7/25/2011

Impian seorang Duda

Malam ini aku benar-benar tersiksa dengan hasratku yang semakin menggebu. Aku mulai mempreteli pakaianku sendiri lalu telentang di atas tempat tidurku dengan membentangkan kedua tanganku, sehingga milikku yang 14 cm bisa bergerak bebas. Aku memejamkan mata sambil perlahan mendesis-desis menyebutkan sebuah
nama, Yusuf. Sudah lama aku berpisah dari dia. Why? Aku sendiri tidak tahu pasti, hanya
saja dari gosip yang kudengar kabarnya dia mengejar-ngejar khayalannya untuk
mendapatkan cowok yang tidak disunat alias uncut alias masih punya kulup atau apa lagi
sebutannya. I don't care. Yang jelas aku sudah menjadi duda dari priaku sendiri dan
malam ini aku sendirian dengan hasratku yang kian memuncak ingin mendapatkan
kehangatan dari seorang lelaki.

Oh, Mas Yusuf, look at me honey. Aku merindukanmu, mas. Dan biasanya dengan keadaan begini aku baru bisa tertidur setelah mengocoknya dan memuntahkan lavanya yang tidak senikmat di saat memadu kasih berdua dulu. Pagi itu aku baru bangun jam tujuh. Untung hari Minggu. Rumah kontrakan yang kutempati
agak terpencil dari rumah sekitarnya. Dengan masih telanjang bulat, aku dengan malas
bangkit berdiri menghampiri remote TV, menyalakan siaran berita yang sudah hampir
berakhir. Ya, aku terbiasa di rumah dengan hanya memakai celana dalam atau celana
pendek saja. Itu karena hasratku yang sangat tinggi. Bahkan aku masih punya harapan
jika saja tiba-tiba ada maling masuk atau orang kesasar sekalian saja aku akan
mengajaknya untuk melakukan sex.

Gila memang. Dan bayangan Yusuf selalu hadir di setiap sudut rumahku yang dipenuhi dengan foto-fotonya dan fotoku. Aku menyalakan kompor gas, memanaskan air untuk minum. Lalu dengan malas aku berbaring lagi di atas tempat tidur. Remote TV kupencet-pencet terus tanpa tahu mana yang akan kutonton.
Hampir semua stasiun TV menghadirkan kartun anak-anak. Uh.. Mas Yusuf. Sampai
kapan aku harus dibayang-bayangi cintamu, mas. Aku ingin mencintai orang lain lagi.
Aku meraih pena lalu kutuliskan di atas selembar kertas HVS. When will I feel your dick
in my ass again?

Kembali aku melamun menikmati siaran TV. Tanpa peduli dinginnya
pagi, aku masih tetap telanjang di atas kasur. Lalu aku berbalik menatap langit-langit
kamar yang bercat putih. "Kring.." dering telepon membuyarkan lamunanku. Aku
meraihnya. "Siapa?" tanyaku dengan malas. "Hai, Man. Kamu lagi ngapain sih? Baru
bangun, ya?" suara di seberang terdengar sambil ketawa-ketawa. "What's so funny?
Cengengesan saja. Siapa nih?" aku mengomel. "Aduh, masa lupa Man. Aku
Bambang." "Oh, Pak. Maaf. Dikirain siapa. Maaf sekali, Pak. Ada apa telpon pagi-pagi
sekali." aku merubah posisi duduk di atas tempat tidur. "Ngga papa kok. Pagi ini aku mau
ngajak kamu jalan-jalan. Ada acara ngga?" "Jalan-jalan..," aku berpikir sebentar, "Jam
berapa, Pak?" "Sekarang." "Sekarang? Aduh, bagaimana nih Pak. Aku.. aku.." "Ok,
begini saja, sampai kapan aku harus menunggu di depan pintu rumah kamu?" "Oh my
god!" aku berteriak, "Sebentar, Pak."

Tanpa berpikir panjang, aku membanting gagang
telepon. Lalu meraih handuk yang menggantung di paku, lalu melilitkannya di tubuhku
sekenanya. Bergegas aku menghampiri pintu depan. "Maaf, Pak. Masuk. Kenapa tidak
ketuk pintu saja?" Aku mempersilakan Pak Bambang duduk. Dia hanya tersenyum
sambil menghampiri kursi depan. Dengan santai dia menatapku yang masih memegang
gagang pintu dan bertelanjang dada.

