Copyright 2004, by Erwin
(Gadis dan Pria Tua, Keroyokan)
Nama saya Erwin (23 tahun), WNI keturunan yang tinggal di Bandung dan kuliah ekonomi manajemen di Universitas Maranatha. Kuliahku agak tersendat karena keranjingan membantu orang tuaku menjalankan usaha percetakan keluarga kami, jadi SKS-nya kuambil sedikit-sedikit biar tidak semrawut. Dalam materi aku sama sekali tidak ada masalah, begitupun halnya dalam pergaulan, statusku membuat orang-orang mudah dekat denganku, terutama wanita, sudah beberapa kali aku gonta-ganti pacar dan hampir semua pernah ML denganku. Orang tuaku sudah mempercayai perusahaan ini sepenuhnya padaku sehingga mereka bisa menikmati hari tuanya dengan santai dengan bepergian ke luar negeri atau mengunjungi sanak saudara lainnya. Aku mempunyai seorang cici yang sudah menikah dan ikut suaminya, jadi sekarang aku tinggal sendirian di rumah yang megah ini mengurus bisnis sekaligus kuliah.
Kejadian gila ini terjadi pada bulan Agustus 2004 yang lalu. Waktu itu aku baru putus dengan pacarku. Dalam kesepian itu kalau sudah tidak ada kerjaan aku menghibur diriku dengan nonton bokep, clubbing (tapi tidak sering karena besoknya harus bangun pagi-pagi, malu dong bos kesiangan), ataupun main internet berjam-jam.
Suatu hari aku membaca cerita-cerita ah-uh.tk. Di situ aku menemukan hiburan yang menggairahkan. Aku sangat terkesan dengan cerita-cerita karya penulis wanita seperti Lily Panther, Citra Andani, Dania, Deknas, dan lain-lain di mana wanita-wanita itu terlibat dalam seks liar. Ternyata wanita jaman sekarang tidak kalah berani dari pria.
Lalu aku sampai pada cerita berjudul “Kejutan Untuk Teman-temanku” yang memberiku inspirasi mengadakan acara gila ini. Terbayang-bayang dalam pikiranku di mana cewek putih cantik, sexy, dan imut dikerjai oleh cowok-cowok kasar, tua, hitam, dan jelek yang statusnya lebih rendah darinya. Sungguh suatu kekontrasan seks yang menggairahkan.
Aku kemudian mulai memikirkan rencana untuk mewujudkan fantasi liarku, rencanaku mencari cewek-cewek dari kalangan teman-temanku untuk diadu dengan buruh-buruh bawahanku. Yang pertama harus kulakukan adalah mencari ceweknya dulu, karena cukup sulit dan perlu lobi-lobi yang jitu, kalau untuk prianya itu sih nanti saja, kemungkinan menolaknya pasti kecil, cuma satu banding sepuluh.
Besoknya aku kuliah siang dan membicarakan hal ini dengan seorang teman wanita yang pernah ML denganku, hasilnya nol, ditolak mentah-mentah. Aku jadi malu dan hampir mengurungkan niatku, tapi bintangku mulai bersinar di waktu malam ketika ngedugem. Di sana aku bertemu Santi (22) dan Sandra (22) yang juga sefakultas denganku, mereka akrab denganku maka aku tanpa tendeng aling-aling mengutarakan maksudku pada mereka. Mulanya mereka merasa risih dengan ideku, tapi setelah susah payah kurayu-rayu, akhirnya Santi bangkit juga gairahnya membayangkan hal itu, sedangkan Sandra, meskipun masih ragu-ragu, akhirnya mengiyakan juga karena kudesak terus (duh…kaya salesman aja nih !). Setelah puas ngedugem, aku mengantar Santi pulang (Sandra naik mobil sendiri), sambil menyetir Santi sempat mengoralku sampai keluar dan dihisapnya habis.
Berikutnya aku mencari seorang lagi untuk lebih meriah, kutelepon beberapa teman yang pernah kencan denganku dan mereka-mereka yang bispak (bisa pakai). Dari tiga orang yang kuhubungi akhirnya ada juga yang setuju yaitu Ivana (23), mahasiswi Sastra Inggris yang pernah pacaran singkat denganku, kebetulan waktu itu dia baru putus dengan pacarnya. Phew…akhirnya jerih payahku dengan menebalkan muka tidak sia-sia. Kini tinggal mencari cowoknya, aku keliling pabrikku untuk menyeleksi kandidat yang pas, lima orang saja kurasa cukup, kalau terlalu banyak takutnya berabe, bisa ada kasak-kusuk ga enak. Sebentar saja aku sudah mendapatkan lima kandidat itu, pilihanku jatuh pada : Pak Andang, seorang buruh tua berumur lima puluhan yang telah bekerja sejak usaha kami masih kecil-kecilan, kurasa pantas dia menerima hadiah ini mengingat pengabdiannya, meskipun berusia senja dan sudah mulai beruban, tubuhnya masih tetap fit karena terbiasa kerja keras; Pak Usep, usianya sebaya dengan Pak Andang, sudah menduda, jadi kupikir inilah saatnya sekali-sekali memberi upah biologis padanya; Mang Nurdin, berusia empat puluhan, badannya kekar dan berisi, inilah yang menjadi pertimbanganku memilih dia; Mang Obar, tiga puluhan, tampangnya mirip tikus dengan kumis tipis, kurus tinggi seperti pohon kelapa; Endang, paling muda dari kelimanya, baru dua puluh tiga tahun, bekerja disini baru setahun lebih, tapi rajin dan kerjanya bagus, patut mendapat hadiah ini.
Seusai jam kerja aku memanggil mereka untuk bertemu secara pribadi di kantorku. Awalnya mereka bingung kok dipanggil mendadak seperti ada salah saja. Namun setelah aku menjelaskan maksudku selama beberapa menit, mereka hampir terlompat, antara kaget dan senang, seperti tidak percaya apa yang baru kutawarkan.
“Hah, serius nih tuan ?” Pak Andang dan Mang Obar bertanya hampir bersamaan
“Iya, siapa yang main-main, pokoknya kalian tinggal datang dan nge-jos, apa-apanya saya yang atur, dan satu hal lagi jangan sampai ada yang tau lagi selain kita, atau tidak sama sekali” jawabku meyakinkan.
