6/26/2011

Selamat Datang Aris Dan Paman Arjo! - bag. I

Pagi masih gelap saat kudengar ibu membangunkan aku yang terlelap. Seperti biasa aku hanya mengubah posisi berbaringku menjadi meringkuk. “Toro! Bangun. Paman Arjo datang dari kampung, tuh!” suara ibu agak berbisik. Mungkin ia malu kalau sampai terdengar tamunya. “Sudah, Mbak! Biarkan saja, masih gelap” terdengar suara berat seorang pria dalam bahasa Jawa. Paman Arjo? “Kamu geseran saja deh! Paman Arjo dan Aris biar bisa istirahat. Kasihan mereka seharian di perjalanan” ibu menggeser paksa tubuhku. Di rumah ini memang hanya ada dua kamar tidur. Satu untuk bapak dan ibuku, satu lagi kamarku sendiri. “Rebahan dulu Dik Arjo! Aris ajak sekalian!” ujar ibu sambil keluar kamarku. Aku sudah bergeser ke bagian paling tepi ranjangku dan mencoba lagi melanjutkan mimpiku. Tak lama kudengar suara orang masuk ke kamarku. Pintu ditutup. “Itu siapa, Pak?” terdengar suara lelaki belasan tahun juga dalam bahasa Jawa. “Itu Toro, anak Pakde Muji. Dia juga sudah kelas dua SMA tapi umurnya satu tahun di bawah kamu” terdengar suara Paman Arjo berbisik. “Sekarang tidur dulu. Masih gelap. Biar Bude dan Pakde istirahat lagi.” Tiba-tiba terdengar suara orang membuka pakaian. Hmmmh… Terdengar lagi suara tubuh yang dibaringkan di sebelahku. Hening… Aku tidak bisa tidur. Otak homoku mulai bekerja. Ada dua lelaki berbaring di sebelahku, tetapi aku diamkan saja? Bodoh! Perlahan aku buka mataku dan kulihat lelaki remaja sebayaku terbaring telentang. Ia sudah pulas. Perjalanan jauh membuatnya harus segera terkapar. Wajahnya cukup tampan. Bersih tidak berjerawat, tidak seperti aku. Segera kuberalih ke selangkangannya. Ouch! Dadaku langsung berdebar. Menonjol sekali! Apakah dia ngaceng? Kulihat pria empat puluhan tahun di sebelahnya. Garis wajahnya mirip, hanya lebih gelap. Kumisnya pun lumayan tebal. Dan… wauwww tonjolannya luar biasa. Kalau yang ini aku yakin pasti sedang ngaceng! Tak tahan aku turun dari tempat tidurku menuju tepi lain ranjangku. Mereka benar-benar kelelahan sehingga pulas sekali mereka tertidur. Kusentuh perlahan tonjolan di selangkangan Paman Arjo. Dia tidak terbangun. Kutambah tekanan sentuhan tanganku. Tetap tak terbangun. Pulas sekali. Dengan leluasa kuusap-usap kemaluan pamanku itu. Kontolnya yang sudah tegang kurasakan bertambah ngaceng. Oh, my God! Panasnya sangat terasa. Kuremas sedikit untuk memastikan ia tidak terbangun. Benar-benar pulas! Aku tak bisa berlama-lama lagi. Perlahan kubuka pengait celananya. Untung ia tidak menggunakan ikat pinggang dan celana dalam sehingga memudahkan aku menjalankan aksiku. Begitu risleting celananya tersingkap kontol pamanku langsung mengacung kekar. Luar biasa! Aku benar-benar berhadapan dengan kontol yang besar, panjang, kekar, dan hangat. Masih agak takut-takut aku pegang batang kontol tersebut. Pamanku tetap tak terbangun… Kuelus lagi perlahan… Mulai mengurut… Paman Arjo tetap tertidur. Tak sabar lagi aku segera memasukkan batang segar itu ke mulutku. Glek… benar-benar besar. Hangat pula! Tidak sampai sepuluh menit kurasakan denyut kontol Paman Arjo mulai tak beraturan. Dia mau muncrat… CROTTT!... Kurasakan semburan hangat di tenggorokanku. Hmh… sedap betul! Thanks Paman Arjo! Aku segera merapikan lagi celana Paman Arjo. Selesai? Belum donk! Sayang kalau yang muda disia-siakan, pikirku. Aku naik lagi ke ranjangku. Kudekati Aris dengan perlahan. Kusentuh lagi kemaluannya. Mulai ngaceng. Tidak sebesar ayahnya memang, tetapi sayang kalau dianggurin, batinku. Agak kesulitan aku membuka celana Aris. Selain menggunakan ikat pinggang ia juga menggunakan celana berlapis, yaitu celana boxer dan celana dalam biasa. Huhhh… aku harus bekerja ekstra hati-hati jangan sampai ia terbangun. Setelah bermacam lapisan tadi tersingkap terlihat juga kontol segar Aris. Lebih kecil sedikit dibandingkan kontol ayahnya, tapi lebih panjang dan lebih muda tentunya. Kubelai batang kontol Aris yang mulus itu. Agak kupercepat dan kutekan belaianku. Berbeda dengan ayahnya yang diam saja, Aris kulihat mengerang kenikmatan. Hmmmh… mimpi basah barangkali. Aku ingin membuatnya lebih keenakan. Langsung kumasukkan batang kontolnya ke mulutku. Tapi… sial! Aris menepis kepalaku. Ia segera mengubah posisi tidurnya. Aku berdebar-debar… Dia bangun… Tidak… ia masih terpejam dan sepertinya kembali melanjutkan mimpinya. Aris sudah tertidur lagi. Nafsu setanku kembali bangkit. Kugerayangi lagi kontolnya. Dia masih ngaceng!... Kalau kuisap pasti kepalaku akan menyentuh tubuh Paman Arjo. Jangan-jangan dia ikut terbangun nanti. Akhirnya kuputuskan tanganku saja yang bekerja. Kukocok perlahan kontol Aris. Dia diam saja. Sudah tertidur lagi rupanya… Menit-menit berlalu. Aris diam saja tetapi aku tahu ia tidak benar-benar tertidur. Namun, karena dia tidak menolak perbuatanku kuputuskan untuk terus mengocok kontolnya. Dan tiba-tiba… CROTT!! Dia muncrat pula akhirnya. Aku puas… tetapi… “Sudah, ya! Saya capek mau istirahat…!” Aris menatapku tajam. Ia merapikan celananya dan kembali tertidur dengan memunggungiku. Marahkah? Akh! Aku tak peduli… Yang penting pagi ini aku berhasil merasakan keperkasaan dua batang kontol milik ayah dan anak sekaligus… Puass!!!

