6/30/2011

Selamat Datang Aris Dan Paman Arjo! - bag. V [selesai]

Bang Samsul keranjingan membobol duburku. Nyaris setiap hari setelah Mbak Laras pergi, ia mengentotiku. Satu hari ia minta aku mengemut kontolnya seharian. Aku memenuhi keinginannya dengan senang juga akhirnya. Aku tinggalkan kontol yang terus ngaceng itu jika ada pembeli. Di hari lain ia akan menggenjot anusku sampai ia muncrat dua atau tiga kali. Padahal aku sudah kepayahan melayani nafsunya.

Hari yang membahagiakan adalah ketika Iwan, Jaka, dan Harun turut berpartisipasi. Kadang mereka datang bersama-sama. Kadang hanya berdua. Bahkan tak jarang hanya sendirian. Jaka yang paling sering kelihatannya sangat bernafsu menyetubuhiku. Aku pun merasa lebih nikmat bila mengemut atau dientot oleh kontol Jaka daripada dua temannya itu.

Aris sendiri sampai sekarang sudah tidak pernah kudengar suaranya. Kami tak lagi berkomunikasi. Ia sudah lupa janjinya barangkali. Aku sendiri sudah ada Bang Samsul, Jaka, Iwan, dan Harun yang siap menyumbat lubang mulut dan duburku dengan ketangguhan kontol mereka.

Pagi itu di hari Minggu ...

“Ro! Nanti Aris mau datang ke rumah ... kamu jangan pergi ke mana-mana!” Hah! Kami bisa bertemu lagi. Kupikir ia benar-benar melupakanku ...

Aris datang. Ia memelukku erat sekali. Aku pun sebenarnya tak ingin melepaskan dekapannya. Aku merindukannya! Setelah melepaskan diri dari dekapanku ia mencium tangan Mbak Laras takzim. Bang Samsul terlihat dingin menerima jabat tangannya. Cemburu?

Kami izin keluar rumah. Mbak Laras memaklumi kekangenan kami. Ia memberiku libur dari menjaga warung Minggu itu seharian. Kulihat Bang Samsul sekilas. Ia memandangi kami penuh curiga. Biarlah ... Aris lebih berhak atas diriku daripada pria Betawi berkontol besar itu.

Aris mengajakku ke tempat kosnya. Sepetak kamar sangat sederhana. Ia sekamar dengan teman kerjanya, Wisnu. Namun, hari itu Wisnu pulang ke rumah orang tuanya di bilangan Ciledug. Kami hanya berdua.

“Aku kangen banget sama kamu, Ro!” bisik Aris sambil menyelipkan tangannya yang kian kekar ke balik kemejaku. Kubalas bisikannya dengan merogoh celananya di bagian depan. Oh, my God! Kontol itu semakin besar saja!

“Buat kamu ...” ujar Aris menjawab kekagumanku. Aku mencumbui kontol itu penuh hasrat. Jauh lebih membara perasaan ini kepada Aris daripada kepada Bang Samsul. Yah, tentu saja! Dengan Aris aku merasakan kasih sayang dan kelembutan serta kekaguman. Ia pria yang mandiri dan penuh tanggung jawab. Bang Samsul? Tahu sendiri lah! ...

Pergumulan terus berlangsung. Hingga tengah hari Aris memintaku mengisap kontolnya. Dua kali ia keluar. Banyak sekali pejunya. Selama berjauhan denganku ia tidak berhubungan dengan siap pun. Ia juga tidak suka bermasturbasi. Kuat sekali. Setelah tengah hari ia mengentoti pantatku. Cukup lama kami sama-sama bertahan. Ia menunggu yang ketiga sedangkan aku yang pertama.

“Kamu tidak keluar, Ro? Biasanya baru dimasuki kamu sudah muncrat!” tanyanya heran.

“Aku tiap hari onani, Ris! Kamu jauh, sih ...” dustaku. Aris percaya. Sebelum kami berhomoan, ia sering memergokiku sedang melancap. Kadang ia menasehati tapi sering pula pura-pura tidak melihat.

Menjelang sore kami berhenti. Kami keluar bersamaan. Tidak ada pengaturan. Hati kami memang sudah terpaut.

“Sebenarnya aku ingin kamu tinggal dengan aku, Ro ...” ucapnya lirih sebelum mengantarku pulang.

“Yah, aku juga inginnya begitu, Ris! Namun, kasihan Mbak Laras ...” Aku ceritakan segala keburukan sifat dan sikap Bang Samsul kepada Aris. Namun, perselingkuhan kami sengaja kusembunyikan. Aris pun nampaknya tidak curiga. Ia bahkan memberiku seamplop uang.