Seperti yang kuduga, tak satu pun dari mereka ragu atau menolak, tidak sesulit mengajak para ceweknya. Ya, sifat dasar pria lah, siapa sih yang bisa melewatkan kesempatan emas gini lalu begitu saja, apalagi kalau soal perempuan, bahkan Raja Daud yang bijak itu saja tidak bisa menghindar dari godaan seksual, ya kan !
Sebenarnya menurut rencana harusnya besok bisa mulai, tapi karena Santi meng-SMS bilang bahwa ada tugas kuliah yang harus diselesaikan, terpaksa acara ditunda besok lusa. Duh, aku jadi agak bete, tidak sabar menunggu hari esok, satu jam jadi terasa setahun karena sudah kebelet. Malamnya aku sampai masturbasi saking bergairahnya, tapi sisi positif dari tertundanya acara ini aku bisa mempersiapkan segalanya lebih baik. Ketiga pembantu wanitaku kubebastugaskan hari itu, yang kebetulan sehari sebelum hari kemerdekaan RI, kusuruh saja mereka berkunjung ke sanak saudaranya atau kemana kek, pokoknya tidak mengganggu acara gilaku. Kupompa kasur udaraku yang empuk (beli dari Dr. TV, hehe..promosi nih ceritanya?) dan kuletakkan di ruang tamu sebagai arena pertarungan nanti.
Akhirnya sampai juga hari-H itu, sekitar pukul dua siang aku sudah membereskan segala dokumen yang harus kutangani, sisanya, pekerjaan kecil lainnya kuserahkan pada staffku. Saat itu sudah ada SMS masuk dari Ivana yang mengatakan bahwa dia sudah datang dan sedang menunggu di depan kediamanku.
“Pagi-pagi amat dia datang, baru juga jam segini” pikirku. Aku pun segera menuju ke rumahku yang terletak di samping pabrik, dibatasi dua buah gerbang kayu. Aku memasuki pekarangan rumahku, disana Ivana sedang jongkok mengelus-elus si Buster, kelinci peliharaanku.
“Hoi, Na, cepat amat kesininya, kan gua bilang jam limaan sesudah bubar kerja” sapaku
“Tanggung, kalo pulang, nanti harus bolak-balik jauh lagi” jawabnya
“Naik apa kesini ?”
“Tadi nebeng si Stephanie kan dia di Lingkar Selatan sana”
Hari itu Ivana terlihat cantik sekali, kaos ketatnya tanpa lengan dan celana panjang sedengkulnya semua serba putih, rambutnya yang panjang diikat ekor kuda. Walaupun pernah putus denganku akibat ketidakcocokan sifat, namun kami masih berteman baik, bahkan terkadang kita melakukan hubungan badan. Secara fisik, dia termasuk perfect, buah dadanya sedang saja, standar cewek Asia, tubuhnya langsing bak biola, dia juga jago dancing dan piano.
Kuajak dia masuk ke rumah, disana kami menonton DVD Troy sambil ngobrol dan makan snack menunggu waktu bubaran pabrik. Ketika film lagi seru-serunya, tiba-tiba intercom berbunyi, ada urusan di pabrik yang memintaku datang.
“Gimana sih nih orang-orang, masih butuh gua juga !” omelku dalam hati
“Lu nonton sendiri dulu, gua ada perlu dulu nih, sori yah”
Huh, ternyata cuma ada dokumen yang perlu kutandatangan, cuma itu saja, itulah kenapa aku tidak mengatur acaranya jam segini, ya banyak gangguan seperti ini loh. Aku memeriksa sejenak kegiatan di pabrik, setelah yakin tidak ada apa-apa lagi aku pun kembali ke samping. Waktu keluar dari sana, kulihat Vios hitamnya Santi sudah ada di halaman pabrik. Aku menengok arlojiku, wah…sudah mau jam setengah lima, ga kerasa ya, cepat amat, berarti sebentar lagi pesta gila-gilaan ala Kaisar Caligula akan segera dimulai hehehe…aku jadi ngeres.
“Lho, si Santi mana, tadi ada mobilnya di depan ?” tanyaku pada Ivana karena tidak melihat Santi di rumah
“Tuh, lagi ke WC, masih lama ga nih acaranya Win, gua udah deg-degan nih ?” tanyanya
“Bentar lagi kok, jam lima baru bubar, rileks aja Na, ga usah tegang gitu, ntar juga enjoy” kataku
“Yo, San darimana aja, you are so hot today !” sapaku begitu keluar dari kamar mandi.
Waktu itu Santi memakai tank-top merah yang talinya diikat ke leher dan membiarkan setengah punggungnya terbuka. Bawahnya memakai rok yang mini dari bahan jeans ungu memamerkan pahanya yang putih mulus. Aku terpana beberapa detik menatap tubuh mulus Santi yang tinggi semampai (170cm), wajahnya cantik ala oriental namun ekspesinya agak dingin, sehingga sering terkesan jutek bagi yang belum kenal dekat dengannya, tapi kalau akrab dia enak diajak bicara, blak-blakan dan pendengar yang baik, setahuku dia ini orangnya pilih-pilih dalam memilih patner sex, tapi mau saja menerima tantanganku ini, entah dia yang kepingin atau diplomasiku yang hebat.
“Dari rumahlah, masa dari kampus pake baju glamor gini, eh tinggal si Sandra ya yang belum ada ?” jawabnya
“Iya belum tuh, ga ada berita lagi, tadi gua telepon HPnya ga dinyalain”
“Lu pake ginian bikin gua kepanasan nih San” kataku sambil memandangi dirinya, dibalik celanaku, adikku juga mulai bangun. Tak dapat menahan diri lagi, langsung kupeluk tubuh Santi, tanganku menggerayangi pahanya sambil menyingkap roknya, lalu telapak tanganku bergerak ke belakang meremas pantatnya yang montok.
“Nngghh…buru-buru amat sih, ntar aja ah !” katanya antara menolak dan menerima.
“Sori San…dikit aja, lu bikin gua nafsu sih” sahutku seraya memagut lehernya.
Rambutnya yang pendek model Utada Hikaru memudahkan aku menjilati lehernya yang jenjang hingga ke tenguknya. Dari sana bibirku menjelajah secara erotis ke dagu, pipi, hingga mencaplok bibirnya yang tipis. Dengan kedua tangan meremas pantatnya, aku menciuminya dengan panas, nafas kami yang memburu terasa pada wajah masing-masing. Perhatian Ivana pada layar TV jadi tersita ke arah mantan pacarnya yang berciuman dengan penuh gairah dengan temannya. Dia menatapi kami tanpa berkedip dan terlihat gelisah, tangannya secara sembunyi-sembunyi meremas payudara sendiri. Aku yakin cintanya padaku masih tersisa sedikit walaupun cuma lima persen, dan hal itu tentu menimbulkan sensasi cemburu yang membuatnya horny.
