7/14/2011

Andai Aab Tahu

Rasa bersalah pada isteriku kian menggunung dengan segala rahasiaku. Ingin rasanya berterus terang selekas mungkin sebelum semuanya terlambat. Namun aku belum siap untuk bisa menerima konsekwensi terburuk yang sering menghantui. Aku tidak mau ditinggal isteri yang sangat kucintai jika dia tahu betapa bejatnya aku. Apalagi jika harus berpisah dengan anakku, aku tidak sanggup.

Namun aku pun tertekan. Jika dokter keluargaku atau Aab Saddam (begitu aku memanggil dosen yang berasal dari Irak itu) meneleponku hanya sekedar tanya kabar misalnya, apalagi sampai datang mengunjungiku, rasa itu semakin menyiksaku. Aku mencoba menghilangkan rasa bersalahku, tapi biar bagaimana pun aku pernah bercinta dengan mereka dan isteriku tidak tahu bahwa telah kukhianati. Untungnya Mr. Smith si bule baik hati itu sudah kembali ke negara asalnya dan hanya setahun sekali datang ke rumah. Meski email untuknya masih sering kukirim, namun beban terhadapnya tidak terlalu berat dibandingkan yang lain.

Sejak pergumulanku yang sedikit bernuansa premanisme dengan Aab Saddam, lelaki itu semakin sering menghantui pikiranku. Tidak jarang dia datang ke rumahku jika aku tidak masuk kuliahnya, meski dia juga tahu bahwa aku tidak di rumah karena sedang sibuk dengan proyekku. Dia beralasan menanyakanku sekaligus menengok keluargaku, dan memang benar juga. Anakku semakin akrab dengannya karena Aab sering membawakan mainan dan makanan kesukaannya. Berbagai rasa berkecamuk jika sepulang kerja, isteriku apalagi anakku bercerita panjang lebar tentang kedatangan Aab Saddam yang setahu mereka adalah dosenku sekaligus salah satu pengurus perguruan tinggi di mana aku dulu mondok menimba ilmu.

"Maaf, tidak nelepon lebih dulu, Dj. Kedatanganku mengganggu?" sapanya.

Aku sedikit terkejut begitu tahu bahwa yang menekan bel rumahku adalah Aab Saddam. Aku menggeleng antara menggeleng menjawab tidak terganggu dan menggeleng karena tidak siap akan kedatangannya.

"Woww, kerennya kau dengan baju itu, bikin kangenku harus segera diobati, Dj!" ujarnya.

Sebelum pintu kututup rapat, Aab sudah mendekapku erat dari belakang. Aku tidak bisa beralasan lagi sebagaimana hari sebelumnya jika Aab ingin bertemu khusus denganku. Dia tahu bahwa aku sendirian saja karena siangnya tadi dia telah ikut mengantar isteri dan anakku ke bandara untuk berlebaran di kampung orang tuanya.

"Aduh, aku belum makan, Ab. Jadi masih lapar!" ujarku sambil memegang perutku yang terasa lapar.
"Iyaa, kebetulan sekali Dj. Aku juga belum makan, makanya aku bawakan banyak makanan untuk kita" aku sekali lagi menggeleng karena tidak tahu harus berbuat apa.

Sambil mendekap erat dan sesekali menciumiku, Aab membimbingku ke meja makan. Selama makan, banyak hal yang dilakukannya yang membuatku risih. Aku yang biasanya tidak aneh-aneh jika makan dengan isteriku, merasa kikuk saat dia meminta untuk menyuapiku. Bahkan sesekali makanan yang sudah disuapkannya ke mulutku diambilnya lagi dengan mulutnya. Aku sendiri jijik membayangkan makanan yang sudah kukunyah ditelan lagi oleh orang lain.

"Maaf, Ab. Aku mau mandi, sudah hampir malam" ujarku.

Aku bergegas bangkit setelah merasa cukup. Kulihat rasa kecewa menggantung di wajah brewoknya yang berubah seperti wajah anakku yang merengut jika kemauannya tidak kuturuti.

"Please, Dj. Hampir satu bulan aku menahan rasa ini. Aku tidak sabar menunggu waktu yang tepat seperti sekarang ini. Atau memang kau sudah siap untuk berterus terang dengan isterimu?" ujarnya.

Ahh, lagi-lagi dikeluarkannya jurus itu. Aku memang sudah yakin kalau foto-foto ketika dia menjilati dan mengulum penisku sebagaimana di ceritaku sebelumnya itu sudah terekam bagus di ponselku, tapi aku belum bisa memproses foto itu tanpa aku harus minta bantuan orang lain. Resikonya terlalu besar, pikirku.

