5/25/2011

Oase Laut Utara 01: Pasir Putih - spesial!

Rangkaian Cerita:
 Oase Laut Utara
  • 01: Pasir Putih
  • 02: Ujung Sebuah Hujan 
  • 03: Dan Hujan Semakin Deras
  • 04: Bad News But Love
  • 05: Kiss Me Goodbye
  • 06: Bermain Api Di Tengah Air
  • 07: Dan Api Semakin Memercik
  • 08: The Old Lover
  • 09: Reunion Shower
  • 10: Morning Blues
  • 11: Gubug 'Derita'
  • 12: Dokter Cinta
(by: juzoef@yahoo.com)
Episode: PASIR PUTIH

Laki-laki itu kini tergolek tenang di sampingku. Tubuhnya yang padat itu hanya tertutup selimut sebatas pinggangnya. Aku sendiri belum sepenuhnya berpakaian dan masih bersandar di ujung ranjang. Di pagi yang masih dingin ini kami baru saja bermain cinta.

Deru napasnya tampak sudah mulai reda setelah hampir selama satu jam tadi kami bergelut penuh nafsu. Perut dan dadanya yang penuh bulu itu nampak bergerak ritmis mengikuti hembusan napas. Dengan satu tangan terentang ke atas, dadanya makin tampak bidang, dan rambut di ketiaknya terlihat lebat menyeruak. Dengkurannya halus.

Rasanya baru beberapa menit ini dia terlelap. Capek mungkin. Tapi yang jelas ia kepuasan, sebagaimana yang kurasakan. Percikan birahiku pun belum sepenuhnya reda. Kemaluanku masih menyisakan rasa tegang. Apalagi adegan tadi masih terasa dan terbayang terus. Kulirik selimut yang menutupi bagian bawah pusarnya. Kupegang. Kurasakan bagian itu masih hangat dan tonjolan batangnya masih terasa kenyal. Beberapa bercak cairan kental masih menempel di selimut itu. Sebagian dari kenikmatan kami yang masih tersisa.

Dia tadi memang keluar cukup banyak. Demikian juga aku. Entah kenapa pagi ini kami begitu bersemangat sekali melakukannya. Rasanya sejak kami menjali hubungan sesama jenis, inilah salah satu permainan cinta yang paling seru yang pernah kami lakukan. Laki-laki itu, Bahar namanya. Lengkapnya tidak dapat kusebut di sini, meskipun sebenarnya aku sangat suka dengan nama belakangnya yang khas Sangir Talaud itu.

Sangir Talaud. Di daerah kepulauan inilah aku dikirim oleh perusahaanku, sebuah natural eksplorer berbasis di Australia dan punya cabang di Jakarta, untuk melakukan penelitian selama satu tahun. Rencananya aku berdua dengan rekanku, Lolita, yang dikirim pada ekspedisi ini. Namun mengingat program pengetatan anggaran dan dengan pertimbangan daerahnya yang cukup jauh dan berat, maka aku yang cowok lebih diutamakan.

Menginjak bulan kedua di daerah Sangir, aku mulai kenal dengan Bahar. Ceritanya ketika itu aku sedang mencari kapal sewaan di sekitar daerah pelabuhan yang akan kupakai selama ekspedisi. Dia adalah pekerja lepas di pelabuhan itu, tapi lebih banyak menangani urusan yang menyangkut kapal dan perahu-perahu.

Setelah beberapa hari bertemu dan bekerja sama, kami akhirnya menjadi partner kerja. Lalu kutawari dia menjadi fasilitator sekaligus pemanduku. Sebagai pendatang aku memang perlu teman dan rekan kerja yang dapat membantu kegiatanku, sementara dia punya alasan lain menerima tawaranku: karena dia tidak punya siapa pun di Sangir ini dan waktu lowongnya cukup banyak.

Aku biasa memanggilnya dengan sebutan 'abang', Bang Bahar. Sementara dia memanggilku dengan sebutan 'mas'. Kata dia, semua orang yang berasal dari Jawa biasa dipanggil begitu, tidak perduli masih muda atau sudah tua.

Sebenarnya aku mempunyai satu alasan lain yang lebih kuat kenapa memilih dia. Bukan saja karena dia baik dan jujur, tapi karena aku memang menyukai orang itu. Bahkan sejak pertama kali melihatnya, mataku terus tertuju pada sosoknya yang tegap serta wajahnya yang ganteng, khas orang daerah Timur. Dari bentuk hidung dan kumisnya yang khas, ada prototype Arab dan Maluku, atau mungkin Spanyol (Latin). Entahlah. Yang jelas kulitnya agak gelap. Mungkin sering terkena sinar matahari. Maklum, dia pekerja lepas di pelabuhan itu.

Singkat kata, dia orangnya baik, menarik dan banyak membantu ekspedisiku. Sekilas, menurut orang-orang, sosok kami hampir mirip satu sama lain. Sehingga banyak yang bilang kami seperti saudara (I don't think so!). Karena menurutku wajahku lebih tipikal Jawa dan kulitku tidak segelap kulitnya. Barangkali karena model rambut kami yang sama-sama hitam dan ikal. Atau mungkin kami sama-sama berkumis dan postur tubuh kami yang memang hampir sepadan, meskipun badanku tidak sekekar dia yang memang punya postur tegap layaknya seorang pekerja keras ("Ah, aku cuma kuli, Mas." katanya suatu hari, merendah).

Hubunganku lebih jauh dengan Bahar berawal dari ajakannya untuk mengunjungi sebuah 'oase' (begitu istilahnya) yang ada di sekitar pulau yang medannya cukup kering ini.

Waktu itu ia menepati janjinya untuk datang ke pondokanku, siang-siang, naik motor. Celana kanvas warna hitam dan kaos putih polos membuat tampilannya tampak gagah (dan sexy), tapi tetap terkesan natural. Begitu melihatku, senyumnya langsung mengembang. Sederetan gigi putih tampak kontras dengan kumis hitamnya.

Kata orang, lelaki Sangir Talaud rata-rata memang lebih senang memelihara kumis. Beberapa orang bahkan memelihara jenggot dan cambang. Penampilan seperti itu memang membuat banyak lelaki tampak jantan. Tapi untuk orang Sangir, kesan itu tampak makin kuat. Entah kenapa banyak laki-laki Sangir yang berwajah ganteng. Kupikir mungkin letak wilayah mereka lah yang jadi penyebab itu semua. Bayangkan, Sangir Talaud merupakan lokasi pertemuan yang strategis antara Manado, Philipina dan Halmahera.

