7/07/2011

Tongkat Pak Satpam Rumahku I

Pembaca tentu masih ingat ceritaku tentang Anna yang berjudul "Aku Jadi Ketagihan" beberapa saat yang lalu. Kali ini aku diminta salah satu pembacaku untuk menuliskan pengalamannya yang ia kisahkan melalui e-mail dan SMS. Nah beginilah kisah selengkapnya yang merupakan petualangan penutur setelah "Sebuah Kesalahan" yang dimuat beberapa bulan lalu.

*****

Para pembaca tentu masih ingat aku, Reni, yang pada kisah "Sebuah Kesalahan" telah terjebak dalam pusaran gairah seorang pengojek di kepulauan di Sumatra saat ditugaskan sebagai pimpinan unit sebuah bank BUMN. Bagi yang belum pernah membaca akan saya perkenalkan lagi diri saya, nama saya Reni (samaran), saat ini usia 28 tahun. Kata orang saya memiliki segalanya baik itu kekayaan, kecantikan dan keindahan tubuh yang menjadi idaman setiap wanita. Dengan tinggi 165 cm dan berat 51 kg menjadikanku memiliki pesona bagi lelaki mana saja. Apalagi wajahku boleh dibilang cantik dengan kulit kuning langsat dan rambut sebahu. Aku telah menikah setahun lebih.

Latar belakang keluargaku adalah dari keluarga Minang yang terpandang. Sedangkan suamiku, sebut saja Ikhsan adalah seorang staf pengajar pada sebuah perguruan tinggi swasta di kota Padang.

Setelah suamiku menyelesaikan studinya di luar negeri, aku mengusulkan untuk mengajukan pindah ke kota Padang agar dapat berkumpul lagi dengan keluarga. Setelah melalui birokrasi yang cukup memusingkan ditambah sogok sana sogok sini akhirnya aku bisa pindah di kantor pusat di Kota Padang. Pembaca tentu maklum bahwa pada jaman sekarang segala sesuatu harus pakai uang. Malahan kata orang Jakarta segala sesuatu harus bayar, dari makan hingga buang kotoran. Mungkin hanya kentut saja yang belum perlu pakai uang. (Mungkin kalau sudah ada Undang Undang Lingkungan, kentut pun musti bayar karena mencemari udara.. Ya nggakk??)

Sebagai orang baru, aku tentu saja harus bekerja keras untuk menunjukkan kemampuanku. Apalagi tugas baruku di kantor pusat ini adalah sebagai kepala bagian. Aku harus mampu menunjukkan kepada anak buahku bahwa aku memang layak menempati posisi ini. Sebagai konsekwensinya aku harus rela bekerja hingga larut malam menyelesaikan tugas-tugas yang sangat berbeda saat aku bertugas di kepulauan dahulu. Hal ini membuatku harus selalu pulang larut malam karena jarak rumah kami dengan kantor yang cukup jauh yang harus kutempuh selama kurang lebih 30 menit dengan mobilku. Sehingga aku jarang sekali bercengkerama dengan suamiku yang juga mulai semakin sibuk sejak karirnya meningkat. Praktis kami hanya bertemu saat menjelang tidur dan saat sarapan pagi.

Atas kebijakan pimpinan, aku selalu dikawal satpam jika hendak pulang. Sebut saja namanya Pak Marsan, satpam yang kerap mengawalku dengan sepeda motor bututnya yang mengiringi mobilku dari belakang hingga ke depan halaman rumahku untuk memastikan aku aman sampai ke rumah. Dengan demikian aku selalu merasa aman untuk bekerja hingga selarut apapun karena pulangnya selalu diantar. Tak jarang aku memintanya mampir untuk sekedar memberinya secangkir kopi hingga suamiku pun mengenalnya dengan baik. Bahkan suamiku pun kerap kali memberinya beberapa bungkus rokok Gudang Garam kesukaannya.

Pak Marsan adalah lelaki berusia 35 tahunan. Tubuhnya cukup kekar dengan kulit kehitaman khas orang Jawa. Ia memang asli Jawa dan katanya pernah menjadi preman di Pasar Senen Jakarta. Ia sudah menjadi satpam di bank tempat saya bekerja selama 8 tahun. Ia sudah beristri yang sama-sama berasal dari Jawa. Akupun sudah kenal dengan istrinya, Yu Sarni.

Suatu hari, saat aku selesai lembur. Aku kaget saat yang mengantarku bukan Pak Marsan, tetapi orang lain yang belum cukup kukenal.

"Lho Pak Marsan di mana Bang?" tanyaku pada satpam yang mengantarku.
"Anu Bu, Pak Marsan hari ini minta ijin tidak masuk katanya istrinya melahirkan" katanya dengan sopan.

Akhirnya aku tahu kalau yang mengantarku adalah Pak Sardjo, satpam yang biasanya masuk pagi.

"Kapan istrinya melahirkan?" tanyaku lagi.
"Katanya sih hari ini atau mungkin besok Bu" jawabnya.

Akhirnya hari itu aku pulang dengan diiringi Pak Sardjo.


Awal Perselingkuhan

Sudah dua hari aku selalu dikawal Pak Sardjo karena Pak Marsan tidak masuk kerja. Hari Minggu aku bersama suamiku memutuskan untuk menjenguk istri Pak Marsan di Rumah Sakit Umum. Akhirnya aku mengetahui kalau Yu Sarni mengalami pendarahan yang cukup parah atau bleeding. Dengan kondisinya itu ia terpaksa menginap di Rumah Sakit untuk waktu yang agak lumayan setelah post partum. Atas saran suamiku aku ikut membantu biaya perawatan istri Pak Marsan, dengan pertimbangan selama ini Pak Marsan telah setia mengawalku setiap pulang kerja.

Sejak saat itu hubungan keluargaku dengan keluarga Pak Marsan seperti layaknya saudara saja. Kadangkala Yu Sarni mengirimkan pisang hasil panen di kebunnya ke rumahku. Walaupun harganya tidak seberapa, tetapi aku merasa ada nilai lebih dari sekedar harga pisang itu. Ya, rasa persaudaraan! Itulah yang lebih berharga dibanding materi sebanyak apapun. Sering pula aku mengirimi biscuit dan syrop ke rumahnya yang sangat sederhana dan terpencil karena memang rumahnya di tengah kebun yang penuh ditanami pisang dan kelapa. Karena seringnya aku berkunjung ke rumahnya maka tetangga yang letaknya agak berjauhan sudah menganggapku sebagai bagian dari keluarga Pak Marsan.

Suatu hari, saat aku pulang lembur, seperti biasa aku diantar Pak Marsan. Begitu sampai ke depan rumah tiba-tiba hujan mengguyur dengan derasnya hingga kusuruh Pak Marsan untuk menunggu hujan reda. Aku suruh pembantuku, Mbok Rasmi yang sudah tua untuk membuatkan kopi baginya. Sementara Pak Marsan menikmati kopinya aku pun masuk ke kamar mandi untuk mandi. Ini memang merupakan kebiasaanku untuk mandi sebelum tidur.

Hujan tidak kunjung reda hingga aku selesai mandi, kulihat Pak Marsan masih duduk menikmati kopinya dan rokok kesukaannya di teras sambil menerawang memandangi hujan. Hanya dengan mengenakan baju tidur aku ikut duduk di teras untuk sekedar menemaninya ngobrol. Kebetulan lampu terasku memang lampunya agak remang-remang yang sengaja kuatur demikian dengan suamiku agar enak menikmati suasana.

"Gimana sekarang punya anak Pak? Bahagia kan?" tanyaku membuka percakapan.
"Yach.. Bahagia sekali Bu..! Habis dulu istri saya pernah keguguran saat kehamilan pertama, jadi ini benar-benar anugrah yang tak terhingga buat saya Bu.."
"Memang Pak.. Aku sendiri sebenarnya sudah ingin punya anak, tetapi.."

Aku tidak dapat meneruskan kata-kataku karena jengah juga membicarakan kehidupan seksualku di depan orang lain.

"Tetapi kenapa Bu.. Ibu kan sudah punya segalanya.. Mobil ada.. Rumah juga sudah ada.. Apa lagi" Timpalnya seolah-olah ikut prihatin.
"Yach.. Itu lah Pak.. Dari materi memang kami tidak kekurangan, tetapi dalam hal yang lain mungkin kehidupan Yu Sarni lebih bahagia"
"Mm maksud ibu.." tanyanya terheran-heran.
"Itu lho Pak.. Pak Marsan kan tahu kalau saya selalu kerja sampai malam sedangkan Bang Ikhsan juga sering tugas ke luar kota jadi kami jarang bisa berkumpul setiap hari. Sekarang aja Bang Ikhsan sedang tugas ke Jakarta sudah seminggu dan rencananya baru empat hari lagi baru kembali ke Padang"
"Yachh.. Memang itulah rahasia kehidupan Bu.. Kami yang orang kecil seperti ini selalu kesusahan mikir apa yang hendak dimakan besok pagi.. Sedangkan keluarga ibu yang tidak kekurangan materi malah bingung tidak dapat kumpul"

Matanya sempat melirikku yang saat itu mengenakan pakaian baby doll. Kulihat jakunnya naik turun melihat kemolekan tubuhku. Mungkin karena hujan yang semakin deras dan aku yang jarang dijamah suamiku membuat gairah nakalku bangkit.

Aku sengaja mengubah posisi dudukku sehingga pahaku yang mulus sedikit kelihatan. Hal ini membuat duduknya semakin gelisah, matanya berkali-kali mencuri pandang ke arah pahaku yang memang sengaja kubuka sedikit.

"Sebentar Pak saya ambil minuman dulu" kataku sambil bangkit dan berjalan masuk.

Aku sadar bahwa pakaian yang kukenakan saat itu agak tipis sehingga bila aku berjalan ke tempat terang tubuhku akan membayang di balik gaun tipisku.

"Oh ya Pak Marsan masuk saja ke dalam soalnya hujan kan di luar dingin.."
"I.. Iya Bu.." jawab Pak Marsan agak tergagap karena lamunannya terputus oleh undanganku tadi. Jakunnya semakin naik turun dengan cepat. Aku tahu ia tentu sudah lama tidak menyentuh istrinya sejak melahirkan bulan kemarin, karena usia kelahiran bayinya belum genap 40 hari.

Suasana sepi di rumahku ditambah dengan dinginnya malam membuat gairahku bergejolak menuntut penuntasan. Apa boleh buat aku harus mampu menundukannya. Pak Marsan sangat terangsang melihat penampilanku yang sangat segar habis mandi tadi. Akhirnya mungkin karena tidak tahan atau karena udara dingin ia minta ijin untuk ke kamar kecil.

"Eh.. Anu Bu.. Boleh minta ijin ke kamar kecil Bu"
"Silahkan Pak.. Pakai yang di dalam saja"
"Ah.. Enggak Bu saya enggak berani"
"Enggak apa-apa.. Itu Pak Marsan masuk aja nanti dekat ruang tengah itu"
"Baik Bu.."

Sambil berdiri ia membetulkan celana seragam dinasnya yang ketat. Aku melihat ada tonjolan besar yang mengganjal di sela-sela pahanya. Aku membayangkan mungkin isinya sebesar tongkat pentungan yang selalu dibawa-bawanya saat berjaga.. Atau bahkan mungkin lebih besar lagi.

Agak ragu-ragu ia melangkah masuk hingga aku berjalan di depannya sebagai pemandu jalan. Akhirnya kutunjukkan kamar kecil yang bisa dipakainya. Begitu ia masuk aku pun pergi ke dapur untuk mencari makanan kecil, sementara di luar hujan semakin lebat diiringi petir yang menyambar-nyambar.

Aku terkejut saat aku keluar dari dapur tiba-tiba ada tangan kekar yang memelukku dari belakang. Toples kue hampir saja terlepas dari tanganku karena kaget. Rupanya aku salah menduga. Pak Marsan yang kukira tidak mempunyai keberanian ternyata tanpa kumulai sudah mendahului dengan cara mendekapku. Napasnya yang keras menyapu-nyapu kudukku hingga membuatku merinding.

"Ma.. Maaf Bu, sa.. Saya sudah tidak tahan.." desisnya diiringi dengus napasnya yang menderu.

Lidahnya menjilat-jilat tengkukku hingga aku menggeliat sementara tangannya yang kukuh secara menyilang mendekap kedua dadaku. Untuk menjaga wibawaku aku pura-pura marah.

