarkan.
Dia nampaknya sangat terobsesi padaku. Dan aku merasakan betapa syahwatku langsung terbakar. Dia melihat aku bangun. Saat tahu aku tak menolak kulumannya, dia semakin meliar sambil mulai memperdengarkan desahannya. Dia begitu menikmati jari-jari kakiku. Sambil mengelusi betis-betisku dia juga menjilat dan menciumi telapak kakiku. Aduuhh.., nikmatnya serasa naik ke ubun-ubunku. Penisku jadi ngaceng berat. Kuelus-elus kepalanya. Syahrul nampak mengunggu elusanku itu. Dia kembali mendesah.
Nafasnya kudengar memburu. "Oomm, Oom, Oom, mmhh.. Mmllpp..," dia meracau.
Matanya setengah merem. Kepalanya bergulir kekanan dan kekiri saat meratai jilatannya ke telapak-telapak kakiku. Aku semakin merinding. Anak ini sangat pintar membangkitkan gairah nafsu birahiku. Ciumannya bergerak ke atas. Ke betisku. Dia juga menggigit kecil saat menemui rambut-rambut kakiku. Dia juga mencakar-cakar kecil betisku menahan gelora birahinya.
Tangannya kini tak sabar merabai selangkanganku dan kemudian gundukkan celana dalam yang berisi penisku yang sudah sangat mengeras. Aku lebih baik diam meraskan nikmatnya. Kubiarkan Syahrul manis ini melampiaskan nafsunya. Dia meremas-remas kemaluanku. Sementara itu gigitan dan jilatannya sudah melwati lututku dan kini mulai masuk ke wilayah pahaku. Aduuh.., bukan main dan.. Betapa aku terangsang.
Aku kini merintih dan mendesah-desah. Tak tahan merasakan lidah lembut si manis Syahrul ini. Kenapa dia begitu berkobar nafsunya?
Dan sesudah bermenit-menit puas menciumi pahaku, Syahrul mulai merambati selangkanganku. Dia ' nyungsep' di pangkal pahaku. Kudengar dia menarik dalam-dalam nafasnya untuk menghirup bau selangkanganku. Ah, anak ini, kenapa dia begitu 'hot'?!
Dia ciumi celana dalamku. Dia hisap-isap penisku di balik celana dalam ini. Aku merasakan betapa aku menggelinjang nikmat. Kuelusi dan sesekali kujambak rambutnya. Dia semakin bersemangat. Tangannya kini meraih ketepian celana dalamku, merogoh dan menarik keluar penisku. Mulutnya langsung mencaploknya. Dia melumat-lumat bijih dan seluruh batang kemaluanku. Kepalanya bergeser naik turun mendorong lidahnya yang menjulur kelantai pori-porinya.
Aku tak mampu untuk tidak mendesah dan merintih. Kenikmatan ini sungguh tak bertara. Syahrulku ini ternyata benar-benar jago kecil yang mampu mendongkrak libidoku. Aku tak tahan lagi. Aku bangkit dan kuterkam dia. Kurebahkan dan ganti, Kini aku yang aktif menjilat dan menciumi tubuhnya. Aku seakan macan lapar yang melahap kijang lembut mangsa tangkapanku.
Dia menyerah pada apa mau nafsuku. Dia ganti pasif merasakan ciuman-ciumanku pada tubuhnya.
"Ah, Syharuull.., begitu harum dan manis ketiakmu, dadamu, perutmu, selangkanganmu. Ah, Syahrulkuu.., sini.. Biar aku jilati seluruh bagian tubuhmu. Biar aku nikmati segala keringat-keringatmu. Biar aku lumat-lumat tubuh indahmu."
Kubolak-balik tubuhnya. Kusedotin bagian-bagian sensualnya. Dan aku paling suka menciumi lubang pantatnya. Aroma lubang pantat sangat cepat merangsang syahwatku. Lidahku menusuk-nusuk lubang itu seakan ingin meraih apa yang ada di dalamnya. Terkadang kubawa rasa sepat-sepat lengket ke mulutku. Itu yang biasa disebut sebagai semen anus. Sungguh nikmat merasakan semen anus Syahrulku.
Dan akhirnya dia minta aku memasukan kemaluanku ke anusnya. Dia ingin aku melakukan seks anal padanya. Dia pengin merasakan tusukan penisku di anusnya. Dia mau aku pisa memuntahkan air maniku ke lubang pantatnya. Kuturuti. Ini memang satu hal yang paling kusukai.
Saat kemaluanku mulai membelah lubang pantatnya, Syahrul menjerit kecil. Saat kemaluanku mulai merasuk amblas ke lubangnya, Syahrul mendesah nikmat. Saat itu kurasakan cengkeraman otot-otot dinding anusnya sangat legit menjepit penisku. Ampuunn.. Enaknya.. Sesudah itu, pantat si manis itu mulai menggoyang menjemput penisku. Sekali lagi, kurasakan nikmat hingga ke-ubun-ubunku.
Kudengar Syahrul meracau,
"Enak banget, Oom, enak banget penis Oom, yaa.. Enak banget penis Oom.., keluarin di dalam ya Oomm..," maksudnya biar aku keluarin air maniku di lubang pantatnya itu.
Suara racaunya sangat merdu di telingaku. Dan suara racau itu yang kemudian membuat gejolak syahwatku langsung melonjak. Kupacu penisku memompa anal Syahrul. Aku ikut meracau juga,
"Enak pantatmu Rul, enaakk.. Wangi banget duburmu Rul, wangii..," dengan gemetar dan menggigil racauku keluar dari mulutku.
Aku sungguh didera nikmat syahwat yang luar biasa. Melihat Syahrul anak manis tergoncang-goncang menerima tusukan penisku, mendorong spermaku untuk merambati menuju klimaks nikmat. Aku merasakan betapa saraf-sarafku menyongsong akan kehadirannya air maniku mengalirinya. Dan aku memang tak mampu menahan lebih lama.
Saat menjelang muncrat kurenggut rambut Syahrul. Kutarik seperti menarik surai kuda. Kuhentakkan penisku ke lubangnya. Dan dengan kedutan-kedutan yang begitu nikmat, tumpahlah air maniku. Syahrul merasakan kedutan-kedutanku itu,
"Oom. Enaakk.. Oom, Oom, Oom, oohh.. Oom..".
Sesaat sesudahnya, sebelum kedutanku usai, dengan cepat dia melepaskan penisku dari anusnya dan berbalik. Dia raih kemaluanku dan di kulumnya. Dia mereguk dan membasahi tengorokannya dengan air maniku. Kulihat cairan kental lengket itu belepotan membusa di sekitar mulutnya. Sebagian nampak meleleh ke dagunya. Aku tahu nafsu panas macam Syahrul ini. Lelehan sperma di dagunya kukais dengan jariku. Kusodorkan ke mulutnya. Dia emut-emuti jari-jariku untuk membersihkan dan menelan habis lendir putih kentalku itu.
Syahrul di kamarku hingga sore hari. Dia mendengar tentang aku dari kawannya Asep yang aku temui dan kuajak ke kamarku kemarin. Aku jadi tahu, bahwa dia bukan room boy hotel. Dia memang menunggu aku.
Dia penasaran mendengar kenikmatan yang didapat Asep dariku. Dia ingin aku memasuki pantatnya sebagaimana yang dialami Asep. Cerita Aseplah yang membuat Syahrul ini seperti kesetanan padaku. Aku ajak dia makan di restoran sebelum pulang. Dan hebatnya, dia tak mau menerima uangku. Dia senang saja berteman dengan aku. Dan berharap kalau nanti aku ke Jakarta lagi agar menghubunginya. Dia serahkan nomer HP padaku.
Besok pagi aku meninggalkan hotel ini. Demikian banyak yang kudapatkan dalam kunjunganku ke Jakarta kali ini. Urusan pekerjaan kantorku beres, urusan senang-senang beres. Aku juga mendapatkan banyak kawan baru yang tak membuatku khawatir sewaktu-waktu aku berkunjung ke Jakarta lagi. Kawan-kawan yang saling memberik dan menerima nikmat. Para lelaki tulen yang saling mengincar kepuasan dari kawan sejenisnya.
Ah, ramahnya Jakarta..
Aku mulai melipat-lipat pakaian kotorku. Aku melihat kembali tiket keretaku yang telah kubeli untuk pulang pergi dari Semarang. Sekitar jam 9 malam bosku telpon dari Semarang untuk mengecek rencana pulangku. Inilah malam di Jakarta dimana aku bisa benar-benar tidur lelap.
TAMAT
6/30/2011
Reni – Kekeliruanku
Copyright 2004, by Mario Soares (msoares_bombay@yahoo.com) and eastgloryid@yahoo.com
(Istri Selingkuh)
Namaku Reni, usia 27 tahun. Kulitku kuning langsat dengan rambut panjang dan lurus. Tinggiku 165 cm dan berat 51 kg. Aku telah menikah setahun lebih. Aku berasal dari keluarga Minang yang terpandang. Banyak yang bilang kalau wajahku mirip dengan aktris dan model Mira Asmara. Saat ini aku bekerja pada sebuah Bank pemerintah yang cukup terkenal.
Suamiku Ikhsan adalah seorang staf pengajar pada sebuah perguruan tinggi swasta di kota Padang. Di samping itu, ia juga memiliki beberapa usaha perbengkelan.
Kami menikah setelah sempat berpacaran kurang lebih tiga tahun. Perjuangan kami cukup berat dalam mempertahankan cinta dan kasih sayang. Di antara sekian banyak halangan yang kami temui adalah ketidaksetujuan dari pihak orang tua kami. Sebelumnya aku telah dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang pengusaha.
Bagaimanapun, kami dapat juga melalui semua itu dengan keyakinan yang kuat hingga kami akhirnya bersatu. Kami memutuskan untuk menikah tapi kami sepakat untuk menunda dulu punya anak. Aku dan Bang Ikhsan cukup sibuk sehingga takut nantinya tak dapat mengurus anak.
Kehidupan kami sehari-hari cukup mapan dengan keberhasilan kami memiliki sebuah rumah yang asri di sebuah lingkungan yang elite dan juga memiliki dua unit mobil sedan keluaran terbaru hasil usaha kami berdua. Begitu juga dalam kehidupan seks tiada masalah di antara kami. Ranjang kami cukup hangat dengan 4-5 kali seminggu kami berhubungan suami istri. Aku memutuskan untuk memakai program KB dulu agar kehamilanku dapat kuatur.
Aku pun rajin merawat kecantikan dan kebugaran tubuhku agar suamiku tidak berpaling dan kehidupan seks kami lancar.
Suatu waktu, atas loyalitas dan prestasi kerjaku yang dinilai bagus, maka pimpinan menunjukku untuk menempati kantor baru di sebuah kabupaten baru yang merupakan sebuah kepulauan di daerah Mentawai. Aku merasa bingung untuk menerimanya dan tidak berani memutuskannya sendiri. Aku harus merundingkannya dulu dengan suamiku. Bagiku naik atau tidaknya statusku sama saja, yang penting untukku adalah keluarga dan perkawinanku.
Tanpa aku duga, suamiku ternyata sangat mendorongku agar tidak melepaskan kesempatan ini. Inilah saatnya bagiku untuk meningkatkan kinerjaku yang biasa-biasa saja selama ini, katanya. Aku bahagia sekali. Rupanya suamiku orangnya amat bijaksana dan pengertian. Sayang orang tuaku kurang suka dengan keputusan itu. Begitu juga mertuaku. Bagaimanapun, kegundahan mereka akhirnya dapat diatasi oleh suamiku dengan baik. Bahkan akhirnya mereka pun mendorongku agar maju dan tegar. Suamiku hanya minta agar aku setiap minggu pulang ke Padang agar kami dapat berkumpul. Aku pun setuju dan berterima kasih padanya.
Aku pun pindah ke pulau yang jika ditempuh dengan naik kapal motor dari Padang akan memerlukan waktu selama 5 jam saat cuacanya bagus. Suamiku turut serta mengantarku. Ia menyediakan waktu untuk bersamaku di pulau selama seminggu.
Di pulau itu aku disediakan sebuah rumah dinas lengkap dengan prasarananya kecuali kendaraan. Jarak antara kantor dan rumahku hanya dapat ditempuh dengan naik ojek karena belum adanya angkutan di sana.
Hari pertama kerja aku diantar oleh suamiku dan sorenya dijemput. Suamiku ingin agar aku betah dan dapat secepatnya menyesuaikan diri di pulau ini. Memang prasarananya belum lengkap. Rumah-rumah dinas yang lainnya pun masih banyak yang kosong.
Selama di pulau suamiku tidak lupa memberiku nafkah batin karena nantinya kami hanya akan bertemu seminggu sekali. Aku menyadari benar hal itu. Karena itu kami pun mereguk kenikmatan badaniah sepuas-puasnya selama suamiku ada di pulau ini.
Suamiku dalam tempo singkat telah dapat berkenalan dengan beberapa tetangga yang jaraknya lumayan jauh. Ia juga mengenal beberapa tukang ojek hingga tanpa kusangka suatu hari ia menjemputku pakai sepeda motor. Rupanya ia meminjamnya dari tukang ojek kenalannya.
Salah satu tukang ojek yang dikenal suamiku adalah Pak Sitorus. Pak Sitorus ini adalah laki-laki berusia 50 tahun. Ia tinggal sendirian di pulau itu sejak istrinya meninggal dan kedua anaknya pergi mencari kerja ke Jakarta.
Laki-laki asal tanah Batak itu harus memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya di pulau itu dengan kerja sebagai tukang ojek. Pak Sitorus, yang biasa dipanggil Pak Sitor, orangnya sekilas terlihat kasar dan keras namun jika telah kenal, sebetulnya ia cukup baik. Menurut suamiku, yang sempat bicara panjang lebar dengan Pak Sitor, dulunya ia pernah tinggal di Padang yaitu di Muara Padang sebagai buruh pelabuhan. Suatu saat ia ingin mengubah nasibnya dengan berdagang namun bangkrut. Untunglah ia masih punya sepeda motor sehingga menjadi tukang ojek.
Hampir tiap akhir pekan aku pulang ke Padang untuk berkumpul dengan suamiku. Yang namanya pasangan muda tentu saja kami tidak melewatkan saat kebersamaan di ranjang. Saat aku pulang, aku menitipkan rumah dinasku pada Pak Sitor karena suamiku bilang ia dapat dipercaya. Aku pun menuruti kata-kata suamiku.
Kadang-kadang aku diberi kabar oleh suamiku bahwa aku tidak usah pulang karena ia yang akan ke pulau. Sering kali suamiku bolak-balik ke pulau hanya karena kangen padaku. Sering kali pula ia memakai sepeda motor Pak Sitor dan memberinya uang lebih.
Suamiku telah menganggap Pak Sitor sebagai sahabatnya karena sesekali saat ia ke pulau, Pak Sitor diajaknya makan ke rumah. Sebaliknya, Pak Sitor pun sering mengajak suamiku jalan-jalan di pantai yang cukup indah itu.
Suamiku sering memberi Pak Sitor uang lebih karena ia akan menjagaku dan rumahku jika aku ditinggal. Sejak saat itu aku pun rutin diantar jemput Pak Sitor jika ke kantor. Tidak jarang ia membawakanku penganan asli pulau itu. Aku pun menerimanya dengan senang hati dan berterima kasih. Kadang aku pun membawakannya oleh-oleh jika aku baru pulang dari Padang.
***
Setelah beberapa bulan aku tugas di pulau itu dan melalui rutinitas seperti biasanya, suamiku datang dan memberiku kabar bahwa ia akan disekolahkan ke Australia selama 1,5 tahun. Ini merupakan bea siswa untuk menambah pengetahuannya. Aku tahu bea siswa ini merupakan obsesinya sejak lama. Aku pun bisa menerimanya. Aku pikir itu demi masa depan dan kebahagiaan kami juga nantinya sehingga tidak jadi masalah bagiku.
Sebelum berangkat, suamiku sempat berpesan agar aku jangan segan-segan minta tolong kepada Pak Sitor sebab suamiku telah meninggalkan pesan pada Pak Sitor untuk menjagaku. Suamiku pun menitipkan uang yang harus aku serahkan pada Pak Sitor.
Sejak suamiku di luar negeri, kami sering telpon-teleponan. Kadang aku bermasturbasi bersama suamiku lewat telepon. Itu sering kami lakukan untuk memenuhi libido kami berdua. Akibatnya, tagihan telepon pun meningkat. Aku tidak memperdulikannya. Saat melakukannya dengan suamiku, aku mengkhayalkan dia ada dekatku. Tidak masalah jarak kami berjauhan.
Aku mulai jarang pulang ke Padang karena suamiku tidak ada. Paling aku pulang sebulan sekali. Itu pun aku cuma ke rumah orang tuaku. Rumahku di Padang aku titipkan pada saudaraku.
Aku melewatkan hari-hariku di pulau dengan kesibukan seperti biasanya. Begitu juga Pak Sitor yang rutin mengantarjemputku.
Suatu saat ketika aku pulang, Pak Sitor mengajakku untuk jalan-jalan keliling pantai. Aku tahu ia dulu memang sering membawa suamiku jalan-jalan ke pantai. Tapi saat ia mengajakku, kutolaknya dengan halus. Aku merasa tidak enak. Apa nanti kata teman kantorku jika melihatnya. Kebetulan saat itu pun aku sedang tidak mood sehingga aku merasa lebih tenang di rumah saja. Di rumah aku beres-beres dan berbenah pekerjaan kantor.
Akhir-akhir ini, aku merasakan bahwa Pak Sitor amat memperhatikanku. Tidak jarang sore-sore ia datang sekedar memastikan aku tidak apa-apa. Ia dapat dipercaya untuk masalah keamanan sebab di pulau itu ia amat disegani dan berpengaruh.
Kusadari kadang saat berboncengan, tanpa sengaja dadaku terdorong ke punggung Pak Sitor. Biasanya itu terjadi saat ia menghindari lubang atau saat ia mengerem. Aku maklum, itulah risikonya jika aku berboncengan sepeda motor. Semakin lama, hal seperti itu semakin sering terjadi sehingga akhirnya aku jadi terbiasa. Sesekali aku juga merangkul pinggangnya jika aku duduknya belum pas di atas jok motornya. Aku rasa Pak Sitor pun sempat merasakan kelembutan payudaraku yang bernomer 34b ini. Aku menerima saja kondisi ini sebab di pulau ini memang tak ada angkutan. Jadi aku harus bisa membiasakan diri dan menjalaninya. Tak bisa dibandingkan dengan di Padang di mana aku terbiasa menyetir sendiri kalau pergi ke kantor.
Pada suatu Jumat sore sehabis jam kerja, Pak Sitor datang kerumahku. Seperti biasanya, ia dengan ramah menyapaku dan menanyakan keadaanku. Ia pun kupersilakan masuk dan duduk di ruang tamu.
Sore itu aku telah selesai mandi dan sedang menonton televisi. Kembali Pak Sitor mengajakku jalan ke pantai. Aku keberatan sebab aku masih agak capai. Lagipula aku agak kesal dengan kesibukan suamiku dalam beberapa pekan terakhir ini. Tiap kali kutelepon, seperti yang terakhir kulakukan tadi, ia tidak bisa terlalu lama berbincang-bincang. Alasannya lagi sibuk menyiapkan thesis. Aku mulai merasa kurang diperhatikan.
“Kalau gitu, kita main catur saja, Bu… Gimana?” Pak Sitor mencoba mencari alternatif.
Dulu ia memang sering main catur dengan suamiku. Akhirnya aku pun setuju. Lumayanlah, untuk menghilangkan kesuntukanku saat itu. Aku lalu main catur dengan laki-laki itu.
Tak terasa, waktu berlalu sangat cepat. Sudah beberapa ronde kami bermain. Beberapa kali pula aku mengalahkannya. Taruhannya adalah siapa yang kalah harus dikalungi lehernya dengan sebuah botol yang diikat tali. Semakin sering kalah, semakin banyak botol yang harus dikalungkan padanya.
Aku pun tertawa-tawa karena semakin banyak botol yang dikalungkan ke leher Pak Sitor. Aku sendiri sampai saat itu cuma dikalungi satu botol.