Selamat datang, Paman Arjo dan Aris! Mungkin itulah sambutan yang bisa kulakukan untuk kalian. Aku rela untuk senantiasa melakukannya untuk kalian. Mengisap ataupun sekadar mengocok kontol kalian sehingga kalian merasa nikmat luar biasa!

Ternyata kedatangan Paman Arjo ke Jakarta bertujuan mengantarkan Aris untuk tinggal bersama keluargaku. Ia ingin melanjutkan SMA-nya di Jakarta. Jarak rumahnya di kampung dengan sekolah sangat jauh sehingga justru memakan banyak biaya dan tenaga. Selain itu, Paman Arjo menginginkan agar Aris bisa belajar denganku. Semua orang tahu kalau aku lumayan pandai. Di SD selalu juara kelas. Di SMP paling jelek masuk tiga besar. Di SMA pun sampai saat ini paling buruk aku ada di peringkat lima.

Sebenarnya kondisi perekonomian keluargaku tidak begitu bagus. Bapakku hanya pensiunan pegawai kereta api. Sekarang mencari tambahan dengan membantu ibu berdagang di kantin di sebuah kantor yang tidak begitu jauh dari rumah. Untungnya kedua kakak perempuanku sudah tidak tinggal bersama kami lagi. Kakakku yang sulung, Eka Damayanti, mengikuti suaminya dan tinggal di Palembang. Paling sering setahun sekali bertemu bapak dan ibu. Yang kedua, Dwi Larasati, juga ikut suami, tetapi masih tinggal di sekitar Jakarta juga. Namun, suaminya belum memiliki pekerjaan tetap sehingga masih sering merepotkan kedua orang tuaku.