Campuran Arab, Spanyol dan China tampaknya yang membuat mereka punya keturunan yang bagus, lebih putih dibandingkan orang Maluku namun lebih gelap daripada orang Manado. Sementara kesan Arab masih tetap nampak terutama pada garis kening, dagu dan hidung mereka, ditambah gen yang membuat tubuh mereka pada umumnya ditumbuhi bulu-bulu yang.., Ah..!

Wajah lelaki yang berdiri di depanku pun memang tipikal Sangir. Dari kening, hidung dan dagunya mempunyai garis yang tegas. Matanya, meskipun kata orang seperti elang, namun pandangannya selalu memancarkan kesan lembut, hangat. Lalu postur tubuhnya yang tegap dan gagah itu..

"Siap berangkat sekarang?" logat daerahnya yang khas mengagetkanku yang tengah menikmati kekagumanku sendiri terhadapnya.
"Ayo.." kataku singkat sambil bersiap-siap menutup pintu rumah.
Kami lalu berboncengan sepeda motor langsung menuju luar kota. Bahar menawarkan diri untuk mendapat giliran pertama membawa motor. Aku setuju saja. Sepanjang perjalanan lenganku terus memeluk pinggangnya.

Dalam sepuluh menit, pemukiman rumah penduduk sepanjang jalan mulai berubah dengan pemandangan deretan pohon kelapa. Garis pantai mulai tampak, tapi masih jauh dari jalur aspal yang kami lewati. Cuaca siang ini cerah, tidak terlalu panas. Ketika kami sampai di garis pantai, dia tetap terus menjalankan motor, namun kali ini lebih pelan. Menyusur pantai.

"Mudah-mudahan ombaknya nggak besar." katanya menjelaskan tentang tempat yang menjadi tujuan kami.

Katanya tempat itu sangat rimbun dengan pohon kelapa, namun pantainya sangat bagus karena terletak pada kelokan teluk kecil sehingga seperti cekungan oasis dan sangat nyaman buat mandi atau berleha-leha di bawah rimbunnya kelapa. Dia menceritakan tempat itu kira-kira sebulan yang lalu dan berjanji mengajakku suatu saat kalau kami punya waktu. Jadwal kami memang jarang klop. Terutama jadwal dia yang tidak pernah pasti. Maklum pekerja lepas pelabuhan. Kadang ia malah ikut kapal lokal untuk bongkar atau muat barang di pulau lain yang waktunya makin tidak jelas lagi. Sementara jadwal kerjaku lebih teratur.

Sekarang kami sudah tiba di daerah bukit berkarang. Beberapa rumput dan tumbuhan liar lainnya tampak menyembul di antara karang-karang itu. Beberapa kali kami harus kompak menjaga keseimbangan motor agar tidak jatuh. Tapi kami berdua malah tertawa-tawa dan berteriak setiap kali ban motor hampir slip.

Inilah rupanya yang dia sebut dengan 'benteng pertahanan' menuju pantai indah yang konon belum banyak diketahui orang. Barangkali orang tidak menduga bahwa di balik bukit berkarang ini ada tempat terpencil bagai surga. Atau barangkali orang sudah malas duluan begitu melihat jalur yang harus ditempuh cukup terjal dan penuh bebatuan karang.

Roda motor mendongkak sedikit, dan lalu mendarat pada tebing rendah yang di depannya terhampar sebuah lanskap pantai yang benar-benar cantik. Persis seperti yang digambarkan oleh Bahar. Benar-benar ada gerombolan pohon kelapa yang meneduhkan sebagian pasir pantai dan sebagian pantai yang lain terbuka bagi sinar matahari, sehingga pasir putihnya tampak bercahaya. Lengkungan pantai memutih oleh busa ombak dan di belakangnya air biru jernih berkilau-kilau.Suasana sepi. Hanya suara motor kami yang perlahan-lahan mesinnya juga mulai dimatikan.

Aku turun duluan mendekat ke arah garis pantai. Sambil berkacak pinggang, kunikmati suasana di sekitar. Aku belum pernah berada di oasis dalam pengertian sebenarnya. Tapi kalau yang disebut oasis kira-kira mempunyai gambaran seperti ini, oh, aku dapat membayangkan betapa bersyukurnya semua khafilah pada saat mereka menemukan sebuah oasis di padang pasir.

Tiba-tiba kurasakan tubuhku dirangkul dari arah belakang. Aku sempat berteriak karena terkejut. Dia malah tertawa. Aku benar-benar terkejut. Yang pertama karena aku seperti mau didorong jatuh ke air. Dan yang kedua aku terkejut karena yang memelukku adalah dia (siapa lagi?). Sepanjang pertemananku dengan Bahar, belum pernah ia menunjukkan sikap seakrab ini. Selama ini sikap akrabnya paling-paling ditunjukkan hanyalah merangkul bahuku pada saat ngobrol atau jalan-jalan.

"Bagaimana? Bagus kan..?" katanya seperti ingin memastikan bahwa ceritanya selama ini benar.
"Ya. Bagus.., bagus banget.." jawabku masih agak bergetar.
Tangannya masih memelukku dari belakang, dan aku hanya dapat memegangi telapak tangannya yang menyilang kukuh di dadaku. Gumpalan dadanya terasa menyentuh punggungku.

Tiba-tiba di benakku muncul sebuah pikiran usil. Sebenarnya bukan tiba-tiba, karena ide ini sudah sering terlintas beberapa hari sebelum ini.
"Bang..," kataku memulai percakapan, "Ada yang ingin aku bicarakan dengan Bang Bahar.."
"Ada apa?" sahutnya datar.
"Sebenarnya aku mau membicarakannya waktu di rumah tadi. Tapi.."
"Kenapa?" dekapan tangannya di bahuku kurasakan agak menguat.
Aku diam sejenak.

"Besok aku dipanggil ke Jakarta. Ada keperluan mendadak," kataku pelan.
Sejenak aku tidak merasakan reaksi apapun dari dia. Dia masih memelukku dari belakang. Diam saja. Namun pelan-pelan tangannya kemudian mencengkeram bahuku dan membalikkan tubuhku sehingga kini kami berhadapan. Matanya memandangku seperti bertanya-tanya. Sialan, mata itu benar-benar. Tapi aku berusaha memberanikan membalas tatapannya. Dalam hati aku mau tertawa. Ternyata niatku mengusili dia tampaknya berhasil.