Seumur hidupku, baru kali ini aku mau bicara bebas dan akrab dengan laki-laki selain suamiku. Biasanya tidak semua laki-laki dapat bebas berbicara denganku. Aku termasuk tipe orang yang membatasi dalam berhubungan dengan lawan jenis sehingga tidak heran jika aku sering dicap sombong oleh kebanyakan lelaki yang kurang kukenal. Anehnya, dengan Pak Sitor aku bisa bicara apa adanya, akrab dan ceplas-ceplos. Mungkin karena kami telah saling mengenal dan juga karena aku merasa membutuhkan tenaganya di pulau ini.
Tanpa terasa, telah lama kami bermain catur sejak sore tadi. Jam telah menunjukkan pukul 10 malam. Di luar rupanya telah turun hujan deras diiringi petir yang bersahut-sahutan. Kami pun mengakhiri permainan catur kami. Aku lalu membersihkan mukaku ke belakang.
“Pak, kita ngopi dulu, yuk..? Biar nggak ngantuk,” kataku menawarinya.
Saat itu di pulau penduduknya telah pada tidur. Yang terdengar hanya suara hujan dan petir. Setelah menghabiskan kopinya, Pak Sitor minta izin pulang karena hari telah larut. Aku tidak sampai hati sebab cuaca tidak memungkinkan ia pulang. Rumahnya pun cukup jauh. Lagi pula aku kuatir jika nanti ia tersambar petir.
Lalu aku tawarkan agar ia tidur di ruang tamuku saja. Akhirnya ia menerima tawaranku. Aku memberinya sebuah bantal dan selimut karena cuaca sangat dingin saat itu.
Tiba-tiba listrik padam. Aku sempat kaget. Baru kuingat, di pulau itu jika hujan lebat biasanya aliran listrik sering padam. Untunglah Pak Sitor punya korek api dan membantuku mencari lampu minyak di ruang tengah. Lampu kami hidupkan. Satu untuk di kamarku dan yang satu lagi untuk di ruang tamu tempat Pak Sitor tidur.
Aku lalu minta diri untuk lebih dulu tidur sebab aku merasa capai. Aku pun pergi ke kamar untuk tidur. Di luar hujan turun dengan derasnya seolah pulau ini akan tenggelam.
Aku berusaha untuk tidur namun ternyata tidak bisa. Ada rasa gelisah yang menghalangiku untuk terlelap. Petir menggelegar begitu kerasnya.
Akhirnya kuputuskan pergi ke ruang tamu saja. Hitung-hitung memancing kantuk dengan ngobrol bareng Pak Sitor. Rasa khawatirku pun bisa berkurang sebab aku merasa ada yang melindungi.
Sesampainya di ruang tamu, kulihat Pak Sitor masih berbaring namun matanya belum tidur. Ia kaget, disangkanya aku telah tidur. Aku lalu duduk di depannya dan bilang nggak bisa tidur.
Ia cuma tersenyum dan bilang mungkin aku ingat suamiku.
Padahal saat itu aku masih sebal dengan kelakuan suamiku. Aku cuma tersenyum kecut dan mengatakan kalau badanku rasanya pegal-pegal.
“Kalau begitu, biar saya pijati, Bu,” kata Pak Sitor sigap.
“Orang-orang bilang, pijatan saya enak, lho,” katanya lagi sambil mengacungkan jempol.
Aku tersenyum mendengar promosinya. Aku lalu duduk membelakanginya sementara Pak Sitor memijatiku, mulai dari kepala, kedua pundakku, sampai kedua lenganku. Mau tak mau harus kuakui, pijatannya memang mantap.
Sambil memijatiku, Pak Sitor mengajakku ngobrol tentang apa saja, terutama tentang keluargaku dan suamiku.
Karena masih kesal dengan suamiku, tanpa sengaja kucurahkan kekesalanku. Aku tahu, mestinya aku tidak boleh bilang suasana hatiku saat itu tentang suamiku pada Pak Sitor namun entah mengapa kata-kata itu meluncur begitu saja. Aku merasa senang mendapatkan teman untuk curhat. Pak Sitor mendengarkan dengan seksama semua detail ceritaku. Tak terasa sudah hampir satu jam aku membeberkan semua rahasia pernikahanku kepada Pak Sitor.
Dengan cara bijaksana dan kebapakan tanpa sama sekali berkesan menggurui, sesekali ia menanggapi dan menyemangati aku yang belum banyak merasakan asam garam perkawinan. Dalam suasana cahaya lampu yang temaram dan obrolan kami yang cukup hangat, aku tidak menyadari kapan Pak Sitor pindah duduk ke sampingku.
Aku pun membiarkan saja saat Pak Sitor, sambil terus memijatiku, meraih jemariku yang dilingkari cincin berlian perkawinanku dan meremas-remasnya. Lalu aku malah merebahkan kepalaku di dadanya. Aku merasa terlindungi dan merasa ada yang menampung beban pikiranku selama ini.
Pak Sitor pun membelai rambutku seakan aku adalah istrinya. Bibirnya terus bergerak ke balik telingaku dan menghembuskan nafasnya yang hangat. Aku terlena dan membiarkannya berbuat seperti itu. Perlahan ia mulai menciumi telingaku. Aku mulai terangsang ketika ia terus melakukannya dengan lembut.
Bibirnya pun terus bergeser sedikit demi sedikit ke bibirku. Saat kedua bibir kami bertemu, seperti ada aliran listrik yang mengaliri sekujur tubuhku.
Aku seperti terhipnotis. Aku seperti tak peduli bahwa saat itu aku sedang dicumbui oleh laki-laki yang bukan suamiku. Aku tahu itu adalah perbuatan yang terlarang… tapi aku tak kuasa menolaknya. Aku melakukannya dalam kesadaran penuh… dan aku pun menikmatinya. Aku mulai merasakan basah di sekitar pangkal pahaku…
Mungkin aku telah salah langkah dan salah menilai orang. Jelas bahwa Pak Sitor sama sekali tak merasa sungkan memperlakukanku seperti itu. Ia pun seolah tahu benar apa yang harus diperbuatnya terhadap diriku untuk membuatku terbuai dalam dekapannya. Seolah-olah ia telah menyimpan hasrat yang mendalam terhadap diriku selama ini.
Malam ini adalah kesempatan yang telah ditunggu-tunggunya… Anehnya, aku seperti tak mampu menahan sepak terjangnya. Padahal yang pantas berbuat seperti itu terhadapku hanyalah suamiku tercinta. Sepertinya telah tertutup mata hatiku oleh nafsu dan gairahku yang juga menuntut pelampiasan.
Dengan demikian, Pak Sitor pun bebas mengulum bibirku beberapa saat. Aku tak tahu setan apa yang telah merasuki kami berdua. Yang jelas, aku pun membalas ciumannya sambil menutup kedua mataku menikmatinya.
Sementara itu, tangan Pak Sitor juga tidak mau tinggal diam. Melihat penerimaanku, ia pun semakin berani. Dengan alasan meneruskan pijatannya, ia mulai merabai buah dadaku yang terbungkus BH dan pakaian tidur.
Aku pun mendesah di dalam pelukannya. Aku benar-benar terlena menikmati gerayangan tangannya di tubuhku. Pak Sitor pun tampak semakin bergairah karenanya.
Dalam hati aku takjub kami bisa berhubungan sampai sejauh itu tanpa pernah kami bayangkan sebelumnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Semuanya mengalir begitu saja secara naluriah di antara sepasang manusia berlainan jenis kelamin yang masing-masing memiliki nafsu birahi terpendam. Apalagi suasana malam yang gelap yang diguyur hujan lebat di pedalaman sebuah pulau benar-benar mendukung kegiatan kami. Aku pun merasa nyaman dalam pelukan dan buaian Pak Sitor.
“Bu Reni,” tiba-tiba Pak Sitor berkata pelan.
“Pijatannya diteruskan di kamar Ibu saja, ya?” pintanya. “Biar Ibu saya pijat seluruh badan sambil diluluri dengan body lotion…”
Sebetulnya aku terkejut dengan permintaannya. Itu berarti aku harus dipijat telanjang oleh Pak Sitor. Akan tetapi entah mengapa, aku malah jadi bergairah menerima tawarannya. Apalagi suasana malam itu yang gelap dan diiringi hujan lebat begitu mendukung.
“Boleh, Pak…” kataku pelan dengan suara serak karena gairah yang menghentak.
Aku menurut saja saat dibimbing Pak Sitor ke kamar tidur sambil bergandengan tangan. Direbahkannya tubuhku di atas ranjang yang biasa kugunakan untuk bercinta hanya dengan suamiku. Namun kini yang berada di sampingku bukanlah suamiku, melainkan seorang laki-laki tukang ojek sepantaran ayahku yang seharusnya tidak pantas untukku.
Saat itu juga aku tahu akan terjadi sesuatu yang terlarang di antara kami berdua. Aku tak pernah telanjang di hadapan laki-laki, kecuali suamiku. Entah apa yang menyihirku, yang membuatku memasrahkan diri pada laki-laki ini. Semuanya seolah berjalan begitu cepat dan mengalir begitu saja. Aku pun terhanyut terbawa aliran nafsu yang dibangkitkan Pak Sitor.
Pak Sitor lalu menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Sedang lampu di luar telah ia matikan tadi.
Aku diam saja menanti apa yang akan diperbuatnya padaku. Padahal selama ini aku tidak pernah sekali pun memberi hati jika ada laki-laki lain yang iseng merabaku dan menggodaku. Saat di Padang dulu, sebetulnya banyak rekan sekerjaku yang masih muda dan gagah berusaha iseng menggodaku. Kadang mereka dengan gigih mengajakku kencan atau sekedar makan berdua walau tahu aku sudah bersuami. Aku tak pernah melayani mereka. Aku termasuk wanita yang menjunjung tinggi kesucian dan kehormatan sesuai dengan yang selalu diajarkan orang tua dan agamaku.
Sekarang semua itu musnah tak berbekas. Di hadapan Pak Sitor, aku sudah terbaring tak berdaya. Pasrah untuk mengikuti apa yang akan diperbuatnya terhadapku. Aku akan ditelanjangi. Seluruh tubuhku akan dipijati dan dirabainya. Aku tahu aku melakukan pencemaran terhadap pernikahanku… tapi aku pun tak bisa menahan rasa basah yang mulai menggelora di sekitar pangkal pahaku…
Pak Sitor mulai melepaskan pakaianku satu per satu, mulai dari kaosku, lalu celana panjangku. Aku hanya memejamkan mataku saat ditelanjangi oleh Pak Sitor. Aku semakin buta oleh nafsu yang mulai menggebu-gebu merasuki jiwa dan tubuhku. Bahkan sepertinya aku tak sabar menanti tindakan Pak Sitor selanjutnya. Akhirnya bra dan celana dalam kremku pun terlempar ke lantai. Lengkaplah sudah sekarang kepolosanku di hadapannya. Sejenak sempat kulihat Pak Sitor menelan ludah menatap tubuh bugilku yang putih mulus.
Selesai menelanjangi aku, gantian dirinya yang melepaskan pakaiannya satu per satu hingga lapis terakhir. Aku merasa tegang saat menungguinya mencopoti pakaiannya sambil terbaring bugil di ranjang. Rasanya lama sekali. Vaginaku terasa basah karena menahan gairah. Kuperhatikan tubuhnya yang hitam. Meskipun sudah tua namun ototnya masih terukir jelas. Ada gambar tattoo tengkorak di lengannya.
Saat Pak Sitor membuka celana dalamnya, di bawah temaram lampu, aku bisa melihat ternyata penisnya tidak disunat! Aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku dan bersikap wajar supaya ia tak merasa tersinggung.
Jantungku semakin berdebar-debar saat kami sudah sama-sama bugil dan ia mendekati tubuhku.
Kurasa dia adalah laki-laki yang keras dan hanya sedikit memiliki kelembutan. Itu aku ketahui saat ia mulai merabai tubuhku yang polos.
Aku tersentak ketika Ia mulai memeluk dan menciumiku. Diciuminya aku dari leher hingga belahan dadaku dengan kasar. Digigitinya bagian-bagian sensitifku sehingga menimbulkan cupangan. Rabaan tangannya yang kasar mulanya membuatku kesakitan tapi akhirnya aku pun jadi terangsang.
Suamiku jika merabaiku cukup hati-hati. Nyata perbedaannya dengan Pak Sitor yang lebih kasar. Tampaknya ia sudah lama tidak berhubungan badan dengan wanita. Sekarang akulah yang jadi sarana pelampiasan nafsunya setelah sekian lama. Aku tak kuasa menolak tindakannya pada diriku. Yang jelas aku merasa sangat terangsang disentuh dengan cara yang berbeda dari yang biasa dilakukan oleh suamiku. Birahiku pun naik.
Tiba-tiba air mataku sempat menetes karena tersirat penyesalan telah menodai perkawinanku. Namun percuma saja, sekarang semuanya sudah terlambat. Pak Sitor semakin asyik dengan tindakannya. Tiap jengkal tubuhku dijamahnya tanpa terlewatkan seinci pun. Kekuatan Pak Sitor telah menguasai diriku. Aku membiarkan saja ia terus merangsangi diriku. Tubuhku pun berkeringat tidak tahan terhadap rasa geli bercampur gairah.
Lalu mulutnya turun ke selangkanganku. Ia sibakkan kedua kakiku yang putih bersih itu. Di situ lidahnya bermain menjilati klitorisku. Kepalaku miring ke kiri dan ke kanan menahan gejolak yang melandaku. Peganganku hanya kain sprei yang aku tarik karena desakan itu. Kedua kakiku pun menerjang dan menghentak tidak tahan atas gairah yang melandaku.
Beberapa menit kemudian aku orgasme. Pak Sitor dengan mulutnya menelan air orgasmeku itu. Badanku lemas tak bertenaga. Mataku pun terpejam.
Setelah beristirahat beberapa saat, aku kembali dibangkitkan oleh Pak Sitor dengan cara diciumi balik telingaku hingga liang kehormatanku. Di sana jarinya ia masukkan. Ia pun mulai mengacak-acak liang kewanitaanku lalu mempermainkan celahnya.
Sambil menikmati goyangan jari-jarinya di dalam vaginaku, aku semakin sadar jika Pak Sitor telah lama merencanakan ini. Bisa jadi telah lama ia berobsesi untuk meniduriku karena sama sekali tak nampak keraguan dalam seluruh tindakannya mencabuliku. Berarti ia memang telah berencana melanggar amanat suamiku dan menguasaiku.
Di satu pihak aku memandangnya sebagai ular berkepala dua. Anehnya, di lain pihak, aku ikut merasa senang ia berhasil mewujudkan rencana rahasianya itu terhadapku! Sekarang aku menikmati sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya…
Pikiran yang memenuhi benakku pun terputus karena aku lalu mengalami orgasme untuk yang kedua kalinya oleh tangan Pak Sitor. Badanku telah basah oleh keringat. Aku benar-benar merasa lemas.
Pak Sitor lalu mengambil gelas dan menuangkan air putih dari sebotol air mineral yang ada di mejaku. Dibantunya aku untuk duduk dan minum. Dalam beberapa teguk, air dalam gelas itu kuhabiskan. Pak Sitor lalu menuangkan lagi air untuk diminumnya sendiri ke gelas yang sama. Aku duduk di tempat tidur sambil bersandar ke dinding memperhatikannya.
“Ibu masih mau minum lagi?” tanya Pak Sitor selesai menghabiskan air di gelas.
Karena masih haus, aku pun mengangguk. Pelan-pelan kuminum air dari gelas yang baru saja dipakai oleh Pak Sitor. Nikmat sekali rasanya. Sekarang giliran Pak Sitor yang memperhatikanku menghabiskan minumanku sambil tangannya mengelus-elus pundak dan leherku. Aku mulai merasa nyaman berada dalam dekapan lelaki itu.
“Sudah?” tanyanya saat kuulurkan gelas yang kosong kepadanya.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum malu karena Pak Sitor yang bugil itu menatap mataku dalam-dalam sambil mendekap tubuhku yang juga bugil. Lalu dilepaskannya dekapannya dari tubuhku untuk meletakkan gelas kosong kembali ke atas meja.
Saat kembali ke ranjang, Pak Sitor minta izin padaku untuk memasukkan penisnya ke lubang kehormatanku. Walaupun kami sudah sama-sama bugil dan aku pun telah dicabuli oleh Pak Sitor, aku masih merasa ragu.
Aku lalu menggeleng tidak setuju karena khawatir konsekuensinya. Liang kehormatanku akan tercemar oleh cairan laki-laki lain. Aku merasa telah terlalu jauh berkhianat pada suamiku. Bagiku cukuplah tindakannya tadi dan tidak usah diteruskan lagi hingga penetrasi.
Aku mengambil pakaianku yang berceceran dan bersiap mengenakannya kembali.
Dari luar, Pak Sitor tampak mau menerima perkataanku dan tidak meneruskan niatnya. Akan tetapi, aku bisa melihat ada rasa kecewa yang dalam di matanya. Ia tampak gelisah. Aku bisa bayangkan dirinya yang telah terobsesi untuk menyenggamaiku. Aku lihat penisnya sebetulnya telah siap memasuki diriku jika aku izinkan. Panjangnya melebihi milik suamiku dan agak bengkok dengan diameter yang melebar.
Akhirnya Pak Sitor minta aku untuk membantunya klimaks dengan mengulum penisnya. Satu kali saja, katanya, sebelum kami menyudahi permainan terlarang kami malam itu.
Aku ragu. Aku dan suamiku saja selama ini tak pernah saling melakukan oral sex. Suamiku tak pernah melakukannya kepadaku, demikian juga sebaliknya. Padahal kami selalu menjaga kebersihan wilayah sensitif kami. Sedangkan aroma penis Pak Sitor lebih bau. Kelihatannya sih tak terlalu bersih. Selain nampaknya Pak Sitor memang kurang menjaga kebersihan, tentunya itu juga karena penisnya yang tak disunat. Akhirnya, aku kembali menggeleng.
Walaupun aku menolaknya, Pak Sitor tak menyerah dan terus merengek memohon-mohon padaku. Ia merasa sangat tersiksa karena belum berhasil mengeluarkan hasrat birahinya yang terpendam.
Lama-kelamaan aku merasa kasihan juga. Tidak adil rasanya bagiku yang telah dibantunya sampai dua kali orgasme untuk membiarkannya seperti itu. Aku merasa diriku egois. Timbullah perasaan bersalah di dalam diriku.
Akhirnya aku pun menyerah. Bukankah tadi Pak Sitor juga telah membantuku masturbasi dengan tangan dan mulutnya? Jadi kupikir sekarang hitung-hitung balas budi.
“Ya sudahlah, Pak…. Sekali ini saja, ya..?” kataku pelan tanpa daya sambil memegang pahanya yang kasar.
Tampak sekali kegirangan terpancar di wajah Pak Sitor. Seperti seorang anak yang baru saja diberikan mainan oleh ibunya.
Kuletakkan kembali pakaianku yang baru saja kukumpulkan dan tadinya sudah siap kukenakan kembali.
Perlahan kutundukkan wajahku mendekati selangkangan Pak Sitor. Dengan sedikit jijik kubuka mulutku. Akhirnya, kuberanikan untuk mengulum batang penisnya namun tidak muat seluruhnya ke dalam rongga mulutku. Hanya sampai setengah batangnya, kepala penisnya sudah mentok sampai pangkal tenggorokanku. Mulutku pun serasa mau robek karena besarnya penis Pak Sitor.
Baru beberapa kali kulum aku serasa mual dan mau muntah oleh aroma kelamin Pak Sitor itu. Aku maklum saja karena ia kurang bersih. Penisnya yang tidak disunat, seperti kebiasaan laki-laki Batak, memang membuatnya agak kotor. Selain itu, kurasa itu juga disebabkan oleh makanannya yang tidak beraturan. Walaupun demikian, aku berusaha sekuat tenaga menyembunyikan perasaan jijikku. Aku tak ingin membuatnya tersinggung.
Sementara kepalaku menunduk dan mengulumi penisnya, mataku kerap melirik ke atas mengamati ekspresi Pak Sitor. Awalnya aku merasa tak percaya diri apakah dapat memuaskan Pak Sitor. Sementara aku bekerja, tangan Pak Sitor yang satu mengelus-elus pundak dan leherku. Tangannya yang satu lagi diletakkannya di kepalaku. Semakin lama kurasakan tangannya semakin erat memegangi kepalaku, seolah tak menghendaki kepalaku berpindah dari selangkangannya. Untuk sementara, aku jadi lega karena itu artinya Pak Sitor sejauh ini puas dengan pelayananku.