"Pak Marsan.. Apa-apaan ini.." suaraku agak kukeraskan sementara tanganku mencoba menahan laju tangan Pak Marsan yang semakin liar meremas payudaraku dari luar gaunku.
"Ma.. Af Bu sa.. Saya.. Sudah tidak tahan lagi.." diulanginya ucapanya yang tadi tetapi tangannya semakin liar bergerak meremas dan kedua ujung ibu jarinya memutar-mutar kedua puting payudaraku dari luar gaun tipisku.

Perlawananku semakin melemah karena terkalahkan oleh desakan nafsuku yang menuntut pemenuhan. Apalagi tonjolan di balik celana Pak Marsan yang keras menekan kuat di belahan kedua belah buah pantatku. Hal ini semakin membuat nafsuku terbangkit ditambah dinginnya malam dan derasnya hujan di luar sana. Suasana sangat mendukung bagi setan untuk menggoda dan menggelitik nafsuku.


Tubuhku semakin merinding dan kurasakan seluruh bulu romaku berdiri saat jilatan lidah Pak Marsan yang panas menerpa tulang belakangku. Tubuhku didorong Pak Marsan hingga tengkurap di atas meja makan dekat dapur yang kokoh karena memang terbuat dari kayu jati pilihan. Saat itulah tiba-tiba salah satu tangan Pak Marsan beralih menyingkap gaunku dan meremas kedua buah pantatku. Aku semakin terangsang hebat saat tangan Pak Marsan yang kasar menyusup celana dalam nylonku dan meremas pantatku dengan gemas.

Sesekali jarinya yang nakal menyentuh lubang anusku. Gila..!! Benar-benar lelaki yang kasar dan liar. Tapi aku senang karena suamiku biasanya memperlakukanku bak putri saat bercinta denganku. Ia selalu mencumbuku dengan lembut. Ini sensasi lain..!! Kasar dan liar.. Apa lagi samar-samar kucium aroma keringat Pak Marsan yang berbau khas lelaki! Tanpa parfum.. Gila aku jadi terobsesi dengan bau khas seperti ini. Hal ini mengingatkanku pada saat aku bermain gila dengan Pak Sitor di kepulauan dahulu.

"Akhh.. Pakk.. Marsannhh jangg.. Anhh" desahku antara pura-pura menolak dan meminta. Ya harus kuakui kalau aku benar-benar rindu pada jamahan lelaki kasar macam Pak Marsan.

Pak Marsan yang sudah sangat bernafsu sudah tidak mempedulikan apa-apa lagi. Dengan beringas dan agak kasar digigitnya punggungku di sana-sini sehingga membuat aku menggeliat dan menggelepar seperti ikan kekurangan air. Apalagi saat bibirnya yang ditumbuhi kumis tebal seperti kumisnya Pak Raden mulai menjilat-jilat pantatku.

"Akhh.. Pakk.. Akhh.. Jang.. Akhh" kepura-puraanku akhirnya hilang saat dengan agak kasar mulut Pak Marsan dengan rakusnya menggigiti kedua belah pantatku!!

Luar biasa sensasi yang kurasakan saat itu. Pantatku bergoyang-goyang ke kanan dan kiri menahan geli saat digigit Pak Marsan. Mungkin kalau disyuting lebih dahsyat dibanding goyang ngebornya si Inul yang terkenal itu.

"Emhh.. Pantat ibu indahh.." kudengar Pak Marsan menggumam mengagumi keindahan pantatku. Lalu tanpa rasa jijik sedikitpun lidahnya menyelusup ke dalam lubang anusku dan jilat sana jilat sini.
"Ouch.. Shh.. Am.. Ampunnhh" aku mendesis karena tidak tahan dengan rangsangan yang diberikan lelaki kasar yang sebenarnya harus menghormati kedudukanku di kantor. Aku benar-benar pasrah total.

Liang vaginaku sudah berkedut-kedut seolah tak sabar menanti disodok-sodok. Rangsangan semakin hebat kurasakan saat tiba-tiba kepala Pak Marsan menyeruak di sela-sela pahaku dan mulutnya yang rakus mencium dan menyedot-nyedot liang vaginaku dari arah belakang. Secara otomatis kakiku melebar untuk memberikan ruang bagi kepalanya agar lebih leluasa menyeruak masuk. Aku sepertinya semakin gila. Karena baru kali ini aku bermain gila di rumahku sendiri. Tapi aku tak peduli yang penting gejolak nafsuku terpenuhi titik!

"Ouch.. Shh.. Terushh.. Ohh Pak Marsanhh" dari menolak aku menjadi meminta! Benar-benar gila!!

Pantatku semakin liar bergoyang saat lidah Pak Marsan menyelusup ke dalam alur sempit di selangkanganku yang sudah sangat basah dan menjilat-jilat kelentitku yang sudah sangat mengembang karena birahi. Aku merasakan ada suatu desakan maha dahsyat yang menggelora, tubuhku seolah mengawang dan ringan sekali seperti terbang ke langit kenikmatan. Tubuhku berkejat-kejat menahan terpaan gelora kenikmatan. Pak Marsan semakin liar menjilat dan sesekali menyedot kelentitku dengan bibirnya hingga akhirnya aku tak mampu lagi menahan sahwatku.

"Akhh.. Pak Marsannhh akhh.." aku mendesis melepas orgasmeku yang pertama sejak seminggu kepergian suamiku ini. Nikmat sekali rasanya.

Tubuhku bergerak liar untuk beberapa saat lalu akhirnya terdiam karena lemas. Napasku masih memburu saat Pak Marsan melepaskan bibirnya dari gundukan bukit di selangkanganku. Lalu masih dengan posisi tengkurap di atas meja makan dengan setengah menungging tubuhku kembali ditindih Pak Marsan. Kali ini ia rupanya sudah menurunkan celana dinasnya karena aku merasakan ada benda hangat dan keras yang menempel ketat di belahan pantatku. Gila panas sekali benda itu! Aku terlalu lemas untuk bereaksi.

Beberapa saat kemudian aku merasakan benda itu mengosek-kosek belahan kemaluanku yang sudah basah dan licin. Sedikit demi sedikit benda keras itu menerobos kehangatan liang kemaluanku. Sesak sekali rasanya. Mungkin apa yang kubayangkan tadi benar!! Karena selama ini aku belum pernah melihat ukuran, bentuk maupun warnanya! Tapi aku yakin kalau warnanya hitam seperti si empunya!!

Aku kembali terangsang saat benda hangat itu menyeruak masuk dalam kehangatan bibir kemaluanku.

"Hkk.. Hh.. Shh.. Mem.. Mekhh Bu.. Ren.. Ni benar-benar legithh.." Gumam Pak Marsan di sela-sela napasnya yang memburu.

Didesakkannya batang kemaluannya ke dalam lubang kemaluanku. Ouhh lagi-lagi sensasi yang luar biasa menerpaku. Di kedinginan malam dan terpaan deru hujan kami berdua justru berkeringat.. Gila.. Pak Marsan menyetubuhiku di ruang makan di mana aku biasanya sarapan pagi bersama suamiku! Gaunku tidak dilepas semuanya, hanya disingkap bagian bawahnya sedangkan celana dalam nylonku sudah terbang entah kemana dilempar Pak Marsan.

"Ouhh Pak Marsann.. Ahh" aku hanya mampu merintih menahan nikmat yang amat sangat saat Pak Marsan mulai memompaku dari belakang!

Dengan posisi setengah menungging dan bertumpu pada meja makan, tubuhku disodok-sodok Pak Marsan dengan gairah meluap-luap. Tubuhku tersentak ke depan saat Pak Marsan dengan semangat menghunjamkan batang kemaluannya ke dalam jepitan liang kemaluanku! Lalu dengan agak kasar ditekannya punggungku hingga dadaku agak sesak menekan permukaan meja! Tangan kiri Pak Marsan menekan punggungku sedangkan tangan kanannya meremas-remas buah pantatku dengan gemasnya. Tanpa kusadari tubuhku ikut bergoyang seolah-olah menyambut dorongan batang kemaluan Pak Marsan. Pantatku bergoyang memutar mengimbangi tusukan-tusukan batang kemaluan Pak Marsan yang menghunjam dalam-dalam.

Suara benturan pantatku dengan tulang kemaluan Pak Marsan yang terdengar di sela-sela suara gemuruh hujan menambah gairahku kian berkobar. Apalagi bau keringat Pak Marsan semakin tajam tercium hidungku. Oh.. Inikah dunia.. Tanpa sadar mulutku bergumam dan menceracau liar.

"Ouhmm terushh.. Terushh.. Yang kerashh.." Aku menceracau dan menggoyang pantatku kian liar saat aku merasakan detik-detik menuju puncak.
"Putar Bu.. Putarrhh" kudengar pula Pak Marsan menggeram sambil meremas pantatku kian keras.

Batang kemaluannya semakin keras menyodok liang kemaluanku yang sudah kian licin. Aku merasakan batang kemaluan Pak Marsan mulai berdenyut-denyut dalam jepitan liang kemaluanku. Aku sendiri merasa semakin dekat mencapai orgasmeku yang kedua. Tubuhku serasa melayang. Mataku membeliak menahan nikmat yang amat sangat. Tubuh kami terus bergoyang dan beradu, sementara gaunku sudah basah oleh keringatku sendiri. Pak Marsan semakin keras dan liar menghunjamkan batang kemaluannya yang terjepit erat liang kemaluanku. Lalu tiba-tiba tubuhnya mengejat-ngejat dan mulutnya menggeram keras.

"Arghh.. Terushh buu.. Goyangghh.. Arghh.."

Batang kemaluannya yang terjepit erat dalam liang kemaluanku berdenyut kencang dan akhirnya aku merasakan adanya semprotan hangat di dalam tubuhku.. Serr.. Serr.. Serr.. Beberapa kali air mani Pak Marsan menyirami rahimku seolah menjadi pengobat dahaga liarku. Tubuhnya kian berkejat kejat liar dan tangannya semakin keras mencengkeram pantatku hingga aku merasa agak sakit dibuatnya. Tapi aku tak peduli. Tubuhku pun seolah terkena aliran listrik yang dahsyat dan pantatku bergerak liar menyongsong hunjaman batang kemaluan Pak Marsan yang masih menyemprotkan sisa-sisa airmaninya.

"Ouch.. Akhh.. Terushh.. Pak Mar.. Sanhh.." tanpa malu atau sungkan aku sudah meminta Pak Marsan untuk lebih kuat menggoyang pantatnya untuk menuntaskan dahagaku.

Akhirnya aku benar-benar terkapar. Tulang-belulangku serasa terlepas semua. Benar-benar lemas aku dibuat oleh Pak Marsan. Kami terdiam beberapa saat menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami peroleh. Batang kemaluan Pak Marsan kurasakan mulai mengkerut dalam jepitan liang kemaluanku. Perlahan namun pasti akhirnya batang kemaluan itu terdorong keluar dan terkulai menempel di depan bibir kemaluanku yang basah oleh cairan kami berdua. Gila banyak sekali Pak Marsan mengeluarkan air maninya! Aku tahu itu karena banyaknya tumpahan sisa-sisa air mani dari lubang kemaluanku yang menetes ke lantai ruang makan.

"Ibu benar-benar hebat.. Saya jadi sayang ibu.." bisik Pak Marsan di telingaku. Aku hanya diam antara menyesal telah melakukan kesalahan lagi terhadap suamiku dan terpuaskan hasrat liarku.
"Su.. Sudah Pak.. Nanti Mbok Sarmi bangun" kulepas tangan Pak Marsan yang masih memelukku.

Aku berusaha melepaskan diri dari jepitan tubuh Pak Marsan yang kekar. Lalu aku bergegas ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Sekali lagi aku mandi di malam yang dingin itu.

Aku keluar dari kamar mandi dan baru kusadari betapa kacaunya ruang makanku! Meja makanku sudah bergeser tak karuan sementara kulihat celana dalam nylonku terlempar ke sudut ruangan dekat kulkas. Pak Marsan masih membetulkan celana dinasnya.

"Bu saya.. Boleh numpang mandi Bu.."
"Silahkan Pak.. Handuknya ada di dalam"

Aku mengambil kain pel dan membersihkan cairan sisa-sisa persenggamaanku dengan Pak Marsan yang berceceran di lantai. Sementara itu Pak Marsan mandi di kamar mandi yang baru saja kupakai.