"Tapi, Ab. Aku masih capek, nanti agak malam saja yaa.." ujarku merajuk. Sebenarnya sekarang atau kapan pun aku tidak yakin mau. Rasa bersalah terhadap keluargaku terlalu besar.

Dia menggeleng. Bahkan semakin erat memelukku. Aku yang sudah sangat gerah seharian tadi semakin merasakan gerah di sekujur tubuhku.

"Please, Dj!" ujarnya dengan nafas terengah-engah.

Hembusan panas nafasnya terasa di telinga ketika dari belakang kepalaku dia menjilatinya. Kumisnya yang tebal seolah memberikan tambahan energi di desahannya. Tangannya sudah meremas-remas penis di balik celanaku. Kurasakan benjolan keras di pantatku ketika dia dekap erat aku.

Aku kembali tak bisa berbuat apa-apa. Kedekatan Aab dengan keluargaku seolah memberikan gambaran mengerikan jika Aab sampai menceritakan apa yang pernah kuperbuat dengannya dan dengan lelaki lain sebagaimana di ceritaku karena dia kecewa telah kutolak kemauannya. Aku harus senatural mungkin bersikap di hadapannya. Aku masih belum tahu betul karakter Aab sebagai orang Arab, orang Irak persisnya.

Gairahku mulai terusik ketika dibisikkannya kata-kata indah yang entah dari mana didapatnya. Desahannya di telinga membius gairahku. Tak urung penisku yang berkali-kali diremasnya menyembul dengan bebasnya dari balik celanaku karena memang aku tidak memakai celana dalam. Bajuku, pemberian dokter keluargaku, sosok yang juga mengisi gundahku, tidak sedikit pun menyurutkan gairah Aab yang sudah membara.

"Ohh, Dj. Please!". Berkali-kali desahan itu keluar dari bibir tebalnya.

Lidahnya berkali-kali menjilati kedua telingaku seperti induk kucing sedang memandikan anaknya. Direnggutnya celanaku sehingga penisku yang sudah sangat tegak, bergoyang-goyang mengikuti irama gairahku. Demi melihat penisku yang telah keras dan memerah, Aab beralih ke bagian depan. Dengan mesra disandarkannya tubuhku ke dinding. Tangannya yang besar berkali-kali meremas penisku hingga menambah cepat gairahku memuncak.

Aku mulai mendesah mengikuti permainannya, apalagi saat mulut Aab beradu dengan mulutku. Bibirku digigitnya hingga aku mengaduh, tapi bukannya beringsut Aab malah semakin ganas melumat bibirku. Lidahnya mencoba membuka mulutku yang ternganga merasakan sensasi gilanya. Dengan ganas lidahnya bermain di dalam mulutku. Berkali-kali aku tersedak karena merasa risih dengan kumis tebal yang melintang di atas bibirnya, namun tetap dengan ganas Aab memainkan lidahnya menyedot habis lidahku yang bahkan semakin tidak bisa kuimbangi.

Setelah terenggut satu-satunya baju yang kupakai, aku dibopongnya ke kamar mandi. Ruangan berukuran 3x4 yang kudesain alami dengan segala pernak-perniknya, terasa berubah menjadi sempit dengan permainan kami. Tergesa Aab melepas segala yang dipakainya, sehingga keringat yang mengucur di tubuhnya yang sedikit gelap dan hampir dipenuhi bulu, kulihat berkilat. Aah, benjolan di pangkal paha itu seakan bertambah besar saja. Kembali Aab menciumiku.

"Sejak pertama masuk di kamar mandimu dua minggu lalu, aku begitu ingin merasakan bercinta denganmu di sini, Dj. Aah, ternyata anganku tidak harus lama menunggu" ujarnya.

Ucapan Aab yang tidak lebih bernada membisik, mencoba membangkitkan sensasiku. Bak mandi yang juga kudesain sendiri, sengaja kubuat agar muat dua orang, bahkan lebih bisa berendam. Dan memang sudah tidak terhitung berapa kali aku, baik sendiri maupun dengan isteriku melampiaskan gairah insani kami.

Saat mulut Aab menemukan penisku, aku semakin bergairah. Aku mendesis dan kembali mendesis begitu kurasakan sensasi di batang kebanggaanku. Mulut Aab memang sangat terampil menghadirkan berbagai rasa. Bibirnya yang tebal, seolah didesain khusus untuk menjepit penisku. Aku mendesis. Rasa gerah berangsur menghilang, saat air dari kran mulai mengaliri tubuh telanjang kami, seolah memacu gairah kami agar lebih dahsyat lagi bergulat.