Santi pun mulai merespon dengan meremas selangkanganku yang sudah menonjol. Lagi enak-enak ber-French kiss, tiba-tiba bel musikku berbunyi, kami melepaskan diri. Hhmm…siapa ya, Sandra atau para bawahanku ? Pintu kubuka, ternyata para buruhku, lima-limanya pula, aku memberitahukan bahwa cewek-ceweknya sudah datang tapi dari tiga baru dua yang datang, kuminta agar mereka bisa berbagi jatah dengan adil.
“Ini beneran kan tuan ? kita ga usah keluar uang kan ?” si Endang seakan masih tak percaya, aku cuma mengangguk meyakinkannya.
“Udahlah ga usah banyak bacot, enjoy aja euy !” Pak Usep menepuk punggung pemuda itu.
Kubawa mereka ke ruang tengah dan kupertemukan dengan para cewek. Ivana terlihat nervous, dia tetap duduk di sofa dan memberi senyum dipaksa ketika kuperkenalkan buruh-buruhku satu per satu. Sedangkan Santi, meskipun agak gugup, namun lebih luwes, dia berdiri menyambut kedatangan mereka bahkan menyalami mereka waktu keperkenalkan. Ketika Mang Obar dengan nakal mencolek pantatnya pun, dia membalasnya dengan senyum menggoda.
Setelah saling kenal dan basa-basi sejenak kupersilakan mereka memilih sesuai selera mereka, dengan ini pesta resmi kubuka. Pak Usep dan Endang sepertinya lebih memilih Ivana, mereka pun menghampirinya dan duduk disofa mengapit kanan dan kirinya. Sedangkan sisanya yang memilih Santi mulai berdiri mengerubunginya. Aku sendiri duduk di sebuah sudut yang strategis untuk menyaksikan the hottest live show ini.
Nah, pembaca, dari sini aku sempat bingung bagaimana menguraikan kedua adegan ini secara lengkap dan detail, karena tidak seru kan kalau aku hanya menguraikannya sekilas-sekilas. Akhirnya setelah kupikir-pikir aku memutuskan menceritakannya per adegan plus berdasarkan penuturan mereka, supaya lebih fokus dan pembaca pun turut menghayati kenikmatan yang kurasakan waktu itu, semoga metode berceritaku ini memuaskan pembaca sekalian, aku akan memulainya dengan adegan Santi.
Santi dikerubungi ketiga orang itu Santi nampak tegang, namun dia menutup-nutupi ketegangan itu dengan senyumannya dan juga menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, terkadang mereka mengajukannya pertanyaan nakal yang membuat wajahnya memerah tersipu-sipu. Pak Andang mulai berani mengelusi punggung Santi yang terbuka.
“Eeemm…geli Pak !” desahnya menggoda.
“Masa digituin aja geli sih Neng, gimana kalo diginiin ?” Mang Obar meremas payudaranya.
Tangan-tangan kasar itu mulai menggerayanginya. Mang Nurdin juga mulai merayapi lekuk tubuh Santi sambil menyingkap rok mininya, paha mulus itu dia raba-raba, tangannya makin merayap ke atas hingga menyentuh selangkangan Santi yang masih tertutup celana dalam biru langit.
“Bapak buka bajunya ya, Neng?”
Tanpa menunggu jawaban Santi, Pak Andang membuka tali leher yang menyangga pakaiannya. Santi tidak memakai bra karena tank top itu mempunyai cup dada didalamnya sehingga begitu melorot payudara montok dengan puting kemerahan itu langsung terekspos. Pak Andang dan Mang Obar mencaplok masing-masing kiri dan kanannya. Mang Nurdin kini berjongkok sedang mengagumi keindahan paha Santi yang jenjang dan mulus itu, tangannya tak henti-hentinya mengelusi paha itu.
“Neng, pahanya mulus amat…putih lagi” puji Mang Nurdin sambil menjilatnya.
Yang tak kalah menarik tentu bagian pangkalnya dan kini tangan Mang Nurdin telah sampai kesitu membelai kemaluannya dari luar. Jari-jarinya lalu menyusup lewat tepi celana dalamnya. Mang Obar mengenyot payudara kanannya. Santi menengadah dengan mata terpejam, mulutnya mengap-mengap mengeluarkan desahan. Dia telah mabuk birahi. Tubuhnya menggelinjang saat Mang Nurdin menggosok vaginanya dengan jari-jarinya sampai terlihat bercak cairan vaginanya di tengah celana dalamnya.
“Pak Andang, disana aja atuh. Cape dong berdiri melulu?” kataku menunjuk kasur pompa yang terletak tak jauh dari situ.
Mereka pun menggiring dan merebahkan tubuh Santi di kasur empuk itu, lalu pakaiannya dilucuti satu persatu hingga tak tersisa apapun lagi di tubuhnya. Tampaklah tubuh mulus Santi yang berpayudara kencang, berperut rata, dan kemaluannya yang masih rapat ditumbuhi bulu-bulu yang tidak terlalu lebat dan tercukur rapi. Setelah menelanjanginya, mereka juga membuka baju masing-masing. Tiga batang kemaluan mengarah padanya bak meriam yang siap menembak, Santi sampai terpana menatap ketiga senjata yang akan segera “membantainya” itu. Ketiganya kembali mengerubungi Santi yang terlihat nervous dengan menutupi kemaluan dan payudaranya dengan tangan.
“Hehehe…si neng malu-malu gini bikin saya tambah nafsu aja ah!” kata Mang Nurdin mengangkat tangan kiri Santi yang menutup payudaranya.
“Wah ternyata bodynya amoy bagus banget ya!” kata Mang Obar yang tangannya mulai menjelajahi tubuh mulus itu.
