5/25/2011

Oh, Pak Polisi Kekasihku

(by: slamet80@n2mail.com)

Memang betul apa kata pepatah untung tidak bisa di tolak, sial tidak bisa dihindari. Mungkin itulah gambaran atau sekedar miniatur dari kehidupanku, yang akhirnya harus menderita tak berujung.

Bermula dari ketika aku berkunjung ke rumah temanku di kota "K" yang agak jauh dari kotaku "P". Sesampainya di terminal aku bingung sekali, karena di sampingku sudah lama tidak ke sini dan juga rumah temanku itu pindah, jadi aku betul-betul dibuat kesal. "Mau naik mobil apa ini," pikirku kala itu, karena "line" dengan abjad-abjad tertentu sesuai dengan jurusan masing-masing begitu banyak dan membuat kepalaku pusing. Akhirnya, karena aku sudah tidak sabar lagi dan sengaja mulai datang, maka aku ke pos polisi untuk menanyakan "line" yang harus kunaiki agar sampai ke tempat tujuan. "Selamat sore," sapaku pada seorang polisi yang kebetulan sendirian karena temannya sedang ke WC. "Sore, ada yang bisa kubantu Dik?" jawabnya dengan ramah sekali. Mendengar jawaban yang ramah dan bersahabat, maka membuat degup jantungku naik turun tak karuan. Setelah kujelaskan kebingunganku pada Pak polisi yang macho ini, dia cuma bisa manggut-manggut tanda dia mengerti kebingunganku. "Aduh gimana ya, 'line' ke tempat yang adik tuju sudah tidak ada," katanya menerangkan, karena "line" yang ke desa kutuju itu beroperasi mulai pukul 5:00 WIB sampai 17:30 WIB, padahal waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 18:05 WIB, "Aduh mati aku," pikirku. Aku pun tambah bingung, apalagi katanya di sekitar sini tidak ada penginapan atau hotel. Rupanya Pak polisi ini tahu kegelisahanku dan kebingunganku, maka dia menyarankan agar menginap di rumahnya. "Memang sering kok Dik, kejadian seperti ini, maklum terminal dekat desa lagi," katanya menenangkan. "Jadi harus bagaimana ini Pak," tanyaku. "Biasanya orang-orang di sini berjalan kaki kalau sudah kehabisan 'line'," jawabnya.

Oh, terkejut sekali aku, "BERJALAN" kata itu yang membuatku seperti disambar petir di siang bolong, padahal jarak antara terminal dan desa yang kutuju kira-kira kurang lebih 10 km. Mungkin dia tahu keterkejutanku, maka langsung saja dia menyambung jawabannya. "Tapi kalau Adik tidak keberatan, Adik boleh nginap di rumah saya, kebetulan saya sendirian dan tugas saya sampai jam 20:00 WIB," katanya, sampai menatap diriku mulai ujung rambut sampai ujung kaki dengan sangat teliti sekali. Oh, tatapannya menusuk ke jantung, pikirku, apalagi melihat lehernya yang berlipat-lipat. Oh, nikmatnya seandainya aku bergelanyut di leher itu sambil bersandar mesra pada dada yang bidang, karena setiap hari berolahraga. "Masak tidak ada kendaraan alternatif Pak, ojek misalnya," kataku. "Kalau Adik tidak percaya, tanya saja pada orang-orang di sekitar sini," jawabnya yang didahului senyum yang membuat angan fantastikku melayang kemana-mana. Memang setelah kutanya pada orang-orang di sekitar, tidak ada kendaraan alternatif kecuali jalan kaki. Haruskah aku bermalam di rumah orang yang meluluh-lantahkan hatiku, dengan pandangan pertamanya, pikirku. Mungkin sifatku yang paling aneh dan aku sendiri tidak mengerti ialah aku suka sama pria. Apalagi pria itu lebih tua dariku kira-kira 10 tahun dan juga aku tertarik pada pria yang berbulu walaupun pria itu jelek sekalipun, apalagi yang berbulu dada, langsung "he-eh" saja. Akhirnya tanpa pikir panjang lagi aku langsung mau saja menginap di rumahnya. Setelah berkenalan dan mengobrol ngalor-ngidul, tak terasa jam kerjanya habis kira-kira jam 20:00 WIB, kami berdua pun meninggalkan terminal itu menuju ke rumah Pak polisi yang bernama Pak Pram itu (bukan nama aslinya). Dengan kencang sekali dia menjoki sepeda motornya, mungkin karena jalanan sepi, padahal udaranya sangat dingin sekali, apalagi ditambah udara dingin yang disebabkan oleh kencang sepeda motor. Oh.. dingin sekali rasanya. Sampai akhirnya aku mendekapnya dari belakang dengan erat sekali, saking takutnya kujatuh dari sepeda motor. Dan tanpa kusadari aku menyenggol kemaluannya yang agak besar dan ternyata sudah menegang. Oh.. bak pucuk di ulam cinta pun tiba. "Lebih erat lagi Heru," pintanya. Maka tambah kueratkan dekapanku padanya. Oh, hangat sekali dan damai rasanya.

Sesampai di rumahnya, aku pun mandi dan ganti pakaian, begitu juga dengan Pak Pram, dia mandi dan ganti pakaian santai. Dan kami pun mengobrol sambil makan malam yang dibelinya di warung pinggir rumahnya yang masih buka. Sempat terkejut aku mendengarkan ceritanya, ternyata pria tampan dan macho yang berumur kira-kira 30 tahun itu belum kawin apalagi punya anak. Padahal kalau melihat ketampanan dan kegagahannya pasti tidak ada seorang cewek pun yang menolak untuk diperistrinya. "Kenapa Bapak lakukan semua itu?" tanyaku. "Entahlah Her, aku sendiri pun tidak tahu, yang jelas mulai dulu sampai sekarang saya kok tidak suka sama wanita, padahal sudah banyak lho gadis ataupun janda yang mau saya nikahi," katanya. "Tapi apa alasan Bapak kok sampai menjalani hidup kurang normal ini," kataku. "Jawabannya hanya tentram dan damai Heru, maksudnya, kalau kehidupan yang oleh sebagian besar orang dianggap tidak normal ini membawa kedamaian dan ketentraman, mengapa harus kita sesali dan kita takuti."

Tanpa kusadari dia menggenggam erat tanganku erat-erat, erat sekali, sangat erat. Oh, hangatnya genggaman Pak Pram ini. Setelah itu dia mengecup keningku, lalu pipiku mendapat giliran berikutnya, kemudian bibirku di terkamnya dengan buas sekali tapi membawa sejuta kenikmatan yang tiada tara, apalagi saat kumisnya menusuk kulitku dengan lembut. "Oh.." desahku sambil tanganku mengelus rambutnya yang agak tebal itu. Kemudian dengan sangat mesra sekali dia buka bajuku satu persatu, hingga tinggal CD saja yang kupakai. Setelah itu dia mengecup susuku dan disedotnya kuat-kuat. "Oh.. enaak," rintihku, apalagi saat lidahnya yang hangat itu menjilat-jilat putingku, diputar-putar seiring dengan bentuknya, kadang ke kiri kadang ke kanan. "Enaak.." erangku seiring dengan keluarnya prescum dari batang kemaluanku yang sudah menegang sejak tadi. Dan yang membuatku tidak kuat tatkala dia mencumbu perutku sembari tangannya membuka CD-ku dan meremas-remas buah zakarku. "Oh.. nikmatnya," pikirku. Rasanya tak ingin kuakhiri yang sangat dahsyat ini. Kumis yang agak tebal itu menelusuri lekuk-lekuk tubuhku yang sangat lembut sekali, karuan saja prescum-ku tambah banyak keluar, sedangkan tangannya memainkan batang kemaluanku yang sudah licin oleh prescum.

"Oh.. teruskan Pak," pintaku sambil mempreteli bajunya satu persatu, hingga dia tak tertutup oleh selembar benang pun. Wow, tubuhnya sangat menggairahkan, apalagi tubuh yang selalu olahraga tiap hari itu dadanya ditumbuhi bulu-bulu yang sangat lebat, walaupun perutnya agak besar tapi tidak mengurangi kegagahannya dan ke-macho-annya, malah membuatku tambah bergairah. Spontan saja kulabuhkan diriku di dadanya, kukecup puting susunya serta kuhisap kuat-kuat sembari kuremas-remas pantatnya yang juga banyak ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Kemudian kujilati ketiaknya yang juga banyak ditumbuhi bulu itu. Kurasaan bau khas maskulin yang makin menambah gairahku.
"Tunggu, Her!" katanya setelah melepaskan kulumannya.
"Ada apa Pak," tanyaku.
"Akan kubuat kau melayang ke langit 7," jawabnya sambil melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, kemudian dia muncul dengan membawa gel di tangannya.
"Jangan Pak, aku tidak biasa," pintaku karena aku sudah tahu maksudnya.
"Aku pun dulu begitu Her, tapi lama-lama ketagihan juga, tenanglah dan rasakan saja," jawabnya tanpa beban sedikitpun. Kemudian tangan yang kekar itu mengelus-ngelus pantatku dengan lembut sekali. Dielusnya pantat itu dan dimanjakannya sehingga aku sangat terangsang, karena pantat itu daerah lemahku, aku dibuatnya terlena.

Di saat gairahku menggebu-gebu, kurasakan ada sesuatu yang menusuk anusku. "Oh.. sakit," rintihku. "Tahan Her!" bisiknya di telingaku, sambil memaju-mundurkan telunjuk yang sudah masuk tadi. Benar juga katanya barusan, bahwa enak juga diperlakukan seperti itu. Agaknya dia tahu kalau aku merasakan enak, kemudian dia menambah satu jari lagi sampai yang kurasakan ada tiga jari masuk dalam duburku. Sebenarnya lucu juga sih melihat wajahnya agak memerah karena didera oleh nafsu yang sangat memuncak, hingga akhirnya dia tidak kuat lagi, dia buka kakiku lebar-lebar agar dia mudah memasukkan rudalnya. Dengan sangat pelan sekali dia masukkan kemaluan yang agak besar kira-kira 20 cm itu hingga kemaluan yang agak besar itu masuk ke duburku semua. Memang pertama sakit, tapi rupanya dia tahu bagaimana cara menghilangkan itu menjadi sebuah kenikmatan yang tiada tara. Ditariknya kemaluan itu kemudian dia masukkan lagi dengan sangat perlahan dan hati-hati. Terus begitu, tarik-masuk, tarik-masuk sampai sakit yang mendera duburku hilang sama sekali berganti sejuta kenikmatan yang tiada tara. "Oh.. terus Pak," rintihku sambil mengocok kemaluanku sendiri dan menggoyang kemaluan Pak polisi ini.
"Oh.. Her ya begitu terus, terus goyang!"
"Begini Pak," sambil kupercepat goyanganku.
"Oh.. enaak terus, terus, terus," rintihnya setelah kemaluannya kupelintir dengan goyanganku.
"Oh.. sst.. sst.. sst.. enaak," erangnya sambil mempercepat genjotannya.
"Aku mau keluar Her."
"Aku juga Pak."
"Tambah goyangmu Her!"
"Begini Pak."
"Ya.. ya.. ya.. ya.." dan akhirnya..
"Crot.. crot.. croot.." dan kami pun keluar hampir bersamaan, nikmat sekali rasanya. Suatu kenikmatan yang tidak bisa dibeli di supermarket manapun dan malam itu betul-betul menjadi malam yang sangat indah buatku. Kami pun melakukan berulang kali dengan berbagai gaya dan pose.

Keesokan harinya aku diantar oleh Pak Pram ke rumah temanku. Sesampainya di sana kami pun disambut hangat oleh semua keluarganya. "Pak Pram, nanti jemput aku ya!"
"Jam berapa?"
"Sepulang tugas."
"Lho kok tidak nginap Her," sela Andi ketika aku ngobrol sama Pak Pram.
"Wah gimana ya Di, di rumah banyak urusan apalagi liburanku cuma satu minggu," bantahku.
Padahal sebelumnya aku berencana menginap di rumahnya Andi kira-kira 5 hari, tapi niat itu segera kubatalkan karena ingat permainan Pak Pram yang dahsyat itu.

Kira-kira jam 20:30 WIB Pak Pram menjemputku dan akhirnya aku menginap di rumah Pak Pram yang kuanggap sebagai cowokku sampai liburanku habis dan kami pun mengulangi permainan yang sangat dahsyat seperti kemarin malam.

Akhirnya setelah tamat SMU, dengan alasan yang macam-macam dan tidak masuk akal, aku pun melanjutkan kuliah di kota "S" dan aku tinggal bersama Pak Pram. Padahal universitas di kota "S" tidak ada yang favorit, tapi tak apalah pikirku, demi cintaku pada Pak Pram akan kukorbankan segala yang kumiliki baik jiwa maupun raga. Betapa bahagianya diriku saat itu, aku dianggap seperti istrinya dan dia kuanggap sebagai suamiku. Jadi urusan memasak, mencuci sampai menyiapkan makanan dan pakaian kerjanya, sepatunya aku yang mengerjakan semuanya. Tapi kebahagian yang kurasakan kira-kira 2 tahun itu sirna bahkan berbalik menjadi sengsara yang berkepanjangan, setelah Pak Pram meninggal dunia akibat kecelakaan yang dialaminya di jalan tol Gempol-Waru. Oh, mengapa semua ini terjadi.

Akhirnya untuk mengenang cintanya Pak Pram, kuputuskan untuk tetap tinggal di rumahnya yang kebetulan tidak ada ahli warisnya. "Adakah orang lain yang mau menjadi pengganti Pak Pram," lamunku, tatkala aku sendirian di kamar dimana biasanya kami memadu kasih. Padahal seandainya ada, akan kuserahkan seluruh cintaku serta jiwa dan ragaku padanya.

TAMAT

Oase Laut Utara 03: Dan Hujan Semakin Deras - spesial!

(by: juzoef@yahoo.com)

Hujan di luar makin deras. Tetes airnya menimpa-nimpa atap seng dan menimbulkan bunyi agak berisik. Kami berdua masih di atas sofa. Berpelukan. Di TV sedang ditayangkan acara berita. Tapi kami tak punya konsentrasi lagi untuk menyimaknya. Bahar menatapku, lalu mengajak masuk ke kamar tidur. Tubuhnya yang sudah setengah telanjang itu langsung menuju ke kamar tidur sedangkan aku siap-siap untuk menutup pintu dan jendela rumah, lalu mematikan TV.

Begitu masuk ke kamar, kudapati Bahar sudah tergolek, telanjang bulat di atas tempat tidur. Baju kaosnya telah tersampir di sandaran kursi dekat ranjang.

Lelaki ini, makin hari makin membuat hidupku bersemangat saja. Segala yang ada padanya mampu memberiku warna dan jiwa tambahan. Dan malam ini tampaknya ia tak sekedar ingin memberiku warna, tapi sebuah pelangi!

Aku mulai mencopoti pakaianku sendiri. Dan tak lama kemudian tubuhku pun sudah polos tanpa penutup apapun.

Kudekati Bahar dengan perasaan berdebar. Mata kami terus bertatapan. Dia mencoba tersenyum padaku. Tapi aku terlalu tegang untuk membalasnya. Dalam jarak dekat baru kusadari bahwa di tangan kanannya sudah tergenggam sebotol kecil baby oil..

Baby oil? O.. o.. o.. Aku sadar sekarang, rupanya inilah rencana Bahar yang sejak sore tadi membuatku penasaran.

".. Kemarin, waktu mampir ke kota, aku sempatkan untuk membeli ini.." tanpa kutanya dia menjelaskan sambil menunjukkan botol kecil berwarna bening itu.

"Buat apa?" aku masih ingin berpura-pura. Padahal sudah bisa kutebak untuk apa baby oil itu akan digunakan.

Bahar tampaknya tak peduli lagi dengan kepura-puraanku. Tanpa banyak bicara dibukanya tutup botol kecil itu lalu ditariknya tanganku dan beberapa tetes minyak bening itu dituangkan ke telapakku.

Bahar mengambil posisi duduk bersandar bantal, melipat kedua lututnya ke atas dan membuka kedua pahanya lebar-lebar, seperti yang dilakukannya di sofa tadi.

Begitu ia merasa siap dengan posisinya, Bahar lalu memintaku untuk mengusapkan baby oil itu ke sekitar selangkangan terutama di sela-sela pantatnya.

Tanpa banyak bicara lagi, kuturuti permintaannya. Seketika kulit di daerah itu jadi basah dan licin berlumuran minyak yang sebenarnya untuk bayi itu. Ya, tapi malam ini ia memang akan jadi bayi bagiku. Bayi besar.