"Kenapa baru ngomong sekarang?" suaranya tiba-tiba menjadi lebih tegas tapi agak bergetar.
Aku diam saja, pura-pura menghela napas. Dia ikut menghela napas.
"Mas Harso..," katanya lagi, masih bergetar, "Benar mau ke Jawa? Sekedar pulang atau..?" kalimatnya terputus, karena tiba-tiba aku tidak kuat lagi menahan tawa.
Segera kutepis tangannya dari bahuku dan aku kemudian menghambur menjauhinya. Tidak ada lagi arah yang dapat kupilih selain berlari menuju ke air.

"Hei..!" teriaknya memanggilku begitu menyadari bahwa aku telah menipunya.
Sepatu kets dan celana jeans-ku sudah basah kuyup. Aku terus tertawa-tawa sambil menyipratkan air laut kepadanya. Pakaiannya pun jadi sedikit basah. Dia lalu mengejar masuk ke air dan mencengkeramku hingga kami berdua terjatuh. Basahlah semuanya. Aku masih tertawa-tawa. Dia memaki-maki, sambil terus mencengkeram tubuhku. Untung kami masih di air yang dangkal, jadi tubuh kami tidak terbenam begitu dalam.

Bahar lalu menarikku keluar dari air sambil terus menyumpah-nyumpah. Kami kemudian langsung menggelosoh begitu tubuh kami menyentuh pasir putih. Aku tidur telentang. Napasku agak tersengal, tapi suara ketawaku sesekali masih terdengar. Dia berbaring telentang di sisi kananku. Napasnya juga agak terengah-engah.


Biasanya kalau dia memanggilku dengan nama lengkap, pasti mau bicara serius.
"Bukan apa-apa" lanjutnya, "Aku kan pernah bilang, kalau Mas mau kembali ke Jakarta, bilanglah jauh-jauh hari, jangan mendadak. Mas tahu sendiri kan, di sini cuma Mas Harso yang bisa aku andalkan dan sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri.."
Aku jadi agak kasihan juga mendengar ucapannya.

"Sorry Bang," jawabku, "Habis Abang tadi juga bikin kaget."
"Bikin kaget gimana?"
"Itu tadi."
"Lho, aku kan cuma meluk dari belakang. Mas Har saja yang kagetan," katanya mencoba membela diri.
"Ya, tapi nggak biasanya Abang seperti itu."
"Boleh dong sekali-sekali menunjukkan rasa sayangku sama Mas Har."
Rasa sayang? Dadaku tiba-tiba berdebar.

"Boleh kan?" katanya mengulangi. Kali ini dengan mimik lebih serius.
"Ya, boleh saja..," kataku agak kaku.
Dia membalas dengan senyum. Seperti biasanya, senyum yang menawan.

Entah dari mana mulainya dan siapa yang memulai, tiba-tiba kami sudah dalam kedaan berpelukan akrab. Ada sekitar satu menit kami saling berangkulan. Lalu, entah dari mana datangnya, mungkin terpengaruh oleh suasana yang akrab, tiba-tiba timbul keberanianku mencium pipinya. Dia diam. Kucium pipi yang satunya lagi. Masih diam. Kami bertatapan dan kemudian saling tersenyum. Bahkan dia kembali memelukku. Kali ini lebih erat.

"Aku juga sayang sama Abang..," bisikku di telinganya.
Matanya tertutup mendengar bisikanku. Tiba-tiba, timbul sebuah keinginan yang selama ini hanya ada di angan-anganku. Namun sedetik kemudian aku menjadi ragu. Perasaanku timbul tenggelam, sampai akhirnya kucoba memberanikan diri. Aku nekat. Dan.., dia diam saja ketika pelan-pelan kusentuhkan bibirku ke bibirnya. Dia tidak bereaksi.

Terasa kumisnya basah oleh air laut. Ada rasa asin mengalir di mulutku. Tapi rasa itu pelan-pelan menghilang ketika kurasakan dia mulai membalas. Aku agak tersentak. Kaget dengan respon yang diberikan. Apalagi lidahnya kemudian mulai bergerak, menggantikan rasa asin tadi dengan rasa lain, entah apa, yang jelas terasa sangat nikmat.

Beberapa saat kemudian kulepas bibirku. Aku menunduk tapi mataku mencoba melirik ke atas, melihat reaksinya atas kenekatanku menciumnya tadi. Kulihat matanya sudah terbuka, tapi sayu. Bibirnya juga masih terbuka, seperti meminta. Aku diam mengamati, mencoba menebak-nebak apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Tiba-tiba aku merasa bersalah.

"Bang..," aku baru mau bicara tapi terputus oleh kalimatnya. Tangannya masih memeluk leherku.
"Saya.., sebenarnya sudah lama tahu," katanya lirih, "Mungkin Mas Har kaget bahwa.., saya pun sebenarnya punya perasaan yang sama, meski mungkin.. kadarnya lain," kalimatnya terbata-bata.
Aku masih terdiam, berusaha mengamati wajahnya. Kurasakan mataku agak berair.

"Selama kerja di pelabuhan," lanjutnya, "Kehidupan seperti ini ada Mas. Dan terus terang, aku pernah mengalaminya juga, meski nggak sampai jauh."
Aku tidak mengerti maksudnya mengatakan 'sampai jauh'. Tapi aku diam saja, mendengarkan cerita selanjutnya. Kalau Bahar sudah mulai cerita, biasanya dia serius. Dan aku berusaha jadi pendengar yang baik (terutama karena aku memang suka mendengar suara logat Sangirnya yang khas itu).

Menurut ceritanya, meskipun pada awalnya biasa saja, ternyata Bahar lambat laun mulai dapat membaca sikapku setelah kami berkawan sekitar satu bulan. Insting itu katanya ia dapatkan dari pengalamannya selama ini bergaul dengan orang-orang di lingkungan kapal atau pelabuhan. Lingkungan yang didominasi laki-laki memang dapat berpeluang menimbulkan gaya hidup yang lain di antara komunitasnya. Kebutuhan biologis yang kadang-kadang sangat menuntut pada situasi dan kondisi yang darurat, kadang-kadang memaksa mereka untuk menyalurkannya dengan berbagai cara.

Bahar yang sudah bertahun-tahun hidup dan bekerja di situ jadi terbiasa melihat kehidupan seperti itu di lingkungan kapal atau pelabuhan. Bahkan bila terpaksa, sekali-sekali dia melakukannya bila keinginan sudah menuntut dan tidak sempat menyalurkannya secara normal ke perempuan. Tapi dalam hubungan dengan sesama jenis, Bahar lebih cenderung memilih posisi sebagai pihak yang aktif. Hal-hal 'kecil' lainnya yang dia lakukan paling jauh hanya sebatas "berswalayan" dengan rekan sekapal.