Satu menit, dua menit… lima menit berlalu…. Entah berapa lama lagi setelah itu aku mengulumi penis Pak Sitor sampai basah dan bersih oleh air liurku… Aku lalu menyerah dan melepaskan penis Pak Sitor dari mulutku.
Aku heran Pak Sitor ini sampai sekian lama kok tidak juga klimaks. Padahal akibat kulumanku, penisnya semakin lama semakin keras seperti sebatang kayu. Entahlah, mungkin aku juga yang belum pandai melakukan oral sex… Maklumlah, ini baru pertama kali kulakukan.
Akhirnya aku sadar bahwa stamina Pak Sitor yang luar biasa besarnya itu memang harus disalurkan dengan cara bersebadan… Mungkin karena belum berpengalaman, kulumanku sekedar mengeraskan penis Pak Sitor tapi tak mampu membuatnya orgasme.
Selain salut akan staminanya, aku juga salut atas sikapnya yang menghargai wanita dengan tidak memaksakan kehendak. Padahal dalam keadaan seperti ini, aku bisa saja dipaksanya untuk disetubuhi, yang mana hal itu tidak ia lakukan karena aku menolaknya.
Aku jadi semakin merasa bersalah. Karena itu timbul keinginanku untuk membantunya saat itu juga. Di dalam pikiranku berperang antara birahi dan moral. Akhirnya, kupikir sudah terlanjur basah. Di samping itu, aku tidak ingin menambah masalah antara aku dan Pak Sitor. Jika aku larang terus nantinya Pak Sitor bisa saja memperkosaku. Seorang laki-laki yang telah naik birahinya sampai di ubun-ubun sering bertindak nekad. Lagi pula aku sendirian.
Akhirnya, dengan pertimbangan demi kebaikan kami berdua, maka aku izinkan dia melakukan penetrasi ke dalam rahimku. Kupikir lebih baik hal itu kami lakukan atas dasar suka sama suka daripada aku nanti diperkosanya. Lagipula pikiran untuk disetubuhi lelaki lain untuk pertama kalinya mulai menggoda benakku. Ya, aku membulatkan tekadku untuk menerima Pak Sitor mengintimiku…
“Hmmm… Pak Sitor…. Begini deh… Kalau Bapak memang benar-benar mau mencampuri saya… Boleh, Pak….”
Pak Sitor pun tampaknya gembira sekali. Padahal tadi sempat kulihat wajahnya tegang sekali.
“Ibu benar-benar ikhlas…?” tanya Pak Sitor menatap dalam-dalam mataku dengan penuh birahi. Tangannya membelai rambutku. Aku membalas tatapannya sambil tersenyum, lalu mengangguk dengan pasti.
Pak Sitor mencium dan mengulum bibirku dalam-dalam… Seolah menyatakan rasa terima kasihnya atas kesediaanku. Aku merasa dihargai sebagai seorang wanita. Walaupun perilakunya keras namun ia tahu bagaimana caranya memperlakukan wanita. Kubalas ciumannya dengan tulus. Aku pun semakin mantap untuk menyerahkan diriku bulat-bulat kepadanya…
Setelah dilepaskannya pagutannya dari mulutku, kami pun berpandangan dan saling tersenyum seperti sepasang kekasih. Sepasang kekasih yang bersiap-siap untuk menunaikan malam pertamanya. Ada perasaan tegang dan senang yang melanda diriku saat menyerahkan diriku pada Pak Sitor.
“Sebentar ya, Pak… dikerasin lagi penisnya, biar gampang nanti masukinnya…” kataku sambil kembali menundukkan kepalaku ke arah selangkangan Pak Sitor.
Selama beberapa saat kukulumi kembali penis Pak Sitor. Tangan Pak Sitor membelai-belai rambutku saat aku bekerja. Tampak sekali kalau ia sangat menikmatinya. Setelah batang penisnya benar-benar keras, barulah kulepaskan mulutku…
Aku lalu berbaring dan membuka kedua pahaku, memberinya jalan memasuki rahimku. Tubuh kami berdua saat itu telah sama-sama berkeringat. Rambutku telah kusut. Dari temaram lampu dinding aku lihat Pak Sitor bersiap-siap mengarahkan penisnya. Posisinya pas di atas tubuhku. Tubuhnya yang telah basah oleh keringat hingga membuat badannya hitam berkilat. Tampaknya ia masih berusaha menahan untuk ejakulasi. Di luar, derasnya hujan seakan tidak mau kalah dengan gelombang nafsu kami berdua.
Pak Sitor dengan hati-hati menempelkan kepala penisnya. Ia tahu jika tergesa-gesa akan membuatku kesakitan sebab punyaku masih kecil dan belum pernah melahirkan.
Aku pun berusaha memperlebar kedua pahaku supaya mudah dimasuki kejantanan Pak Sitor. Aku melihat kejantanannya panjang dan agak bengkok jadi aku bersiap-siap agar aku jangan kesakitan.
“Pelan-pelan ya, Pak…” Aku sempat bilang kepadanya untuk jangan cepat-cepat.
“Jangan khawatir, Bu…” katanya sambil memegang lututku mengambil ancang-ancang.
Dengan bertahap, ia mulai memasukan penisnya. Aku memejamkan mata dan merasakan sentuhan pertama pertemuan kemaluan kami. Aku merasa seperti pengantin baru yang sedang diperawani. Hatiku dag dig dug. Untuk pertama kalinya aku dimasuki oleh laki-laki lain selain suamiku! Aku punya perasaan ini akan lebih sensasional daripada malam pertamaku bersama Bang Ikhsan…
Untuk melancarkan jalannya, kakiku ia angkat hingga melilit badannya, lalu langsung penisnya masuk ke rahimku dengan lambat. Aku terkejut dan merasakan ngilu di bibir rahimku.
“Auuch… ooh.. auuch…” Aku meracau kesakitan. Pak Sitor membungkam mulutku dengan mulutnya. Kedua tubuh bugil kami pun sepenuhnya bertemu dan menempel. Aku memeluk tubuh Pak Sitor yang kekar itu erat-erat.
Tidak lama kemudian seluruh penisnya masuk ke rahimku dan ia mulai melakukan gerak maju mundur. Aku merasakan tulangku bagai lolos, sama seperti yang kualami saat menjalani malam pertama dengan Bang Ikhsan dulu…. Bahkan sekarang lebih terasa…. Perasaan yang belakangan ini sudah tak pernah lagi kualami bersama suamiku. Kini aku bisa menikmatinya kembali bersama Pak Sitor!
Aku pun mulai merasakan kenikmatan. Cairan vaginaku mulai keluar banyak dan melumasi penis besar Pak Sitor yang terus keluar masuk liang kemaluanku. Mulut pak Sitor pun lepas dari mulutku karena aku tidak kesakitan lagi. Aku tersengal-sengal setelah selama beberapa waktu mulutku disumpalnya.
Mulutku yang telah bebas kini mulai mengeluarkan erangan-erangan karena menikmati genjotan lelaki itu. Aku merasa melambung dibawa Pak Sitor ke surga dunia. Karenanya aku benar-benar percaya dan menyerahkan diriku padanya. Tampak Pak Sitor sangat bahagia melihat penerimaanku itu.
Kekuatan laki-laki ini membuatku amat salut. Genjotannya sampai membuat ranjang dan badanku bergetar semua seperti kapal yang diserang badai. Aku sampai menikmati orgasme yang luar biasa karenanya. Seolah aku telah dilahirkan kembali dan diberikan kehidupan lain yang sama sekali berbeda…
Kurang lebih 15 menit kemudian gerakan Pak Sitor bertambah cepat. Tubuhnya menegang hebat. Aku merasakan basah di dalam rahimku oleh cairan hangat. Akhirnya kesampaian juga obsesi Pak Sitor terhadapku. Sekarang rahimku sudah menerima cairan spermanya yang panas dan membludak. Resmilah sudah aku menjadi miliknya….
Tubuhnya lalu rebah di atas tubuhku tanpa melepaskan penisnya dari dalam rahimku. Aku pun dari tadi telah sempat kembali orgasme. Butiran keringat kami membuat basah kain sprei yang telah kusut di sana-sini.
Beberapa waktu kemudian Pak Sitor menggulingkan badannya ke samping sambil menarikku sehingga kami berbaring berhadap-hadapan pada sisi tubuh kami masing-masing. Aku terkagum-kagum karena dalam posisi itu, penis Pak Sitor tetap berada dalam kepitan lubang kemaluanku. Satu hal yang tak pernah kudapatkan saat bersama Bang Ikhsan suamiku.
Ini bisa terjadi karena penis Pak Sitor panjang. Selain itu, juga kurasa karena ia begitu terangsang dengan diriku sehingga penisnya terus mengeras walaupun sudah memuncratkan air mani dalam jumlah banyak. Alasan yang terakhir ini tentu saja membuatku merasa sangat tersanjung dan merasa sangat berharga di hadapannya. Aku ternyata bisa membuat Pak Sitor terangsang dengan begitu hebatnya… Otomatis aku pun merasa sangat senang sudah bisa menyenangkan dan memuaskan nafsu seks Pak Sitor.
Kami lalu tertidur dengan alat kelamin kami masih bersatu, sementara di luar hujan masih saja turun.
Entah berapa lama kami tertidur. Mestinya tak terlalu lama tapi saat bangun aku merasa sangat segar. Aku terbangun karena gerakan-gerakan Pak Sitor yang rupanya telah bangun terlebih dahulu. Sambil mengumpulkan kembali memoriku yang beterbangan saat tertidur, aku mulai menyadari kembali keadaanku saat itu. Penis Pak Sitor ternyata masih mantap tertancap di kemaluanku, bahkan terasa keras sekali…
Sejenak akal sehatku kembali mampir. Gila! Aku telah bersetubuh dengan lelaki selain suamiku…! Sepanjang tidur tadi tubuhku telah dimasuki penis dan sperma Pak Sitor… Satu hal yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya! Di sisi lain aku pun sadar kalau semuanya sudah telanjur. Aku tak mungkin kembali lagi. Sudahlah, biarlah semuanya mengalir begitu saja… Nafsuku yang sudah dikendalikan Pak Sitor lalu kembali menguasai diriku.
Dalam keadaan belum seratus persen sadar, aku segera tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus bersiap-siap karena Pak Sitor akan menyetubuhiku lagi… Ya, kami sedang menjalani malam pertama kami… Pak Sitor pasti ingin kulayani lagi. Aku harus memastikan dia mendapatkan haknya atas diriku. Benar saja, tak lama Pak Sitor segera mengambil posisi di atas tubuhku. Genjotan kenikmatannya pun kembali dilancarkan terhadap diriku…
Saat itu tidak ada lagi batas di antara kami. Dalam hati, aku sebetulnya merasa telah berdosa kepada suamiku. Bagaimanapun, pikiran dan akal sehatku ternyata tetap tidak bisa menahan tubuh dan nafsuku yang telah dikuasai dan dikendalikan sepenuhnya oleh Pak Sitor.
Hingga tengah malam Pak Sitor kembali menggauliku sepuasnya. Aku pun tidak merasa sungkan lagi. Saat itu kami berdua telah mencapai titik paling intim dalam hubungan kami. Kami berdua sudah tidak merasa asing lagi satu sama lain. Aku mulai berpartisipasi secara aktif untuk saling memuaskan nafsu badani kami.
Dalam waktu singkat, aku pun sudah tidak merasa jijik lagi jika melakukan oral sex untuk Pak Sitor, seolah itu adalah salah satu menu biasa yang harus kutunaikan untuknya. Bahkan ketika ia mengutarakan niatnya untuk orgasme di dalam mulutku, aku serta merta menyanggupinya dengan sukarela. Malam itu untuk pertama kalinya aku mencicipi rasa air mani seorang lelaki dan menyantapnya dengan lahap…!
***
Sejak kejadian malam itu, hidupku berubah. Bagi seorang wanita seperti aku, sangat sulit rasanya untuk melepaskan diri dari situasi ini. Yang jelas, penyesalan sudah tak ada gunanya. Dari luar, orang-orang memandangku sebagai seorang istri yang berwibawa dan menjaga kehormatan. Akan tetapi semua itu jadi tak ada artinya di hadapan Pak Sitor. Ia telah berhasil menemukan celah yang tepat untuk menguasaiku. Ia telah berhasil menggauliku. Menjadikan diriku pemuas nafsu badaninya. Kehormatan dan perkawinan yang aku junjung pun luntur sudah. Apa lagi yang bisa kuperbuat…
Pak Sitor kini telah merasa jadi pemenang dengan kemampuannya menaklukkanku hingga aku tidak berdaya. Aku semakin tidak berdaya jika ia telah berada di dalam kamarku, untuk bersebadan dengannya. Kapan pun ia datang menagih jatahnya, pasti aku penuhi. Hanya jika aku sedang haid, aku bisa menolaknya.
Di hadapannya, posisiku tak lebih sebagai gundiknya. Hebatnya, ia bisa membuatku menikmati peranku sebagai pemuas nafsunya. Di sisi lain, aku pun sangat berterima kasih padanya karena semua itu tetap hanya jadi rahasia kami berdua. Di luar tembok rumahku dan rumahnya, kami kembali menjalani peran masing-masing di masyarakat.
Aku benar-benar terlena dan terbuai oleh gelombang gairah yang dipancarkan Pak Sitor. Aku heran karena Pak Sitor yang seusia dengan ayahku ini masih mampu mengalahkanku di ranjang dan membuatku orgasme berkali-kali. Tidak seperti suamiku yang hanya bisa membuatku orgasme sekali saja.
Kuakui aku jadi mendapat pengalaman baru yang memupuskan pendapatku selama ini bahwa laki-laki paro baya akan hilang keperkasaannya.
Suatu saat, sehabis kami berhubungan badan, aku bertanya padanya bagaimana ia bisa sekuat itu di usianya yang sudah tak muda lagi.
Pak Sitor bercerita bahwa ia sangat suka mengkonsumsi makanan khas Batak, nanigota, yang berupa sup daging dan darah anjing. Makanan itu diyakininya dapat menjaga dan menambah vitalitas pria.
Aku bergidik jijik dan mau muntah mendengarnya. Aku jadi ingat, pantas saja saat bersebadan dengannya bau keringatnya lain. Juga saat aku mengulum kemaluannya terasa panas dan amis. Rupanya selama ini Pak Sitor sering memakan makanan yang di agamaku diharamkan.
Pernah suatu kali aku kurang enak badan padahal Pak Sitor ngotot ingin mengajakku untuk bersetubuh. Aku pun dibelikannya makanan berupa sate. Saat aku santap, rasanya sedikit aneh. Setelah makan beberapa tusuk, aku merasakan tubuhku panas dan badanku seakan fit kembali. Setelah sate itu aku habiskan, kami pun melakukan persetubuhan dengan amat panas dan bergairah hingga aku mengalami orgasme sampai tiga kali. Tubuhku seakan segar bugar kembali dan enak sekali.
Setelah persetubuhan, Pak Sitor bilang bahwa yang aku makan tadi adalah sate daging anjing. Aku marah dan ingin memuntahkannya karena jijik dan kotor. Hanya karena pandainya ia memberiku pengertian, ditambah sedikit rayuan, aku jadi bisa menerimanya. Tetap saja kemudian aku memintanya untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Aku tak ingin memakannya lagi walaupun terus terang, aku pun mau tak mau harus mengakui khasiatnya… Ia berjanji untuk tidak mengulanginya lagi tanpa seizinku.
***
Selama aku bertugas di pulau itu hampir satu tahun, kami telah sering melakukan hubungan seks dengan sangat rapi. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Untungnya pula, akibat perbuatan kami ini aku tidak sampai hamil. Aku memang disiplin ber-KB supaya Pak Sitor bebas menumpahkan spermanya di rahimku.
Kapanpun dan di manapun, kami sering melakukannya. Kadang di rumahku, kadang di rumah Pak Sitor. Kadang kalau kupikir, alangkah bodohnya aku mau saja digauli di atas dipan kayu yang cuma beralaskan tikar usang. Kenyataannya, semua itu tak kupedulikan lagi. Yang penting bagiku hasratku terpenuhi dan Pak Sitor pun bisa memberinya.
Pernah suatu hari setelah kami bersebadan di rumahnya, Pak Sitor melamarku! Ia minta kepadaku untuk mau menikah dan hidup dengannya di pulau itu. Lamaran Pak Sitor ini tentu mengejutkanku. Rupanya Pak Sitor mulai mencintaiku sejak ia dengan bebas dapat menggauliku.
Memang selama hampir setahun terakhir ini kami berdua sudah menjalani hidup nyaris seperti sepasang suami istri namun tetap saja rasanya itu tidak mungkin sebab aku masih terikat perkawinan dengan suamiku dan aku pun tidak ingin menghancurkannya.
Lagi pula Pak Sitor seusia dengan ayahku. Apa jadinya jika ayahku tahu.
Di samping itu, keyakinan kami pun berbeda karena Pak Sitor seorang Protestan. Bagiku ini juga satu masalah. Memang, sejak berhubungan intim dengannya, aku tak lagi menjalankan agamaku dengan taat. Aku tak pernah sembahyang jika bersama Pak Sitor. Kebiasaan Pak Sitor menyantap daging anjing dan babi, juga menenggak tuak, sedikit demi sedikit mulai kuikuti.
Sekarang aku telah mahir pula memasakkan nanigota ataupun masakan lainnya yang sejenis untuk Pak Sitor. Ia sering memuji kalau masakanku jauh lebih enak daripada masakan di lapo di daerah kami. Beberapa kali ia bahkan mengundang kawan-kawannya dari luar pulau untuk dijamu dengan masakan khas Batak buatanku. Satu hal yang membuatku merasa bangga tentunya.
Kadang aku ikut pula menikmati makanan seperti itu. Sekedar menemaninya dan sebagai wujud toleransiku padanya. Lagipula, khasiat itu semua terhadap gairah seks kami telah terbukti… Entah sugesti atau bukan, yang jelas setiap kali aku ikut mencicipi masakan itu, akan langsung diikuti oleh persetubuhan yang hebat antara aku dan Pak Sitor semalam suntuk… Pak Sitor pun mengetahui hal itu. Karena itulah Pak Sitor selalu berusaha mati-matian membujukku untuk bersamanya menikmati hidangan itu setiap kali kami akan berhubungan badan.
Apapun, perbedaan agama itu tetap saja terasa menjadi ganjalan. Apalagi Pak Sitor bersikukuh untuk tidak meninggalkan keyakinannya. Ia mempersilakanku untuk tetap pada keyakinanku saat ini atau mengikuti keyakinannya jika aku mau hidup bersamanya. Buatnya itu tak jadi masalah.
Suatu saat, sepulangnya aku dari kerja, Pak Sitor ”menembakku”. Saat itu aku baru saja diantarnya pulang ke rumah dan aku sedang berganti pakaian di hadapannya. Di situ ia menyatakan cintanya padaku dan menanyakan apakah aku mencintainya juga. Tentu saja aku agak gelagapan memberinya jawaban. Aku berusaha menjawabnya sebijaksana mungkin.
Masih dalam keadaan setengah bugil, aku menghentikan aktifitasku. Kuraih tangannya dan kuajaknya duduk berdampingan di sisi tempat tidurku.
“Pak Sitor, aku pun mencintai Bapak dan yang jelas aku pun sangat menyukai nafkah batin yang Pak Sitor berikan padaku selama di sini,” kataku pelan-pelan sambil menatap matanya dalam-dalam untuk menyatakan ketulusan ucapanku.
“Tapi kuharap Pak Sitor juga paham kalau di lain pihak aku masih terikat pernikahan dengan Bang Ikhsan yang kunikahi atas dasar cinta pula…” lanjutku.
Suasana jadi hening sejenak. Kurasakan genggaman tangannya agak menguat meremas-remas tanganku yang halus.
“Yaah… seandainya saja, kita bertemu waktu Bu Reni masih gadis,” keluh Pak Sitor. “Mungkin…”
“Mungkin apa, Pak?”
“Mungkin sekarang kita sudah menikah… bukan sekedar kawin…” katanya sambil mengelus pundakku yang telanjang.
Mukaku jadi memerah karena tersipu.
“Pak Sitor….” kataku pelan sambil merebahkan kepalaku di pundaknya.
