6/16/2011

Sepenggal Kisah dari Gomorah I

Kupacu kudaku sekencang-kencangnya. Aku ingin secepatnya kembali ke klan ku. Tak sabar untuk menunjukkan kepada mereka hasil buruanku kali ini. Nasib sial rupanya hari ini bagi kijang besar yang kini terikat kuat di bahuku yang kokoh, tak mampu dia untuk mengelak dari hujaman anak panahku tadi. Ujung anak panahku yang tajam menancap sukses tepat di lambungnya. Tak apa-apalah kijang ini bernasib sial, yang penting klanku akan makan besar malam ini. Bapakku, Ibuku, dan Saudara-saudaraku pasti akan memujiku atas hasil buruanku ini. Mmmm, sudah terbayang dibenakku rasa kijang bakar yang sedap masakan ibu dan adik perempuanku. Dan seperti biasanya ibu akan mengerat bagian paha kijang yang besar dan empuk ini untuk diberikan khusus padaku.

Ahhh, benar-benar tak sabar untuk segera tiba di klanku. Kuhentakkan kedua kakiku di perut kudaku, memacunya untuk berlari lebih kencang lagi. Kijang besar yang sekarang sedang bergoncang-goncang dibahuku ini, sebenarnya cukup berat juga. Mungkin sekitar 80 sampai 90 kilogram beratnya. Tapi bagiku berat seperti itu tak ada artinya. Sejak kecil aku sudah terbiasa berburu, memanah, menombak dan pekerjaan berat lainnya yang biasa dilakukan laki-laki. Sehingga wajarlah bila tubuhku terbentuk dengan baik.

Diantara pemuda-pemuda di klanku lainnya, tubuhku memang paling kekar dan atletis. Disamping itu aku juga dianugerahi wajah tampan dengan rahang kokoh dan hidung mancung tegas. Sehingga tak aneh bila banyak yang mengagumiku.

Akhirnya aku tiba juga. Sudah terlihat tenda-tenda dikejauhan sana, itu adalah tempat tinggal anggota klanku. Dan seperti biasanya kulihat juga orang banyak berkumpul disana. Mereka menunjuk-nunjuk ke arahku. Pasti mereka sudah tak sabar ingin melihat hasil buruanku kali ini.

Semakin dekat jarakku dengan mereka. Semakin terlihat jelas wajah-wajah mereka menyambutku. Tapi kok tidak seperti biasanya. Tak ada wajah suka ria. Ada apa ini?

Ketika aku tiba di kerumunan anggota klanku, tidak seperti biasanya juga, kali ini mereka tidak berkumpul dan bersorak-sorak menyambut kedatanganku. Mereka malah meminggir dan memberi jalan padaku ke arah tenda Bapak.

"Seth," itu suara Noakh kakakku. "Kau ditunggu Bapak di tendanya," tak ada ekspresi gembira sedikitpun di wajahnya. Tak juga diperhatikannya kijang besar yang kubawa dengan susah payah ini. Ada apa ini?

Segera kuletakkan kijang itu di atas pasir, juga peralatan berburuku, busur dan anak panahnya yang tadi tersampir ditubuhku. Tanpa mengganti pakaian berburuku, segera aku menuju tenda Bapak. Kepalaku penuh dengan tanda tanya. Ada apa ini? Kenapa semua terlihat tegang?

Kusibakkan kain penutup tenda Bapak. Kulihat disana Bapakku menunduk tepekur. Sedangkan Ibuku menangis terisak-isak.

"Pak," suara baritonku pelan memanggil bapakku. Bapak dan Ibuku serentak memandangku. Ibuku penuh berurai air mata. Sedangkan Bapakku terdiam sesaat memandangku untuk kemudian dengan gayanya yang selalu bijaksana menyuruhku duduk didekatnya. Aku mendekatinya, kemudian duduk bersila dihadapannya. Kutundukkan wajahku, menunggu kata-kata keluar dari mulutnya. Aku sangat menghormati kedua orang tuaku. Sehingga kalau berbicara dengan mereka jarang aku memandang langsung kepada keduanya. Lama Bapak terdiam, yang terdengar hanya suara isakan Ibu. Hingga kemudian terdengar suara Bapak yang berat, pelan berkata kepadaku, "Tadi Tuan Enokh, Saudagar terkaya di Kota Gomorah menemuiku,"