Selanjutnya aku tak perlu lagi diajari bagaimana harus berbuat. Tanganku langsung mengusap-usap dan mengaktifkan jari tengahku dengan gerakan menggelitik secara perlahan, menelusup masuk ke celahnya, menciptakan gerakan-gerakan yang membuatnya makin gelisah, dan makin gelisah.

Sementara aku asyik bermain jari, tanpa setahuku Bahar menuangkan baby oil ke tangannya sendiri dan kemudian mengusapkannya ke sekujur batang dan kepala kemaluanku yang sudah mulai membesar.

Aku tersentak ketika tangannya yang basah penuh minyak itu tiba-tiba menyergap dan menggenggam. Tampaknya Bahar juga ingin membuat dan menyiapkan agar 'rudal'-ku dapat melakukan tugas tempurnya dengan baik.

Maka dimulailah acara saling rangsang untuk menciptakan letupan-letupan api birahi di antara kami. Gerakan tangannya tak kalah cekatannya dibandingkan gerakan jariku. Tangan itu bergerak pelan tapi mantap, membuatku terinspirasi untuk teknik gerakan yang sama.

Beberapa saat kemudian, akibat stimulasi yang kuberikan serta teknik-teknik rangsangan lainnya yang dipandu oleh Bahar sendiri, kurasakan celah di belakang tubuhnya mulai melentur. Namun tampaknya itu belum cukup untuk memulai permainan.

Kata Bahar, perlu sedikit suasana yang agak rileks agar kondisinya bisa segera 'siap pakai'. Dia sesekali meminta tanganku untuk berhenti, baru kemudian memintaku untuk beraksi lagi, lalu rehat sejenak, beraksi lagi, mengulir lagi, begitu seterusnya sampai celah miliknya terasa makin longgar dan makin lentur.

"Sekarang Mas.." desah Bahar memberi sinyal padaku.

Aku memandangnya serius, ingin meyakinkan kesiapannya. Ia mengangguk pelan. Aku menarik nafas.

Beberapa bulan yang lalu, ketika kami sedang menikmati indahnya masa-masa sebagai pasangan baru, Bahar seringkali menunjukkan dan mengenalkan padaku berbagai variasi perilaku seks yang pernah dialaminya, termasuk seks anal. Namun saat itu kegiatan kami hanya sebatas permintaan untuk saling merangsang bagian belakang tubuh yang sensitif itu saja. Belum pernah melangkah jauh hingga penetrasi.

Memang, lambat laun timbul juga keinginanku untuk menikmati hal tersebut. Dan tampaknya Bahar-lah yang lebih menginginkan bahwa hal itu suatu saat dapat dilakukan oleh kami berdua. Namun sejauh ini ia tak pernah memaksakan keinginan itu. Hingga malam ini..

Permohonan Bahar untuk segera memulai aku turuti dengan mulai mengatur posisinya agar lebih enak dan leluasa. Aku sendiri mengambil posisi setengah merangkak di atas tubuhnya. Kupegang bagian belakang lututnya lalu kupentang dan kudorong kedua pahanya sehingga hampir menyentuh dadanya.

Dengan kondisi demikian, pantat Bahar tampak lebih bebas menghadap ke atas. Pelan-pelan aku mulai menyiapkan diriku dengan menggosok dan mengocok-ngocok batang kemaluanku yang masih belepotan baby oil itu.

Dan, beberapa detik kemudian pelan-pelan kubimbing otot pejalku ke celah miliknya..

Kulihat Bahar memejamkan mata, menanti saat-saat mendebarkan buat dirinya. Sesaat kemudian matanya kembali terbuka ketika bagian kepala kemaluanku mulai menyentuh. Senti demi senti aku berusaha menekan ke bawah dan memberi dorongan pada ujung batangku yang membulat itu agar makin terselip masuk. Bahar mengimbanginya dengan menekan pantatnya ke atas, seolah ingin menyambut kehadiran organ tubuhku yang paling disukainya itu.

Gerakan Bahar memang cukup membantuku. Mulut kecil miliknya itu sedikit demi sedikit mulai melahap pisang ambon hingga masuk sampai seperempat bagian. Rasa geli campur nikmat langsung menyergapku. Tampaknya demikian juga yang dirasakan olehnya. Ooohh inikah! inikah kenikmatan yang sering disinggung Bahar setiap kali kami punya kesempatan bermain-main dengan tubuh bagian belakang kami?

Belum apa-apa, ia sudah mulai bereaksi dengan lenguhannya yang khas. Kedua pahanya pun terbuka makin lebar, seolah ingin mempersilakan dan memberiku jalan untuk masuk lebih dalam lagi.

Kubalas sambutannya itu dengan menekan pinggulku lebih ke bawah, kali ini agak kuat, kusertai dengan gerakan sedikit mengulir. Sehingga aku tampak seperti seorang pekerja tambang sedang mengebor sesuatu.

Demi merasakan apa yang kuperbuat, Bahar terus memberiku semangat melalui lenguhan-lenguhannya yang terus keluar dari mulutnya. Kadang-kadang terdengar erangan yang tersendat, seperti tengah menahan sesuatu yang sulit untuk dikendalikannya.

"Sakit Bang?" tanyaku was-was mendengar lenguhan itu.

Tapi dia menggeleng dan malah menatapku sambil tersenyum dan menyeringai yang menurutku lebih tampak seperti ekspresi kenikmatan.

"Punya Mas.. Gesekannya terasa.. Banget.." kata Bahar dengan suara tersendat-sendat karena luapan birahinya.

Sesekali pinggulnya diangkat ke atas seperti tak sabar ingin melahap seluruh batang kemaluanku yang kini sudah setengah bagian terjepit di sela pantatnya.

Permainan ini memang dia yang minta dan dia juga yang merencanakan. Dan tampaknya ini sudah lama menjadi obsesinya. Katanya suatu ketika, ia ingin hubungan kami benar-benar menjadi sebuah hubungan yang sempurna. Waktu itu aku tak terlalu bisa menangkap maksudnya. Persepsiku hanya pada suatu hubungan yang mendalam saja. Ternyata sejauh ini ia punya harapan yang lebih jauh dari yang sebenarnya ingin aku harapkan juga.

Maka, malam ini kubiarkan dia mengatur semua keinginannya. Kuturuti kemauannya. Aku akan pasrah dan bergerak bagai mesin saja buatnya. Bukan berarti aku tak menginginkannya. Aku pun sangat surprise dengan semua ini. Karena inilah pengalamanku pertama kali, dengan orang yang aku sukai lagi. Atmosfir kamar tidur pun saat itu jadi terasa lain. Sangat, sangat romantis..

Seperti inikah suasana pengantin baru di malam pertamanya? Ya, malam ini akhirnya tak ubahnya seperti sebuah malam pertama pengantin. Malam pertama untukku, malam pertama dariku untuk dia, malam pertama untuk kami berdua.

Aku penuhi semua permintaan Bahar termasuk untuk beraksi lebih keras lagi agar seluruhnya masuk. Kuoleskan lagi baby oil di sekitar batang yang belum tertancap dan juga di sekitar celah miliknya. Aku lalu menggenjot lagi pelan-pelan, menekan sambil sedikit memutar-mutar. Desiran demi desiran pun mulai merayap di sekujur syaraf kemaluanku.

Pelan-pelan bagian tubuhku yang paling sensitif itu melaju masuk ke dalam. Aku mulai merasakan sebuah liang yang lembut dan licin, tapi cukup kuat, menjepit. Kemaluanku terasa berdenyut-denyut kenikmatan. Sepertinya Bahar punya mulut di bawah sana. Badanku sampai bergidik. Oh, aku kuatir tak mampu menahan orgasmeku yang mulai terasa mendesak-desak di pangkal batangku.

Kutarik nafas panjang dan kuhentikan sejenak serangan rudalku. Bahar tampaknya mengerti. Dia menatapku lagi sambil tersenyum. Wajahnya masih memerah, tapi ada rasa puas yang terpancar. Ia merasa sejauh ini permainan kami lancar-lancar saja.

Tangannya yang sedari tadi terentang ke atas, kini diarahkan ketubuhku dan kemudian meremas kedua bongkahan dadaku yang penuh keringat. Tangannya lalu mengusap-usap bulu dada yang tumbuh di sekitarnya. Sesekali puting susuku dicubitnya dengan gemas, sehingga membuat aku kegelian dan puting itu jadi memerah dan menegang keras karenanya.

Beberapa kali badanku sampai meliuk karena cubitan-cubitannya. Namun ternyata itu hanya siasat Bahar saja. Ketika ia sekali lagi mencubitku dengan cukup kuat, kontan gerakan liukanku jadi makin menyentak dan akibatnya pinggulku terdorong ke depan, sehingga.. Menyebabkan batang kemaluanku ikut maju dan menusuk lebih dalam! Akkhh!

Tak sadar kami mengerang secara bersamaan karena datangnya rasa nikmat yang ditimbulkan oleh gerakan reflek itu. Spontan pinggulku membuat gerakan maju mundur, sehingga makin lama makin amblaslah seluruh batang kemaluanku sampai ke pangkalnya. Meluncur-luncur licin sepanjang dinding yang lembut dan hangat. Kemaluanku bagai berada dalam genggaman tangan sutra yang mengelus dan terus mengelus-elus. Membuat aliran darah ke batang penisku makin deras. Mengeraskan syaraf-syaraf yang ada. Dan membuat nafas menderu-deru dari hidung dan mulut kami.


Bahar lalu mulai membelitkan kedua kakinya pada pinggangku dan akupun lalu berusaha memeluk dia sambil kuciumi bibirnya dengan bernafsu. Nafas kami saling memburu dan erangan kami tersendat oleh mulut kami yang terus lumat berciuman. Tubuh kami telah menyatu. Benar-benar menyatu dan lengket tak mau lepas. Bagai dua ekor anjing ketika sedang kawin.

Kunaik-turunkan pantatku, karena kurasakan jalan masuk yang semakin lancar saja. Sementara di bawah sana kaki Bahar melingkar mendesak-desak makin erat seolah meminta aku melakukan tusukan lebih dalam lagi.

Sesekali kulakukan gerakan-gerakan erotis; memutar dan mengulir bergantian, membuat Bahar makin meningkatkan belitan kakinya. Kuku tangannya terasa mencengkeram punggungku. Dalam kondisi biasa mungkin aku sudah kesakitan dicengkeram seperti itu.

Suara lenguhan kami makin keras terdengar. Bagai kerbau tengah terluka. Melenguh, mengerang, lalu melenguh lagi. Kenikmatan..

Sosoknya memang bagai kerbau. Kulit dan dagingnya tebal lagi liat. Tubuhnya kekar dengan bagian-bagian tertentu berotot kokoh. Kulitnya yang gelap, makin mendekatkan perumpamaan itu. Dan saat ini kerbau itu tengah menggelepar-gelepar penuh keringat di bawah tubuhku. Bunyi lenguhannya setiap kali terdengar seiring hujaman yang kulakukan. Kadang ia mengerang bila aku sedikit saja mengendurkan aksiku. Seolah tak rela aku menarik nafas barang sejenak, dan menuntutku untuk terus membuatnya tersentak-sentak.

Ternyata, nikmat sekali rasanya permainan seperti ini. Seluruh otot di kemaluanku bagai meluncur-luncur, serasa dipijit-pijit dan diremas-remas oleh sesuatu yang lembut dan licin. Apalagi bila Bahar melakukan konstraksi pada otot cincin yang ada di celah tubuhnya itu. Rasanya seperti menjepit lalu mengisap-isap dan menyedot batangku. Membuat mulutku megap-megap saking enaknya.

Bahar sendiri tampaknya sangat, sangat meresapi permainan ini. Matanya kulihat 'merem-melek' menikmati setiap genjotanku dan mulutnya sebentar-sebentar menguncup dan mengeluarkan suara mendesis, seolah-olah menahan sesuatu yang tak kuat ditanggungnya.

Aku terus berusaha membantu dia untuk mencapai puncak kenikmatannya. Batang kemaluannya yang beberapa saat luput dari perhatianku, kali ini mulai kugenggam. Ujungnya sudah basah penuh cairan. Precumnya banyak sekali! Ketika kucoba melakukan gerakan mengonani dia. Tubuh Bahar langsung menggeliat, punggungnya melengkung saking nikmatnya.

Ternyata gerakan tanganku yang naik turun itu membawa kenikmatan tidak hanya pada dia, tapi juga padaku, karena otot di sekitar pantatnya jadi ikut ketarik dan berkonstraksi seiring gerakan kocokanku. Batang kemaluanku makin terasa bagai diisap-isap oleh lubangnya yang rasanya makin licin itu.

Beberapa kali Bahar meregangkan punggung, dan kepalanya mendongak ke belakang disertai suara teriakan tertahan. Tubuhnya yang besar padat itu menggeliat-geliat tak terkendali. Anehnya, gerakannya tampak lentur bagi pemain akrobat yang terlatih. Wajahnya memerah mengekspresikan puncak birahi yang sangat kuat. Dan..

"Aaagghh.. Aaahh" Bahar berteriak beberapa kali sebelum akhirnya batang kemaluannya yang sedang kugenggam itu memuntahkan cairan kental dengan derasnya. Tumpah tak terkendali. Dalam genggamanku, otot yang ada di sekujur batang itu terasa makin membesar dan mengeras.

Air maninya muncrat beberapa kali dalam jumlah yang banyak hingga membasahi bulu yang ada di dada dan perutnya. Kental dan baunya sangat khas. Lelehan cairan kental itu juga meleleh sebagian di tanganku, hangat rasanya.

Kucoba untuk memilin-milin batang kemaluan Bahar dengan lelehan cairannya sendiri. Kumulai dari ujung kepala hingga pangkalnya. Naik turun. Ia sampai menggelinjang, lagi-lagi bagaikan kerbau disembelih, karena merasakan perbuatan tanganku itu. Matanya terus terpejam tapi mulutnya menganga dan mengeluarkan lenguhan-lenguhan kepuasan.

Sementara rasa nikmat yang menjalari di tubuhku pun makin memuncak sejak tadi. Karena bersamaan dengan datangnya puncak kenikmatannya, otot di sekitar pantat Bahar menjadi makin mengkerut rapat, sehingga milikku makin terjepit dan terjebak dalam lorong liat yang ketat. Aku sampai tersengal-sengal merasakan jepitan otot itu, apalagi disana kurasakan pula ada gerakan yang berdenyut-denyut. Ingin rasanya menahan desakan lahar dari pangkal kemaluanku yang makin lama makin kuat, mendesak ingin segera dimuntahkan.

Dan akhirnya aku pun tak kuasa lagi untuk tidak menuntaskan puncak birahiku yang sedari tadi kutahan. Kujejalkan rudalku sekuat tenaga dengan sekali sodokan yang kuat, kugesek-gesekkan pada sekujur dinding yang ada di sana, lalu meledaklah lava panas, mewakili kenikmatanku, membanjiri lubang sempit milik si manusia kerbau itu.

Disertai dengan letupan-letupan rasa nikmat yang sulit kulukiskan, mulutku hanya bisa mendesis-desis bagai kepedasan. Oh, orgasme ini datang sangat intens sekali..

Beberapa kali pinggulku menyentak-nyentak, mengikuti setiap muncratan yang terjadi. Mulutku hanya bisa berbisik-bisik memanggil nama Bahar.

"Baanngg.. Oohh.. Banngg.. Ooohh" yang kupanggil hanya membalasnya dengan mengelus-elus perutku.

Kugoyang terus pinggul dan pinggangku. Tapi kali ini aku tak bisa lagi mengontrol iramanya. Hingga setiap gerakan yang kulakukan menimbulkan suara mirip kecipak, sebagaimana suara yang ditimbulkan bila sebuah benda padat bergesekan dengan sesuatu yang basah.

Di ujung kenikmatan yang mulai mengendur, badan kami beberapa kali masih sempat bergetar merasakan sisa puncak birahi yang sangat intens tadi. Hingga tubuhku jatuh tengkurap lemas menindih kedua pahanya yang terpentang lebar dan basah penuh keringat. Kami kemudian saling berpelukan. Keringat benar-benar telah membasahi tidak hanya tubuh kami berdua, tapi juga sprei ranjang.

Di luar hujan masih terdengar meski tak sederas tadi. Sementara di ruangan hanya terdengar dengus nafas kami yang masih memburu tak karuan. Aku mencoba duduk dengan kedua telapak tangan bertumpu ke belakang. Batang kemaluanku yang belum sepenuhnya lemas itu masih terjepit di sela pantatnya. Masih terasa denyutan-denyutan yang kadang-kadang menimbulkan sedikit rasa gatal yang nikmat. Bahar lalu mencoba bangkit dari posisi telentangnya dan pelan-pelan mencoba duduk di atas tubuhku sambil berusaha tetap mempertahankan milikku agar tetap tertancap.