Paman Arjo sendiri merupakan adik kandung ibuku. Ibuku anak kedua sedangkan Paman Arjo anak kelima, yang paling kecil. Aris anak pertamanya dan mungkin akan menjadi anak satu-satunya karena sampai saat ini ia belum mempunyai adik. Aku belum begitu mengenal mereka. Kami sekeluarga baru bisa pulang kampung antara tiga sampai empat tahun sekali. Selama ini Paman Arjo cukup baik dan sepertinya kagum dengan kepandaianku. Dengan Aris aku tidak begitu dekat. Kalau aku datang ke kampung ia sibuk bermain dengan teman-temannya.

Selama di Jakarta Aris hanya menumpang tinggal dan makan di rumahku. Untuk biaya keperluan sekolahnya Paman Arjo berjanji akan secara rutin mengirimkannya ke Jakarta setiap selesai panen. Hal ini terpaksa dilakukan karena Paman Arjo tidak ingin terlalu membebani orang tuaku. Bapak ibuku pun berjanji untuk sebaik mungkin menampung Aris. Mereka ingin Aris menemaniku karena sejak kelas satu SMP aku selalu mengurung diri di rumah. Aku malas keluar untuk bermain. Aku bosan dijuluki banci atau bencong!

“Bapak dan ibu mau ke kantin, kamu temani Paman Arjo dan Aris ya, Ro?!” ibuku berpamitan. Segala keperluan di rumah sudah ia siapkan.

“Ya, Bu!” jawabku. Tanpa disuruh pun aku akan melakukannya dengan senang hati. Apalagi kalau mereka tidur lagi. Aku akan gerayangi tubuh berotot mereka.

“Kamu mandi dulu sana, Ris!” perintah Paman Arjo pada anaknya. Aris segera mengeluarkan perlengkapan mandinya dan menuju bagian belakang rumahku. Jadi ingin ikut, nih!

“Kamu sudah mandi?” pertanyaan Paman Arjo mengejutkanku. Tangannya memegangi lenganku. Aku mengangguk. Paman Arjo meraih badanku dan merangkulnya. Oh, my God!

“Nanti temani Aris belajar, ya!” pintanya lembut. Aku lagi-lagi mengangguk. Paman Arjo mencium pipiku perlahan. Apa yang ada di hatinya, ya? Ini ciuman sayang seorang paman kepada keponakannya atau ...?

“Paman tidak marah kamu begitukan ...” katanya lagi, “... tapi jangan ke Aris, ya! Nanti dia tidak betah. Dia anaknya keras. Kalau tidak menyukai sesuatu ia bisa berbuat nekat!” ucapan Paman Arjo membuatku gemetar. Kasarkah Aris?

“Sebagai gantinya Paman saja. Kamu boleh apakan saja kontol Paman. Asal jangan ketahuan orang lain!” Paman tersenyum. Matanya ramah. Suatu keikhlasan berkorban. Aku tahu ia mau melakukannya bukan karena ia bernafsu dengan perbuatan homo itu. Ia sangat prihatin dengan keadaanku...

Aku merebahkan kepalaku ke dadanya. Hangat. Ia mengusap sayang kepalaku. Nafsuku bangkit lagi. Biar aku manfaatkan keadaan ini!

“Paman betul-betul tidak marah pada saya?” tanyaku memastikan. Ia mengangguk. Kuletakkan telapak tanganku di tengah selangkangannya. Ia tidak menepisnya. Kuremas perlahan kontolnya yang belum menegang. Ia berbisik.