"Deg," jantungku berdetak kuat mendengar kalimat pendek Bapak. Aku sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan Bapak selanjutnya. Rupanya tiba juga bagiku masa itu. Masa dimana Saudagar kaya dari kota datang ke desa untuk mencari pemuda-pemuda pilihan dan kemudian membawanya ke kota untuk dijadikan sebagai pelayan pribadinya. Pelayan pribadi yang harus memenuhi segala apa yang diinginkan oleh Sang Saudagar. Termasuk memuaskan nafsu seksual Sang Saudagar. Memang sudah menjadi tradisi di masyarakat Gomorah, juga Sodom, bahwa setiap orang-orang kaya atau pejabat di kota harus memiliki pelayan-pelayan pribadi para pemuda tampan dan perkasa. Semakin banyak pelayan pribadi yang mereka miliki maka semakin dihormatilah mereka.

Baru bulan lalu seorang Saudagar, juga dari Kota Gomorah, datang membawa teman sepermainanku sejak kecil, Lamakh, ke kota untuk dijadikan pelayan. Kini rupanya tiba juga giliranku.

Kata-kata Bapak selanjutnya mengalir seperti air tak terbendung. Ia mengatakan kepadaku kalau aku harus siap menerimanya, meskipun dihatinya sebenarnya Bapak tidak rela menyerahkanku sebagai pelayan. Tapi tradisi masyarakat sudah seperti itu. Bila Bapak menentangnya maka Bapak bisa dibunuh, atau dipenjara dengan segala macam siksaan yang dipersiapkan untuknya. Terakhir Bapak menutup kata-katanya dengan mengatakan bahwa besok sang Saudagar akan menjemputku.

Aku tak tahu kenapa bisa masyarakatku memiliki tradisi yang aneh seperti ini. Mengapa mereka tak cukup memuaskan nafsu seksualnya kepada perempuan-perempuan saja. Kenapa mereka juga punya hasrat pada laki-laki.

Malam itu acara makan-makan tetap diadakan. Tapi suasananya sungguh sangat berbeda. Suasananya seperti acara perpisahan untukku. Noakh, kakakku, banyak menasihatiku untuk bersabar. Ketika seusiaku dulu, dia juga pernah menjadi pelayan pribadi seorang pejabat di kota. Lima tahun dia mengabdi pada sang pejabat hingga kemudian dia kembali berkumpul bersama kami. Kini dia sudah menjadi kepala keluarga dan memiliki tiga orang anak-anak yang lincah.

Rasanya berat untuk berpisah, meninggalkan segala kenangan indah di klanku. Yang paling berat adalah berpisah dengan Rahel, gadis manis anak pamanku. Rasanya sejak kami mulai beranjak remaja aku sudah mulai menyukainya. Dan diapun kelihatannya suka padaku. Setiap bertemu denganku dia pasti akan menunduk dan tersipu-sipu malu. Ahhhhhh. Rasanya aku benar-benar tak ingin meninggalkan klan ini.

-----

Pagi-pagi aku sudah pergi ke sumur mata air, tempat gadis-gadis remaja klanku mengambil air sedikit-sedikit untuk dibawa ke tenda. Rahel pasti sedang ada disana.

Benar dugaanku, kulihat Rahel sedang berjalan menunduk meninggalkan sumur sambil memegangi sebuah tempayan berisi air yang diletakkan dibahunya. Kuhadang langkahnya. Rahel terkejut melihatku yang tiba-tiba ada didepan menghadang langkahnya. Begitu melihatku dia kembali menundukkan wajahnya. Kuambil tempayan yang sedang dibawanya dengan tangan kiriku.

"Pandang aku," kataku lembut padanya. Dia tetap menunduk, tak berani memandangku. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajahnya yang manis terlindungi oleh selendang yang menutupi kepalanya. Tangan kananku memegang dahunya, mengangkat wajahnya agar mendongak ke atas sehingga kami saling berpandangan. Kupandangi wajahnya lama. Kemudian kukatakan padanya dengan lembut, "Tunggu aku, aku pasti kembali untukmu,"

Kulihat Rahel hanya bisa mengangguk dengan mata berlinang air mata. Dibenaknya pasti terbayang apa yang akan aku lakukan di kota. Menjadi pemuas nafsu Enokh, Saudagar kaya yang sampai sekarang aku belum bisa membayangkanm seperti apa orangnya. Tapi biasanya yang namanya Saudagar itu pasti gendut, tua, dan tak menarik untuk dilihat. Ah, tak bisa kubayangkan aku bakalan memuaskan nafsu laki-laki gendut penuh lemak.