Aku tertegun tapi juga surprise dengan cerita Bahar. Sungguh. Aku tadinya berpikir akan perlu waktu lama dan mungkin tidak akan kesampaian hasratku untuk mendekati lelaki seperti Bahar lebih dari sekedar sahabat. Aku tidak tahu apakah harus bersyukur atau, entahlah.

"Mas adalah orang luar yang terbaik yang pernah saya temui. Dan saya suka," katanya.
"Terus terang.., bila sedang 'ingin' kadang-kadang saya bahkan membayangkan Mas Har, karena sejauh ini Mas lah orang terdekat saya," Bahar lalu mengakhiri ceritanya yang bagiku sebenarnya lebih merupakan ungkapan hati.

Akhirnya aku pun mengungkapkan semua perasaan yang selama ini mengganjal bahkan kadang-kadang membuatku pesimis untuk berhubungan lebih jauh dengannya. Dari obrolan selanjutnya, kami tampaknya sepakat untuk tidak menciptakan sebuah hubungan yang rumit. Cukup dengan naluri persahabatan, kami akan menjalani hubungan yang tampaknya sudah meningkat jauh ini secara apa adanya. Kami berdua tidak berani berpikiran terlalu jauh, karena menyadari bahwa hubungan seperti ini sulit diterima secara umum. Kami lebih melihatnya sebagai cara untuk berbagi rasa, saling mengisi. Sharing. Take and give.

Aku dan Bahar masih berbaring di atas pasir putih. Pakaian dan sepatu kami pun masih basah, bahkan sekarang banyak butiran pasir putih yang menempel.
"Ayo..!" dia mengajakku berdiri.
Aku tidak segera beranjak. Aku masih agak tertegun sebenarnya dengan kejadian hari ini, sejak dia memelukku di bibir pantai tadi sampai ke segala ungkapan yang keluar dari kami berdua.

Dia kulihat berdiri dan sebentar mengibas-ngibas celananya hingga butir-butir pasir berguguran. Lalu dia melepas sepatunya, dan dengan tenangnya kemudian menarik t-shirt putihnya ke atas melewati kepala dan melepasnya. Kini bagian atas tubuhnya tampak terbuka. Dadanya memang bidang dan ditumbuhi bulu yang cukup lebat. Aku pernah melihatnya waktu dia sedang istirahat di pinggir pelabuhan beberapa waktu lalu.

Namun kali ini terasa lain. Apalagi dia kemudian mulai melepas ikat pinggangnya dan dengan santainya memelorotkan celana kanvas-nya, sehingga kini dia hanya tinggal mengenakan celana dalam saja. Warnanya putih polos. Sehingga tampak jelas bentuk, tonjolan dan lekukan alat vitalnya, apalagi celana itu dalam keadaan basah.

Sambil melepas celana tadi dia sempat melirik padaku dan tersenyum penuh arti. Aku jadi agak gelagapan. Tapi dia malah cuek saja. Mungkin yang namanya melepas pakaian, bertelanjang dada atau hanya bercawat saja di depan orang lain merupakan perilaku yang biasa di lokasi kerjanya. Dan itu pernah diceritakannya padaku, bahwa dia dan teman-teman sekerjanya yang rata-rata orang kapal itu biasa tampil bebas dan apa adanya.

Kadangkala mereka mandi bersama, entah di kapal, di laut atau di kamar mandi umum. Maklum orang pelabuhan, orang laut. Jadi telanjang atau melihat laki-laki telanjang bagi dia mungkin bukan sesuatu yang istimewa. Lain kalau bagiku. Lingkunganku berbeda. Melihat orang telanjang atau setengah telanjang merupakan suatu momen yang jarang kualami. Apalagi orang yang telanjang di depanku (sebenarnya dia masih pakai celana dalam) adalah orang yang kusukai.

Hai..! tiba-tiba aku baru sadar. Bukankah kami sudah mengaku saling menyukai? Lalu, kenapa aku tidak beranjak dari kebengonganku dan 'merayakan' itu semua? Aku lalu beranjak menghampirinya. Begitu melihat aku berdiri, tangannya memberi isyarat agar aku melepas juga pakaianku. Aku menuruti keinginannya. Dan dia terus memandangiku selama aku membuka pakaian, satu demi satu. Pakaian yang basah sengaja kami jemur pada pokok pohon kelapa yang melengkung.

Kini aku pun hanya tinggal mengenakan celana dalam saja. Kami saling berpandangan sambil sesekali tertawa ringan. Aku menangkap beberapa kali matanya melirik ke arah kemaluanku. Aku memang sudah setengah ereksi. Entah bagaimana dengan dia. Aku tidak dapat menebak apakah gundukan besar di balik celana dalamnya itu menandakan dia juga mulai tegang ataukah memang alat vitalnya berukuran besar. Aku tidak tahu, karena hanya ada satu cara untuk membuktikannya, dengan melihat atau menyentuhnya langsung.

Dia lalu mendekatiku dan merangkulku, dan kami pun secara reflek lalu berciuman. Mula-mula lembut dan ringan. Lalu bibir kami saling melumat penuh nafsu. Napas kami memburu. Tampak bahwa kami saling memendam sesuatu yang sudah lama ingin kami lampiaskan. Tubuh kami yang masih setengah basah itu menyatu erat dan pinggul kami bergerak tidak karuan, saling menggesek dan menekan. Batang kemaluannya makin lama terasa makin kenyal dan membesar, menekan kemaluanku yang sudah mengeras lebih dahulu. Lalu kurasakan tangannya merayap perlahan ke celana dalamku dan aku terhenyak ketika tangannya meremas kemaluanku dengan gemas.

Sementara dia beraksi, aku menengok ke bawah tubuhnya dan kulihat bagian kepala kemaluannya sudah menonjol keluar dari cawatnya. Membulat dan berwarna coklat mengkilat. Lubang kecil di ujungnya sudah keluar cairan kental berwarna bening. Kusentuhkan jari-jariku di sana. Dia kegelian. Lalu kugenggam bagian kepala kemaluannya itu dan kuremas sedemikian rupa sehingga cairan bening itu membasahi seluruh permukaannya. Rasanya menjadi licin dan kenyal.

Melihat apa yang kuperbuat, dia lalu menarik celana dalamnya lebih ke bawah seolah meminta perlakuan lebih dari itu. Seketika nampak batang kemaluannya yang sudah tegang mencuat keluar. Besar dan padat. Di sekitarnya terlihat bulu-bulu yang tampaknya dibiarkan tumbuh liar, bahkan di lipatan selangkangannya. Baru kali ini aku melihat langsung bagian tubuh Bahar yang paling sering kubayangkan itu.