Pak Andang menciumi payudara kanannya sambil tangannya meraba-raba kemaluannya. Dijilatinya seluruh gunung itu sampai basah lalu dengan ujung lidahnya dia main-mainkan putingnya. Jantungku berdebar-debar dan mataku melotot menyaksikan adegan itu, ditambah lagi adegan pada sofa di hadapanku dimana tubuh telanjang Ivana sedang dijilati dan digerayangi. Aku membuka celana pendekku dan mengeluarkan penisku lewat pinggir celana dalam lalu mulai memijatnya, ini jauh lebih spektakuler dari film bokep dengan artis tercantik sekalipun.
Mang Nurdin mencium dan menjilat leher jenjang Santi sambil mengusap-usap payudara satunya, lalu ciumannya bergerak ke atas menggelikitik kupingnya menyebabkan Santi menggeliat dan mendesah nikmat. Dari telinga mulut Mang Nurdin memagut bibir Santi, mulut lebar dengan bibir tebal itu seolah mau menelan bibir Santi yang mungil lagi tipis. Sekonyong-konyong terdengar kecipak ludah dari lidah mereka yang beradu. Santi nampak sudah tidak merasa risih lagi. Yang dirasakannya sekarang adalah birahi yang menggebu-gebu akan pengalaman barunya ini, terlihat dari matanya yang terpejam menghayati permainan ini. Sikapnya yang semula pasif mulai berubah dengan meraih penis Mang Nurdin dalam genggamannya.
Mang Obar sedang berlutut diantara kedua paha Santi, tapi dia belum juga mencoblosnya. Agaknya dia masih belum puas bermain-main dengan tubuh mulus itu. Sekarang dia sedang membelai-belai tubuh bagian bawahnya, terutama pantat dan kemaluannya. Dia mengangkat paha kiri itu, lalu menciumi mulai dekat pangkalnya, terus turun ke betis, pergelangan, dan akhirnya dia emut jari kaki yang lentik itu. Lagi enak-enak nonton live-show sambil ngocok, tiba-tiba ada SMS masuk, kuraih HP-ku, oh…si Sandra, hampir lupa aku sama anak ini saking asyiknya, pesannya berbunyi demikian :
“Win, pstanya jd g? psti lg asyk y? sori nih tlat, td diajak tmn jln2 sih, kl stgh7 gw ksana msh bsa g?”
Brengsek bikin orang nunggu aja, mana datangnya telat banget lagi, tapi aha…terbesit sebuah cara untuk menghukumnya, hihihi…aku nyeringai sambil mereply SMS-nya
“Gile tlat amt sih, y dah u dtg aja, mngkin msh kburu, kl g kta skalian mkn mlm aja, ok”
Wow, kini Santi sedang menjilati secara bergantian penis Pak Andang dan Mang Nurdin yang berlutut di sebelah kiri dan kanan kepalanya. Sementara itu Mang Obar menjilat serta menusuk-nusukkan lidahnya ke dalam vagina Santi, rangsangan itu membuatnya sering mengapitkan kedua paha mulusnya ke kepala Mang Obar. Kini Santi membuka mulut dan mendekatkan kepalanya pada penis Pak Andang, setelah masuk ke mulutnya, dia mulai mengulum benda itu dengan nikmatnya sambil tangan kanannya mengocok pelan penis Mang Nurdin.
Tak lama kemudian Mang Obar menghentikan jilatannya dan merentangkan paha Santi lebih lebar, dia bersiap memasukkan penisnya. Santi juga menghentikan sejenak oral seksnya, menatap penis yang makin mendekati bibir vaginanya dengan deg-degan.
“Pelan-pelan yah, Mang. Saya takut sakit abis kontol Mang gede gitu!” ucap Santi memperingatkan.
“Tenang aja Neng, Mamang ga bakal kasar kok!” hiburnya sambil mengarahkan senjatanya ke liang senggamanya.
Nampaknya Mang Obar kesulitan memasukkan penisnya ke dalam vagina Santi karena ukurannya itu, maka dia lakukan itu dengan gerakan tarik-dorong.
“Aakkhh…nggghhh…sakit !” rintih Santi menahan rasa nyeri, padahal penis itu belum juga masuk seluruhnya.
“Masa pelan gitu sakit sih, Neng?” kata Pak Andang yang memegangi tangannya sambil membelai payudaranya.
“Mungkin si Neng aja yang memeknya kekecilan kali!” sahut Mang Nurdin cengengesan.
“Aaaaahhh…” jeritnya saat Mang Obar menghentakkan pinggulnya ke depan hingga penisnya terbenam seluruhnya ke dalam liang itu. Selanjutnya, tanpa ampun dia menggenjotnya dengan buas tanpa menghiraukan perbandingan ukurannya dengan vagina Santi. Sementara di kiri dan kanannya kedua orang itu tak pernah berhenti menggerayangi tubuhnya.
Mang Nurdin dengan mulutnya yang lebar menelan seluruh susu kanannya yang disedot dan dikulum dengan rakus. Pak Andang menelusuri tubuh itu dengan lidahnya, bagian-bagian sensitif tubuh Santi tidak luput dari jilatannya. Santi mendesah-desah tak karuan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tubuhnya menggelinjang hebat.
Sebentar saja Santi sudah mencapai klimaks, badannya menegang dan menekuk ke atas, desahannya makin hebat. Namun Mang Obar masih belum keluar, dia menaikkan kedua betis Santi ke bahunya dan memacu tubuhnya makin cepat sampai menimbulkan bunyi kecipak. Akhirnya dia menggeram dan menyemprotkan spermanya di dalam vagina Santi, cairan itu nampak menetes dari daerah itu bercampur dengan cairan kewanitaannya.
Santi hanya sempat beristirahat kurang dari lima menit sebelum giliran Pak Andang mencicipi vaginanya. Mula-mula dia meminta Santi membasahi penisnya dulu, setelah dikulum sebentar, dia menindih Santi sambil memasukkan penisnya, pinggulnya mulai bergerak naik-turun diatas tubuhnya, Santi yang gairahnya mulai pulih juga ikut menyeimbangkan irama goyangannya. Pak Andang melumat bibir mungil Santi yang mengap-mengap itu meredam desahannya. Waktu itu aku sudah keluar sekali, kuambil tissue mengelap tanganku yang basah. Mang Obar mengambil aqua gelas yang kusiapkan dan meminumnya, dia duduk di sofa sebelahku.
“Gimana Mang, sip ga ?”
“Enak banget Bos, Mamang ga pernah mimpi bisa dapet kesempatan ini, sering-sering bikin yang kaya gini ya!” komentarnya dengan antusias.
