Copyright 2004, by Andani Citra
(Gadis dan Pria Tua)
Pak Gito adalah ketua RT di daerah tempat aku tinggal. Ia sering datang ke rumahku untuk keperluan menagih iuran daerah dan biaya air ledeng. Dia adalah seorang pria berusia sekitar 50 tahunan dan mempunyai dua istri. Benar kata orang bahwa dia ini seorang bandot tua, buktinya ketika di rumahku kalau aku lewat di depannya, seringkali matanya jelalatan menatap padaku seolah-olah matanya tembus pandang ke balik pakaianku. Bagiku sih tidak apa-apa, aku malah senang kalau tubuhku dikagumi laki-laki, terkadang aku memakai baju rumah yang seksi kalau lewat di depannya. Aku yakin di dalam pikirannya pasti penuh hal-hal yang jorok tentangku.
Pada suatu hari aku sedang di rumah sendirian. Aku sedang melakukan fitness untuk menjaga bentuk dan stamina tubuhku di ruang belakang rumahku yang tersedia beberapa peralatan fitness. Aku memakai pakaian yang enak dipakai dan menyerap keringat berupa sebuah kaus hitam tanpa lengan dengan belahan dada rendah sehingga buah dadaku yang montok itu agak tersembul keluar terutama kalau sedang menunduk apalagi aku tidak memakai BH, juga sebuah celana pendek ketat merk ‘Nike’ yang mencetak pantatku yang padat berisi. Waktu aku sedang melatih pahaku dengan sepeda fitness, tiba-tiba terdengar bel berbunyi, segera saja kuambil handuk kecil dan mengelap keringatku sambil berjalan ke arah pintu. Kulihat dari jendela, ternyata Pak Gito yang datang, pasti dia mau menagih biaya ledeng, yang dititipkan ayah padaku tadi pagi.
Kubukakan pagar dan kupersilakan dia masuk.
“Silakan Pak duduk dulu ya, sambil nunggu saya ambil uangnya” senyumku dengan ramah sambil mempersilakannya duduk di ruang tengah.
“Kok sepi sekali Dik, kemana yang lain?”
“Papa hari ini pulangnya malam, tapi uangnya udah dititip ke saya kok, Mama juga lagi arisan sama teman-temannya”.
Seperti biasa matanya selalu saja menatapi tubuhku, terutama bagian dadaku yang agak terlihat itu. Aku juga sadar kalau dadaku sempat diintip olehnya waktu menunduk untuk menaruh segelas teh untuknya.
“Minum, Pak,” tawarku lalu aku duduk di depannya dengan menyilangkan kaki kananku sehingga pahaku yang jenjang dan putih itu makin terlihat.
Nuansa mesum mulai terasa di ruang tamuku yang nyaman itu. Dia menanyaiku sekitar masalah anak muda, seperti kuliah, hoby, keluarga, dan lain-lain, tapi matanya terus menelanjangiku.
“Dik Citra lagi olah raga yah, soalnya badannya keringatan gitu terus mukanya merah lagi” katanya.
“Iya nih Pak, biasa kan cewek kan harus jaga badan lah, cuma sekarang jadi pegel banget nih, pengen dipijat rasanya, Bapak bisa bantu pijitin nggak?” godaku sambil mengurut-ngurut pahaku.
Tanpa diminta lagi dia segera bangkit berdiri dan pindah ke sebelahku, waktu berdiri kuperhatikan ia melihat putingku yang menonjol dari balik kausku, juga kulihat penisnya ngaceng berat membuatku tidak sabar mengenggam benda itu.
“Mari Dik, kesinikan kakinya biar Bapak pijat”
Aku lalu mengubah posisi dudukku menjadi menyamping dan menjulurkan kakiku ke arahnya. Dia mulai mengurut paha hingga betisku. Uuuhh.. pijatannya benar-benar enak, telapak tangannya yang kasar itu membelai pahaku yang putih mulus hingga membangkitkan birahiku. Akupun mendesah-desah sambil menggigit bibir bawahku.
“Pijatan Bapak enak ya, Dik?” tanyanya.
“Iya Pak, terus dong.. enak nih.. emmhh!” aku terus mendesah membangkitkan nafsu Pak Gito, desahanku kadang kusertai dengan geliat tubuh.
Dia semakin berani mengelus paha dalamku, bahkan menyentuh pangkal pahaku dan meremasnya.
“Enngghh.. Pak!” desahku lebih kuat lagi ketika kurasakan jari-jarinya mengelusi bagian itu.
Tubuhku makin menggelinjang sehingga nafsu Pak Gito pun semakin naik dan tidak terbendung lagi. Celana sportku diperosotkannya beserta celana dalamku.
“Aaww..!” aku berlagak kaget sambil menutupi kemaluanku dengan telapak tanganku.
Melihat reaksiku yang malu-malu kucing ini dia makin gemas saja. Ditariknya celanaku yang sudah tertarik hingga lutut itu lalu dilemparnya ke belakang. Tanganku yang menutupi kemaluan juga dibukanya sehingga kemaluanku yang berambut lebat itu tampak olehnya. Klitorisku yang merah merekah dan sudah becek siap dimasuki. Pak Gito tertegun beberapa saat memandangiku yang sudah bugil bagian bawahnya itu.
“Kamu memang sempurna Dik Citra, dari dulu Bapak sering membayangkan ngentotin kamu, akhirnya hari ini kesampaian juga,” rayunya.
Dia mulai melepas kemejanya sehingga aku dapat melihat perutnya yang berlemak dan dadanya yang berbulu itu. Lalu dia membuka sabuk dan celananya sehingga benda dibaliknya kini dapat mengacung dengan gagah dan tegak. Aku menatap takjub pada organ tubuh itu, begitu besar dan berurat aku sudah tidak sabar lagi menggenggam dan mengulumnya. Pak Gito begitu membuka pahaku lalu membenamkan kepalanya di situ sehingga selangkanganku tepat menghadap ke mukanya.
“Hhmm.. wangi, pasti Adik rajin merawat diri yah,” godanya waktu menghirup kemaluanku yang kurawat dengan apik dengan sabun pembersih wanita.
Sesaat kemudian kurasakan benda yang lunak dan basah menggelitik vaginaku, oohh.. lidahnya menjilati klitorisku, terkadang menyeruak ke dalam menjilati dinding kemaluanku. Lidah tebal dan kumisnya itu terasa menggelitik bagiku, aku benar-benar merasa geli di sana sehingga mendesah tak tertahan sambil meremasi rambutnya. Kedua tangannya menyusup ke bawah bajuku dan mulai meremas buah dadaku, jari-jarinya yang besar bermain dengan liar disana, memencet putingku dan memelintirnya hingga benda itu terasa makin mengeras.
“Pak.. oohh.. saya juga mau.. Pak!” desahku tak tahan lagi ingin mengulum penis itu.
“Kalau begitu Bapak di bawah saja ya, Dik,” katanya sambil mengatur posisi kami sedemikian rupa menjadi gaya 69.
Aku naik ke wajahnya dan membungkukkan tubuhku, kuraih benda kesukaanku itu, dalam genggamanku kukocok perlahan sambil menjilatinya. Kugerakkan lidahku menelusuri pelosok batang itu, buah pelirnya kuemut sejenak, lalu jilatanku naik lagi ke ujungnya dimana aku mulai membuka mulut siap menelannya. Oohh.. batang itu begitu gemuk dan berdiameter lebar persis seperti tubuh pemiliknya, sehingga akupun harus membuka mulutku selebar-lebarnya agar bisa mamasukkannya.
Aku mulai mengisapnya dan memijati buah pelirnya dengan tanganku. Pak Gito mendesah-desah enak menikmati permainanku, sementara aku juga merasa geli di bawah sana, kurasakan ada gerakan memutar-mutar di dalam liang vaginaku oleh jarinya, jari-jari lain dari tangan yang sama mengelus-elus klitoris dan bibir vaginaku, bukan itu saja, lidahnya juga turut menjilati baik anus maupun vaginaku. Sungguh suatu sensasi yang hebat sekali sampai pinggulku turut bergoyang menikmatinya, juga semakin bersemangat mengulum penisnya. Selama 10 menitan kami menikmatinya sampai ada sedikit terganggu oleh berbunyinya HP Pak Gito. Aku lepaskan penisnya dari mulutku dan menatap padanya.
Pak Gito menyuruhku mengambil HP-nya di atas meja ruang tamu, lalu dia berkata, “Ayo Dik, terusin dong karaokenya, biar Bapak ngomong dulu di telepon”.
Aku pun tanpa ragu-ragu menelan kembali penisnya. Dia bicara di HP sambil penisnya dikulum olehku, tidak tau deh bicara dengan siapa, emang gua pikirin, yang pasti aku harus berusaha tidak mengeluarkan suara-suara aneh. Tangan satunya yang tidak memegang HP terus bekerja di selangkanganku, kadang mencucuk-cucukkannya ke vagina dan anusku, kadang meremas bongkahan pantatku. Tiba-tiba dia menggeram sambil menepuk-nepuk pantatku, sepertinya menyuruhku berhenti, tapi karena sudah tanggung aku malahan makin hebat mengocok dan mengisap penis itu sampai dia susah payah menahan geraman nikmatnya karena masih harus terus melayani pembicaraan. Akhirnya muncratlah cairan putih itu di mulutku yang langsung saya minum seperti kehausan. Cairan yang menempel di penisnya juga saya jilati sampai tak bersisa.
“Nggak kok.. tidak apa-apa.. cuma tenggorokkan saya ada masalah dikit,” katanya di HP.
Tak lama kemudian dia pun menutup HP nya, lalu bangkit duduk dan menaikkanku ke pangkuannya. Tangan kirinya dipakai menopang tubuhku.
“Wah.. Dik Citra ini bandel juga ya, tadi kan Bapak udah suruh stop dulu, ee.. malah dibikin keluar lagi, untung nggak curiga tuh orang,” katanya sambil mencubit putingku.
“Hehehe.. sori deh Pak, kan tadi tanggung makannya saya terusin aja, tapi Bapak seneng kan?” kataku dengan tersenyum nakal.
“Hmm.. kalo gitu awas ya sekarang Bapak balas bikin kamu keluar nih,” seringainya.
Lalu dengan sigap tangannya bergerak menyelinap diantara kedua pangkal pahaku. Jari tengah dan telunjuknya menyeruak dan mengorek-ngorek vaginaku, aku meringis ketika merasakan jari-jari itu bergerak semakin cepat mempermainkan nafsuku.
Pak Gito menurunkan kaos tanpa lenganku dari bahu dan meloloskannya lewat lengan kananku, sehingga kini payudara kananku yang putih montok itu tersembul keluar. Dengan penuh nafsu langsung dia lumat benda itu dengan mulutnya. Aku menjerit kecil waktu dia menggigit putingku dan juga mengisapnya kuat-kuat, bulatan mungil itu serasa makin menegang saja. Dia membuka mulutnya lebar-lebar berusaha memasukkan seluruh payudaraku ke mulutnya, di dalam mulutnya payudaraku disedot, dikulum, dan dijilat, rasanya seperti mau dimakan saja milikku itu. Sementara selangkanganku makin basah oleh permainan jarinya, jari-jari itu menusuk makin cepat dan dalam saja. Hingga suatu saat birahiku terasa sudah di puncak, mengucurlah cairan cintaku dengan deras. Aku mengatupkan pahaku menahan rasa geli di bawahku sehingga tangannya terhimpit diantara kedua paha mulusku.
Setelah dia cabut tangannya dari kemaluanku, nampak jari-jarinya sudah belepotan oleh cairan bening yang kukeluarkan. Dia jilati cairanku dijarinya itu, aku juga ikutan menjilati jarinya merasakan cairan cintaku sendiri. Kemudian dia cucukkan lagi tangannya ke kemaluanku, kali ini dia mengelus-ngelus daerah itu seperti sedang mengelapnya. Telapak tangannya yang penuh sisa-sisa cairan itu dibalurinya pada payudaraku.
“Sayang kalo dibuang, kan mubazir,” ucapnya.
Kembali lidahnya menjilati payudaraku yang sudah basah itu, sedangkan aku menjilati cairan pada tangannya yang disodorkan padaku. Tanganku yang satu meraba-raba ke bawah dan meraih penisnya, terasa olehku batang itu kini sudah mengeras lagi, siap memulai aksi berikutnya.
“Enggh.. masukin aja Pak, udah kepingin nih.”
Dia membalik tubuhku, tepat berhadapan dengannya, tangan kananya memegangi penisnya untuk diarahkan ke vaginaku. Aku membukakan kedua bibir vaginaku menyambut masuknya benda itu. Setelah kurasakan pas aku mulai menurunkan tubuhku, secara perlahan tapi pasti penis itu mulai terbenam dalam kemaluanku. Goyanganku yang liar membuat Pak Gito mendesah-desah keenakan, untung dia tidak ada penyakit jantung, kalau iya pasti sudah kumat. Kaosku yang masih menyangkut di bahu sebelah kiri diturunkannya sehingga kaos itu menggantung di perutku dan payudara kiriku tersingkap. Nampak sekali bedanya antara yang kiri yang masih bersih dengan bagian kanan yang daritadi menjadi bulan-bulanannya sehingga sudah basah dan memerah bekas cupangan.
Kedua tangannya meremas-remas kedua payudaraku, ketika melumatnya terkadang kumisnya yang kasar itu menggesek putingku menimbulkan sensasi geli yang nikmat. Lidahnya bergerak naik ke leherku dan mencupanginya sementara tangannya tetap memainkan payudaraku. Birahiku sudah benar-benar tinggi, nafasku juga sudah makin tak teratur, dia begitu lihai dalam bercinta, kurasa bukan pertama kalinya dia berselingkuh seperti ini. Aku merasa tidak dapat bertahan lebih lama lagi, frekuensi goyanganku kutambah, lalu aku mencium bibirnya. Tubuh kami terus berpacu sambil bermain lidah dengan liarnya sampai ludah kami menetes-netes di sekitar mulut, eranganku teredam oleh ciumannya. Mengetahui aku sudah mau keluar, dia menekan-nekan bahuku ke bawah sehingga penisnya menghujam makin dalam dan vaginaku makin terasa sesak. Tubuhku bergetar hebat dan jeritanku tak tertahankan lagi terdengar dari mulutku, perasaan itu berlangsung selama beberapa saat sampai akhirnya aku terkulai lemas dalam pelukannya.
Dia menurunkanku dari pangkuannya, penisnya terlihat berkilauan karena basah oleh cairan cinta. Dibaringkannya tubuhku yang sudah lemas itu di sofa, lalu dia sodorkan gelas yang berisi teh itu padaku. Setelah minum beberapa teguk, aku merasa sedikit lebih segar, paling tidak pada tenggorokanku karena sudah kering waktu mendesah dan menjerit. Kaosku yang masih menggantung di perut dia lepaskan, sehingga kini aku bugil total. Sebelum tenagaku benar-benar pulih, Pak Gito sudah menindih tubuhku, aku hanya bisa pasrah saja ditindih tubuh gemuknya. Dengan lembut dia mengecup keningku, dari sana kecupannya turun ke pipi, hingga berhenti di bibir, mulut kami kembali saling berpagutan. Saat berciuman itulah, Pak Gito menempelkan penisnya pada vaginaku, lalu mendorongnya perlahan, dan aahh.. mataku yang terpejam menikmati ciuman tiba-tiba terbelakak waktu dia menghentakkan pinggulnya sehingga penis itu menusuk lebih dalam.
Kenikmatan ini pun berlanjut, aku sangat menikmati gesekan-gesekan pada dinding vaginaku. Buah dadaku saling bergesekan dengan dadanya yang sedikit berbulu, kedua paha rampingku kulingkarkan pada pinggangnya. Aku mendesah tak karuan sambil mengigiti jariku sendiri. Sementara pinggulnya dihentak-hentakkan diatasku, mulutnya tak henti-hentinya melumat atau menjilati bibirku, wajahku jadi basah bukan saja oleh keringat, tapi juga oleh liurnya. Telinga dan leherku pun tak luput dari jilatannya, lalu dia angkat lengan kananku ke atas dan dia selipkan kepalanya di situ. Aahh.. ternyata dia sapukan bibir dan lidahnya di ketiakku yang halus tak berbulu itu, kumis kasar itu menggelitikku sehingga desahanku bercampur dengan ketawa geli.