“Bu Reni,” kata Pak Sitor lagi sambil menegakkan kepalaku perlahan menatap kedua matanya.
“Ya, Pak..?”
“Bu Reni lebih mencintai yang mana…. Aku atau suami Ibu…?”
Mukaku yang putih bersih pun kembali memerah karena tersipu. Kali ini kurasa benar-benar seperti udang rebus.
“Aaaa…aah, Pak Sitoor…. Pertanyaannya kok susah-susah sih…?” jawabku manja sambil mencubit tangannya.
Pak Sitor jadi gemas melihat reaksiku yang mesra dan manja. Apalagi aku sudah dalam keadaan nyaris bugil. Kurasa nafsunya sudah naik sampai ke ubun-ubun. Ia pun segera membantuku melolosi sisa pakaian yang tersisa ditubuhku sebelum ia mencopoti pakaiannya sendiri.
Asyiik… aku akan disetubuhi lagi, pikirku girang. Tentu saja aku senang. Aku tak pernah tidak senang dalam melayani Pak Sitor. Di samping itu, kini dengan melayaninya di ranjang, aku jadi tak perlu menjawab pertanyaan terakhirnya yang susah tadi.
Pak Sitor pernah menanyakan padaku kenapa aku tidak hamil padahal setiap ia menyebadaniku spermanya selalu ia tumpahkan di dalam. Diutarakannya keinginannya yang kuat untuk mendapatkan anak dari rahimku. Aku jadi terharu karena itu membuktikan betapa besarnya cintanya padaku. Sebagai seorang istri yang sah dari suamiku, tentu saja aku jadi mengalami dilema.
Aku tidak memberitahunya jika aku ber-KB karena tidak ingin mengecewakannya. Jelas ia sebenarnya menginginkan aku hamil agar memuluskan langkahnya untuk memilikiku. Bahkan ia berusaha meyakinkanku untuk melihat siapa yang akan lebih dulu berhasil menghamiliku, dirinya atau suamiku. Seandainya ia yang berhasil pertama kali, Pak Sitor berkeras untuk menikahiku. Minimal secara adat. Tak peduli apakah aku harus bercerai dulu dengan Bang Ikhsan atau tidak. Satu permintaan yang wajar sebetulnya. Untuk menyenangkan dirinya, aku pun menyanggupinya.
Bukan main girangnya Pak Sitor mendengar kesanggupanku itu. Sejak itu, ia pun berusaha sekuat tenaga untuk membuatku hamil. Dengan rajinnya aku sering dibawakannya ramuan khas Batak untuk meningkatkan kesuburan. Entah terbuat dari apa saja, aku tak tahu. Untuk menyenangkan dirinya, dengan patuh semuanya selalu kuminum. Bagaimanapun, aku tetap lebih percaya dengan khasiat pil KB yang kuminum diam-diam secara teratur.
Ia bahkan sampai hafal kapan saat-saat suburku. Jika saat itu datang, ia telah memesan padaku bahwa itu adalah jatahnya. Sampai saat ini aku masih bisa mengabulkannya, dengan catatan jika nanti Bang Ikhsan telah pulang dan ia menagih jatahnya padaku tepat pada masa suburku, aku harus mendahulukannya. Pak Sitor cukup fair untuk menerima perjanjian itu.
Akan tetapi bukan Pak Sitor namanya kalau tidak lihai dan cerdik.
“Suami Ibu kan biasanya minta jatah malam hari,” katanya.
“Nah, berarti kalau siangnya jatahku, kan…?” tanyanya tersenyum nakal. Aku pun tak bisa berkutik menanggapi permintaannya.
Itulah sebabnya, saat tiba masa suburku, aku membiasakan diri minta izin untuk tak masuk kantor dengan berbagai alasan. Tujuan sebenarnya tentu saja untuk memenuhi keinginan Pak Sitor yang ingin menyetubuhiku seharian.
Bagaimanapun, aku tetap harus menyiasati agar ia tidak bermimpi untuk menikahiku. Kurasa hubungan ini hanya sebagai pelarianku dari kesepian selama jauh dari suamiku. Aku tak ingin sampai terjerumus lebih jauh lagi, walaupun selama ini apapun yang diminta Pak Sitor dari diriku sebisa mungkin selalu aku sanggupi.
Kuakui, sedikit banyak hubungan emosional antara diriku dengan Pak Sitor tetap ada. Ada keinginan yang tulus dari diriku untuk menyenangkannya dan melihatnya bahagia. Tentu saja selama aku tidak sampai mengorbankan jatah suamiku. Toh, aku pun secara tak langsung mendapat manfaatnya jika aku bisa menyenangkan dan memuaskan Pak Sitor. Aku jadi memiliki pelindung setia selama tinggal di pulau yang terpencil dan keras ini. Jadi keamananku terjamin, sesuai dengan yang diamanatkan suamiku kepada Pak Sitor. Tapi tentu saja tak boleh lebih jauh dari itu.
Jadi aku menjelaskannya pada Pak Sitor dengan lembut dan baik-baik suatu saat seusai kami berhubungan badan.
Aku bilang jika kelak aku pindah kerja, ia harus rela hubungan ini putus. Selama aku dinas di pulau ini dan suamiku tidak ada, ia kuberi kebebasan untuk memilikiku dan menggauliku. Syaratnya, asal jangan berbuat macam-macam di depan teman-teman kantorku yang kebetulan hampir semuanya penduduk asli pulau ini.
Akhirnya ia mau mengerti dan menerima alasanku. Ia berjanji akan menutup rapat rahasia kami jika aku pindah. Ia pun menerima segala persyaratanku karena rasa cintanya padaku.
Demikianlah, selama aku tugas di pulau ini, Pak Sitor terus memberiku kenikmatan ragawi tanpa ada batas sama sekali di antara kami. Walaupun demikian, aku tetap berusaha memegang prinsip bahwa cintaku hanya untuk suamiku. Kalau diibaratkan perjalanan, Pak Sitor adalah satu stasiun persinggahan yang harus aku singgahi.
Dalam hatiku, aku berjanji untuk menutup rapat rahasia ini karena tetap masih ada setitik penyesalan dalam diriku. Kadang aku mengganggap diriku kotor karena telah merusak kesucian pernikahan kami… Tapi sudahlah, mungkin ini memang tahapan kehidupan yang harus aku lewati…
TAMAT
(Istri Selingkuh)
Namaku Reni, usia 27 tahun. Kulitku kuning langsat dengan rambut panjang dan lurus. Tinggiku 165 cm dan berat 51 kg. Aku telah menikah setahun lebih. Aku berasal dari keluarga Minang yang terpandang. Banyak yang bilang kalau wajahku mirip dengan aktris dan model Mira Asmara. Saat ini aku bekerja pada sebuah Bank pemerintah yang cukup terkenal.
Suamiku Ikhsan adalah seorang staf pengajar pada sebuah perguruan tinggi swasta di kota Padang. Di samping itu, ia juga memiliki beberapa usaha perbengkelan.
Kami menikah setelah sempat berpacaran kurang lebih tiga tahun. Perjuangan kami cukup berat dalam mempertahankan cinta dan kasih sayang. Di antara sekian banyak halangan yang kami temui adalah ketidaksetujuan dari pihak orang tua kami. Sebelumnya aku telah dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang pengusaha.
Bagaimanapun, kami dapat juga melalui semua itu dengan keyakinan yang kuat hingga kami akhirnya bersatu. Kami memutuskan untuk menikah tapi kami sepakat untuk menunda dulu punya anak. Aku dan Bang Ikhsan cukup sibuk sehingga takut nantinya tak dapat mengurus anak.
Kehidupan kami sehari-hari cukup mapan dengan keberhasilan kami memiliki sebuah rumah yang asri di sebuah lingkungan yang elite dan juga memiliki dua unit mobil sedan keluaran terbaru hasil usaha kami berdua. Begitu juga dalam kehidupan seks tiada masalah di antara kami. Ranjang kami cukup hangat dengan 4-5 kali seminggu kami berhubungan suami istri. Aku memutuskan untuk memakai program KB dulu agar kehamilanku dapat kuatur.
Aku pun rajin merawat kecantikan dan kebugaran tubuhku agar suamiku tidak berpaling dan kehidupan seks kami lancar.
Suatu waktu, atas loyalitas dan prestasi kerjaku yang dinilai bagus, maka pimpinan menunjukku untuk menempati kantor baru di sebuah kabupaten baru yang merupakan sebuah kepulauan di daerah Mentawai. Aku merasa bingung untuk menerimanya dan tidak berani memutuskannya sendiri. Aku harus merundingkannya dulu dengan suamiku. Bagiku naik atau tidaknya statusku sama saja, yang penting untukku adalah keluarga dan perkawinanku.
Tanpa aku duga, suamiku ternyata sangat mendorongku agar tidak melepaskan kesempatan ini. Inilah saatnya bagiku untuk meningkatkan kinerjaku yang biasa-biasa saja selama ini, katanya. Aku bahagia sekali. Rupanya suamiku orangnya amat bijaksana dan pengertian. Sayang orang tuaku kurang suka dengan keputusan itu. Begitu juga mertuaku. Bagaimanapun, kegundahan mereka akhirnya dapat diatasi oleh suamiku dengan baik. Bahkan akhirnya mereka pun mendorongku agar maju dan tegar. Suamiku hanya minta agar aku setiap minggu pulang ke Padang agar kami dapat berkumpul. Aku pun setuju dan berterima kasih padanya.
Aku pun pindah ke pulau yang jika ditempuh dengan naik kapal motor dari Padang akan memerlukan waktu selama 5 jam saat cuacanya bagus. Suamiku turut serta mengantarku. Ia menyediakan waktu untuk bersamaku di pulau selama seminggu.
Di pulau itu aku disediakan sebuah rumah dinas lengkap dengan prasarananya kecuali kendaraan. Jarak antara kantor dan rumahku hanya dapat ditempuh dengan naik ojek karena belum adanya angkutan di sana.
Hari pertama kerja aku diantar oleh suamiku dan sorenya dijemput. Suamiku ingin agar aku betah dan dapat secepatnya menyesuaikan diri di pulau ini. Memang prasarananya belum lengkap. Rumah-rumah dinas yang lainnya pun masih banyak yang kosong.
Selama di pulau suamiku tidak lupa memberiku nafkah batin karena nantinya kami hanya akan bertemu seminggu sekali. Aku menyadari benar hal itu. Karena itu kami pun mereguk kenikmatan badaniah sepuas-puasnya selama suamiku ada di pulau ini.
Suamiku dalam tempo singkat telah dapat berkenalan dengan beberapa tetangga yang jaraknya lumayan jauh. Ia juga mengenal beberapa tukang ojek hingga tanpa kusangka suatu hari ia menjemputku pakai sepeda motor. Rupanya ia meminjamnya dari tukang ojek kenalannya.
Salah satu tukang ojek yang dikenal suamiku adalah Pak Sitorus. Pak Sitorus ini adalah laki-laki berusia 50 tahun. Ia tinggal sendirian di pulau itu sejak istrinya meninggal dan kedua anaknya pergi mencari kerja ke Jakarta.
Laki-laki asal tanah Batak itu harus memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya di pulau itu dengan kerja sebagai tukang ojek. Pak Sitorus, yang biasa dipanggil Pak Sitor, orangnya sekilas terlihat kasar dan keras namun jika telah kenal, sebetulnya ia cukup baik. Menurut suamiku, yang sempat bicara panjang lebar dengan Pak Sitor, dulunya ia pernah tinggal di Padang yaitu di Muara Padang sebagai buruh pelabuhan. Suatu saat ia ingin mengubah nasibnya dengan berdagang namun bangkrut. Untunglah ia masih punya sepeda motor sehingga menjadi tukang ojek.
Hampir tiap akhir pekan aku pulang ke Padang untuk berkumpul dengan suamiku. Yang namanya pasangan muda tentu saja kami tidak melewatkan saat kebersamaan di ranjang. Saat aku pulang, aku menitipkan rumah dinasku pada Pak Sitor karena suamiku bilang ia dapat dipercaya. Aku pun menuruti kata-kata suamiku.
Kadang-kadang aku diberi kabar oleh suamiku bahwa aku tidak usah pulang karena ia yang akan ke pulau. Sering kali suamiku bolak-balik ke pulau hanya karena kangen padaku. Sering kali pula ia memakai sepeda motor Pak Sitor dan memberinya uang lebih.
Suamiku telah menganggap Pak Sitor sebagai sahabatnya karena sesekali saat ia ke pulau, Pak Sitor diajaknya makan ke rumah. Sebaliknya, Pak Sitor pun sering mengajak suamiku jalan-jalan di pantai yang cukup indah itu.
Suamiku sering memberi Pak Sitor uang lebih karena ia akan menjagaku dan rumahku jika aku ditinggal. Sejak saat itu aku pun rutin diantar jemput Pak Sitor jika ke kantor. Tidak jarang ia membawakanku penganan asli pulau itu. Aku pun menerimanya dengan senang hati dan berterima kasih. Kadang aku pun membawakannya oleh-oleh jika aku baru pulang dari Padang.
***
Setelah beberapa bulan aku tugas di pulau itu dan melalui rutinitas seperti biasanya, suamiku datang dan memberiku kabar bahwa ia akan disekolahkan ke Australia selama 1,5 tahun. Ini merupakan bea siswa untuk menambah pengetahuannya. Aku tahu bea siswa ini merupakan obsesinya sejak lama. Aku pun bisa menerimanya. Aku pikir itu demi masa depan dan kebahagiaan kami juga nantinya sehingga tidak jadi masalah bagiku.
Sebelum berangkat, suamiku sempat berpesan agar aku jangan segan-segan minta tolong kepada Pak Sitor sebab suamiku telah meninggalkan pesan pada Pak Sitor untuk menjagaku. Suamiku pun menitipkan uang yang harus aku serahkan pada Pak Sitor.
Sejak suamiku di luar negeri, kami sering telpon-teleponan. Kadang aku bermasturbasi bersama suamiku lewat telepon. Itu sering kami lakukan untuk memenuhi libido kami berdua. Akibatnya, tagihan telepon pun meningkat. Aku tidak memperdulikannya. Saat melakukannya dengan suamiku, aku mengkhayalkan dia ada dekatku. Tidak masalah jarak kami berjauhan.
Aku mulai jarang pulang ke Padang karena suamiku tidak ada. Paling aku pulang sebulan sekali. Itu pun aku cuma ke rumah orang tuaku. Rumahku di Padang aku titipkan pada saudaraku.
Aku melewatkan hari-hariku di pulau dengan kesibukan seperti biasanya. Begitu juga Pak Sitor yang rutin mengantarjemputku.
Suatu saat ketika aku pulang, Pak Sitor mengajakku untuk jalan-jalan keliling pantai. Aku tahu ia dulu memang sering membawa suamiku jalan-jalan ke pantai. Tapi saat ia mengajakku, kutolaknya dengan halus. Aku merasa tidak enak. Apa nanti kata teman kantorku jika melihatnya. Kebetulan saat itu pun aku sedang tidak mood sehingga aku merasa lebih tenang di rumah saja. Di rumah aku beres-beres dan berbenah pekerjaan kantor.
Akhir-akhir ini, aku merasakan bahwa Pak Sitor amat memperhatikanku. Tidak jarang sore-sore ia datang sekedar memastikan aku tidak apa-apa. Ia dapat dipercaya untuk masalah keamanan sebab di pulau itu ia amat disegani dan berpengaruh.
Kusadari kadang saat berboncengan, tanpa sengaja dadaku terdorong ke punggung Pak Sitor. Biasanya itu terjadi saat ia menghindari lubang atau saat ia mengerem. Aku maklum, itulah risikonya jika aku berboncengan sepeda motor. Semakin lama, hal seperti itu semakin sering terjadi sehingga akhirnya aku jadi terbiasa. Sesekali aku juga merangkul pinggangnya jika aku duduknya belum pas di atas jok motornya. Aku rasa Pak Sitor pun sempat merasakan kelembutan payudaraku yang bernomer 34b ini. Aku menerima saja kondisi ini sebab di pulau ini memang tak ada angkutan. Jadi aku harus bisa membiasakan diri dan menjalaninya. Tak bisa dibandingkan dengan di Padang di mana aku terbiasa menyetir sendiri kalau pergi ke kantor.
Pada suatu Jumat sore sehabis jam kerja, Pak Sitor datang kerumahku. Seperti biasanya, ia dengan ramah menyapaku dan menanyakan keadaanku. Ia pun kupersilakan masuk dan duduk di ruang tamu.
Sore itu aku telah selesai mandi dan sedang menonton televisi. Kembali Pak Sitor mengajakku jalan ke pantai. Aku keberatan sebab aku masih agak capai. Lagipula aku agak kesal dengan kesibukan suamiku dalam beberapa pekan terakhir ini. Tiap kali kutelepon, seperti yang terakhir kulakukan tadi, ia tidak bisa terlalu lama berbincang-bincang. Alasannya lagi sibuk menyiapkan thesis. Aku mulai merasa kurang diperhatikan.
“Kalau gitu, kita main catur saja, Bu… Gimana?” Pak Sitor mencoba mencari alternatif.
Dulu ia memang sering main catur dengan suamiku. Akhirnya aku pun setuju. Lumayanlah, untuk menghilangkan kesuntukanku saat itu. Aku lalu main catur dengan laki-laki itu.
Tak terasa, waktu berlalu sangat cepat. Sudah beberapa ronde kami bermain. Beberapa kali pula aku mengalahkannya. Taruhannya adalah siapa yang kalah harus dikalungi lehernya dengan sebuah botol yang diikat tali. Semakin sering kalah, semakin banyak botol yang harus dikalungkan padanya.
Aku pun tertawa-tawa karena semakin banyak botol yang dikalungkan ke leher Pak Sitor. Aku sendiri sampai saat itu cuma dikalungi satu botol.
Seumur hidupku, baru kali ini aku mau bicara bebas dan akrab dengan laki-laki selain suamiku. Biasanya tidak semua laki-laki dapat bebas berbicara denganku. Aku termasuk tipe orang yang membatasi dalam berhubungan dengan lawan jenis sehingga tidak heran jika aku sering dicap sombong oleh kebanyakan lelaki yang kurang kukenal. Anehnya, dengan Pak Sitor aku bisa bicara apa adanya, akrab dan ceplas-ceplos. Mungkin karena kami telah saling mengenal dan juga karena aku merasa membutuhkan tenaganya di pulau ini.
Tanpa terasa, telah lama kami bermain catur sejak sore tadi. Jam telah menunjukkan pukul 10 malam. Di luar rupanya telah turun hujan deras diiringi petir yang bersahut-sahutan. Kami pun mengakhiri permainan catur kami. Aku lalu membersihkan mukaku ke belakang.
“Pak, kita ngopi dulu, yuk..? Biar nggak ngantuk,” kataku menawarinya.
Saat itu di pulau penduduknya telah pada tidur. Yang terdengar hanya suara hujan dan petir. Setelah menghabiskan kopinya, Pak Sitor minta izin pulang karena hari telah larut. Aku tidak sampai hati sebab cuaca tidak memungkinkan ia pulang. Rumahnya pun cukup jauh. Lagi pula aku kuatir jika nanti ia tersambar petir.
Lalu aku tawarkan agar ia tidur di ruang tamuku saja. Akhirnya ia menerima tawaranku. Aku memberinya sebuah bantal dan selimut karena cuaca sangat dingin saat itu.
Tiba-tiba listrik padam. Aku sempat kaget. Baru kuingat, di pulau itu jika hujan lebat biasanya aliran listrik sering padam. Untunglah Pak Sitor punya korek api dan membantuku mencari lampu minyak di ruang tengah. Lampu kami hidupkan. Satu untuk di kamarku dan yang satu lagi untuk di ruang tamu tempat Pak Sitor tidur.
Aku lalu minta diri untuk lebih dulu tidur sebab aku merasa capai. Aku pun pergi ke kamar untuk tidur. Di luar hujan turun dengan derasnya seolah pulau ini akan tenggelam.
Aku berusaha untuk tidur namun ternyata tidak bisa. Ada rasa gelisah yang menghalangiku untuk terlelap. Petir menggelegar begitu kerasnya.
Akhirnya kuputuskan pergi ke ruang tamu saja. Hitung-hitung memancing kantuk dengan ngobrol bareng Pak Sitor. Rasa khawatirku pun bisa berkurang sebab aku merasa ada yang melindungi.