"Kamu sedang apa, Man?" tanyanya sambil tetap mengumbar senyum. "Euh.. maaf." Aku baru sadar menutupkan pintu dan duduk di kursi yang langsung berhadapan dengan Pak Bambang. Dia itu sebenarnya tetanggaku yang tinggalnya beberapa rumah dari sini dan bekerja di sebuah BUMN. Dia kebetulan
masih membujang di usianya yang hampir mencapai 40. Tanpa sadar aku duduk dengan
membuka kakiku agak lebar sehingga dengan jelas dia bisa menyaksikan burung kecilku
bernyanyi di pagi itu. "Euu.. kamu.. sedang mandi, kan?" dia bertanya gugup sambil
sesekali melirik ke arah burungku tadi, tetapi aku tidak memperhatikannya. "Tidak.
Sedang nonton TV, Pak." "Eu.. lalu.. ah, tidak. Lupakan, ya."

Matanya kini tidak bisa memalingkan lagi dengan tatapannya yang terpaku pada burungku itu. Aku baru sadar.
Tetapi dengan cepat, hadir pikiran jelekku. Aku ingin memperlihatkannya. Maka dengan
perlahan burung di dalam handukku itu mulai mengeras dan mengacung-acung. Aku
memerhatikan reaksinya. "Pak. Mau ajak saya jalan-jalan kemana sih?" Aku kini
membuka lebih lebar lagi kakiku. "Anu.. aku.. sa.. aduh.. kenapa sih?" Dalam hati aku
tertawa geli. Pak Bambang tampak menahan air liurnya. Tetapi tiba-tiba dia berdiri dan
menghampiriku, lalu duduk di sampingku. "Kau.. tolong buka handukmu." Hah! Pak
Bambang menyuruhku membukanya? Aku menatapnya lekat tidak percaya. Dia
membalas menatapku, tetapi kemudian dia justru menjambak handukku dan
mencampakkannya di atas lantai hingga aku kini aku telanjang kembali. Walau kaget,
tetapi aku justru mempertontonkan batang kelaminku yang kata Mas Yusuf sangat
indah.

"Oh.." Dia merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Tangannya meraih batang
kemaluanku sementara kaki kanannya menyilangkannya di atas kakiku. Aku kini benar-
benar dalam kendalinya. Bau harum minyak wangi sepertinya membiusku untuk terus
melayani dia. Tiba-tiba, "Pak!" tanganku menahan tangannya yang hendak meraih
batangku. "Apa maksud semua ini?" aku menatapnya. "Aku ingin menikmatinya, Man."
Tegukan air liurnya jelas terlihat. "Maaf, Pak. Aku tidak mau melakukannya jika bukan
karena cinta." Aku berlagak menjual mahal. Padahal aku tahu sendiri kalau selama ini
punya angan-angan cowok sejahat apapun kuperbolehkan menikmati tubuhku akibat rasa
kesepian yang berkepanjangan. "Kau tahu maksudku mengajakmu jalan-jalan?" Aku
menggeleng. Dia mendekatkan wajahnya di wajahku. "Aku ingin mengatakan sesuatu.
Aku.. mencintaimu sudah lama, Man." Aku sekarang jadi tertunduk. Harus kukatakan
apa lagi? "Gimana, Man? Please. Aku sangat tergila-gila sama kamu."

Aku kembali mengingat-ingat usaha-usaha pendekatan dia kepadaku selama ini. Mengapa dia selalu
mentraktirku makan siang saat jam istirahat. Kebetulan memang kantorku bersebelahan
langsung dengan kantornya. Dia juga sering mengajak jalan bersama sekedar nonton atau
shoping atau juga menikmati kesenangannya seperti aku main games di Matahari. Aku
tersenyum. Lalu menatapnya penuh arti. Dia terlihat memasang wajah yang membuatku
menjadi iba. Tanganku meraba selangkangannya yang rupanya sudah menegang dari
tadi. "Pak Bambang mencintaiku?" Dia mengangguk. Tanpa diminta aku mendaratkan
ciuman manisku di bibirnya. Dia hampir berteriak girang lalu merangkulku dan
memelukku erat. "Makasih, Man. Aku sudah mendambakan seperti ini tapi selalu gagal.
Dan satu, aku belum pernah melakukan sex dengan siapa pun." Aku tidak menghiraukan
omongannya yang jelas aku menikmati pelukannya yang selalu kukhayalkan dan
kudambakan.

"Wuing.." bunyi teko air di atas kompor gasku. "Aduh, Pak. Aku sedang
masak air. Sebentar, aku buatkan kopi dulu, ya!" Dengan malas dia melepaskan
pelukannya dan berkata, "Ya, ok. Tapi ngga usah kopinya." Aku bangkit menghampiri
handukku, tetapi setelah kupegang, aku memutuskan untuk telanjang saja pergi ke dapur
mematikan kompor. Aku membuatkan segelas kopi dan membawakan makanan ringan
yang selalu tersedia di rumahku. Oh, my god. Aku terbelalak menyaksikan Pak Bambang
yang sudah telanjang bulat menghampiri pintu dan menguncinya. Saat dia berbalik aku
semakin terbelalak menyaksikan indahnya tubuhnya. Untung saja kopi tidak sampai
jatuh. Aku menaruhnya di atas meja. Tiba-tiba dia menerkamku seperti orang kehausan
seks. "Man. Lebih baik suguhi aku dengan cintamu." Dia memelukku sambil berdiri.
Tanpa dikomando lagi aku langsung menyambar bibirnya yang dihiasi kumis lebat di
atasnya. Aku memagutnya dengan rakus begitu juga Pak Bambang. Tetapi gerakan dia
terkesan dipaksakan dan aku mengerti untuk ukuran intensitas sexnya yang masih nihil.