“Tenang Mang, jangan boros tenaga dulu, ntar masih ada satu lagi loh!” nasehatku. Kemudian aku menjelaskan apa yang harus dilakukan pada Sandra kalau dia datang nanti.
Pak Andang tiba-tiba menggulingkan tubuhnya sehingga Santi kini diatasnya. Dia lalu menegakkan badan sambil terus menaik-turunkan pinggulnya diatas penis yang mengacung bagai pasak itu. Terkadang dia memutar-mutar pinggulnya sehingga penis itu mengaduk-aduk vaginanya. Matanya merem-melek dan mulutnya mengeluarkan desahan nikmat. Keringat telah membasahi tubuhnya, menempel di dadanya seperti embun, juga menetes-netes dari mukanya.
Mang Nurdin berdiri di sebelahnya lalu mendekatkan penisnya yang masih keras ke mulutnya. Santi mulai menjilatinya dimulai dari kepalanya yang disunat hingga seluruh permukaan batang itu. Buah zakarnya yang besar dia emut beberapa saat.
“Uuuhh…ayo Neng, enak gitu…mmm!” desah Mang Nurdin semakin hanyut dalam lautan birahi. Santi tidak malu-malu lagi mengemut penis itu sambil mengocoknya dengan satu tangan. Payudaranya bergoyang-goyang naik-turun seirama gerak tubuhnya. Dengan gemas Pak Andang menjulurkan kedua tangannya mencaplok gunung kembar itu serta meremasnya.
Saat itu Endang baru saja selesai dengan Ivana. Setelah menyemprot perut Ivana dengan spermanya dia minum dulu dan langsung menuju Santi. Sementara itu Mang Obar mulai mencicipi Ivana. Endang duduk di sebelah kanannya dan meminta ijin Pak Andang yang sedang menguasai kedua payudaranya untuk memberinya jatah satu saja. Sepertinya dia menggigit putingnya karena badan Santi mengejang dan mendesah tertahan di tengah aktivitasnya mengoral Mang Nurdin. Dia mengenyot dan kadang menarik-narik puting itu dengan mulutnya.
“Ooohh…isep Neng…iseepp!!” tiba-tiba Mang Nurdin mendesah panjang dan makin menekan kepala Santi ke selangkangannya. Spermanya menyembur di dalam mulut Santi. Mungkin karena badannya berguncang-guncang, hisapan Santi tidak sempurna. Cairan itu meleleh sebagian di pinggir mulutnya. Mang Nurdin beranjak pergi meninggalkan Santi setelah di-cleaning service. Diambilnya segelas aqua dari meja untuk diminum.
Tiba-tiba goyangan Santi makin gencar lalu berhenti dengan tubuh mengejang. Kepalanya menengadah sambil mendesah panjang. Kedua tangannya memegang erat lengan Pak Andang. Dia telah mencapai klimaks, tapi Pak Andang belum. Dia terus menghentakkan pinggulnya ke atas menusuk Santi.
Tubuh Santi melemas kembali dan ambruk ke depan menindihnya. Saat itu Endang sudah pindah ke belakangnya. Dia meremas pantat yang sekal itu sambil mengorek duburnya. Kemudian dia menindihnya dari belakang. Tangannya menuntun penisnya memasuki liang dubur itu diiringi rintihan pemiliknya. Tubuh Santi kini dihimpit kedua buruh itu seperti sandwich. Kedua penis itu menghunjam-hunjam kedua lubangnya dengan ganas.
“Ooohh….oooh…aakkhh !” gairah Santi mulai bangkit lagi. Vaginanya berdenyut-denyut memijat penis Pak Andang yang sudah di ambang klimaks. Pak Andang lalu melenguh panjang menyemburkan maninya di dalam vagina Santi. Akhirnya dia terbaring lemas di kolong tubuh Santi dengan nafas terengah-engah.
Setelah ditinggalkan Pak Andang, Santi cuma melayani Endang. Pemuda ini lumayan brutal mengerjainya sehingga dia menjerit-jerit. Duburnya disodok-sodok sementara payudaranya yang menggantung diremas dengan kasar. Hal ini berlangsung sekitar sepuluh menit lamanya sampai keduanya klimaks. Sperma Endang tertumpah di pantatnya sebelum keduanya ambruk tumpang tindih. Keadaan Santi sudah babak-belur. Tubuhnya bersimbah peluh. Bekas-bekas cupangan masih terlihat pada kulitnya yang mulus. Sperma bercampur cairan kewanitaan meleleh dari selangkangannya. Aku jadi kasihan melihatnya, maka aku menghampirinya dengan membawa air dan tissue. Kuangkat tubuhnya dan kusandarkan pada lenganku. Dengan tissue kuseka keringat di dahinya. Minuman yang kuberikan langsung diteguknya habis.
“Udah ya San, kalau dah ga kuat jangan dipaksain lagi, ntar pingsan lu!” saranku. Namun dia cuma tersenyum sambil menggeleng.
“Ga apa-apa,” katanya. “Cuma perlu istirahat sedikit.”
Dia juga bilang rasanya seperti diperkosa massal saja barusan itu. Waktu itu Pak Usep menghampiri kami bermaksud menikmati Santi, tapi kusuruh dia bersabar karena kondisinya belum fit.
Karena tubuh Santi yang sudah lengket-lengket itu, aku menyuruhnya mandi agar lebih segar. Setelah agak pulih, kubantu dia berdiri dan memapahnya ke kamar mandi. Kunyalakan shower air hangat untuknya. Sebelum aku keluar, kami berpelukan. Kucium dia sambil mengorek vaginanya dengan dua jari. Cairan sperma meluber keluar begitu kukeluarkan tanganku sehingga aku harus cuci tangan.
“Dah mandi dulu yang bersih, supaya nanti siap action!” kataku.
Dia cekikikan sambil menyeprotkan shower ke arah kakiku. Aku melompat kecil dan keluar sambil tertawa-tawa.
Begitu aku keluar, waw…gile, Ivana mantan pacarku itu sedang dikerjai kelima orang itu. Dia sudah tidak di sofa lagi, melainkan sudah di lantai beralas karpet. The hottest gangbang I’ve ever seen! Untuk lebih lengkapnya lebih baik kita ikuti kisah Ivana dari awal.
Endang dan Pak Usep duduk mengapit Ivana masing-masing di kanan dan kirinya. Ivana terlihat tegang sekali. Beberapa kali dia memanggil-manggil namaku.