“Uuuhh.. Pak.. aakkhh.. !” aku kembali mencapai orgasme.
Vaginaku terasa semakin banjir, namun tak ada tanda-tanda dia akan segera keluar, dia terlihat sangat menikmati mimik wajahku yang sedang orgasme. Suara kecipak cairan terdengar jelas setiap kali dia menghujamkan penisnya, cairanku sudah meleleh kemana-mana sampai membasahi sofa, untung sofanya dari bahan kulit, jadi mudah untuk membersihkan dan menghilangkan bekasnya. Tanpa melepas penisnya, Pak Gito bangkit berlutut di antara kedua pahaku dan menaikkan kedua betisku ke pundaknya. Tanpa memberiku istirahat dia meneruskan mengocok kemaluanku, aku sudah tidak kuat lagi mengerang karena leherku terasa pegal, aku cuma bisa mengap-mengap seperti ikan di luar air.
“Bapak udah mau.. Dik.. Citra..!” desahnya dengan mempercepat kocokkannya.
“Di luar.. Pak.. aku ahh.. uuhh.. lagi subur,” aku berusaha ngomong walau suaraku sudah putus-putus.
Tak lama kemudian dia cabut penisnya dan menurunkan kakiku. Dia naik ke wajahku, lalu dia tempelkan penisnya yang masih tegak dan basah di bibirku. Akupun memulai tugasku, kukulum dan kukocok dengan gencar sampai dia mengerang keras dan menjambak rambutku. Maninya menyemprot deras membasahi wajahku, aku membuka mulutku menerima semprotannya. Setelah semprotannya mereda pun aku masih mengocok dan mengisap penisnya seolah tidak membiarkan setetespun tersisa. Batang itu kujilati hingga bersih, benda itu mulai menyusut pelan-pelan di mulutku. Kami berpelukan dengan tubuh lemas merenungi apa yang baru saja terjadi.
Sofa tempat aku berbaring tadi basah oleh keringat dan cairan cintaku yang menetes disana. Masih dalam keadaan bugil, aku berjalan sempoyongan ke dapur mengambil kain lap dan segelas air putih. Waktu aku kembali ke ruang tamu, Pak Gito sedang mengancingkan lagi bajunya, lalu meneguk air yang tersisa di gelasnya.
“Wah Dik Citra ini benar-benar hebat ya. Istri-istri Bapak sekarang udah nggak sekuat Adik lagi. Padahal mereka sering melayani Bapak berdua sekaligus,” pujinya yang hanya kutanggapi dengan senyum manis.
Setelah berpakaian lagi, aku mengantarnya lagi ke pintu depan. Sebelum keluar dari pagar dia melihat kiri kanan dulu. Setelah yakin tidak ada siapa-siapa, dia menepuk pantatku dan berpamitan.
“Lain kali kalo ada kesempatan kita main lagi yah, Dik.”
“Dasar bandot. Belum cukup punya istri dua, masih ngembat anak orang,” kataku dalam hati.
Akhirnya aku pun mandi membersihkan tubuhku dari sperma, keringat, dan liur. Siraman air menyegarkan kembali tubuhku setelah seharian penuh berolahraga dan berolahsyahwat.
Beberapa menit sesudah aku selesai mandi, ibuku pun pulang. Beliau bilang wangi ruang tamunya enak sehingga kepenatannya agak berkurang, aku senyum-senyum saja karena ruang itu terutama sekitar ‘medan laga’ kami tadi telah kusemprot pengharum ruangan untuk menutupi aroma bekas persenggamaan tadi.
TAMAT
6/16/2011
Sepenggal Kisah dari Gomorah I
Kupacu kudaku sekencang-kencangnya. Aku ingin secepatnya kembali ke klan ku. Tak sabar untuk menunjukkan kepada mereka hasil buruanku kali ini. Nasib sial rupanya hari ini bagi kijang besar yang kini terikat kuat di bahuku yang kokoh, tak mampu dia untuk mengelak dari hujaman anak panahku tadi. Ujung anak panahku yang tajam menancap sukses tepat di lambungnya. Tak apa-apalah kijang ini bernasib sial, yang penting klanku akan makan besar malam ini. Bapakku, Ibuku, dan Saudara-saudaraku pasti akan memujiku atas hasil buruanku ini. Mmmm, sudah terbayang dibenakku rasa kijang bakar yang sedap masakan ibu dan adik perempuanku. Dan seperti biasanya ibu akan mengerat bagian paha kijang yang besar dan empuk ini untuk diberikan khusus padaku.
Ahhh, benar-benar tak sabar untuk segera tiba di klanku. Kuhentakkan kedua kakiku di perut kudaku, memacunya untuk berlari lebih kencang lagi. Kijang besar yang sekarang sedang bergoncang-goncang dibahuku ini, sebenarnya cukup berat juga. Mungkin sekitar 80 sampai 90 kilogram beratnya. Tapi bagiku berat seperti itu tak ada artinya. Sejak kecil aku sudah terbiasa berburu, memanah, menombak dan pekerjaan berat lainnya yang biasa dilakukan laki-laki. Sehingga wajarlah bila tubuhku terbentuk dengan baik.
Diantara pemuda-pemuda di klanku lainnya, tubuhku memang paling kekar dan atletis. Disamping itu aku juga dianugerahi wajah tampan dengan rahang kokoh dan hidung mancung tegas. Sehingga tak aneh bila banyak yang mengagumiku.
Akhirnya aku tiba juga. Sudah terlihat tenda-tenda dikejauhan sana, itu adalah tempat tinggal anggota klanku. Dan seperti biasanya kulihat juga orang banyak berkumpul disana. Mereka menunjuk-nunjuk ke arahku. Pasti mereka sudah tak sabar ingin melihat hasil buruanku kali ini.
Semakin dekat jarakku dengan mereka. Semakin terlihat jelas wajah-wajah mereka menyambutku. Tapi kok tidak seperti biasanya. Tak ada wajah suka ria. Ada apa ini?
Ketika aku tiba di kerumunan anggota klanku, tidak seperti biasanya juga, kali ini mereka tidak berkumpul dan bersorak-sorak menyambut kedatanganku. Mereka malah meminggir dan memberi jalan padaku ke arah tenda Bapak.
"Seth," itu suara Noakh kakakku. "Kau ditunggu Bapak di tendanya," tak ada ekspresi gembira sedikitpun di wajahnya. Tak juga diperhatikannya kijang besar yang kubawa dengan susah payah ini. Ada apa ini?
Segera kuletakkan kijang itu di atas pasir, juga peralatan berburuku, busur dan anak panahnya yang tadi tersampir ditubuhku. Tanpa mengganti pakaian berburuku, segera aku menuju tenda Bapak. Kepalaku penuh dengan tanda tanya. Ada apa ini? Kenapa semua terlihat tegang?
Kusibakkan kain penutup tenda Bapak. Kulihat disana Bapakku menunduk tepekur. Sedangkan Ibuku menangis terisak-isak.
"Pak," suara baritonku pelan memanggil bapakku. Bapak dan Ibuku serentak memandangku. Ibuku penuh berurai air mata. Sedangkan Bapakku terdiam sesaat memandangku untuk kemudian dengan gayanya yang selalu bijaksana menyuruhku duduk didekatnya. Aku mendekatinya, kemudian duduk bersila dihadapannya. Kutundukkan wajahku, menunggu kata-kata keluar dari mulutnya. Aku sangat menghormati kedua orang tuaku. Sehingga kalau berbicara dengan mereka jarang aku memandang langsung kepada keduanya. Lama Bapak terdiam, yang terdengar hanya suara isakan Ibu. Hingga kemudian terdengar suara Bapak yang berat, pelan berkata kepadaku, "Tadi Tuan Enokh, Saudagar terkaya di Kota Gomorah menemuiku,"
"Deg," jantungku berdetak kuat mendengar kalimat pendek Bapak. Aku sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan Bapak selanjutnya. Rupanya tiba juga bagiku masa itu. Masa dimana Saudagar kaya dari kota datang ke desa untuk mencari pemuda-pemuda pilihan dan kemudian membawanya ke kota untuk dijadikan sebagai pelayan pribadinya. Pelayan pribadi yang harus memenuhi segala apa yang diinginkan oleh Sang Saudagar. Termasuk memuaskan nafsu seksual Sang Saudagar. Memang sudah menjadi tradisi di masyarakat Gomorah, juga Sodom, bahwa setiap orang-orang kaya atau pejabat di kota harus memiliki pelayan-pelayan pribadi para pemuda tampan dan perkasa. Semakin banyak pelayan pribadi yang mereka miliki maka semakin dihormatilah mereka.
Baru bulan lalu seorang Saudagar, juga dari Kota Gomorah, datang membawa teman sepermainanku sejak kecil, Lamakh, ke kota untuk dijadikan pelayan. Kini rupanya tiba juga giliranku.
Kata-kata Bapak selanjutnya mengalir seperti air tak terbendung. Ia mengatakan kepadaku kalau aku harus siap menerimanya, meskipun dihatinya sebenarnya Bapak tidak rela menyerahkanku sebagai pelayan. Tapi tradisi masyarakat sudah seperti itu. Bila Bapak menentangnya maka Bapak bisa dibunuh, atau dipenjara dengan segala macam siksaan yang dipersiapkan untuknya. Terakhir Bapak menutup kata-katanya dengan mengatakan bahwa besok sang Saudagar akan menjemputku.
Aku tak tahu kenapa bisa masyarakatku memiliki tradisi yang aneh seperti ini. Mengapa mereka tak cukup memuaskan nafsu seksualnya kepada perempuan-perempuan saja. Kenapa mereka juga punya hasrat pada laki-laki.
Malam itu acara makan-makan tetap diadakan. Tapi suasananya sungguh sangat berbeda. Suasananya seperti acara perpisahan untukku. Noakh, kakakku, banyak menasihatiku untuk bersabar. Ketika seusiaku dulu, dia juga pernah menjadi pelayan pribadi seorang pejabat di kota. Lima tahun dia mengabdi pada sang pejabat hingga kemudian dia kembali berkumpul bersama kami. Kini dia sudah menjadi kepala keluarga dan memiliki tiga orang anak-anak yang lincah.
Rasanya berat untuk berpisah, meninggalkan segala kenangan indah di klanku. Yang paling berat adalah berpisah dengan Rahel, gadis manis anak pamanku. Rasanya sejak kami mulai beranjak remaja aku sudah mulai menyukainya. Dan diapun kelihatannya suka padaku. Setiap bertemu denganku dia pasti akan menunduk dan tersipu-sipu malu. Ahhhhhh. Rasanya aku benar-benar tak ingin meninggalkan klan ini.
-----
Pagi-pagi aku sudah pergi ke sumur mata air, tempat gadis-gadis remaja klanku mengambil air sedikit-sedikit untuk dibawa ke tenda. Rahel pasti sedang ada disana.
Benar dugaanku, kulihat Rahel sedang berjalan menunduk meninggalkan sumur sambil memegangi sebuah tempayan berisi air yang diletakkan dibahunya. Kuhadang langkahnya. Rahel terkejut melihatku yang tiba-tiba ada didepan menghadang langkahnya. Begitu melihatku dia kembali menundukkan wajahnya. Kuambil tempayan yang sedang dibawanya dengan tangan kiriku.
"Pandang aku," kataku lembut padanya. Dia tetap menunduk, tak berani memandangku. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajahnya yang manis terlindungi oleh selendang yang menutupi kepalanya. Tangan kananku memegang dahunya, mengangkat wajahnya agar mendongak ke atas sehingga kami saling berpandangan. Kupandangi wajahnya lama. Kemudian kukatakan padanya dengan lembut, "Tunggu aku, aku pasti kembali untukmu,"
Kulihat Rahel hanya bisa mengangguk dengan mata berlinang air mata. Dibenaknya pasti terbayang apa yang akan aku lakukan di kota. Menjadi pemuas nafsu Enokh, Saudagar kaya yang sampai sekarang aku belum bisa membayangkanm seperti apa orangnya. Tapi biasanya yang namanya Saudagar itu pasti gendut, tua, dan tak menarik untuk dilihat. Ah, tak bisa kubayangkan aku bakalan memuaskan nafsu laki-laki gendut penuh lemak.
Kemudian aku peluk tubuh Rahel erat-erat. Rahel membenamkan kepalanya ke dadaku yang bidang. Sama sepertiku diapun pasti tak ingin berpisah denganku. Cukup lama kami berpelukan, hingga kemudian kudengar suara memanggilku. Kulepas tubuh Rahel, kemudian diapun meninggalkanku.
-----
Noakh, yang memanggilku.
"Ada apa?" tanyaku padanya.
"Enokh sudah datang, kau segera bersiap-siap kemudian ke tenda Bapak," kata Noakh padaku.
Tanpa banyak bicara lagi kukerjakan apa yang disuruh Noakh. Sambil berjalan ke tendaku, kulihat didepan tenda Bapak ada sebuah unta dengan sedekup diatas punuknya sedang duduk melepas lelah. Sementara disekitar unta tersebut dua pria kekar dan tampan sedang berdiri tegak sambil memgang tali kekang kuda masing-masing. Itu rupanya rombongan penjemputku.
Setelah aku selesai berbenah aku segera menuju tenda Bapak. Di dalam tenda kulihat seorang pria duduk dihadapan Bapak. Tak bisa kulihat wajah tamu itu, sebab dia sedang memunggungiku. Bapak yang melihatku sudah berdiri di depan tenda segera berkata pada tamunya,"Ini anak saya."
Tamu itu segera memutar tubuhnya ke arahku. Astaga bayanganku tentangnya ternyata salah besar. Enokh, ternyata bukan pria tua bangka, gendut berlemak seperti bayanganku. Saudagar yang sedang memperhatikanku dari atas kebawah ini masih muda. Mungkin usianya tidak terpaut jauh dari Noakh, kakakku. Tubuhnya tidak gemuk dan berlemak, tapi kokoh dan atletis. Serta wajahnya ternyata tampan. Tiba-tiba aku merasa bersyukur mendapat majikan seperti ini. Lho, kok tiba-tiba aku jadi bersyukur ya? Bersyukur untuk apa? Mungkin, karena ternyata bayangan burukku tentangnya tidak terbukti. Atau bersyukur karena dia berwajah tampan? Entahlah. Tapi kok sepertinya aku merasa nyaman ternyata yang membawaku adalah orang seperti Enokh ini.
Menjelang tengah hari, kami tiba di Kota Gomorah. Dari celah sedekup aku mengintip ke luar. Seperti yang pernah di ceritakan oleh Noakh padaku, Gomorah memang sangat ramai. Kata Noakh, sama ramainya dengan Kota Sodom. Sejak kecil, aku memang belum pernah keluar dari desaku. Mendengar cerita Noakh tentang dua kota itu, membuatku punya keinginan untuk mengunjunginya. Namun bukan kunjungan seperti ini yang pernah terbayang dibenakku dulu. Ah, kenapa nasibku seperti ini.......
Aku berada di tengah-tengah pasar kota rupanya. Kulihat di tepi jalan banyak pedagang menggelar dagangannya. Mulai dari hasil bumi, hewan, perhiasan, hingga budak-budak. Para pedagang budak menjual dagangannya secara lelang. Budak-budak muda, seumur denganku mungkin, ditawarkan pada pembeli yang ramai mengerumuni mereka. Para Pembeli budak itu adalah para pria-pria kaya di kota Gomorah.
Kasihan juga melihat budak-budak itu. Ditengah terik mentari yang menyengat mereka di jemur dengan hanya ditutupi oleh selembar kain penutup otot kelelakian mereka. Keringat yang membanjir menambah keseksian pada tubuh-tubuh mereka yang berotot bagus itu.
Pemuda-pemuda yang berwajah lebih tampan banyak ditawar oleh pembeli. Harga jual mereka pun lebih tinggi.