“Buat daftar UMPTN (sekarang SPMB -Pen-)!” senyumnya penuh perhatian. Ia tahu kalau aku sangat ingin kuliah. Aku menangis. Betapa jahatnya aku yang telah mengkhianatinya.

Sepulangnya Aris, Bang Samsul sengaja mengajak aku pergi memancing. Mbak Laras pun tidak curiga. Ia benar-benar ingin memberiku libur sehari ini.

“Aris sudah sering ngentotin elo, kan?!” desis Bang Samsul di perjalanan. Kami tidak pergi memancing!

“Sejak dulu dia sekamar denganku, Bang ...” ujarku membela diri. Ia tidak puas dengan jawabanku. Ia mengajakku menuju persawahan di pinggir kampung dekat rumahku.

“Tadi seharian elo dientotin lagi, kan?” tanyanya lagi sambil meremas buah pantatku. Aku tak ingin berterus terang tetapi aku takut dengan Bang Samsul. Aku hanya menangis. Ia terus membawaku ke tengah sawah melewati pematang.

“Gue sange seharian, elo tahu?!” gugatnya padaku lagi. Ia berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah.

“Kan, ada Mbak Laras ...” ucapku pelan. Aku hendak duduk di sampingnya. Bang Samsul mengangkat tubuh dan memangkuku.

“Gue sudah lama nggak main sama dia. Dia sudah garing. Ngewe sama dia seperti ngewein bangkai!” cacinya penuh kekesalan. Ia membuka dan melepaskan celanaku. Aku menengok ke sekitar. Takut terlihat orang.

“Gue lebih demen sama bo’ol elo! Nggak ngentotin elo sehari bisa bikin gue puyeng ...” desis Bang Samsul. Kontolnya sudah masuk ke duburku. Akh, bekas Aris tadi memudahkannya membobol anusku. Ris! Maafkan aku ...

Dengan posisi berdiri Bang Samsul menusuk-nusukkan kontolnya ke pantatku. Aku digendongnya. Bang Samsul kuat sekali. Entah mengapa dengan posisi ini aku puas sekali. Apakah Bang Samsul ingin menunjukkan bahwa permainannya lebih dahsyat dibandingkan Aris?

Sepertinya ya! Kali ini ia benar-benar memberikan seluruh kejantanan dan keromantisannya padaku. Biasanya dia lebih suka dipuasi. Bahkan, kadang ia tidak peduli apakah aku menikmatinya atau tidak.

Bulan mulai kelihatan.

Bang Samsul terus menggojlok pantatku. Dua kali aku dibuatnya keluar. Ia sendiri tidak memuntahkan pejunya. Aku memintanya segera menyudahi. Gila! Seharian ini aku sudah tiga kali keluar dengan dua lelaki yang berbeda.

Aku kepayahan ...

“Gue selesaikan tetapi elo janji nggak akan main dengan lelaki lain tanpa seizin gue!” Bang Aris berbisik di depan wajahku. Tidak ada ancaman. Bahkan, yang kudengar ada nuansa permohonan di suaranya. Benarkah?

“Ya, bang ...” janjiku. Ia menciumi wajahku dengan lembut. Kontolnya terus melesak dalam ke duburku. Tangan kanannya menopang tubuhku yang bertengger di depan perutnya. Tangan kirinya memainkan kontolku yang kecil hingga mencapai ereksi 100%!

Multirangsangan yang diberikan Bang Samsul kepadaku membuatku tak mampu lagi menahan ejakulasiku. Aku mengerang. Bang Samsul pun sama.

AAAARRRGGGGHHHH ...

Bulan terus menyaksikan.

Malam itu Bang Samsul mencoba memberikan hatinya padaku. Ia pun berharap aku mau memberikan hatiku padanya. Aku belum bisa. Aku senang Bang Samsul berubah. Namun, separuh hatiku ada di Aris. Separuhnya lagi ... Fizkar, aku masih sering bermimpi tentang kamu!


Peristiwa memilukan itu harus terjadi...

Bang Samsul ditemukan mati di pagi hari setelah semalam sebelumnya ia begadang.

Mbak Laras terlihat sangat terpukul. Aku tidak begitu tahu seperti apa perasaannya pada Bang Samsul. Ia pasti sangat mencintai Bang Samsul pada mulanya. Bang Samsul pria yang gagah dan tampan. Kemalasannya pun tetap tidak menggoyahkan Mbak Laras untuk berpaling kepada pria lain. Ia relakan dirinya diperbudak suaminya. Bahkan, tanpa sepengetahuannya suaminya itu telah menyelingkuhi adiknya. Aku.