Kami sekarang dalam posisi duduk rapat saling berhadapan dengan kedua lutut saling bertumpangan. Bibir Bahar lalu menciumi seluruh wajahku dan berakhir di bibir. Kubalas dengan lumatan yang kuat. Lidahnya lalu bermain-main. Kubalas lagi dengan lumatan yang lebih kuat. Begitu seterusnya, sampai kami hampir kehabisan nafas.

Kami seperti tengah merayakan suatu kejadian besar yang baru pertama kali kami berdua lakukan. Hingga lupa bahwa bagian bawah tubuh kami sebenarnya masih menyatu.

Aku lalu mencoba mencabut batang kemaluanku yang sudah mulai mengendor itu. Tapi Bahar menahanku. Dia malah mendorong dadaku hingga aku kembali telentang di kasur dan kemudian ia mengambil posisi berjongkok di atas tubuhku. Mau apa dia?

Pelan-pelan ditariknya pantatnya ke atas, lalu sedikit demi sedikit keluarlah batang kemaluanku dari lubangnya. Sialan, rasa nikmat kembali mendera seluruh tubuhku. Bahar tampak meringis kegelian. Demikian juga aku. Rupanya inilah teknik Bahar bagaimana cara mencabut tetapi tetap mendatangkan kenikmatan. Akhirnya lepaslah seluruh milikku yang kini telah basah penuh dengan lumuran lendir. Tiba-tiba di antara kepuasan dan rasa lega, aku merasakan pula rasa kehilangan..

Dengan tubuh masih telanjang, Bahar lalu bangkit dari ranjang. Berjalan menuju meja, mengambil rokok dan menyulutnya. Asapnya terhembus kemana-mana. Ia lalu kembali menuju ranjang dan berbagi mengisap rokok denganku.

"Bagaimana Bang? enak?" tanyaku. Dia pernah bilang, enak rasanya merokok sehabis melakukan hubungan seks, seperti layaknya menikmati rokok setelah makan.
"Rokoknya atau..?" Bahar menjawab dengan pertanyaan lagi.
"Kalau dua-duanya bagaimana?" kataku sambil ketawa mendengar omongannya yang nakal itu.
"Dua-duanya sama-sama nikmat. Rokok yang ini membawa pikiran jadi segar kembali. Kalau 'rokok' yang satunya itu.. Hmm.. Membuatku benar-benar gila" jawabnya sambil melirik ke kemaluanku yang sudah mengendur.
"Rasanya aku jadi kepingin juga.." kataku kemudian.
"Kepingin rokok atau..?"
"Dua-duanya!" sahutku cepat sambil tertawa ngakak.
"Memangnya sudah siap untuk, 'merokok'?" tanya Bahar memberi tekanan pada kata 'merokok' yang artinya lebih mengarah pada anal seks.
"Mas kan belum punya pengalaman dibegitukan" lanjutnya.
"Abang yang harus menyiapkan"
"Tampaknya perlu waktu"
"Mengapa tidak kita mulai dari sekarang?"
"Sekarang? Besok saja.."
"Sekarang!"
"Besok!"
"Sekarang.. Please.." mintaku seperti anak kecil.

Bahar mendekatiku dan lalu mencoba memberiku 'nasehat', berteori tentang hubungan anal seks, mencoba memberitahu aku hal-hal yang dianjurkan dan yang tidak untuk dilakukan.

Tapi aku tak menggubris celotehnya itu. Aku lalu mengambil botol baby oil dan menyerahkannya ke Bahar. Kuangkat lututku lalu kubuka paha dan selangkanganku lebar-lebar sehingga celah pantatku tampak jelas. Bahar menatapku sambil geleng-geleng kepala.

"Kalau bandel, aku sundut lho!" katanya sambil mengarahkan rokoknya ke selangkanganku.

Aku hampir menjerit, tapi Bahar segera menarik kembali rokoknya sambil tertawa-tawa. Tangannya yang satu lagi lalu berusaha memelukku, kemudian ia berusaha membujukku dengan sebuah bisikan.

Aku tak akan menceritakan apa yang telah dibisikkan Bahar ke telingaku. Yang jelas aku hanya bisa mengangguk dan menuruti kata-katanya.

E N D

berlanjut ke "Oase Laut Utara 04: Bad News But Love"

Oase Laut Utara 02: Ujung Sebuah Hujan - spesial!

(by: juzoef@yahoo.com)

Cerita 'Oase Laut Utara' sengaja saya buat sebagai sebuah serial yang terdiri dari beberapa episode. Kisah sebelumnya sudah saya tampilkan dalam sumbercerita.com yang termuat sebagai 'Oase Laut Utara 1 - 4' yang sebenarnya merupakan gabungan antara Episode 1 (Laut Biru) dan Episode 2 (Pasir Putih). Melihat respon yang diberikan pembaca, maka sebagai kelanjutannya, berikut saya paparkan episode-episode 'Oase Laut Utara' sebagai penggenap episode sebelumnya. Selamat menikmati.

*****

Episode: UJUNG SEBUAH HUJAN

Sore itu kami makan malam lebih awal, disamping karena Bahar sudah menyiapkan masakan, kami berdua tampaknya kelaparan karena baru saja mengeluarkan energi yang cukup banyak selama 'bermain-main' di kamar mandi tadi. Rupanya sewaktu pulang tadi Bahar sempat membeli ikan dan udang segar di pasar pelabuhan dan sekarang kami sedang menikmati udang dan ikan hasil masakannya itu dengan lahap.

Beginilah umumnya menu yang biasa kami makan. Nasi plus hasil laut lainnya yang kadang kami goreng, bakar, rebus sesuai selera. Sayuran sesekali kami masukkan dalam menu kami bila kebetulan ada di pasar. Di daerah ini sangat sulit mendapatkan sayuran. Kalau pun ada, harganya selangit.

Selesai makan kami berdua mencuci piring dan alat makan lainnya seperti biasa. Di luar senja hampir jatuh. Dari balik jendela, langit mulai semburat merah. Selama acara mencuci piring itu Bahar terus saja bersiul-siul dan mengajak bercanda. Kadang-kadang guyonannya nyerempet ke hal-hal yang porno dan biasanya aku tanggapi dengan yang lebih porno lagi. Ketawa Bahar yang lepas berkali-kali terdengar cukup keras. Selesai mencuci piring aku mengajak Bahar ke teras depan menikmati sunset.

Aku keluar duluan menuju teras dan menarik kursi rotan panjang yang biasa kami pakai untuk duduk berdua. Bahar menyusul dua menit kemudian. Di kedua tangannya sudah ada gelas minuman. Biasanya kopi kesukaan kami. Sedangkan di bibirnya sudah terselip rokok kesukaannya. Kami lalu duduk santai menikmati suasana senja yang setiap hari tampaknya lebih indah dari senja-senja sebelumnya. Bahar mengambil tempat duduk di sisiku lalu menyandarkan kepalanya ke bahuku. Kurangkul pundaknya. Kucium rambutnya yang ikal itu.

"Nggak merokok Mas?" katanya menawariku.
"Boleh. Mana?"

Bahar lalu menyodorkan rokoknya yang masih terselip di bibirnya itu kepadaku. Sebatang berdua. Alangkah mesranya suasana sore ini. Nikmat rasanya merokok dalam suasana seperti ini. Tangan Bahar lalu merangkul pinggangku dan kepalanya yang semula bersandar dibahu sekarang berpindah ke bidang dadaku.

"Kok hari ini kayaknya manja banget?" kataku sambil memencet hidungnya yang bangir itu.
"Aku kan lagi kangen sama Mas Harso" katanya pelan, "Untung kemarin yang punya kapal mau pulang lebih cepat, jadi rasa kangen saya nggak perlu ditunda lagi" lanjutnya sambil meminta kembali rokoknya yang ada di tanganku lalu mengisapnya dalam-dalam dan memberikannya lagi padaku. Sejenak Bahar menyeruput kopi kentalnya.

Selama kami tinggal bersama, Bahar memang tampaknya menjadi lebih perhatian terhadapku. Cenderung ngemong. Kadang kebapakan. Aku sih senang-senang saja. Sikapku sendiri juga tampaknya makin sayang sama dia. Kadang-kadang berpisah dua atau tiga hari rasanya cukup lama bagi kami. Seperti sekarang ini. Jadi begitu ketemu, biasanya kami melampiaskannya dengan kemesraan.

Bahar yang sosoknya sekilas tampak kasar itu sebenarnya adalah laki-laki yang lembut dan baik. Justru aku yang tampaknya kalem, sebagaimana prototype orang Jawa, kadang-kadang lebih emosional dibandingkan dia. Tak jarang hal ini sering menimbulkan keributan kecil di antara kami. Tapi biasanya Bahar bisa meredakan emosiku dengan kesabarannya dan terutama rayuannya.

Kami masih berduaan di kursi rotan panjang ini. Sambil sesekali minum kopi dan merokok bergantian. Bahar masih bersandar di dadaku dan aku masih duduk santai bersandar ke belakang. Langit di atas laut makin merah tapi tampak banyak dikumpuli oleh awan gelap.

"Mau hujan tampaknya" tiba-tiba Bahar menyela.
"Sok tahu ah!" sahutku menggoda, meskipun aku tahu dia memang jago membaca cuaca. Orang laut!
"Eh, nggak percaya?" balasnya
"Nggak" kataku agak ketus, "Kalaupun hujan terus kenapa?"
"Kalau hujan, kan acara kita malam ini makin asyik" balasnya sambil memegang daguku dengan gemas.
"Acara apa?" kataku pura-pura

Mendengar kalimatku itu, Bahar spontan mengangkat kepalanya dan lalu bangkit untuk kemudian berjongkok di depan posisiku yang sedang duduk bersandar. Melihat mimik mukanya, tampaknya dia kesal dengan jawabanku itu.

"Acara apa!" katanya kesal sambil memegang kedua pahaku,"ya acara ini!".

Sambil berkata "ini" tangannya mencengkeram bagian depan resleting celanaku. Seketika aku terlonjak sambil tertawa ngakak. Tapi rupanya dia tak mau melepaskan cengkeramannya dari daerah itu. Meskipun aku saat itu sedang memakai celana jeans, tapi genggaman jarinya tetap terasa meremas-remas kemaluanku.

"Bang! sudah ah, geli!" teriakku. Tapi dia malah menarik resleting celanaku ke bawah. Lalu dengan cepat tangannya merogoh masuk. Langsung menyentuh bagian tubuhku yang paling sensitif itu. Aku memang tak pakai celana dalam.

Matanya sejenak memandangku sambil terbelalak, seolah kaget bahwa aku tak pakai apa-apa di balik celana jeans itu. Padahal itu adalah kebiasaan kami berdua yang tak pernah pakai celana dalam bila sedang berada di rumah, dengan alasan antara lain untuk kesehatan. Seperti sekarang ini. Aku juga yakin Bahar pun pasti tak pakai apa-apa di balik celana kerjanya yang berwarna khaki itu.

Tangan Bahar masih terus menggenggam. Malah sekarang meremas-remas nakal. Aku diam saja, bahkan mengangkangkan pahaku lebih lebar. Sekejap saja batang kemaluanku sudah tegang dan membesar di genggamannya. Gerakannya lalu berganti dengan gerakan meloco. Pelan, pelan, tapi terasa nikmat sekali.

Bahar lalu perlahan-lahan mulai membuka kancing jeansku dan beberapa saat kemudian benda bulat panjang milikku seukuran pisang ambon itu mencuat keluar. Sejenak Bahar masih melakukan gerakan mengocok, lalu pelan-pelan mulutnya mendekat dan melahap bagian kepala kemaluanku yang bulat itu dan melumatnya dengan gemas. Lidahnya lalu menjilat-jilat, berputar di sekeliling "topi baja" itu.

Mataku terpejam meresapi setiap gerakan mulut dan lidahnya yang makin lama makin liar. Kenikmatan menjalar ke seluruh urat sarafku. Tanpa sadar mulutku mulai menggumam meningkahi suara mulut Bahar yang sayup-sayup terdengar berdecap sedang mengenyoti "botol" kesukaannya.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di langit. Aku baru sadar bahwa kami masih berada di teras luar, di atas bangku rotan. Bahar masih terus berjongkok di antara kedua pahaku. Ia tampaknya tak peduli dengan bunyi gemuruh itu.

"Bang.." kataku kemudian, "Mau hujan nih.."
"Ehm.." jawabnya sambil masih terus mengemuti milikku yang pelan-pelan mulai mengendur karena konsentrasiku terganggu suara gemuruh tadi.
"Bang! ayo kita masuk, nanti dilihat orang. Lagian sebentar lagi hujan turun" kataku sambil memegang kepalanya yang masih terbenam di selangkanganku.

Bahar lalu menarik mulutnya dari batang kemaluanku, dan menatapku dengan mimik wajah yang meledek.

"Tadi nggak percaya dibilang kalau mau hujan. Sekarang?"
"Iya deh, percaya" kataku mengalah, tak mau berdebat lagi karena gerimis sudah mulai membasahi teras.

Kami berdua lalu berlarian masuk ke dalam. Sialan, celanaku belum sempat dikancingkan lagi oleh Bahar. Sehingga begitu melewati pintu masuk, celana itu langsung merosot ke bawah. Bahar tergelak melihat kondisiku yang lucu itu. Aku menyumpah-nyumpah. Bahar makin ketawa ngakak.

"Mau diterusin nggak?" aku menggerutu sambil menahan gerakan tanganku yang sedang menarik celana ke atas. Setengah berharap Bahar akan meneruskan main-mainnya.
"Hmm? Nanti sajalah. Cooling down dulu" jawabnya sambil masih tertawa dan mengerlingkan mata. Nakal. Aku makin menggerutu. Bahar kemudian menyalakan TV di ruang tamu.

Terus terang, aku sebenarnya ingin permainan tadi diteruskan sampai tuntas. Tapi begitu melihat kerlingan matanya yang mengisyaratkan sesuatu, aku menuruti saja apa katanya. Mungkin dia sudah punya rencana lain. Let's see.

Kami berdua lalu duduk di sofa ruang tamu menonton acara TV. Kini giliran aku yang rebahan di pangkuannya. Dia tampak serius melihat film seri kesukaannya di TV. Sementara aku ribut mengomentari adegan-adegan yang sedang berlangsung yang aku anggap konyol. Seperti biasanya, dia tetap tenang dan diam saja menikmati acara di layar kaca itu. Paling-paling dia tersenyum atau tertawa kecil mendengar komentarku yang kadang-kadang kocak.

Lama-lama aku jengkel juga. Kuperhatikan wajahnya lekat-lekat.

"Serius amat sih Bang" kataku menggoda.
"Ssstt.." telunjuknya diarahkan ke bibirku menyuruh aku jangan berisik.
"Film jelek begitu ditonton" ledekku lagi.
"Sebentar lagi bubar kok" jawabnya singkat. Lalu kembali melotot serius ke TV.
"Mendingan kita yang 'main film'.." Aku mulai menggodanya.
"Ssstt.." lagi-lagi tangannya menutup bibirku. Bahkan sekarang jari-jarinya malah mempermainkan kumisku.

Diperlakukan begitu, aku langsung menarik telunjuknya dan lalu kugigit. Dia diam saja. Kugigit lagi. Kali ini lebih keras. Masih juga diam. Aku lalu mencoba gerakan lain. Telunjuknya kujilat-jilat dan kemudian aku mengulumnya dengan gerakan seperti sedang melakukan oral seks.

Beberapa saat aku melakukan aksi itu dan lambat laun tampaknya dia mulai bereaksi. Meskipun matanya masih menatap ke TV di depan, tapi kepalaku yang bersandar di pangkuannya itu mulai merasakan benjolan kenyal di balik celananya mulai agak mengganjal. Makin lama makin terasa mengeras. Diperlakukan begitu baru dia bereaksi. Dasar! Aku pun makin bersemangat mengulum jari telunjuknya yang besar dan berbulu itu.

Tiba-tiba tangannya bergerak ke sela bawah kepalaku yang masih bersandar di pangkuannya itu, lalu dengan cekatan tangannya membuka kancing celananya dan menarik resletingnya ke bawah. Lucunya, pandangan dia tetap lurus menonton acara di TV. Ohoi, rupanya dia mau aku melakukan yang lebih jauh lagi, tanpa mengganggu acara nonton TV-nya.

Badanku lalu berbalik mengambil posisi tengkurap sehingga kepalaku sekarang persis ada di depan resleting celananya yang sudah terbuka. Batang kemaluannya tampak masih terlipat ke bawah. Tapi sudah setengah tegang. Beberapa bulu kemaluannya tampak mencuat keluar. Bulu keriting di sekitar daerah itu tercium harum karena aroma sabun mandi tadi sore. Meskipun sebenarnya aku lebih menyukai bau asli dari tubuhnya. Jantan dan segar.