Tak lama kami tiba di rumah Enokh. Rumah yang besar, sangat besar malah. Belum pernah aku melihat sebuah rumah sebesar dan semewah ini. Di desaku tempat tinggal kami hanyalah tenda yang terbuat dari kain tebal.
Setelah aku turun dari atas unta, Enokh menyuruh pengawalnya membawaku pergi. “Bersihkan dia,” kata Enokh pada pengawalnya itu.
Pengawal Enokh membawaku ke belakang rumah. Ke sebuah ruangan yang didalamnya terdapat tiga orang pemuda sepertiku. Ketiganya hanya menggenakan selembar kain putih segi empat yang menutup kejantanan mereka. Tak ada diantara mereka yang berwajah jelek. Dan tak ada juga yang bertubuh kelebihan lemak. Tubuh mereka semuanya atletis.
Pemuda-pemuda itu tersenyum ramah menyambutku. Setelah berbicara sebentar dengan salah seorang pemuda itu, pengawal yang tadi membawaku kemari meninggalkan kami.
Selanjutnya ketiga pemuda itu mendekatiku. Kami saling memperkenalkan diri masing-masing. Yang tadi berbicara dengan pengawal adalah Moab. Sedangkan yang dua lagi bernama Habel dan Kenan. Tubuh Moab ramai dengan bulu-bulu halus, di dadanya yang bidang hingga perut, ketiak, lengan, paha, dan betis. Wajahnya yang tampan dihiasi rambut hitam pendek dan kumis serta cambang tipis yang melingkari bibirnya yang merah dan tipis. Habel miskin akan bulu. Bahkan ketiaknya pun bersih, tak berbulu. Rambutnya coklat kehitaman, sebahu. Sedangkan Kenan berambut pirang pendek. Ketiaknya lebat dengan bulu-bulu yang juga pirang seperti rambut dan kumisnya yang tipis.
Setelah berkenalan, mereka membawaku ke belakang ruangan itu. Tanpa permisi mereka bertiga mulai mempreteli pakaianku. Aku mencoba melawan, tapi tak ada artinya. Habel dan Kenan segera memegangiku kuat-kuat. Sementara Moab dengan cekatan menanggalkan seluruh kain yang melekat di tubuhku.
“Kami akan memandikanmu Seth,” kata Moab.
Tubuhku yang telanjang dimasukkan ke dalam bak berisi air yang harum. Aku hanya bias pasrah. Tak lagi melawan. Tangan-tangan mereka yang kekar masuk ke dalam bak. Menggosok-gosok tubuhku. Membersihkan tubuhku dari debu dan keringat yang melekat. Tak ada bagian tubuhku yang terlewatkan oleh mereka.
“Tuan Enokh akan menyukaimu kawan,” kata Habel.
“Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Batang besar milikmu inilah yang akan membuatnya menyukaimu,” Kenan yang menjawab, tangannya meremas kontolku. Aku kaget. Kutepiskan tangannya. Tepisanku tak diacuhkannya, ia tetap meremas batangku.
“Nikmati saja Seth, kau belum pernah meremas batang kontolmu sendiri ya?” Moab tersenyum padaku. Aku mengangguk antara malu dan bingung.
“Mulai sekarang, kau harus membiasakan diri kawan,” katanya lagi.
Selanjutnya, sementara Moab dan Habel menggosok-gosok tubuhku, si Habel asik meremas dan mengocok batang kontolku yang kini mengacung tegak. Aku kembali hanya bisa pasrah.
Kocokan tangan Habel di kontolku membuatku keenakan. Selama ini aku tak pernah mengocok kontolku sendiri. Aku baru tau kalo ternyata batang kontol ini apabila dikocok akan menimbulkan rasa enak seperti ini. Kupejamkan mataku. Menikmati rasa enak luar biasa yang kurasakan.
Tiba-tiba kurasakan sebuah kehangatan yang basah melingkupi daerah sekitar kepala kontolku. aku membuka mataku ingin mengetahui apa yang terjadi. Betapa kagetnya aku ketika melihat wajah ganteng Habel telah bersarang di sekitar selangkanganku.
Mulutnya penuh dengan kepala kontolku. Seperti tadi, aku juga mencoba melepaskan diri. Namun tak ada artinya, Moab memegangiku dari atas. Sementara Habel memegang pinggangku kuat-kuat. Mulut Habel mengisap batang kontolku dengan sebuah hisapan yang kuat. Aku merinding. Aku menggeliat. Aku keenakan. Keenakan oleh hisapan Habel ditambah kocokan tangan Kenan yang semakin menggila, semakin cepat. Tak bisa kutahan, mulutku mengeluarkan erangan-erangan.
Ahhh, benar-benar tak sabar untuk segera tiba di klanku. Kuhentakkan kedua kakiku di perut kudaku, memacunya untuk berlari lebih kencang lagi. Kijang besar yang sekarang sedang bergoncang-goncang dibahuku ini, sebenarnya cukup berat juga. Mungkin sekitar 80 sampai 90 kilogram beratnya. Tapi bagiku berat seperti itu tak ada artinya. Sejak kecil aku sudah terbiasa berburu, memanah, menombak dan pekerjaan berat lainnya yang biasa dilakukan laki-laki. Sehingga wajarlah bila tubuhku terbentuk dengan baik.
Diantara pemuda-pemuda di klanku lainnya, tubuhku memang paling kekar dan atletis. Disamping itu aku juga dianugerahi wajah tampan dengan rahang kokoh dan hidung mancung tegas. Sehingga tak aneh bila banyak yang mengagumiku.
Akhirnya aku tiba juga. Sudah terlihat tenda-tenda dikejauhan sana, itu adalah tempat tinggal anggota klanku. Dan seperti biasanya kulihat juga orang banyak berkumpul disana. Mereka menunjuk-nunjuk ke arahku. Pasti mereka sudah tak sabar ingin melihat hasil buruanku kali ini.
Semakin dekat jarakku dengan mereka. Semakin terlihat jelas wajah-wajah mereka menyambutku. Tapi kok tidak seperti biasanya. Tak ada wajah suka ria. Ada apa ini?
Ketika aku tiba di kerumunan anggota klanku, tidak seperti biasanya juga, kali ini mereka tidak berkumpul dan bersorak-sorak menyambut kedatanganku. Mereka malah meminggir dan memberi jalan padaku ke arah tenda Bapak.
"Seth," itu suara Noakh kakakku. "Kau ditunggu Bapak di tendanya," tak ada ekspresi gembira sedikitpun di wajahnya. Tak juga diperhatikannya kijang besar yang kubawa dengan susah payah ini. Ada apa ini?
Segera kuletakkan kijang itu di atas pasir, juga peralatan berburuku, busur dan anak panahnya yang tadi tersampir ditubuhku. Tanpa mengganti pakaian berburuku, segera aku menuju tenda Bapak. Kepalaku penuh dengan tanda tanya. Ada apa ini? Kenapa semua terlihat tegang?
Kusibakkan kain penutup tenda Bapak. Kulihat disana Bapakku menunduk tepekur. Sedangkan Ibuku menangis terisak-isak.
"Pak," suara baritonku pelan memanggil bapakku. Bapak dan Ibuku serentak memandangku. Ibuku penuh berurai air mata. Sedangkan Bapakku terdiam sesaat memandangku untuk kemudian dengan gayanya yang selalu bijaksana menyuruhku duduk didekatnya. Aku mendekatinya, kemudian duduk bersila dihadapannya. Kutundukkan wajahku, menunggu kata-kata keluar dari mulutnya. Aku sangat menghormati kedua orang tuaku. Sehingga kalau berbicara dengan mereka jarang aku memandang langsung kepada keduanya. Lama Bapak terdiam, yang terdengar hanya suara isakan Ibu. Hingga kemudian terdengar suara Bapak yang berat, pelan berkata kepadaku, "Tadi Tuan Enokh, Saudagar terkaya di Kota Gomorah menemuiku,"
"Deg," jantungku berdetak kuat mendengar kalimat pendek Bapak. Aku sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan Bapak selanjutnya. Rupanya tiba juga bagiku masa itu. Masa dimana Saudagar kaya dari kota datang ke desa untuk mencari pemuda-pemuda pilihan dan kemudian membawanya ke kota untuk dijadikan sebagai pelayan pribadinya. Pelayan pribadi yang harus memenuhi segala apa yang diinginkan oleh Sang Saudagar. Termasuk memuaskan nafsu seksual Sang Saudagar. Memang sudah menjadi tradisi di masyarakat Gomorah, juga Sodom, bahwa setiap orang-orang kaya atau pejabat di kota harus memiliki pelayan-pelayan pribadi para pemuda tampan dan perkasa. Semakin banyak pelayan pribadi yang mereka miliki maka semakin dihormatilah mereka.
Baru bulan lalu seorang Saudagar, juga dari Kota Gomorah, datang membawa teman sepermainanku sejak kecil, Lamakh, ke kota untuk dijadikan pelayan. Kini rupanya tiba juga giliranku.
Kata-kata Bapak selanjutnya mengalir seperti air tak terbendung. Ia mengatakan kepadaku kalau aku harus siap menerimanya, meskipun dihatinya sebenarnya Bapak tidak rela menyerahkanku sebagai pelayan. Tapi tradisi masyarakat sudah seperti itu. Bila Bapak menentangnya maka Bapak bisa dibunuh, atau dipenjara dengan segala macam siksaan yang dipersiapkan untuknya. Terakhir Bapak menutup kata-katanya dengan mengatakan bahwa besok sang Saudagar akan menjemputku.
Aku tak tahu kenapa bisa masyarakatku memiliki tradisi yang aneh seperti ini. Mengapa mereka tak cukup memuaskan nafsu seksualnya kepada perempuan-perempuan saja. Kenapa mereka juga punya hasrat pada laki-laki.
Malam itu acara makan-makan tetap diadakan. Tapi suasananya sungguh sangat berbeda. Suasananya seperti acara perpisahan untukku. Noakh, kakakku, banyak menasihatiku untuk bersabar. Ketika seusiaku dulu, dia juga pernah menjadi pelayan pribadi seorang pejabat di kota. Lima tahun dia mengabdi pada sang pejabat hingga kemudian dia kembali berkumpul bersama kami. Kini dia sudah menjadi kepala keluarga dan memiliki tiga orang anak-anak yang lincah.
Rasanya berat untuk berpisah, meninggalkan segala kenangan indah di klanku. Yang paling berat adalah berpisah dengan Rahel, gadis manis anak pamanku. Rasanya sejak kami mulai beranjak remaja aku sudah mulai menyukainya. Dan diapun kelihatannya suka padaku. Setiap bertemu denganku dia pasti akan menunduk dan tersipu-sipu malu. Ahhhhhh. Rasanya aku benar-benar tak ingin meninggalkan klan ini.
-----
Pagi-pagi aku sudah pergi ke sumur mata air, tempat gadis-gadis remaja klanku mengambil air sedikit-sedikit untuk dibawa ke tenda. Rahel pasti sedang ada disana.
Benar dugaanku, kulihat Rahel sedang berjalan menunduk meninggalkan sumur sambil memegangi sebuah tempayan berisi air yang diletakkan dibahunya. Kuhadang langkahnya. Rahel terkejut melihatku yang tiba-tiba ada didepan menghadang langkahnya. Begitu melihatku dia kembali menundukkan wajahnya. Kuambil tempayan yang sedang dibawanya dengan tangan kiriku.
"Pandang aku," kataku lembut padanya. Dia tetap menunduk, tak berani memandangku. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajahnya yang manis terlindungi oleh selendang yang menutupi kepalanya. Tangan kananku memegang dahunya, mengangkat wajahnya agar mendongak ke atas sehingga kami saling berpandangan. Kupandangi wajahnya lama. Kemudian kukatakan padanya dengan lembut, "Tunggu aku, aku pasti kembali untukmu,"
Kulihat Rahel hanya bisa mengangguk dengan mata berlinang air mata. Dibenaknya pasti terbayang apa yang akan aku lakukan di kota. Menjadi pemuas nafsu Enokh, Saudagar kaya yang sampai sekarang aku belum bisa membayangkanm seperti apa orangnya. Tapi biasanya yang namanya Saudagar itu pasti gendut, tua, dan tak menarik untuk dilihat. Ah, tak bisa kubayangkan aku bakalan memuaskan nafsu laki-laki gendut penuh lemak.
Kemudian aku peluk tubuh Rahel erat-erat. Rahel membenamkan kepalanya ke dadaku yang bidang. Sama sepertiku diapun pasti tak ingin berpisah denganku. Cukup lama kami berpelukan, hingga kemudian kudengar suara memanggilku. Kulepas tubuh Rahel, kemudian diapun meninggalkanku.
-----
Noakh, yang memanggilku.
"Ada apa?" tanyaku padanya.
"Enokh sudah datang, kau segera bersiap-siap kemudian ke tenda Bapak," kata Noakh padaku.
Tanpa banyak bicara lagi kukerjakan apa yang disuruh Noakh. Sambil berjalan ke tendaku, kulihat didepan tenda Bapak ada sebuah unta dengan sedekup diatas punuknya sedang duduk melepas lelah. Sementara disekitar unta tersebut dua pria kekar dan tampan sedang berdiri tegak sambil memgang tali kekang kuda masing-masing. Itu rupanya rombongan penjemputku.
Setelah aku selesai berbenah aku segera menuju tenda Bapak. Di dalam tenda kulihat seorang pria duduk dihadapan Bapak. Tak bisa kulihat wajah tamu itu, sebab dia sedang memunggungiku. Bapak yang melihatku sudah berdiri di depan tenda segera berkata pada tamunya,"Ini anak saya."
Tamu itu segera memutar tubuhnya ke arahku. Astaga bayanganku tentangnya ternyata salah besar. Enokh, ternyata bukan pria tua bangka, gendut berlemak seperti bayanganku. Saudagar yang sedang memperhatikanku dari atas kebawah ini masih muda. Mungkin usianya tidak terpaut jauh dari Noakh, kakakku. Tubuhnya tidak gemuk dan berlemak, tapi kokoh dan atletis. Serta wajahnya ternyata tampan. Tiba-tiba aku merasa bersyukur mendapat majikan seperti ini. Lho, kok tiba-tiba aku jadi bersyukur ya? Bersyukur untuk apa? Mungkin, karena ternyata bayangan burukku tentangnya tidak terbukti. Atau bersyukur karena dia berwajah tampan? Entahlah. Tapi kok sepertinya aku merasa nyaman ternyata yang membawaku adalah orang seperti Enokh ini.
Menjelang tengah hari, kami tiba di Kota Gomorah. Dari celah sedekup aku mengintip ke luar. Seperti yang pernah di ceritakan oleh Noakh padaku, Gomorah memang sangat ramai. Kata Noakh, sama ramainya dengan Kota Sodom. Sejak kecil, aku memang belum pernah keluar dari desaku. Mendengar cerita Noakh tentang dua kota itu, membuatku punya keinginan untuk mengunjunginya. Namun bukan kunjungan seperti ini yang pernah terbayang dibenakku dulu. Ah, kenapa nasibku seperti ini.......
Aku berada di tengah-tengah pasar kota rupanya. Kulihat di tepi jalan banyak pedagang menggelar dagangannya. Mulai dari hasil bumi, hewan, perhiasan, hingga budak-budak. Para pedagang budak menjual dagangannya secara lelang. Budak-budak muda, seumur denganku mungkin, ditawarkan pada pembeli yang ramai mengerumuni mereka. Para Pembeli budak itu adalah para pria-pria kaya di kota Gomorah.
Kasihan juga melihat budak-budak itu. Ditengah terik mentari yang menyengat mereka di jemur dengan hanya ditutupi oleh selembar kain penutup otot kelelakian mereka. Keringat yang membanjir menambah keseksian pada tubuh-tubuh mereka yang berotot bagus itu.
Pemuda-pemuda yang berwajah lebih tampan banyak ditawar oleh pembeli. Harga jual mereka pun lebih tinggi.