Belum puas aku memandangi bagian tubuhnya yang merangsang itu, tiba-tiba dia sudah memelorotkan celana dalamku dan lalu menarik tubuhku ke bawah, untuk berbaring telentang di pasir. Aku lalu ditindihnya dan kemudian Bahar menekan-nekan pinggulnya maju mundur, naik turun di atas pangkal pahaku. Pantatnya yang bulat padat itu kulihat naik turun secara ritmis dan sesekali berputar erotis. Gerakan itu menimbulkan rasa geli yang nikmat.

Kondisi kami yang sudah telanjang bulat dan dalam posisi saling tindih seperti itu membuat kami laksana dua orang atlit yang sedang bergulat. Selama itu kami terus berciuman dengan penuh gairah sambil sesekali berguling-guling di pasir pantai yang mulai terasa hangat oleh matahari. Sesekali tanganku menggenggam batang kemaluannya yang besar itu, untuk kuremas dan kukocok-kocok.

"Gede Bang..," kataku sambil terus memain-mainkan otot kenyal itu.
"Ini juga. Keras lagi..," balasnya sambil membalik badannya, menindihku dan meremas milikku.
Lalu tubuhnya bergeser ke bawah dan mulutnya berhenti tepat pada kepala kemaluanku. Oh, dia melakukan oral seks padaku!

Hisapan mulutnya akhirnya mulai menyebarkan rasa geli nikmat di seluruh saraf alat vitalku. Apalagi bibirnya yang tebal itu sesekali menyedot-nyedot dan lidahnya dengan sangat liarnya menelusuri seluruh bagian benda bulat panjang itu. Bahar tampaknya benar-benar ingin melampiaskan segala keinginannya yang selama ini terpendam.

Tapi sebentar, bukankah aku juga punya keinginan serupa terhadapnya? Maka aku pun lalu membalik tubuhnya dan gantian memberikan permainan mulut padanya. Baru sekali inilah aku seperti mendapatkan sesuatu yang sudah lama kuimpikan. Batang yang pejal, besar dan liat. Sambil melumat, kupandangi otot kenikmatan itu sepuas-puasnya.

Bahar lah yang mengambil inisiatif ketika ia memintaku untuk melakukan permainan mulut dengan posisi 69. Dia mengambil posisi di atas, mengangkangi aku. Dan aku langsung melahap miliknya yang menggantung di atas wajahku. Sementara dia pun kurasakan mulai melakukan tugasnya dengan gerakan mulut yang lebih cekatan.

Ada sekitar seperempat jam kami melakukan permainan yang sungguh merangsang urat syaraf itu. Sampai tiba-tiba dia memutar tubuhnya dan berlutut mengepit pinggulku. Tangannya kemudian mengocok-ngocok sendiri kemaluannya dengan gencar sambil mulutnya mendesis-desis seperti orang tengah kepedasan.
"Sshh.., oh.. oh.. oh.. ohh..!" teriaknya tertahan, terputus-putus.

Beberapa saat kemudian ujung kemaluannya yang sudah membengkak meradang itu memuncratkan cairan putih kental ke tubuhku yang telentang. Air maninya terasa hangat. Dia masih terus mengerang sambil tangannya tetap mengocok-ngocok kejantanannya yang terlihat makin menegang dan tampak berwarna legam. Beberapa saat kemudian dia menatap dan tersenyum padaku penuh kepuasan.

Kemudian tanpa kusadari, tangannya tiba-tiba meraup sisa air mani yang menempel di ujung kemaluannya dan mengoleskannya ke kemaluanku. Ketika dirasanya kurang banyak, ia kemudian mengusap yang menempel di perutku dan melumurkannya ke seluruh batangku. Sehingga milikku kini berlepotan oleh cairan lendir miliknya.

Dengan cekatan, tangan Bahar lalu melakukan gerakan naik-turun, meloco milikku. Kini gantian aku yang mengerang-ngerang kenikmatan. Tanganku sampai berusaha menghentikan gerakannya, tapi ia tidak menggubris. Bahkan kadang-kadang jari tangannya bergerak nakal meremas kantung kemaluanku sehingga membuatku makin kegelian.

Ketika aku menunjukkan tanda-tanda akan orgasme, dia malah menghentikan kocokannya. Aku hampir saja memprotesnya ketika kemudian ia menindihku dan mulai memutar dan menggesek-gesekkan pinggulnya di sela pahaku yang sengaja kubuka lebar-lebar. Rupanya ia ingin memberiku sentuhan akhir dengan cara yang lain. Kemaluanku yang sudah sangat tegang dan licin itu kini terasa diremas-remas oleh batang kemaluannya yang sudah setengah tegang tapi masih terasa kenyal itu.

Akhirnya orgasmeku datang! Orgasme pertamaku dengan Bahar. Dan aku menjerit tertahan sambil memeluk tubuhnya yang terus menindihku. Kubenamkan jari-jariku pada kulit punggungnya yang liat itu. Keringat kami bercucuran menyatu. Bau keringatnya menyeruak dan membuat orgasmeku makin klimaks. Kurasakan daerah sekitar selangkangan kami menjadi basah, licin dan hangat oleh muntahan air maniku. Sehingga gerakan pinggulnya menimbulkan bunyi kecipak yang merangsang.

Beberapa saat kemudian tubuh kami masih saling berpelukan di atas pasir putih penuh kepuasan. Pengalaman pertama ini sungguh berkesan bagi kami. Beberapa kali kukecup bibir dan kumisnya yang masih basah oleh keringat. Lidahnya sengaja ia julur-julurkan minta kuhisap. Dan aku menurutinya dengan senang hati.

"Mas Har..," ia berbisik mesra di telingaku, memintaku untuk jadi kekasih. Dan kujawab dengan ciuman yang dalam dan lama.
"Ya..," jawabku kemudian, "Dan aku ingin Bang Bahar tinggal bersamaku."
"O ya..?" katanya sambil berteriak tidak percaya.
"Ya. Sungguh!"
"Kapan aku mulai bisa ke sana?"
"Tunggu sampai acara kita selesai," sahutku.
"Acara apa lagi..?" teriak Bahar penasaran, sementara aku sudah berlari menghambur ke arah laut.

Ya. Acara apa lagi?