Kutarik batang yang masih terselip itu lalu pelan-pelan kukeluarkan dari sarangnya. Masih setengah tegang, tapi ukurannya sudah tampak gede dan agak hangat. Kulirik ke atas dia masih asyik menonton TV. Tak peduli dengan apa yang sedang kulakukan.

Kecuekannya itu kubalas. Otot kenyal yang kini ada di genggamanku sengaja kudiamkan saja. Kutunggu reaksinya. Beberapa saat barulah Bahar tersadar bahwa aku tak melakukan apa-apa terhadapnya lagi. Sejenak pandangannya lepas dari TV berganti ke arahku. Matanya memicing, dahinya berkerut dan bibirnya manyun seperti anak kecil minta sesuatu tapi tak dituruti.

"Please.." rengeknya. Manja banget nih orang, pikirku.

Sebenarnya aku tak betah juga membiarkan benda bulat panjang itu menganggur tergolek di genggamanku. Apalagi Bahar memang jagonya merayu meski hanya dengan mengandalkan ekspresi wajah saja.

Mulutku lalu mulai melahap dan kubenamkan seluruh wajahku ke pangkuannya. Sehingga seluruh otot yang mulai menegang itu masuk hingga ke pangkal tenggorokanku. Dia tampak terhenyak. Lalu kurasakan tangannya mulai memegang kepalaku dan mulai mengusap-usap rambutku seperti memberi semangat.

Bahar memang orang yang tak suka banyak bicara. Dia lebih banyak bertindak lewat sikapnya, ekspresi atau isyarat lainnya yang makin lama bisa mulai kupahami bahasa tubuhnya itu. Maka tekanan dan usapan tangannya bagiku sudah cukup bicara banyak, meminta aku untuk berbuat lebih banyak lagi.

Terus saja kujilati meriam kecil miliknya itu yang kulitnya sudah berlumuran dengan air liurku sehingga kini seluruh permukaan batang itu sudah basah dan mengkilat. Lalu bagian topi bajanya yang membengkak itu pun menjadi sasaran gerakan lidahku. Kujilat dan kuoles-oleskan lidahku ke permukaan daerah itu.

Kurasakan tangannya makin menekan kepalaku ke bawah, padahal apa yang kuperbuat menurutku sudah lebih dari cukup. Mau yang seperti apa lagi sih?

Matanya kulihat masih tertuju ke arah TV, namun konsentrasinya tampaknya mulai buyar. Sesekali ia melirik ke bawah, melihat perbuatanku, lalu memandang lagi ke TV. Baru tahu rasa dia, pikirku.

Di luar suara hujan mulai terdengar cukup deras. Kadang-kadang diselingi suara petir. Akankah datang badai malam ini? 'Badai' seperti apakah yang akan terjadi pada puncak birahi kami nanti?

Puas melumati seluruh bagian yang ada. Tanganku mulai merayap masuk lebih dalam ke pangkal selangkangannya, ke gumpalan kantung pelirnya yang membulat dan berkulit tebal. Bagian itu sudah mulai basah oleh keringat. Rambut yang tumbuh di daerah itu sangat lebat dan kasar. Dan aromanya sungguh seksi, serasa aprodisiak buatku..

Tanganku lalu menggenggam dan meremas-remas dua bulatan 'telor' yang menonjol di situ. Pelan dan lembut. Dia bereaksi. Pinggulnya mulai bergerak gelisah. Sesekali pantatnya sedikit terangkat ke atas, entah karena rasa geli dan nikmat akibat perbuatanku, atau ingin memberi kelonggaran agar tanganku lebih leluasa bergerak.

Bodo amat! Tanganku malah makin masuk ke bawah, lebih jauh, sehingga kini mencapai daerah antara pangkal kantung pelir dan celah pantatnya. Jariku mengusap-usap daerah itu. Bulu yang ada di sekitarnya laksana rumput yang tak pernah dicukur. Daerah ini pun kurasakan telah basah oleh keringat.

Aku tak hanya bergerilya di daerah itu saja. Jariku juga menari-nari nakal di sela lipatan pantatnya yang juga mulai terasa basah dan licin. Membuat ujung jariku meluncur-luncur. Membuat daerah sekitar pantatnya berdenyut-denyut.

Tiba-tiba, Bahar mengangkat pinggulnya, lalu berusaha melepas seluruh celana panjangnya ke bawah karena sedari tadi hanya terbuka sampai di bagian pinggul saja. Rupanya acara TV yang ditontonnya sudah selesai. Dan kini dia tampaknya mulai menanggapi aktivitasku.

Bahar lalu mengubah posisinya, duduk bersandar pada ujung sofa. Kini bagian bawah tubuhnya sudah terbuka, tak memakai celana panjang lagi. Ditariknya baju kaosnya ke atas sebatas dada, lalu kedua lututnya dilipat dan kedua pahanya dibuka agak lebar. Pose yang dibuat sungguh sangat menantang!

Kini terpampang jelas batang kemaluannya yang sudah tegang besar dan berotot itu mengacung hingga ke daerah pusar dan perutnya yang berbulu lebat. Sementara di bawah otot tegang itu menggantung indah dua bulatan sebesar telur ayam yang terbungkus oleh kulit tebal dan berkerut-kerut. Dan di bawahnya lagi, di tengah-tengah bongkahan pantatnya yang gempal dan berbulu itu tampak sebuah celah kecil. Legam oleh bulu dan basah oleh cairan keringat.

Aku tertegun menatap semua pemandangan yang ia ciptakan itu. Sungguh, Bahar memang laki-laki yang sexy. Aku sampai tak menyadari bahwa ia pun terus menatapku. Hingga tiba-tiba terdengar suaranya.

"Aku ingin Mas Harso melakukannya padaku.. Malam ini juga" katanya dengan suara agak serak terpengaruh nafsu birahinya. Nafsu yang tampak memancar dari matanya yang sedikit memerah dan berkaca-kaca. Di luar suara air hujan terdengar menimpa atap seng dengan ramainya. Tapi entah kenapa di ruangan ini suasana jadi agak mencekam.

"Bang..?" aku membalas permohonannya dengan pertanyaan dan menatap matanya dengan serius. Mataku juga agak berkaca-kaca. Aku tak bisa menyembunyikan keherananku. Aku sangat tahu apa yang Bahar maksudkan. Tapi aku sama sekali tak menyangka kalau dia memintaku untuk melakukan itu..

Memang, beberapa minggu yang lalu, saat hubungan kami sudah sangat akrab dan menyatu, kami pernah menyinggung satu masalah yang cukup sensitif. Sejauh ini kami telah melakukan apa saja yang bisa kami lakukan selama berhubungan, kecuali satu: anal seks.

Bukan apa-apa. Tapi kami merasa bahwa hubungan semacam itu memerlukan kesiapan khusus baik secara fisik maupun mental, khususnya bagiku. Mungkin bagi Bahar lain lagi, karena berdasarkan ceritanya sendiri, Bahar sudah pernah mengalami hal itu sejak pertama kali mengenal dunia homoseksualitas di lingkungan kerjanya.

Menurut ceritanya, Bahar pertama kali punya pengalaman demikian dengan seorang awak kapal asing (Portugis, kalau tak salah) dengan imbalan uang. Waktu itu usianya masih sekitar duapuluh tahun. Jadi sekitar sepuluh tahun yang lalu.

Waktu itu Bahar memang diajak berkencan sambil mandi bersama di kapal si Portugis itu. Semula Bahar hanya mau berkencan seperti biasa saja dan menolak ajakan untuk ber-anal seks karena belum pernah melakukannya.

Tapi karena awak kapal tersebut memaksa sambil terus memberikan rangsangan secara seksual kepada Bahar, maka Bahar pun terhanyut dan takluk terutama karena rasa sensasi yang timbul ketika bagian belakangnya dirangsang sedemikian rupa oleh si Portugis itu.

Masih menurut Bahar, di kamar mandi itu orang Portugis tersebut mula-mula memandikan dan membersihan seluruh tubuh Bahar, sambil melakukan stimulasi terutama pada bagian belakang tubuh Bahar baik dengan jari maupun dengan rangsangan mulut. Sebuah pengalaman 'fore-play' baru bagi Bahar.

Waktu itu Bahar merasakan rasa nikmat yang belum pernah ia rasakan. Daerah di sela-sela pantatnya menjadi terasa licin, lembut dan basah karena ludah si Portugis. Dan daerah itu ternyata sangat sensitif, bahkan hanya oleh sentuhan lidah yang lembut sekalipun.

Akhirnya setelah kondisi Bahar sudah dirasa"siap", orang Portugis itu lalu pelan-pelan dan sabar mencoba melakukan penetrasi dengan tanpa menghentikan rangsangannya terhadap Bahar. Kali ini malah dengan menggunakan jari tengahnya. Lalu ditambah jari telunjuk. Dan akhirnya tiga buah jari masuk semua. Membelai-belai celah milik Bahar yang makin lama makin melentur.

Dan akhirnya bobollah pertahanan Bahar. Jari-jari Portugis itu kemudian berganti dengan sebuah batang pejal dan kenyal.

Terjadilah adegan sodomi yang baru sekali ini dialami Bahar. Bagian bawah tubuh Bahar memang terasa sakit namun tak timbul luka. Mungkin karena sudah 'dipanasi' dulu sebelumnya. Namun di sela-sela menahan rasa sakit itu, Bahar ternyata merasakan juga sebuah rasa nikmat yang sangat lain dari kenikmatan yang pernah dialaminya selama ini.

Genjotan dan geseran batang kemaluan Portugis yang berukuran besar itu sangat terasa menggelitik seluruh urat syaraf yang ada di situ. Menimbulkan rasa geli yang sangat. Apalagi selama itu tangan si bule juga tak tinggal diam, giat memasturbasi Bahar.

Satu, dua, tiga.. Begitu kira-kira irama genjotan yang dibuat si Portugis. Seirama kocokan tangannya pada batang kemaluan Bahar. Hingga akhirnya Bahar tak mampu menahan orgasmenya yang dirasanya datang terlalu cepat. Namun rasa nikmat muncul sangat sulit untuk dilukiskan. Menurut Bahar, ia sampai menyemprot sekitar tiga-empat kali. Semua memancar kuat dan banyak.

Pada saat itulah, akibat orgasme, pantat Bahar menjadi ikut bereaksi dan berkonstraksi dengan kuat, sehingga makin menjepit batang kemaluan si Portugis. Maka akibatnya tak lama kemudian si bule itu pun mencapai puncak seksualnya hampir bersamaan dengan Bahar.

Sejak kejadian itulah Bahar mulai melakukan beberapa pengalaman serupa dengan rekan-rekannya di kapal atau pelabuhan yang ternyata sudah ada yang mempunyai pengalaman begituan lebih dulu. Namun dalam pengalaman selanjutnya, Bahar tampaknya cenderung lebih menyukai posisi sebagai pihak yang aktif ketika melakukan hal itu.

Itulah yang kini membuatku heran. Karena malam ini Bahar justru memintaku sebagai pihak yang aktif berbuat itu kepadanya.

Matanya masih terus memandangiku, aku sendiri bingung harus berbuat apa. Harus mulai dari mana. Karena aku belum pernah mengalami kejadian seperti itu. Meskipun tak jarang aku sering membayangkan bagaimana nikmatnya hal itu. Tak jarang pula aku sering merangsang sendiri daerah di sekitar itu, baik ketika sedang ber-onani maupun sedang bermain cinta dengan Bahar. Memang timbul kenikmatan tersendiri melakukan rangsangan di daerah sensitif itu. Apalagi bila..

"Mas.." tegurannya menyadarkan pikiranku. Aku gelagapan.
"Abang serius mau melakukan itu?" tanyaku tak percaya.
"Ya!" jawabnya singkat, masih dengan suara yang serak.

Hampir tenggelam oleh bunyi gemeretak hujan di luar sana.

E N D

berlanjut ke "Oase Laut Utara 03: Dan Hujan Semakin Deras"

Oase Laut Utara 01: Pasir Putih - spesial!

Rangkaian Cerita:
 Oase Laut Utara
  • 01: Pasir Putih
  • 02: Ujung Sebuah Hujan 
  • 03: Dan Hujan Semakin Deras
  • 04: Bad News But Love
  • 05: Kiss Me Goodbye
  • 06: Bermain Api Di Tengah Air
  • 07: Dan Api Semakin Memercik
  • 08: The Old Lover
  • 09: Reunion Shower
  • 10: Morning Blues
  • 11: Gubug 'Derita'
  • 12: Dokter Cinta
(by: juzoef@yahoo.com)
Episode: PASIR PUTIH

Laki-laki itu kini tergolek tenang di sampingku. Tubuhnya yang padat itu hanya tertutup selimut sebatas pinggangnya. Aku sendiri belum sepenuhnya berpakaian dan masih bersandar di ujung ranjang. Di pagi yang masih dingin ini kami baru saja bermain cinta.

Deru napasnya tampak sudah mulai reda setelah hampir selama satu jam tadi kami bergelut penuh nafsu. Perut dan dadanya yang penuh bulu itu nampak bergerak ritmis mengikuti hembusan napas. Dengan satu tangan terentang ke atas, dadanya makin tampak bidang, dan rambut di ketiaknya terlihat lebat menyeruak. Dengkurannya halus.

Rasanya baru beberapa menit ini dia terlelap. Capek mungkin. Tapi yang jelas ia kepuasan, sebagaimana yang kurasakan. Percikan birahiku pun belum sepenuhnya reda. Kemaluanku masih menyisakan rasa tegang. Apalagi adegan tadi masih terasa dan terbayang terus. Kulirik selimut yang menutupi bagian bawah pusarnya. Kupegang. Kurasakan bagian itu masih hangat dan tonjolan batangnya masih terasa kenyal. Beberapa bercak cairan kental masih menempel di selimut itu. Sebagian dari kenikmatan kami yang masih tersisa.

Dia tadi memang keluar cukup banyak. Demikian juga aku. Entah kenapa pagi ini kami begitu bersemangat sekali melakukannya. Rasanya sejak kami menjali hubungan sesama jenis, inilah salah satu permainan cinta yang paling seru yang pernah kami lakukan. Laki-laki itu, Bahar namanya. Lengkapnya tidak dapat kusebut di sini, meskipun sebenarnya aku sangat suka dengan nama belakangnya yang khas Sangir Talaud itu.

Sangir Talaud. Di daerah kepulauan inilah aku dikirim oleh perusahaanku, sebuah natural eksplorer berbasis di Australia dan punya cabang di Jakarta, untuk melakukan penelitian selama satu tahun. Rencananya aku berdua dengan rekanku, Lolita, yang dikirim pada ekspedisi ini. Namun mengingat program pengetatan anggaran dan dengan pertimbangan daerahnya yang cukup jauh dan berat, maka aku yang cowok lebih diutamakan.

Menginjak bulan kedua di daerah Sangir, aku mulai kenal dengan Bahar. Ceritanya ketika itu aku sedang mencari kapal sewaan di sekitar daerah pelabuhan yang akan kupakai selama ekspedisi. Dia adalah pekerja lepas di pelabuhan itu, tapi lebih banyak menangani urusan yang menyangkut kapal dan perahu-perahu.

Setelah beberapa hari bertemu dan bekerja sama, kami akhirnya menjadi partner kerja. Lalu kutawari dia menjadi fasilitator sekaligus pemanduku. Sebagai pendatang aku memang perlu teman dan rekan kerja yang dapat membantu kegiatanku, sementara dia punya alasan lain menerima tawaranku: karena dia tidak punya siapa pun di Sangir ini dan waktu lowongnya cukup banyak.

Aku biasa memanggilnya dengan sebutan 'abang', Bang Bahar. Sementara dia memanggilku dengan sebutan 'mas'. Kata dia, semua orang yang berasal dari Jawa biasa dipanggil begitu, tidak perduli masih muda atau sudah tua.

Sebenarnya aku mempunyai satu alasan lain yang lebih kuat kenapa memilih dia. Bukan saja karena dia baik dan jujur, tapi karena aku memang menyukai orang itu. Bahkan sejak pertama kali melihatnya, mataku terus tertuju pada sosoknya yang tegap serta wajahnya yang ganteng, khas orang daerah Timur. Dari bentuk hidung dan kumisnya yang khas, ada prototype Arab dan Maluku, atau mungkin Spanyol (Latin). Entahlah. Yang jelas kulitnya agak gelap. Mungkin sering terkena sinar matahari. Maklum, dia pekerja lepas di pelabuhan itu.