“Kalau mau lagi, cepat! Aris mandinya cuma sebentar!” ia memperingatkanku. Aku segera membuka risleting celananya. Kukeluarkan batang kekar yang mulai merekah tersebut. Langsung kuhisap. Aku tak ingin Aris memergoki bapaknya sedang dihisap kontolnya olehku. Aku berupaya agar Paman Arjo cepat muncrat. Dia pun sepertinya membantuku dengan menuntunku menemukan titik-titik kenikmatannya. Berbeda dengan tadi pagi yang pasif saja.

“Keluar, Ro... Oooouuucchhh!...” erangnya seksi. Tidak sampai lima menit! Tidak apa-apa, kondisi mengharuskannya seperti itu. Kutelan peju Paman Arjo. Ia langsung memasukkan kontolnya yang dahsyat itu. Beruntungnya Bibi Arjo!

Paman Arjo bangkit menuju kamar. Tak lama Aris muncul dari belakang. Fresh sekali! Oh, Tuhan tak mungkin aku sanggup menahan birahiku kepada Aris ...

“Sudah, Ris?” Paman Arjo menuju kamar mandi. Aris mengangguk. Ia menatapku. Entah dari mana kurasakan hawa ketakutan menyelimutiku. Aris masih marah atas kejadian tadi pagi atau ia juga mengetahui perlakuanku pada bapaknya? Aku benar-benar takut ...

“Sekolahnya jauh?” suara Aris yang lumayan berat mengejutkanku. Ekspresinya biasa saja. Ia tidak melihat ke arahku. Namun, ia langsung duduk di sebelahku.

“Dekat...” suaraku jelas bergetar. Perpaduan antara salah tingkah disapa remaja gagah itu dengan ketakutan atas perbuatanku padanya dan bapaknya.

“Naik apa?” tanyanya lagi. Kali ini ia menoleh ke arahku. Aku menunduk tak berani menunjukkan wajahku yang bersemu merah. Malu. Takut ...

“Jalan kaki cuma sepuluh menit...” suaraku nyaris berbisik. Benar-benar aku tertekan. Aris menautkan telapak tangannya di telapak tanganku. Meremasnya lembut. Memberi kekuatan...

“Maafkan aku ya? Tadi aku mengantuk sekali... jadi kaget waktu kamu pegang...” Hah?... Ia tidak marah! Apakah ia juga tidak keberatan kalau aku melakukannya lagi?

“Aku yang minta maaf ...” jawabku. Tetap tidak sepantasnya menyambut tamu seperti itu. Homo sialan! Rutukku pada diriku sendiri.

“Kamu sering begitu?” pertanyaan Aris cenderung menuduh. Aku menggeleng cepat.

“Baru tadi aku begitu...” Jujur. Aku tidak pernah melakukannya dengan orang lain sebelumnya. Paman Arjo yang pertama dan Aris yang kedua. Sungguh!

“Jangan begitu lagi, ya?! Kepada siapa pun! Nanti kamu keterusan, susah melepaskan kebiasaan tersebut!” nasihatnya. Perih. Tak akan semudah itu, Ris! Kamu bukan aku. Kamu bukan homo. Kamu tidak tahu apa yang aku rasa...

Pembicaraan terus berlanjut. Cenderung satu arah. Aris bertanya, aku menjawab. Semua pertanyaan berkisar masalah sekolah. Yah, itu kan tujuannya ke Jakarta! Aku malu tidak mampu memberikan informasi sedetail mungkin. Meskipun masuk lima besar, tetapi aku termasuk siswa yang sangat pendiam dan tidak pandai bergaul. Aku merasakan bahwa Aris tidak puas dengan informasi yang kuberikan tentang kegiatan ekstrakurikuler, kebiasaan teman-temanku (yang memang aku tidak tahu!), dan pertanyaannya yang lain. Aku malu sekali...

“Toro! Sarapan dulu, yuk! Paman sudah lapar!” suara Paman Arjo menghentikan suasana memalukan tersebut. Ia telah selesai mandi. Lelaki empat puluhan tahun itu sungguh tampan. Seandainya ia kaya pasti lebih mampu merawat tubuhnya. Mungkin akan seputih Aris, anaknya yang berkulit lebih bersih. Atau mungkin saat mudanya pun ia seperti Aris? Kemungkinan itu sangat besar...