Tak lama kami tiba di rumah Enokh. Rumah yang besar, sangat besar malah. Belum pernah aku melihat sebuah rumah sebesar dan semewah ini. Di desaku tempat tinggal kami hanyalah tenda yang terbuat dari kain tebal.
Setelah aku turun dari atas unta, Enokh menyuruh pengawalnya membawaku pergi. “Bersihkan dia,” kata Enokh pada pengawalnya itu.
Pengawal Enokh membawaku ke belakang rumah. Ke sebuah ruangan yang didalamnya terdapat tiga orang pemuda sepertiku. Ketiganya hanya menggenakan selembar kain putih segi empat yang menutup kejantanan mereka. Tak ada diantara mereka yang berwajah jelek. Dan tak ada juga yang bertubuh kelebihan lemak. Tubuh mereka semuanya atletis.
Pemuda-pemuda itu tersenyum ramah menyambutku. Setelah berbicara sebentar dengan salah seorang pemuda itu, pengawal yang tadi membawaku kemari meninggalkan kami.
Selanjutnya ketiga pemuda itu mendekatiku. Kami saling memperkenalkan diri masing-masing. Yang tadi berbicara dengan pengawal adalah Moab. Sedangkan yang dua lagi bernama Habel dan Kenan. Tubuh Moab ramai dengan bulu-bulu halus, di dadanya yang bidang hingga perut, ketiak, lengan, paha, dan betis. Wajahnya yang tampan dihiasi rambut hitam pendek dan kumis serta cambang tipis yang melingkari bibirnya yang merah dan tipis. Habel miskin akan bulu. Bahkan ketiaknya pun bersih, tak berbulu. Rambutnya coklat kehitaman, sebahu. Sedangkan Kenan berambut pirang pendek. Ketiaknya lebat dengan bulu-bulu yang juga pirang seperti rambut dan kumisnya yang tipis.
Setelah berkenalan, mereka membawaku ke belakang ruangan itu. Tanpa permisi mereka bertiga mulai mempreteli pakaianku. Aku mencoba melawan, tapi tak ada artinya. Habel dan Kenan segera memegangiku kuat-kuat. Sementara Moab dengan cekatan menanggalkan seluruh kain yang melekat di tubuhku.
“Kami akan memandikanmu Seth,” kata Moab.
Tubuhku yang telanjang dimasukkan ke dalam bak berisi air yang harum. Aku hanya bias pasrah. Tak lagi melawan. Tangan-tangan mereka yang kekar masuk ke dalam bak. Menggosok-gosok tubuhku. Membersihkan tubuhku dari debu dan keringat yang melekat. Tak ada bagian tubuhku yang terlewatkan oleh mereka.
“Tuan Enokh akan menyukaimu kawan,” kata Habel.
“Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Batang besar milikmu inilah yang akan membuatnya menyukaimu,” Kenan yang menjawab, tangannya meremas kontolku. Aku kaget. Kutepiskan tangannya. Tepisanku tak diacuhkannya, ia tetap meremas batangku.
“Nikmati saja Seth, kau belum pernah meremas batang kontolmu sendiri ya?” Moab tersenyum padaku. Aku mengangguk antara malu dan bingung.
“Mulai sekarang, kau harus membiasakan diri kawan,” katanya lagi.
Selanjutnya, sementara Moab dan Habel menggosok-gosok tubuhku, si Habel asik meremas dan mengocok batang kontolku yang kini mengacung tegak. Aku kembali hanya bisa pasrah.
Kocokan tangan Habel di kontolku membuatku keenakan. Selama ini aku tak pernah mengocok kontolku sendiri. Aku baru tau kalo ternyata batang kontol ini apabila dikocok akan menimbulkan rasa enak seperti ini. Kupejamkan mataku. Menikmati rasa enak luar biasa yang kurasakan.
Tiba-tiba kurasakan sebuah kehangatan yang basah melingkupi daerah sekitar kepala kontolku. aku membuka mataku ingin mengetahui apa yang terjadi. Betapa kagetnya aku ketika melihat wajah ganteng Habel telah bersarang di sekitar selangkanganku.
Mulutnya penuh dengan kepala kontolku. Seperti tadi, aku juga mencoba melepaskan diri. Namun tak ada artinya, Moab memegangiku dari atas. Sementara Habel memegang pinggangku kuat-kuat. Mulut Habel mengisap batang kontolku dengan sebuah hisapan yang kuat. Aku merinding. Aku menggeliat. Aku keenakan. Keenakan oleh hisapan Habel ditambah kocokan tangan Kenan yang semakin menggila, semakin cepat. Tak bisa kutahan, mulutku mengeluarkan erangan-erangan.
Aladin II
... dari bagian I
“Perintahmu adalah tugasku. Ting,”
Selanjutnya dihadapan mereka muncul sebuah permadani.
“Untuk apa permadani ini?” tanya Aladin bingung.
“Naikilah permadani,” kata jin lampu.
Aladin mengikuti apa yang dikatakan jin lampu. Semua kantong berisi harta dinaikkannya juga ke atas permadani itu. Selanjutnya terjadi keanehan. Permadani itu mulai melayang di udara.
“Hei ini permadani terbang!” seru Aladin.
“Ya, duduklah Aladin. Kita akan melintasi udara dan kembali ke kampungmu,”
“Baiklah. Tapi sebelumnya berikan dulu akau pakaian. Dan aku juga menginginkan engkau berpakain juga. Warga kampungku akan bingung melihatmu telanjang bulat seperti itu nantinya,”
“Perintahmu adalah tugasku. Ting,”
Pakaian baru, bersih dan indah langsung melekat di tubuh keduanya. Aladin sangat senang akan hal itu. Ia tertawa-tawa senang. “Kalau begitu kita kembali ke kampungku sekarang,” kata Aladin kemudian.
Permadani terbang membubung tinggi ke angkasa. Melayang seperti burung elang, membawa Aladin terbang kembali ke kampungnya. Jin lampu melayang di samping permadani terbang mendampingi Aladin yang tertawa kegirangan, takjub melihat pemandangan di bawahnya.
Hari mulai gelap. Kampung Aladin sudah terlihat dari udara. Begitu indah oleh nyala lampu minyak yang berkilauan. Seperti untaian mutiara berkilau dilihat dari atas permadani terbang. “Itu rumahku,” tunjuk Aladin pada sebuah rumah reyot di sudut desa. Permadani melayang turun, begitu pula jin lampu.
Dengan sukses mereka mendarat di atas atap rumah Aladin yang datar. Permadani terbang perlahan-lahan menghilang. Jin lampu kemudian membawa Aladin turun ke bawah. Melayang-layang dalam pangkuan jin lampu Aladin bergerak turun hingga sampai ke tanah.
“Ahh.. senangnya tiba di rumah. Benar-benar perjalanan yang sangat melelahkan,” kata Aladin.
“Lelah karena perjalanan atau karena ngentotin aku?” bisik jin lampu nakal. Lidahnya menggelitik daun telinga Aladin.
“Dua-duanya,” jawab Aladin cengengesan. “Kamu jangan nakal begitu dong kalo disini. Nanti rahasia kita terbongkar,” kata Aladin berbisik.
“Siap boss,” jawab jin lampu tersenyum lucu.
Pintu rumah Aladin sudah tertutup rapat. Aladin mengetuk pintu dengan sumringah. Ia sudah tak sabar memamerkan harta karun yang ditemukannya kepada ibunya. Tak lupa pintu membuka, wajah ibunya yang berselendang nongol dari balik pintu.
“Aladin darimana saja engkau? Ali mencarimu sejak tadi. Aa yang engkau bawa itu? Siapa pula pemuda ini?” pertanyaan beruntun mengalir dari mulut sang ibu.
“Sabar bu, sabar. Satu per satu kalau bertanya. Biarkan aku masuk dulu, nanti aku jawab semua pertanyaan ibu,”
“Masuklah. Hei darimana kau dapat pakaian bagus ini? Kau mencuri lagi ya?” sang ibu masih terus bertanya. Aladin hanya tersenyum-senyum, pintu rumah di kuncinya. Kemudian ditariknya tangan sang ibu untuk duduk di dekatnya.
“Ibu benar-benar gak sabar nih. Ibu duduk dulu. Lihat nih apa yang aku bawa,” kantong yang dibawa Aladin langsung dibongkarnya. Mata sang ibu membelalak. Mulutnya menganga lebar. Tak percaya melihat begitu banyak perhiasan di depan matanya. Berserakan di lantai rumahnya yang reyot.
“Aladin…. Kau…, kau mencurinya dari mana…?” tanya sang ibu terbata-bata. Matanya melotot antara marah dan tak percaya.
“Sssttt…… aku tidak mencurinya bu,” Aladin kemudian menceritakan apa yang dilakukannya bersama pamannya, Karim. Juga pertemuannya dengan jin lampu. Tentu saja adegan hardcore sejenis tak diceritakannya pada sang ibu. Bisa berabe kan.
“Jin? Mana mungkin. Pemuda ini seperti layaknya manusia biasa,” kata sang ibu tak percaya.
“Jin lampu, masuklah lagi ke dalam lampu agar ibuku percaya,” kata Aladin.
“Perintahmu adalah tugasku. Ting,” tubuh jin lampu berubah menjadi asap. Kemudian asap itu menyusup ke dalam lampu yang ditemukan Aladin.
“Benarkah semua ini Aladin?” sang ibu masih belum percaya.
Aladin tersenyum-senyum. Jemarinya menggosok-gosok lampu itu, lalu kembali asap mengepul dari ujung sumbu lampu. Asap itu kemudian berubah kembali menjadi jin lampu. Sang ibu benar-benar bingung. Ia tetap antara yakin dan tidak. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Aladin segera memasukkan kembali perhiasan itu kedalam empat kantong yang dibawanya. “Siapa itu?!” tanyanya keras. Ia kuatir itu pamannya.
“Ali!” sahut suara dari luar. Aladin segera menuju pintu. Dibukanya pintu. Wajah Ali yang penuh kekuatiran segera menyambutnya.
“Aku sungguh-sungguh kuatir padamu Aladin,” kata Ali. “Kemana saja engkau?” tanyanya.
“Masuklah dulu,” kata Aladin. Ali ditariknya masuk ke dalam rumah. Pintu kembali dikuncinya. “Duduklah dan jangan banyak tanya. Dengarkan saja ceritaku,” Aladin menceritakan lagi apa yang telah diceritakannya tadi pada ibunya. Ali hanya melongo-longo. Semakin melongo saat melihat perhiasan yang dibawa Aladin dan jin lampu memamerkan kemampuanya masuk ke dalam lampu mungil yang ditemukan Aladin.
“Engkau kaya raya kawan. Engkau bisa melamar Putri Jasmin kini,” kata Ali.
“Benar. Aku kaya raya sekarang. Aku dapat melamar Putri Jasmin sekarang. Maukah engkau melamar putri cantik itu untukku ibu?” tanya Aladin. Ibunya mengangguk-angguk, tetap dengan kebingungannya.
“Jin lampu, sediakan makanan buat kami sekarang. Aku sangat lapar. Ibu dan Ali pasti juga sangat lapar. Hidangkan makanan yang enak buat kami,” kata Aladin bersemangat.
“Perintahmu adalah tugasku. Ting,”
Berbagai hidangan lezat langsung terhidang di hadapan mereka. Makanan yang selama ini tak pernah bisa dirasakan oleh ketika orang miskin itu. Dengan lahap mereka menyantap makanan itu. Hingga kekenyangan dan tak dapat berkata apa-apa lagi. Jin lampu tersenyum bahagia melihat kebahagian tuan barunya yang tampan beserta keluarganya itu. Malam itu keluarga Aladin tidur dengan nyenyak. Mereka tidur diatas timbunan perhiasan yang berkilauan. Jin lampu masuk kembali ke dalam lampu. Iapun tertidur nyenyak di dalam sana.
Matahari bergerak naik. Aladin dan keluarganya sudah bersiap-siap diri. Mereka berniat untuk melamar Putri Jasmin hari itu. Pakaian indah sudah mereka kenakan pemberian jin lampu. Ibu Aladin sibuk mematut-matut bayangan dirinya di cermin buruk miliknya. Ia merasa senang dengan pakaian dan segala perhiasan yang dikenakannya hari itu.
Dengan permadani terbang mereka menuju istana. Jin lampu melayang disamping permadani terbang mendampingi perjalanan ketiga orang yang sedang berbahagia itu. Harta karun mereka bawa dalam peti besar yang indah. Harta karun itu akan mereka berikan sebagai persembahan untuk melamar sang putri.
Kemegahan istana sudah terlihat dari angkasa. Kubahnya menjulang tinggi. Berkilauan oleh pantulan cahaya matahari. Kubah itu terbuat dari emas. Sangat indah. Aladin dan ibunya juga Ali terkagum-kagum melihat kemegahan istana itu.
Akhirnya mendaratlah mereka di istana. Para pengawal kebingungan melihat kedatangan rombongan yang ajaib itu. Mereka belum pernah melihat sebuah permadani dapat menerbangkan orang. Singkat cerita, mereka berempat dihadapkan pada sang raja.
“Siapa kalian? Dan ada keperluan apa kalian mendatangiku kemari?” tanya sang raja dengan penuh wibawa.
“Kami adalah bangsawan dari selatan tuanku raja. Nama hamba Aladin, hamba datang kemari bersama dengan ibu dan Saudara hamba ini beserta seorang pengawal,” sahut Aladin. Jin lampu ditunjuknya sebagai pengawal.
“Kedatangan kami kemari adalah untuk melamar putri tuanku raja bagi putraku ini,” kata Ibu Aladin melanjutkan.
“Melamar putriku? Hahahaha,” sang raja tertawa terbahak-bahak. Aladin dan rombongan kebingungan. “Berani sekali kalian datang kemari untuk melamar putriku. Sudah banyak pangeran-pangeran kaya yang datang untuk melamar, namun semuanya ditolak oleh putriku. Lalu kalian datang kemari mengaku-ngaku sebagai bangsawan. Persembahan apa yang dapat kalian berikan kepadaku sehingga aku bisa mmpercayai bahwa kalian memang bangsawan dan layak melamar putriku,”
“Inilah persembahan yang kami bawa untuk tuanku,” kata ibu Aladin. Harta karun yang ditemukan Aladin kemudian digelar dihadapan sang raja.
Raja terkejut melihat perhiasan emas yang sangat banyak terhampar di hadapan matanya. Sifat materialistisnya langsung keluar. “Boleh juga persembahan yang kalian bawa. Namun terlebih dahulu aku akan bertanya pada menteri kepercayaanku. Panggil Jafar kemari dan juga putriku!” perintah raja pada pengawalnya.
Tak lama berturut-turut datanglah Putri Jasmin dan Jafar, menteri kepercayaan raja. Putri Jasmin terlihat senang melihat kedatangan Aladin. Lelaki yang pernah dilihatnya di pasar.
“Putriku, pemuda ini datang bersama ibunya untuk melamarmu. Bagaimana pendapatmu?” tanya raja.
“Hamba terserah keputusan ayahanda saja. Namun kalau hamba melihat pemuda ini kelihatannya baik,” sahut Putri Jasmin lembut. Dia menunduk malu-malu. Raja mengangguk-angguk. Aladin merasa senang mendengar tanggapan Putri Jasmin. Sementara wajah Jafar sang menteri terlihat sewot.
“Tuanku, maafkan hamba menyela,” kata Jafar.
“Ada apa Jafar?” tanya sang raja pada menterinya yang terlihat gagah itu.
“Tuanku, hamba rasa kita perlu mengetahui kekayaan pemuda ini dulu. Tuanku adalah raja paling kaya di muka bumi ini. Adalah sangat tidak pantas apabila tuanku memiliki menantu yang tidak jelas asal-usul dan kekayaannya,” kata Jafar sambil melirik tajam pada Aladin. Sesungguhnya Jafar ini juga mencintai Putri Jasmin. Ia tak rela apabila putri cantik itu menikah dengan orang lain. Karena itu selama ini ia selalu berusaha menghalangi apabila ada yang bernita melamar sang putri.
“Bagaimana maksudmu?” tanya raja.