“Kenapa, Na. Kok sekarang tegang gitu… Katanya mau ngebalas pacar lu itu!” kataku.
“Oh, jadi Neng udah punya pacar yah!” kata Pak Usep.
“Ngga, baru putus kok,” jawabnya malu-malu
“Putusnya kenapa Neng ?” tanya Endang.
Ivana cuma menggeleng tanpa menjawabnya.
“Udah ah, lu. Kalau ga mau dijawab jangan maksa!” kata Pak Usep pada rekannya.
“Eh, Neng, sama pacar yang dulu pernah ngentotan ga?” tanya Endang cengengesan.
Rona merah jelas sekali pada wajah Ivana yang putih mulus. Dia hanya mengangguk pelan sebagai jawabnya sambil tersenyum malu-malu.
“Kalo gitu pernah diginiin dong, Neng, hehehe!” Pak Usep tertawa-tawa meremas buah dada Ivana.
“Diginiin juga pernah!” Endang meraih selangkangannya dan meremasnya dari luar.
Ivana menjerit kecil sambil tertawa geli karena kejahilan tangan mereka. Pak Usep makin gemas memijati payudaranya. Si Endang sengaja meniupkan udara ke kupingnya untuk memambangkitkan birahinya perlahan-lahan sambil tangannya membantu Pak Usep meremas payudara yang satunya. Ivana hanya diam menikmatinya dengan mata terpejam. Keduanya mulai menyingkap kaosnya. Ivana sepertinya menurut saja. Dia mengangkat lengannya membiarkan kaos itu dilolosi. Dia tinggal memakai bra warna krem dan celana panjang selututnya.
“Ini dibuka aja ya, Neng,” pinta Endang.
Ivana mengangguk, maka Endang pun dengan cekatan membuka bra-nya sehingga dia telanjang dada. Endang langsung melumat yang kanan dengan rakus.
“Pentilnya bagus ya, Neng. Kecil, merah lagi,” komentar Pak Usep sambil memilin-milin putingnya.
Pak Usep menjulurkan lidahnya, lalu menyapukannya telak pada leher jenjang Ivana, membuatnya merinding dan mendesis. Dia meneruskan rangsangannya dengan mengecup lehernya membuat tanda kemerahan di situ. Rambut Ivana yang terikat ke belakang memudahkannya menyerang daerah itu.
Tangannya pun tak tinggal diam, terus bergerilya di dada kirinya dan pelosok tubuh lainnya. Mendadak Pak Usep menghentikan kegiatannya dan memanggil Endang yang lagi asyik nyusu dengan mencolek kepalanya.
“Eh, Dang, kita taruhan, yu. Yang menang boleh ngentot si Neng duluan!” tantangnya.
“Taruhan apaan, Pak. Saya mah ayu aja.”
“Coba tebak, si Neng ini jembutan ga?” tanyanya dengan nyengir lebar.
Muka Ivana jadi tambah memerah karena kenakalan mereka ini. Aku juga jadi terangsang dibuatnya. Suatu sensasi tersendiri menonton mantan pacarku ini dikerjai orang lain.
“Hmmm…ada ga, Neng?” tanya Endang sambil menatapi selangkangan Ivana.
“Eee… nanya lagi, orang disuruh tebak!” omel Pak Usep menyentil kepalanya. Ivana senyum mesem dan bilang tidak tahu menjawab si Endang.
“Ada aja deh!” tebak si Endang.
“Yuk kita tes, bener ga!” kata Pak Usep dengan menyusupkan tangannya ke balik celana Ivana.
“Eemmhhh…” desis Ivana saat merasakan tangan Pak Usep merabai kemaluannya.
“Weleh…sialan. Bener juga lu, Dang!” gerutunya karena ternyata kemaluan Ivana memangnya berbulu, lebat lagi.
Endang tersenyum penuh kemenangan karena dapat giliran pertama merasakan tubuh Ivana. Mereka pun kembali menggerayangi tubuhnya. Tangan Pak Usep tetap di dalam celananya mengobok-obok kemaluannya sejak mengetes tadi. Endang mulai membuka sabuk yang dikenakan Ivana dan menurunkan resletingnya. Sebelumnya dia menyuruh Pak Usep menyingkirkan tangannya dulu.
Cairan vagina membasahi jari-jarinya begitu dia mengeluarkan tangannya dari sana. Endang turun dari sofa dan jongkok di lantai beralas permadani itu untuk menarik lepas celana Ivana. Tampak kemaluan Ivana dengan bulu-bulu yang tebal dari balik celana dalamnya yang semi transparan. Sesaat kemudian pakaian terakhir dari tubuhnya itu dilepaskannya pula. Jadilah Ivana telanjang bulat terduduk separuh berbaring di sofa.
Keduanya tertegun melihat tubuh putih mulus dan terawat di hadapan mereka. Si Endang masih berjongkok di antara kedua paha Ivana. Tentu dia bisa melihat jelas selangkangan berambut lebat yang tampak menggunung dalam posisi demikian.
“Duh, cantik banget sih Neng ini. Bikin saya ga tahan aja!” kata Pak Usep sambil mendekap tubuhnya.
Bibirnya mencium pipi Ivana. Lalu lidahnya keluar menjilati pipi dan hidungnya, menikmati betapa licin dan mulusnya wajah mantan pacarku itu. Belakangan bibirnya dilumat dengan ganas. Sementara kedua tangannya tidak tinggal diam, selalu berpindah-pindah mengelusi punggungnya atau meremas payudaranya. Wajah Endang makin mendekati vagina Ivana sambil kedua tangannya mengelusi paha mulus itu. Tubuh Ivana bergetar ketika jemari Endang mulai menyentuh bibir kemaluannya. Pasti dia bisa merasakan nafas Endang menghembus bagian itu. Perlahan-lahan Endang membuka kedua bibir bawah itu dengan jarinya. Erangan tertahan terdengar dari mulut Ivana yang sedang dilumat Pak Usep, keringatnya mulai bercucuran.
“Wah… asyik, saya baru sekarang pernah liat memeknya amoy. Dalemnya merah muda, seger euy!” komentar Endang mengamati vagina itu.
“Pak Usep, mau liat ga nih. Bagus banget, loh!” sahut Endang padanya.
“Hmmm… iya bagus, ya. Kamu aja dulu, Dang. Saya mau netek dulu!” kata Pak Usep sambil mencucukkan sejenak jari tengah dan telunjuk ke vaginanya. Waktu dia keluarkan, cairan lendirnya menempel di jari itu.