Sesampainya di ruang tamu, kulihat Pak Sitor masih berbaring namun matanya belum tidur. Ia kaget, disangkanya aku telah tidur. Aku lalu duduk di depannya dan bilang nggak bisa tidur.
Ia cuma tersenyum dan bilang mungkin aku ingat suamiku.
Padahal saat itu aku masih sebal dengan kelakuan suamiku. Aku cuma tersenyum kecut dan mengatakan kalau badanku rasanya pegal-pegal.
“Kalau begitu, biar saya pijati, Bu,” kata Pak Sitor sigap.
“Orang-orang bilang, pijatan saya enak, lho,” katanya lagi sambil mengacungkan jempol.
Aku tersenyum mendengar promosinya. Aku lalu duduk membelakanginya sementara Pak Sitor memijatiku, mulai dari kepala, kedua pundakku, sampai kedua lenganku. Mau tak mau harus kuakui, pijatannya memang mantap.
Sambil memijatiku, Pak Sitor mengajakku ngobrol tentang apa saja, terutama tentang keluargaku dan suamiku.
Karena masih kesal dengan suamiku, tanpa sengaja kucurahkan kekesalanku. Aku tahu, mestinya aku tidak boleh bilang suasana hatiku saat itu tentang suamiku pada Pak Sitor namun entah mengapa kata-kata itu meluncur begitu saja. Aku merasa senang mendapatkan teman untuk curhat. Pak Sitor mendengarkan dengan seksama semua detail ceritaku. Tak terasa sudah hampir satu jam aku membeberkan semua rahasia pernikahanku kepada Pak Sitor.
Dengan cara bijaksana dan kebapakan tanpa sama sekali berkesan menggurui, sesekali ia menanggapi dan menyemangati aku yang belum banyak merasakan asam garam perkawinan. Dalam suasana cahaya lampu yang temaram dan obrolan kami yang cukup hangat, aku tidak menyadari kapan Pak Sitor pindah duduk ke sampingku.
Aku pun membiarkan saja saat Pak Sitor, sambil terus memijatiku, meraih jemariku yang dilingkari cincin berlian perkawinanku dan meremas-remasnya. Lalu aku malah merebahkan kepalaku di dadanya. Aku merasa terlindungi dan merasa ada yang menampung beban pikiranku selama ini.
Pak Sitor pun membelai rambutku seakan aku adalah istrinya. Bibirnya terus bergerak ke balik telingaku dan menghembuskan nafasnya yang hangat. Aku terlena dan membiarkannya berbuat seperti itu. Perlahan ia mulai menciumi telingaku. Aku mulai terangsang ketika ia terus melakukannya dengan lembut.
Bibirnya pun terus bergeser sedikit demi sedikit ke bibirku. Saat kedua bibir kami bertemu, seperti ada aliran listrik yang mengaliri sekujur tubuhku.
Aku seperti terhipnotis. Aku seperti tak peduli bahwa saat itu aku sedang dicumbui oleh laki-laki yang bukan suamiku. Aku tahu itu adalah perbuatan yang terlarang… tapi aku tak kuasa menolaknya. Aku melakukannya dalam kesadaran penuh… dan aku pun menikmatinya. Aku mulai merasakan basah di sekitar pangkal pahaku…
Mungkin aku telah salah langkah dan salah menilai orang. Jelas bahwa Pak Sitor sama sekali tak merasa sungkan memperlakukanku seperti itu. Ia pun seolah tahu benar apa yang harus diperbuatnya terhadap diriku untuk membuatku terbuai dalam dekapannya. Seolah-olah ia telah menyimpan hasrat yang mendalam terhadap diriku selama ini.
Malam ini adalah kesempatan yang telah ditunggu-tunggunya… Anehnya, aku seperti tak mampu menahan sepak terjangnya. Padahal yang pantas berbuat seperti itu terhadapku hanyalah suamiku tercinta. Sepertinya telah tertutup mata hatiku oleh nafsu dan gairahku yang juga menuntut pelampiasan.
Dengan demikian, Pak Sitor pun bebas mengulum bibirku beberapa saat. Aku tak tahu setan apa yang telah merasuki kami berdua. Yang jelas, aku pun membalas ciumannya sambil menutup kedua mataku menikmatinya.
Sementara itu, tangan Pak Sitor juga tidak mau tinggal diam. Melihat penerimaanku, ia pun semakin berani. Dengan alasan meneruskan pijatannya, ia mulai merabai buah dadaku yang terbungkus BH dan pakaian tidur.
Aku pun mendesah di dalam pelukannya. Aku benar-benar terlena menikmati gerayangan tangannya di tubuhku. Pak Sitor pun tampak semakin bergairah karenanya.
Dalam hati aku takjub kami bisa berhubungan sampai sejauh itu tanpa pernah kami bayangkan sebelumnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Semuanya mengalir begitu saja secara naluriah di antara sepasang manusia berlainan jenis kelamin yang masing-masing memiliki nafsu birahi terpendam. Apalagi suasana malam yang gelap yang diguyur hujan lebat di pedalaman sebuah pulau benar-benar mendukung kegiatan kami. Aku pun merasa nyaman dalam pelukan dan buaian Pak Sitor.
“Bu Reni,” tiba-tiba Pak Sitor berkata pelan.
“Pijatannya diteruskan di kamar Ibu saja, ya?” pintanya. “Biar Ibu saya pijat seluruh badan sambil diluluri dengan body lotion…”
Sebetulnya aku terkejut dengan permintaannya. Itu berarti aku harus dipijat telanjang oleh Pak Sitor. Akan tetapi entah mengapa, aku malah jadi bergairah menerima tawarannya. Apalagi suasana malam itu yang gelap dan diiringi hujan lebat begitu mendukung.
“Boleh, Pak…” kataku pelan dengan suara serak karena gairah yang menghentak.
Aku menurut saja saat dibimbing Pak Sitor ke kamar tidur sambil bergandengan tangan. Direbahkannya tubuhku di atas ranjang yang biasa kugunakan untuk bercinta hanya dengan suamiku. Namun kini yang berada di sampingku bukanlah suamiku, melainkan seorang laki-laki tukang ojek sepantaran ayahku yang seharusnya tidak pantas untukku.
Saat itu juga aku tahu akan terjadi sesuatu yang terlarang di antara kami berdua. Aku tak pernah telanjang di hadapan laki-laki, kecuali suamiku. Entah apa yang menyihirku, yang membuatku memasrahkan diri pada laki-laki ini. Semuanya seolah berjalan begitu cepat dan mengalir begitu saja. Aku pun terhanyut terbawa aliran nafsu yang dibangkitkan Pak Sitor.
Pak Sitor lalu menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Sedang lampu di luar telah ia matikan tadi.
Aku diam saja menanti apa yang akan diperbuatnya padaku. Padahal selama ini aku tidak pernah sekali pun memberi hati jika ada laki-laki lain yang iseng merabaku dan menggodaku. Saat di Padang dulu, sebetulnya banyak rekan sekerjaku yang masih muda dan gagah berusaha iseng menggodaku. Kadang mereka dengan gigih mengajakku kencan atau sekedar makan berdua walau tahu aku sudah bersuami. Aku tak pernah melayani mereka. Aku termasuk wanita yang menjunjung tinggi kesucian dan kehormatan sesuai dengan yang selalu diajarkan orang tua dan agamaku.
Sekarang semua itu musnah tak berbekas. Di hadapan Pak Sitor, aku sudah terbaring tak berdaya. Pasrah untuk mengikuti apa yang akan diperbuatnya terhadapku. Aku akan ditelanjangi. Seluruh tubuhku akan dipijati dan dirabainya. Aku tahu aku melakukan pencemaran terhadap pernikahanku… tapi aku pun tak bisa menahan rasa basah yang mulai menggelora di sekitar pangkal pahaku…
Pak Sitor mulai melepaskan pakaianku satu per satu, mulai dari kaosku, lalu celana panjangku. Aku hanya memejamkan mataku saat ditelanjangi oleh Pak Sitor. Aku semakin buta oleh nafsu yang mulai menggebu-gebu merasuki jiwa dan tubuhku. Bahkan sepertinya aku tak sabar menanti tindakan Pak Sitor selanjutnya. Akhirnya bra dan celana dalam kremku pun terlempar ke lantai. Lengkaplah sudah sekarang kepolosanku di hadapannya. Sejenak sempat kulihat Pak Sitor menelan ludah menatap tubuh bugilku yang putih mulus.
Selesai menelanjangi aku, gantian dirinya yang melepaskan pakaiannya satu per satu hingga lapis terakhir. Aku merasa tegang saat menungguinya mencopoti pakaiannya sambil terbaring bugil di ranjang. Rasanya lama sekali. Vaginaku terasa basah karena menahan gairah. Kuperhatikan tubuhnya yang hitam. Meskipun sudah tua namun ototnya masih terukir jelas. Ada gambar tattoo tengkorak di lengannya.
Saat Pak Sitor membuka celana dalamnya, di bawah temaram lampu, aku bisa melihat ternyata penisnya tidak disunat! Aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku dan bersikap wajar supaya ia tak merasa tersinggung.
Jantungku semakin berdebar-debar saat kami sudah sama-sama bugil dan ia mendekati tubuhku.
Kurasa dia adalah laki-laki yang keras dan hanya sedikit memiliki kelembutan. Itu aku ketahui saat ia mulai merabai tubuhku yang polos.
Aku tersentak ketika Ia mulai memeluk dan menciumiku. Diciuminya aku dari leher hingga belahan dadaku dengan kasar. Digigitinya bagian-bagian sensitifku sehingga menimbulkan cupangan. Rabaan tangannya yang kasar mulanya membuatku kesakitan tapi akhirnya aku pun jadi terangsang.
Suamiku jika merabaiku cukup hati-hati. Nyata perbedaannya dengan Pak Sitor yang lebih kasar. Tampaknya ia sudah lama tidak berhubungan badan dengan wanita. Sekarang akulah yang jadi sarana pelampiasan nafsunya setelah sekian lama. Aku tak kuasa menolak tindakannya pada diriku. Yang jelas aku merasa sangat terangsang disentuh dengan cara yang berbeda dari yang biasa dilakukan oleh suamiku. Birahiku pun naik.
Tiba-tiba air mataku sempat menetes karena tersirat penyesalan telah menodai perkawinanku. Namun percuma saja, sekarang semuanya sudah terlambat. Pak Sitor semakin asyik dengan tindakannya. Tiap jengkal tubuhku dijamahnya tanpa terlewatkan seinci pun. Kekuatan Pak Sitor telah menguasai diriku. Aku membiarkan saja ia terus merangsangi diriku. Tubuhku pun berkeringat tidak tahan terhadap rasa geli bercampur gairah.
Lalu mulutnya turun ke selangkanganku. Ia sibakkan kedua kakiku yang putih bersih itu. Di situ lidahnya bermain menjilati klitorisku. Kepalaku miring ke kiri dan ke kanan menahan gejolak yang melandaku. Peganganku hanya kain sprei yang aku tarik karena desakan itu. Kedua kakiku pun menerjang dan menghentak tidak tahan atas gairah yang melandaku.
Beberapa menit kemudian aku orgasme. Pak Sitor dengan mulutnya menelan air orgasmeku itu. Badanku lemas tak bertenaga. Mataku pun terpejam.
Setelah beristirahat beberapa saat, aku kembali dibangkitkan oleh Pak Sitor dengan cara diciumi balik telingaku hingga liang kehormatanku. Di sana jarinya ia masukkan. Ia pun mulai mengacak-acak liang kewanitaanku lalu mempermainkan celahnya.
Sambil menikmati goyangan jari-jarinya di dalam vaginaku, aku semakin sadar jika Pak Sitor telah lama merencanakan ini. Bisa jadi telah lama ia berobsesi untuk meniduriku karena sama sekali tak nampak keraguan dalam seluruh tindakannya mencabuliku. Berarti ia memang telah berencana melanggar amanat suamiku dan menguasaiku.
Di satu pihak aku memandangnya sebagai ular berkepala dua. Anehnya, di lain pihak, aku ikut merasa senang ia berhasil mewujudkan rencana rahasianya itu terhadapku! Sekarang aku menikmati sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya…
Pikiran yang memenuhi benakku pun terputus karena aku lalu mengalami orgasme untuk yang kedua kalinya oleh tangan Pak Sitor. Badanku telah basah oleh keringat. Aku benar-benar merasa lemas.
Pak Sitor lalu mengambil gelas dan menuangkan air putih dari sebotol air mineral yang ada di mejaku. Dibantunya aku untuk duduk dan minum. Dalam beberapa teguk, air dalam gelas itu kuhabiskan. Pak Sitor lalu menuangkan lagi air untuk diminumnya sendiri ke gelas yang sama. Aku duduk di tempat tidur sambil bersandar ke dinding memperhatikannya.
“Ibu masih mau minum lagi?” tanya Pak Sitor selesai menghabiskan air di gelas.
Karena masih haus, aku pun mengangguk. Pelan-pelan kuminum air dari gelas yang baru saja dipakai oleh Pak Sitor. Nikmat sekali rasanya. Sekarang giliran Pak Sitor yang memperhatikanku menghabiskan minumanku sambil tangannya mengelus-elus pundak dan leherku. Aku mulai merasa nyaman berada dalam dekapan lelaki itu.
“Sudah?” tanyanya saat kuulurkan gelas yang kosong kepadanya.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum malu karena Pak Sitor yang bugil itu menatap mataku dalam-dalam sambil mendekap tubuhku yang juga bugil. Lalu dilepaskannya dekapannya dari tubuhku untuk meletakkan gelas kosong kembali ke atas meja.
Saat kembali ke ranjang, Pak Sitor minta izin padaku untuk memasukkan penisnya ke lubang kehormatanku. Walaupun kami sudah sama-sama bugil dan aku pun telah dicabuli oleh Pak Sitor, aku masih merasa ragu.
Aku lalu menggeleng tidak setuju karena khawatir konsekuensinya. Liang kehormatanku akan tercemar oleh cairan laki-laki lain. Aku merasa telah terlalu jauh berkhianat pada suamiku. Bagiku cukuplah tindakannya tadi dan tidak usah diteruskan lagi hingga penetrasi.
Aku mengambil pakaianku yang berceceran dan bersiap mengenakannya kembali.
Dari luar, Pak Sitor tampak mau menerima perkataanku dan tidak meneruskan niatnya. Akan tetapi, aku bisa melihat ada rasa kecewa yang dalam di matanya. Ia tampak gelisah. Aku bisa bayangkan dirinya yang telah terobsesi untuk menyenggamaiku. Aku lihat penisnya sebetulnya telah siap memasuki diriku jika aku izinkan. Panjangnya melebihi milik suamiku dan agak bengkok dengan diameter yang melebar.
Akhirnya Pak Sitor minta aku untuk membantunya klimaks dengan mengulum penisnya. Satu kali saja, katanya, sebelum kami menyudahi permainan terlarang kami malam itu.
Aku ragu. Aku dan suamiku saja selama ini tak pernah saling melakukan oral sex. Suamiku tak pernah melakukannya kepadaku, demikian juga sebaliknya. Padahal kami selalu menjaga kebersihan wilayah sensitif kami. Sedangkan aroma penis Pak Sitor lebih bau. Kelihatannya sih tak terlalu bersih. Selain nampaknya Pak Sitor memang kurang menjaga kebersihan, tentunya itu juga karena penisnya yang tak disunat. Akhirnya, aku kembali menggeleng.
Walaupun aku menolaknya, Pak Sitor tak menyerah dan terus merengek memohon-mohon padaku. Ia merasa sangat tersiksa karena belum berhasil mengeluarkan hasrat birahinya yang terpendam.
Lama-kelamaan aku merasa kasihan juga. Tidak adil rasanya bagiku yang telah dibantunya sampai dua kali orgasme untuk membiarkannya seperti itu. Aku merasa diriku egois. Timbullah perasaan bersalah di dalam diriku.
Akhirnya aku pun menyerah. Bukankah tadi Pak Sitor juga telah membantuku masturbasi dengan tangan dan mulutnya? Jadi kupikir sekarang hitung-hitung balas budi.
“Ya sudahlah, Pak…. Sekali ini saja, ya..?” kataku pelan tanpa daya sambil memegang pahanya yang kasar.
Tampak sekali kegirangan terpancar di wajah Pak Sitor. Seperti seorang anak yang baru saja diberikan mainan oleh ibunya.
Kuletakkan kembali pakaianku yang baru saja kukumpulkan dan tadinya sudah siap kukenakan kembali.
Perlahan kutundukkan wajahku mendekati selangkangan Pak Sitor. Dengan sedikit jijik kubuka mulutku. Akhirnya, kuberanikan untuk mengulum batang penisnya namun tidak muat seluruhnya ke dalam rongga mulutku. Hanya sampai setengah batangnya, kepala penisnya sudah mentok sampai pangkal tenggorokanku. Mulutku pun serasa mau robek karena besarnya penis Pak Sitor.
Baru beberapa kali kulum aku serasa mual dan mau muntah oleh aroma kelamin Pak Sitor itu. Aku maklum saja karena ia kurang bersih. Penisnya yang tidak disunat, seperti kebiasaan laki-laki Batak, memang membuatnya agak kotor. Selain itu, kurasa itu juga disebabkan oleh makanannya yang tidak beraturan. Walaupun demikian, aku berusaha sekuat tenaga menyembunyikan perasaan jijikku. Aku tak ingin membuatnya tersinggung.
Sementara kepalaku menunduk dan mengulumi penisnya, mataku kerap melirik ke atas mengamati ekspresi Pak Sitor. Awalnya aku merasa tak percaya diri apakah dapat memuaskan Pak Sitor. Sementara aku bekerja, tangan Pak Sitor yang satu mengelus-elus pundak dan leherku. Tangannya yang satu lagi diletakkannya di kepalaku. Semakin lama kurasakan tangannya semakin erat memegangi kepalaku, seolah tak menghendaki kepalaku berpindah dari selangkangannya. Untuk sementara, aku jadi lega karena itu artinya Pak Sitor sejauh ini puas dengan pelayananku.
Satu menit, dua menit… lima menit berlalu…. Entah berapa lama lagi setelah itu aku mengulumi penis Pak Sitor sampai basah dan bersih oleh air liurku… Aku lalu menyerah dan melepaskan penis Pak Sitor dari mulutku.
Aku heran Pak Sitor ini sampai sekian lama kok tidak juga klimaks. Padahal akibat kulumanku, penisnya semakin lama semakin keras seperti sebatang kayu. Entahlah, mungkin aku juga yang belum pandai melakukan oral sex… Maklumlah, ini baru pertama kali kulakukan.
Akhirnya aku sadar bahwa stamina Pak Sitor yang luar biasa besarnya itu memang harus disalurkan dengan cara bersebadan… Mungkin karena belum berpengalaman, kulumanku sekedar mengeraskan penis Pak Sitor tapi tak mampu membuatnya orgasme.
Selain salut akan staminanya, aku juga salut atas sikapnya yang menghargai wanita dengan tidak memaksakan kehendak. Padahal dalam keadaan seperti ini, aku bisa saja dipaksanya untuk disetubuhi, yang mana hal itu tidak ia lakukan karena aku menolaknya.
Aku jadi semakin merasa bersalah. Karena itu timbul keinginanku untuk membantunya saat itu juga. Di dalam pikiranku berperang antara birahi dan moral. Akhirnya, kupikir sudah terlanjur basah. Di samping itu, aku tidak ingin menambah masalah antara aku dan Pak Sitor. Jika aku larang terus nantinya Pak Sitor bisa saja memperkosaku. Seorang laki-laki yang telah naik birahinya sampai di ubun-ubun sering bertindak nekad. Lagi pula aku sendirian.
Akhirnya, dengan pertimbangan demi kebaikan kami berdua, maka aku izinkan dia melakukan penetrasi ke dalam rahimku. Kupikir lebih baik hal itu kami lakukan atas dasar suka sama suka daripada aku nanti diperkosanya. Lagipula pikiran untuk disetubuhi lelaki lain untuk pertama kalinya mulai menggoda benakku. Ya, aku membulatkan tekadku untuk menerima Pak Sitor mengintimiku…
“Hmmm… Pak Sitor…. Begini deh… Kalau Bapak memang benar-benar mau mencampuri saya… Boleh, Pak….”