“Tuanku, menurut hamba kita perlu mengetahui dulu, apakah Putri Jasmin nantinya akan tinggal di tempat yang layak baginya. Selama ini putri tuanku tinggal di tempat semegah ini, apakah pemuda ini memiliki tempat tinggal yang semegah istana tuanku. Hamba kuatir nantinya Putri Jasmin tidak betah tinggal di tempat yang tidak sesuai untuknya,” kata Jafar. Aladin semakin tak suka dengan menteri tampan itu. Sementara Putri Jasmin juga terlihat tak suka. Namun untuk membatah Jafar ia malu karena dianggap perempuan rendahan yang gila laki-laki. Ibu Aladin, Ali, dan jin lampu juga kesal mendengar ucapan Jafar.
“Benar juga katamu itu Jafar. Wahai pemuda apakah tempat tinggalmu semegah istanaku ini?” tanya raja.
“Tuanku, jika hamba memiliki tempat tinggal semegah tuanku, itu artinya hamba tidak menghormati tuanku raja. Namun demikian tempat tinggal hamba cukup megah tuanku. Tuanku raja dan Putri Jasmin hamba undang untuk melihat tempat tinggal hamba besok,” sahut Aladin mantap. Ibu Aladin dan Ali kaget mendengar jawaban Aladin yang nekat. Sementara jin lampu tenang-tenang saja.
“Baiklah, aku akan memenuhi undanganmu. Sekarang kalian boleh pergi. Persembahan kalian aku terima dengan senang hati,” kata sang raja materialistis.
“Kamu gila Aladin!” kata Ali dalam perjalanan pulang. “Tempat tinggal megah yang seperti apa yang engkau maksudkan?”
“Benar Aladin. Rumah kita hanya gubuk reyot seperti itu,” kata Ibu Aladin.
“Ibu dan Ali tenang saja. Bukankah kita memiliki jin lampu,” kata Aladin santai. “Jin lampu bisakah kau membuatkan aku istana yang sangat mirip seperti istana raja?”
“Tidak ada yang sulit buatku,” sahut jin lampu. Aladin tersenyum senang. Jin lampu benar-benar membuktikan apa yang dikatakannya. Setelah mengantarkan ibunya kembali ke rumah, Aladin bersama Ali dan jin lampu pergi mencari lahan kosong yang tidak dihuni orang untuk membangun istana buat Aladin. Setelah menemukan lahan kosong itu jin lampu mulai bekerja membuatkan Aladin istana yang sama megahnya dengan istana raja. Ali yang melihat pekerjaan jin lampu seorang diri membangun istana itu hanya terbengong-bengong. Dalam waktu semalam selesailah istana itu. Saat kokok ayam terdengar menyambut pagi di depan mata Aladin dan Ali sudah berdiri istana yang megah dan sangat mirip dengan istana milik raja.
“Gila, kau benar-benar luar biasa,” kata Ali memuji jin lampu. Ali terkagum-kagum melihat istana itu. Ia berkeliling melihat-lihat isi dalam istana. Tak sadar kalau Aladin dan jin lampu sudah tidak bersamanya lagi. Saat tersadar Ali sibuk mencari Aladin dan jin lampu.
Sementara itu Aladin dan jin lampu sudah asik bergumul di atas ranjang empuk di salah satu kamar istana itu. Atas pekerjaannya membuatkan istana, jin lampu meminta hadiah dari Aladin. Hadiahnya tak lain dan tak bukan adalah Aladin harus memuaskan birahinya. Dengan rela Aladin menyanggupinya. Saat Ali sibuk sendiri mengitari istana keduanya segera masuk ke dalam kamar dan memulai pergumulan birahi yang dahsyat.
“Ahhh… ahhh…. ahhhh…. Ahhhhh….,” jin mengerang-erang keenakan. Kedua tangannya berpegangan pada tiang tempat tidur. Sementara tubuhnya menungging seperti anjing. Dibelakangnya Aladin sibuk menggenjot-genjot dengan ganas sambil mulutnya menciumi punggung lebar jin lampu. Kedua tubuh kekar itu sudah basah kuyup bersimbah keringat. Bergerak-gerak memuaskan birahi mereka.
Sementara Ali terus sibuk mencari Aladin dan jin lampu. “Aladin, jin lampu. Dimana kalian?!!” teriaknya. Suaranya bergema di dalam ruangan istana megah nan luas yang tak berpenghuni itu. Satu per satu ruangan di periksanya sambil terus berteriak-teriak mencari. Hingga akhirnya pada satu ruangan Ali terkejut saat pintu ruangan itu dibukanya. “Aladin?!!!!!” serunya. Matanya membelalak. Di atas tempat tidur di dalam ruangan itu ia melihat pemandangan yang sangat tidak biasa baginya.
Aladin dan jin lampu tidur bersisian. Tubuh Aladin berada di belakang jin lampu. Kaki jin lampu mengangkang ke atas. Dibelakangnya Aladin sedang sibuk bergoyang pantat dengan cepat dan keras. Kontol Aladin didalam lobang pantat jin lampu. Bergerak keluar masuk dengan cepat dan keras. Sementara tangan Aladin sibuk mengocok-ngocok kontol jin lampu.
“Ahhh… ahhhh… ahhhh… ahhhh…,” keduanya mengerang-erang. Seruan Ali mengagetkan mereka. Erangan mereka terhenti. Kegiatan mereka terhenti. Masih dalam posisi seperti dilihat Ali, keduanya terkejut bukan alang kepalang.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Ali bingung. Matanya tak urung memandangi kontol keduanya yang besar.
Aladin segera melepaskan dirinya dari jin lampu. Dengan kontol masih mengacung keras didekatinya Ali. Kontolnya yang basah oleh ludah bergoyang-goyang seiring langkahnya. Mata Ali lekat menatapi kontol sahabatnya itu. Baru sekali ini ia melihat Aladin telanjang bulat seperti itu.
“Ali, duduklah. Aku akan menerangkannya padamu,” kata Aladin sambil menarik Ali untuk duduk di atas ranjang. Jin lampu pun ikut duduk bersila di atas ranjang. Aladin menceritakan segalanya tentang jin lampu. Ali mengangguk-angguk antara mengerti dengan bingung.
“Jadi……..engkau homosex ya Aladin?” tanya Ali.
“Tentu saja bukan. Jin lampu yang homosex. Aku hanya membantunya memuaskan birahinya. Jin lampu kan sudah menolongku, apa salahnya aku menolongnya,” sahut Aladin membela diri.
“Apakah engkau tidak merasa risih menggumuli laki-laki seperti dirimu juga?”
“Awalnya risih. Namun setelah merasakannya ternyata luar biasa nikmatnya. Tak ada salahnya kan memuaskan birahi bersama. Kami sama-sama puas,” sahut Aladin.
“Bagaimana dengan Putri Jasmin?”
“Ada apa dengannya? Aku tetap menyukainya. Aku yakin kontolku akan membuatnya terpuaskan,”
“Aku benar-benar bingung,” kata Ali. “Terserah kalianlah. Aku permisi dulu,”
“Mengapa terburu-buru. Kaupun bisa menikmatinya sekarang,” kata jin lampu mencegah Ali yang siap-siap untuk pergi.
“Maksudmu?” tanya Ali.
“Kita dapat melakukannya bertiga,” kata jin lampu tersenyum.
“Ya. Tentu saja. Mengapa tidak?” sahut Aladin gembira. Ali bingung. “Ayolah tak perlu ragu. Mari aku bantu melepaskan bajumu,” kata Aladin. Tangannya kemudian sibuk melepaskan pakaian Ali.
Pemuda itu benar-benar bingung. Ia seperti terhipnotis. Satu persatu pakaiannya lepas dari tubuhnya. Tubuhnya yang rammping kini terpampang di hadapan Aladin dan jin lampu. Putih bersih dan lumayan berotot. Ketiaknya bersih dari bulu. Jembutnya juga tidak terlalu lebat. Kontolnya yang masih tertidur menggantung diantara selangkangannya. Putih kemerahan. Jin lampu segera berjongkok di hadapan Ali. Mulutnya langsung menciumi kontol itu. Ali merinding.
“Ahhh. jangan….. jangan….,” katanya dalam erang. Namun tak ada usahanya untuk mengelak dari jin lampu.
“Nikmati saja,” bisik Aladin lembut. Aladin kemudian menuju ke arah belakang jin lampu. Tubuh kekar jin lampu kembali disuruhnya nungging. Rupanya Aladin ingin melanjutkan kembali entotannya di lobang pantat jin lampu.
Jin lampu segera memahami keinginan Aladin. Iapun merasa nanggung oleh sodokan lobang pantat Aladin. Segera ia menungging melebarkan paha sehingga kontol Aladin dapat dengan mudah menerobos lobang pantatnya. Sembari dientot mulut jin lampu sibuk mengulumi kontol Ali yang sudah menegang keras. Ketiganya kini asik menikmati permainan mesum sesama lelaki.
“Bagaimana Ali?” tanya Aladin sembari bergoyang-goyang pantat.
“Ahhhh… enak Aladin. Enak sekalihh…,” sahut Ali meringis malu.
“Mau yang lebih enak?” tanya Aladin lagi.
“Apa itu,”
“Aku entotin kamu seperti jin lampu,”
“Apa enggak sakit?”
“Awalnya sakit sedikit kan biasa. Buktinya jin lampu ketagihan dibeginiin,” sahut Aladin ia asik terus bergoyang. Gerakan pantatnya berbalasan dengan gerakan pantat jin lampu.
“Sepertinya enak ya ngentotin lobang pantat seperti itu Aladin,” kata Ali melihat Aladin keenakan.
“Enak sekali. Engkau ingin mencobanya?”
“Iya,” sahut Ali malu-malu.
“Kalau begitu silakan,” sahut Aladin. Dilepaskannya kontolnya dari lobang pantat jin lampu. Dengan penuh semangat Ali menuju ke belakang jin lampu. Dengan dibantu tangan Aladin, kontol Ali yang tidak terlalu besar berhasil masuk ke dalam lobang kenikmatan jin lampu. Ali mulai bergoyang-goyang.
“Ohhhhh… luar biasa… enakhh…,” katanya. Aladin tersenyum, jin lampu juga. Aladin kemudian berjongkok di belakang Ali.
“Li, kamu ngangkang sedikit. Aku ingin menikmati lobang pantat kamu yang masih perjaka ini,” kata Aladin. Ali yang sedang dilanda kenikmatan segera mengangkangkan pahanya. Tangan Aladin segerah melebarkan bongkahan pantat Ali. Lobang pantat Ali terlihat jelas oleh Aladin. Sangat rapat. Bentuknya seperti garis lurus yang berkeriput. Lidah Aladin segera menyapu lobang pantat itu.
Ali merinding. Sapuan lidah Aladin yang terasa basah dan hangat membuat darahnya berdesir. Aladin terus melakukan sapuan-sapuan. Sesekali jarinya menyodok-nyodok. Membuka celah sempit itu. Ali melenguh-lenguh.
Aladin terus melebar-lebarkan celah lobang pantat Ali. Usahanya cukup berhasil, dua jari Aladin kini bisa masuk menerobos celah sempit itu. Sodokan Aladin dirasakan Ali menambah kenikmatannya menggenjot. Ia semakin bernafsu.
Aladinpun semakin bersemangat mengerjai celah lobang pantat sahabatnya itu. Setelah sukses dengan dua jari, kini tiga jarinya mengobok-obok lobang kenikmatan Ali. Berulang-ulang Aladin meludahi celah pantat itu. Membuatnya licin dan lembab.
Tak ada komplain, tak ada penolakan dari Ali. Ia membiarkan saja Aladin sibuk merojok lobang pantatnya. Ali sibuk menikmati gesekan kontolnya di lobang pantat jin lampu. Rojokan Aladin semakin buas. Lobang pantat Ali dirasakannya semakin beradaptasi dengan tusukan benda panjang dan tumpul. Perkiraan Aladin, sahabatnya itu sudah siap untuk ditusuk dengan kontol. Aladin kemudian berdiri di belakang Ali. Kontolnya yang tegak digosok-gosoknya di celah buah pantat sahabatnya.
“Sekarang aku akan memberikanmu kenikmatan yang sesungguhnya,” bisik Aladin lembut di telinga Ali. Jemarinya melebarkan buah pantat Ali. Ujung kepala kontolnya digesekkan di celah lobang pantat Ali. Mulut lobang pantat Ali yang terbuka diterobosnya perlahan. Ali mengerang. Kepala kontol Aladin mulai menyusup ke celah lobang pantat itu.
“Ahhhhhh….,” Ali mengerang. Gerakan pantatnya berhenti. Ia kesakitan. “Sakittt sekalihh…,” katanya.
“Jangan dilawan. Tarik nafas dalam-dalam,” kata Aladin. Sementara tangan yang satu melebarkan buah pantat, tangan Aladin yang lain mencengkeram pinggang Ali yang ramping. Ini dilakukannya agar menghentikan gerakan pantat Ali yang berusaha menghindar. Kontol Aladin menerobos terus ke dalam.
“Ahhhhh…… sakitthhhhh,…..,” kata Ali lagi. Aladin tak peduli. Ia terus mendorong. Aladin sedang menikmati sempitnya celah lobang pantat Ali yang menjepit kontolnya. Sensasinya sangat luar biasa. Sangat berbeda dari lobang pantat jin lampu yang sudah longgar. Tanpa merasa kasihan Aladin terus menjebol keperjakaan Ali. Kontolnya yang gemuk dan panjang terus bergerak masuk. Lobang pantat Ali terasa penuh.
Diiringi erangan kesakitan Ali, Aladin menancapkan seluruh batang kontolnya ke dalam lobang pantat sahabatnya itu. Ali merasakan lobang pantatnya sangat perih. Kontolnya yang tadi keras di dalam lobang pantat jin lamu mulai lemas. Jin lampu yang tadi keenakan ditancapin kontol Ali yang mengeras menjadi hilang birahi. Kontol Ali dilepaskannya dari lobang pantatnya. Kemudian ia berjongkok di depan Ali. Kontol Ali yang lemas segera dihisapnya. Wajahnya terbenam di selangkangan Ali.
Aladin mulai bergerak pantat maju mundur. Kontolnya memompa lobang pantat Ali dengan cepat. Ali mengerang-erang. Matanya terpejam-pejam menahan sakit. Sementara di depannya, pada selangkangannya, jin lampu sibuk mengulum. Tiga pemuda gagah itu basah kuyup bersimbah keringat. Aladin terus mengentot tanpa rasa kasihan. Saat itu yang ada dibenaknya hanyalah mereguk kenikmatan dari celah lobang pantat sahabatnya itu.
“Ohhh… ohhhh… ohhhhh…. Ohhhhhh…. Ohhhhh…… ohhhhh……,” erang Aladin.
“Ahhh..... ahhh..... ahhhh....,” racau Ali antara sakit dan nikmat.
Akhirnya tiba juga orgasme Aladin. Seperti biasa tubuhnya kelojotan. Pantatnya menekan keras. Membuat kontolnya terbenam dalam-dalam di lobang pantat Ali. Sesaat kemudian dari lobang kencingnya menyemburlah sperma. Ali mendongak menikmati sensasi semburan itu. Matanya terpejam, bibir bawahnya digigitnya dengan gigi atasnya.
Entah karena sensasi semburan sperma Aladin, atau karena kuluman mulut jin lampu, atau memang karena sudah saatnya, Ali pun orgasme. Kontolnya berdenyut-denyut. Spermanya tumpah ruah memenuhi mulut jin lampu.
Jin lampu mengocok-ngocok kontolnya sendiri. Iapun ingin segera menuntaskan birahinya. Beberapa menit kemudian iapun orgasme. Spermanya tumpah berceceran membasahi lantai. Tiga pemuda itu kemudian ambruk di atas ranjang. Lelah, usai memacu birahi mereka yang binal.
Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, rombongan kerajaan tiba di istana Aladin siang harinya. Sang raja benar-benar takjub melihat istinana bikinan jin lampu itu. Sedemikian miripnya istana itu dengan istana kerajaan membuat raja mengira itu adalah istananya sendiri.