Pak Usep mulai menjilati payudaranya mulai dari pangkal bawah lalu naik menuju putingnya. Dia jilat puting itu lalu dihisapnya kuat-kuat, sementara tangannya memilin-milin putingnya yang lain.
“Hhhnngghh… Mang, oohh!” Ivana mendesah menggigit bibir sambil memeluk erat kepala Pak Usep.
Ivana makin menggelinjang saat wajah Endang makin mendekati selangkangannya.
“Aaaahh…!” desahnya lebih panjang, tubuhnya menggelinjang hebat, kedua pahanya mengapit kepala Endang.
Pemuda itu telah menyapu bibir vaginanya, lalu lidah itu terus menyeruak masuk menjilati segenap penjuru bagian dalam vaginanya. Klitorisnya tak luput dari lidah itu sehingga tak heran kalau desahannya makin tak karuan, saling bersahut-sahutan dengan desahan Santi yang saat itu baru ditusuk Mang Obar.
“Oi, kalian berdua kok belum buka baju, sih. Kasih liat dong kontolnya ke Neng Ivana. Pasti dah ga sabar dia!” kataku pada Endang dan Pak Usep.
Pak Usep nyengir lalu dia membuka kaos berkerah dan celananya hingga bugil. Dia menggenggam penisnya yang tebal dan hitam itu memamerkannya pada Ivana.
“Nih, Neng, kontol Mamang gede ya, sama pacar Neng punya gede mana?” tanyanya sambil menaruh tangan Ivana pada benda itu.
“Gede yah, Mang… keras,” jawab Ivana yang tangannya sudah mulai mengocoknya.
Ivana yang tadinya malu-malu, hilang rasa malunya saking terangsangnya. Sepertinya dia sudah tidak peduli keadaan sekitar. Yang dipikirkannya hanya menyelesaikan gairah yang sudah membakar demikian hebat itu.
Hampir sepuluh menit berlalu, tapi Endang masih seperti kelaparan. Belum berhenti menjilati vaginanya sementara Ivana sudah mengapit dan menggesek-gesekkan pahanya pada kepala Endang menahan birahinya yang meninggi.
“Cepetan, dong. Kan kamu harusnya nusuk duluan. Kalo ngga mau, saya tusuk juga nih!” kata Pak Usep yang tidak sabar ingin segera menyetubuhi Ivana.
“Iya sabar atuh Pak, ini udah mau nih,” kata Endang yang mulai menanggalkan pakaiannya.
“Yuk, Neng. Basahin dulu, nih… isep!” Dia sodorkan penisnya ke mulut Ivana sambil memegangi kuncirnya.
Ivana agak ragu memasukkan penis Endang ke dalam mulutnya. Mungkin agak jijik kali karena belum pernah merasakan yang sehitam itu. Namun Endang terus mendesaknya. Apalagi dengan kepala dipegangi seperti itu, akhirnya dengan terpaksa Ivana membuka mulutnya membiarkan penis itu masuk.
Sebentar kemudian Endang mengeluarkan penisnya dari mulut Ivana. Diangkatnya kaki Ivana ke sofa. Dia kini terbaring di sofa dengan kepala bersandar pada perut tambun Pak Usep. Endang memegang miliknya dan mengarahkannya ke vagina Ivana. Pelan-pelan mulai memasukinya, tubuh Ivana menekuk ke atas.
“Aaakkhh…!” demikian keluar dari mulutnya hingga penis Endang mentok ke dalam vaginanya.
Endang pun mulai menggoyangkan pinggulnya perlahan kemudian makin lama makin cepat. Endang melakukannya dalam posisi satu kaki naik sofa dan kaki lainnya berdiri menginjak lantai. Kedua tangannya memegangi betis Ivana.
“Ah-ah-ah….uuhh…!!” desah Ivana dengan mata terpejam
“Enak ya, Neng?” kata Pak Usep dekat telinganya.
Sejak Endang menggenjot Ivana, Pak Usep terus saja menyangga tubuhnya sambil menghujani leher, telinga, dan payudaranya dengan ciuman dan jilatan. Kini dia sedang mengulum daun telinga Ivana dan tangannya meremas kedua payudaranya. Tentu puting Ivana sudah sangat keras karena dari tadi dimain-mainkan. Ivana sendiri tangannya menggenggam penis Pak Usep. Dia mengocok-ngocok penis itu karena horny-nya. Kedua kakinya menjepit pinggang Endang, seolah minta disodok lebih dalam lagi.
Tanpa mencabut penisnya, Endang memiringkan tubuh Ivana sehingga posisinya berbaring menyamping. Satu kakinya dinaikkan ke bahunya. Wow…seru sekali melihat paha Endang bergesekan dengan paha mulus Ivana dan penisnya keluar masuk dari samping. Pak Usep menempelkan penisnya ke wajah dan bibir Ivana, memintanya melakukan oral seks. Ivana masih sangat risih memasukkan benda itu dalam mulutnya. Ia hanya berani mengocoknya dengan tangan. Sepertinya dia masih merasa tidak nyaman dengan penis Endang di mulutnya tadi.
Belakangan dia bilang ke aku bahwa dia memang tidak terbiasa dengan penis hitam dan berbau tidak enak seperti itu. Dia juga tidak suka dengan cara mereka yang suka maksa tidak tau diri. Makanya dia tidak pernah mau lagi ngeseks dengan orang-orang kaya gitu. Cukup kali ini saja. Pertama dan terakhir, demikian tegasnya.
“Jilatin dong, Neng. Jangan cuma main tangan aja!” pinta Pak Usep tidak sabar merasakan mulutnya.
“Ngga Mang… jijik… ga mau.. ahh!” gelengnya dengan sedikit mendesah.
“Lho, gimana sih si Neng ini. Tadi kan dia dikasih, masa saya ngga?”
“Ayo dong, Neng. Sebentar aja kok!” Pak Usep terus mendesak dengan menekan kepalanya dengan tangan kanannya ke penis yang dipegang dengan tangan kirinya. Penis itu pun akhirnya memasuki mulut Ivana. Karena mulutnya mengap-mengap mendesah, kesempatan itulah yang dipakai Pak Usep menjejalkan penisnya. Sesudah penisnya terbenam di mulut Ivana, Pak Usep memaju-mundurkan kepalanya dengan menjambak kuncirnya.