Permainan Kedua

Aku masih mengepel cairan sisa-sisa 'perjuangan' kami tadi yang masih menempel di lantai. Tanpa kusadari tiba-tiba Pak Marsan yang hanya mengenakan handuk memelukku lagi dari belakang. Gila! Orang ini benar-benar bernafsu kuda!! Tubuhku diangkatnya dan hendak dibawa masuk ke kamar mandi.

"Jangan di situ Pak.." bisikku. Aku tidak mau bersetubuh di lantai kamar mandi yang dingin!! Bisa-bisa masuk angin nanti!!
"Ke kamar depan aja Pak.." Aku tahu tak mungkin aku menolak keinginan Pak Marsan! Apalagi aku juga menyukainya.

Akhirnya tubuhku dipondong ke kamar depan yang memang khusus untuk tamu bila ada yang menginap. Kamar tamuku fasilitasnya komplit sesuai standar rumah berkelas. Kamar tamuku dilengkapi tempat tidur spring bed, dan kamar mandi di dalam, serta AC!

Setelah menutup pintu kamar dengan kakinya, Pak Marsan menurunkan tubuhku di lantai dan bibirnya mulai mencari-cari bibirku. Aku diam saja saat bibirnya menyedot-nyedot bibirku. Kumisnya yang tebal terasa geli mengais-ngais hidungku. Aku semakin geli saat lidahnya berusaha menyusup ke dalam mulutku dan mengais-ngais di dalamnya. Tanpa sadar lidahku ikut menyambut lidah Pak Marsan yang mendesak-desak dalam mulutku.

Akhirnya kami saling pagut dengan liar dan menggelora. Aku sudah tak peduli kalai Pak Marsan itu adalah anak buahku. Yang kutahu adalah nafsuku mulai bangkit lagi. Apalagi tangan Pak Marsan mulai menyingkap gaun baby dollku ke atas dan melepaskannya melalui kepalaku hingga aku telanjang bulat di depannya! Gila aku telah telanjang bulat di depan anak buahku sendiri!! Aku memang belum sempat memakai celana dalam dan BH setelah mandi tadi. Lalu dengan sekali tarik Pak Marsan melepas handuk yang melilit di pinggangnya hingga ia juga telanjang bulat di depanku!


Benar dugaanku! Ternyata batang kemaluannya berwarna hitam dengan rambut yang sangat lebat. Topi bajanya tampak mengkilat dan mengacung ke atas dengan gagahnya! Mungkin bila dijajarkan dengan pentungan yang biasa dibawanya ukurannya sedikit lebih besar!! Makanya tadi kurasakan betapa sempitnya liang vaginaku menjepit benda itu!!

Aku tidak sempat berlama-lama melihat pemandangan itu, karena sekali lagi Pak Marsan menyergapku. Mulutnya dengan ganas melumat bibirku sementara tangannya memeluk erat tubuh telanjangku. Aku merasa kegelian saat tangannya meremas-remas pantatku yang telanjang. Aku semakin menggelinjang saat bibirnya mulai turun ke leher dan terus ke dua buah dadaku yang padat menjadi sasaran mulutnya yang bergairah! Gila.. Liar dan panas! Itulah yang dapat kugambarkan. Betapa tidak! Pak Marsan mencumbuku dengan semangat yang begitu bergelora seolah-oleh harimau lapar menemukan daging! Agak sakit tapi nikmat saat kedua buah dadaku secara bergantian digigit dan disedot dengan liar oleh mulut Pak Marsan. Tanganku pun dibimbing Pak Marsan untuk dipegangkan ke arah batang kemaluannya yang tegak.

"Ouch.. Shh.. Enakhh.." mulutku tak sadar berbicara saat lidah Pak Marsan yang panas dengan liar mempermainkan puting payudaraku yang sudah mengeras.

Sambil masih tetap memeluk tubuhku dan menciumi payudaraku, Pak Marsan duduk di pinggir tempat tidur. Dilepaskannya mulutnya dari payudaraku dan kembali diciuminya bibirku dengan ganasnya. Aku jadi terjongkok didepan tubuh telanjang Pak Marsan yang sudah duduk di pembaringan, aku jadi berdiri di atas kedua lututku. Payudaraku yang kencang menjepit batang kemaluan Pak Marsan yang hitam dan keras itu!

"Hh.. Sshh" Pak Marsan mendesis saat batang kemaluannya yang besar dan hitam itu terjepit payudaraku.

Dipeluknya tubuhku dengan semakin ketat dan ditekankannya hingga payudaraku semakin erat menjepit batang kemaluannya. Aku merasa kegelian saat bulu-bulu kemaluan Pak Marsan yang sangat lebat menggesek-gesek pangkal payudaraku. Apalagi batang kemaluannya yang keras terjepit di tengah belahan kedua buah payudaraku, hal ini menimbulkan sensasi yang lain daripada yang lain.

Aku tidak sempat berlama-lama merasakan sensasi itu saat tangan Pak Marsan yang kokoh menekan kepalaku ke bawah. Diarahkannya kepalaku ke arah kemaluannya, sementara tangan satunya memegang batang kemaluannya yang berdiri gagah di depan wajahku. Aku tahu ia menginginkan aku untuk mengulum batang kemaluannya.

Tanpa perasaan malu lagi kubuka mulutku dan kujilati batang kemaluan Pak Marsan yang mengkilat. Gila besar sekali!! Mulutku hampir tidak muat dimasuki benda itu.

"Arghh.. Ter.. Terushh buu.." Mulut Pak Marsan mengoceh tak karuan saat kumasukkan batang kemaluannya yang sangat besar itu ke dalam mulutku.

Kujilati lubang di ujung kemaluannya hingga ia mendesis-desis seperti orang kepedasan. Tidak puas bermain-main dengan batang kemaluan itu mulutku bergeser ke bawah lidahku menyelusuri guratan urat yang memanjang dari ujung kepala kemaluan Pak Marsan hingga ke pangkalnya. Pak Marsan semakin blingsatan menerima layananku! Tubuhnya semakin liar bergerak saat bibirku menyedot kedua biji telor Pak Marsan secara bergantian.

"Ib.. Ibu.. Heb.. Bathh.. Ohh.. Sshh.. Akhh".

Aku semakin nakal, bibirku tidak hanya menyedot kantung zakarnya melainkan lidahku sesekali mengais-ngais anus Pak Marsan yang ditumbuhi rambut. Pak Marsan semakin membuka kakinya lebar-lebar agar aku lebih leluasa memuaskannya.

Beberapa saat kemudian tubuhku ditarik Pak Marsan dan dilemparkannya ke tempat tidur. Aku masih tengkurap saat tubuh telanjangku ditindih tubuh telanjang Pak Marsan. Kakiku dipentangkannya lebar-lebar dengan kakinya dan otomatis batang kemaluannya kini terjepit antara perutnya sendiri dan pantatku. Ditekannya pantatnya hingga batang kemaluannya semakin ketat menempel di belahan pantatku. Tubuhku menggelinjang hebat saat lidahnya kembali menyusuri tulang belakangku dari leher terus turun ke punggung dan turun lagi ke arah pantatku.

Tanpa rasa jijik sedikitpun, lidah Pak Marsan kini mempermainkan lubang anusku. Aku merasakan kegelian yang amat sangat tetapi aku tidak dapat bergerak karena pantatku ditekannya kuat-kuat. Aku hanya pasrah dan menikmati gairahnya.. Seluruh tubuhku dijilatinya tanpa terlewatkan seincipun. Dari lubang anus, lidahnya menjalar ke bawah pahaku terus ke lutut dan akhirnya seluruh ujung jariku dikulumnya. Benar-benar gila!! Rasa geli dan nikmat berbaur menjadi satu.

Aku semakin mendesis liar saat mulut Pak Marsan dengan liar dan gemas menyedot payudaraku bergantian. Kedua puting payudaraku dipermainkan oleh lidahnya yang panas sementara tangannya bergerak turun ke bawah dan mulai bermain-main di selangkanganku yang sudah basah. Liang vaginaku berdenyut-denyut karena terangsang hebat, saat jari-jari tangan Pak Marsan menguak labia mayoraku dan menggesek-gesekkan jarinya di dinding lubang kemaluanku yang sudah semakin licin.

Sensasi hebat kembali menderaku saat dengan liar mulut Pak Marsan menggigit-gigit perut bagian bawahku yang masih rata. Perutku memang rata karena aku rajin berlatih kebugaran selain itu aku belum mempunyai anak hingga tubuhku masih sempurna.
....

bersambung

Pembalasan Terhadap Temenku Yang Menjual Aku Ke Om2

Hari itu langit sudah menguning saat aku dan Verna tiba di rumahnya seusai main tenis bersama. Berhubung jalan ke rumahku masih macet karena jam bubar, maka Verna mengajakku untuk singgah di rumahnya dulu daripada terjebak macet. Di pekarangan rumah Verna yang cukup luas itu nampak beberapa kuli bangunan sedang sibuk bekerja, kata Verna disana akan dibangun kolam ikan lengkap dengan paviliunnya. Perhatian mereka tersita sejenak oleh dua gadis yang baru turun dari mobil, yang terbalut pakaian tenis dan memperlihatkan sepasang paha mereka yang mulus dan ramping. Verna dengan ramah melemparkan senyum pada mereka, aku juga nyengir membalas tatapan nakal mereka. Mama Verna mempersilakanku masuk dan menyuguhi kue-kue kecil plus minumannya. Aku langsung menghempaskan pantatku ke sofa dan menyandarkan raketku di sampingnya, minuman yang disuguhkan pun langsung kusambar karena letih dan haus.

Setengah jam pertama kami lewati dengan ngerumpi tentang masalah kuliah, cowok, dan seks sambil menikmati snack dan menonton TV. Lalu Mama Verna keluar dari kamarnya dengan dandanan rapi menandakan dia akan keluar rumah.


"Ver, Mama titip bayarannya tukang-tukang itu ke kamu ya, Mama sekarang mau ke arisan," katanya seraya menyerahkan amplop pada Verna.


"Yah Mama jangan lama-lama, ntar kalau Citra pulang, Verna sendirian dong, kan takut," ujarnya dengan manja (waktu itu papanya sedang di luar kota, adik laki-lakinya, Very sudah 2 tahun kuliah di US dan pembantunya, Mbok Par masih mudik).


Akhirnya kami ditinggal berdua di rumah Verna yang besar itu. Aku sih sebenarnya sudah mau pulang dan mandi sehabis bermain tenis, tapi Verna masih menahanku untuk menemaninya. Sebagai sobat dekat terpaksa deh aku menurutinya, lagian aku kan tidak bawa mobil. Di halaman depan tampak para tukang itu sudah beres-beres, ada pula yang sudah membersihkan badan di kamar mandi belakang.

Melihat mereka sudah bersih-bersih, akupun jadi kepingin menyegarkan badanku yang sudah tidak nyaman ini. Akupun mengajak Verna mandi bareng, tapi dia menyuruhku mandi saja duluan di kamar mandi di kamarnya, nanti dia akan menyusul sesudah para tukang selesai dan membayar uang titipan Mamanya pada mereka, sekalian menghabiskan rokoknya yang tinggal setengah. Akupun meninggalkannya dia yang sedang menonton TV di ruang tengah menuju ke kamarnya. Di kamar mandi aku langsung menanggalkan pakaianku lalu kuputar kran shower yang langsung mengucurkan airnya mengguyur tubuh bugilku. Air hangat memberiku kesegaran kembali setelah seharian berkeringat karena olahraga, rasa nyaman itu kuekspresikan dengan bersenandung kecil sambil menggosokkan sabun ke sekujur tubuhku. 15 menit kemudian aku sudah selesai mandi, kukeringkan tubuhku lalu kulilitkan handuk di tubuhku. Aku sudah beres, tapi anehnya Verna kok belum muncul juga, bahkan pintu kamarpun tidak terdengar dibuka, padahal dia bilang sebentar saja.

Aku ingin meminjam bajunya, karena bajuku sudah kotor dan bau keringat, maka aku harus bilang dulu padanya.


"Ver..Ver, sudah belum, saya mau pinjam baju kamu nih!!," teriakku dari kamar.