Singkat kata, dia orangnya baik, menarik dan banyak membantu ekspedisiku. Sekilas, menurut orang-orang, sosok kami hampir mirip satu sama lain. Sehingga banyak yang bilang kami seperti saudara (I don't think so!). Karena menurutku wajahku lebih tipikal Jawa dan kulitku tidak segelap kulitnya. Barangkali karena model rambut kami yang sama-sama hitam dan ikal. Atau mungkin kami sama-sama berkumis dan postur tubuh kami yang memang hampir sepadan, meskipun badanku tidak sekekar dia yang memang punya postur tegap layaknya seorang pekerja keras ("Ah, aku cuma kuli, Mas." katanya suatu hari, merendah).

Hubunganku lebih jauh dengan Bahar berawal dari ajakannya untuk mengunjungi sebuah 'oase' (begitu istilahnya) yang ada di sekitar pulau yang medannya cukup kering ini.

Waktu itu ia menepati janjinya untuk datang ke pondokanku, siang-siang, naik motor. Celana kanvas warna hitam dan kaos putih polos membuat tampilannya tampak gagah (dan sexy), tapi tetap terkesan natural. Begitu melihatku, senyumnya langsung mengembang. Sederetan gigi putih tampak kontras dengan kumis hitamnya.

Kata orang, lelaki Sangir Talaud rata-rata memang lebih senang memelihara kumis. Beberapa orang bahkan memelihara jenggot dan cambang. Penampilan seperti itu memang membuat banyak lelaki tampak jantan. Tapi untuk orang Sangir, kesan itu tampak makin kuat. Entah kenapa banyak laki-laki Sangir yang berwajah ganteng. Kupikir mungkin letak wilayah mereka lah yang jadi penyebab itu semua. Bayangkan, Sangir Talaud merupakan lokasi pertemuan yang strategis antara Manado, Philipina dan Halmahera.

Campuran Arab, Spanyol dan China tampaknya yang membuat mereka punya keturunan yang bagus, lebih putih dibandingkan orang Maluku namun lebih gelap daripada orang Manado. Sementara kesan Arab masih tetap nampak terutama pada garis kening, dagu dan hidung mereka, ditambah gen yang membuat tubuh mereka pada umumnya ditumbuhi bulu-bulu yang.., Ah..!

Wajah lelaki yang berdiri di depanku pun memang tipikal Sangir. Dari kening, hidung dan dagunya mempunyai garis yang tegas. Matanya, meskipun kata orang seperti elang, namun pandangannya selalu memancarkan kesan lembut, hangat. Lalu postur tubuhnya yang tegap dan gagah itu..

"Siap berangkat sekarang?" logat daerahnya yang khas mengagetkanku yang tengah menikmati kekagumanku sendiri terhadapnya.
"Ayo.." kataku singkat sambil bersiap-siap menutup pintu rumah.
Kami lalu berboncengan sepeda motor langsung menuju luar kota. Bahar menawarkan diri untuk mendapat giliran pertama membawa motor. Aku setuju saja. Sepanjang perjalanan lenganku terus memeluk pinggangnya.

Dalam sepuluh menit, pemukiman rumah penduduk sepanjang jalan mulai berubah dengan pemandangan deretan pohon kelapa. Garis pantai mulai tampak, tapi masih jauh dari jalur aspal yang kami lewati. Cuaca siang ini cerah, tidak terlalu panas. Ketika kami sampai di garis pantai, dia tetap terus menjalankan motor, namun kali ini lebih pelan. Menyusur pantai.

"Mudah-mudahan ombaknya nggak besar." katanya menjelaskan tentang tempat yang menjadi tujuan kami.

Katanya tempat itu sangat rimbun dengan pohon kelapa, namun pantainya sangat bagus karena terletak pada kelokan teluk kecil sehingga seperti cekungan oasis dan sangat nyaman buat mandi atau berleha-leha di bawah rimbunnya kelapa. Dia menceritakan tempat itu kira-kira sebulan yang lalu dan berjanji mengajakku suatu saat kalau kami punya waktu. Jadwal kami memang jarang klop. Terutama jadwal dia yang tidak pernah pasti. Maklum pekerja lepas pelabuhan. Kadang ia malah ikut kapal lokal untuk bongkar atau muat barang di pulau lain yang waktunya makin tidak jelas lagi. Sementara jadwal kerjaku lebih teratur.

Sekarang kami sudah tiba di daerah bukit berkarang. Beberapa rumput dan tumbuhan liar lainnya tampak menyembul di antara karang-karang itu. Beberapa kali kami harus kompak menjaga keseimbangan motor agar tidak jatuh. Tapi kami berdua malah tertawa-tawa dan berteriak setiap kali ban motor hampir slip.

Inilah rupanya yang dia sebut dengan 'benteng pertahanan' menuju pantai indah yang konon belum banyak diketahui orang. Barangkali orang tidak menduga bahwa di balik bukit berkarang ini ada tempat terpencil bagai surga. Atau barangkali orang sudah malas duluan begitu melihat jalur yang harus ditempuh cukup terjal dan penuh bebatuan karang.

Roda motor mendongkak sedikit, dan lalu mendarat pada tebing rendah yang di depannya terhampar sebuah lanskap pantai yang benar-benar cantik. Persis seperti yang digambarkan oleh Bahar. Benar-benar ada gerombolan pohon kelapa yang meneduhkan sebagian pasir pantai dan sebagian pantai yang lain terbuka bagi sinar matahari, sehingga pasir putihnya tampak bercahaya. Lengkungan pantai memutih oleh busa ombak dan di belakangnya air biru jernih berkilau-kilau.Suasana sepi. Hanya suara motor kami yang perlahan-lahan mesinnya juga mulai dimatikan.

Aku turun duluan mendekat ke arah garis pantai. Sambil berkacak pinggang, kunikmati suasana di sekitar. Aku belum pernah berada di oasis dalam pengertian sebenarnya. Tapi kalau yang disebut oasis kira-kira mempunyai gambaran seperti ini, oh, aku dapat membayangkan betapa bersyukurnya semua khafilah pada saat mereka menemukan sebuah oasis di padang pasir.

Tiba-tiba kurasakan tubuhku dirangkul dari arah belakang. Aku sempat berteriak karena terkejut. Dia malah tertawa. Aku benar-benar terkejut. Yang pertama karena aku seperti mau didorong jatuh ke air. Dan yang kedua aku terkejut karena yang memelukku adalah dia (siapa lagi?). Sepanjang pertemananku dengan Bahar, belum pernah ia menunjukkan sikap seakrab ini. Selama ini sikap akrabnya paling-paling ditunjukkan hanyalah merangkul bahuku pada saat ngobrol atau jalan-jalan.

"Bagaimana? Bagus kan..?" katanya seperti ingin memastikan bahwa ceritanya selama ini benar.
"Ya. Bagus.., bagus banget.." jawabku masih agak bergetar.
Tangannya masih memelukku dari belakang, dan aku hanya dapat memegangi telapak tangannya yang menyilang kukuh di dadaku. Gumpalan dadanya terasa menyentuh punggungku.

Tiba-tiba di benakku muncul sebuah pikiran usil. Sebenarnya bukan tiba-tiba, karena ide ini sudah sering terlintas beberapa hari sebelum ini.
"Bang..," kataku memulai percakapan, "Ada yang ingin aku bicarakan dengan Bang Bahar.."
"Ada apa?" sahutnya datar.
"Sebenarnya aku mau membicarakannya waktu di rumah tadi. Tapi.."
"Kenapa?" dekapan tangannya di bahuku kurasakan agak menguat.
Aku diam sejenak.

"Besok aku dipanggil ke Jakarta. Ada keperluan mendadak," kataku pelan.
Sejenak aku tidak merasakan reaksi apapun dari dia. Dia masih memelukku dari belakang. Diam saja. Namun pelan-pelan tangannya kemudian mencengkeram bahuku dan membalikkan tubuhku sehingga kini kami berhadapan. Matanya memandangku seperti bertanya-tanya. Sialan, mata itu benar-benar. Tapi aku berusaha memberanikan membalas tatapannya. Dalam hati aku mau tertawa. Ternyata niatku mengusili dia tampaknya berhasil.

"Kenapa baru ngomong sekarang?" suaranya tiba-tiba menjadi lebih tegas tapi agak bergetar.
Aku diam saja, pura-pura menghela napas. Dia ikut menghela napas.
"Mas Harso..," katanya lagi, masih bergetar, "Benar mau ke Jawa? Sekedar pulang atau..?" kalimatnya terputus, karena tiba-tiba aku tidak kuat lagi menahan tawa.
Segera kutepis tangannya dari bahuku dan aku kemudian menghambur menjauhinya. Tidak ada lagi arah yang dapat kupilih selain berlari menuju ke air.

"Hei..!" teriaknya memanggilku begitu menyadari bahwa aku telah menipunya.
Sepatu kets dan celana jeans-ku sudah basah kuyup. Aku terus tertawa-tawa sambil menyipratkan air laut kepadanya. Pakaiannya pun jadi sedikit basah. Dia lalu mengejar masuk ke air dan mencengkeramku hingga kami berdua terjatuh. Basahlah semuanya. Aku masih tertawa-tawa. Dia memaki-maki, sambil terus mencengkeram tubuhku. Untung kami masih di air yang dangkal, jadi tubuh kami tidak terbenam begitu dalam.

Bahar lalu menarikku keluar dari air sambil terus menyumpah-nyumpah. Kami kemudian langsung menggelosoh begitu tubuh kami menyentuh pasir putih. Aku tidur telentang. Napasku agak tersengal, tapi suara ketawaku sesekali masih terdengar. Dia berbaring telentang di sisi kananku. Napasnya juga agak terengah-engah.


Biasanya kalau dia memanggilku dengan nama lengkap, pasti mau bicara serius.
"Bukan apa-apa" lanjutnya, "Aku kan pernah bilang, kalau Mas mau kembali ke Jakarta, bilanglah jauh-jauh hari, jangan mendadak. Mas tahu sendiri kan, di sini cuma Mas Harso yang bisa aku andalkan dan sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri.."
Aku jadi agak kasihan juga mendengar ucapannya.

"Sorry Bang," jawabku, "Habis Abang tadi juga bikin kaget."
"Bikin kaget gimana?"
"Itu tadi."
"Lho, aku kan cuma meluk dari belakang. Mas Har saja yang kagetan," katanya mencoba membela diri.
"Ya, tapi nggak biasanya Abang seperti itu."
"Boleh dong sekali-sekali menunjukkan rasa sayangku sama Mas Har."
Rasa sayang? Dadaku tiba-tiba berdebar.

"Boleh kan?" katanya mengulangi. Kali ini dengan mimik lebih serius.
"Ya, boleh saja..," kataku agak kaku.
Dia membalas dengan senyum. Seperti biasanya, senyum yang menawan.

Entah dari mana mulainya dan siapa yang memulai, tiba-tiba kami sudah dalam kedaan berpelukan akrab. Ada sekitar satu menit kami saling berangkulan. Lalu, entah dari mana datangnya, mungkin terpengaruh oleh suasana yang akrab, tiba-tiba timbul keberanianku mencium pipinya. Dia diam. Kucium pipi yang satunya lagi. Masih diam. Kami bertatapan dan kemudian saling tersenyum. Bahkan dia kembali memelukku. Kali ini lebih erat.

"Aku juga sayang sama Abang..," bisikku di telinganya.
Matanya tertutup mendengar bisikanku. Tiba-tiba, timbul sebuah keinginan yang selama ini hanya ada di angan-anganku. Namun sedetik kemudian aku menjadi ragu. Perasaanku timbul tenggelam, sampai akhirnya kucoba memberanikan diri. Aku nekat. Dan.., dia diam saja ketika pelan-pelan kusentuhkan bibirku ke bibirnya. Dia tidak bereaksi.

Terasa kumisnya basah oleh air laut. Ada rasa asin mengalir di mulutku. Tapi rasa itu pelan-pelan menghilang ketika kurasakan dia mulai membalas. Aku agak tersentak. Kaget dengan respon yang diberikan. Apalagi lidahnya kemudian mulai bergerak, menggantikan rasa asin tadi dengan rasa lain, entah apa, yang jelas terasa sangat nikmat.

Beberapa saat kemudian kulepas bibirku. Aku menunduk tapi mataku mencoba melirik ke atas, melihat reaksinya atas kenekatanku menciumnya tadi. Kulihat matanya sudah terbuka, tapi sayu. Bibirnya juga masih terbuka, seperti meminta. Aku diam mengamati, mencoba menebak-nebak apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Tiba-tiba aku merasa bersalah.

"Bang..," aku baru mau bicara tapi terputus oleh kalimatnya. Tangannya masih memeluk leherku.
"Saya.., sebenarnya sudah lama tahu," katanya lirih, "Mungkin Mas Har kaget bahwa.., saya pun sebenarnya punya perasaan yang sama, meski mungkin.. kadarnya lain," kalimatnya terbata-bata.
Aku masih terdiam, berusaha mengamati wajahnya. Kurasakan mataku agak berair.

"Selama kerja di pelabuhan," lanjutnya, "Kehidupan seperti ini ada Mas. Dan terus terang, aku pernah mengalaminya juga, meski nggak sampai jauh."
Aku tidak mengerti maksudnya mengatakan 'sampai jauh'. Tapi aku diam saja, mendengarkan cerita selanjutnya. Kalau Bahar sudah mulai cerita, biasanya dia serius. Dan aku berusaha jadi pendengar yang baik (terutama karena aku memang suka mendengar suara logat Sangirnya yang khas itu).

Menurut ceritanya, meskipun pada awalnya biasa saja, ternyata Bahar lambat laun mulai dapat membaca sikapku setelah kami berkawan sekitar satu bulan. Insting itu katanya ia dapatkan dari pengalamannya selama ini bergaul dengan orang-orang di lingkungan kapal atau pelabuhan. Lingkungan yang didominasi laki-laki memang dapat berpeluang menimbulkan gaya hidup yang lain di antara komunitasnya. Kebutuhan biologis yang kadang-kadang sangat menuntut pada situasi dan kondisi yang darurat, kadang-kadang memaksa mereka untuk menyalurkannya dengan berbagai cara.

Bahar yang sudah bertahun-tahun hidup dan bekerja di situ jadi terbiasa melihat kehidupan seperti itu di lingkungan kapal atau pelabuhan. Bahkan bila terpaksa, sekali-sekali dia melakukannya bila keinginan sudah menuntut dan tidak sempat menyalurkannya secara normal ke perempuan. Tapi dalam hubungan dengan sesama jenis, Bahar lebih cenderung memilih posisi sebagai pihak yang aktif. Hal-hal 'kecil' lainnya yang dia lakukan paling jauh hanya sebatas "berswalayan" dengan rekan sekapal.

Aku tertegun tapi juga surprise dengan cerita Bahar. Sungguh. Aku tadinya berpikir akan perlu waktu lama dan mungkin tidak akan kesampaian hasratku untuk mendekati lelaki seperti Bahar lebih dari sekedar sahabat. Aku tidak tahu apakah harus bersyukur atau, entahlah.

"Mas adalah orang luar yang terbaik yang pernah saya temui. Dan saya suka," katanya.
"Terus terang.., bila sedang 'ingin' kadang-kadang saya bahkan membayangkan Mas Har, karena sejauh ini Mas lah orang terdekat saya," Bahar lalu mengakhiri ceritanya yang bagiku sebenarnya lebih merupakan ungkapan hati.

Akhirnya aku pun mengungkapkan semua perasaan yang selama ini mengganjal bahkan kadang-kadang membuatku pesimis untuk berhubungan lebih jauh dengannya. Dari obrolan selanjutnya, kami tampaknya sepakat untuk tidak menciptakan sebuah hubungan yang rumit. Cukup dengan naluri persahabatan, kami akan menjalani hubungan yang tampaknya sudah meningkat jauh ini secara apa adanya. Kami berdua tidak berani berpikiran terlalu jauh, karena menyadari bahwa hubungan seperti ini sulit diterima secara umum. Kami lebih melihatnya sebagai cara untuk berbagi rasa, saling mengisi. Sharing. Take and give.

Aku dan Bahar masih berbaring di atas pasir putih. Pakaian dan sepatu kami pun masih basah, bahkan sekarang banyak butiran pasir putih yang menempel.
"Ayo..!" dia mengajakku berdiri.
Aku tidak segera beranjak. Aku masih agak tertegun sebenarnya dengan kejadian hari ini, sejak dia memelukku di bibir pantai tadi sampai ke segala ungkapan yang keluar dari kami berdua.