“Saya sudah sarapan. Paman dengan Aris silahkan saja! Sudah ibu siapkan di meja!” Aku bangkit menunjukkan sarapan kedua tamuku itu. Aris dan Paman Arjo duduk menghadap meja. Aku tinggalkan mereka ke kamar.

“Kasihan anak itu! Kata ibunya tidak pernah bergaul. Nyaris tidak mempunyai kawan. Padahal anak itu pintar...” terdengar suara Paman Arjo dalam bahasa Jawa. Ia kira aku tidak paham bahasa itu.

“Orangnya sangat pemalu, Pak! Aku ajak ngobrol malah aku seperti sedang melakukan wawancara. Aku terus yang bertanya. Jawabannya juga tidak banyak...” jelas Aris. Maafkan aku, Ris! Terlalu banyak yang menggantung di jiwaku....

“Kamu harus sabar! Bantu dia ...” permintaan Paman Arjo pada anaknya membuatku sesak. Aku memang membutuhkan bantuan ...

“Membantu bagaimana, Pak? Lelaki kok, seperti perempuan ...” Deggg ... Ris, kamu tega! Tak perlu diucapkan! Aku pun menyadari keadaanku! Aku benci Aris!!

“Jangan begitu! Dia saudaramu! Ibunya kakak perempuan Bapak. Ibunya tidak meminta. Namun, Bapak ingin kamu membantunya. Kamu sebaya dengannya. Mudah-mudahan kamu bisa memasuki kekosongan hatinya!” Pamanku membujuk Aris.

“Yah, aku coba semampu aku, Pak! Tantangannya berat. Dia seperti Si Kholis...” ucapan Aris tertahan.

“Mudah-mudahan tidak separah Si Kholis. Kholis sudah benar-benar jadi perempuan. Baju dan penampilannya tidak ada lelakinya sama sekali” harap Paman Arjo. Aku tidak tahu siapa Si Kholis. Mungkin salah satu banci di kampung Pamanku.

“Dia tidak pakai rok karena masih sekolah. Kalau lulus nanti dia akan pakai rok karena tidak ada aturan yang memaksanya memakai celana.. ha..ha..” ucapan Aris sungguh menyakitkan. Dia tertawa lebih menyakitkan lagi. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Paman Arjo. Aku benci sekali padamu, Ris!!!


Aku tertidur dengan air mata yang bersimbah. Perih sekali. Memang bukan Aris seorang yang menghinaku dengan ucapan-ucapan seperti itu. Banci ...

“Kok, sudah tidur lagi? Mentang-mentang liburan, ya?” Aris sudah berada di belakang punggungku. Aku segera menghapus air mataku. Terlambat! Aris sudah melihatnya ...

“Kamu mendengar obrolanku dengan bapakku, ya?” tanyanya khawatir.

“Aku punya kuping!” ketusku. Judes sekali. Banci!

“Memangnya kamu mengerti bahasa Jawa?” tanyanya lagi.

“Tri Sugihantoro itu bukan orang Batak!” sungutku. Aris tersenyum. Sialan!

“Oooh, jadi kamu orang Jawa toh...” godanya.

“Aku lahir di Jawa!” aku melotot padanya.

“Aku juga ...” Hhhh ... “... berarti kita sama, dong!” Aris tertawa. Renyah sekali. Aku kesal sekali. Kubalikkan lagi badanku. Aku ingin tidur saja!

“Tri Sugihantoro! Ajak Aris Irawan berjalan-jalan, dong! Aku sudah tidak sabar, nih, mau lebih mengenali kota Jakarta, ibukota yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri ini..” Hampir aku tertawa mendengar gaya bercandanya yang sekaligus memperkenalkan dirinya itu. Aris Irawan! Harusnya ditambah menjadi ... Aris Irawan Si Tampan!

“Aku tidak pernah berjalan-jalan. Aktivitasku cuma rumah dan sekolah!” elakku.

“Ya, sudah! Ajak aku ke sekolahmu, dong! Biar tidak kaget nanti masuk ke sana ...” bujuknya. Dia memang akan dimasukkan bapak ke sekolahku.