Aku pun sangat terpukul. Bagaimanapun juga Bang Samsul mulai berubah. Ia mulai menyayangiku. Memuaskan kebutuhan birahiku terhadap laki-laki jantan berkontol besar. Ia pun terkadang sesekali membantuku di warung. Ia tidak pernah lagi menyuruh aku mengerjakan hal-hal sepele untuk kebutuhan hariannya. Yang ia inginkan dariku hanya setia padanya. Ia tidak ingin aku dientoti laki-laki lain lagi. Termasuk Jaka, Iwan, dan Harun.

Setengah tahun kemudian...

Mbak Laras dinikahi oleh seorang duda beranak dua. Kelihatannya lelaki ini cukup baik. Aku berharap Mbak Laras jauh lebih berbahagia dengan suami barunya.

Sesuai kesepakatan rumah peninggalan orang tuaku dijual. Uang hasil penjualan ditambah harta lainnya dibagikan kepada kami bertiga. Sesuai aturan agama aku mendapat bagian separo dari keseluruhan harta warisan. Mbak Maya dan Mbak Laras masing-masing seperempat bagian.

Akhirnya Mbak Laras ikut suaminya. Aku yang sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta memutuskan untuk mencari kos sendiri. Aku pilih tempat kos di dekat kampus dan yang tergolong murah meskipun keadaannya sangat sederhana.

Mengetahui hal ini Aris menawarkan diri untuk tinggal bersama. Aku berusaha untuk tidak merepotkannya. Namun, ia bersikeras bahwa ia pun sebenarnya sangat ingin berdua denganku. Ia rela tinggal agak jauh dari tempatnya bekerja.

Kami pun tinggal bersama...

Setengah tahun terlewat...

Satu tahun kemudian...

Genap dua tahun kami bersama.

“Ro! Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu...” suatu malam Aris berbisik padaku. Nada suaranya sangat serius. Aku berusaha menyimaknya sebaik mungkin.

“Masalah apa, Ris?” tanyaku. Aris menggenggam jemari tanganku. Meremas lembut.

“Aku akan menikah...” Aris tersendat. Aku tetap terkejut meskipun saat seperti ini sudah kuduga akan terjadi.

“Dengan siapa?” Aku mencoba rileks menanggapinya.

“Dengan perempuan...” Aku tertawa perih. Keluguan Aris dalam menjawab tak mampu mengalahkan sedihku.

“Kapan?” tanyaku lagi.

“Tiga bulan lagi...”

Malam merambat pelan.

Tiga bulan kami lalui tanpa ada lagi sentuhan seksual. Aris yang meminta. Aku berusaha berbesar hati. Aris memang bukan untukku. Laki-laki bukan untuk laki-laki. Laki-laki hanya untuk perempuan.

Aris pun menikah...

Saat pernikahan itu aku bertemu dengan Paman Arjo. Kami tidak banyak berbicara. Paman Arjo beserta istrinya harus mendampingi Aris selama bersanding di pelaminan. Aku sendiri tidak berani berlama-lama di tempat itu. Air mata ini seolah-olah sudah tak mampu kutahan. Aku pulang tanpa sepengetahuan Aris dan Paman Arjo.

Sejak itu komunikasi antara aku dengan Aris terhenti.

Kembali hari-hariku berjalan penuh kegontaian. Indeks prestasiku yang biasanya di atas tiga turun drastis. Di semester lima indeks prestasiku cuma 2,23. Nilai terburuk sepanjang perkuliahanku.

Untungnya aku tersadar. Sudah tak ada lagi yang mampu menolongku kalau bukan diriku sendiri. Aku mencoba bangkit. Kualihkan semua kesedihanku dengan belajar segiat mungkin. Nilai-nilaiku kembali menanjak. Usai tahun kelima aku diwisuda.

Allah Mahabaik! Dengan segala keterbatasan dan kekuranganku, seorang teman menawariku untuk mengajukan diri di sebuah perusahaan tempat pamannya bekerja. Aku diterima.

Kehidupan perekonomianku semakin membaik. Adapun kehidupan homoseksualku hanya berlangsung seperti tisu. Sekali pakai buang. Tidak ada satu orang pun yang membuat aku bertahan untuk setia. Kalaupun ada, orientasi mereka hanyalah uang. Bagiku, cinta yang dilandasi dengan tawar menawar harga tak akan tulus. Aku ingin yang seperti Aris atau Fizkar ....

Aris. Aku harus melupakannya. Ia sudah milik orang lain. Perempuan lebih berhak atasnya.

Fizkar. Aku masih berharap jumpa dengannya. Asa untuk kembali bersama masih menyeruak.

Masanya pun tiba ...

Di sebuah pasar loak di bilangan Jakarta Timur.

“Fizkar!” pekikku kegirangan. Namun, kuupayakan ekspresiku untuk tidak terlalu ngondek.

“Eh ... Toro ...” ada kegugupan di bibir itu. Ada ketidaksiapan di nada suaranya. Ada ketidaksukaan di mata Fizkar.