Dia kulihat berdiri dan sebentar mengibas-ngibas celananya hingga butir-butir pasir berguguran. Lalu dia melepas sepatunya, dan dengan tenangnya kemudian menarik t-shirt putihnya ke atas melewati kepala dan melepasnya. Kini bagian atas tubuhnya tampak terbuka. Dadanya memang bidang dan ditumbuhi bulu yang cukup lebat. Aku pernah melihatnya waktu dia sedang istirahat di pinggir pelabuhan beberapa waktu lalu.

Namun kali ini terasa lain. Apalagi dia kemudian mulai melepas ikat pinggangnya dan dengan santainya memelorotkan celana kanvas-nya, sehingga kini dia hanya tinggal mengenakan celana dalam saja. Warnanya putih polos. Sehingga tampak jelas bentuk, tonjolan dan lekukan alat vitalnya, apalagi celana itu dalam keadaan basah.

Sambil melepas celana tadi dia sempat melirik padaku dan tersenyum penuh arti. Aku jadi agak gelagapan. Tapi dia malah cuek saja. Mungkin yang namanya melepas pakaian, bertelanjang dada atau hanya bercawat saja di depan orang lain merupakan perilaku yang biasa di lokasi kerjanya. Dan itu pernah diceritakannya padaku, bahwa dia dan teman-teman sekerjanya yang rata-rata orang kapal itu biasa tampil bebas dan apa adanya.

Kadangkala mereka mandi bersama, entah di kapal, di laut atau di kamar mandi umum. Maklum orang pelabuhan, orang laut. Jadi telanjang atau melihat laki-laki telanjang bagi dia mungkin bukan sesuatu yang istimewa. Lain kalau bagiku. Lingkunganku berbeda. Melihat orang telanjang atau setengah telanjang merupakan suatu momen yang jarang kualami. Apalagi orang yang telanjang di depanku (sebenarnya dia masih pakai celana dalam) adalah orang yang kusukai.

Hai..! tiba-tiba aku baru sadar. Bukankah kami sudah mengaku saling menyukai? Lalu, kenapa aku tidak beranjak dari kebengonganku dan 'merayakan' itu semua? Aku lalu beranjak menghampirinya. Begitu melihat aku berdiri, tangannya memberi isyarat agar aku melepas juga pakaianku. Aku menuruti keinginannya. Dan dia terus memandangiku selama aku membuka pakaian, satu demi satu. Pakaian yang basah sengaja kami jemur pada pokok pohon kelapa yang melengkung.

Kini aku pun hanya tinggal mengenakan celana dalam saja. Kami saling berpandangan sambil sesekali tertawa ringan. Aku menangkap beberapa kali matanya melirik ke arah kemaluanku. Aku memang sudah setengah ereksi. Entah bagaimana dengan dia. Aku tidak dapat menebak apakah gundukan besar di balik celana dalamnya itu menandakan dia juga mulai tegang ataukah memang alat vitalnya berukuran besar. Aku tidak tahu, karena hanya ada satu cara untuk membuktikannya, dengan melihat atau menyentuhnya langsung.

Dia lalu mendekatiku dan merangkulku, dan kami pun secara reflek lalu berciuman. Mula-mula lembut dan ringan. Lalu bibir kami saling melumat penuh nafsu. Napas kami memburu. Tampak bahwa kami saling memendam sesuatu yang sudah lama ingin kami lampiaskan. Tubuh kami yang masih setengah basah itu menyatu erat dan pinggul kami bergerak tidak karuan, saling menggesek dan menekan. Batang kemaluannya makin lama terasa makin kenyal dan membesar, menekan kemaluanku yang sudah mengeras lebih dahulu. Lalu kurasakan tangannya merayap perlahan ke celana dalamku dan aku terhenyak ketika tangannya meremas kemaluanku dengan gemas.

Sementara dia beraksi, aku menengok ke bawah tubuhnya dan kulihat bagian kepala kemaluannya sudah menonjol keluar dari cawatnya. Membulat dan berwarna coklat mengkilat. Lubang kecil di ujungnya sudah keluar cairan kental berwarna bening. Kusentuhkan jari-jariku di sana. Dia kegelian. Lalu kugenggam bagian kepala kemaluannya itu dan kuremas sedemikian rupa sehingga cairan bening itu membasahi seluruh permukaannya. Rasanya menjadi licin dan kenyal.

Melihat apa yang kuperbuat, dia lalu menarik celana dalamnya lebih ke bawah seolah meminta perlakuan lebih dari itu. Seketika nampak batang kemaluannya yang sudah tegang mencuat keluar. Besar dan padat. Di sekitarnya terlihat bulu-bulu yang tampaknya dibiarkan tumbuh liar, bahkan di lipatan selangkangannya. Baru kali ini aku melihat langsung bagian tubuh Bahar yang paling sering kubayangkan itu.

Belum puas aku memandangi bagian tubuhnya yang merangsang itu, tiba-tiba dia sudah memelorotkan celana dalamku dan lalu menarik tubuhku ke bawah, untuk berbaring telentang di pasir. Aku lalu ditindihnya dan kemudian Bahar menekan-nekan pinggulnya maju mundur, naik turun di atas pangkal pahaku. Pantatnya yang bulat padat itu kulihat naik turun secara ritmis dan sesekali berputar erotis. Gerakan itu menimbulkan rasa geli yang nikmat.

Kondisi kami yang sudah telanjang bulat dan dalam posisi saling tindih seperti itu membuat kami laksana dua orang atlit yang sedang bergulat. Selama itu kami terus berciuman dengan penuh gairah sambil sesekali berguling-guling di pasir pantai yang mulai terasa hangat oleh matahari. Sesekali tanganku menggenggam batang kemaluannya yang besar itu, untuk kuremas dan kukocok-kocok.

"Gede Bang..," kataku sambil terus memain-mainkan otot kenyal itu.
"Ini juga. Keras lagi..," balasnya sambil membalik badannya, menindihku dan meremas milikku.
Lalu tubuhnya bergeser ke bawah dan mulutnya berhenti tepat pada kepala kemaluanku. Oh, dia melakukan oral seks padaku!

Hisapan mulutnya akhirnya mulai menyebarkan rasa geli nikmat di seluruh saraf alat vitalku. Apalagi bibirnya yang tebal itu sesekali menyedot-nyedot dan lidahnya dengan sangat liarnya menelusuri seluruh bagian benda bulat panjang itu. Bahar tampaknya benar-benar ingin melampiaskan segala keinginannya yang selama ini terpendam.

Tapi sebentar, bukankah aku juga punya keinginan serupa terhadapnya? Maka aku pun lalu membalik tubuhnya dan gantian memberikan permainan mulut padanya. Baru sekali inilah aku seperti mendapatkan sesuatu yang sudah lama kuimpikan. Batang yang pejal, besar dan liat. Sambil melumat, kupandangi otot kenikmatan itu sepuas-puasnya.

Bahar lah yang mengambil inisiatif ketika ia memintaku untuk melakukan permainan mulut dengan posisi 69. Dia mengambil posisi di atas, mengangkangi aku. Dan aku langsung melahap miliknya yang menggantung di atas wajahku. Sementara dia pun kurasakan mulai melakukan tugasnya dengan gerakan mulut yang lebih cekatan.

Ada sekitar seperempat jam kami melakukan permainan yang sungguh merangsang urat syaraf itu. Sampai tiba-tiba dia memutar tubuhnya dan berlutut mengepit pinggulku. Tangannya kemudian mengocok-ngocok sendiri kemaluannya dengan gencar sambil mulutnya mendesis-desis seperti orang tengah kepedasan.
"Sshh.., oh.. oh.. oh.. ohh..!" teriaknya tertahan, terputus-putus.

Beberapa saat kemudian ujung kemaluannya yang sudah membengkak meradang itu memuncratkan cairan putih kental ke tubuhku yang telentang. Air maninya terasa hangat. Dia masih terus mengerang sambil tangannya tetap mengocok-ngocok kejantanannya yang terlihat makin menegang dan tampak berwarna legam. Beberapa saat kemudian dia menatap dan tersenyum padaku penuh kepuasan.

Kemudian tanpa kusadari, tangannya tiba-tiba meraup sisa air mani yang menempel di ujung kemaluannya dan mengoleskannya ke kemaluanku. Ketika dirasanya kurang banyak, ia kemudian mengusap yang menempel di perutku dan melumurkannya ke seluruh batangku. Sehingga milikku kini berlepotan oleh cairan lendir miliknya.

Dengan cekatan, tangan Bahar lalu melakukan gerakan naik-turun, meloco milikku. Kini gantian aku yang mengerang-ngerang kenikmatan. Tanganku sampai berusaha menghentikan gerakannya, tapi ia tidak menggubris. Bahkan kadang-kadang jari tangannya bergerak nakal meremas kantung kemaluanku sehingga membuatku makin kegelian.

Ketika aku menunjukkan tanda-tanda akan orgasme, dia malah menghentikan kocokannya. Aku hampir saja memprotesnya ketika kemudian ia menindihku dan mulai memutar dan menggesek-gesekkan pinggulnya di sela pahaku yang sengaja kubuka lebar-lebar. Rupanya ia ingin memberiku sentuhan akhir dengan cara yang lain. Kemaluanku yang sudah sangat tegang dan licin itu kini terasa diremas-remas oleh batang kemaluannya yang sudah setengah tegang tapi masih terasa kenyal itu.

Akhirnya orgasmeku datang! Orgasme pertamaku dengan Bahar. Dan aku menjerit tertahan sambil memeluk tubuhnya yang terus menindihku. Kubenamkan jari-jariku pada kulit punggungnya yang liat itu. Keringat kami bercucuran menyatu. Bau keringatnya menyeruak dan membuat orgasmeku makin klimaks. Kurasakan daerah sekitar selangkangan kami menjadi basah, licin dan hangat oleh muntahan air maniku. Sehingga gerakan pinggulnya menimbulkan bunyi kecipak yang merangsang.

Beberapa saat kemudian tubuh kami masih saling berpelukan di atas pasir putih penuh kepuasan. Pengalaman pertama ini sungguh berkesan bagi kami. Beberapa kali kukecup bibir dan kumisnya yang masih basah oleh keringat. Lidahnya sengaja ia julur-julurkan minta kuhisap. Dan aku menurutinya dengan senang hati.

"Mas Har..," ia berbisik mesra di telingaku, memintaku untuk jadi kekasih. Dan kujawab dengan ciuman yang dalam dan lama.
"Ya..," jawabku kemudian, "Dan aku ingin Bang Bahar tinggal bersamaku."
"O ya..?" katanya sambil berteriak tidak percaya.
"Ya. Sungguh!"
"Kapan aku mulai bisa ke sana?"
"Tunggu sampai acara kita selesai," sahutku.
"Acara apa lagi..?" teriak Bahar penasaran, sementara aku sudah berlari menghambur ke arah laut.

Ya. Acara apa lagi?

Episode: LAUT BIRU

Siang itu acara kami lanjutkan dengan mandi di laut. Bahar menyusulku yang sudah lebih dulu berlari ke garis pantai. Dalam kondisi sama-sama telanjang dan dengan postur tubuh yang tergolong besar, kami berdua tampak seperti dua ekor kera besar yang tengah bermain-main air.

Bahar sangat pandai berenang dan menyelam. Penyelam alami. Kadang tiba-tiba dia menghilang dan tidak lama kemudian muncul lagi di tempat lain sambil berteriak-teriak memangil namaku. Aku sendiri paling hanya berenang bolak-balik saja dan sesekali menyelam, meskipun sebenarnya air laut agak tenang dan cukup jernih untuk dinikmati. Tapi aku memilih untuk menghemat energi saja.

Aku tengah asyik mengambang sambil memutar-mutar kakiku di bawah air dan dia kulihat masih berenang ke tengah, dan beberapa saat kemudian tiba-tiba kusadari aku tidak melihat lagi bayangannya. Aku lalu berusaha menepi, namun sekonyong-konyong di bawah air seperti ada yang memeluk pinggangku dan kurasakan sesuatu yang lembut menempel di kemaluanku. Membuatku sedikit kaget. Pasti Bahar, pikirku. Dan benar juga, tangannya menyembul ke atas seolah ingin mengatakan bahwa yang ada di bawah adalah dirinya. Aku tertawa saja.

Lalu sesuatu terasa merayap di sekitar batang kemaluanku dan kemudian kurasakan sebuah lumatan. Aku terangsang. Pelan-pelan kemaluanku bangkit dan tampaknya ia makin mempergencar serangannya di bawah sana. Baru kali ini aku merasakan oral sex di dalam air. Rasanya lebih licin dan geli. Apalagi lidah Bahar tidak sekedar menjilat, tapi juga berkali-kali bergerak melilit-lilit. Gila..! Kuat juga dia menahan napas di dalam air. Penyelam alami!

Sampai akhirnya setelah kemaluanku benar-benar meradang, barulah dia muncul ke permukaan air. Napasnya ngos-ngosan. Lalu dia mengajakku berenang ke tempat yang lebih dangkal dekat garis pantai.

"Diteruskan ya..?" pintanya setelah kami tiba di kedalaman sekitar satu meter lebih.
Tubuh kami hanya nampak sebatas pusar saja, sehingga dengan jelas aku dapat melihat bayangan kemaluannya di dalam air. Tanganku lalu terulur ke bawah untuk meremasnya. Baru setengah matang.
"Bangunkan dia.." katanya lucu.
Aku sampai tertawa terbahak-bahak.

Lalu aku menyelam dan menemukan meriam kecilnya menggantung di dalam air. Langsung kuhisap dan kusedot-sedot. Tidak perduli air asin kadang-kadang ikut masuk. Bagiku lebih nikmat 'air'-nya dia.

Bahar memang sengaja membawaku ke tempat yang agak dangkal agar kami dapat melakukan oral seks di dalam air secara bergantian, karena aku memang tidak pandai menyelam. Makanya selama di air itulah kukerahkan segala caraku untuk memuaskan dia, karena aku paling hanya betah di air beberapa menit saja. Tapi untung dia memang gampang 'panas', jadi sekali dua kali hisap saja batangnya sudah mengembang besar. Ketika aku muncul ke permukaan, kudapati wajahnya merah padam karena rangsangan birahi yang kuberikan.

Memang, pengalaman oral seks di air ternyata lebih nikmat. Kami melakukannya bergantian, saling menghisap beberapa kali sebelum akhirnya tiba-tiba dia muncul ke permukaan air dari arah belakang dan memelukku. Batangnya terasa menempel ketat di antara kedua bukit pantatku. Pantatnya kemudian bergerak memutar dan kadang-kadang menekan mendesak-desak ke depan. Tangannya lalu melingkar ke arah depan pinggangku dan mulai menggenggam, meremas-remas dan mengocok milikku, pelan-pelan.

Ada beberapa menit kami dalam posisi seperti itu. Memelukku sambil memainkan kemaluanku dari belakang. Sambil begitu dia terus menggesek-gesekkan batang kemaluannya ke sela-sela pantatku. Kami hanya saling mendesis merasakan semua itu. Rasanya hanya suara kami dan desir daun kelapa saja yang terdengar siang itu. Sesekali terdengar suara kecipak air laut yang ditimbulkan oleh gerakan tubuh Bahar yang terus mendesak-desakku dari belakang.

Batang kemaluanku terus jadi sasaran. Dipilin, diremas dan dikocok-kocok. Aku mengimbanginya dengan menggeser dan menggoyangkan pantatku ke berbagai arah. Dengan begitu, aku seperti sedang meremas-remas kemaluannya dengan kedua bukit pantatku. Dan Bahar tampaknya menyukai aksiku itu. Berkali-kali ia membisikiku dan menuntunku untuk terus melakukan gerakan-gerakan yang membuatnya kenikmatan. Memang, kurasakan batangnya makin mengeras dan menghangat.

Bahar lalu membalas 'jasa'-ku dengan mempergencar gerakan tangannya pada kemaluanku. Membuat gairahku berdesir-desir. Kurasakan desakan birahi yang makin menuntut untuk dikeluarkan. Rasa geli dan desir-desir kenikmatan makin kuat kurasakan di sekitar pangkal kemaluan. Desah dan lenguhanku tidak menyurutkan tangan Bahar untuk menghentikan rangsangannya. Kecipak air di sela selangkanganku terdengar semakin ramai. Beradu dengan gerakan tangan Bahar yang makin liar.

Oh..! Akhirnya ejakulasiku datang tidak terkendali lagi. Muncrat jatuh ke air dan sebagian meleleh di tangan Bahar yang masih rajin meremas-remas batangku, bahkan kini dengan gerakan yang makin kuat seolah ingin mengeluarkan semua cairan kenikmatanku. Aku hanya dapat melenguh dan melenguh.. memanggil namanya. Entah apa maknanya, menyuruhnya untuk terus begitu atau menyuruhnya untuk segera menghentikannya. Aku tidak tahu lagi makna panggilanku padanya.