Sang raja yang punya sifat bawaan matre akhirnya langsung menyetujui lamaran Aladin pada Putri Jasmin, putri semata wayangnya. Segala hasutan Jafar sang menteri tak lagi dapat mempengaruhinya. Sang raja kemudian memerintahkan para menterinya untuk memeprsiapkan pernikahan antara Aladin dan Putri Jasmin secepatnya.
Sepekan kemudian raja melangsungkan pernikahan putrinya dengan Aladin di Istana kerjaan dalam sebuah pesta yang sangat megah. Tujuh hari tujuh malam lamanya. Seluruh negara-negara tetangga di undang memeriahkan pesta itu. Semua terlihat gembira dan bahagia. Ibu Aladin, Ali, dan juga jin lampu. Apalagi Aladin dan Putri Jasmin. Keduanya terlihat sangat bahagia dan senantiasa tersenyum di atas kursi pelaminan mereka. Keduanya asik bercanda-canda dalam kemesraan. Hanya ada satu orang yang tidak bahagia hari itu. Siapa lagi kalau bukan Jafar. Selama pesta berlangsung, ia sibuk memikirkan usaha untuk membalas sakit hatinya pada Aladin.
Tamat? Belum dong. Masih ada sekuelnya. Sabar ya.
Ringkasan Cerita Selanjutnya :
Jafar berusaha keras membalaskan sakit hatinya pada Aladin. Ia curiga dengan segala kekayaan melimpah yang dimiliki oleh pemuda itu. Kemudian ia melakukan penyelidikan terhadap Aladin. Penyelidikan Jafar mempertemukannya dengan Paman Aladin, Karim.
Dari Karim inilah ia mengetahui rahasia Aladin memperoleh kekayaannya dan juga tentang jin lampu yang mengabdi pada Aladin. Karena sama-sama merasa dirugikan oleh Aladin, maka Jafar dan Karim bersekutu. Keduanya bertekad kuat untuk merebut kembali apa yang mereka rasa sebagai hak mereka dari Aladin. Target Jafar adalah merebut Putri Jasmin sedangkan target Karim adalah merebut harta kekayaan dan lampu wasiat Aladin.
Adu licik dan strategipun dimulai diantara pergumulan birahi diantara mereka yang panas, liar, dan binal. Seru dan semakin menggairahkan.
“Perintahmu adalah tugasku. Ting,”
Selanjutnya dihadapan mereka muncul sebuah permadani.
“Untuk apa permadani ini?” tanya Aladin bingung.
“Naikilah permadani,” kata jin lampu.
Aladin mengikuti apa yang dikatakan jin lampu. Semua kantong berisi harta dinaikkannya juga ke atas permadani itu. Selanjutnya terjadi keanehan. Permadani itu mulai melayang di udara.
“Hei ini permadani terbang!” seru Aladin.
“Ya, duduklah Aladin. Kita akan melintasi udara dan kembali ke kampungmu,”
“Baiklah. Tapi sebelumnya berikan dulu akau pakaian. Dan aku juga menginginkan engkau berpakain juga. Warga kampungku akan bingung melihatmu telanjang bulat seperti itu nantinya,”
“Perintahmu adalah tugasku. Ting,”
Pakaian baru, bersih dan indah langsung melekat di tubuh keduanya. Aladin sangat senang akan hal itu. Ia tertawa-tawa senang. “Kalau begitu kita kembali ke kampungku sekarang,” kata Aladin kemudian.
Permadani terbang membubung tinggi ke angkasa. Melayang seperti burung elang, membawa Aladin terbang kembali ke kampungnya. Jin lampu melayang di samping permadani terbang mendampingi Aladin yang tertawa kegirangan, takjub melihat pemandangan di bawahnya.
Hari mulai gelap. Kampung Aladin sudah terlihat dari udara. Begitu indah oleh nyala lampu minyak yang berkilauan. Seperti untaian mutiara berkilau dilihat dari atas permadani terbang. “Itu rumahku,” tunjuk Aladin pada sebuah rumah reyot di sudut desa. Permadani melayang turun, begitu pula jin lampu.
Dengan sukses mereka mendarat di atas atap rumah Aladin yang datar. Permadani terbang perlahan-lahan menghilang. Jin lampu kemudian membawa Aladin turun ke bawah. Melayang-layang dalam pangkuan jin lampu Aladin bergerak turun hingga sampai ke tanah.
“Ahh.. senangnya tiba di rumah. Benar-benar perjalanan yang sangat melelahkan,” kata Aladin.
“Lelah karena perjalanan atau karena ngentotin aku?” bisik jin lampu nakal. Lidahnya menggelitik daun telinga Aladin.
“Dua-duanya,” jawab Aladin cengengesan. “Kamu jangan nakal begitu dong kalo disini. Nanti rahasia kita terbongkar,” kata Aladin berbisik.
“Siap boss,” jawab jin lampu tersenyum lucu.
Pintu rumah Aladin sudah tertutup rapat. Aladin mengetuk pintu dengan sumringah. Ia sudah tak sabar memamerkan harta karun yang ditemukannya kepada ibunya. Tak lupa pintu membuka, wajah ibunya yang berselendang nongol dari balik pintu.
“Aladin darimana saja engkau? Ali mencarimu sejak tadi. Aa yang engkau bawa itu? Siapa pula pemuda ini?” pertanyaan beruntun mengalir dari mulut sang ibu.
“Sabar bu, sabar. Satu per satu kalau bertanya. Biarkan aku masuk dulu, nanti aku jawab semua pertanyaan ibu,”
“Masuklah. Hei darimana kau dapat pakaian bagus ini? Kau mencuri lagi ya?” sang ibu masih terus bertanya. Aladin hanya tersenyum-senyum, pintu rumah di kuncinya. Kemudian ditariknya tangan sang ibu untuk duduk di dekatnya.
“Ibu benar-benar gak sabar nih. Ibu duduk dulu. Lihat nih apa yang aku bawa,” kantong yang dibawa Aladin langsung dibongkarnya. Mata sang ibu membelalak. Mulutnya menganga lebar. Tak percaya melihat begitu banyak perhiasan di depan matanya. Berserakan di lantai rumahnya yang reyot.
“Aladin…. Kau…, kau mencurinya dari mana…?” tanya sang ibu terbata-bata. Matanya melotot antara marah dan tak percaya.
“Sssttt…… aku tidak mencurinya bu,” Aladin kemudian menceritakan apa yang dilakukannya bersama pamannya, Karim. Juga pertemuannya dengan jin lampu. Tentu saja adegan hardcore sejenis tak diceritakannya pada sang ibu. Bisa berabe kan.
“Jin? Mana mungkin. Pemuda ini seperti layaknya manusia biasa,” kata sang ibu tak percaya.
“Jin lampu, masuklah lagi ke dalam lampu agar ibuku percaya,” kata Aladin.
“Perintahmu adalah tugasku. Ting,” tubuh jin lampu berubah menjadi asap. Kemudian asap itu menyusup ke dalam lampu yang ditemukan Aladin.
“Benarkah semua ini Aladin?” sang ibu masih belum percaya.
Aladin tersenyum-senyum. Jemarinya menggosok-gosok lampu itu, lalu kembali asap mengepul dari ujung sumbu lampu. Asap itu kemudian berubah kembali menjadi jin lampu. Sang ibu benar-benar bingung. Ia tetap antara yakin dan tidak. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Aladin segera memasukkan kembali perhiasan itu kedalam empat kantong yang dibawanya. “Siapa itu?!” tanyanya keras. Ia kuatir itu pamannya.
“Ali!” sahut suara dari luar. Aladin segera menuju pintu. Dibukanya pintu. Wajah Ali yang penuh kekuatiran segera menyambutnya.
“Aku sungguh-sungguh kuatir padamu Aladin,” kata Ali. “Kemana saja engkau?” tanyanya.
“Masuklah dulu,” kata Aladin. Ali ditariknya masuk ke dalam rumah. Pintu kembali dikuncinya. “Duduklah dan jangan banyak tanya. Dengarkan saja ceritaku,” Aladin menceritakan lagi apa yang telah diceritakannya tadi pada ibunya. Ali hanya melongo-longo. Semakin melongo saat melihat perhiasan yang dibawa Aladin dan jin lampu memamerkan kemampuanya masuk ke dalam lampu mungil yang ditemukan Aladin.
“Engkau kaya raya kawan. Engkau bisa melamar Putri Jasmin kini,” kata Ali.
“Benar. Aku kaya raya sekarang. Aku dapat melamar Putri Jasmin sekarang. Maukah engkau melamar putri cantik itu untukku ibu?” tanya Aladin. Ibunya mengangguk-angguk, tetap dengan kebingungannya.
“Jin lampu, sediakan makanan buat kami sekarang. Aku sangat lapar. Ibu dan Ali pasti juga sangat lapar. Hidangkan makanan yang enak buat kami,” kata Aladin bersemangat.
“Perintahmu adalah tugasku. Ting,”
Berbagai hidangan lezat langsung terhidang di hadapan mereka. Makanan yang selama ini tak pernah bisa dirasakan oleh ketika orang miskin itu. Dengan lahap mereka menyantap makanan itu. Hingga kekenyangan dan tak dapat berkata apa-apa lagi. Jin lampu tersenyum bahagia melihat kebahagian tuan barunya yang tampan beserta keluarganya itu. Malam itu keluarga Aladin tidur dengan nyenyak. Mereka tidur diatas timbunan perhiasan yang berkilauan. Jin lampu masuk kembali ke dalam lampu. Iapun tertidur nyenyak di dalam sana.
Matahari bergerak naik. Aladin dan keluarganya sudah bersiap-siap diri. Mereka berniat untuk melamar Putri Jasmin hari itu. Pakaian indah sudah mereka kenakan pemberian jin lampu. Ibu Aladin sibuk mematut-matut bayangan dirinya di cermin buruk miliknya. Ia merasa senang dengan pakaian dan segala perhiasan yang dikenakannya hari itu.
Dengan permadani terbang mereka menuju istana. Jin lampu melayang disamping permadani terbang mendampingi perjalanan ketiga orang yang sedang berbahagia itu. Harta karun mereka bawa dalam peti besar yang indah. Harta karun itu akan mereka berikan sebagai persembahan untuk melamar sang putri.
Kemegahan istana sudah terlihat dari angkasa. Kubahnya menjulang tinggi. Berkilauan oleh pantulan cahaya matahari. Kubah itu terbuat dari emas. Sangat indah. Aladin dan ibunya juga Ali terkagum-kagum melihat kemegahan istana itu.
Akhirnya mendaratlah mereka di istana. Para pengawal kebingungan melihat kedatangan rombongan yang ajaib itu. Mereka belum pernah melihat sebuah permadani dapat menerbangkan orang. Singkat cerita, mereka berempat dihadapkan pada sang raja.
“Siapa kalian? Dan ada keperluan apa kalian mendatangiku kemari?” tanya sang raja dengan penuh wibawa.
“Kami adalah bangsawan dari selatan tuanku raja. Nama hamba Aladin, hamba datang kemari bersama dengan ibu dan Saudara hamba ini beserta seorang pengawal,” sahut Aladin. Jin lampu ditunjuknya sebagai pengawal.
“Kedatangan kami kemari adalah untuk melamar putri tuanku raja bagi putraku ini,” kata Ibu Aladin melanjutkan.
“Melamar putriku? Hahahaha,” sang raja tertawa terbahak-bahak. Aladin dan rombongan kebingungan. “Berani sekali kalian datang kemari untuk melamar putriku. Sudah banyak pangeran-pangeran kaya yang datang untuk melamar, namun semuanya ditolak oleh putriku. Lalu kalian datang kemari mengaku-ngaku sebagai bangsawan. Persembahan apa yang dapat kalian berikan kepadaku sehingga aku bisa mmpercayai bahwa kalian memang bangsawan dan layak melamar putriku,”
“Inilah persembahan yang kami bawa untuk tuanku,” kata ibu Aladin. Harta karun yang ditemukan Aladin kemudian digelar dihadapan sang raja.
Raja terkejut melihat perhiasan emas yang sangat banyak terhampar di hadapan matanya. Sifat materialistisnya langsung keluar. “Boleh juga persembahan yang kalian bawa. Namun terlebih dahulu aku akan bertanya pada menteri kepercayaanku. Panggil Jafar kemari dan juga putriku!” perintah raja pada pengawalnya.
Tak lama berturut-turut datanglah Putri Jasmin dan Jafar, menteri kepercayaan raja. Putri Jasmin terlihat senang melihat kedatangan Aladin. Lelaki yang pernah dilihatnya di pasar.
“Putriku, pemuda ini datang bersama ibunya untuk melamarmu. Bagaimana pendapatmu?” tanya raja.
“Hamba terserah keputusan ayahanda saja. Namun kalau hamba melihat pemuda ini kelihatannya baik,” sahut Putri Jasmin lembut. Dia menunduk malu-malu. Raja mengangguk-angguk. Aladin merasa senang mendengar tanggapan Putri Jasmin. Sementara wajah Jafar sang menteri terlihat sewot.
“Tuanku, maafkan hamba menyela,” kata Jafar.
“Ada apa Jafar?” tanya sang raja pada menterinya yang terlihat gagah itu.
“Tuanku, hamba rasa kita perlu mengetahui kekayaan pemuda ini dulu. Tuanku adalah raja paling kaya di muka bumi ini. Adalah sangat tidak pantas apabila tuanku memiliki menantu yang tidak jelas asal-usul dan kekayaannya,” kata Jafar sambil melirik tajam pada Aladin. Sesungguhnya Jafar ini juga mencintai Putri Jasmin. Ia tak rela apabila putri cantik itu menikah dengan orang lain. Karena itu selama ini ia selalu berusaha menghalangi apabila ada yang bernita melamar sang putri.
“Bagaimana maksudmu?” tanya raja.
“Tuanku, menurut hamba kita perlu mengetahui dulu, apakah Putri Jasmin nantinya akan tinggal di tempat yang layak baginya. Selama ini putri tuanku tinggal di tempat semegah ini, apakah pemuda ini memiliki tempat tinggal yang semegah istana tuanku. Hamba kuatir nantinya Putri Jasmin tidak betah tinggal di tempat yang tidak sesuai untuknya,” kata Jafar. Aladin semakin tak suka dengan menteri tampan itu. Sementara Putri Jasmin juga terlihat tak suka. Namun untuk membatah Jafar ia malu karena dianggap perempuan rendahan yang gila laki-laki. Ibu Aladin, Ali, dan jin lampu juga kesal mendengar ucapan Jafar.
“Benar juga katamu itu Jafar. Wahai pemuda apakah tempat tinggalmu semegah istanaku ini?” tanya raja.
“Tuanku, jika hamba memiliki tempat tinggal semegah tuanku, itu artinya hamba tidak menghormati tuanku raja. Namun demikian tempat tinggal hamba cukup megah tuanku. Tuanku raja dan Putri Jasmin hamba undang untuk melihat tempat tinggal hamba besok,” sahut Aladin mantap. Ibu Aladin dan Ali kaget mendengar jawaban Aladin yang nekat. Sementara jin lampu tenang-tenang saja.
“Baiklah, aku akan memenuhi undanganmu. Sekarang kalian boleh pergi. Persembahan kalian aku terima dengan senang hati,” kata sang raja materialistis.
“Kamu gila Aladin!” kata Ali dalam perjalanan pulang. “Tempat tinggal megah yang seperti apa yang engkau maksudkan?”
“Benar Aladin. Rumah kita hanya gubuk reyot seperti itu,” kata Ibu Aladin.
“Ibu dan Ali tenang saja. Bukankah kita memiliki jin lampu,” kata Aladin santai. “Jin lampu bisakah kau membuatkan aku istana yang sangat mirip seperti istana raja?”