Dia kembali menjelajahi tubuhku dengan tangannya yang jahil. Wangi harum tubuhnya
membuatku semakin terangsang dengan hebat. Dengan napas terengah-engah, dia
memandangku sayu penuh kenikmatan. "Man, tidur yuk?" pintanya sambil menatap
manja. "Gendong dong, Mas." jawabku. Aku mulai berani memanggilnya Mas, yang
terkesan mesra sekali. Sekali rengkuh, aku dibopongnya menghampiri tempat tidurku
yang masih acak-acakan dan TV masih menghadirkan kartun anak. Dia
mematikannya. "Semalam habis ngapain, sayang?" tanyanya. Dia mulai menindihku.
Tanganku meraih bidang dadanya lalu mengusap-usap seluruh dada dan perutnya. "Aku
semalam tidur telanjang, Mas. Ingin digagahi." ujarku dengan jujur. Dia tersenyum. Lalu
menekankan senjata kejantanannya yang berukuran raksasa dan aku sangat
menyukainya. Perlahan tubuhku bergerak menikmati tekanan senjatanya yang terasa
nikmat. "Man. Walau belum pernah melakukan tapi aku sering nonton film porno gay.
Boleh aku lakukan sama kamu?" pintanya sambil menatapku dengan mimik wajah
memohon. Aku menganggukkan kepala sambil membenamkan wajahku di dadanya yang
tercium harum sekali.

Perlahan dia bangkit. Lalu mulai menciumi tubuhku sementara tangannya menjalari bagian tubuhku yang paling sensitif. Setelah puas, dia menghampiri bibirku. Kembali dia melumatnya dengan rakus. Tetapi saat itu tanganku sudah tidak tahan untuk meraih senjata ampuhnya yang selalu kuidamkan. Saat itu, dia melirik ke
arah telpon yang disampingnya terdapat kertas HVS dengan tulisan yang cukup besar.
When will I feel your dick in my ass again? "Kamu mau sekarang, sayang?" dia
membisikkannya. Aku menatapnya tidak mengerti. Dia meraih kertas itu, dan kemudian
baru aku tersenyum. "Nanti saja, Mas. Aku masih ingin digagahi." Dia kini mendekatkan
kejantanannya di mulutku. Aku dengan sigap meraihnya lalu melahapnya. Cukup repot
juga, batang kelamin yang berukuran sebesar itu kumasukkan hingga terasa susah sekali
bernapas. Tanganku juga sibuk mulai mengocok kelaminku sendiri. Dia melenguh
panjang menari-nari begitu erotis. Lama aku mengemut dan menyedot-nyedot senjatanya
hingga aku merasa puas dan mulai mendorong tubuhnya. Aku bangkit berdiri dan
mendorong dia rebah di atas tempat tidurku. Aku mengangkangi senjata besarnya yang
tegak berdiri dan mulai membuka kakiku supaya batang kelaminnya bisa masuk di
anusku. Dengan cepat aku meraih Citra lotion dan kulumuri barangnya, begitu juga pintu
anusku. Lalu perlahan aku mengarahkan batang kejantanannya ke anusku. "Oh.. " aku
melenguh saat batangnya mulai memasuki anusku yang sudah tidak perawan lagi.

Ternyata tidak mampu begitu saja melancarkan senjata ampuhnya untuk masuk, bahkan
terasa sakit. Perlahan lagi dan lagi hingga kini setengahnya yang masuk. Pak Bambang
memegangi tubuhku supaya tidak limbung. Aku berhenti sebentar untuk menikmati
kehadiran batang kejantanannya di anusku. Oh, indah sekali. Kembali aku menekan
pantatku turun hingga mempunyai inisiatif untuk menekannya sekaligus. "Awww.. uh..
oh.." aku menjerit saat senjatanya sudah masuk semua hingga ujung pangkalnya. Besar
juga sehingga terasa sesak anusku. Tanganku menjelajahi dadanya yang bidang dan
pantatku mulai kugerakan naik turun perlahan. "Ah.. indah. Nikmat sayang. Terus.." dia
meracau. Aku mulai mempercepat goyanganku hingga naikku agak tinggi. "Uhh.." aku
kembali melenguh lagi menikmati kenikmatan yang tiada tara yang belum pernah
kudapatkan bahkan dari Yusuf sekalipun. Tiba-tiba kedua tangan Pak Bambang
memegangi pantatku lalu menaik-turunkan pantatku itu hingga terasa kenikmatan itu
sampai ke ubun-ubun.