Kemudian aku peluk tubuh Rahel erat-erat. Rahel membenamkan kepalanya ke dadaku yang bidang. Sama sepertiku diapun pasti tak ingin berpisah denganku. Cukup lama kami berpelukan, hingga kemudian kudengar suara memanggilku. Kulepas tubuh Rahel, kemudian diapun meninggalkanku.

-----

Noakh, yang memanggilku.

"Ada apa?" tanyaku padanya.

"Enokh sudah datang, kau segera bersiap-siap kemudian ke tenda Bapak," kata Noakh padaku.

Tanpa banyak bicara lagi kukerjakan apa yang disuruh Noakh. Sambil berjalan ke tendaku, kulihat didepan tenda Bapak ada sebuah unta dengan sedekup diatas punuknya sedang duduk melepas lelah. Sementara disekitar unta tersebut dua pria kekar dan tampan sedang berdiri tegak sambil memgang tali kekang kuda masing-masing. Itu rupanya rombongan penjemputku.

Setelah aku selesai berbenah aku segera menuju tenda Bapak. Di dalam tenda kulihat seorang pria duduk dihadapan Bapak. Tak bisa kulihat wajah tamu itu, sebab dia sedang memunggungiku. Bapak yang melihatku sudah berdiri di depan tenda segera berkata pada tamunya,"Ini anak saya."

Tamu itu segera memutar tubuhnya ke arahku. Astaga bayanganku tentangnya ternyata salah besar. Enokh, ternyata bukan pria tua bangka, gendut berlemak seperti bayanganku. Saudagar yang sedang memperhatikanku dari atas kebawah ini masih muda. Mungkin usianya tidak terpaut jauh dari Noakh, kakakku. Tubuhnya tidak gemuk dan berlemak, tapi kokoh dan atletis. Serta wajahnya ternyata tampan. Tiba-tiba aku merasa bersyukur mendapat majikan seperti ini. Lho, kok tiba-tiba aku jadi bersyukur ya? Bersyukur untuk apa? Mungkin, karena ternyata bayangan burukku tentangnya tidak terbukti. Atau bersyukur karena dia berwajah tampan? Entahlah. Tapi kok sepertinya aku merasa nyaman ternyata yang membawaku adalah orang seperti Enokh ini.

Menjelang tengah hari, kami tiba di Kota Gomorah. Dari celah sedekup aku mengintip ke luar. Seperti yang pernah di ceritakan oleh Noakh padaku, Gomorah memang sangat ramai. Kata Noakh, sama ramainya dengan Kota Sodom. Sejak kecil, aku memang belum pernah keluar dari desaku. Mendengar cerita Noakh tentang dua kota itu, membuatku punya keinginan untuk mengunjunginya. Namun bukan kunjungan seperti ini yang pernah terbayang dibenakku dulu. Ah, kenapa nasibku seperti ini.......

Aku berada di tengah-tengah pasar kota rupanya. Kulihat di tepi jalan banyak pedagang menggelar dagangannya. Mulai dari hasil bumi, hewan, perhiasan, hingga budak-budak. Para pedagang budak menjual dagangannya secara lelang. Budak-budak muda, seumur denganku mungkin, ditawarkan pada pembeli yang ramai mengerumuni mereka. Para Pembeli budak itu adalah para pria-pria kaya di kota Gomorah.

Kasihan juga melihat budak-budak itu. Ditengah terik mentari yang menyengat mereka di jemur dengan hanya ditutupi oleh selembar kain penutup otot kelelakian mereka. Keringat yang membanjir menambah keseksian pada tubuh-tubuh mereka yang berotot bagus itu.

Pemuda-pemuda yang berwajah lebih tampan banyak ditawar oleh pembeli. Harga jual mereka pun lebih tinggi.

Tak lama kami tiba di rumah Enokh. Rumah yang besar, sangat besar malah. Belum pernah aku melihat sebuah rumah sebesar dan semewah ini. Di desaku tempat tinggal kami hanyalah tenda yang terbuat dari kain tebal.

Setelah aku turun dari atas unta, Enokh menyuruh pengawalnya membawaku pergi. “Bersihkan dia,” kata Enokh pada pengawalnya itu.