“Sekarang itu sedang libur! Masih tutup kali ...” tegasku.

“Aku cuma ingin tahu jalannya saja ... Mau, ya Ro?!” Aku bangkit dengan malas. Mungkin lebih baik pergi daripada tidur. Selama liburan aku jenuh sekali.

“Nah, begitu, dong! Tamu memang harus diberikan pelayanan ekstra ...” kata Aris senang. Tadi pagi sudah! Pekikku dalam hati. Refleks kuarahkan pandanganku ke selangkangan remaja kekar itu.

“Sudah, dong! Jangan dibegitukan lagi, ya? Nanti aku marah ...” ancamnya halus. Ternyata berasa juga tuh, anak ...

Akhirnya kami memohon izin kepada Paman Arjo untuk melihat-lihat sekolah. Lelaki baik itu benar-benar berjiwa petani. Ia sedang merapihkan tanaman di depan rumah yang memang tidak ada yang merawat.

Kami berjalan bersisian. Bangga rasanya. Aku yang biasanya sendiri kini berjalan di samping seorang pria tampan dan gagah. Pria itu saudaraku, lagi. Aku mati-matian mengimbangi gaya berjalannya yang tegap itu. Yah ... jangan sampai terlihat begitu kontras. Seorang pria gagah berjalan dengan banci kalengan. Apa kata dunia?

Di sekolah ternyata sudah berlangsung beberapa aktivitas. Persiapan penerimaan siswa baru (PSB) dan masa orientasi siswa baru (MOS). Penerimaan siswa baru dilakukan oleh para guru. Sebagian pengurus OSIS yang di antaranya juga teman sekelasku di kelas satu sedang mempersiapkan acara MOS.

“Toro! Itu siapa?” Selly, teman sekelasku yang paling cantik ... juga genit. Tidak biasanya ia menegurku. Hmmmm ... pasti ada maunya. Kulirik Aris. Ia sudah tersenyum ke Selly. Manis sekali. Hhhh ... bete!

Aku benar-benar tidak menikmati kunjunganku ke sekolah pada hari libur itu. Setelah dengan terpaksa kuperkenalkan Aris kepada Selly, ia sudah lebur dengan teman-teman Selly di OSIS. Ada Anom, si ketua OSIS yang juga pernah menjadi bintang iklan sebuah cream antijerawat. Ada Raden, wakil ketua yang putih tinggi dan jago basket. Ada Aini, Rosalina, dan beberapa pengurus OSIS yang tidak aku kenali.

Seharusnya aku tetap di sana. Namun, entah bagaimana aku sudah terlempar dari kumpulan itu. Aris sudah asyik berbincang-bincang dengan mereka, yang notabene adalah orang yang baru ia kenal. Aku sendiri berpura-pura membaca berbagai selebaran maupun tempelan yang ada di mading sekolah. Tak ada satu huruf pun yang terbaca. Mataku berkabut! Sedih sekali ...

“Kok, kamu meninggalkan aku di sana sih?!” suara Aris mengejutkanku. Aku tergagap. Malu sekali ...

Untungnya Aris tidak terus mencecarku. Aku berharap ia sudah memahami keadaanku. Satu jam lebih aku relakan diriku hanya mematung di depan mading. Selama itu pula Aris sudah tenggelam dalam keakraban dengan beberapa teman barunya.

“Ris! Ayo, langsung gabung rapat sekarang saja!” teriakan Raden mengajak. Aris menarikku ke arah ruang rapat meskipun aku berusaha menolak.

“Aduh! Aku berterima kasih sekali, nih! Kalian baru kenal sudah memberiku kesempatan bergabung di MOS. Aku rasa biar aku adaptasi dulu, ya?!” Aris melontarkan keberatannya secara halus. Yang lain pun akhirnya maklum. Yah, terdaftar secara resmi saja belum sudah dilibatkan dalam kepanitiaan MOS. Aneh ... sinisku dalam hati.