“Tidak ada yang sulit buatku,” sahut jin lampu. Aladin tersenyum senang. Jin lampu benar-benar membuktikan apa yang dikatakannya. Setelah mengantarkan ibunya kembali ke rumah, Aladin bersama Ali dan jin lampu pergi mencari lahan kosong yang tidak dihuni orang untuk membangun istana buat Aladin. Setelah menemukan lahan kosong itu jin lampu mulai bekerja membuatkan Aladin istana yang sama megahnya dengan istana raja. Ali yang melihat pekerjaan jin lampu seorang diri membangun istana itu hanya terbengong-bengong. Dalam waktu semalam selesailah istana itu. Saat kokok ayam terdengar menyambut pagi di depan mata Aladin dan Ali sudah berdiri istana yang megah dan sangat mirip dengan istana milik raja.
“Gila, kau benar-benar luar biasa,” kata Ali memuji jin lampu. Ali terkagum-kagum melihat istana itu. Ia berkeliling melihat-lihat isi dalam istana. Tak sadar kalau Aladin dan jin lampu sudah tidak bersamanya lagi. Saat tersadar Ali sibuk mencari Aladin dan jin lampu.
Sementara itu Aladin dan jin lampu sudah asik bergumul di atas ranjang empuk di salah satu kamar istana itu. Atas pekerjaannya membuatkan istana, jin lampu meminta hadiah dari Aladin. Hadiahnya tak lain dan tak bukan adalah Aladin harus memuaskan birahinya. Dengan rela Aladin menyanggupinya. Saat Ali sibuk sendiri mengitari istana keduanya segera masuk ke dalam kamar dan memulai pergumulan birahi yang dahsyat.
“Ahhh… ahhh…. ahhhh…. Ahhhhh….,” jin mengerang-erang keenakan. Kedua tangannya berpegangan pada tiang tempat tidur. Sementara tubuhnya menungging seperti anjing. Dibelakangnya Aladin sibuk menggenjot-genjot dengan ganas sambil mulutnya menciumi punggung lebar jin lampu. Kedua tubuh kekar itu sudah basah kuyup bersimbah keringat. Bergerak-gerak memuaskan birahi mereka.
Sementara Ali terus sibuk mencari Aladin dan jin lampu. “Aladin, jin lampu. Dimana kalian?!!” teriaknya. Suaranya bergema di dalam ruangan istana megah nan luas yang tak berpenghuni itu. Satu per satu ruangan di periksanya sambil terus berteriak-teriak mencari. Hingga akhirnya pada satu ruangan Ali terkejut saat pintu ruangan itu dibukanya. “Aladin?!!!!!” serunya. Matanya membelalak. Di atas tempat tidur di dalam ruangan itu ia melihat pemandangan yang sangat tidak biasa baginya.
Aladin dan jin lampu tidur bersisian. Tubuh Aladin berada di belakang jin lampu. Kaki jin lampu mengangkang ke atas. Dibelakangnya Aladin sedang sibuk bergoyang pantat dengan cepat dan keras. Kontol Aladin didalam lobang pantat jin lampu. Bergerak keluar masuk dengan cepat dan keras. Sementara tangan Aladin sibuk mengocok-ngocok kontol jin lampu.
“Ahhh… ahhhh… ahhhh… ahhhh…,” keduanya mengerang-erang. Seruan Ali mengagetkan mereka. Erangan mereka terhenti. Kegiatan mereka terhenti. Masih dalam posisi seperti dilihat Ali, keduanya terkejut bukan alang kepalang.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Ali bingung. Matanya tak urung memandangi kontol keduanya yang besar.
Aladin segera melepaskan dirinya dari jin lampu. Dengan kontol masih mengacung keras didekatinya Ali. Kontolnya yang basah oleh ludah bergoyang-goyang seiring langkahnya. Mata Ali lekat menatapi kontol sahabatnya itu. Baru sekali ini ia melihat Aladin telanjang bulat seperti itu.
“Ali, duduklah. Aku akan menerangkannya padamu,” kata Aladin sambil menarik Ali untuk duduk di atas ranjang. Jin lampu pun ikut duduk bersila di atas ranjang. Aladin menceritakan segalanya tentang jin lampu. Ali mengangguk-angguk antara mengerti dengan bingung.
“Jadi……..engkau homosex ya Aladin?” tanya Ali.
“Tentu saja bukan. Jin lampu yang homosex. Aku hanya membantunya memuaskan birahinya. Jin lampu kan sudah menolongku, apa salahnya aku menolongnya,” sahut Aladin membela diri.
“Apakah engkau tidak merasa risih menggumuli laki-laki seperti dirimu juga?”
“Awalnya risih. Namun setelah merasakannya ternyata luar biasa nikmatnya. Tak ada salahnya kan memuaskan birahi bersama. Kami sama-sama puas,” sahut Aladin.
“Bagaimana dengan Putri Jasmin?”
“Ada apa dengannya? Aku tetap menyukainya. Aku yakin kontolku akan membuatnya terpuaskan,”
“Aku benar-benar bingung,” kata Ali. “Terserah kalianlah. Aku permisi dulu,”
“Mengapa terburu-buru. Kaupun bisa menikmatinya sekarang,” kata jin lampu mencegah Ali yang siap-siap untuk pergi.
“Maksudmu?” tanya Ali.
“Kita dapat melakukannya bertiga,” kata jin lampu tersenyum.
“Ya. Tentu saja. Mengapa tidak?” sahut Aladin gembira. Ali bingung. “Ayolah tak perlu ragu. Mari aku bantu melepaskan bajumu,” kata Aladin. Tangannya kemudian sibuk melepaskan pakaian Ali.
Pemuda itu benar-benar bingung. Ia seperti terhipnotis. Satu persatu pakaiannya lepas dari tubuhnya. Tubuhnya yang rammping kini terpampang di hadapan Aladin dan jin lampu. Putih bersih dan lumayan berotot. Ketiaknya bersih dari bulu. Jembutnya juga tidak terlalu lebat. Kontolnya yang masih tertidur menggantung diantara selangkangannya. Putih kemerahan. Jin lampu segera berjongkok di hadapan Ali. Mulutnya langsung menciumi kontol itu. Ali merinding.
“Ahhh. jangan….. jangan….,” katanya dalam erang. Namun tak ada usahanya untuk mengelak dari jin lampu.
“Nikmati saja,” bisik Aladin lembut. Aladin kemudian menuju ke arah belakang jin lampu. Tubuh kekar jin lampu kembali disuruhnya nungging. Rupanya Aladin ingin melanjutkan kembali entotannya di lobang pantat jin lampu.
Jin lampu segera memahami keinginan Aladin. Iapun merasa nanggung oleh sodokan lobang pantat Aladin. Segera ia menungging melebarkan paha sehingga kontol Aladin dapat dengan mudah menerobos lobang pantatnya. Sembari dientot mulut jin lampu sibuk mengulumi kontol Ali yang sudah menegang keras. Ketiganya kini asik menikmati permainan mesum sesama lelaki.
“Bagaimana Ali?” tanya Aladin sembari bergoyang-goyang pantat.
“Ahhhh… enak Aladin. Enak sekalihh…,” sahut Ali meringis malu.
“Mau yang lebih enak?” tanya Aladin lagi.
“Apa itu,”
“Aku entotin kamu seperti jin lampu,”
“Apa enggak sakit?”
“Awalnya sakit sedikit kan biasa. Buktinya jin lampu ketagihan dibeginiin,” sahut Aladin ia asik terus bergoyang. Gerakan pantatnya berbalasan dengan gerakan pantat jin lampu.
“Sepertinya enak ya ngentotin lobang pantat seperti itu Aladin,” kata Ali melihat Aladin keenakan.
“Enak sekali. Engkau ingin mencobanya?”
“Iya,” sahut Ali malu-malu.
“Kalau begitu silakan,” sahut Aladin. Dilepaskannya kontolnya dari lobang pantat jin lampu. Dengan penuh semangat Ali menuju ke belakang jin lampu. Dengan dibantu tangan Aladin, kontol Ali yang tidak terlalu besar berhasil masuk ke dalam lobang kenikmatan jin lampu. Ali mulai bergoyang-goyang.
“Ohhhhh… luar biasa… enakhh…,” katanya. Aladin tersenyum, jin lampu juga. Aladin kemudian berjongkok di belakang Ali.
“Li, kamu ngangkang sedikit. Aku ingin menikmati lobang pantat kamu yang masih perjaka ini,” kata Aladin. Ali yang sedang dilanda kenikmatan segera mengangkangkan pahanya. Tangan Aladin segerah melebarkan bongkahan pantat Ali. Lobang pantat Ali terlihat jelas oleh Aladin. Sangat rapat. Bentuknya seperti garis lurus yang berkeriput. Lidah Aladin segera menyapu lobang pantat itu.
Ali merinding. Sapuan lidah Aladin yang terasa basah dan hangat membuat darahnya berdesir. Aladin terus melakukan sapuan-sapuan. Sesekali jarinya menyodok-nyodok. Membuka celah sempit itu. Ali melenguh-lenguh.
Aladin terus melebar-lebarkan celah lobang pantat Ali. Usahanya cukup berhasil, dua jari Aladin kini bisa masuk menerobos celah sempit itu. Sodokan Aladin dirasakan Ali menambah kenikmatannya menggenjot. Ia semakin bernafsu.
Aladinpun semakin bersemangat mengerjai celah lobang pantat sahabatnya itu. Setelah sukses dengan dua jari, kini tiga jarinya mengobok-obok lobang kenikmatan Ali. Berulang-ulang Aladin meludahi celah pantat itu. Membuatnya licin dan lembab.
Tak ada komplain, tak ada penolakan dari Ali. Ia membiarkan saja Aladin sibuk merojok lobang pantatnya. Ali sibuk menikmati gesekan kontolnya di lobang pantat jin lampu. Rojokan Aladin semakin buas. Lobang pantat Ali dirasakannya semakin beradaptasi dengan tusukan benda panjang dan tumpul. Perkiraan Aladin, sahabatnya itu sudah siap untuk ditusuk dengan kontol. Aladin kemudian berdiri di belakang Ali. Kontolnya yang tegak digosok-gosoknya di celah buah pantat sahabatnya.
“Sekarang aku akan memberikanmu kenikmatan yang sesungguhnya,” bisik Aladin lembut di telinga Ali. Jemarinya melebarkan buah pantat Ali. Ujung kepala kontolnya digesekkan di celah lobang pantat Ali. Mulut lobang pantat Ali yang terbuka diterobosnya perlahan. Ali mengerang. Kepala kontol Aladin mulai menyusup ke celah lobang pantat itu.
“Ahhhhhh….,” Ali mengerang. Gerakan pantatnya berhenti. Ia kesakitan. “Sakittt sekalihh…,” katanya.
“Jangan dilawan. Tarik nafas dalam-dalam,” kata Aladin. Sementara tangan yang satu melebarkan buah pantat, tangan Aladin yang lain mencengkeram pinggang Ali yang ramping. Ini dilakukannya agar menghentikan gerakan pantat Ali yang berusaha menghindar. Kontol Aladin menerobos terus ke dalam.
“Ahhhhh…… sakitthhhhh,…..,” kata Ali lagi. Aladin tak peduli. Ia terus mendorong. Aladin sedang menikmati sempitnya celah lobang pantat Ali yang menjepit kontolnya. Sensasinya sangat luar biasa. Sangat berbeda dari lobang pantat jin lampu yang sudah longgar. Tanpa merasa kasihan Aladin terus menjebol keperjakaan Ali. Kontolnya yang gemuk dan panjang terus bergerak masuk. Lobang pantat Ali terasa penuh.
Diiringi erangan kesakitan Ali, Aladin menancapkan seluruh batang kontolnya ke dalam lobang pantat sahabatnya itu. Ali merasakan lobang pantatnya sangat perih. Kontolnya yang tadi keras di dalam lobang pantat jin lamu mulai lemas. Jin lampu yang tadi keenakan ditancapin kontol Ali yang mengeras menjadi hilang birahi. Kontol Ali dilepaskannya dari lobang pantatnya. Kemudian ia berjongkok di depan Ali. Kontol Ali yang lemas segera dihisapnya. Wajahnya terbenam di selangkangan Ali.
Aladin mulai bergerak pantat maju mundur. Kontolnya memompa lobang pantat Ali dengan cepat. Ali mengerang-erang. Matanya terpejam-pejam menahan sakit. Sementara di depannya, pada selangkangannya, jin lampu sibuk mengulum. Tiga pemuda gagah itu basah kuyup bersimbah keringat. Aladin terus mengentot tanpa rasa kasihan. Saat itu yang ada dibenaknya hanyalah mereguk kenikmatan dari celah lobang pantat sahabatnya itu.
“Ohhh… ohhhh… ohhhhh…. Ohhhhhh…. Ohhhhh…… ohhhhh……,” erang Aladin.
“Ahhh..... ahhh..... ahhhh....,” racau Ali antara sakit dan nikmat.
Akhirnya tiba juga orgasme Aladin. Seperti biasa tubuhnya kelojotan. Pantatnya menekan keras. Membuat kontolnya terbenam dalam-dalam di lobang pantat Ali. Sesaat kemudian dari lobang kencingnya menyemburlah sperma. Ali mendongak menikmati sensasi semburan itu. Matanya terpejam, bibir bawahnya digigitnya dengan gigi atasnya.
Entah karena sensasi semburan sperma Aladin, atau karena kuluman mulut jin lampu, atau memang karena sudah saatnya, Ali pun orgasme. Kontolnya berdenyut-denyut. Spermanya tumpah ruah memenuhi mulut jin lampu.
Jin lampu mengocok-ngocok kontolnya sendiri. Iapun ingin segera menuntaskan birahinya. Beberapa menit kemudian iapun orgasme. Spermanya tumpah berceceran membasahi lantai. Tiga pemuda itu kemudian ambruk di atas ranjang. Lelah, usai memacu birahi mereka yang binal.
Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, rombongan kerajaan tiba di istana Aladin siang harinya. Sang raja benar-benar takjub melihat istinana bikinan jin lampu itu. Sedemikian miripnya istana itu dengan istana kerajaan membuat raja mengira itu adalah istananya sendiri.
Sang raja yang punya sifat bawaan matre akhirnya langsung menyetujui lamaran Aladin pada Putri Jasmin, putri semata wayangnya. Segala hasutan Jafar sang menteri tak lagi dapat mempengaruhinya. Sang raja kemudian memerintahkan para menterinya untuk memeprsiapkan pernikahan antara Aladin dan Putri Jasmin secepatnya.
Sepekan kemudian raja melangsungkan pernikahan putrinya dengan Aladin di Istana kerjaan dalam sebuah pesta yang sangat megah. Tujuh hari tujuh malam lamanya. Seluruh negara-negara tetangga di undang memeriahkan pesta itu. Semua terlihat gembira dan bahagia. Ibu Aladin, Ali, dan juga jin lampu. Apalagi Aladin dan Putri Jasmin. Keduanya terlihat sangat bahagia dan senantiasa tersenyum di atas kursi pelaminan mereka. Keduanya asik bercanda-canda dalam kemesraan. Hanya ada satu orang yang tidak bahagia hari itu. Siapa lagi kalau bukan Jafar. Selama pesta berlangsung, ia sibuk memikirkan usaha untuk membalas sakit hatinya pada Aladin.
Tamat? Belum dong. Masih ada sekuelnya. Sabar ya.
Ringkasan Cerita Selanjutnya :
Jafar berusaha keras membalaskan sakit hatinya pada Aladin. Ia curiga dengan segala kekayaan melimpah yang dimiliki oleh pemuda itu. Kemudian ia melakukan penyelidikan terhadap Aladin. Penyelidikan Jafar mempertemukannya dengan Paman Aladin, Karim.
Dari Karim inilah ia mengetahui rahasia Aladin memperoleh kekayaannya dan juga tentang jin lampu yang mengabdi pada Aladin. Karena sama-sama merasa dirugikan oleh Aladin, maka Jafar dan Karim bersekutu. Keduanya bertekad kuat untuk merebut kembali apa yang mereka rasa sebagai hak mereka dari Aladin. Target Jafar adalah merebut Putri Jasmin sedangkan target Karim adalah merebut harta kekayaan dan lampu wasiat Aladin.