Pak Sitor pun tampaknya gembira sekali. Padahal tadi sempat kulihat wajahnya tegang sekali.
“Ibu benar-benar ikhlas…?” tanya Pak Sitor menatap dalam-dalam mataku dengan penuh birahi. Tangannya membelai rambutku. Aku membalas tatapannya sambil tersenyum, lalu mengangguk dengan pasti.
Pak Sitor mencium dan mengulum bibirku dalam-dalam… Seolah menyatakan rasa terima kasihnya atas kesediaanku. Aku merasa dihargai sebagai seorang wanita. Walaupun perilakunya keras namun ia tahu bagaimana caranya memperlakukan wanita. Kubalas ciumannya dengan tulus. Aku pun semakin mantap untuk menyerahkan diriku bulat-bulat kepadanya…
Setelah dilepaskannya pagutannya dari mulutku, kami pun berpandangan dan saling tersenyum seperti sepasang kekasih. Sepasang kekasih yang bersiap-siap untuk menunaikan malam pertamanya. Ada perasaan tegang dan senang yang melanda diriku saat menyerahkan diriku pada Pak Sitor.
“Sebentar ya, Pak… dikerasin lagi penisnya, biar gampang nanti masukinnya…” kataku sambil kembali menundukkan kepalaku ke arah selangkangan Pak Sitor.
Selama beberapa saat kukulumi kembali penis Pak Sitor. Tangan Pak Sitor membelai-belai rambutku saat aku bekerja. Tampak sekali kalau ia sangat menikmatinya. Setelah batang penisnya benar-benar keras, barulah kulepaskan mulutku…
Aku lalu berbaring dan membuka kedua pahaku, memberinya jalan memasuki rahimku. Tubuh kami berdua saat itu telah sama-sama berkeringat. Rambutku telah kusut. Dari temaram lampu dinding aku lihat Pak Sitor bersiap-siap mengarahkan penisnya. Posisinya pas di atas tubuhku. Tubuhnya yang telah basah oleh keringat hingga membuat badannya hitam berkilat. Tampaknya ia masih berusaha menahan untuk ejakulasi. Di luar, derasnya hujan seakan tidak mau kalah dengan gelombang nafsu kami berdua.
Pak Sitor dengan hati-hati menempelkan kepala penisnya. Ia tahu jika tergesa-gesa akan membuatku kesakitan sebab punyaku masih kecil dan belum pernah melahirkan.
Aku pun berusaha memperlebar kedua pahaku supaya mudah dimasuki kejantanan Pak Sitor. Aku melihat kejantanannya panjang dan agak bengkok jadi aku bersiap-siap agar aku jangan kesakitan.
“Pelan-pelan ya, Pak…” Aku sempat bilang kepadanya untuk jangan cepat-cepat.
“Jangan khawatir, Bu…” katanya sambil memegang lututku mengambil ancang-ancang.
Dengan bertahap, ia mulai memasukan penisnya. Aku memejamkan mata dan merasakan sentuhan pertama pertemuan kemaluan kami. Aku merasa seperti pengantin baru yang sedang diperawani. Hatiku dag dig dug. Untuk pertama kalinya aku dimasuki oleh laki-laki lain selain suamiku! Aku punya perasaan ini akan lebih sensasional daripada malam pertamaku bersama Bang Ikhsan…
Untuk melancarkan jalannya, kakiku ia angkat hingga melilit badannya, lalu langsung penisnya masuk ke rahimku dengan lambat. Aku terkejut dan merasakan ngilu di bibir rahimku.
“Auuch… ooh.. auuch…” Aku meracau kesakitan. Pak Sitor membungkam mulutku dengan mulutnya. Kedua tubuh bugil kami pun sepenuhnya bertemu dan menempel. Aku memeluk tubuh Pak Sitor yang kekar itu erat-erat.
Tidak lama kemudian seluruh penisnya masuk ke rahimku dan ia mulai melakukan gerak maju mundur. Aku merasakan tulangku bagai lolos, sama seperti yang kualami saat menjalani malam pertama dengan Bang Ikhsan dulu…. Bahkan sekarang lebih terasa…. Perasaan yang belakangan ini sudah tak pernah lagi kualami bersama suamiku. Kini aku bisa menikmatinya kembali bersama Pak Sitor!
Aku pun mulai merasakan kenikmatan. Cairan vaginaku mulai keluar banyak dan melumasi penis besar Pak Sitor yang terus keluar masuk liang kemaluanku. Mulut pak Sitor pun lepas dari mulutku karena aku tidak kesakitan lagi. Aku tersengal-sengal setelah selama beberapa waktu mulutku disumpalnya.
Mulutku yang telah bebas kini mulai mengeluarkan erangan-erangan karena menikmati genjotan lelaki itu. Aku merasa melambung dibawa Pak Sitor ke surga dunia. Karenanya aku benar-benar percaya dan menyerahkan diriku padanya. Tampak Pak Sitor sangat bahagia melihat penerimaanku itu.
Kekuatan laki-laki ini membuatku amat salut. Genjotannya sampai membuat ranjang dan badanku bergetar semua seperti kapal yang diserang badai. Aku sampai menikmati orgasme yang luar biasa karenanya. Seolah aku telah dilahirkan kembali dan diberikan kehidupan lain yang sama sekali berbeda…
Kurang lebih 15 menit kemudian gerakan Pak Sitor bertambah cepat. Tubuhnya menegang hebat. Aku merasakan basah di dalam rahimku oleh cairan hangat. Akhirnya kesampaian juga obsesi Pak Sitor terhadapku. Sekarang rahimku sudah menerima cairan spermanya yang panas dan membludak. Resmilah sudah aku menjadi miliknya….
Tubuhnya lalu rebah di atas tubuhku tanpa melepaskan penisnya dari dalam rahimku. Aku pun dari tadi telah sempat kembali orgasme. Butiran keringat kami membuat basah kain sprei yang telah kusut di sana-sini.
Beberapa waktu kemudian Pak Sitor menggulingkan badannya ke samping sambil menarikku sehingga kami berbaring berhadap-hadapan pada sisi tubuh kami masing-masing. Aku terkagum-kagum karena dalam posisi itu, penis Pak Sitor tetap berada dalam kepitan lubang kemaluanku. Satu hal yang tak pernah kudapatkan saat bersama Bang Ikhsan suamiku.
Ini bisa terjadi karena penis Pak Sitor panjang. Selain itu, juga kurasa karena ia begitu terangsang dengan diriku sehingga penisnya terus mengeras walaupun sudah memuncratkan air mani dalam jumlah banyak. Alasan yang terakhir ini tentu saja membuatku merasa sangat tersanjung dan merasa sangat berharga di hadapannya. Aku ternyata bisa membuat Pak Sitor terangsang dengan begitu hebatnya… Otomatis aku pun merasa sangat senang sudah bisa menyenangkan dan memuaskan nafsu seks Pak Sitor.
Kami lalu tertidur dengan alat kelamin kami masih bersatu, sementara di luar hujan masih saja turun.
Entah berapa lama kami tertidur. Mestinya tak terlalu lama tapi saat bangun aku merasa sangat segar. Aku terbangun karena gerakan-gerakan Pak Sitor yang rupanya telah bangun terlebih dahulu. Sambil mengumpulkan kembali memoriku yang beterbangan saat tertidur, aku mulai menyadari kembali keadaanku saat itu. Penis Pak Sitor ternyata masih mantap tertancap di kemaluanku, bahkan terasa keras sekali…
Sejenak akal sehatku kembali mampir. Gila! Aku telah bersetubuh dengan lelaki selain suamiku…! Sepanjang tidur tadi tubuhku telah dimasuki penis dan sperma Pak Sitor… Satu hal yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya! Di sisi lain aku pun sadar kalau semuanya sudah telanjur. Aku tak mungkin kembali lagi. Sudahlah, biarlah semuanya mengalir begitu saja… Nafsuku yang sudah dikendalikan Pak Sitor lalu kembali menguasai diriku.
Dalam keadaan belum seratus persen sadar, aku segera tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus bersiap-siap karena Pak Sitor akan menyetubuhiku lagi… Ya, kami sedang menjalani malam pertama kami… Pak Sitor pasti ingin kulayani lagi. Aku harus memastikan dia mendapatkan haknya atas diriku. Benar saja, tak lama Pak Sitor segera mengambil posisi di atas tubuhku. Genjotan kenikmatannya pun kembali dilancarkan terhadap diriku…
Saat itu tidak ada lagi batas di antara kami. Dalam hati, aku sebetulnya merasa telah berdosa kepada suamiku. Bagaimanapun, pikiran dan akal sehatku ternyata tetap tidak bisa menahan tubuh dan nafsuku yang telah dikuasai dan dikendalikan sepenuhnya oleh Pak Sitor.
Hingga tengah malam Pak Sitor kembali menggauliku sepuasnya. Aku pun tidak merasa sungkan lagi. Saat itu kami berdua telah mencapai titik paling intim dalam hubungan kami. Kami berdua sudah tidak merasa asing lagi satu sama lain. Aku mulai berpartisipasi secara aktif untuk saling memuaskan nafsu badani kami.
Dalam waktu singkat, aku pun sudah tidak merasa jijik lagi jika melakukan oral sex untuk Pak Sitor, seolah itu adalah salah satu menu biasa yang harus kutunaikan untuknya. Bahkan ketika ia mengutarakan niatnya untuk orgasme di dalam mulutku, aku serta merta menyanggupinya dengan sukarela. Malam itu untuk pertama kalinya aku mencicipi rasa air mani seorang lelaki dan menyantapnya dengan lahap…!
***
Sejak kejadian malam itu, hidupku berubah. Bagi seorang wanita seperti aku, sangat sulit rasanya untuk melepaskan diri dari situasi ini. Yang jelas, penyesalan sudah tak ada gunanya. Dari luar, orang-orang memandangku sebagai seorang istri yang berwibawa dan menjaga kehormatan. Akan tetapi semua itu jadi tak ada artinya di hadapan Pak Sitor. Ia telah berhasil menemukan celah yang tepat untuk menguasaiku. Ia telah berhasil menggauliku. Menjadikan diriku pemuas nafsu badaninya. Kehormatan dan perkawinan yang aku junjung pun luntur sudah. Apa lagi yang bisa kuperbuat…
Pak Sitor kini telah merasa jadi pemenang dengan kemampuannya menaklukkanku hingga aku tidak berdaya. Aku semakin tidak berdaya jika ia telah berada di dalam kamarku, untuk bersebadan dengannya. Kapan pun ia datang menagih jatahnya, pasti aku penuhi. Hanya jika aku sedang haid, aku bisa menolaknya.
Di hadapannya, posisiku tak lebih sebagai gundiknya. Hebatnya, ia bisa membuatku menikmati peranku sebagai pemuas nafsunya. Di sisi lain, aku pun sangat berterima kasih padanya karena semua itu tetap hanya jadi rahasia kami berdua. Di luar tembok rumahku dan rumahnya, kami kembali menjalani peran masing-masing di masyarakat.
Aku benar-benar terlena dan terbuai oleh gelombang gairah yang dipancarkan Pak Sitor. Aku heran karena Pak Sitor yang seusia dengan ayahku ini masih mampu mengalahkanku di ranjang dan membuatku orgasme berkali-kali. Tidak seperti suamiku yang hanya bisa membuatku orgasme sekali saja.
Kuakui aku jadi mendapat pengalaman baru yang memupuskan pendapatku selama ini bahwa laki-laki paro baya akan hilang keperkasaannya.
Suatu saat, sehabis kami berhubungan badan, aku bertanya padanya bagaimana ia bisa sekuat itu di usianya yang sudah tak muda lagi.
Pak Sitor bercerita bahwa ia sangat suka mengkonsumsi makanan khas Batak, nanigota, yang berupa sup daging dan darah anjing. Makanan itu diyakininya dapat menjaga dan menambah vitalitas pria.
Aku bergidik jijik dan mau muntah mendengarnya. Aku jadi ingat, pantas saja saat bersebadan dengannya bau keringatnya lain. Juga saat aku mengulum kemaluannya terasa panas dan amis. Rupanya selama ini Pak Sitor sering memakan makanan yang di agamaku diharamkan.
Pernah suatu kali aku kurang enak badan padahal Pak Sitor ngotot ingin mengajakku untuk bersetubuh. Aku pun dibelikannya makanan berupa sate. Saat aku santap, rasanya sedikit aneh. Setelah makan beberapa tusuk, aku merasakan tubuhku panas dan badanku seakan fit kembali. Setelah sate itu aku habiskan, kami pun melakukan persetubuhan dengan amat panas dan bergairah hingga aku mengalami orgasme sampai tiga kali. Tubuhku seakan segar bugar kembali dan enak sekali.
Setelah persetubuhan, Pak Sitor bilang bahwa yang aku makan tadi adalah sate daging anjing. Aku marah dan ingin memuntahkannya karena jijik dan kotor. Hanya karena pandainya ia memberiku pengertian, ditambah sedikit rayuan, aku jadi bisa menerimanya. Tetap saja kemudian aku memintanya untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Aku tak ingin memakannya lagi walaupun terus terang, aku pun mau tak mau harus mengakui khasiatnya… Ia berjanji untuk tidak mengulanginya lagi tanpa seizinku.
***
Selama aku bertugas di pulau itu hampir satu tahun, kami telah sering melakukan hubungan seks dengan sangat rapi. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Untungnya pula, akibat perbuatan kami ini aku tidak sampai hamil. Aku memang disiplin ber-KB supaya Pak Sitor bebas menumpahkan spermanya di rahimku.
Kapanpun dan di manapun, kami sering melakukannya. Kadang di rumahku, kadang di rumah Pak Sitor. Kadang kalau kupikir, alangkah bodohnya aku mau saja digauli di atas dipan kayu yang cuma beralaskan tikar usang. Kenyataannya, semua itu tak kupedulikan lagi. Yang penting bagiku hasratku terpenuhi dan Pak Sitor pun bisa memberinya.
Pernah suatu hari setelah kami bersebadan di rumahnya, Pak Sitor melamarku! Ia minta kepadaku untuk mau menikah dan hidup dengannya di pulau itu. Lamaran Pak Sitor ini tentu mengejutkanku. Rupanya Pak Sitor mulai mencintaiku sejak ia dengan bebas dapat menggauliku.
Memang selama hampir setahun terakhir ini kami berdua sudah menjalani hidup nyaris seperti sepasang suami istri namun tetap saja rasanya itu tidak mungkin sebab aku masih terikat perkawinan dengan suamiku dan aku pun tidak ingin menghancurkannya.
Lagi pula Pak Sitor seusia dengan ayahku. Apa jadinya jika ayahku tahu.
Di samping itu, keyakinan kami pun berbeda karena Pak Sitor seorang Protestan. Bagiku ini juga satu masalah. Memang, sejak berhubungan intim dengannya, aku tak lagi menjalankan agamaku dengan taat. Aku tak pernah sembahyang jika bersama Pak Sitor. Kebiasaan Pak Sitor menyantap daging anjing dan babi, juga menenggak tuak, sedikit demi sedikit mulai kuikuti.
Sekarang aku telah mahir pula memasakkan nanigota ataupun masakan lainnya yang sejenis untuk Pak Sitor. Ia sering memuji kalau masakanku jauh lebih enak daripada masakan di lapo di daerah kami. Beberapa kali ia bahkan mengundang kawan-kawannya dari luar pulau untuk dijamu dengan masakan khas Batak buatanku. Satu hal yang membuatku merasa bangga tentunya.
Kadang aku ikut pula menikmati makanan seperti itu. Sekedar menemaninya dan sebagai wujud toleransiku padanya. Lagipula, khasiat itu semua terhadap gairah seks kami telah terbukti… Entah sugesti atau bukan, yang jelas setiap kali aku ikut mencicipi masakan itu, akan langsung diikuti oleh persetubuhan yang hebat antara aku dan Pak Sitor semalam suntuk… Pak Sitor pun mengetahui hal itu. Karena itulah Pak Sitor selalu berusaha mati-matian membujukku untuk bersamanya menikmati hidangan itu setiap kali kami akan berhubungan badan.
Apapun, perbedaan agama itu tetap saja terasa menjadi ganjalan. Apalagi Pak Sitor bersikukuh untuk tidak meninggalkan keyakinannya. Ia mempersilakanku untuk tetap pada keyakinanku saat ini atau mengikuti keyakinannya jika aku mau hidup bersamanya. Buatnya itu tak jadi masalah.
Suatu saat, sepulangnya aku dari kerja, Pak Sitor ”menembakku”. Saat itu aku baru saja diantarnya pulang ke rumah dan aku sedang berganti pakaian di hadapannya. Di situ ia menyatakan cintanya padaku dan menanyakan apakah aku mencintainya juga. Tentu saja aku agak gelagapan memberinya jawaban. Aku berusaha menjawabnya sebijaksana mungkin.
Masih dalam keadaan setengah bugil, aku menghentikan aktifitasku. Kuraih tangannya dan kuajaknya duduk berdampingan di sisi tempat tidurku.
“Pak Sitor, aku pun mencintai Bapak dan yang jelas aku pun sangat menyukai nafkah batin yang Pak Sitor berikan padaku selama di sini,” kataku pelan-pelan sambil menatap matanya dalam-dalam untuk menyatakan ketulusan ucapanku.
“Tapi kuharap Pak Sitor juga paham kalau di lain pihak aku masih terikat pernikahan dengan Bang Ikhsan yang kunikahi atas dasar cinta pula…” lanjutku.
Suasana jadi hening sejenak. Kurasakan genggaman tangannya agak menguat meremas-remas tanganku yang halus.
“Yaah… seandainya saja, kita bertemu waktu Bu Reni masih gadis,” keluh Pak Sitor. “Mungkin…”
“Mungkin apa, Pak?”
“Mungkin sekarang kita sudah menikah… bukan sekedar kawin…” katanya sambil mengelus pundakku yang telanjang.
Mukaku jadi memerah karena tersipu.
“Pak Sitor….” kataku pelan sambil merebahkan kepalaku di pundaknya.
“Bu Reni,” kata Pak Sitor lagi sambil menegakkan kepalaku perlahan menatap kedua matanya.
“Ya, Pak..?”
“Bu Reni lebih mencintai yang mana…. Aku atau suami Ibu…?”
Mukaku yang putih bersih pun kembali memerah karena tersipu. Kali ini kurasa benar-benar seperti udang rebus.
“Aaaa…aah, Pak Sitoor…. Pertanyaannya kok susah-susah sih…?” jawabku manja sambil mencubit tangannya.
Pak Sitor jadi gemas melihat reaksiku yang mesra dan manja. Apalagi aku sudah dalam keadaan nyaris bugil. Kurasa nafsunya sudah naik sampai ke ubun-ubun. Ia pun segera membantuku melolosi sisa pakaian yang tersisa ditubuhku sebelum ia mencopoti pakaiannya sendiri.
Asyiik… aku akan disetubuhi lagi, pikirku girang. Tentu saja aku senang. Aku tak pernah tidak senang dalam melayani Pak Sitor. Di samping itu, kini dengan melayaninya di ranjang, aku jadi tak perlu menjawab pertanyaan terakhirnya yang susah tadi.
Pak Sitor pernah menanyakan padaku kenapa aku tidak hamil padahal setiap ia menyebadaniku spermanya selalu ia tumpahkan di dalam. Diutarakannya keinginannya yang kuat untuk mendapatkan anak dari rahimku. Aku jadi terharu karena itu membuktikan betapa besarnya cintanya padaku. Sebagai seorang istri yang sah dari suamiku, tentu saja aku jadi mengalami dilema.
Aku tidak memberitahunya jika aku ber-KB karena tidak ingin mengecewakannya. Jelas ia sebenarnya menginginkan aku hamil agar memuluskan langkahnya untuk memilikiku. Bahkan ia berusaha meyakinkanku untuk melihat siapa yang akan lebih dulu berhasil menghamiliku, dirinya atau suamiku. Seandainya ia yang berhasil pertama kali, Pak Sitor berkeras untuk menikahiku. Minimal secara adat. Tak peduli apakah aku harus bercerai dulu dengan Bang Ikhsan atau tidak. Satu permintaan yang wajar sebetulnya. Untuk menyenangkan dirinya, aku pun menyanggupinya.