Aku mulai mengerang saat mulut Aab semakin ganas melumat penisku. Kumisnya yang tebal sesekali digosokkannya ke penisku hingga memberikan rasa berganda di ujung ubun-ubunku. Apalagi saat jemari Aab mulai bermain di anusku. Beberapa jari, dengan cepat bergantian menusuk anusku dan bermain di dalamnya. Ada rasa yang mulai menyentak dari dalam penisku, karena dua titik gairahku digarap Aab. Saat aku mulai mengaduh, Aab mencabut mulutnya dari penisku. Mungkin dia tidak mau kenikmatanku berakhir hanya dengan permainan mulutnya.

Aab bangkit dan menyodorkan penisnya ke mulutku. Aku menggeleng. Tapi tetap disodorkannya penis yang besar itu ke mulutku. Aku mencoba mengulumnya agar tidak dianggap egois, namun aku tetap tidak bisa. Penisnya terlalu besar di mulutku, sehingga berkali-kali aku mencoba untuk mengulumnya, berkali-kali pula aku tersedak. Akhirnya aku hanya menjilati batang penisnya yang hitam, keras, besar dan panjang itu. Aab mengangguk, tanda menyetujuinya. Dia mendesis berkali-kali. Kata-kata, "Yess, uugh, yess, uughh..", seperti di adegan intim di film-film porno koleksiku, berkali juga keluar dari mulutnya.

Tanganku yang sudah kulumasi dengan sabun mandi kujadikan alat untuk menggantikan mulutku yang masih tidak bisa kutipu untuk tidak jijik. Aab semakin mendesah, bahkan kulihat mulutnya yang berkali-kali mendesis, ternganga seolah sedang merasakan sensasi kenikmatan yang luar biasa. Mata bulat itu berkali-kali merem melek, mengikuti irama tanganku yang sedang memainkan penisnya.

"Ouugghh, ouuggh..!".

Akhirnya raungan mulai keluar dari mulut Aab begitu kupercepat aksiku. Di puncak gairahnya, dia ambil alih penisnya yang sejak tadi dalam kekuasaanku. Begitu raungan panjang terlontar dari mulutnya, dia mencoba menyodorkannya ke mulutku. Aku menggeleng dan mengunci rapat mulutku. Aku belum bisa menerima kalau spermanya masuk ke mulutku.

Tak urung sperma itu muncrat ke wajahku. Rasa hangat menyentak wajahku ketika dengan kerasnya sperma Aab muncrat dari penisnya ke sekujur wajahku. Sperma yang panas dan kental kurasakan lengket hampir di semua bagian wajahku. Aku pejamkan mataku agar spermanya tidak mengenai mataku.

"Sshh.. Shhss". Berkali-kali kudengar Aab mendesis saat mengurut penisnya yang masih tegang, mencoba menghabiskan sisa-sisa sperma dari batangnya.
"Terima kasih, Say. Terima kasih, Dj!". Masih dengan gemetar suara Aab lirih berbisik.

Aku membuka mataku dan mengangguk. Aku hendak membenamkan kepalaku di bak mandi agar sperma Aab yang berserakan di wajahku menghilang. Namun Aab menangkap wajahku. Dia menggeleng tanda melarangku. Kemudian dia jilati spermanya sendiri di wajahku, mulutnya sesekali mampir di mulutku, memagutnya, sambil berkali-kali berkata terima kasih.

Aku mencoba melepaskan dekapannya saat kusadari air dalam bak sudah terlalu kotor oleh busa sabun, keringat, dan sperma Aab yang terlalu banyak untuk ukuran lelaki Indonesia. Kembali Aab menggeleng.

"Tidak adil". Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, karena secepat itu pula tangannya meraih penisku yang masih tegak.

Kembali mulutnya mencoba menambah sensasi di penisku dengan permainan dahsyatnya. Aku pun mulai menemukan gairahku yang sempat terputus saat sperma Aab muncrat.

"Tunjukkan padaku, seberapa dahsyat kau punya tenaga, Dj. Mungkin kalau dengan isterimu kau masih kasihan untuk melampiaskan semua tenagamu, namun denganku, keluarkan saja semua yang kau bisa". Begitu tantangnya saat dia memasang kondom di penisku, seolah membangkitkan sesuatu yang selama ini kupendam.