Episode: LAUT BIRU

Siang itu acara kami lanjutkan dengan mandi di laut. Bahar menyusulku yang sudah lebih dulu berlari ke garis pantai. Dalam kondisi sama-sama telanjang dan dengan postur tubuh yang tergolong besar, kami berdua tampak seperti dua ekor kera besar yang tengah bermain-main air.

Bahar sangat pandai berenang dan menyelam. Penyelam alami. Kadang tiba-tiba dia menghilang dan tidak lama kemudian muncul lagi di tempat lain sambil berteriak-teriak memangil namaku. Aku sendiri paling hanya berenang bolak-balik saja dan sesekali menyelam, meskipun sebenarnya air laut agak tenang dan cukup jernih untuk dinikmati. Tapi aku memilih untuk menghemat energi saja.

Aku tengah asyik mengambang sambil memutar-mutar kakiku di bawah air dan dia kulihat masih berenang ke tengah, dan beberapa saat kemudian tiba-tiba kusadari aku tidak melihat lagi bayangannya. Aku lalu berusaha menepi, namun sekonyong-konyong di bawah air seperti ada yang memeluk pinggangku dan kurasakan sesuatu yang lembut menempel di kemaluanku. Membuatku sedikit kaget. Pasti Bahar, pikirku. Dan benar juga, tangannya menyembul ke atas seolah ingin mengatakan bahwa yang ada di bawah adalah dirinya. Aku tertawa saja.

Lalu sesuatu terasa merayap di sekitar batang kemaluanku dan kemudian kurasakan sebuah lumatan. Aku terangsang. Pelan-pelan kemaluanku bangkit dan tampaknya ia makin mempergencar serangannya di bawah sana. Baru kali ini aku merasakan oral sex di dalam air. Rasanya lebih licin dan geli. Apalagi lidah Bahar tidak sekedar menjilat, tapi juga berkali-kali bergerak melilit-lilit. Gila..! Kuat juga dia menahan napas di dalam air. Penyelam alami!

Sampai akhirnya setelah kemaluanku benar-benar meradang, barulah dia muncul ke permukaan air. Napasnya ngos-ngosan. Lalu dia mengajakku berenang ke tempat yang lebih dangkal dekat garis pantai.

"Diteruskan ya..?" pintanya setelah kami tiba di kedalaman sekitar satu meter lebih.
Tubuh kami hanya nampak sebatas pusar saja, sehingga dengan jelas aku dapat melihat bayangan kemaluannya di dalam air. Tanganku lalu terulur ke bawah untuk meremasnya. Baru setengah matang.
"Bangunkan dia.." katanya lucu.
Aku sampai tertawa terbahak-bahak.

Lalu aku menyelam dan menemukan meriam kecilnya menggantung di dalam air. Langsung kuhisap dan kusedot-sedot. Tidak perduli air asin kadang-kadang ikut masuk. Bagiku lebih nikmat 'air'-nya dia.

Bahar memang sengaja membawaku ke tempat yang agak dangkal agar kami dapat melakukan oral seks di dalam air secara bergantian, karena aku memang tidak pandai menyelam. Makanya selama di air itulah kukerahkan segala caraku untuk memuaskan dia, karena aku paling hanya betah di air beberapa menit saja. Tapi untung dia memang gampang 'panas', jadi sekali dua kali hisap saja batangnya sudah mengembang besar. Ketika aku muncul ke permukaan, kudapati wajahnya merah padam karena rangsangan birahi yang kuberikan.

Memang, pengalaman oral seks di air ternyata lebih nikmat. Kami melakukannya bergantian, saling menghisap beberapa kali sebelum akhirnya tiba-tiba dia muncul ke permukaan air dari arah belakang dan memelukku. Batangnya terasa menempel ketat di antara kedua bukit pantatku. Pantatnya kemudian bergerak memutar dan kadang-kadang menekan mendesak-desak ke depan. Tangannya lalu melingkar ke arah depan pinggangku dan mulai menggenggam, meremas-remas dan mengocok milikku, pelan-pelan.

Ada beberapa menit kami dalam posisi seperti itu. Memelukku sambil memainkan kemaluanku dari belakang. Sambil begitu dia terus menggesek-gesekkan batang kemaluannya ke sela-sela pantatku. Kami hanya saling mendesis merasakan semua itu. Rasanya hanya suara kami dan desir daun kelapa saja yang terdengar siang itu. Sesekali terdengar suara kecipak air laut yang ditimbulkan oleh gerakan tubuh Bahar yang terus mendesak-desakku dari belakang.

Batang kemaluanku terus jadi sasaran. Dipilin, diremas dan dikocok-kocok. Aku mengimbanginya dengan menggeser dan menggoyangkan pantatku ke berbagai arah. Dengan begitu, aku seperti sedang meremas-remas kemaluannya dengan kedua bukit pantatku. Dan Bahar tampaknya menyukai aksiku itu. Berkali-kali ia membisikiku dan menuntunku untuk terus melakukan gerakan-gerakan yang membuatnya kenikmatan. Memang, kurasakan batangnya makin mengeras dan menghangat.

Bahar lalu membalas 'jasa'-ku dengan mempergencar gerakan tangannya pada kemaluanku. Membuat gairahku berdesir-desir. Kurasakan desakan birahi yang makin menuntut untuk dikeluarkan. Rasa geli dan desir-desir kenikmatan makin kuat kurasakan di sekitar pangkal kemaluan. Desah dan lenguhanku tidak menyurutkan tangan Bahar untuk menghentikan rangsangannya. Kecipak air di sela selangkanganku terdengar semakin ramai. Beradu dengan gerakan tangan Bahar yang makin liar.

Oh..! Akhirnya ejakulasiku datang tidak terkendali lagi. Muncrat jatuh ke air dan sebagian meleleh di tangan Bahar yang masih rajin meremas-remas batangku, bahkan kini dengan gerakan yang makin kuat seolah ingin mengeluarkan semua cairan kenikmatanku. Aku hanya dapat melenguh dan melenguh.. memanggil namanya. Entah apa maknanya, menyuruhnya untuk terus begitu atau menyuruhnya untuk segera menghentikannya. Aku tidak tahu lagi makna panggilanku padanya.

Belum tuntas aku menikmati puncak birahiku, suara Bahar terdengar menyambung mengerang-erang di dekat kupingku. Disusul gerakan-gerakan batang kemaluannya yang liar di celah bukit pantatku. Dan tidak lama kemudian kurasakan cairan hangat menyemprot-nyemprot dan membasahi bagian punggungku. Dipeluknya aku erat-erat dari belakang dan bibirnya merayap ke telinga kananku dan mengulumnya dengan sangat bernafsu. Rasa geli kembali menjalari urat syarafku.