Aku tiba-tiba ingin buang air. Kutinggalkan Aris sebentar. Ia tidak menyertaiku hanya memperhatikan saja dari agak jauh. Takut kalau aku minta diperkosa sepertinya.

“Nah, ini anaknya!!” terkejut aku seorang murid langsung membetot keras kerah kausku. Cagax! Nama aslinya Teguh. Ia memegangiku. Seorang temannya membuka celanaku secara paksa. Aku panik setengah mati. Mau apa mereka?

“Siapin kontol elo, Ndra!” Hendra! Preman sekolah itu sedang mengelus-elus kontolnya yang makin lama makin tegang. Celanaku sudah terlepas termasuk cd-ku.

“Panggil calon anak baru itu, Wenk!” perintah Hendra pada anak yang memeloroti celanaku tadi. Oooh, ini mungkin yang namanya Zhawenk. Coretan di tembok toilet banyak terdapat nama ini. Zhawenk keluar. Cagax terus memegangiku. Aku tidak dapat berontak sama sekali. Hendra telah mengarahkan kontolnya yang lumayan besar ke pantatku. Jangan! Pekikku takut. Aku belum pernah ...

“Ini anaknya!” suara Zhawenk menunjukkan kedatangan Aris. Aku tidak berani melihat ke arahnya. Hina sekali keadaanku.

“Toro! Kamu kenapa?” tanyanya panik. Namun, Zhawenk yang bertubuh tinggi dan jago berkelahi telah memeganginya.

“Gue cuma mau kasih peringatan buat elo! Jangan sok kegantengan elo di sini. Elo anak baru! Selly dan cewek-cewek cakep di sini jatah anak-anak lama. Kalau elo berani mendekati seorang saja di antara mereka, siap-siap saja elo seperti bencong ini! Hehh ...” Hendra mendengus seraya menancapkan dengan kasar kontolnya ke anusku. Augh! Aku benar-benar menjerit.

“Jangan lakukan itu! Lepaskan dia!’ Aris berupaya menghentikan tindakan Hendra. Ia tidak bisa berbuat yang lain. Ada tiga anak berangasan yang harus dia hadapi. Meskipun dia jago beladiri tetapi ketiga anak ini biangnya tawuran.

“Saya janji tidak akan mendekati cewek-cewek itu!” teriak Aris.

“Elo tahu risikonya kalau elo langgar janji elo!?” ancam Zhawenk bengis. Aris mengangguk.

“Tolong lepaskan dia ...” ujarnya lemah. Tiba-tiba Cagax melemparkanku ke sudut toilet dibantu dengan tendangan di pantatku oleh Hendra yang batal menghujamkan kembali kontolnya. Aduhhhh ... sakit ...

“Toro!’” Aris kembali berteriak. Bersamaan dengan itu Zhawenk melemparnya ke arahku. Kasar dan bengis!

Aris hampir menabrakku. Untungnya ia menghindar sehingga tidak menambah penderitaan fisikku. Mentalku nyaris hancur...

Ketiga preman sekolah tadi sudah tidak ada. Aris mendekatiku dengan cemas. Ia benahi celanaku. Aku hanya menangis. Ingin mati rasanya. Seorang lelaki dijadikan sandera lelaki lainnya. Disodomi pula! Bencong!

Aris memapahku ke luar toilet. Aku merasakan sakit di pantatku. Bukan cuma karena tendangan kaki Hendra. Tendangan kontol Hendra juga sempat menembus lubangku meski sebentar. Sakit ... tak ada nikmatnya ...

Kami pulang. Aris sibuk menghiburku. Ia juga meminta maaf karena semua terjadi karena dirinya. Aku tidak berbicara sama sekali. Kejadian itu benar-benar membuatku shock. Suhu tubuhku langsung melonjak. Panas. Ibu, bapak, dan Paman Arjo menjadi prihatin melihatku. Mereka menatapi Aris bergantian. Mereka butuh penjelasan.

“Tadi saya memaksanya mengantarkan ke sekolah untuk melihat-lihat... padahal ia sudah mengeluh sakit ...”

Hanya itu.

No comments:

Post a Comment

Paling Populer Selama Ini