Tidak terdengar jawaban dari seruanku itu, ada apa ya pikirku, apakah dia sedang di luar meninjau para tukang jadi suaraku tidak terdengar? Waktu aku lagi bingung sendirian begitu terdengarlah pintu diketuk.


"Nah, ini dia baru datang," kataku dalam hati.


Akupun menuju ke pintu dan membukanya sambil berkata


"Huuh.. lama banget sih Ver, lagian ngapain pake ngetok..!!," rasa kaget memotong kata-kataku begitu melihat beberapa orang pria sudah berdiri diambang pintu. Dua diantaranya langsung menangkap lenganku dan yang sebelah kanan membekap mulutku dengan tangannya yang besar.

Belum hilang rasa kagetku mereka dengan sigap menyeretku kembali ke dalam kamar. Aku mulai dapat mengenali wajah-wajah mereka, ternyata mereka adalah para kuli bangunan di bawah tadi, semuanya ada 4 orang.


"Apa-apaan ini, lepasin saya.. tolong..!!," teriakku dengan meronta-ronta.


Tapi salah seorang dari mereka yang lengannya bertato dengan tenangnya berkata, "Teriak aja sepuasnya neng, di rumah ini sudah nggak bakal ada yang denger kok."


Mendengar itu dalam pikiranku langsung terbesit 'Verna', ya mana dia, jangan-jangan terjadi hal yang tidak diinginkan padanya sehingga aku pun makin meronta dan menjerit memanggil namanya. Tak lama kemudian masuklah Verna, tangannya memegang sebuah handycam Sony model terbaru. Sejenak aku merasa lega karena dia baik-baik saja, tapi perasaanku lalu menjadi aneh melihat Verna menyeringai seram.

"Ver.. apa-apaan nih, mau ngapain sih kamu?," tanyaku padanya.


Tanpa mempedulikan pertanyaanku, dia berkata pada para kuli bangunan itu,


"Nah, bapak-bapak kenalin ini temen saya Citra namanya, dia seneng banget dientot, apalagi kalau dikeroyok, jadi silakan dinikmati tanpa malu-malu, gratis kok!,"


Dia juga memperkenalkan para kuli itu padaku satu-persatu. Yang lengannya bertato adalah mandornya bernama Imron, usianya sekitar 40-an, dia dipanggil bos oleh teman-temannya. Di sebelah kiriku yang berambut gondrong sebahu dan kurus tinggi bernama Kirno, usianya sekitar 30-an. Yang berbadan paling besar diantara mereka sedang memegangi lengan kananku bernama Tarman, sebaya dengan Imron, sedangkan yang paling muda kira-kira 25-an bernama Dodo, wajahnya paling jelek diantara mereka dengan bibir agak monyong dan mata besar. Keempatnya berbicara dengan logat daerah Madura.

"Gila kamu Ver.. lepasin saya ah, edan ini sih!," aku berontak tapi dalam hatiku aku justru ingin melanjutkan kegilaan ini.


"Tenang Ci, ini baru namanya surprise, sekali-kali coba produk kampung dong," katanya menirukan ucapanku waktu mengerjainya di vila dulu. Habis berkata bibirnya dengan cepat memagut bibirku, kami berciuman beberapa detik sebelum dia menarik lepas mulutnya yang bersamaan dengan menghentakkan handuk yang melilit tubuhku. Mereka bersorak kegirangan melihat tubuh telanjangku, mereka sudah tidak sabar lagi untuk menikmatiku


"Wah.. nih tetek montok banget, bikin gemes aja!," seru si Tarman sambil meremas payudara kananku.


"Ini jembut nggak pernah dicukur yah lebat banget!," timpal si Kirno yang mengelusi kemaluanku yang ditumbuhi bulu-bulu lebat itu, dengan terus mengelus Kirno lalu merundukkan kepalanya untuk melumat payudaraku yang kiri. Sementara di belakangku, si Dodo berjongkok dan asyik menciumi pantatku yang sekal, tangannya yang tadinya cuma merabai paha mulus dan bongkahan pantatku mulai menyusup ke belahan pantatku dan mencucuk-cucukkan jarinya di sana.

Di hadapanku Pak Imron melepaskan pakaiannya, kulihat tubuhnya cukup berisi tapi perutnya agak berlemak, penisnya sudah mengacung tegak karena nafsunya. Dia meraba-raba kemaluanku, si Kirno yang sebelumnya menguasai daerah itu bersikap mengalah, dia melepaskan tangannya dari sana agar mandornya itu lebih leluasa. Wajahnya mendekati wajahku, dia menghirup bau harum dari tubuhku.


"Hhmmhh.. si non ini sudah wangi, cantik lagi!," pujinya sambil membelai wajahku.


"Iya bos, emang di sini juga wangi loh!," timpal si Dodo di tengah aktivitasnya menciumi daerah pantatku.


Diperlakukan seperti itu bulu kudukku merinding, sentuhan-sentuhan nakal pada bagian-bagian terlarangku membuatku serasa hilang kendali. Gerak tubuhku seolah-olah mau berontak namun walau dilepas sekalipun saya tidak akan berusaha melarikan diri karena tanggung sudah terangsang berat. Merasa sudah menaklukkanku, kedua kuli di samping melonggarkan pegangannya pada lenganku.

Adegan panas ini terus direkam Verna dengan handycamnya sambil menyoraki kami.


"Aahh.. jangan.. Ver, jangan disyuting.. ngghh.. matiin handy.. hhmmhh..!!," kata-kataku terpotong oleh Pak Imron yang melumat bibirku dengan bernafsu. Aku yang sudah horny membalas ciumannya dengan penuh gairah.


"Acchh.. ahhkk.. cckk" bunyi mulut dan lidah kami beradu. Aku makin menggeliat kegelian ketika si Kirno menaikkan lenganku dan menciumi ketiakku yang tak berbulu.


"Ayo Ci, gaya kamu ok banget, pasti lebih heboh dari bokepnya Itenas nih," Verna menyemangati sambil mencari sudut-sudut pengambilan gambar yang bagus. Dia fokuskan kameranya ketika aku sedang diciumi Pak Imron, saat bersilat lidah hingga liur kami menetes-netes. Badanku bergetar sepeti kesetrum dan tanpa sadar kubuka kedua pahaku lebih lebar sehingga membuka lahan lebih luas bagi lidah Dodo bermain main di lubang anusku, juga jari-jari yang mengocok-ngocok vaginaku, aku tidak dapat melihat jelas lagi jari-jari siapa yang mengelus ataupun keluar-masuk di sana saking hanyutnya dalam birahi.

Mereka menggiring dan mendudukkanku di tepi ranjang. Kirno dan Tarman mulai melepas pakaian mereka, sedangkan Dodo entah sejak kapan dia melepaskan pakaiannya, karena begitu kulihat dia sudah tidak memakai apa-apa lagi. Kini mereka berempat yang sudah bugil berdiri mengerubungiku dengan keempat senjatanya ditodongkan di depan wajahku. Aku sempat terperangah melihat penis mereka yang sudah mengeras itu, semuanya hitam dan besar, rata-rata berukuran 17-20cm.


"Ayo non, tinggal pilih mau yang mana duluan," kata Pak Imron.


Aku meraih penis Pak Tarman yang paling panjang, kubelai dan kujilati sekujur permukaannya termasuk pelirnya, kemudian kumasukkan ke mulut dan kuemut-emut.


"Heh, jangan cuma si Tarman aja dong non, saya kan juga mau nih," tegur si Kirno seraya menarik tanganku dan menempelkannya pada penisnya .


"Iya nih, saya juga," sambung si Dodo menarik tanganku yang lain.

"Mmhh.. eenngg..!," gumamku saat menyepong Pak Tarman sambil kedua tanganku menggenggam dan mengocok penis Dodo dan Kirno. Sambil menikmati penis-penis itu, mendadak kurasakan kakiku direnggangkan dan ada sesuatu di bawah sana. Oh, ternyata Pak Imron berjongkok di hadapan selangakanku. Tangannya membelai paha mulusku dan berhenti di vaginaku dimana dia membuka bibirnya lalu mendekatkan wajahnya kesana. Kurasakan lidahnya mulai menyentuh dinding vaginaku dan menari-nari disana. Sungguh luar biasa kenikmatan itu, aku pun semakin liar, aku membuka pahaku lebih lebar agar Pak Imron lebih leluasa menikmati vaginaku. Hal itu juga berpengaruh pada kocokan dan kulumanku yang makin intens terhadap ketiga pria yang sedang kulayani penisnya. Mereka mengerang-ngerang merasakan nikmatnya pelayanan mulutku secara bergantian. Saking sibuknya aku sampai tidak tahu lagi tangan-tangan siapa saja yang tak henti-hentinya menggerayangi payudaraku.

Setelah cukup dengan pemanasan, mereka membaringkan tubuhku di tengah ranjang. Pak Imron langsung mengambil posisi diantara kedua pahaku siap untuk memasukkan penisnya kepadaku, tanpa ba-bi-bu lagi dia mulai menancapkan miliknya padaku. Ukurannya sih tidak sebesar milik Pak Tarman, tapi diameternya cukup lebar sesuai bentuk tubuhnya sehingga vaginaku terkuak lebar-lebar dan agak perih. Verna mendekatkan kameranya pada daerah itu saat proses penetrasi yang membuatku merintih-rintih. Pak Imron mulai menghentak-hentakkan pinggulnya, mulanya pelan tapi semakin lama goyangannya semakin kencang membuat tubuhku tersentak-sentak. Teman-temannya juga tidak tinggal diam, mereka menjilati, mengulum, dan menggerayangi sekujur tubuhku. Si Dodo sedang asyik menjilat dan mengeyot payudaraku, terkadang dia juga menggigit putingku. Pak Tarman menggelikitik telingaku dengan lidahnya sambil tangannya meremasi payudaraku yang satunya. Sementara tangan kananku sedang mengocok penis si Kirno. Pokoknya bener-bener rame rasanya deh, ya geli, ya nikmat, ya perih, semua bercampur jadi satu.

Aku mengerang-ngerang sambil mengomeli Verna yang terus merekamku


"Awww.. awas kamu Ver ntar.. saya.. aahh.. liat aja.. oohh.. ntar!,"


"Yaah, kamu masa kalah sama Indah Ci, dia aja sudah ada bokepnya, sekarang saya juga mo bikin yang kamu nih," ujarnya dengan santai "Hmm.. judulnya apa yah, Citra cewek A*****, wah pasti seru deh!"


Kini sampailah aku pada saat yang menentukan, tubuhku mengejang hebat sampai menekuk ke atas disusul dengan mengucurnya cairan cintaku seperti pipis. Si Kirno juga jadi ikut mengerang karena genggamanku pada penisnya jadi mengencang dan kocokanku makin bersemangat. Pak Imron sendiri belum memperlihatkan tanda-tanda akan klimaks, kini dia malah membalikkan tubuhku dalam posisi dogy tanpa melepas penisnya. Dia melanjutkan genjotannya dari belakang.

Waktu aku masih lemas dan kepalaku tertunduk, tiba-tiba si Dodo menarik rambutku dan penisnya sudah mengacung di depan wajahku. Akupun melakukan apa yang harus kulakukan, benda itu kumasukkan dalam mulutku. Kumulai dengan mengitari kepalanya yang seperti jamur itu dengan lidahku, serta menyapukan ujung lidahku di lubang kencingnya, selanjutnya kumasukkan benda itu lebih dalam lagi ke mulut dan kukulum dengan nikmatnya. Tentu saja hal ini membuat si Dodo blingsatan keenakan, penisnya ditekan makin dalam sampai menyentuh kerongkonganku, bukan cuma itu dia juga memaju-mundurkan penisnya sehingga aku agak kelabakan. Setiap kali Pak Imron menghujamkan penisnya penis Dodo semakin masuk ke mulutku sampai wajahku terbenam di selangkangannya, begitupun sebaliknya ketika Dodo menyentakkan penisnya di mulutku, penis Pak Imron semakin melesak ke dalamku. Pak Tarman yang menunggu giliran berlutut di sampingku sambil meremas payudaraku yang menggantung. Pak Imron mendekati puncak, dia mencengkam pinggulku erat-erat sambil melenguh nikmat, genjotannya semakin cepat sampai akhirnya menyemburkan cairan putih pekat di rahimku.