Bibirnya kemudian bergeser mencari-cari bibirku dari samping. Dan ketika menemukannya, ia langsung melumatku dengan gemas. Sampai lama kami berciuman dengan posisi seperti itu, hingga akhirnya segalanya mereda. Desir angin laut yang tadi terabaikan, kini mulai terasa menerpa kulit. Kami berjalan perlahan ke arah pantai. Bahar menuntunku hingga kami keluar dari air. Kami merasa sudah waktunya untuk pulang. Apalagi pakaian kami sudah kering.



Bahar memang orang yang baik. Dia sangat membantu sekali. Pekerjaan rumah apapun kami lakukan bersama-sama atau bergantian. Dari membersihkan rumah, mengisi air tawar untuk kamar mandi, mencuci pakaian bahkan memasak. Tentunya kami melakukan semua itu dengan kualitas sebatas yang dapat dilakukan oleh laki-laki pada umumnya.

Pokoknya dia sudah kuanggap sebagai saudaraku saja. Atau mungkin lebih dari itu? Sebagai sepasang kekasih? Aku memang tidak pernah memperlakukan Bahar sebagai orang yang kupekerjakan, meskipun status dia memang membantuku selama ekspedisi ini, sebagai fasilitator, merangkap asisten, merangkap pemandu dan merangkap kekasih.

Tidak setiap hari kami dapat bertemu. Karena jadwal kami yang kadang-kadang berbeda. Aku memang memberi keleluasaan padanya untuk tetap bekerja di luar secara freelance. Karena kegiatanku sendiri tidak selalu memerlukan bantuannya. Rata-rata dalam seminggu kami dapat bertemu di rumah tiga atau empat hari.

Hari-hari itulah biasanya kami habiskan dengan berbagai kegiatan bersama, belanja, nongkrong di teras menikmati pemandangan laut di bawah sana, dan tentu saja kami selalu menyempatkan diri untuk bermain cinta. Di mana saja. Kadang di ruang tamu, di kamar mandi, di gudang, bahkan pernah di balik semak-semak di halaman belakang.

Sore itu aku pulang agak cepat tapi tidak sempat mampir ke pasar ikan, karena sudah kesiangan. Sudah dua hari ini Bahar tidak pulang ke rumah. Dia sedang mendapat order mengantar kapal ke pulau lain. Rencananya besok dia baru kembali.

Sesampai di depan rumah aku agak tertegun karena lampu di ruang tamu sudah menyala. Tampaknya Bahar sudah datang. Di atas meja beranda kulihat segelas minuman kesukaannya yang tinggal setengah. Mungkin dia habis duduk-duduk santai di situ. Aku langsung masuk ke dalam dan memanggil namanya. Tidak ada sahutan. Aku lalu ke belakang dan menjumpai dia sedang di kamar mandi. Telanjang bulat.

"Hei Mas Har! Baru datang..?" teriaknya sambil menggosoki tubuhnya dengan sabun.
"Katanya baru besok Abang mau pulang..?" kataku menanyakan sambil mendekat dan bersandar di kusen pintu kamar mandi.
Senang rasanya memandangi tubuh telanjangnya yang basah dan penuh dengan busa sabun.

"Kenapa? Nggak suka aku pulang lebih awal?" sahutnya sambil tertawa.
"Bukan begitu. Aku sih suka-suka aja. Surprise gitu."
"Ayo gabung..!" ajaknya sambil merentangkan kedua tangannya yang berlumuran busa sabun.
"Sebentar dong..!" jawabku sambil memberi kode bahwa bajuku harus dilepas dulu.

Aku lalu ke dalam sebentar, melepas pakaian dan kemudian dengan bertelanjang bulat langsung menuju kamar mandi bergabung dengannya. Kami langsung berciuman karena dua hari tidak jumpa. Diguyurkannya air ke tubuhku sampai merata. Segar rasanya. Bahar lalu memandikan aku seperti anak kecil. Kemudian gantian aku yang memandikan dia. Menyabuni dan menggosok seluruh tubuhnya.

Ketika aku tengah sibuk menyabuni bahunya, tangan Bahar mulai memegang-megang daerah perut dan dadaku.
"Hhmm..," ujarnya sambil bergumam mengagumi tubuhku.
Aku tidak menggubris komentarnya. Tanganku terus saja sibuk memandikannya.
"Tegap, proporsional, bulunya nggak terlalu lebat seperti punyaku," komentarnya.
Dia memang sering bilang bahwa badannya besar seperti kuli. Padahal di mataku tubuh Bahar yang kekar dan penuh bulu itu sangat sexy. Aku sendiri memang punya tubuh yang cukup besar tapi bulu tubuhku hanya tumbuh di sekitar perut dan pusar ke bawah. Sedangkan bulu dadaku tidak selebat miliknya.

Tiba-tiba kurasakan tangannya mulai merayap ke selangkanganku dan menyabuni daerah itu. Mulai nih, pikirku. Semula aku diam saja melihat kelakuannya itu. Tapi makin lama gerakan tangannya makin usil dan nakal. Beberapa kali aku berusaha menyingkirkan tangannya dari daerah itu. Tapi bukan Bahar namanya kalau langsung menyerah. Biasanya semakin dilarang malah semakin tertantang.

Bandel juga nih orang.., umpatku dalam hati. Tanganku yang sedari tadi sibuk menggosok bagian atas tubuhnya, segera kualihkan ke arah pangkal pahanya, membalas. Langsung kuremaskan busa sabun di tanganku ke otot pejalnya yang sudah mulai membesar itu. Kuremas dan terus kuremas. Ia pura-pura meringis kesakitan. Aku tidak perduli.

"Pelan dong Mas..!" rengeknya manja.
"Siapa yang mulai..?" sahutku pura-pura kesal sambil kulakukan remasan yang agak kuat di kantung kemaluannya yang tebal dan mengeras itu. Ia mengerang. Keenakan.
"Ya udah, di situ saja.." rengeknya.
Banyak maunya nih orang, pikirku. Tapi kuturuti juga kemauannya.

Kini kedua bola kecilnya gantian kupijit-pijit dan kugelitik dengan kelima jari tanganku. Daerah itu penuh dengan bulu keriting yang agak kasar, tapi busa sabun yang licin memperlancar tanganku untuk melakukan gerakan-gerakan nakal dengan lebih leluasa. Dan Bahar kini mulai mendesis-desis.