Aab bersandar telentang di dinding kamar mandi. Pantatnya menempel di bibir bak mandi, sedang kedua kakinya dijulurkan ke luar. Tangan Aab membimbing penisku ke anusnya. Dengan posisi berhadapan, semula aku merasa kesulitan, namun Aab dengan sabar membimbingku. Penisnya kulihat sedikit demi sedikit mulai bangkit. Gambaran seorang dosen yang biasanya perlente dengan segala atribut dan gaya bicara yang dibuat sewibawa mungkin, lenyap sudah dari diri Aab. Kulihat Aab tidak lebih dari seorang preman yang sedang melampiaskan gairahnya.

Aku mendesis saat penisku sudah mulai menusuk anus Aab. Kumaju mundurkan pantatku perlahan, agar penisku benar-benar tertancap ke anusnya. Saat semua batang penisku tertelan anusnya aku mulai sedikit keras memaju-mundurkan pantatku, Aab meringis, kesakitan. Aku menghentikan aksiku, namun kembali Aab menggeleng, bahkan dia mengolokku bahwa aku hanya bisa sebatas itu.

Harga diriku mulai terusik saat kembali Aab mengolokku. Aku mempercepat aksiku, kujambak rambut ikalnya dengan kedua tangan. Aab mengerang, namun justru erangan kesakitannya seolah membangkitkan gairah nakalku. Bahkan kemudian penis Aab kujadikan pegangan kedua tanganku ketika semakin keras aku bereaksi. Aab meringis, namun berkali-kali juga mendesah, sama sepertiku. Desisanku berubah menjadi erangan kecil saat mulai kurasakan ada yang berdenyut-denyut di pangkal batang kebanggaanku.

Mulutku ternganga sambil sesekali mengerang. Mataku kupejamkan agar bisa mendatangkan sensasi yang lebih besar. Eranganku mengeras, seiring dengan cepatnya denyutan yang kurasakan dari dalam penisku. Aku hendak mencabut penisku, saat kurasakan sperma mulai menyentak ingin muncrat, namun di saat spermaku sudah tidak bisa kutahan lagi, Aab justru membenamkan pantatku ke anusnya dalam-dalam.

Aku berontak, tidak mau kondomku terlepas di dalam anusnya karena bisa jadi masalah. Namun tetap saja terlambat, aku mengejang hebat saat spermaku muncrat di dalam anus Aab. Lama aku berada dalam lambungan gairahku. Belum sempat aku tersadar dari kenikmatanku, satu tangan Aab mendekapku erat sementara satu tangannya merancap penisnya sendiri. Tubuh Aab bergetar hebat saat dia mulai mengerang. Kurasakan Aab mengejang hebat saat cairan hangat muncrat di perutku. Denyutan penisnya begitu keras sampai-sampai perutku merasa kegelian.

Kucabut segera penisku dari anus Aab saat kulihat Aab terkulai kelelahan. Untungnya penisku masih keras, sehingga kondomku juga bisa kutarik. Begitu melihat penisku yang terbungkus kondom, secepat kilat Aab meraih penisku dan dilepasnya kondom itu. Aksinya tidak berhenti di situ, karena kemudian dia menjilati sisa-sisa sperma di penisku, seolah-olah penisku adalah sebatang ice cream berbalut vanilla.

Lebih anehnya, kondom bekas pakaiku berkali diciumi dan kemudian dituangnya spermaku yang masih tersisa dalam kondom itu ke tangannya lalu dijilati. Bahkan spermaku yang masih melekat tersisa di kondom itu pun dijilatinya tak bersisa. Sinting, gumamku. Aku hanya menggeleng dalam kelelahan hebat. Ah, dosenku yang malang.

Seandainya saja foto-foto itu bisa kuproses sendiri dan bisa kusimpan dalam komputerku, mungkin aku bisa mengandalkannya saat Aab Saddam mengancam akan membeberkan aibku ke keluargaku sehingga aku tidak harus merasa seterpaksa ini. Aab, kapan kau mengerti keadaanku?

Tamat

Pijat Asmara

Seperti biasa, Yogyakarta dengan jalan Maliboro-nya, petang itu kembali menyisakan kenangan yang tidak akan pernah terlupa. Hiruk pikuk orang yang lalu-lalang di sepanjang jalan di muka pertokoan; jeritan klakson kendaraan maupun raungan reklame melalui pengeras suara menjadikan aku terhanyut dalam suasana keramaian.

Degup dada menjadi tak beraturan ketika kulihat tonjolan besar membayang dari dalam celana pendek yang dikenakannya. Aku gelisah ingin melihat lebih dekat dan lebih jelas lagi sesuatu yang tersembunyi dibalik celana itu. Tapi aku juga sadar untuk tidak berlaku ceroboh yang akhirnya hanya akan membawa aku ke dalam suatu kesulitan. Aku memang sedang ingin jalan-jalan sekedar cari angin. Namun, bayangan itu semakin menggoda, sehingga kuputuskan untuk menghampiri saja abang becak itu.