Sesudah Pak Imron mencabut penisnya, si Dodo mengambil alih posisinya. Namun sebelum sempat memulai, si Kirno menyela:


"Kamu dari bawah aja Do, masak dari tadi aku ngerasain tangannya aja sih, aku pengen ininya nih!," katanya sambil mencucukkan jarinya ke anusku sehingga aku menjerit kecil.


Merekapun sepakat, akhirnya aku menaiki penis si Dodo yang berbaring telentang, benda itu masuk dengan lancarnya karena vaginaku sudah licin oleh cairan kewanitaanku ditambah lagi mani Pak Imron yang banyak itu. Kemudian dari belakang Kirno mendorong punggungku ke depan sehingga pinggulku terangkat. Aku merintih-rintih ketika penisnya melakukan penetrasi pada anusku.


"Uuhh.. waduhh.. sempit banget nih lubang!," desahnya menikmati sempitnya anusku.


Kedua penis ini mulai berpacu keluar-masuk vagina dan anusku seperti mesin. Dodo yang berada dibawah menciumi leher depanku dan meninggalkan bekas merah.

"Ooohh.. aahh.. eenngghh," suara lirih keluar dari mulutku setiap kali kedua penis itu menekan kedua liang senggamaku dengan kuat.

Disebelahku kulihat Verna sudah mulai dikerjai Pak Imron dan Tarman yang sudah tidak sabar karena penisnya belum kebagian jatah lubang dari tadi. Verna terus mensyutingku walaupun tangan-tangan jahil itu terus menggerayanginya, sesekali dia mendesah. Tangan Pak Tarman menyusup lewat bawah rok tenisnya dan kaos putihnya sudah disingkap oleh Pak Imron. Dengan cekatan, Pak Imron membuka kait BH-nya menyebabkan BH yang melingkar di dadanya itu jatuh, dan terlihatlah buah dada Verna yang montok dengan puting kemerahan yang mencuat. Pak Tarman langsung melumat yang sebelah kiri sambil tangannya menggosok-gosok kemaluannya dari luar, yang sebelah kiri diremas Pak Imron sambil menciumi lehernya. Ikat rambut Verna ditariknya hingga rambut indahnya tergerai sampai punggung.


"Aaahh.. jangan sekarang Pak.. sshh," desah Verna dengan suara bergetar.


Pak Imron mengambil handycam dari tangan Verna dan meletakkannya di rak kecil pada ujung ranjang, diaturnya sedemikian rupa agar alat itu menangkap gambar kami semua. Desahan Verna makin seru saat jari-jari Pak Tarman keluar masuk vaginanya lewat samping celana dalamnya. Kedua payudaranya menjadi bulan-bulanan mereka berdua, keduanya dengan gemas meremas, menjilat, mengulum, juga memain-mainkan putingnya, seperti yang pernah kukatakan, payudara Verna memang paling menggemaskan diantara kami berempat. Pak Imron duduk berselonjor dengan bersandar pada ujung ranjang, disuruhnya Verna melakukan oral seks. Tanpa disuruh lagi Verna pun menunduk hingga pantatnya nungging. Digenggamnya penis yang hitam berurat itu, dikocok sejenak lalu dimasukkan ke mulutnya. Dari belakang, Pak Tarman menarik lepas celana dalamnya, lalu dia sendiri mulai menjilati kemaluan Verna yang sudah becek, posisi Verna yang menungging membuatnya sangat leluasa menjelajahi kemaluannya sampai anusnya dengan lidah. Mereka melakukan oral seks berantai.

Pak Imron memegang handycam dan mengarahkannya pada Verna yang sedang mengulum penisnya, terkadang alat itu juga diarahkan padaku yang sedang disenggamai Kirno dan Dodo. Sudah cukup lama aku bertahan dalam posisi ini, payudaraku rasanya panas dan memerah karena terus dikenyot dan diremas Dodo yang di bawahku, lalu Dodo menarik wajahku, bibir mungilku bertemu mulutnya yang monyong, lidahnya bermain liar dalam mulutku, wajahku juga dijilati sampai basah oleh ludahnya. Si Kirno yang sedang menyodomiku tangannya bergerilya mengelusi punggung dan pantatku. Mungkin karena sempitnya, Kirno orgasme duluan, dia mengerang dan mempercepat genjotannya hingga akhirnya dia melepas penisnya lalu buru-buru pindah ke depan untuk menyiramkan spermanya di wajahku. Pak Imron mendekatkan handycam itu saat sperma Kirno muncrat membasahi wajahku. Wajahku basah bukan saja oleh keringat, juga oleh ludah Dodo dan sperma Kirno yang kental dan banyak itu. Si Dodo bilang aku jadi lebih cantik dan menggairahkan dengan kondisi demikian, maka aku biarkan saja wajahku belepotan seperti itu, bahkan kujilati cairan yang menempel di pinggiran mulutku.

Lepas dari Kirno, aku masih harus bergumul dengan Dodo dalam posisi woman on top. Aku menggoyangkan pinggulku dengan liar diatas penisnya, aku makin terangsang melihat ekspresi kenikmatan di wajahnya, dia meringis dan mengerang, terutama saat aku membuat gerakan meliuk yang membuat penisnya seolah-olah dipelintir. Kamar ini bertambah gaduh dengan desahan Verna yang sedang disodoki Pak Tarman dari belakang, dari depannya Pak Imron menopang tubuhnya sambil menyusu dari payudaranya. Si Kirno yang sedang beristirahat diserahi tugas mensyuting adegan kami dengan handycam itu. Gila memang, kalau dilihat sekilas seperti sedang terjadi perkosaan massal di rumah ini, karena kalau dilihat dari fisik, mereka kasar dan hitam, selain itu mereka cuma kuli bangunan. Sedangkan tubuh kami terawat dan putih mulus bak pualam dengan wajah yang sedap dipandang karena kami dari golongan borju dan terpelajar. Pasti mereka ibarat kejatuhan bintang berkesempatan menikmati tubuh mulus kami.

Tidak sampai 10 menit setelah Kirno melepaskanku, tubuhku pun mulai mengejang dan kugoyangkan tubuhku lebih gencar. Akhirnya akupun kembali mencapai orgasme bersamaan dengan Dodo. Tubuhku ambruk telentang, si Dodo menyiramkan spermanya bukan hanya di wajahku, tapi juga di leher dan dadaku.


"Hei.. sialan lu, aku belum ngentot sama tuh cewek, udah lu mandiin pakai peju lu," tegur Pak Tarman yang sedang menggenjot Verna dalam logat daerah yang kental.


"Huehehe.. tenang dong bos, suruh aja si non ini yang bersihin," jawab Dodo sambil menarik kepala Verna mendekati wajahku, "Ayo non, minum tuh peju!"


Tanpa merasa jijik, Verna yang sudah setengah sadar itu mulai menjilati wajahku yang basah, lidahnya terus menyapu cairan putih itu hingga mulut kami bertemu. Beberapa saat kami berpagutan lalu lidah Verna merambat turun lagi, ke leher dan payudara, selain menjilati ceceran spema, dia juga mengulum buah dadaku, putingku digigitnya pelan dan diemut. Sebuah tangan lain mendarat di payudaraku yang satu. Aku melihat si Kirno sudah berlutut di sebelahku mengarahkan handycam ke arah kami.

Aku merasakan kedua pahaku dibuka, lalu kemaluanku yang sudah basah dilap dengan tisu. Si Dodo telah memposisikan kepalanya diantara pangkal pahaku dan lidahnya mulai menjilati pahaku. Diperlakukan demikian aku jadi kegelian sehingga paha mulusku makin mengapit kepala si Dodo. Lidahnya semakin mengarah ke vaginaku dan badanku menggeliat diiringi desahan ketika lidahnya yang basah itu bersentuhan dengan bibir vaginaku lalu menyapunya dengan jilatan panjang menyusuri belahannya. Lidah itu juga memasuki vaginaku lebih dalam lagi menyentuh klitorisku. Ooohh.. aku serasa terbang tinggi dengan perlakuan mereka, belum lagi si Kirno yang terus memilin-milin putingku dan Verna yang menjilati tubuhku. Dalam waktu singkat selangkanganku mulai basah lagi. Dodo mengisap vaginaku dalam-dalam sehingga mulutnya terlihat semakin monyong saja, sesekali dia mengapitkan klitorisku dengan bibirnya. Aku mengerang keras, kakiku mengapit erat kepalanya melampiaskan perasaan yang tak terlukiskan itu.

Aku mendengar Pak Tarman menjerit tertahan, tubuhnya mengejang dan genjotannya terhadap Verna makin kencang, ranjang ini semakin bergetar karenanya. Verna sendiri tidak kalah serunya, dia menjerit-jerit seperti hewan mau disembelih karena payudaranya yang montok itu digerayangi dengan brutal oleh Pak Tarman, selain itu agaknya dia pun sudah mau orgasme. Akhirnya jeritan panjang mereka membahana di kamar ini, mereka mengejang hebat selama beberapa saat. Keringat di wajah Verna menetes-netes di dada dan perutku dan dia jatuhkan kepalanya di perutku setelah Pak Tarman melepasnya. Pak Imron yang menunggu giliran mencicipi Verna langsung meraih tubuhnya yang masih lemas itu dan dinaikkan ke pangkuannya dengan posisi membelakangi. Tangannya yang kekar itu membentangkan lebar-lebar paha Verna dan menurunkannya hingga penis yang terarah ke vagina Verna tertancap. Penis itu melesak masuk disertai lelehan sperma Pak Tarman yang tertampung di rongga itu. Sejenak kemudian tubuh Verna sudah naik turun di pangkuan Pak Imron.

Puas menjilati vaginaku, kini si Dodo membalik tubuhku dalam posisi doggy. Penisnya diarahkan ke vaginaku dan dengan sekali hentakkan masuklah penis itu ke dalamku. Dodo memompakan penisnya padaku dengan cepat sekali sampai aku kesulitan mengambil nafas, kenikmatan yang luar biasa ini kuekspresikan dengan erangan dan geliat tubuhku. Kemudian Pak Tarman yang sudah pulih menarik kepalaku yang tertunduk lantas menjejali mulutku dengan penisnya. Jadilah aku disenggamai dari dua arah, selain itu payudaraku pun tidak lepas dari tangan-tangan kasar mereka, putingku dipencet, ditarik, dan dipelintir. Selama 15 menit diigempur dari belakang-depan akhirnya aku tidak tahan lagi, lolongan panjang keluar dari mulutku bersamaan dengan Verna yang juga telah orgasme di pangkuan Pak Imron, tak sampai 5 menit Dodo juga menyemburkan maninya di dalam rahimku.

Pak Tarman menggantikan posisi Dodo, aku dibaringkan menyamping dan diangkatnya kaki kananku ke bahunya. Dia mendorong penisnya ke vaginaku, oucchh.. rasanya sedikit nyeri karena ukurannya yang besar itu aku sampai merintih dan meremas kain sprei, padahal itu belum masuk sepenuhnya. Beberapa kali dia melakukan gerakan tarik-dorong untuk melicinkan jalan masuk bagi penisnya, hingga dorongan yang kesekian kali akhirnya benda itu masuk seluruhnya.


"Aakkhh.. sakit Pak.. aduh," aku mengerang kesakitan karena dia melakukannya dengan agak paksa.


Dia berhenti sejenak untuk membiarkanku beradaptasi, baru kemudian dia mulai menggenjotku, frekuensinya terasa semakin meningkat sedikit demi sedikit. Urat-urat penisnya terasa sekali bergesekan dengan dinding vaginaku. Aku dibuatnya mengerang-ngerang tak karuan, mataku menatap kosong ke arah handycam yang sekarang sudah berpindah ke tangan Pak Imron.

Verna kini sedang digumuli oleh Kirno dalam posisi yang sama dan saling berhadapan denganku. Kuraih tangannya sehingga telapak tangan kami saling genggam. Kucoba berbicara dengannya dengan nafas tersenggal-senggal,


"Ahh.. Ver, yang ini.. ngghh.. gede.. amat"


"Iyah.. yang ini juga.. ahh.. gila.. nyodoknya mantap!" jawabnya


Kemudian aku merasa sebuah lidah menggelitik telingaku, ternyata itu si Dodo, tangannya tidak tinggal diam ikut bergerilya di payudaraku. Bulu kudukku merinding ketika lidahnya menyapu telak tenguk dan belakang telingaku yang cukup sensitif. Pak Tarman menyodokku demikian keras sambil tangannya meremasi pantatku, untung saja aku sudah terbiasa dengan permainan kasar seperti ini, kalau tidak tentu aku sudah pingsan sejak tadi.