Pertemuan tak terduga itu diawali dengan pertanyaan basa-basi. Jelas sekali, tembok tebal itu terpancang kokoh di antara kami. Aku dengan Fizkar.

Kami putuskan untuk berbicara dengan lebih nyaman. Fizkar membereskan barang dagangannya yang digelar. Kami menuju sebuah rumah makan terdekat.

“Aku sudah menikah, Ro!” suara Fizkar terdengar tajam. Tersirat padaku untuk tidak lagi masuk dalam kehidupannya. Matanya yang semakin dingin tak lagi mau menatapku. Fizkar berubah.

Saat di penjara ia pun terasing. Ia tidak mau bergabung di kelompok manapun. Ia pun tak mau melakukan hubungan homoseks yang lumrah terjadi di sel. Awalnya ia membenci perbuatan itu karena ketidaksetiaanku padanya. Ia benci homo. Namun, seorang petugas di penjara meluruskan pemahamannya. Homoseksual memang terlarang oleh agama. Fizkar yang bertubi-tubi didera kemalangan takut terhadap Tuhannya. Ia mulai rajin beribadah.

Setelah bebas dari penjara ia dinikahkan dengan anak petugas tersebut. Fizkar menerimanya dengan ikhlas. Ia mulai menjalani kehidupan baru. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia dan isterinya berdagang. Istrinya menjual makanan di rumah. Fizkar menjual buku-buku keagamaan di pasar itu.

“Aku harap pertemuan ini adalah yang terakhir, Ro!” tandasnya di akhir cerita.

“Aku tidak akan mengganggu rumah tanggamu, Fiz! Kita masih bisa berteman, kan?!” janjiku sambil berharap. Ia menggeleng. Wajahnya mengeras.

“Kisah gelap kita harus diakhiri, Ro! Terlalu mahal cahaya yang telah kudapatkan...” Fizkar menerawang. Aku iri melihatnya.

“Tak inginkah kamu membawaku juga ke cahaya itu?” tanyaku memohon. Lagi ia menggeleng. Aku kecewa.

“Kamu harus mencari orang lain untuk mengangkatmu dari kegelapan itu. Bukan Aku!” tegasnya.

“Mengapa?” tanyaku.

“Setan pasti akan selalu menggoda kita untuk kembali mengulang kenikmatan berlumur dosa itu...” kulihat mata Fizkar berair. Penyesalan yang dalam.

“Kamu marah padaku karena tidak membelamu saat itu?” tanyaku meminta kejelasan.

“Awalnya ya! Namun, perlahan aku menyadari keadaan dan posisimu. Aku yakin kamu masih berada di pihakku. Kita sama-sama terbuang, Ro! Carilah orang lain untuk membawamu ke cahaya itu!” kali ini Fizkar menatapku. Tatapannya sangat teduh. Ada yang menarik benang di dalam hatiku.

“Bagaimana kalau orang itu tidak kutemukan?” tanyaku pesimis.

“Masih ada Allah! Kembali pada-Nya, Ro! Allah yang menciptakan kita. Allah yang menggariskan jalan hidup kita. Pasrah. Ikhlaskan semua. Segala yang terjadi pada hidup kita adalah yang terbaik dari-Nya. Allah mencintai kita. Ujian-Nya yang sangat besar kepada kita merupakan kebesaran cinta-Nya pada kita. Tempuh, Ro! Jangan kalah! Tiga puluh tahun kamu didera perasaan menyimpang itu. Kini kamu masih berdiri. Kamu gagah, Ro! Kamu tidak lagi bergantung pada orang lain!” Fizkar tersenyum tulus.

Aku tersadar. Banyak nikmat yang telah kuperoleh. Kesendirianku membuatku terbiasa mandiri. Aku bekerja. Secara materi aku tidak kekurangan. Padahal, banyak orang yang katanya normal harus tersisih dari persaingan hidup. Ya! Aku kuat!

Kamipun berpisah. Tidak saling tukar alamat. Tidak saling tukar nomor telepon. Fizkar tidak menginginkan itu semua.

Kesempatan berikutnya berkali-kali aku ke pasar itu. Tujuanku tak lain untuk menemui Fizkar. Namun, semua tanpa hasil. Fizkar seolah ditelan bumi.

Aku berhenti.

Aku harus mencari cahaya itu.

Sendiri.

(TAMAT)

4 comments:

  1. bagus !!!! endingnya menarik

    ReplyDelete
  2. INI CERITA YANG BIKIN LAKI2 SEJATI PUN JADI CENGENG.........BAGUS BANGET !!!!

    ReplyDelete
  3. Story's ending beautifully, Good Job:)

    ReplyDelete
  4. nice story...very deep

    ReplyDelete

Paling Populer Selama Ini