Bukan main girangnya Pak Sitor mendengar kesanggupanku itu. Sejak itu, ia pun berusaha sekuat tenaga untuk membuatku hamil. Dengan rajinnya aku sering dibawakannya ramuan khas Batak untuk meningkatkan kesuburan. Entah terbuat dari apa saja, aku tak tahu. Untuk menyenangkan dirinya, dengan patuh semuanya selalu kuminum. Bagaimanapun, aku tetap lebih percaya dengan khasiat pil KB yang kuminum diam-diam secara teratur.
Ia bahkan sampai hafal kapan saat-saat suburku. Jika saat itu datang, ia telah memesan padaku bahwa itu adalah jatahnya. Sampai saat ini aku masih bisa mengabulkannya, dengan catatan jika nanti Bang Ikhsan telah pulang dan ia menagih jatahnya padaku tepat pada masa suburku, aku harus mendahulukannya. Pak Sitor cukup fair untuk menerima perjanjian itu.
Akan tetapi bukan Pak Sitor namanya kalau tidak lihai dan cerdik.
“Suami Ibu kan biasanya minta jatah malam hari,” katanya.
“Nah, berarti kalau siangnya jatahku, kan…?” tanyanya tersenyum nakal. Aku pun tak bisa berkutik menanggapi permintaannya.
Itulah sebabnya, saat tiba masa suburku, aku membiasakan diri minta izin untuk tak masuk kantor dengan berbagai alasan. Tujuan sebenarnya tentu saja untuk memenuhi keinginan Pak Sitor yang ingin menyetubuhiku seharian.
Bagaimanapun, aku tetap harus menyiasati agar ia tidak bermimpi untuk menikahiku. Kurasa hubungan ini hanya sebagai pelarianku dari kesepian selama jauh dari suamiku. Aku tak ingin sampai terjerumus lebih jauh lagi, walaupun selama ini apapun yang diminta Pak Sitor dari diriku sebisa mungkin selalu aku sanggupi.
Kuakui, sedikit banyak hubungan emosional antara diriku dengan Pak Sitor tetap ada. Ada keinginan yang tulus dari diriku untuk menyenangkannya dan melihatnya bahagia. Tentu saja selama aku tidak sampai mengorbankan jatah suamiku. Toh, aku pun secara tak langsung mendapat manfaatnya jika aku bisa menyenangkan dan memuaskan Pak Sitor. Aku jadi memiliki pelindung setia selama tinggal di pulau yang terpencil dan keras ini. Jadi keamananku terjamin, sesuai dengan yang diamanatkan suamiku kepada Pak Sitor. Tapi tentu saja tak boleh lebih jauh dari itu.
Jadi aku menjelaskannya pada Pak Sitor dengan lembut dan baik-baik suatu saat seusai kami berhubungan badan.
Aku bilang jika kelak aku pindah kerja, ia harus rela hubungan ini putus. Selama aku dinas di pulau ini dan suamiku tidak ada, ia kuberi kebebasan untuk memilikiku dan menggauliku. Syaratnya, asal jangan berbuat macam-macam di depan teman-teman kantorku yang kebetulan hampir semuanya penduduk asli pulau ini.
Akhirnya ia mau mengerti dan menerima alasanku. Ia berjanji akan menutup rapat rahasia kami jika aku pindah. Ia pun menerima segala persyaratanku karena rasa cintanya padaku.
Demikianlah, selama aku tugas di pulau ini, Pak Sitor terus memberiku kenikmatan ragawi tanpa ada batas sama sekali di antara kami. Walaupun demikian, aku tetap berusaha memegang prinsip bahwa cintaku hanya untuk suamiku. Kalau diibaratkan perjalanan, Pak Sitor adalah satu stasiun persinggahan yang harus aku singgahi.
Dalam hatiku, aku berjanji untuk menutup rapat rahasia ini karena tetap masih ada setitik penyesalan dalam diriku. Kadang aku mengganggap diriku kotor karena telah merusak kesucian pernikahan kami… Tapi sudahlah, mungkin ini memang tahapan kehidupan yang harus aku lewati…
TAMAT
Selamat Datang Aris Dan Paman Arjo! - bag. V [selesai]
Bang Samsul keranjingan membobol duburku. Nyaris setiap hari setelah Mbak Laras pergi, ia mengentotiku. Satu hari ia minta aku mengemut kontolnya seharian. Aku memenuhi keinginannya dengan senang juga akhirnya. Aku tinggalkan kontol yang terus ngaceng itu jika ada pembeli. Di hari lain ia akan menggenjot anusku sampai ia muncrat dua atau tiga kali. Padahal aku sudah kepayahan melayani nafsunya.
Hari yang membahagiakan adalah ketika Iwan, Jaka, dan Harun turut berpartisipasi. Kadang mereka datang bersama-sama. Kadang hanya berdua. Bahkan tak jarang hanya sendirian. Jaka yang paling sering kelihatannya sangat bernafsu menyetubuhiku. Aku pun merasa lebih nikmat bila mengemut atau dientot oleh kontol Jaka daripada dua temannya itu.
Aris sendiri sampai sekarang sudah tidak pernah kudengar suaranya. Kami tak lagi berkomunikasi. Ia sudah lupa janjinya barangkali. Aku sendiri sudah ada Bang Samsul, Jaka, Iwan, dan Harun yang siap menyumbat lubang mulut dan duburku dengan ketangguhan kontol mereka.
Pagi itu di hari Minggu ...
“Ro! Nanti Aris mau datang ke rumah ... kamu jangan pergi ke mana-mana!” Hah! Kami bisa bertemu lagi. Kupikir ia benar-benar melupakanku ...
Aris datang. Ia memelukku erat sekali. Aku pun sebenarnya tak ingin melepaskan dekapannya. Aku merindukannya! Setelah melepaskan diri dari dekapanku ia mencium tangan Mbak Laras takzim. Bang Samsul terlihat dingin menerima jabat tangannya. Cemburu?
Kami izin keluar rumah. Mbak Laras memaklumi kekangenan kami. Ia memberiku libur dari menjaga warung Minggu itu seharian. Kulihat Bang Samsul sekilas. Ia memandangi kami penuh curiga. Biarlah ... Aris lebih berhak atas diriku daripada pria Betawi berkontol besar itu.
Aris mengajakku ke tempat kosnya. Sepetak kamar sangat sederhana. Ia sekamar dengan teman kerjanya, Wisnu. Namun, hari itu Wisnu pulang ke rumah orang tuanya di bilangan Ciledug. Kami hanya berdua.
“Aku kangen banget sama kamu, Ro!” bisik Aris sambil menyelipkan tangannya yang kian kekar ke balik kemejaku. Kubalas bisikannya dengan merogoh celananya di bagian depan. Oh, my God! Kontol itu semakin besar saja!
“Buat kamu ...” ujar Aris menjawab kekagumanku. Aku mencumbui kontol itu penuh hasrat. Jauh lebih membara perasaan ini kepada Aris daripada kepada Bang Samsul. Yah, tentu saja! Dengan Aris aku merasakan kasih sayang dan kelembutan serta kekaguman. Ia pria yang mandiri dan penuh tanggung jawab. Bang Samsul? Tahu sendiri lah! ...
Pergumulan terus berlangsung. Hingga tengah hari Aris memintaku mengisap kontolnya. Dua kali ia keluar. Banyak sekali pejunya. Selama berjauhan denganku ia tidak berhubungan dengan siap pun. Ia juga tidak suka bermasturbasi. Kuat sekali. Setelah tengah hari ia mengentoti pantatku. Cukup lama kami sama-sama bertahan. Ia menunggu yang ketiga sedangkan aku yang pertama.
“Kamu tidak keluar, Ro? Biasanya baru dimasuki kamu sudah muncrat!” tanyanya heran.
“Aku tiap hari onani, Ris! Kamu jauh, sih ...” dustaku. Aris percaya. Sebelum kami berhomoan, ia sering memergokiku sedang melancap. Kadang ia menasehati tapi sering pula pura-pura tidak melihat.
Menjelang sore kami berhenti. Kami keluar bersamaan. Tidak ada pengaturan. Hati kami memang sudah terpaut.
“Sebenarnya aku ingin kamu tinggal dengan aku, Ro ...” ucapnya lirih sebelum mengantarku pulang.
“Yah, aku juga inginnya begitu, Ris! Namun, kasihan Mbak Laras ...” Aku ceritakan segala keburukan sifat dan sikap Bang Samsul kepada Aris. Namun, perselingkuhan kami sengaja kusembunyikan. Aris pun nampaknya tidak curiga. Ia bahkan memberiku seamplop uang.
“Buat daftar UMPTN (sekarang SPMB -Pen-)!” senyumnya penuh perhatian. Ia tahu kalau aku sangat ingin kuliah. Aku menangis. Betapa jahatnya aku yang telah mengkhianatinya.
Sepulangnya Aris, Bang Samsul sengaja mengajak aku pergi memancing. Mbak Laras pun tidak curiga. Ia benar-benar ingin memberiku libur sehari ini.
“Aris sudah sering ngentotin elo, kan?!” desis Bang Samsul di perjalanan. Kami tidak pergi memancing!
“Sejak dulu dia sekamar denganku, Bang ...” ujarku membela diri. Ia tidak puas dengan jawabanku. Ia mengajakku menuju persawahan di pinggir kampung dekat rumahku.
“Tadi seharian elo dientotin lagi, kan?” tanyanya lagi sambil meremas buah pantatku. Aku tak ingin berterus terang tetapi aku takut dengan Bang Samsul. Aku hanya menangis. Ia terus membawaku ke tengah sawah melewati pematang.
“Gue sange seharian, elo tahu?!” gugatnya padaku lagi. Ia berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah.
“Kan, ada Mbak Laras ...” ucapku pelan. Aku hendak duduk di sampingnya. Bang Samsul mengangkat tubuh dan memangkuku.
“Gue sudah lama nggak main sama dia. Dia sudah garing. Ngewe sama dia seperti ngewein bangkai!” cacinya penuh kekesalan. Ia membuka dan melepaskan celanaku. Aku menengok ke sekitar. Takut terlihat orang.
“Gue lebih demen sama bo’ol elo! Nggak ngentotin elo sehari bisa bikin gue puyeng ...” desis Bang Samsul. Kontolnya sudah masuk ke duburku. Akh, bekas Aris tadi memudahkannya membobol anusku. Ris! Maafkan aku ...
Dengan posisi berdiri Bang Samsul menusuk-nusukkan kontolnya ke pantatku. Aku digendongnya. Bang Samsul kuat sekali. Entah mengapa dengan posisi ini aku puas sekali. Apakah Bang Samsul ingin menunjukkan bahwa permainannya lebih dahsyat dibandingkan Aris?
Sepertinya ya! Kali ini ia benar-benar memberikan seluruh kejantanan dan keromantisannya padaku. Biasanya dia lebih suka dipuasi. Bahkan, kadang ia tidak peduli apakah aku menikmatinya atau tidak.
Bulan mulai kelihatan.
Bang Samsul terus menggojlok pantatku. Dua kali aku dibuatnya keluar. Ia sendiri tidak memuntahkan pejunya. Aku memintanya segera menyudahi. Gila! Seharian ini aku sudah tiga kali keluar dengan dua lelaki yang berbeda.
Aku kepayahan ...
“Gue selesaikan tetapi elo janji nggak akan main dengan lelaki lain tanpa seizin gue!” Bang Aris berbisik di depan wajahku. Tidak ada ancaman. Bahkan, yang kudengar ada nuansa permohonan di suaranya. Benarkah?
“Ya, bang ...” janjiku. Ia menciumi wajahku dengan lembut. Kontolnya terus melesak dalam ke duburku. Tangan kanannya menopang tubuhku yang bertengger di depan perutnya. Tangan kirinya memainkan kontolku yang kecil hingga mencapai ereksi 100%!
Multirangsangan yang diberikan Bang Samsul kepadaku membuatku tak mampu lagi menahan ejakulasiku. Aku mengerang. Bang Samsul pun sama.
AAAARRRGGGGHHHH ...
Bulan terus menyaksikan.
Malam itu Bang Samsul mencoba memberikan hatinya padaku. Ia pun berharap aku mau memberikan hatiku padanya. Aku belum bisa. Aku senang Bang Samsul berubah. Namun, separuh hatiku ada di Aris. Separuhnya lagi ... Fizkar, aku masih sering bermimpi tentang kamu!
Peristiwa memilukan itu harus terjadi...
Bang Samsul ditemukan mati di pagi hari setelah semalam sebelumnya ia begadang.
Mbak Laras terlihat sangat terpukul. Aku tidak begitu tahu seperti apa perasaannya pada Bang Samsul. Ia pasti sangat mencintai Bang Samsul pada mulanya. Bang Samsul pria yang gagah dan tampan. Kemalasannya pun tetap tidak menggoyahkan Mbak Laras untuk berpaling kepada pria lain. Ia relakan dirinya diperbudak suaminya. Bahkan, tanpa sepengetahuannya suaminya itu telah menyelingkuhi adiknya. Aku.
Aku pun sangat terpukul. Bagaimanapun juga Bang Samsul mulai berubah. Ia mulai menyayangiku. Memuaskan kebutuhan birahiku terhadap laki-laki jantan berkontol besar. Ia pun terkadang sesekali membantuku di warung. Ia tidak pernah lagi menyuruh aku mengerjakan hal-hal sepele untuk kebutuhan hariannya. Yang ia inginkan dariku hanya setia padanya. Ia tidak ingin aku dientoti laki-laki lain lagi. Termasuk Jaka, Iwan, dan Harun.
Setengah tahun kemudian...
Mbak Laras dinikahi oleh seorang duda beranak dua. Kelihatannya lelaki ini cukup baik. Aku berharap Mbak Laras jauh lebih berbahagia dengan suami barunya.
Sesuai kesepakatan rumah peninggalan orang tuaku dijual. Uang hasil penjualan ditambah harta lainnya dibagikan kepada kami bertiga. Sesuai aturan agama aku mendapat bagian separo dari keseluruhan harta warisan. Mbak Maya dan Mbak Laras masing-masing seperempat bagian.
Akhirnya Mbak Laras ikut suaminya. Aku yang sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta memutuskan untuk mencari kos sendiri. Aku pilih tempat kos di dekat kampus dan yang tergolong murah meskipun keadaannya sangat sederhana.
Mengetahui hal ini Aris menawarkan diri untuk tinggal bersama. Aku berusaha untuk tidak merepotkannya. Namun, ia bersikeras bahwa ia pun sebenarnya sangat ingin berdua denganku. Ia rela tinggal agak jauh dari tempatnya bekerja.
Kami pun tinggal bersama...
Setengah tahun terlewat...
Satu tahun kemudian...
Genap dua tahun kami bersama.
“Ro! Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu...” suatu malam Aris berbisik padaku. Nada suaranya sangat serius. Aku berusaha menyimaknya sebaik mungkin.
“Masalah apa, Ris?” tanyaku. Aris menggenggam jemari tanganku. Meremas lembut.
“Aku akan menikah...” Aris tersendat. Aku tetap terkejut meskipun saat seperti ini sudah kuduga akan terjadi.
“Dengan siapa?” Aku mencoba rileks menanggapinya.
“Dengan perempuan...” Aku tertawa perih. Keluguan Aris dalam menjawab tak mampu mengalahkan sedihku.
“Kapan?” tanyaku lagi.
“Tiga bulan lagi...”
Malam merambat pelan.
Tiga bulan kami lalui tanpa ada lagi sentuhan seksual. Aris yang meminta. Aku berusaha berbesar hati. Aris memang bukan untukku. Laki-laki bukan untuk laki-laki. Laki-laki hanya untuk perempuan.
Aris pun menikah...
Saat pernikahan itu aku bertemu dengan Paman Arjo. Kami tidak banyak berbicara. Paman Arjo beserta istrinya harus mendampingi Aris selama bersanding di pelaminan. Aku sendiri tidak berani berlama-lama di tempat itu. Air mata ini seolah-olah sudah tak mampu kutahan. Aku pulang tanpa sepengetahuan Aris dan Paman Arjo.
Sejak itu komunikasi antara aku dengan Aris terhenti.
Kembali hari-hariku berjalan penuh kegontaian. Indeks prestasiku yang biasanya di atas tiga turun drastis. Di semester lima indeks prestasiku cuma 2,23. Nilai terburuk sepanjang perkuliahanku.
Untungnya aku tersadar. Sudah tak ada lagi yang mampu menolongku kalau bukan diriku sendiri. Aku mencoba bangkit. Kualihkan semua kesedihanku dengan belajar segiat mungkin. Nilai-nilaiku kembali menanjak. Usai tahun kelima aku diwisuda.
Allah Mahabaik! Dengan segala keterbatasan dan kekuranganku, seorang teman menawariku untuk mengajukan diri di sebuah perusahaan tempat pamannya bekerja. Aku diterima.
Kehidupan perekonomianku semakin membaik. Adapun kehidupan homoseksualku hanya berlangsung seperti tisu. Sekali pakai buang. Tidak ada satu orang pun yang membuat aku bertahan untuk setia. Kalaupun ada, orientasi mereka hanyalah uang. Bagiku, cinta yang dilandasi dengan tawar menawar harga tak akan tulus. Aku ingin yang seperti Aris atau Fizkar ....
Aris. Aku harus melupakannya. Ia sudah milik orang lain. Perempuan lebih berhak atasnya.
Fizkar. Aku masih berharap jumpa dengannya. Asa untuk kembali bersama masih menyeruak.
Masanya pun tiba ...
Di sebuah pasar loak di bilangan Jakarta Timur.
“Fizkar!” pekikku kegirangan. Namun, kuupayakan ekspresiku untuk tidak terlalu ngondek.
“Eh ... Toro ...” ada kegugupan di bibir itu. Ada ketidaksiapan di nada suaranya. Ada ketidaksukaan di mata Fizkar.
Pertemuan tak terduga itu diawali dengan pertanyaan basa-basi. Jelas sekali, tembok tebal itu terpancang kokoh di antara kami. Aku dengan Fizkar.
Kami putuskan untuk berbicara dengan lebih nyaman. Fizkar membereskan barang dagangannya yang digelar. Kami menuju sebuah rumah makan terdekat.
“Aku sudah menikah, Ro!” suara Fizkar terdengar tajam. Tersirat padaku untuk tidak lagi masuk dalam kehidupannya. Matanya yang semakin dingin tak lagi mau menatapku. Fizkar berubah.
Saat di penjara ia pun terasing. Ia tidak mau bergabung di kelompok manapun. Ia pun tak mau melakukan hubungan homoseks yang lumrah terjadi di sel. Awalnya ia membenci perbuatan itu karena ketidaksetiaanku padanya. Ia benci homo. Namun, seorang petugas di penjara meluruskan pemahamannya. Homoseksual memang terlarang oleh agama. Fizkar yang bertubi-tubi didera kemalangan takut terhadap Tuhannya. Ia mulai rajin beribadah.
Setelah bebas dari penjara ia dinikahkan dengan anak petugas tersebut. Fizkar menerimanya dengan ikhlas. Ia mulai menjalani kehidupan baru. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia dan isterinya berdagang. Istrinya menjual makanan di rumah. Fizkar menjual buku-buku keagamaan di pasar itu.
“Aku harap pertemuan ini adalah yang terakhir, Ro!” tandasnya di akhir cerita.
“Aku tidak akan mengganggu rumah tanggamu, Fiz! Kita masih bisa berteman, kan?!” janjiku sambil berharap. Ia menggeleng. Wajahnya mengeras.
“Kisah gelap kita harus diakhiri, Ro! Terlalu mahal cahaya yang telah kudapatkan...” Fizkar menerawang. Aku iri melihatnya.
“Tak inginkah kamu membawaku juga ke cahaya itu?” tanyaku memohon. Lagi ia menggeleng. Aku kecewa.
“Kamu harus mencari orang lain untuk mengangkatmu dari kegelapan itu. Bukan Aku!” tegasnya.
“Mengapa?” tanyaku.
“Setan pasti akan selalu menggoda kita untuk kembali mengulang kenikmatan berlumur dosa itu...” kulihat mata Fizkar berair. Penyesalan yang dalam.
“Kamu marah padaku karena tidak membelamu saat itu?” tanyaku meminta kejelasan.
“Awalnya ya! Namun, perlahan aku menyadari keadaan dan posisimu. Aku yakin kamu masih berada di pihakku. Kita sama-sama terbuang, Ro! Carilah orang lain untuk membawamu ke cahaya itu!” kali ini Fizkar menatapku. Tatapannya sangat teduh. Ada yang menarik benang di dalam hatiku.