Tiba-tiba Verna mendesah lebih panjang dan menggenggam tanganku lebih erat, tubuhnya bergetar hebat, nampaknya dia mau orgasme.


"Iyah.. terus mas.. ahh.. ahh.. Ci.. gua keluar.. akkhh!" desahnya bersamaan dengan tubuhnya menegang selama beberapa saat lalu melemas kembali.


Ternyata Kirno masih belum selesai dengan Verna, kini dia telentangkan tubuhnya, kaos tenisnya yang tersingkap dilepaskan dan dilemparnya, maka yang tersisa di tubuh Verna tinggal rok tenis yang mini, seuntai kalung di lehernya, dan sebuah arloji 'Guess' di lengannya. Kemudian dia menaiki dada Verna dan menyelipkan penisnya diantara kedua gunung itu dan mengocoknya dengan himpitan daging kenyal itu. Tak lama spermanya berhamburan ke wajah dan dada Verna, lalu Kirno mengusap sperma di dadanya sampai merata sehingga payudara Verna jadi basah dan berkilauan oleh sperma. Si Dodo yang sebelumnya menggerayangiku sekarang sudah pindah ke selangkangan Verna dimana dia memasukkan dua jari untuk mengobok-obok vaginanya dan mengelus-elus paha dan pantatnya.

Aku tinggal melayani Pak Tarman seorang saja, tapi tenaganya seperti tiga orang, bagaimana tidak sudah tiga kali aku dengan dia ganti posisi tapi masih saja belum menunjukkan tanda-tanda sudahan, padahal badanku sudah basah kuyup baik oleh keringat maupun sperma, suaraku juga sudah mau habis untuk mengerang. Sekarang dia sedang genjot aku dengan posisi selangkangan terangkat ke atas dan dia menyodokiku dari atas dengan setengah berdiri. Belasan menit dalam posisi ini barulah dia mencabut penisnya dan badanku langsung ambruk ke ranjang. Belum sempat aku mengatur nafas, dia sudah menempelkan penisnya ke bibirku dan menyuruhku membuka mulut, cairan putih kental langsung menyembur ke wajahku, tapi karena semprotannya kuat cairan itu bukan cuma muncrat ke mulut, tapi juga hidung, pipi, dan sekujur wajahku. Yang masuk mulut langsung kutelan agar tidak terlalu berasa karena baunya cukup menyengat.

Verna masih sibuk menggoyang-goyangkan tubuhnya diatas penis Dodo, kedua tangannya menggenggam penis Pak Imron dan Kirno yang masing-masing berdiri di sebelah kiri dan kanannya. Secara bergantian dia mengocok dan menjilati penis-penis di genggamannya itu. Kedua pria itu dalam waktu hampir bersamaan menyemburkan spermanya ke tubuh Verna. Seperti shower, cairan putih itu menyemprot dengan derasnya membasahi muka, rambut, leher dan dada Verna. Mereka nampak puas sekali melihat keadaan temanku seperti itu, Pak Imron yang memegang handycam mendekatkan benda itu ke arahnya.


"Mandi peju, tengah malam.. aahh..!" demikian senandung Pak Tarman menirukan irama sebuah lagu dangdut saat mengomentari adegan itu.


Setelah orang terakhir yaitu si Dodo orgasme, kami semua terbaring di ranjang spring bed itu. Kamar ini hening sejenak, yang terdengar hanya deru nafas terengah-engah. Verna telentang di atas badan Dodo, wajahnya nampak lelah dengan tubuh bersimbah peluh dan sperma, namun tangannya masih dapat menggosok-gosokkan sperma di tubuhnya serta menjilati yang menempel di jarinya.

Pak Tarman yang pulih paling awal, melepaskan dekapannya padaku dan berjalan ke kamar mandi, sebentar saja dia sudah keluar dengan muka basah lalu memunguti bajunya. Ketika kuli lainnya pun mulai beres-beres untuk pulang. Mereka mengomentari bahwa kami hebat dan berterima kasih diberi kesempatan menikmati 'hidangan' seperti ini dengan gratis. Verna memakai kembali bajunya untuk mengantar mereka ke pintu gerbang. Mereka berpamitan padaku dengan mencium atau meremas organ-organ kewanitaanku. Verna baru kembali ke sini 15 menit kemudian karena katanya dia diperkosa lagi di taman sebelum mereka pulang. Terpaksa deh aku harus mandi lagi, habis badanku jadi keringatan dan lengket lagi sih. Kami berendam bersama di bathtub Verna yang indah sambil menonton 'film porno' yang kami bintangi sendiri melalui handycam itu. Lumayan juga hasilnya meskipun kadang gambarnya goyang karena yang men-syuting ikut berpartisipasi. Rekaman itu kami transfer menjadi VCD hanya untuk koleksi pribadi geng kami. Kami sempat beradegan sesama wanita sebentar di bathtub karena terangsang dengan rekaman itu.

Malam itu aku menginap di rumah Verna karena sudah kemalaman dan juga lelah. Kami terlebih dulu mengganti sprei yang bekas bersenggama itu dengan yang baru agar enak tidur. Pagi harinya setelah sarapan dan pamitan pada mamanya Verna, kami menuju ke halaman depan dan naik ke mobil. Di sana kami berpapasan dengan keempat tukang bangunan yang senyum-senyum ke arah kami, kami pun membalas tersenyum, lalu Verna mulai menjalankan mobil. Kami keluar dari rumahnya dengan kenangan gila dan mengasyikkan. Beberapa hari ke depan sampai pembangunan selesai, mereka beberapa kali memperkosa Verna kalau ada waktu dan kesempatan, kadang kalau sedang tidak mood Verna keluar rumah sampai jam kerja mereka berakhir.

Kisah Juragan Kos

Jakarta, 19 November 2006

Adalah sebuah anugerah yang tak ternilai yang kudapatkan di usiaku yang ke-30 ini. Rumah yang selama ini kukontrak sebesar enam juta rupiah per tahunnya kini telah menjadi milikku. Berawal dari jumlah hutang pemilik kontrakan yang terus bertambah padaku, keinginan naik haji, hingga kebutuhan-kebutuhan lainnya, membuat pemilik kontrakkan terpaksa menjualnya padaku dengan harga yang cukup murah.

Rumah yang terdiri atas tiga kamar, ruang dapur, dan kamar mandi ini rencananya akan kurehab. Satu kamar yang paling depan kupakai sendiri. Adapun dua kamar lainnya akan aku sewakan. Lumayan buat tambahan penghasilanku. Selama ini aku tidak berani menyewakan kamar yang tersisa karena aku masih harus bertanggung jawab terhadap pemilik kontrakkan. Kini semuanya telah menjadi tanggung jawabku.

TERSEDIA DUA KAMAR KOS HUBUNGI 08881145XX

Hmm… papan sederhana buatan tanganku sendiri itu kini sudah terpampang di depan pagar rumahku. Sengaja aku cantumkan nomor HP-ku. Aku hanya ada di rumah sore dan malam hari karena aku juga bekerja sebagai pegawai di salah satu kantor milik pemda.

Jakarta, 22 November 2006

“Permisi, Mas! Masih ada kamar kosong?” Seorang pria berusia hampir 40 tahun menjadi orang pertama yang menanyakan kamar yang kusewakan.

“Masih, Pak. Silakan masuk!” ujarku ramah.

Setelah berbincang dan melihat kondisi kamar, Pak Yayat Suherman sepakat untuk menyewa kamar yang paling belakang. Ia akan menempati kamar itu bersama istrinya Neneng dan anak laki-lakinya yang baru masuk STM, Andri.

Semula aku berniat untuk menyewakan hanya pada penghuni pria tetapi demi pengembalian modal yang lebih cepat maka aku setuju untuk menyewakan salah satu kamarku pada keluarga tersebut. Apalagi Pak Yayat setuju dengan harga yang kutawarkan. Nanti kalau kondisi keuanganku kembali normal baru aku mulai mengajukan syarat-syarat khusus.

Jakarta, 2 Desember 2006

“Lagi ngapain, Om?” aku menoleh ke pintu kamarku yang terbuka. Andri.

“Eh, Andri. Lagi nonton, nih. Kamu nggak belajar?” tanyaku sambil mempersilakan masuk anak Pak Yayat tersebut.

“Nggak ada PR, Om.” ujarnya santai sambil menjatuhkan tubuhnya di dekatku.

Kami berbincang ringan. Andri anak yang cukup santai walaupun cenderung pendiam. Wajahnya sangat biasa. Ia mewarisi wajah ibunya yang menurutku sangat biasa. Padahal Pak Yayat lumayan ganteng. Namun, ada satu keistimewaan Andri. Gumpalan kenyal di selangkangannya sangat menonjol. Tidak banyak remaja seusianya yang mempunyai tonjolan seperti itu. Akh… Lumayan juga kalau aku bisa mendapatkannya…

“Om, aku boleh tidur di sini?” tiba-tiba Andri berbisik.

“Memangnya di kamar kamu kenapa?” tanyaku balas berbisik.

“Bapak di rumah.” jawabnya.

“Lho, memangnya kalau bapakmu di rumah kenapa?” tanyaku lagi.

“Yaa… Aku nggak enak aja, Om. Bapak pulang seminggu sekali. Biasanya bapak minta jatah sama ibu. Kalau ada aku, khan nggak enak…” Aku paham.

“Jadi selama ini kamu begitu, Ndri? Kalau bapakmu pulang, kamu keluar?”

“Ya gitu, deh… Mau nggak mau. Soalnya aku pernah nggak ke luar dan pura-pura tidur, eh… mereka tetap nekat main juga!” Glekk…

“Kamu pernah lihat bapak ibu kamu ML?” mataku mendelik. Ada terkejut. Ada heran. Ada nafsu.

“Sekali itu aja, Om!” jawabnya cepat.

“Kamu nggak terangsang melihatnya?” pancingku.

“Wah, sange berat, Om! Makanya aku nggak mau lagi…” kulihat Andri mengubah posisi duduknya. Dia ngaceng!

“Sekarang juga, khan?!” tembakku. Ia tersenyum. Tidak membantah berarti ya.

“Boleh ya, Om?” pintanya lagi.

“Saya takut, Ndri…” godaku.

“Takut apa, Om?” tanyanya heran.

“Kamu bayangin aja sendiri. Kamu lagi tidur terus di sebelah kamu ada cowok lagi ngaceng berat. Bisa-bisa di…”

“Ha…ha…ha… Om Toro ada-ada saja! Nggaklah, Om!”

“Sekarang bilang nggak. Nanti kalau sudah tidur?” godaku lagi.

“Ya ampun, Om! Aku sudah nggak ngaceng lagi, nih!” katanya sambil menggoyang selangkangannya. Memang, sih… tapi aku sedang punya siasat.

“Jangan bohong, Ndri! Orang ngaceng sama nggak itu bisa dibedakan! Bejendol begitu dibilang nggak ngaceng…” pancingku lagi.

“Punyaku memang besar, Om!” ujarnya polos, “Kalau Om nggak percaya, lihat saja!” tantangnya. Yupp! Pancinganku berhasil!

“Coba buka! Kalau benar lagi ngaceng, punya kamu saya genjot sampai keluar dua kali, ya!” tantangku sambil pura-pura mengancam.

“Iya! Tapi kalau saya lagi nggak ngaceng, punya Om yang saya genjot, ya?!” balasnya menantang. Sip!

Andri langsung berdiri di atas lutut. Ia pelorotkan celana pendek sekaligus CD-nya. Aku sudah tahu ia sudah tidak ngaceng. Namun, aku pura-pura terkejut. Dasar!

“Gede begitu belum ngaceng, Ndri?” kepalaku kugeleng-gelengkan. Andri tersenyum. Jelas ada kebanggaan di wajahnya. Pria ingusan yang belum tahu banyak liku-liku seks.

“Andri khan sudah bilang, Om! Punya Andri itu besar…” lagi-lagi Andri tersenyum bangga. Aku akan jalankan pancinganku berikutnya! Aku langsung kembali merebahkan tubuhku. Pura-pura kembali menonton. Andri berdehem. Aku menengok ke arahnya.