Belum tuntas aku menikmati puncak birahiku, suara Bahar terdengar menyambung mengerang-erang di dekat kupingku. Disusul gerakan-gerakan batang kemaluannya yang liar di celah bukit pantatku. Dan tidak lama kemudian kurasakan cairan hangat menyemprot-nyemprot dan membasahi bagian punggungku. Dipeluknya aku erat-erat dari belakang dan bibirnya merayap ke telinga kananku dan mengulumnya dengan sangat bernafsu. Rasa geli kembali menjalari urat syarafku.

Bibirnya kemudian bergeser mencari-cari bibirku dari samping. Dan ketika menemukannya, ia langsung melumatku dengan gemas. Sampai lama kami berciuman dengan posisi seperti itu, hingga akhirnya segalanya mereda. Desir angin laut yang tadi terabaikan, kini mulai terasa menerpa kulit. Kami berjalan perlahan ke arah pantai. Bahar menuntunku hingga kami keluar dari air. Kami merasa sudah waktunya untuk pulang. Apalagi pakaian kami sudah kering.



Bahar memang orang yang baik. Dia sangat membantu sekali. Pekerjaan rumah apapun kami lakukan bersama-sama atau bergantian. Dari membersihkan rumah, mengisi air tawar untuk kamar mandi, mencuci pakaian bahkan memasak. Tentunya kami melakukan semua itu dengan kualitas sebatas yang dapat dilakukan oleh laki-laki pada umumnya.

Pokoknya dia sudah kuanggap sebagai saudaraku saja. Atau mungkin lebih dari itu? Sebagai sepasang kekasih? Aku memang tidak pernah memperlakukan Bahar sebagai orang yang kupekerjakan, meskipun status dia memang membantuku selama ekspedisi ini, sebagai fasilitator, merangkap asisten, merangkap pemandu dan merangkap kekasih.

Tidak setiap hari kami dapat bertemu. Karena jadwal kami yang kadang-kadang berbeda. Aku memang memberi keleluasaan padanya untuk tetap bekerja di luar secara freelance. Karena kegiatanku sendiri tidak selalu memerlukan bantuannya. Rata-rata dalam seminggu kami dapat bertemu di rumah tiga atau empat hari.

Hari-hari itulah biasanya kami habiskan dengan berbagai kegiatan bersama, belanja, nongkrong di teras menikmati pemandangan laut di bawah sana, dan tentu saja kami selalu menyempatkan diri untuk bermain cinta. Di mana saja. Kadang di ruang tamu, di kamar mandi, di gudang, bahkan pernah di balik semak-semak di halaman belakang.

Sore itu aku pulang agak cepat tapi tidak sempat mampir ke pasar ikan, karena sudah kesiangan. Sudah dua hari ini Bahar tidak pulang ke rumah. Dia sedang mendapat order mengantar kapal ke pulau lain. Rencananya besok dia baru kembali.

Sesampai di depan rumah aku agak tertegun karena lampu di ruang tamu sudah menyala. Tampaknya Bahar sudah datang. Di atas meja beranda kulihat segelas minuman kesukaannya yang tinggal setengah. Mungkin dia habis duduk-duduk santai di situ. Aku langsung masuk ke dalam dan memanggil namanya. Tidak ada sahutan. Aku lalu ke belakang dan menjumpai dia sedang di kamar mandi. Telanjang bulat.

"Hei Mas Har! Baru datang..?" teriaknya sambil menggosoki tubuhnya dengan sabun.
"Katanya baru besok Abang mau pulang..?" kataku menanyakan sambil mendekat dan bersandar di kusen pintu kamar mandi.
Senang rasanya memandangi tubuh telanjangnya yang basah dan penuh dengan busa sabun.

"Kenapa? Nggak suka aku pulang lebih awal?" sahutnya sambil tertawa.
"Bukan begitu. Aku sih suka-suka aja. Surprise gitu."
"Ayo gabung..!" ajaknya sambil merentangkan kedua tangannya yang berlumuran busa sabun.
"Sebentar dong..!" jawabku sambil memberi kode bahwa bajuku harus dilepas dulu.

Aku lalu ke dalam sebentar, melepas pakaian dan kemudian dengan bertelanjang bulat langsung menuju kamar mandi bergabung dengannya. Kami langsung berciuman karena dua hari tidak jumpa. Diguyurkannya air ke tubuhku sampai merata. Segar rasanya. Bahar lalu memandikan aku seperti anak kecil. Kemudian gantian aku yang memandikan dia. Menyabuni dan menggosok seluruh tubuhnya.

Ketika aku tengah sibuk menyabuni bahunya, tangan Bahar mulai memegang-megang daerah perut dan dadaku.
"Hhmm..," ujarnya sambil bergumam mengagumi tubuhku.
Aku tidak menggubris komentarnya. Tanganku terus saja sibuk memandikannya.
"Tegap, proporsional, bulunya nggak terlalu lebat seperti punyaku," komentarnya.
Dia memang sering bilang bahwa badannya besar seperti kuli. Padahal di mataku tubuh Bahar yang kekar dan penuh bulu itu sangat sexy. Aku sendiri memang punya tubuh yang cukup besar tapi bulu tubuhku hanya tumbuh di sekitar perut dan pusar ke bawah. Sedangkan bulu dadaku tidak selebat miliknya.

Tiba-tiba kurasakan tangannya mulai merayap ke selangkanganku dan menyabuni daerah itu. Mulai nih, pikirku. Semula aku diam saja melihat kelakuannya itu. Tapi makin lama gerakan tangannya makin usil dan nakal. Beberapa kali aku berusaha menyingkirkan tangannya dari daerah itu. Tapi bukan Bahar namanya kalau langsung menyerah. Biasanya semakin dilarang malah semakin tertantang.

Bandel juga nih orang.., umpatku dalam hati. Tanganku yang sedari tadi sibuk menggosok bagian atas tubuhnya, segera kualihkan ke arah pangkal pahanya, membalas. Langsung kuremaskan busa sabun di tanganku ke otot pejalnya yang sudah mulai membesar itu. Kuremas dan terus kuremas. Ia pura-pura meringis kesakitan. Aku tidak perduli.

"Pelan dong Mas..!" rengeknya manja.
"Siapa yang mulai..?" sahutku pura-pura kesal sambil kulakukan remasan yang agak kuat di kantung kemaluannya yang tebal dan mengeras itu. Ia mengerang. Keenakan.
"Ya udah, di situ saja.." rengeknya.
Banyak maunya nih orang, pikirku. Tapi kuturuti juga kemauannya.

Kini kedua bola kecilnya gantian kupijit-pijit dan kugelitik dengan kelima jari tanganku. Daerah itu penuh dengan bulu keriting yang agak kasar, tapi busa sabun yang licin memperlancar tanganku untuk melakukan gerakan-gerakan nakal dengan lebih leluasa. Dan Bahar kini mulai mendesis-desis.

Matanya memerah sayu menatapku. Genggaman tangannya pada batang kemaluanku sudah agak mengendur. Tampaknya ia lebih berkonsentrasi menikmati rangsangan yang tengah kulakukan. Kedua tangannya kini mulai memegangi kedua bahuku. Sedangkan kedua pahanya beberapa kali sempat meregang-regang, entah karena kegelian atau karena ingin memberi keleluasaan padaku untuk berbuat lebih jauh, atau barangkali karena kedua-duanya.

Kuulurkan jari-jariku menuju daerah di bawah kantung zakarnya. Di sana kutemukan sebuah celah yang terjepit di antara lipatan pangkal paha dan pantatnya. Wilayah itu juga penuh dengan bulu, tapi tidak sebanyak dan sekasar di daerah buah zakarnya. Kucoba menelusuri lipatan yang kutemukan dengan jari-jariku.

"Pake jari tengah, Mas..!" tiba-tiba Bahar mendesah.
Good idea! Ia menuntunku untuk melakukan rangsangan di bagian tubuhnya yang memang jarang 'kukunjungi' itu. Bahar tampaknya menyenangi permainan yang kulakukan. Berkali-kali matanya terpejam untuk kemudian terbuka lagi tapi dengan pandangan yang sayu dan meminta.

Tangannya yang semula masih bertenger di bahuku, kini mulai merosot ke bawah. Mengurut bongkahan dadaku, menelusur ke perut, ke pusarku, menggelitik sebentar di bagian bawah yang penuh bulu dan lalu bertenger di pangkal kemaluanku yang sudah menegang tegak. Ia mulai mengurut dan memijit-mijit di sana, tanpa busa sabun, tapi justru lebih terasa gesekannya.

Akhirnya acara mandi itu menjadi acara yang lebih seru. Suara napas kami saling beradu menggema di dinding kamar mandi. Tidak ada lagi suara lain. Hening tapi hikmat. Hikmat tapi nikmat. Kenikmatan yang sudah dua hari ini tertunda.

Kami masih saling meremas dan melakukan gerakan memijat dan mengurut. Batang kemaluanku yang gede itu terasa menghangat dalam genggaman tangannya. Gerakan tangannya sengaja dilakukan secara bervariasi. Dari mengocok, meremas, memijit kemudian mengocok lagi dengan gerakan kadang lembut kadang kuat.

Sementara ujung jari tengahku yang sudah mulai jauh bergerak kadang-kadang kuselingi dengan meremas kedua bulatan di selangkangannya yang penuh bulu itu, lalu menelusup kembali masuk ke sela-sela belahan pantatnya dan kembali bermain-main di situ. Mulutnya terus mendesis-desis menikmati permainanku. Napasku pun mulai memburu merasakan gerakan tangan dia yang liar tapi berirama.

Dia kini tidak hanya mengerjai milikku yang sudah sangat tegang itu. Tangannya yang satu lagi mulai merayap ke dadaku dan mempermainkan puting susuku, kali ini dengan menggunakan air sabun. Jari-jarinya kadang memilin, meremas dan sesekali mencubit putingku, sehingga membuatku menggelinjang kegelian.

Selama ini bila sedang bermain seks, kami memang paling senang saling mempermainkan puting susu. Entah dengan dihisap atau dipilin-pilin dengan ujung jari. Bila Bahar sudah menghisap puting susuku, ia seperti tak mau lepas. Seperti anak kecil sedang menetek karena kehausan. Aku sendiri senang diperlakukan seperti itu. Adegan di kamar mandi ini pun mulai memasuki tahap hisap-menghisap.

Sebelumnya Bahar membasuhkan air ke tubuhku sehingga bersih dari busa sabun. Lalu masih dalam posisi berdiri, ia mulai memeluk dan menghisap putingku. Lumat dan ganas. Aku sampai agak kewalahan. Sementara jari tanganku di bawah terus beraksi menusuk-nusuk celah pantatnya yang terasa mulai licin. Kadang-kadang Bahar mengerutkan otot-otot yang ada di celah itu sehingga membuat jari tengahku terjebak di sana. Bila sudah begitu, aku hanya dapat melakukan gerakan mengulir-ulir saja.

Permainan ini akhirnya kami selesaikan karena kami sama-sama tidak kuat lagi menahan puncak rangsangan yang ada. Bahar mulai mendekap tubuhku kuat-kuat. Kami lalu saling berpelukan, saling menggeser dan mendesak-desakkan kemaluan kami sampai akhirnya cairan sperma saling muncrat dan meleleh di sekitar perut dan selangkangan kami berdua.
"Oohh..!" hampir bersamaan Bahar dan aku mendesah kepuasan sambil terus mempererat pelukan.

Untuk beberapa saat kami terus berdekapan sambil berciuman. Ah..! Nikmat sekali rasanya mandi seperti ini.
"Makanya, kalau aku pulang lebih cepat jangan curiga dulu dong," katanya sambil menciumi pipiku.
"Siapa yang curiga?" balasku masih terengah-engah.
"Tadi..," sahutnya.
"Lho, aku kan cuma surprise aja. Habis tau-tau Abang udah di kamar mandi. Kirain lagi mandi basah," candaku.
"Tadi aku iseng-iseng memancing Mas, siapa tahu mau mandi bareng. Soalnya udah kangen banget..," katanya menjelaskan sambil tangannya bergerak ke arah bak mandi. "Nah, kalau sekarang baru mandi basah."

Tiba-tiba Bahar sudah mengambil gayung dan menyiramkan air ke sekujur tubuhku. Aku sempat gelagapan dan berteriak-teriak. Bahar tertawa keras-keras. Akhirnya kami saling mengguyurkan air ke tubuh masing-masing. Mandi bersama. Kali ini benar-benar mandi. Tidak pakai acara remas-remasan.

Demikianlah, sampai saat ini sudah ada sekitar tiga bulan aku tinggal bersama Bahar. Tentu saja hubungan kami menjadi semakin dekat. Memang kadang-kadang ada ribut-ribut kecil dengan dia, tapi lebih banyak menyangkut perasaan kami saja dan biasanya dapat kami selesaikan dengan baik. Bahkan tidak jarang keributan kami berujung dengan kemesraan di atas ranjang. Kegiatan survey-ku di daerah Sangir masih memerlukan waktu yang cukup lama. Berarti aku juga masih punya banyak waktu untuk menikmati itu semua bersama Bahar.

E N D

berlanjut ke "Oase Laut Utara 02: Ujung Sebuah Hujan"

Aku dan Pak Broto

(by: digigit_present@yahoo.com)

Sore yang sangat tidak bersahabat. Aku melihat gumpalan awan hitam di langit, berarak-arak seperti gerombolan monster yang sangat menakutkan. Sesekali kilat juga menyambar-nyambar membuat orang harus berpikir 1000 kali untuk keluar rumah.

Aku masih bersungut-sungut di kamar, sementara buku berserakan di mana-mana. Perasaanku, semuanya sudah di keluarkan, tapi buku filsafat yang aku cari tak juga di temukan. Padahal besok ada tugas, Dosennya si Funk lagi! Jadi stres sendiri.

"Aduh, Ngilang kemana sih tuh buku!?" aku pukul kasur dengan kerasnya, kucoba lagi untuk mengingat-ingat. Percuma! Tak ada sesuatupun yang bisa di jadikan petunjuk.

Perlahan kurebahkan tubuhku di kasur, mencoba menenangkan emosiku agar bisa berpikir secara jernih. Kupandangi foto-fotoku di dinding kamar. Foto yang menunjukan keceriaanku bersama teman-teman saat terlibat dalam kegiatan di kampus. Entah itu saat camping, hunting foto, atau acara-acara serius lainnya (kebetulan aku aktivis di kampus). Mataku tertumbuk pada fotoku bersama Ciput saat menjadi panitia Ospek, wajah tengil itu.. Busyet!! Diakan yang meminjam buku filsafat itu seminggu yang lalu. Alasan mau di fotokopi sampai sekarang belum di balikin juga. Dasar Ciput! Brengsek!!

Bergegas aku kembali mengenakan kaos yang tadi kulepaskan daan bergegas untuk ke rumah Ciput. Ketika aku keluar, langit sudah benar-benar pekat, sementara gerimis mulai turun. Kalau tidak benar-benar penting, tak akan pernah aku keluar dalam cuaca seperti ini. Sudah tak ada payung lagi! Untungnya rumah Ciput hanya beberapa Blok dari kosanku. Tanpa menunda-nunda lagi aku segera berlari ke rumah Ciput selagi hujan belum begitu deras, tapi tak ayal pakaianku basah juga.

"Kurang ajar kamu, Cipuut!" Aku benar-benar marah.

Ingin rasanya meninju hidungnya yang bangir itu sampai pesek, atau menekuk-nekuk tubuhnya yang atletis sampai ringsek! Ciput selalu begitu, kalau pinjem sesuatu pasti lupa untuk di balikin. Awas kamu monyong!! Aku terus menggerutu sambil berlari.

Tak lama sampai juga di rumahnya. Tak sabar rasanya untuk menjitak kepala Ciput. Segera aku mengetuk pintu. Sepi. Kucoba kuketuk lagi. Tetap tak ada suara. Sekali lagi kucoba. Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekat. Sementara aku sudah menggigil kedinginan.

Sesosok tubuh kemudian muncul dari balik pintu. Deg! Sosok yang selama ini aku impikan. Tapi kenapa di dalam rumah tubuhnya basah kuyup begitu? Aku tak bisa berkata apa-apa. Terlihat jelas didepan mataku sosok tubuh tegap di usia senja. Dengan pakaian basah yang makin menonjolkan bentuk tubuhnya. Benar-benar sosok dewasa yang selama ini aku impikan. Dia tersenyum melihat aku hanya bengong.

"Wah Nak, Andra. Saya kira siapa. Kok hujan-hujanan begini? Ayo masuk!"
"Ah enggak Pak, entar semuanya kotor. Disini aja" Aku mencoba menenangkan diri dari pesona itu.
"Ee.. Ciput eh, Saifudinnya ada Pak?"
"Wah dia sedang ke Surabaya"

Deg! Ingin rasanya saat itu juga pingsan. Ke Surabaya.. Lalu bukuku.. Tugasku.. Dosen killer itu.. Maak!!