Adu licik dan strategipun dimulai diantara pergumulan birahi diantara mereka yang panas, liar, dan binal. Seru dan semakin menggairahkan.
Sahabat Karib Perwira
Betapa nikmatnya melakukan hubungan sejenis! Itulah fantasi dan obsesiku sejak awal remaja. Dan sekarang? Semua khayalan sudah jadi kenyataan.Hari-hariku adalah hari untuk menikmati kejantanan tubuh lelaki dari luar dan dari dalam. Apa yang tak bisa kucoba dan kunikmati? Kontol? biji peler? pejuh? jembut? ketiak? puting susu? lobang pantat? mulut? Sebagai tentara dan perwira, semua boleh kunikmati sepuas-puasku.
Aku beruntung berteman dengan Suadi. Dialah teman yang memperkenalkan aku pada nikmatnya hubungan sejenis dan juga mengajak aku masuk tentara, dengan mendaftar jadi taruna, setamat kami dari sekolah lanjutan atas.
Suadi orangnya ganteng dan berkumis, dia bertubuh tinggi besar. Selain wajahnya yang ganteng, kulitnya yang bersih, dan tubuhnya yang atletis, yang juga jadi favoritku sebagai cowok homo adalah rambut ketiaknya yang lebat! Yang membikin aku makin suka pada Suadi-ku adalah juga giginya yang putih dan tumbuh rapi.
Hawa mulutnya segar dan tak pernah tercium olehku bau keringat atau bau keteknya. Yang hampir selalu tercium olehku - sampai hafal baunya - adalah bau parfum deodoran-nya yang tak pernah aku ketahui apa mereknya. Cowok yang bau ketek dan bau jigong, "turn me off", artinya membikin aku tak berselera!
Pada waktu kami masih di bangku SLTA, Suadi sudah ganteng. Tapi ketika beranjak makin dewasa, Suadi makin menawan. Apalagi setelah jadi tentara, anggota polisi militer (PM atau POM) pula.
Kami satu angkatan selama dalam pendidikan perwira di akademi militer. Ketika tamat, aku ditempatkan di kesenjataan infanteri dan Suadi, cowok-ku itu justru jadi polisi militer! Aku sering bergurau. Ah, Suadi memang cocok jadi polisi militer, karena yang terpilih jadi polisi militer adalah mereka yang dada dan perutnya berbulu (dalam bahasa situs gay disebut "bear" alias " beruang") dan bulu keteknya aduhai.Padahal, Suadi dadanya mulus tidak berbulu, ketat berotot dengan dua puting susu yang nikmat, ketat-melenting seakan siap untuk diisap dan dijilat. Asyiik!
Walau pun banyak juga abggota polisi militer yang dada dan perutnya berbulu tetapi berbeda dengan dua orang provos POM di kesatuanku. Orangnya kekar dan berotot, dengan tekstur kulit yang jantan kelaki-lakian. Waktu ada kesempatan mandi dengan mereka, kulihat ketiak keduanya bersih dari rambut. Sedangkan jembutnya tumbuh sekedarnya saja. [Jadi gurauanku tidak tepat]. Nikmat sekali memandang mereka berdua sedang bertelanjang bulat, apalagi kontol mereka besar (gemuk)!
Aku kenal Suadi di SMA (sekarang SMU). Waktu masih di kelas satu SMA, pulang sekolah Suadi mengajak aku main di rumah- nya. Kamar tidurnya terletak di atas garasi dan praktis tak pernah didatangi orang kecuali Suadi dan seorang pembantu yang biasa menyapu dan mengepel kamar itu. Mula-mula kami ngobrol dan melihat-lihat majalah sambil berbaring di lantai kamar yang dialasi karpet. Lalu dia mulai membelai dan memeluk aku. Pada awal remajaku aku sudah tahu bahwa aku homo dan aku sudah sering berkhayal tentang hubungan seks sejenis.Oleh karena itu, ajakan manis Suadi aku terima bukan hanya dengan tangan terbuka saja , tetapi juga dengan selangkangan dan lobang pantat terbuka!
Pelukannya meningkat jadi ciuman, penelanjangan bersama dan akhirnya isapan pada kontol. Akulah yang memulai menghisap kontol jantannya yang besar dan nikmat. Ah, Suadi memang luar biasa.Kontolnya besar, sunatannya ketat dan jembutnya juga lebat, tak kalah dengan kelebatan rambut ketiaknya yang sedappp! Usia Suadi 2 tahun lebih tua dariku. Saat aku dan Suadi melakukan kecabulan untuk pertama kali, Suadi sudah dua tahun akil balik dan sudah sering keluar pejuh. Sedangkan, aku baru satu tahun biasa keluar pejuh. Meskipun sejak kecil aku sudah sering merangsang kontolku sampai ngaceng, jadi merah dan berkilat, walaupun saat itu belum memancarkan pejuh. Bahkan ketika aku baru sembuh sunat, aku bisa merasakan kehilangan kulup. Sebab di kontolku tidak ada lagi bagian kulup yang jika dirangsang rasanya senikmat rasa kulup, khususnya di bagian frenulum.
Jika taruna disunat secara militer (tanpa anestesi), maka bagian frenulum itulah yang paling pedih saat digunting tanpa anestesi. Karena banyak sekali ujung syaraf di situ.
Di akademi militer, waktu acara sunat militer taruna (bagi taruna yang belum sunat), maka waktu frenulum digunting, dengan sengaja direkam wajah taruna yang kesakitan dengan movie-camera pada proses pengguntingan frenulum. Adegan itu "paling indah", karena biasanya taruna yang disunat terkaget, menggelinjang kesakitan dengan tarikan mukanya yang kesakitan, tampak amat menderita karena rasa pedih yang luar biasa! Nikmat sekali aku melihatnya dan sangat membikin kontolku jadi ngaceng sampai memancarkan mazi (pre-cum)!
Setelah mengajarkan aku melakukan kecabulan sejenis, Suadi juga mengajak aku meningkatkan kesemaptaan jasmani agar lulus testing taruna. Dia pula yang mengajarkan aku untuk mengenakan kancut minim atau supporter waktu sedang loncat tali, push up dan sit up, angkat beban maupun oleh raga lainnya yang dilakukan di kamar tidurnya. Jika kami sudah mandi keringat akibat olaharga yang intens maka Suadi akan memeluk dan merangsang aku, kemudian diakhiri dengan saling kocok kontol atau saling isap kontol, bahkan sampai ke saling sodomi lobang pantat masing-masing! Pendeknya jika masuk kamar Suadi, rasanya tidak pernah pejuhku tidak muncrat berceceran kemana-mana di lantai atau karpet kamar Suadi!
Jogging, berenang, fitness, angka beban, belajar kami lakukan secara teratur dan kadang-kadang diseling dengan acara bercinta. Walaupun mempersiapkan diri secara cabul, tapi kami berhasil juga diterima jadi taruna di akademi militer. Kami jalani semua pembentukan yang selalu berbau penyiksaan dan perkosaan sepanjang tiga tahun penuh! Ketampanan Suadi membuat dia sering jadi bulan-bulanan dan penyiksaan para senior. Berkali-kali aku melihat Suadi sedang bergantung di rantai penyiksaan atau di tiang penyiksaan dengan tubuh lebam dan lecet. Nikmat sekali!
Sekarang, setelah jadi anggota POM, Suadi sempat belajar menyunat. Keterampilan inilah yang kelak dipakai untuk menyiksa tahanan. Dengan alasan yang dicari-cari dia biasanya berhasil mendapatkan data kesehatan tentang siapa tahanan yang belum sunat. Lalu sambil telanjang bulat ia akan menyunat tahanan yang belum sunat tanpa anestesi. Para tahanan itu juga disunat dalam keadaan telanjang bulat SEDDAPP!!
Aku beruntung berteman dengan Suadi. Dialah teman yang memperkenalkan aku pada nikmatnya hubungan sejenis dan juga mengajak aku masuk tentara, dengan mendaftar jadi taruna, setamat kami dari sekolah lanjutan atas.
Suadi orangnya ganteng dan berkumis, dia bertubuh tinggi besar. Selain wajahnya yang ganteng, kulitnya yang bersih, dan tubuhnya yang atletis, yang juga jadi favoritku sebagai cowok homo adalah rambut ketiaknya yang lebat! Yang membikin aku makin suka pada Suadi-ku adalah juga giginya yang putih dan tumbuh rapi.
Hawa mulutnya segar dan tak pernah tercium olehku bau keringat atau bau keteknya. Yang hampir selalu tercium olehku - sampai hafal baunya - adalah bau parfum deodoran-nya yang tak pernah aku ketahui apa mereknya. Cowok yang bau ketek dan bau jigong, "turn me off", artinya membikin aku tak berselera!
Pada waktu kami masih di bangku SLTA, Suadi sudah ganteng. Tapi ketika beranjak makin dewasa, Suadi makin menawan. Apalagi setelah jadi tentara, anggota polisi militer (PM atau POM) pula.
Kami satu angkatan selama dalam pendidikan perwira di akademi militer. Ketika tamat, aku ditempatkan di kesenjataan infanteri dan Suadi, cowok-ku itu justru jadi polisi militer! Aku sering bergurau. Ah, Suadi memang cocok jadi polisi militer, karena yang terpilih jadi polisi militer adalah mereka yang dada dan perutnya berbulu (dalam bahasa situs gay disebut "bear" alias " beruang") dan bulu keteknya aduhai.Padahal, Suadi dadanya mulus tidak berbulu, ketat berotot dengan dua puting susu yang nikmat, ketat-melenting seakan siap untuk diisap dan dijilat. Asyiik!
Walau pun banyak juga abggota polisi militer yang dada dan perutnya berbulu tetapi berbeda dengan dua orang provos POM di kesatuanku. Orangnya kekar dan berotot, dengan tekstur kulit yang jantan kelaki-lakian. Waktu ada kesempatan mandi dengan mereka, kulihat ketiak keduanya bersih dari rambut. Sedangkan jembutnya tumbuh sekedarnya saja. [Jadi gurauanku tidak tepat]. Nikmat sekali memandang mereka berdua sedang bertelanjang bulat, apalagi kontol mereka besar (gemuk)!
Aku kenal Suadi di SMA (sekarang SMU). Waktu masih di kelas satu SMA, pulang sekolah Suadi mengajak aku main di rumah- nya. Kamar tidurnya terletak di atas garasi dan praktis tak pernah didatangi orang kecuali Suadi dan seorang pembantu yang biasa menyapu dan mengepel kamar itu. Mula-mula kami ngobrol dan melihat-lihat majalah sambil berbaring di lantai kamar yang dialasi karpet. Lalu dia mulai membelai dan memeluk aku. Pada awal remajaku aku sudah tahu bahwa aku homo dan aku sudah sering berkhayal tentang hubungan seks sejenis.Oleh karena itu, ajakan manis Suadi aku terima bukan hanya dengan tangan terbuka saja , tetapi juga dengan selangkangan dan lobang pantat terbuka!
Pelukannya meningkat jadi ciuman, penelanjangan bersama dan akhirnya isapan pada kontol. Akulah yang memulai menghisap kontol jantannya yang besar dan nikmat. Ah, Suadi memang luar biasa.Kontolnya besar, sunatannya ketat dan jembutnya juga lebat, tak kalah dengan kelebatan rambut ketiaknya yang sedappp! Usia Suadi 2 tahun lebih tua dariku. Saat aku dan Suadi melakukan kecabulan untuk pertama kali, Suadi sudah dua tahun akil balik dan sudah sering keluar pejuh. Sedangkan, aku baru satu tahun biasa keluar pejuh. Meskipun sejak kecil aku sudah sering merangsang kontolku sampai ngaceng, jadi merah dan berkilat, walaupun saat itu belum memancarkan pejuh. Bahkan ketika aku baru sembuh sunat, aku bisa merasakan kehilangan kulup. Sebab di kontolku tidak ada lagi bagian kulup yang jika dirangsang rasanya senikmat rasa kulup, khususnya di bagian frenulum.
Jika taruna disunat secara militer (tanpa anestesi), maka bagian frenulum itulah yang paling pedih saat digunting tanpa anestesi. Karena banyak sekali ujung syaraf di situ.
Di akademi militer, waktu acara sunat militer taruna (bagi taruna yang belum sunat), maka waktu frenulum digunting, dengan sengaja direkam wajah taruna yang kesakitan dengan movie-camera pada proses pengguntingan frenulum. Adegan itu "paling indah", karena biasanya taruna yang disunat terkaget, menggelinjang kesakitan dengan tarikan mukanya yang kesakitan, tampak amat menderita karena rasa pedih yang luar biasa! Nikmat sekali aku melihatnya dan sangat membikin kontolku jadi ngaceng sampai memancarkan mazi (pre-cum)!
Setelah mengajarkan aku melakukan kecabulan sejenis, Suadi juga mengajak aku meningkatkan kesemaptaan jasmani agar lulus testing taruna. Dia pula yang mengajarkan aku untuk mengenakan kancut minim atau supporter waktu sedang loncat tali, push up dan sit up, angkat beban maupun oleh raga lainnya yang dilakukan di kamar tidurnya. Jika kami sudah mandi keringat akibat olaharga yang intens maka Suadi akan memeluk dan merangsang aku, kemudian diakhiri dengan saling kocok kontol atau saling isap kontol, bahkan sampai ke saling sodomi lobang pantat masing-masing! Pendeknya jika masuk kamar Suadi, rasanya tidak pernah pejuhku tidak muncrat berceceran kemana-mana di lantai atau karpet kamar Suadi!
Jogging, berenang, fitness, angka beban, belajar kami lakukan secara teratur dan kadang-kadang diseling dengan acara bercinta. Walaupun mempersiapkan diri secara cabul, tapi kami berhasil juga diterima jadi taruna di akademi militer. Kami jalani semua pembentukan yang selalu berbau penyiksaan dan perkosaan sepanjang tiga tahun penuh! Ketampanan Suadi membuat dia sering jadi bulan-bulanan dan penyiksaan para senior. Berkali-kali aku melihat Suadi sedang bergantung di rantai penyiksaan atau di tiang penyiksaan dengan tubuh lebam dan lecet. Nikmat sekali!
Sekarang, setelah jadi anggota POM, Suadi sempat belajar menyunat. Keterampilan inilah yang kelak dipakai untuk menyiksa tahanan. Dengan alasan yang dicari-cari dia biasanya berhasil mendapatkan data kesehatan tentang siapa tahanan yang belum sunat. Lalu sambil telanjang bulat ia akan menyunat tahanan yang belum sunat tanpa anestesi. Para tahanan itu juga disunat dalam keadaan telanjang bulat SEDDAPP!!
Subscribe to:
Posts (Atom)
Paling Populer Selama Ini
-
Pagi masih gelap saat kudengar ibu membangunkan aku yang terlelap. Seperti biasa aku hanya mengubah posisi berbaringku menjadi meringkuk. “T...
-
. Album Berikutnya
-
Sebagai penghuni baru di Kota ini, sore itu aku memutuskan untuk jalan-jalan di salah satu mall terkenal di daerah selatan Jakarta. Aku ingi...
-
Namaku Suryati, biasa dipanggil Yati. Sejak berkeluarga dan tinggal di Jakarta aku selalu sempatkan pulang mudik menengok orang tua di Semar...
-
---------- 1. Mature Gay Daddy - Oldermen Lihat Cuplikan Size: 44,11 MiB Duration: 00:11:20 Type: avi Video: 400x300 http://b93d...
-
Album Sebelumnya
-
Cerita lainnya tanpa gambar tapi tak kalah seru, klik aja ini
-
Untuk menghabiskan anggaran tahunan, perusahaan kami berniat membeli beberapa peralatan kantor berupa komputer dan beberapa perlengkapan lai...
-
(by: haus_lelaki@yahoo.com) Tugas kantor selesai. 10 hari di Biak jenuh juga. Masalahnya tidak mudah menemukan pasangan sesama lelaki unt...
-
(by: rustyryans@gmail.com) Siang itu memang terasa sangat membosankan,setelah hampir 2 minggu menghabiskan waktu liburan akhir semester ta...