“Lupa taruhannya, Om?” senyumnya mengejek penuh kemenangan.

“Nggak! Khan nggak harus sekarang dilakukannya” tanyaku sok santai.

“Ya, sih… Tapi ingat lho, Om! Dua kali!” ia tegaskan dua kata terakhir di dekat telingaku. Aku pura-pura terkejut.

“Hahh!!! Nggak salah, Ndri?” tanyaku berlagak kalut.

“Jangan akting, Om! Om saja bilang kalau aku bohong mau genjot punyaku sampai keluar dua kali. Yang fair dong, Om!” katanya mengingatkan. Padahal aku sudah tahu.

“Nggak harus malam ini, khan?” tanyaku pura-pura mengiba.

“Taruhan sekarang masak dibayar besok!” ketusnya.

“Oke, deh… Kamu kunci dulu pintunya!” kataku pura-pura pasrah. Andri langsung bangkit dan mengunci pintu kamar. Gila! Anak satu ini benar-benar konsekuen. Tidak bisa diajak bercanda. Aku harus hati-hati…

“Celananya nggak usah dibukalah, Om!” suaranya terkejut. Ooops! Jangan sampai ia mengendus permainanku ini.

“Nanti kalau keluar, celananya sayang, Ndri…” suaraku melemah. Alasanku sepertinya bisa dia terima. Andri langsung menguak kedua kakiku. Ach…

“Umur Om berapa, sih?” Andri bertanya sambil menatapi kontolku. Ia belum memulai aksinya.

“Tiga puluh…” jawabku tercekat. Kenpa anak ini tanya-tanya umur segala?

“Punya Om kecil banget! Punya teman-teman saya rata-rata lebih dari punya Om!” cibir Andri sambil mengangkat dagunya. Hmmpph… Sialan! Menghina ini bocah!

“Ini belum ngaceng, Ndri!” dustaku. Kontolku sudah 75% ngaceng. Kalaupun bertambah tidak akan seberapa. Andri terkekeh menyadari kebohonganku. Ia julurkan kakinya yang kekar ke selangkanganku.

“Ya, deh… Aku ngacengin dulu biar gede!” hinanya. Telapak kakinya melakukan gerakan memutar di kontolku. Sumpah! Aku langsung ngaceng 100%! “Dah ngaceng belum, Om?” goda Andri lagi, “Aku kencengin genjotannya, ya? Biar tambah gede!” kurasakan kontolku ditekan-tekan dengan cepatnya. Ouch! Nikmat sekali!

“Aduh! Pelan-pelan, Ndri!” ujarku berpura-pura kesakitan. Namun, sepertinya Andri tidak mempedulikannya. Ia ingin cepat-cepat aku keluar dan kelemasan.

“Biar tambah gede, Om! Jadi bisa cepat kawin. Cewek sukanya khan yang besar, Om!” ejeknya terus-menerus. Aku menikmati sekali walau harus tetap bersandiwara.

“Sudah, Ndri! Sudah mau keluar…” aku pura-pura meminta dia untuk menghentikannya. Andri merasa tidak mau dibohongi. Ia percepat genjotannya di kontolku yang terpental-pental. Ia ingin kontolku muncrat dengan genjotannya. Hal ini membuatku semakin merem-melek.

Tiga menit sudah. Kontolku langsung menyemburkan laharnya. Andri cepat-cepat menarik kakinya. Takut terkena pejuhku.

“Ha…ha…ha… Cepat benar, Om?!” ledeknya lagi. Aku menunduk. Pura-pura malu padahal tersenyum puas.

Sesaat kemudian aku meraih celanaku. Andri menahannya.

“Eitt… Masih satu kali lagi!” tagihnya.

“Iya, saya tahu! Istirahat dulu, lah… Lemessss…” Kuhembuskan nafasku berat. Andri tersenyum penuh kemenangan.

“Pantesan Om Toro belum nikah. Punya Om kecil dan cepat keluar, sih!” kata-katanya sangat tidak sopan. Aku diam saja. Berkorban perasaan sedikit tidak apa-apa. Yang penting aku mendapat kepuasan dan kontol remaja satu ini akan aku kuasai!

“Yang keduanya nanti tengah malam saja, ya?” pintaku. Andri menggeleng. Ia lalu menguap.

“Saya kalau sudah tidur susah bangunnya, Om… Jadi, sekarang saja!” katanya sambil mengangkangkan lagi kakiku.

“Pakai tangan saja, Ndri! Biar nggak sakit…” bujukku. Andri menggeleng. Pancinganku kali ini gagal.

“Ogah!!!” tegas sekali suaranya. Jangan sampai ia menyadari kalau…

“Tetap pakai kaki tapi pelan-pelan, ya? Sudah lemas, nih…” aku alihkan pancinganku. Dia tidak boleh berhenti di sini. Harus terus!

“Bapakku kalau main lama, Om! Ibu sampai minta sudahan terus. Om belum lima menit sudah keluar…” Ia bandingkan bapaknya denganku. Nada suaranya bangga. Bolehlah… Biar kusanjung-sanjung terus kejantananmu. Setelah itu? Lihat saja!

Genjotan yang kedua Andri lakukan lebih kasar. Ia ingin membuatku malu yang ke sekian kalinya. Cepat keluar. Dan ternyata benar!

“Om Toro payah!!!” hina Andri lagi. Aku sudah keluar lagi. Belum sepuluh menit padahal. Kuhempaskan tubuhku ke kasur. Celanaku belum kupakai lagi. Sengaja kupunggungi Andri. Pancingan berikutnya!

“Om! Marah, ya?” tanyanya khawatir sambil mendekatiku. Aku hanya menggeleng. Andri merebahkan tubuhnya di depanku. Padahal aku belum memakai celana!

“Kontol Om kecil banget ya, Ndri?” tanyaku lemah. Andri menatapku kasihan.

“Maaf, Om! Sejujurnya punya Om memang kecil, cepat keluar lagi!” Andri berbisik, “Diobatin ke Mak Erot, Om!” solusinya.

“Kamu pernah?” tanyaku padanya. Ia menggeleng.

“Alami, Om! Punya bapakku juga gede!” lagi-lagi kebanggaan tersirat di nada suaranya.

“Kamu tadi belum ngaceng saja sudah segitu, ya? Gimana kalau sudah ngaceng, ya…?” sengaja kugantung kalimatku.

“Om mau lihat?” tawarnya. Mau! Mau! Sorakku dalam hati. Sejak tadi aku ingin melihat kontolmu ngaceng, Ndri!

Andri sekali lagi meloloskan celana sekaligus CD-nya. Glekk!! Sebongkah benda bulat panjang kemerahan teracung di selangkangannya. Dahsyat!

“Gede banget, Ndri!” pujiku. Kudekatkan wajahku ke kontolnya pura-pura menegaskan penglihatanku. Ia tersenyum bangga.

“Keluarnya lama lagi, Om!” promosinya.

“Saya nggak percaya! Gede bukan jaminan tahan lama! Apalagi kamu masih remaja masih belum bisa mengatur emosi!” celaku. Aku sengaja memancing keegoannya.

“Om Toro nggak percaya?” tanyanya meninggi.

“Bagaimana bisa percaya kalau belum ada bukti? Jangan-jangan kontol gede kamu lebih cepat keluarnya daripada kontol saya yang kecil!” pancingan berikutnya! Kulihat wajah Andri memerah. Terlihat sekali ia tidak terima perkataanku. Ia condongkan wajahnya ke wajahku.

“Om Toro buktikan saja! Kocok punya saya! Kalau belum sepuluh menit saya sudah keluar, Om Toro boleh genjot saya sampai pejuh saya habis!!!” taruhan yang tersulut emosi.

“Nggak usah sepuluh menit lah! Bisa melebihi tiga menit saja akan saya penuhi semua keinginan kamu yang bisa saya lakukan!” taruhanku lebih menggiurkan lagi.

“Oke! Kalau saya keluar setelah tiga menit, Om harus jadi pelayan saya. Apa saja yang saya minta harus Om turuti!” ada segurat kesenangan di senyumnya.

“Ya… tapi yang Om Toro sanggup lakukan dan permintaan kamu juga jangan berlebihan!” kataku khawatir.

“Tenang saja, Om…” hiburnya.

“Tapi kalau kamu kalah, kamu juga harus mau jadi pelayan saya, ya?” Andri mengangguk pasti.

“Sudah, mulai saja Om!” tantangya sambil merenggangkan selangkangannya yang ditumbuhi bulu-bulu muda. Kontolnya agak terkulai. Namun, tetap terlihat besar dan berisi.

“Kamu mintanya dikocok. Padahal tadi saya digenjot pakai kaki…” sengaja aku ulur waktu.

“Terserah Om! Mau dikocok, digenjot, diapain saja silakan! Disepong juga boleh…” Hahhh! Mau! Mau!

Aku tetap tidak menunjukkan hasrat homoku. Aku genjot kontolnya.

“Satu menit” Andri menyebutkan waktuku. Kuubah caraku. Kali ini aku kocok dengan cepat. Andri tersenyum mengejek. Ia pede sekali bahwa usahaku untuk mengeluarkan pejuhnya tidak akan berhasil cepat.

“Dua menit” terdengar agak tertawa. Aku tunjukkan kepanikanku dengan mengelap kontolnya. Seolah-olah tanpa pikir panjang kumasukkan kontol muda itu ke mulutku. Andri tertawa senang.

“Lima puluh lima… lima puluh enam… lima puluh tujuh…” Andri sengaja menghitung detik. Aku perganas hisapanku. Andri tertawa senang sekali. Aku teruskan lumatanku. Pura-pura tidak tahu bahwa tiga menit telah terlewati sejak tadi.

“Sudah lewat, ya?” kuangkat wajahku. Andri tertawa terus.

“Sekarang sudah empat menit, Om!” Aku berniat menjauhi kontol Andri. Pura-pura tentu saja!

“Oke… saya ngaku kalah…” ujarku sok pasrah.

“Eitt! Ke mana Om?” cegahnya.

“Om kalah, Ndri! Kamu memang tahan lebih lama” pujiku.

“Terusin, dong!” pintanya memaksa.

“Lho? Semua sudah terbukti. Saya kalah. Nggak usah diterusin lagi!” Aku menyerah pura-pura.

“Sekarang bayar taruhannya Om! Sepong lagi punya saya, Om! Sampai muncrat! Jangan nanggung. Kepala bisa pusing!” sambil bicara seperti itu tangannya menarik kembali kepalaku ke selangkangannya. Kuturuti kemauannya. Kusempurnakan kemauanku! He…he…he…

Selama dua minggu ini Andri sudah tiga kali tidur di kamarku. Selama itu selalu berulang kejadian pertama tersebut. Namun, tidak lagi diawali dengan taruhan. Andri sudah mengerti keadaanku. Setiap dia ingin menuntaskan nafsunya, tinggal datang ke kamarku. Masih sebatas oral dan berjalan satu arah. Aku yang mengoral kontolnya yang besar itu.

Jakarta, 18 Desember 2006

Kamar tengah akhirnya terisi. Lagi-lagi sepasang suami isteri. Uda Nasril yang berusia 36 tahun dan Uni Devita yang masih berusia 26 tahun. Mereka belum memiliki anak. Sepertinya memang belum lama menikah.

Jakarta, 22 Desember 2006

Tok… tok… tok…

“Nonton apa, Mas Toro?” Kulihat Uda Nasril sudah berdiri di ambang pintu kamarku. Seperti biasa dia bertelanjang dada memamerkan beberapa tato di badannya yang tidak begitu kekar.

“Ini… lagi ngecek koleksi VCD dan DVD saya. Masih bagus apa nggak, ya? Jarang disetel, sih!” jawabku dengan suara agak bergetar. Jujur saja setiap berhadapan dengan Uda Nasril aku agak grogi. Entah mengapa, setiap orang Padang yang aku jumpai selalu memiliki sex appeal yang tinggi.

“Bokep?” tanyanya menuduh.

“Bukan!” jawabku buru-buru. Malu juga kalau ketahuan sebagai kolektor bokep. Untungnya film yang sedang kuputar adalah Mengejar Matahari.

“Nggak punya bokep?” Tanya Uda Nasril santai sambil mengambil salah satu kantung VCD-ku. Ooopps…. Jangan!