Baru beberapa langkah aku menghampiri ternyata abang becak itu sudah terlebih dahulu bangkit dari duduknya dan menyapaku
"Mari mas, saya antarkan untuk cari oleh-oleh atau.." dan saya tidak lagi mendengar apa yang dikatakannya kemudian kecuali saya merasa sudah terduduk di kursi becaknya. Sepanjang perjalanan, kami ngobrol tentang segala hal, sehingga kemudian rencana semula yang sekedar hanya putar-putar kota Yogya berubah menjadi singgah di rumah abang becak tersebut.

Walaupun hanya berprofesi sebagai tukang becak ternyata Jono juga menjaga kebersihan tubuhnya. Setiba di rumahnya setelah mempersilahkanku duduk ia segera minta ijin untuk mandi dan berganti pakaian. Aku memilih untuk berangin-angin di beranda di samping rumahnya. Kulihat sekeliling rumah kontrakannya cukup sepi; tenang dan damai. Tak sengaja aku melihat Jono keluar hanya berbalutkan handuk menuju ke tempat mandi yang letaknya memang terpisah dari rumahnya. Tersenyum ia melihat ke arahku dan aku melambaikan tangan membalas senyumnya.

Aku melangkah masuk ke ruang tamu dan duduk di dalam sementara menunggu Jono menyelesaikan mandi.
"Monggo Mas di minum dulu.." ucapnya sambil tersenyum.
"Oh.ya..ya..ya..terima kasih" kataku agak gugup.
Entahlah, aku juga heran kenapa aku jadi merasa nervous. Untuk menutupi kegalauan jiwaku aku ambil gelas kopi itu dan kuhirup sedikit. Rupanya hal ini berhasil menurunkan keteganganku. Aku mulai merasa agak tenang dan dapat mengendalikan sikapku.

"Saya dengar tadi Jono bisa memijat juga ya?" aku membuka pembicaraan.
"Yeah begitulah mas, pijat-pijat refreshing gitu loh. Apakah Mas Resnu mau di pijat sekarang?" Jono ganti bertanya kepadaku yang langsung kujawab dengan anggukan kepala.
"Kalau begitu, monggo berbaring di amben" kata Jono sambil menunjuk ke suatu kamar.

Di dalam kamar selain yang disebut amben dengan sprei batik warna hijau lumut itu juga terdapat lemari, meja kecil dan kaca hias yang tergantung di tembok. Sederhana namun bersih. Aku segera melepas baju dan celana, namun aku masih ragu apakah aku harus juga melepas CD G strings yang biasa kukenakan ini.
Aku berbaring tengkurap menanti Jono datang.
"Mas, kok CD nya ndak dibuka? Apakah nanti ndak takut kotor?" Jono bertanya setelah masuk ke kamar dan melihatku sudah tengkurap.
Aku mulai nakal mencoba menggoda Jono "Nanti Jono aja deh yang bukain, ga keberatan kan?" aku menatap Jono dan ia tersenyum ke arahku.

Saat pijatan dilakukan di bagian paha dan pantat aku sungguh tak kuasa menahan keinginan untuk tidak ereksi. Tanganku hanya mencengkram ujung bantal menahan sensasi kegelian yang nikmat. Dari balik CD G strings aku merasa bahwa kemaluanku sudah meregang dari posisi semula demikian pula dengan bulu-bulu pubic yang kurasa juga mulai terasa meremang. Karena itu aku agak sedikit mengangkat pantatku agar si kecil dapat lebih leluasa bergerak.

"Mas Resnu..bagaimana kalau saya buka celananya?" ucapan Jono agak mengaggetkanku namun juga membuatku merasa senang.
"Boleh..boleh.." sahutku sambil melebarkan ke dua paha serta mengangkat pantatku lebih tinggi lagi.
Dengan cekatan Jono langsung menarik lepas CD yang kupakai. "Celana Mas antique juga ya.." Jono mengomentari CD G stringsku yang dulu kubeli di sex shop ketika aku sedang vakansi ke Amsterdam.

Saat melepas celana dalamku pastinya Jono sudah melihat kalau kemaluanku sudah menegang dan dia hanya pura-pura tidak melihatnya saja. Dia meneruskan pijatannya masih di bagian yang sama sekitar tulang pantatku yang membuat tubuhku jadi oleng bergerak miring ke kiri dan ke kanan.