Pengawal Enokh membawaku ke belakang rumah. Ke sebuah ruangan yang didalamnya terdapat tiga orang pemuda sepertiku. Ketiganya hanya menggenakan selembar kain putih segi empat yang menutup kejantanan mereka. Tak ada diantara mereka yang berwajah jelek. Dan tak ada juga yang bertubuh kelebihan lemak. Tubuh mereka semuanya atletis.

Pemuda-pemuda itu tersenyum ramah menyambutku. Setelah berbicara sebentar dengan salah seorang pemuda itu, pengawal yang tadi membawaku kemari meninggalkan kami.

Selanjutnya ketiga pemuda itu mendekatiku. Kami saling memperkenalkan diri masing-masing. Yang tadi berbicara dengan pengawal adalah Moab. Sedangkan yang dua lagi bernama Habel dan Kenan. Tubuh Moab ramai dengan bulu-bulu halus, di dadanya yang bidang hingga perut, ketiak, lengan, paha, dan betis. Wajahnya yang tampan dihiasi rambut hitam pendek dan kumis serta cambang tipis yang melingkari bibirnya yang merah dan tipis. Habel miskin akan bulu. Bahkan ketiaknya pun bersih, tak berbulu. Rambutnya coklat kehitaman, sebahu. Sedangkan Kenan berambut pirang pendek. Ketiaknya lebat dengan bulu-bulu yang juga pirang seperti rambut dan kumisnya yang tipis.

Setelah berkenalan, mereka membawaku ke belakang ruangan itu. Tanpa permisi mereka bertiga mulai mempreteli pakaianku. Aku mencoba melawan, tapi tak ada artinya. Habel dan Kenan segera memegangiku kuat-kuat. Sementara Moab dengan cekatan menanggalkan seluruh kain yang melekat di tubuhku.

“Kami akan memandikanmu Seth,” kata Moab.

Tubuhku yang telanjang dimasukkan ke dalam bak berisi air yang harum. Aku hanya bias pasrah. Tak lagi melawan. Tangan-tangan mereka yang kekar masuk ke dalam bak. Menggosok-gosok tubuhku. Membersihkan tubuhku dari debu dan keringat yang melekat. Tak ada bagian tubuhku yang terlewatkan oleh mereka.

“Tuan Enokh akan menyukaimu kawan,” kata Habel.

“Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti.

“Batang besar milikmu inilah yang akan membuatnya menyukaimu,” Kenan yang menjawab, tangannya meremas kontolku. Aku kaget. Kutepiskan tangannya. Tepisanku tak diacuhkannya, ia tetap meremas batangku.

“Nikmati saja Seth, kau belum pernah meremas batang kontolmu sendiri ya?” Moab tersenyum padaku. Aku mengangguk antara malu dan bingung.

“Mulai sekarang, kau harus membiasakan diri kawan,” katanya lagi.

Selanjutnya, sementara Moab dan Habel menggosok-gosok tubuhku, si Habel asik meremas dan mengocok batang kontolku yang kini mengacung tegak. Aku kembali hanya bisa pasrah.

Kocokan tangan Habel di kontolku membuatku keenakan. Selama ini aku tak pernah mengocok kontolku sendiri. Aku baru tau kalo ternyata batang kontol ini apabila dikocok akan menimbulkan rasa enak seperti ini. Kupejamkan mataku. Menikmati rasa enak luar biasa yang kurasakan.

Tiba-tiba kurasakan sebuah kehangatan yang basah melingkupi daerah sekitar kepala kontolku. aku membuka mataku ingin mengetahui apa yang terjadi. Betapa kagetnya aku ketika melihat wajah ganteng Habel telah bersarang di sekitar selangkanganku.

Mulutnya penuh dengan kepala kontolku. Seperti tadi, aku juga mencoba melepaskan diri. Namun tak ada artinya, Moab memegangiku dari atas. Sementara Habel memegang pinggangku kuat-kuat. Mulut Habel mengisap batang kontolku dengan sebuah hisapan yang kuat. Aku merinding. Aku menggeliat. Aku keenakan. Keenakan oleh hisapan Habel ditambah kocokan tangan Kenan yang semakin menggila, semakin cepat. Tak bisa kutahan, mulutku mengeluarkan erangan-erangan.

No comments:

Post a Comment

Paling Populer Selama Ini