“Wuuuiiiihhhh!... Banyak juga koleksi bokepnya, Mas?!” Terlambat! Kantung yang dipegang Uda Nasril memang aku khususkan untuk film-film biru. Ada yang semi, hetero, dan kebanyakan gay…

“Se… Sebagian pu… punya teman sa… saya, Da!” jawabku terbata-bata. Malu sekali. Sudah ketahuan sebagai kolektor bokep, eh… bokep gay lagi!

“Bandung Lautan Asmara, Mahasiswa Trisakti, Kamasutra, Gladiator, …” Uda Nasril membaca satu per satu judul koleksiku. Masih aman karena VCD dan DVD gay kuletakkan di tumpukkan belakang…

“Sudah pernah nonton itu semua, Da?” tanyaku mengalihkan perhatiannya dari kepingan-kepingan di tangannya. Aku berharap dia tidak meneruskan melihat semua koleksiku sampai bagian belakang. Namun, pertanyaanku tidak dijawabnya.

“Big Cock, Supergay, 12 Inch, Asian Hole, Black Banana…” Uda Nasril berhenti membaca judul-judul film di hadapannya. Ia menoleh ke arahku dengan dahi berkernyit. Aku hanya menunduk. Malu dan takut.

“Daaa…!” suara Uni Devita terdengar dari kamarnya.

“Iyoo…” Uda Nasril menjawab. Ia letakkan kantung tersebut. Tanpa berbicara apa pun ia tinggalkan aku yang seperti maling tertangkap basah.

Jakarta, 31 Desember 2006

Malam tahun baru. Seperti biasa, di saat manusia lain bersuka cita menyambutnya aku hanya teronggok di kamar. Pak Yayat sedang dinas luar. Bu Neneng, Uni Devita, dan Uda Nasril mungkin sudah bergabung dengan warga di RT-ku yang akan membakar ayam di lapangan. Andri mungkin sudah berkeliaran dengan teman-temannya.

Inginnya aku tidur saja. Acara televisi sudah membuat jenuh. Awal tahun 2007 masih satu setengah jam lagi.

“Om Toro!” terdengar suara Andri di depan pintu kamarku.

“Kamu nggak ikutan bakar ayam, Ndri?” tanyaku saat membukakan pintu.

“Om Toro sendiri nggak ikut?” ia balik bertanya.

“Malas, Ndri! Paling-paling jadi bahan becandaan doang…” keluhku. Ya, kalau berkumpul dengan warga lain aku selalu jadi bahan gurauan mereka. Laki-laki usia tiga puluh belum menikah padahal sudah mapan. Pasti dijodoh-jodohkan. Mereka tidak tahu perasaanku!

“Ya, udah! Andri temenin mau?” tawarnya padaku. Andri sekarang sudah memposisikan diri sebagai penghiburku. Meskipun aku tahu, ia juga memanfaatkanku.

“Kamu nggak gabung sama teman-teman kamu?” tanyaku kembali.

“Aku mau temenin Om Toro. Boleh, khan?” Andri merebahkan tubuhnya dengan tangan terlipat di belakang kepala. Refleks kuperhatikan tonjolan di selangkangannya.

“Kamu ngaceng, Ndri?” pancingku. Andri tersenyum. Ia langsung mengelus-elus selangkangannya. Menggoda.

Tanpa ragu segera kuraih pengait celananya. Kubuka sekaligus dengan CD-nya. Menyembullah batangan kekar yang sudah beberapa kali kumuluti. Kutusuk-tusukkan ujung lidahku di kedua bijinya. Ia menggelinjang kegelian. Sesekali kusapukan lidahku ke bibir anusnya. Ia langsung melonjak. Begitu seterusnya sampai ia tak sabar lagi.

“Langsung, Om! Dah nggak tahan, nih!” tangannya meraih kepalaku. Tangan lainnya mengarahkan kemaluannya ke mulutku. Dia benar-benar sudah tak tahan.

Tok… Tok… Tok…

“Siapa?” aku bertanya terkejut. Tak ada jawaban. Segera kumasukkan kontol Andri dan kurapikan celananya. Andri juga terlihat panik. Ia bersembunyi di balik pintu. Aku segera membukakan pintu. Uda Nasril!

“Koq ngedekem aja di kamar? Gabung di lapangan, yuk!” Uda Nasril tersenyum. Mudah-mudahan dia tidak tahu kalau aku bersama Andri di kamar.

“Saya ngantuk banget, Da!” dustaku.

“Mas Toro sendirian aja?” Degh! Jangan-jangan Uda Nasril tahu.

“Ee… i…iya…” Brengsek! Jelas sekali kalau aku gugup.

“Ini seperti sandal Andri!” Mati aku!

Uda Nasril mendorong pintu yang hanya kubuka separo. Aku tak tahu harus bagaimana. Uda Nasril langsung masuk. Saat hendak duduk di karpet ia berbalik dan…

“Andri?!”

Andri tertunduk. Aku juga merasakan wajahku tak teraliri darah. Gemetar.

“Kamu ngapain di sini?” Tanya Uda Nasril. Kami hanya diam.

“Mas Toro apakan Si Andri?” kali ini pandangan Uda Nasril tertuju ke arahku.

“Sss… sa… ya ti… dak… apa-apakan…” jawabku ketakutan.

“Jangan bohong!” bentaknya. Hatiku semakin berkerut.

“Kamu diapain sama homo ini, Ndri?” kali ini Uda Nasril bertanya pada Andri.

“Nggak diapa-apain, Da! Aku memang mau begadang di kamar Om Toro…” Ah, Andri pun terlihat jelas tergeragap.

“Sudah! Nggak usah bohong! Kontol kamu diisep dia, khan?” jari Uda Nasril tepat berada di hidungku. Andri mengangguk. Mampuslah aku!

“Sekarang kamu keluar! Kalau tidak, saya laporkan ke orang tua kamu nanti!” ancam Uda Nasril seraya mengusir Andri. Andri pun keluar.

“Da! Tolong hal ini dirahasiakan, ya…”pintaku pada Uda Nasril.

“Mas Toro mau kasih apa ke saya sebagai penutup mulut?” ucapannya terdengar menghina.

“Saya nggak tahu. Terserah Uda Nasril…” ujarku pasrah.

“Oke! Terserah saya, ya!?” wajahnya mendekati wajahku, “Jadikan saya sebagai pengganti Andri!” Gila! Ternyata Uda Nasril mau juga!

“Khan sudah ada Uni Devita, Da?!” ingatku.

“Belakangan ini dia sering kecapekan!” Uda Nasril lekas membuka seluruh pakaiannya. Kulihat kontolnya tak sebesar Andri meskipun lebih besar dari kontolku. Ia pun duduk sembari mengangkangkan selangkangannya.

Tit… tit… tit…

Ada SMS. Segera kuraih HP-ku. Dari andri?

OM, AQ MO GRBEK KMR OM BRG TMN2. GA SAH TKT. QTA MO NGRJAIN DA NASRIL.

Segera kuhapus pesan tersebut.

“Dari siapa?” Tanya Uda Nasril.

“Teman ngucapin selamat tahun baru” dustaku lancar.

“Buruan, yo! Nanti yang lain keburu pulang!” Tangan Uda Nasril sudah menarik kepalaku ke selangkangannya. Aku menarik kembali kepalaku.

“Saya cek dulu di luar, Da! Jangan-jangan ada orang…” Aku melongokkan kepala ke luar kamar. Pintu kututup kembali sambil pura-pura menguncinya. Ya, pura-pura!

“Bagaimana rasa kontol saya?” Tanya Uda Nasril padaku. Aku masih memaju-mundurkan bibirku.

“Kontol Uda nggak setegang Andri, ya? Kalau Andri ngacengnya kayak besi. Gede lagi!” sengaja kulontarkan perasaanku yang sebenarnya.

“Tapi Mas Toro doyan, khan?” ejeknya sambil menekan lebih keras kepalaku. Aku hampir tersedak hingga …

BRAKKK!

Daun pintu kamarku terbanting. Andri dan empat orang temannya merangsek masuk.

“Mau apa kalian?!” Uda Nasril membentak. Mereka justru memeganginya. “Heh! Apa-apaan ini?” Ia berusaha berontak. Namun, tenaga lima orang remaja badung tersebut melebihi kekuatannya. Satu orang berhasil memegangi tangan dan kaki kanannya. Adapun seorang lagi memegangi dari sebelah kiri. Satu orang memiting lehernya. Andri membuka celana dan mengeluarkan kontolnya yang besar sambil meremas-remasnya hingga tegang.

“Ndri! Kamu mau ngapain? Jangan, Ndri!” aroma ketakutan tercium dari suara serak Uda Nasril. Gila! Aku tidak menyangka Andri merencanakan balas dendamnya seperti ini.

“Uda Nasril diam saja! Nikmatin kontol saya yang gede ini! Uni Devita masih perawan, khan? Soalnya Kontol Uda Nasril nggak bisa tegang. Sekarang biar bisa tegang, saya setrum dulu pakai kontol saya. Biar ngacengnya sekeras kontol saya! Rekam, Din!” Andri mulai mengarahkan kontolnya yang sudah mengeras ke dubur Uda Nasril. Udin yang semula hanya menonton kini mengarahkan HP berkameranya ke selangkangan Uda Nasril.

“Din, jangan direkam! Tolong, Din! Jangan!!!” suara Uda Nasril terdengar mengiba. Namun, remaja-remaja itu sepertinya sudah punya skenario sendiri. Ratapan Uda Nasril tak mereka hiraukan.

“Fyuh! Sempit juga bool Uda Nasril, nih?!” Andri terus menghujamkan kontolnya. Baru bagian kepala kontolnya yang seperti jamur yang tenggelam.

“Sakit, Ndri! Sakit! Sakiiittttt!!!” Uda Nasril mulai menjerit. Udin terus merekam proses pemerkosaan Andri terhadap Uda Nasril. Aku hanya menyudut dengan campuran perasaan kasihan, nafsu, penasaran, terangsang, dan sebagainya.

“Ssst! Jangan berisik! Mau Uni Devita tahu kalau bool Uda Nasril saya entot? Hah!?” ancaman Andri membungkam mulut Uda Nasril. Namun, erangan-erangan tertahan masih terdengar samar. Yah, kontol Andri sangat besar. Apalagi buat anus Uda Nasril yang mungkin memang bukan homo.

“Arrrgghhh…. Ndri, sakit! Ssssakkiitttt…. Arrrgh!!!” erangan Uda Nasril terdengar mengencang. Andri justru mempercepat genjotan kontolnya di dubur pria bertato itu. Ditambah lagi temannya yang semula memiting leher Uda Nasril justru menjejalkan kontolnya yang hitam ke mulut Uda Nasril. Udin mengclose-up adegan tersebut. Aku merasakan kontolku ikut tegang. Seandainya aku yang terbaring di situ dan bukan Uda Nasril…

DAR! DOR!

Jakarta, 1 Januari 2007

Suara petasan dan kembang api terdengar bersahutan di luar. Suaranya yang bising beriringan dengan jeritan Uda Nasril yang diperkosa Andri dan temannya dengan kecepatan luar biasa. Aku yakin Andri melakukannya bukan karena terangsang terhadap Uda Nasril. Namun, dendam. Ya, ia tersinggung diusir dari kamarku. Padahal saat itu ia sedang sangat ingin menyalurkan libidonya.

“Oooouuuccchhh….” Andri mengerang nikmat. Ia sudah muncrat. Kontolnya tetap terhujam di anus Uda Nasril. Uda Nasril sendiri terlihat kepayahan. Ada cairan darah mengalir dari dubur perawannya. Ia pasti hancur. Tak lama kemudian teman Andri mencabut kontolnya dari mulut Uda Nasril yang tak mampu menampung lelehan pejuh remaja berkulit hitam itu.

“Sekarang pergi!” seorang teman Andri menariknya berdiri untuk kemudian menendangnya ke arah pintu. Uda Nasril terhuyung. Dengan langkah mengangkang perih tanpa pakaian ia keluar. Udin mengikutinya dengan tetap mengarahkan HP-nya ke aurat Uda Nasril. Andri dan teman-temannya yang lain tertawa puas. Aku hanya bisa menghela nafas.

Tak lama terdengar Uda Nasril muntah-muntah. Kami sendiri di kamar tertawa-tawa menyaksikan hasil rekaman Udin. Kali ini aku benar-benar terangsang!

Paling Populer Selama Ini