"Berbalik mas.." Jono memerintahkanku untuk berbalik.
Wah, berabe nih..pennyku kan sudah bangun. Aku tetap tidak berbalik sampai ketika Jono mengulangi lagi permintaannya maka sambil memejamkan mata aku membalikan badan. Namun sesungguhnya mataku tetap terpicing menyaksikan bagaiman reaksi Jono melihat keadaan tubuhku saat itu. Naked dengan penny menyeruak tegang dari rerimbunan pubicku yang berwarna jelaga.

Ternyata Jono tetap tidak peduli(?) dengan keadaanku saat itu. Ia tetap memijat dan mengurut. Dengan arah, tentu saja, yang sama dengan tahapan awal tadi. Saat tangannya mengusap bagian paha dalamku aku hanya bisa mendesah apalagi ketika pijatan tekanan pada titik diantara rectum dan scrotum dilakukannya semakin membuat ereksiku menjadi jadi. Namun tampaknya Jono sengaja menerapkan strategi up and down. Sehingga ia tidak memforsirku untuk tetap ereksi. Tentu saja, hal seperti ini malah menjadikan diriku blingsatan dan puyeng.

Sekarang tangan Jono sedang berputar-putar di bawah pusarku dengan sesekali meremas-remas pubicku, sementara tangan yang satunya mengusap-usap scrotum dan sesekali singgah di ass-hole ku.
"Alamak.." jeritku dalam hati;

Tangan Jono mengusap dan meremas dadaku dan jemarinya bermain cukup lama di nipple ku. Perlakuannya itu membuatku jadi hilang kesabaran dan dengan tiba-tiba kusentuh sesuatu yang tersembunyi di balik kain sarung Jono. Kami berdua sama-sama kaget. Ternyata Jono tidak memakai celana dalam dan saat itu kurasakan ia sudah ereksi juga. Tentu saja, akhirnya, dengan mudah aku dapat menggemgam keseluruhan batang kemaluan Jono yang mengeras. Jono tidak menepis tanganku; ia tersenyum ketika aku membuka mataku yang terpicing sejak tadi.

Kutarik dengan kuat pundak Jono sehingga wajahnya menjadi lebih dekat denganku. Dengan sigap segera kulahap bibir Jono yang kemudian dengan tidak kusangka-sangka ia malah membalas lebih liar daripadaku. Lidahnya menjulur-julur menyapu seluruh langit-langit mulutku serta memilin lidahku sehingga aku menjadi sulit bernafas.

Tanganku membetot kain sarung yang dikenakan hinga lepas. Dihadapaku tersaji pemandangan yang luar biasa indahnya. Betapa penny Jono dengan size 20 cm mengangguk-angguk di hadapanku. Aku berusaha meraihnya namun Jono tidak memberiku kesempatan, setelah melepas hem gombrong yang dikenakan ia kembali menggumuli diriku.

Dengus nafas Jono membuatku menjadi lupa segalanya. Kumisnya yang kasar memberikan sensasi tersendiri ketika diusap-usapkan di dada, ketiak, maupun leherku. Aku bagaikan kapal oleng yang diombang ambingkan oleh badai cinta. Aku hampir menjerit ketika dengan liarnya lidah Jono bermain (rimming) di area lubang pelepasanku yangs sejak tadi sebenarnya memang sudah sangat mengharapkan. Nikmatnya itu, membuatku lupa berpikir bahwa tindakannku menjerit akan mengundang orang-orang berdatangan melihat.

Aku meregangkan kedua pahaku serta mengganjal pantatku dengan bantal sehingga Jono menjadi lebih leluasa bergerak menelusuri lubang kenikmatan. Terasa jemari Jono sedang bermain di dalam lubangku, dari bermula satu jari, kemudian dua dan hingga tiga jari bergantian dengan sapuan lidahnya. Otot rectumku sudah dapat memberikan reaksi yang makin membuat Jono penasaran. Kulihat sesekali ia menjilat jemari yang sudah dimasukan ke dalam ass-hole.

Rupanya Jono memahami keinginanku yang terpendam, ia segera menyodorkan pennynya yang sudah ereksi itu ke arahku. Aku menyambutnya dengan suka cita. Aku membelai, mencium, dan melumatnya sampai aku tersedak. Sungguh seksi sekali penny Jono, meskipun panjang tapi diameternya tidak terlalu besar, sehingga aku yakin tidak akan membuatku kesakitan jika nanti dibenamkan ke dalam anusku.