Kelaminku yang sudah sangat tegang menikmati nikmatnya cinta.
Pak Bambang mulai terasa berdenyut-denyut dan aku tahu saat itulah aku akan mencapai
puncak kenikmatan. Seiring dengan semakin cepatnya gerakan yang dibuat tangan Pak
Bambang begitu pula kelaminku semakin terkonsentrasi untuk ejakulasi. Hingga
akhirnya, "Ahh Bapak.. Mas.. Bambang.. Oh.." Aku merebahkan tubuhku ke belakang
saat semburan demi semburan bermuntahan di atas tubuh Pak Bambang hingga kulihat
ada yang sampai rambutnya. Rupanya Pak Bambang tahu kalau saat itu aku tidak bisa
berada di atas lagi karena tidak kuat lagi, maka dengan tidak mencabutnya dari anusku,
dia merubah posisi menelantangkan tubuhku di atas tempat tidur, sementara dia
menggoyang pinggulnya maju mundur dengan merentangkan kedua kakiku.
Goyangannya semakin cepat sambil meracau. "Fuck harder.. fuck.. oohh.." Dia semakin
bersemangat saat melihat usahaku untuk menggoyangkan pantat dan tersenyum
melihatnya. Sambil melakukan gerakan maju mundur yang semakin cepat dia
membisikkan sesuatu, "Man. Aku keluarin di dalam atau di luar?" "Di dalam saja, Mas.
Aku ingin merasakannya." "Ok. Here you go.." Dia memompanya semakin keras. Dan
saat itu aku merasakan keringat tubuhnya sudah membanjiri tubuhnya. Dengan terengah-
engah, di goyangan-goyangan akhir, dia menyeringai sambil menekankan pantatnya
dalam-dalam ke dalam anusku. "Aahh.. Hilman.. oohh.. sayangku." dia berteriak sangat
keras. Aku merasakan dan menikmati semburan kenikmatan yang dimuntahkan di dalam
anusku. Terasa sangat banyak dan mungkin saja akan meluap hingga keluar. "Ohh.. oh..
oh.." desahnya. Terengah-engah dia mengangkangi tubuhku. Bergetar tangannya
menahan berat tubuhnya supaya tidak menindihku. Tetapi aku justru menariknya, hingga
kini sangat rapat dan memang berat dengan batang kejantanannya masih di dalam
anusku. Aku menikmatinya dan terasa lengketnya air mani yang kusemburkan tadi di
tubuhnya kini juga menghiasi tubuhku.

Lama aku dan dia menikmatinya hingga dia akhirnya menggulingkan tubuhnya di sampingku tanpa melepaskan senjata cintanya dari anusku. Aku yang melarangnya. Dia mendekapku erat. Lalu mebisikkan kata-kata
cinta. "Hilman. Pengalaman terindahku dan pertama yang pernah kunikmati. Aku dulu
hanya bisa mengocok atau sama bantal guling sambil nonton film gay. Thanks ya." Dia
mengecupku mesra. Aku memeluknya. "Mas Bambang. Sebenarnya aku masih trauma
setelah putus sama pacarku dulu. Aku takut Mas Bambang akan meninggalkanku sama
halnya dengan dia." "Jangan berpikir begitu sayang. Aku tidak seperti itu. Kau tahu aku
kenapa belum juga kawin? Atau aku tidak melakukan dengan cowok mana saja? Karena
aku justru mencari orang yang benar-benar sesuai dengan kemauanku. Kau buktinya. I
love you, honey." Aku semakin mempererat pelukanku. Sementara batang kemaluan dia
yang sudah mengecil kembali terasa lepas dari anusku. Ada semacam kekosongan kini
yang tadi terisi dengan barang ampuhnya. Dan saat itu aku membisikkan untuk
menikmati babak kedua yang ingin kunikmati lebih seru dari tadi. Aku memutuskan
untuk memesan Pizza saja sebagai makan siang daripada harus keluar dari ruang tidurku.
Hari itu, aku dan Pak Bambang melakukan sex hingga empat kali sampai tengah malam.
Seperti makan siang, makan malam pun kita pesan yang sama. Pizza. Sejak saat itu setiap
hari kita melakukan sex dengan keinginan masing-masing yang menggebu. Aku sangat
mencintai Pak Bambang. Dan kini bayangan Yusuf yang mencari cowok belum disunat
mulai hilang. Aku tidak mau tahu lagi, apa dia kini sudah mendapatkannya atau belum. I
don't care.

-------------------------

Paling Populer Selama Ini