Matanya memerah sayu menatapku. Genggaman tangannya pada batang kemaluanku sudah agak mengendur. Tampaknya ia lebih berkonsentrasi menikmati rangsangan yang tengah kulakukan. Kedua tangannya kini mulai memegangi kedua bahuku. Sedangkan kedua pahanya beberapa kali sempat meregang-regang, entah karena kegelian atau karena ingin memberi keleluasaan padaku untuk berbuat lebih jauh, atau barangkali karena kedua-duanya.

Kuulurkan jari-jariku menuju daerah di bawah kantung zakarnya. Di sana kutemukan sebuah celah yang terjepit di antara lipatan pangkal paha dan pantatnya. Wilayah itu juga penuh dengan bulu, tapi tidak sebanyak dan sekasar di daerah buah zakarnya. Kucoba menelusuri lipatan yang kutemukan dengan jari-jariku.

"Pake jari tengah, Mas..!" tiba-tiba Bahar mendesah.
Good idea! Ia menuntunku untuk melakukan rangsangan di bagian tubuhnya yang memang jarang 'kukunjungi' itu. Bahar tampaknya menyenangi permainan yang kulakukan. Berkali-kali matanya terpejam untuk kemudian terbuka lagi tapi dengan pandangan yang sayu dan meminta.

Tangannya yang semula masih bertenger di bahuku, kini mulai merosot ke bawah. Mengurut bongkahan dadaku, menelusur ke perut, ke pusarku, menggelitik sebentar di bagian bawah yang penuh bulu dan lalu bertenger di pangkal kemaluanku yang sudah menegang tegak. Ia mulai mengurut dan memijit-mijit di sana, tanpa busa sabun, tapi justru lebih terasa gesekannya.

Akhirnya acara mandi itu menjadi acara yang lebih seru. Suara napas kami saling beradu menggema di dinding kamar mandi. Tidak ada lagi suara lain. Hening tapi hikmat. Hikmat tapi nikmat. Kenikmatan yang sudah dua hari ini tertunda.

Kami masih saling meremas dan melakukan gerakan memijat dan mengurut. Batang kemaluanku yang gede itu terasa menghangat dalam genggaman tangannya. Gerakan tangannya sengaja dilakukan secara bervariasi. Dari mengocok, meremas, memijit kemudian mengocok lagi dengan gerakan kadang lembut kadang kuat.

Sementara ujung jari tengahku yang sudah mulai jauh bergerak kadang-kadang kuselingi dengan meremas kedua bulatan di selangkangannya yang penuh bulu itu, lalu menelusup kembali masuk ke sela-sela belahan pantatnya dan kembali bermain-main di situ. Mulutnya terus mendesis-desis menikmati permainanku. Napasku pun mulai memburu merasakan gerakan tangan dia yang liar tapi berirama.

Dia kini tidak hanya mengerjai milikku yang sudah sangat tegang itu. Tangannya yang satu lagi mulai merayap ke dadaku dan mempermainkan puting susuku, kali ini dengan menggunakan air sabun. Jari-jarinya kadang memilin, meremas dan sesekali mencubit putingku, sehingga membuatku menggelinjang kegelian.

Selama ini bila sedang bermain seks, kami memang paling senang saling mempermainkan puting susu. Entah dengan dihisap atau dipilin-pilin dengan ujung jari. Bila Bahar sudah menghisap puting susuku, ia seperti tak mau lepas. Seperti anak kecil sedang menetek karena kehausan. Aku sendiri senang diperlakukan seperti itu. Adegan di kamar mandi ini pun mulai memasuki tahap hisap-menghisap.

Sebelumnya Bahar membasuhkan air ke tubuhku sehingga bersih dari busa sabun. Lalu masih dalam posisi berdiri, ia mulai memeluk dan menghisap putingku. Lumat dan ganas. Aku sampai agak kewalahan. Sementara jari tanganku di bawah terus beraksi menusuk-nusuk celah pantatnya yang terasa mulai licin. Kadang-kadang Bahar mengerutkan otot-otot yang ada di celah itu sehingga membuat jari tengahku terjebak di sana. Bila sudah begitu, aku hanya dapat melakukan gerakan mengulir-ulir saja.

Permainan ini akhirnya kami selesaikan karena kami sama-sama tidak kuat lagi menahan puncak rangsangan yang ada. Bahar mulai mendekap tubuhku kuat-kuat. Kami lalu saling berpelukan, saling menggeser dan mendesak-desakkan kemaluan kami sampai akhirnya cairan sperma saling muncrat dan meleleh di sekitar perut dan selangkangan kami berdua.
"Oohh..!" hampir bersamaan Bahar dan aku mendesah kepuasan sambil terus mempererat pelukan.

Untuk beberapa saat kami terus berdekapan sambil berciuman. Ah..! Nikmat sekali rasanya mandi seperti ini.
"Makanya, kalau aku pulang lebih cepat jangan curiga dulu dong," katanya sambil menciumi pipiku.
"Siapa yang curiga?" balasku masih terengah-engah.
"Tadi..," sahutnya.
"Lho, aku kan cuma surprise aja. Habis tau-tau Abang udah di kamar mandi. Kirain lagi mandi basah," candaku.
"Tadi aku iseng-iseng memancing Mas, siapa tahu mau mandi bareng. Soalnya udah kangen banget..," katanya menjelaskan sambil tangannya bergerak ke arah bak mandi. "Nah, kalau sekarang baru mandi basah."

Tiba-tiba Bahar sudah mengambil gayung dan menyiramkan air ke sekujur tubuhku. Aku sempat gelagapan dan berteriak-teriak. Bahar tertawa keras-keras. Akhirnya kami saling mengguyurkan air ke tubuh masing-masing. Mandi bersama. Kali ini benar-benar mandi. Tidak pakai acara remas-remasan.

Demikianlah, sampai saat ini sudah ada sekitar tiga bulan aku tinggal bersama Bahar. Tentu saja hubungan kami menjadi semakin dekat. Memang kadang-kadang ada ribut-ribut kecil dengan dia, tapi lebih banyak menyangkut perasaan kami saja dan biasanya dapat kami selesaikan dengan baik. Bahkan tidak jarang keributan kami berujung dengan kemesraan di atas ranjang. Kegiatan survey-ku di daerah Sangir masih memerlukan waktu yang cukup lama. Berarti aku juga masih punya banyak waktu untuk menikmati itu semua bersama Bahar.

E N D

berlanjut ke "Oase Laut Utara 02: Ujung Sebuah Hujan"

No comments:

Post a Comment

Paling Populer Selama Ini