Aku ingin juga membalas perlakuan Jono melakukan rimming kepadaku tadi maka kuminta Jono nungging. Aku takjub menyaksikan keindahan lubang anus Jono, betapa disekililingnya ditumbuhi pula oleh pubic yang menyebar sampai ke belakang pantatnya. Ku akui, memang, pubic Jono lebat, demikian pula dengan bulu ketiaknya yang tanpa artificial fragrance menebarkan aroma kejantanan pria. Dengan sedikit perjuangan menyeruak rerimbunan bulu pubic maka aku berhasil menemukan ass-hole Jono di tengah himpitan ke dua bongkah pantatnya yang gempal.

Ku hirup aroma anus yang khas dan segera kujilat-jilatkan lidahku di sekililing ass-hole nya. Jono melenguh dan mendesah. Kubuka lebih lebar lagi lubang anusnya sehingga lidahku berhasil mencapai dinding dalam rectumnya. Terasa badan Jono bergetar. Setelah melumuri jari tengah serta permukaan anal Jono dengan air liurku maka aku masukan jari tersebut untuk mencapai G spot Jono.

Dengan satu tanganku memasturbasi penny Jono maka satu tanganku lagi bermain di liang duburnya. Nafas Jono semakin memburu dengan bergetar Jono kemudian berkata
"Mas Resnu..sudah pakai penny penjenangan saja..aku sudah ndak tahan nih" Jono menyuruhku menghentikan tanganku bermain dilubang analnya. Ia memintaku melakukan penetrasi dengan pennyku. Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Ke dua siku Jono bertumpu di meja kecil dengan pantannya yang diasongkan ke arahku. Setelah menyibakan bulu-bulu yang menutupi lubang analnya, aku melumuri kembali rectum dan pennyku dengan air ludah. Lalu dengan perlahan ku tempelkan ujung glans ke dinding rectum yang sudah mulai merekah itu. Satu kali dorongan kepala pennyku sudah tertelan kemudian dengan sentakan yang kuat maka seluruh batang kemaluanku sudah berada di lubang kenikmatan.

Kurasakan suatu sensasi saat batang kemaluanku meluncur di rectum Jono. Denyut otot rectum Jono terasa mencengkeram seolah melakukan pengurutan terhadap pennyku. Rasa senut-senut nikmat mengaliri sekujur tubuhku. Jono menggoyangkan pantatnya dan aku merespon dengan mendorong maju mundur 6 kali serta menggesek-gesakan bulu pubicku ke pantatnya 1 kali, demikian berulang-ulang.

Dengus nafas Jono berpacu dengan desah nafasku yang juga memburu. Keringat kami sudah bersimbah dan liang anal Jono semakin terasa longgar dan licin. Sementara itu, Jono meminta berubah posisi sebab dia agak capek dengan bertumpu pada meja. Maka ia kini berbaring telentang di amben dengan ganjalan bantal di pantatnya. Kedua kakinya diletakan dipundakku sehingga lubang rectumnya terlihat nganga minta diinsert dan penny Jono terlihat bagai gada yang dibaringkan. Setelah melumuri kembali dengan air ludah maka kudorong kembali penny ku yang segera lenyap ditelan tubuh Jono.

Kami kembali menyebrangi lautan birahi sejenis. Aku merasa sudah hampir dekat dengan titik tujuan dan sekonyong-konyong Jono mencengkram bahuku dan mendorong hingga aku jatuh terlentang di tempat tidur dan sekarang Jono berada di atas tubuhku dengan masih menelan pennyku di dalam rectumnya.

Sekarang Jono yang aktif bergoyang salsa membuat diriku menjadi hingar bingar sampai tiba-tiba aku menggelinjang dan menggelepar memuntahkan cairan mani di dalam anus Jono. Ku rasakan denyut dan cengkeraman liang birahi Jono membuat diriku terbang tinggi. Jono tidak segera berdiri dari tubuhku sehingga pennyku masih tetap terbenam di rectumnya.

Setelah pennyku terasa tidak bangun lagi maka Jono bangkit dan pergi ke belakang mengambilkan aku air minum serta membawa handuk dan mengusap tubuhku yang bersimbah peluh. Pada saat yang sama aku masih melihat penny Jono tetap tegang seperti semula.

Melihat hal itu aku terangsang kembali dan aku jadi ngaceng lagi. Maka aku segera meraih penny Jono dan kemudian melumatnya di dalam mulutku. Ternyata tidak kuduga Jono ingin melakukan hal yang sama; setelah merubah posisi maka kami melakukan felatio dalam posisi 69. Berguling-gulingan dalam posisi demikian akhirnya membuat kami sampai pada saat penyelesaian yang bersamaan. Tidak ada setetespun air mani yang tercecer karena semuanya dimuntahkan dan langsung di telan.