“Bagaimana kalau orang itu tidak kutemukan?” tanyaku pesimis.
“Masih ada Allah! Kembali pada-Nya, Ro! Allah yang menciptakan kita. Allah yang menggariskan jalan hidup kita. Pasrah. Ikhlaskan semua. Segala yang terjadi pada hidup kita adalah yang terbaik dari-Nya. Allah mencintai kita. Ujian-Nya yang sangat besar kepada kita merupakan kebesaran cinta-Nya pada kita. Tempuh, Ro! Jangan kalah! Tiga puluh tahun kamu didera perasaan menyimpang itu. Kini kamu masih berdiri. Kamu gagah, Ro! Kamu tidak lagi bergantung pada orang lain!” Fizkar tersenyum tulus.
Aku tersadar. Banyak nikmat yang telah kuperoleh. Kesendirianku membuatku terbiasa mandiri. Aku bekerja. Secara materi aku tidak kekurangan. Padahal, banyak orang yang katanya normal harus tersisih dari persaingan hidup. Ya! Aku kuat!
Kamipun berpisah. Tidak saling tukar alamat. Tidak saling tukar nomor telepon. Fizkar tidak menginginkan itu semua.
Kesempatan berikutnya berkali-kali aku ke pasar itu. Tujuanku tak lain untuk menemui Fizkar. Namun, semua tanpa hasil. Fizkar seolah ditelan bumi.
Aku berhenti.
Aku harus mencari cahaya itu.
Sendiri.
(TAMAT)
Hari yang membahagiakan adalah ketika Iwan, Jaka, dan Harun turut berpartisipasi. Kadang mereka datang bersama-sama. Kadang hanya berdua. Bahkan tak jarang hanya sendirian. Jaka yang paling sering kelihatannya sangat bernafsu menyetubuhiku. Aku pun merasa lebih nikmat bila mengemut atau dientot oleh kontol Jaka daripada dua temannya itu.
Aris sendiri sampai sekarang sudah tidak pernah kudengar suaranya. Kami tak lagi berkomunikasi. Ia sudah lupa janjinya barangkali. Aku sendiri sudah ada Bang Samsul, Jaka, Iwan, dan Harun yang siap menyumbat lubang mulut dan duburku dengan ketangguhan kontol mereka.
Pagi itu di hari Minggu ...
“Ro! Nanti Aris mau datang ke rumah ... kamu jangan pergi ke mana-mana!” Hah! Kami bisa bertemu lagi. Kupikir ia benar-benar melupakanku ...
Aris datang. Ia memelukku erat sekali. Aku pun sebenarnya tak ingin melepaskan dekapannya. Aku merindukannya! Setelah melepaskan diri dari dekapanku ia mencium tangan Mbak Laras takzim. Bang Samsul terlihat dingin menerima jabat tangannya. Cemburu?
Kami izin keluar rumah. Mbak Laras memaklumi kekangenan kami. Ia memberiku libur dari menjaga warung Minggu itu seharian. Kulihat Bang Samsul sekilas. Ia memandangi kami penuh curiga. Biarlah ... Aris lebih berhak atas diriku daripada pria Betawi berkontol besar itu.
Aris mengajakku ke tempat kosnya. Sepetak kamar sangat sederhana. Ia sekamar dengan teman kerjanya, Wisnu. Namun, hari itu Wisnu pulang ke rumah orang tuanya di bilangan Ciledug. Kami hanya berdua.
“Aku kangen banget sama kamu, Ro!” bisik Aris sambil menyelipkan tangannya yang kian kekar ke balik kemejaku. Kubalas bisikannya dengan merogoh celananya di bagian depan. Oh, my God! Kontol itu semakin besar saja!
“Buat kamu ...” ujar Aris menjawab kekagumanku. Aku mencumbui kontol itu penuh hasrat. Jauh lebih membara perasaan ini kepada Aris daripada kepada Bang Samsul. Yah, tentu saja! Dengan Aris aku merasakan kasih sayang dan kelembutan serta kekaguman. Ia pria yang mandiri dan penuh tanggung jawab. Bang Samsul? Tahu sendiri lah! ...
Pergumulan terus berlangsung. Hingga tengah hari Aris memintaku mengisap kontolnya. Dua kali ia keluar. Banyak sekali pejunya. Selama berjauhan denganku ia tidak berhubungan dengan siap pun. Ia juga tidak suka bermasturbasi. Kuat sekali. Setelah tengah hari ia mengentoti pantatku. Cukup lama kami sama-sama bertahan. Ia menunggu yang ketiga sedangkan aku yang pertama.
“Kamu tidak keluar, Ro? Biasanya baru dimasuki kamu sudah muncrat!” tanyanya heran.
“Aku tiap hari onani, Ris! Kamu jauh, sih ...” dustaku. Aris percaya. Sebelum kami berhomoan, ia sering memergokiku sedang melancap. Kadang ia menasehati tapi sering pula pura-pura tidak melihat.
Menjelang sore kami berhenti. Kami keluar bersamaan. Tidak ada pengaturan. Hati kami memang sudah terpaut.
“Sebenarnya aku ingin kamu tinggal dengan aku, Ro ...” ucapnya lirih sebelum mengantarku pulang.
“Yah, aku juga inginnya begitu, Ris! Namun, kasihan Mbak Laras ...” Aku ceritakan segala keburukan sifat dan sikap Bang Samsul kepada Aris. Namun, perselingkuhan kami sengaja kusembunyikan. Aris pun nampaknya tidak curiga. Ia bahkan memberiku seamplop uang.
“Buat daftar UMPTN (sekarang SPMB -Pen-)!” senyumnya penuh perhatian. Ia tahu kalau aku sangat ingin kuliah. Aku menangis. Betapa jahatnya aku yang telah mengkhianatinya.
Sepulangnya Aris, Bang Samsul sengaja mengajak aku pergi memancing. Mbak Laras pun tidak curiga. Ia benar-benar ingin memberiku libur sehari ini.
“Aris sudah sering ngentotin elo, kan?!” desis Bang Samsul di perjalanan. Kami tidak pergi memancing!
“Sejak dulu dia sekamar denganku, Bang ...” ujarku membela diri. Ia tidak puas dengan jawabanku. Ia mengajakku menuju persawahan di pinggir kampung dekat rumahku.
“Tadi seharian elo dientotin lagi, kan?” tanyanya lagi sambil meremas buah pantatku. Aku tak ingin berterus terang tetapi aku takut dengan Bang Samsul. Aku hanya menangis. Ia terus membawaku ke tengah sawah melewati pematang.
“Gue sange seharian, elo tahu?!” gugatnya padaku lagi. Ia berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah.
“Kan, ada Mbak Laras ...” ucapku pelan. Aku hendak duduk di sampingnya. Bang Samsul mengangkat tubuh dan memangkuku.
“Gue sudah lama nggak main sama dia. Dia sudah garing. Ngewe sama dia seperti ngewein bangkai!” cacinya penuh kekesalan. Ia membuka dan melepaskan celanaku. Aku menengok ke sekitar. Takut terlihat orang.
“Gue lebih demen sama bo’ol elo! Nggak ngentotin elo sehari bisa bikin gue puyeng ...” desis Bang Samsul. Kontolnya sudah masuk ke duburku. Akh, bekas Aris tadi memudahkannya membobol anusku. Ris! Maafkan aku ...
Dengan posisi berdiri Bang Samsul menusuk-nusukkan kontolnya ke pantatku. Aku digendongnya. Bang Samsul kuat sekali. Entah mengapa dengan posisi ini aku puas sekali. Apakah Bang Samsul ingin menunjukkan bahwa permainannya lebih dahsyat dibandingkan Aris?
Sepertinya ya! Kali ini ia benar-benar memberikan seluruh kejantanan dan keromantisannya padaku. Biasanya dia lebih suka dipuasi. Bahkan, kadang ia tidak peduli apakah aku menikmatinya atau tidak.
Bulan mulai kelihatan.
Bang Samsul terus menggojlok pantatku. Dua kali aku dibuatnya keluar. Ia sendiri tidak memuntahkan pejunya. Aku memintanya segera menyudahi. Gila! Seharian ini aku sudah tiga kali keluar dengan dua lelaki yang berbeda.
Aku kepayahan ...
“Gue selesaikan tetapi elo janji nggak akan main dengan lelaki lain tanpa seizin gue!” Bang Aris berbisik di depan wajahku. Tidak ada ancaman. Bahkan, yang kudengar ada nuansa permohonan di suaranya. Benarkah?
“Ya, bang ...” janjiku. Ia menciumi wajahku dengan lembut. Kontolnya terus melesak dalam ke duburku. Tangan kanannya menopang tubuhku yang bertengger di depan perutnya. Tangan kirinya memainkan kontolku yang kecil hingga mencapai ereksi 100%!
Multirangsangan yang diberikan Bang Samsul kepadaku membuatku tak mampu lagi menahan ejakulasiku. Aku mengerang. Bang Samsul pun sama.
AAAARRRGGGGHHHH ...
Bulan terus menyaksikan.
Malam itu Bang Samsul mencoba memberikan hatinya padaku. Ia pun berharap aku mau memberikan hatiku padanya. Aku belum bisa. Aku senang Bang Samsul berubah. Namun, separuh hatiku ada di Aris. Separuhnya lagi ... Fizkar, aku masih sering bermimpi tentang kamu!
Peristiwa memilukan itu harus terjadi...
Bang Samsul ditemukan mati di pagi hari setelah semalam sebelumnya ia begadang.
Mbak Laras terlihat sangat terpukul. Aku tidak begitu tahu seperti apa perasaannya pada Bang Samsul. Ia pasti sangat mencintai Bang Samsul pada mulanya. Bang Samsul pria yang gagah dan tampan. Kemalasannya pun tetap tidak menggoyahkan Mbak Laras untuk berpaling kepada pria lain. Ia relakan dirinya diperbudak suaminya. Bahkan, tanpa sepengetahuannya suaminya itu telah menyelingkuhi adiknya. Aku.
Aku pun sangat terpukul. Bagaimanapun juga Bang Samsul mulai berubah. Ia mulai menyayangiku. Memuaskan kebutuhan birahiku terhadap laki-laki jantan berkontol besar. Ia pun terkadang sesekali membantuku di warung. Ia tidak pernah lagi menyuruh aku mengerjakan hal-hal sepele untuk kebutuhan hariannya. Yang ia inginkan dariku hanya setia padanya. Ia tidak ingin aku dientoti laki-laki lain lagi. Termasuk Jaka, Iwan, dan Harun.
Setengah tahun kemudian...
Mbak Laras dinikahi oleh seorang duda beranak dua. Kelihatannya lelaki ini cukup baik. Aku berharap Mbak Laras jauh lebih berbahagia dengan suami barunya.
Sesuai kesepakatan rumah peninggalan orang tuaku dijual. Uang hasil penjualan ditambah harta lainnya dibagikan kepada kami bertiga. Sesuai aturan agama aku mendapat bagian separo dari keseluruhan harta warisan. Mbak Maya dan Mbak Laras masing-masing seperempat bagian.
Akhirnya Mbak Laras ikut suaminya. Aku yang sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta memutuskan untuk mencari kos sendiri. Aku pilih tempat kos di dekat kampus dan yang tergolong murah meskipun keadaannya sangat sederhana.
Mengetahui hal ini Aris menawarkan diri untuk tinggal bersama. Aku berusaha untuk tidak merepotkannya. Namun, ia bersikeras bahwa ia pun sebenarnya sangat ingin berdua denganku. Ia rela tinggal agak jauh dari tempatnya bekerja.
Kami pun tinggal bersama...
Setengah tahun terlewat...
Satu tahun kemudian...
Genap dua tahun kami bersama.
“Ro! Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu...” suatu malam Aris berbisik padaku. Nada suaranya sangat serius. Aku berusaha menyimaknya sebaik mungkin.
“Masalah apa, Ris?” tanyaku. Aris menggenggam jemari tanganku. Meremas lembut.
“Aku akan menikah...” Aris tersendat. Aku tetap terkejut meskipun saat seperti ini sudah kuduga akan terjadi.
“Dengan siapa?” Aku mencoba rileks menanggapinya.
“Dengan perempuan...” Aku tertawa perih. Keluguan Aris dalam menjawab tak mampu mengalahkan sedihku.
“Kapan?” tanyaku lagi.
“Tiga bulan lagi...”
Malam merambat pelan.
Tiga bulan kami lalui tanpa ada lagi sentuhan seksual. Aris yang meminta. Aku berusaha berbesar hati. Aris memang bukan untukku. Laki-laki bukan untuk laki-laki. Laki-laki hanya untuk perempuan.
Aris pun menikah...
Saat pernikahan itu aku bertemu dengan Paman Arjo. Kami tidak banyak berbicara. Paman Arjo beserta istrinya harus mendampingi Aris selama bersanding di pelaminan. Aku sendiri tidak berani berlama-lama di tempat itu. Air mata ini seolah-olah sudah tak mampu kutahan. Aku pulang tanpa sepengetahuan Aris dan Paman Arjo.
Sejak itu komunikasi antara aku dengan Aris terhenti.
Kembali hari-hariku berjalan penuh kegontaian. Indeks prestasiku yang biasanya di atas tiga turun drastis. Di semester lima indeks prestasiku cuma 2,23. Nilai terburuk sepanjang perkuliahanku.
Untungnya aku tersadar. Sudah tak ada lagi yang mampu menolongku kalau bukan diriku sendiri. Aku mencoba bangkit. Kualihkan semua kesedihanku dengan belajar segiat mungkin. Nilai-nilaiku kembali menanjak. Usai tahun kelima aku diwisuda.
Allah Mahabaik! Dengan segala keterbatasan dan kekuranganku, seorang teman menawariku untuk mengajukan diri di sebuah perusahaan tempat pamannya bekerja. Aku diterima.
Kehidupan perekonomianku semakin membaik. Adapun kehidupan homoseksualku hanya berlangsung seperti tisu. Sekali pakai buang. Tidak ada satu orang pun yang membuat aku bertahan untuk setia. Kalaupun ada, orientasi mereka hanyalah uang. Bagiku, cinta yang dilandasi dengan tawar menawar harga tak akan tulus. Aku ingin yang seperti Aris atau Fizkar ....
Aris. Aku harus melupakannya. Ia sudah milik orang lain. Perempuan lebih berhak atasnya.
Fizkar. Aku masih berharap jumpa dengannya. Asa untuk kembali bersama masih menyeruak.
Masanya pun tiba ...
Di sebuah pasar loak di bilangan Jakarta Timur.
“Fizkar!” pekikku kegirangan. Namun, kuupayakan ekspresiku untuk tidak terlalu ngondek.
“Eh ... Toro ...” ada kegugupan di bibir itu. Ada ketidaksiapan di nada suaranya. Ada ketidaksukaan di mata Fizkar.
Pertemuan tak terduga itu diawali dengan pertanyaan basa-basi. Jelas sekali, tembok tebal itu terpancang kokoh di antara kami. Aku dengan Fizkar.
Kami putuskan untuk berbicara dengan lebih nyaman. Fizkar membereskan barang dagangannya yang digelar. Kami menuju sebuah rumah makan terdekat.
“Aku sudah menikah, Ro!” suara Fizkar terdengar tajam. Tersirat padaku untuk tidak lagi masuk dalam kehidupannya. Matanya yang semakin dingin tak lagi mau menatapku. Fizkar berubah.
Saat di penjara ia pun terasing. Ia tidak mau bergabung di kelompok manapun. Ia pun tak mau melakukan hubungan homoseks yang lumrah terjadi di sel. Awalnya ia membenci perbuatan itu karena ketidaksetiaanku padanya. Ia benci homo. Namun, seorang petugas di penjara meluruskan pemahamannya. Homoseksual memang terlarang oleh agama. Fizkar yang bertubi-tubi didera kemalangan takut terhadap Tuhannya. Ia mulai rajin beribadah.
Setelah bebas dari penjara ia dinikahkan dengan anak petugas tersebut. Fizkar menerimanya dengan ikhlas. Ia mulai menjalani kehidupan baru. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia dan isterinya berdagang. Istrinya menjual makanan di rumah. Fizkar menjual buku-buku keagamaan di pasar itu.
“Aku harap pertemuan ini adalah yang terakhir, Ro!” tandasnya di akhir cerita.
“Aku tidak akan mengganggu rumah tanggamu, Fiz! Kita masih bisa berteman, kan?!” janjiku sambil berharap. Ia menggeleng. Wajahnya mengeras.
“Kisah gelap kita harus diakhiri, Ro! Terlalu mahal cahaya yang telah kudapatkan...” Fizkar menerawang. Aku iri melihatnya.
“Tak inginkah kamu membawaku juga ke cahaya itu?” tanyaku memohon. Lagi ia menggeleng. Aku kecewa.
“Kamu harus mencari orang lain untuk mengangkatmu dari kegelapan itu. Bukan Aku!” tegasnya.
“Mengapa?” tanyaku.
“Setan pasti akan selalu menggoda kita untuk kembali mengulang kenikmatan berlumur dosa itu...” kulihat mata Fizkar berair. Penyesalan yang dalam.
“Kamu marah padaku karena tidak membelamu saat itu?” tanyaku meminta kejelasan.
“Awalnya ya! Namun, perlahan aku menyadari keadaan dan posisimu. Aku yakin kamu masih berada di pihakku. Kita sama-sama terbuang, Ro! Carilah orang lain untuk membawamu ke cahaya itu!” kali ini Fizkar menatapku. Tatapannya sangat teduh. Ada yang menarik benang di dalam hatiku.
“Bagaimana kalau orang itu tidak kutemukan?” tanyaku pesimis.
“Masih ada Allah! Kembali pada-Nya, Ro! Allah yang menciptakan kita. Allah yang menggariskan jalan hidup kita. Pasrah. Ikhlaskan semua. Segala yang terjadi pada hidup kita adalah yang terbaik dari-Nya. Allah mencintai kita. Ujian-Nya yang sangat besar kepada kita merupakan kebesaran cinta-Nya pada kita. Tempuh, Ro! Jangan kalah! Tiga puluh tahun kamu didera perasaan menyimpang itu. Kini kamu masih berdiri. Kamu gagah, Ro! Kamu tidak lagi bergantung pada orang lain!” Fizkar tersenyum tulus.
Aku tersadar. Banyak nikmat yang telah kuperoleh. Kesendirianku membuatku terbiasa mandiri. Aku bekerja. Secara materi aku tidak kekurangan. Padahal, banyak orang yang katanya normal harus tersisih dari persaingan hidup. Ya! Aku kuat!
Kamipun berpisah. Tidak saling tukar alamat. Tidak saling tukar nomor telepon. Fizkar tidak menginginkan itu semua.
Kesempatan berikutnya berkali-kali aku ke pasar itu. Tujuanku tak lain untuk menemui Fizkar. Namun, semua tanpa hasil. Fizkar seolah ditelan bumi.
Aku berhenti.
Aku harus mencari cahaya itu.
Sendiri.
(TAMAT)
Subscribe to:
Posts (Atom)
Paling Populer Selama Ini
-
Pagi masih gelap saat kudengar ibu membangunkan aku yang terlelap. Seperti biasa aku hanya mengubah posisi berbaringku menjadi meringkuk. “T...
-
. Album Berikutnya
-
Namaku Suryati, biasa dipanggil Yati. Sejak berkeluarga dan tinggal di Jakarta aku selalu sempatkan pulang mudik menengok orang tua di Semar...
-
Sebagai penghuni baru di Kota ini, sore itu aku memutuskan untuk jalan-jalan di salah satu mall terkenal di daerah selatan Jakarta. Aku ingi...
-
---------- 1. Mature Gay Daddy - Oldermen Lihat Cuplikan Size: 44,11 MiB Duration: 00:11:20 Type: avi Video: 400x300 http://b93d...
-
[click untuk memperbesar] Fileserve Mediafire
-
Album Sebelumnya
-
1. Lihat Cuplikan Gambar Download 2. Lihat Cuplikan Gambar Download 3. Lihat Cuplikan Gambar Download 4. Li...
-
Cerita lainnya tanpa gambar tapi tak kalah seru, klik aja ini
-
Untuk menghabiskan anggaran tahunan, perusahaan kami berniat membeli beberapa peralatan kantor berupa komputer dan beberapa perlengkapan lai...