"Ada perlu apa, Nak?" Pak Broto heran melihatku yang tiba-tiba lemas.
"Penting banget kayaknya?"
"E anu Pak.. Saya mau ngambil buku yang di pinjem Saipudin. Kebetulan besok ada tugas. Kapan dia pulang Pak?"
"Wah, mungkin besok!" Deg! Besok? Wah harus bagaimana nih?
"Sama siapa dia kesana Pak?"
"Abah dan Uminya. Kebetulan hari ini Bude-nya melahirkan." Pak Broto tersenyum kepadaku.

Sejenak di perhatikannya aku yang makin menggigil.

"Nak Andra kayaknya kedinginan. Masuk yuk! Entar masuk angin. Kebetulan Pak juga lagi benerin genting teras belakang yang bocor. Ayo masuk!"
"Ah enggak Pak, saya pulang aja deh!"
"Tunggu hujan reda dulu. Pak juga hampir selesai kok benerin gentingnya."
"Tapi.."
"Ayolah!" Pak Broto menarik tanganku ke dalam.
"Kamu ganti aja pakaianmu. Karena kamar udin kayaknya terkunci kamu pakai aja pakaian Pak. Dari pada masuk angin." Pak Broto menggelandang aku Pakamarnya.
"Pake kaos dan sarung ini saja. Bapak tinggal dulu sebentar."

Setelah Pak Broto pergi. Aku segera mengganti pakaianku dengan kaos dan sarung Pak Broto. Sambil menunggu Pak Broto, iseng aku membaca majalah pertanian yang ada di kamarnya. Tak lama Pak Broto datang. Dia hanya mengenakan handuk. Tampaknya dia habis mandi. Tercium harumnya sabun mandi dari tubuhnya. Dan tubuh itu.. Baru kali ini aku melihat tubuh Pak Broto setengah telanjang. Dadanya begitu tegap dengan bulu-bulu yang membelukar dengan pentil susunya yang terlihat kencang.. Oh ingin sekali aku menghisap dan menggigitnya.

"Kalau habis mandi gini seger banget." Pak Broto tersenyum ke arahku.
"Nak Andra enggak mandi dulu?".
"Ah, enggak Pak. Dingin!"

Menjawab pertanyaan yang mendadak itu aku tergagap. Pak Broto membuka lemarinya, di ambilnya kemeja dan sarungnya yang lain. Aku pura-pura tak melihatnya padahal detak jantungku sudah tak menentu. Setelah berpakaian Pak Broto duduk di sampingku.

"Bapak enggak ikut ke sana?" Aku mencoba mencairkan suasana.
"Kemana?"
"Surabaya."
"Oh. Enggak. Kalau ikut semua, siapa yang jaga rumah." Pak Broto tersenyum kepadaku.
"Ya beginilah nasib orang tua, hanya jadi penunggu rumah." Pak Broto menepuk-nepuk bahuku.
"Bapak umurnya berapa sih?"
"Hampir 67, kenapa?" Aku merasakan remasan lembut di bahuku.
"Bapak belum kelihatan tua." Aku pandangi wajahnya. Pak Broto kemudian tertawa.
"Nak Andra bisa aja!"
"Bener Pak! Pak masih kelihatan ganteng kok. Gagah lagi!" Pak Broto terus tertawa mendengar kata-kataku.

Kuberanikan diri memegang pahanya yang hanya memakai sarung.

"Tubuh Bapak juga bagus!" Aku pijit-pijit pahanya.
"Rajin berolah raga ya Pak?"
"Wah itu sih kegiatan Pak sehari-hari" kembali Pak Broto meremas bahuku.

Aku makin terangsang saja. Dan rasanya inilah kesempatan saya untuk bisa berdua dengan Pak Broto. Saya harus bisa memanfaatkannya. Kapan lagi?

"Pak, boleh tanya sesuatu yang sifatnya pribadi?" Kucoba memberanikan diri menatap matanya yang teduh.
"Apa?"
"Dengan tubuh bapak yang masih gagah dan kuat ini kenapa bapak enggak menikah lagi?"

Aku terus memperhatikan ekspresi mukanya. Ternyata Pak Broto tidak marah, dia malah tertawa.

"Nak Andra, Nak Andra, setua ini siapa yang mau!"
"Bapak belum kelihatan tua."

Aku mengulang lagi kata-kataku. Pak Broto mengentikan tawanya, dia tersenyum.

"Orang setua saya, males mikirin kayak gituan. Malu sama cucu."
"Tapi apa Pak tidak merasa kesepian?"
"Kesepian pasti ada.."

Saat mengucapkan itu Pak Broto tersenyum, tetapi suaranya begitu lirih. Dan aku tahu kegetiran dan rasa sepi dari nadanya.

"Pak gimana sih caranya membentuk tubuh seperti ini? Saya ingin sekali punya tubuh seperti Bapak!" Aku meremas-remas pahanya.
"Ha.. Ha.. Nak Andra bisa aja"
"Bener Pak. Di usia Pak yang seperti ini tubuh Bapak tetep terlihat gagah" Peganganku beralih ke pangkal lengannya. Terasa keras dan kuat.
"Nih benerkan, liat sekali"

Tanganku terus menggerayangi tubuh Pak Broto pura-pura bercanda. Dan makin lama berdekatan dengan Pak Broto nafsuku sudah makin memuncak. Tapi aku masih bisa menahan diri. Dan untungnya aku memakai celana dalam yang ketat sehingga tonjolan kontolku tidak begitu terlihat.

"Apa sih rahasianya Pak?"
"Ha.. Ha.." Pak Broto terus tertawa tampaknya ia tidak curiga dengan perbuatanku.
"Mungkin karena sejak kecil saya terbiasa kerja keras" Pak Broto kembali menepuk-nepuk bahuku.
"Tubuh Nak Andra juga bagus!"
"Masak sih Pak?" Aku tersenyum nakal. Pak Broto mengangguk.
"Tapi Nak Andra harus lebih rajin olahraga lagi. Jangan terlalu sibuk dikampus!"

Kembali kurasakan remasan di bahuku. Aku hanya tersenyum mendengar gurauannya. Sejenak suasana sepi. Tapi tanganku terus membelai-belai pangkal lengannya. Dengan segenap keberanian aku mencoba menyentuh dadanya.

"Para gadis pasti senang bersandar di sini"

Aku usap-usap dadanya yang kekar. Pak Broto hanya tersenyum mendengar ucapanku. Dadaku makin bergemuruh. Ya Tuhan aku sudah tak kuat lagi menahan nafsuku. Aku beranikan diri menyandarkan kepalaku di bahunya, sementara tanganku terus membelai dadanya. Kutelusuri lekuk-lekuknya dengan segenap perasaan. Aku merasakan kekasaran bulu-bulu disana.

Kulihat Pak Broto tidak menampakan ekspresi apapun dan akupun menjadi semakin berani. Sesekali aku melakukan remasan lembut dan dengan nakal aku mencari puting susunya. Oh, nikmaat sekali. Dengan perlahan aku usap-usap pentil susu Pak Broto dengan ujung jariku. Terasa semakin mengeras. Aku merasakan hembusan nafas Pak Broto saat dengan nakal aku memelintir pentil itu. Dan kemudian kembali mengusapnya. Aku semakin tak kuasa menahan diri. Tanganku yang lain segera memeluk punggungnya.

"Tubuh Bapak bagus"

Tak bosan-bosan aku mengucapkan itu. Pak Broto hanya menatapku tanpa reaksi. Ku peluk tubuh itu dengan erat. Gemas sekali dengan tubuh Pakar lelaki dewasa ini. Dengan perlahan aku gigit bahunya sambil tanganku meremas dadanya. Pak Broto hanya melenguh kecil. Aku semakin berani. Ku pandangi wajahnya yang tampak sayu. Saya yakin sejak istrinya meninggal dia belum pernah melakukan hubungan sex. Kembali ku gigit bahunya. Pak Broto memejamkan matanya.

Dari balik kancing kemejanya kucoba memasukan ujung jariku. Langsung kurasakan lebatnya bulu dada disana, perlahan ku usapkan telunjuku, dan dengan berani aku copot satu kancing bajunya. Oh.. Aku sudah tak kuat lagi menahan nafsuku. Tanganku sekarang berada di dada Pakar Pak Broto. Aku seperti bermimpi bisa mengusap dan meremas dada Pakar berbulu itu.

Pak Broto kembali melenguh merasakan tindakanku. Dengan perlahan kembali ku buka kancing bajunya. Ku usap bahunya dengan lembut. Terasa hangat. Memberanikan diri ku kecup dadanya. Pak Broto ternyata tidak marah. Aku hanya mendengar dengus nafasnya semakin kencang, berkejaran dengan deru air hujan di luar sana.

Aku julurkan lidahku untuk menjilat pentil yang menantang itu. Pentil merah muda yang di kelilingi bulu membelukar. Perlahan aku usapkan lidahku di situ. Pak Broto kembali melenguh kali ini disertai cengkraman di bahuku. Kembali kujilati pentil itu, ku putar-putar lidahku disana sambil sesekali ku gigit dengan lembut. Oh nikmat sekali. Seperti anak kecil yang menemukan tetek ibunya kemudian aku hisap pentil Pak Broto dengan kuat sambil lidahku tak henti mempermainkannya. Desahan Pak Broto makin kuat.

Dan tanpa ku duga tiba-tiba Pak Broto membanting tubuhku di ranjang. Ia segera menindihku dan menyerbu bibirku dengan ciuman-ciumannya yang kasar. Aku tersentak melihat reaksinya. Sejenak aku terpana, tapi segera aku balas ciumannya. Bibirnya terasa lembut melumat bibirku dan sesekali kumisnya menusuk-nusuk pipiku. Geli sekali. Pak Broto terus menggumuliku seperti orang gila. Tapi aku merasakan sensasi yang hebat dari tindakannya. Saat ia menghisap bibirku dengan kuat aku segera menjulurkan lidahku dan ia segera melumatnya lidahnya yang basah segera menari-nari di rongga mulutku. Oh ini nikmat sekali Pak! Aku hanya bisa mencengkram punggungnya sambil meremas rambutnya.

Dengan kasar Pak Broto kemudian membuka bajuku sambil terus menciumi leherku, dan dengan ganas pula dia meremas dadaku. Aku terus menggeliat merasakan rangsangan yang hebat ini. Dan aku makin tersentak saat kurasakan lidah Pak Broto yang hangat dan basah menjilati puting susuku. Semakin kuat aku meremas rambutnya. Dan Pak Broto semakin mengila. Disedot dan digigitnya dadaku. Enath berapa tanda merah yang telah ia buat disana. Tak tahan aku segera membalikan tubuh Pak Broto sehingga Pak Broto terbanting dan kini berada di bawahku. Aku pandangi mukanya yang tampak merah karena nafsu. Sesaat kami hanya saling berpandang. Dengan lirih Pak Broto kemudian berkata.

"Maafkan Bapak, Nak. Bapak tak dapat menahan diri." Pak Broto memejamkan matanya.
"Tiga tahun Bapak tak pernah berhubungan badan lagi.. Dan Pak benar-benar tak kuat menahan rangsangan Nak Andra"

Mendengar ucapannya yang begitu lirih aku merasa tersentuh. Perlahan ku usap rambutnya yang mulai beruban. Dengan lembut ku kecup keningnya.

"Saya akan memuaskan Bapak"

Kupandangi matanya dan dengan perlahan aku mengecup matanya yang perlahan meredup. Bergeser, kucium hidungnya yang mancung, kemudian beralih ke bibirnya. Dengan lembut aku lumat bibir jantan yang di penuhi kumis itu. Pak Broto mengunakan bibirnya memberikan keleluasan pada lidahku untuk menelusuri kelembutan dan keharumannya. Kali ini Pak Broto tampak lebih bisa menahan diri.

Perlahan aku buka bajunya, Pak Broto sedikit memiringkan tubuhnya memberiku kesempatan untuk membuka bajunya yang sebenarnya sudah setengah terbuka dengan keusilanku tadi. Segera aku memeluk tubuh Pak Broto. Oh hangat sekali. Kami kembali berciuman. Tanganku terus bergerilya di atas tubuhnya dan aku merasakan tonjolan yang keras di perutku. Pak Broto kemudian menyilangkan kakinya di punggungku sementara ciuman kami semakin panas.

Kembali kutatap wajah Pak Broto, belitan kakinya mulai mengendor. Dengan lembut aku belai paha gempalnya sambil sedikit demi sedikit kulepaskan sarungnya. Kulihat Pak Broto menegadahkan wajahnya dan aku semakin senang dengan reaksinya. Belaianku semakin keatas. Aah, bulu-bulunya terasa kasar di tanganku. Sesekali dengan gemas aku remas dan cubit. Saat tanganku sampai pada kantung kasar berbulu, Pak Broto tampak tersentak. Dengan lembut aku pegang dan membelainya. Pak Broto segera mencium bibirku tak kuat menahan rangsangan yang ku berikan.

Belaianku kemudian beralih ke tugu monasnya yang benar-benar telah berdiri sempurna, besar sekali. Dengan gemas aku meremas kepalanya yang hangat dan mirip helm. Dan Pak Broto semakin keras melumat bibirku.

Ah, kontol Pak Broto mulai mengeluarkan precum. Ia benar-benar telah terangsang. Aku segera melepaskan diri dari pagutan Pak Broto. Ia tampaknya keberatan. Tapi aku hanya tersenyum melihat tatapannya. Aku segera menggeser tubuhku ke bawah sambil menyapukan lidahku di tubuh Pak Broto. Saat tiba di pusarnya aku segera menjilati sambil menusuk-nusukan lidahku di lubang pusarnya. Pak Broto langsung memberikan reaksi dengan mencengkeram kepalaku. Dan saat lidahku sampai di kontolnya desahan Pak Broto makin keras.

Dengan perlahan aku jilati helemnya dan kemudian batangnya. Terasa denyutan yang keras di sana. Kontol Pak Broto di penuhi urat-urat besar dengan batang raksasanya. Tak sabar aku segera membuka mulutku dan memasukkan jamur raksasa itu. Aku segera menyedotnya sambil memutar-mutar lidahku di kepala helmnya. Desah Pak Broto semakin kuat. Aku segera memajumundurkan kepalaku sehingga kontol Pak Broto maju mundur di dalam mulutku. Dan Pak Broto tampak nikmat sekali mengentot mulutku.

Kakinya segera memeluk tubuhku. Terasa pahanya yang gempal dan berbulu menempel di pipiku dengan ketatnya. Aku merasakan sentakan-sentakan kuat dari tubuhnya tiap mulutku menelusuri batang kontolnya. Dan cengkraman Pak Broto makin kuat begitu juga dengan desahannya yang makin memburu. Dan tak lama kemudian cengkraman itu kurasakan makin kuat disertai dengan hentakan yang kuat sehingga ujung kontolnya menyentuh kerongkonganku.

Tak lama kurasakan semburan yang kuat di mulutku. Semburan yang terus menerus. Rasa hangat menyelimuti mulutku oleh air maninya. Rasanya asin dan gurih aku segera menelannya. Tapi tak semuanya tertampung di mulutku sebagian meleleh di bibirku.

Setelah beberapa lama, semburan itu berhenti dan cengkraman Pak Broto makin mengendor. Aku segera bangkit dan memeluk tubuh Pak Broto. Pak Broto segera mencium bibirku yang belepotan spermanya kami kemudian sama-sama menikmati sperma yang tersisa di mulutku.

Setelah itu dengan kuat Pak memeluku. Ia kemudian meremas kontolku yang tak seberapa besar bila di bandingkan dengan miliknya. Aku menahan nafasku merasakan betapa lembut remasan itu. Tapi aku kemudian menarik tangannya, aku tak ingin terburu-buru karena ku tahu Pak Broto masih merasa lelah

"Kita bisa melakukannya nanti, Pak" Aku mengecup bibirnya yang dipenuhi kumis.
"Kita beristirahat dulu". Pak Broto tersenyum dan kemudian memelukku dengan hangat.

Setelah beristirahat kamipun melanjutkan permainan. Kali ini aku memasukan kontolku ke pantat kakek Broto yang di penuhi bulu. Kami melakukan itu sampai malam dan akhirnya aku pulang dengan kaki yang lunglai. Sebelum pulang kita telah membuat kesepakatan untuk bertemu lagi di saat rumah sepi. Semoga Ciput sering keluar, agar aku bisa selalu bermain sex dengan kakek broto. Tunggulah aku kakekku yang hebat!


E N D

Paling Populer Selama Ini