Dua kali pertempuran itu cukup membuatku lelah dan mengantuk. Sehingga aku jadi sungguh-sungguh tertidur dan bermalam di rumah Jono. Ketika aku terbangun menjelang subuh itu bukan karena aku mendengar suara kokok ayam atau apapun tapi karena dinginnya suhu Yogya yang kutaksir 25-27 derajat celcius yang menyelusup dibalik selimut kain sarung Jono.

Ya ampun, ternyata kami berdua masih bugil. Kulirik Jono masih mendengkur. Aku sibakan perlahan kain sarung yang menutupi tubuh Jono. Terlihat penny Jono yang melingkar di atas rerimbunan jembutnya membuat diriku kemudian menjadi horny.

Dengan perlahan aku gesek-gesekan wajahku pada pubicnya serta kujilat-jilat glans dan batang kemaluannya; efek yang terlihat kemudian adalah penny Jono menjadi membesar. Semakin aku kulum dan kelamoti menjadikan penny itu berubah menjadi keras dan tegak.

Pemandangan yang luar biasa indah, apalagi tubuh Jono memang termasuk dalam kategori orang berbulu lebat. Bulu-bulunya bermula dari bawah pusar dan kemudian bergerombol di selangkangan sampai ke pantat Jono; yang lainnya menyebar ke paha dan kaki.

Jono masih tetap memejamkan mata(?) aku tak perduli ia mau melek atau merem yang kumau saat ini adalah ingin merasakan genjotan pennynya bermain di dalam rectumku. Aku merangsang rectumku dengan olesan air liurku supaya nanti tidak terlalu sakit saat penetrasi. Biasanya aku menggunakan vaginal lubricant (cairan pelumas) vagina merek KY atau Durex jika aku sedang bermain anal intercourse. Setidaknya itu masih lebih aman daripada aku menggunakan hand body yang biasanya malah membuat rasa panas di lubang analku. Untuk yang darurat air liur masih menjadi pilihan yang oke.

Dengan hati-hati aku berjongkok di atas selangkangan Jono dan mengarahkan kepala penny Jono yang sudah berdiri tegak ke lubang analku dan dengan sentakan yang agak kuat aku berhasil menelan penny Jono yang kemudian terjaga dari tidurnya. Meskipun sesungguhnya terlihat terkejut namun ia tidak marah. Ia tersenyum ke arahku dan kemudian ia malah mendorong-dorongkan pinggulnya ke atas sehingga makin membuat pennynya melesak masuk ke dalam liang anusku. Aku menjadi semakin melayang dan mulai kehilangan arah untuk bergoyang. Kenikmatan ini sedemikian hebatnya sehingga membuatku jadi lupa harus bagaimana.

Jono mencoba untuk duduk dengan meraih bahuku dan sambil memegang punggungku dan ia melumat bibirku dan mengisap lidahku.. Walau baru saja bangun tidur aku sudah tidak lagi menghiraukan aroma mulutnya kecuali kami saling berpagut, menggigit, dan melumat sambil, tentu saja, aku terus memompa penny Jono.

Ditelusuri leherku dengan gesekan kumisnya yang kasar dan digigit-gigit kecil puting susuku menjadi aku melenguh tak berkesudahan, sementara tangan Jono yang satunya memanjakan pennyku dengan melakukan massage pada batang dan kepala pennyku. Akupun tidak kalah gilanya meremas dan mencengkram tubuh Jono.Kuangkat lengan Jono kucium dan kugesekan wajahku di kelebatan bulu ketiak Jono yang menebarkan aroma jantan. Jono menggelinjang saat lidahku yang basah menyapu bawah lengannya itu. Olah raga pagi itu akhirnya mengantarkan kami pada satu kebersamaan yang penuh kenikmatan diiringi lenguhan dan desahan nafas penuh kepuasan.

"Cari oleh-oleh mas? Mari saya antarkan, ada bakpia.. atau kaos .."
Kembali sapaan ramah itu menyadarkanku bahwa dulu aku pernah bertemu seseorang bernama Jono. Aku hanya menggeleng dan terus bergegas berjalan menuju stasiun Tugu. Dengan membawa satu Hand Bag aku tidak begitu kesulitan menerobos orang yang berlalu lalang. Dari kejauhan kulihat kereta Taksaka telah menanti untuk membawa ku kembali ke dalam rutinitas kerja di Jakarta.

Tamat

Paling Populer Selama Ini