“Emmhh.. eehmm… Mang… saya… mmm!” Ivana berusaha protes tapi malah tersendat-sendat karena terus dijejali penis.
“Mmmm… gitu dong, Neng, baru namanya anak manis. Udah lama Mamang ga diginiin, uuh!” Pak Usep melenguh dan merem-melek keenakan dioral Ivana.
Kalau saja ada orang berani berbuat seperti itu padanya setengah tahun lalu, pasti sudah kuhajar sampai masuk ICU. Tapi sekarang berbeda, aku malah terangsang melihat bekas pacarku ini diperlakukan demikian sehingga aku makin cepat mengocok penisku. Apalagi waktu itu Santi juga sedang main kuda-kudaan diatas penis Pak Andang sambil mengoral penis Mang Nurdin dengan bernafsu.
Akhirnya Ivana orgasme duluan. Badannya berkelejotan dan dari mulutnya terdengar erangan tertahan. Pak Usep rupanya cukup pengertian, dia melepaskan dulu penisnya dari mulut Ivana dan membiarkan Ivana menikmati orgasmenya secara utuh. Badannya menegang beberapa saat lamanya. Pak Usep menambah rangsangannya dengan meremasi payudaranya. Sambil orgasme Ivana memegang erat-erat lengan kokoh Pak Usep yang mendekapnya hingga tubuhnya lemas dan terbaring dalam dekapan pria tambun itu.
Endang pun menyusul sekitar tiga menit kemudian, sodokannya makin dahsyat sampai akhirnya dia melepaskan penisnya dan menumpahkan cairan putih di perut yang rata itu. Si Endang cuma duduk sebentar, minum dan menyeka keringat, lalu dia langsung beralih ke Santi seperti yang telah kuceritakan di atas. Posisinya segera digantikan Mang Obar yang baru recovery setelah istirahat. Pak Usep memberikan minum pada Ivana mengambilkan tissue mengelap keringatnya.
“Euleuh… si Endang teh gimana, buang peju sembarangan aja!” gerutu Mang Obar yang baru tiba melihat ceceran sperma di perut Ivana.
Pak Usep sambil tertawa meneteskan sedikit air dan mengelap ceceran sperma itu sampai bersih. Ivana juga ikut tertawa kecil.
“Udah, gampang, Mang. Dibersihin aja kan beres!” hiburku padanya.
Mang Obar langsung mencumbui payudara Ivana yang masih didekap Pak Usep. Mulutnya berpindah-pindah antara payudara kiri dan kanan.
“Ooohh… oohhh!!” desahnya ketika merasakan putingnya digigit dan ditarik-tarik dengan mulut oleh Mang Obar. Tangan satunya di bawah sedang meremasi bongkah pantatnya yang kenyal. Diremasnya berulang kali sekaligus mengelusi paha mulusnya. Dari pantat, tangannya merayap ke kemaluan. Tubuh Ivana bergetar merasakan kenakalan jari Mang Obar yang mengusap-usap klitoris dan bibir kemaluannya. Di belakangnya, Pak Usep sangat getol mencupangi leher, tengkuk dan bahunya.
“Hehehe… liat nih udah basah gini!” sahut Mang Obar mengeluarkan jarinya dari vagina Ivana.
“Emm… enak pisan!” dijilatinya cairan yang blepotan di jari itu. Kemudian Pak Usep menarik pinggang Ivana, mendudukkannya di pangkuannya dengan membelakanginya, satu tangannya meraih vaginanya dan membuka bibirnya.
“Masukin, Neng. Pelan-pelan!” suruhnya.
Ivana tanpa malu-malu memegang penis itu dan mengarahkan ke vaginanya. Lalu dia menekan badannya ke bawah sehingga penis itu terbenam dalam vaginanya. Namun karena besar, penis itu baru masuk kepalanya saja. Itu sudah membuat Ivana merintih-rintih dan meringis menahan nyeri.
“Duh… sakit nih, Mang. Udah, ya!” rintihnya.
“Wah, kagok dong, Neng, kalo gini mah. Ayo dong dikit-dikit pasti bisa kok!” kata Pak Usep.
“Nanti juga enak kok, Neng. Sakitnya bentar aja!” timpal Mang Obar.
Beberapa kali Pak Usep menekan tubuh Ivana juga menghentakkan pinggulnya. Akhirnya masuk juga penis itu ke vaginanya. Mata Ivana sampai berair menahan sakit. Pak Usep mulai menggoyangkan tubuhnya.
“Arrgghh… uuhhh… sempit amat… enak!” gumam Pak Usep di tengah kenikmatan penisnya dipijat vagina Ivana.
Sementara Mang Obar meraih kepala Ivana. Wajahnya mendekat dan hup… mulut mereka bertemu. Lidahnya menerobos masuk mempermainkan lidah Ivana. Dia hanya pasrah menerimanya. Dengan mata terpejam dia coba menikmatinya. Lidahnya, entah secara sadar atau tidak turut beradu dengan lidah lawannya.
Limabelas menit lamanya batang Pak Usep yang perkasa menembus vagina Ivana, runtuhlah pertahanan Ivana, sekali lagi badannya mengejang dan mengeluarkan cairan kewanitaan membasahi penis Pak Usep dan sofa di bawahnya (untung sofanya bahan kulit jadi gampang dibersihkan). Ivana memeluk erat-erat kepala Mang Obar yang sedang mengenyot payudaranya. Sekonyong-konyong terlihat cairan putih meleleh dari selangkangan Ivana, rupanya Pak Usep juga telah orgasme.
Desahan mereka mulai reda. Keduanya melemas kembali. Nampak olehku ketika Pak Usep melepas penisnya, dari vagina Ivana menetes cairan sperma yang telah bercampur cairan cintanya.
Waktu beristirahat baginya cuma sebentar karena Mang Obar langsung menyambar tubuhnya, menindihnya, dan mengarahkan senjatanya ke liang kenikmatan. Segera saja tubuhnya memacu naik-turun diatasnya. Ivana menggelinjang setiap kali dia menghentakkan tubuhnya. Saat itu Mang Nurdin dan Pak Andang mendekati keduanya untuk menonton lebih dekat adegan panas itu. Mereka menyoraki temannya yang sedang berpacu diatas tubuh mantan pacarku itu seperti menonton pertandingan olahraga saja.
Setelah itu aku kehilangan sedikit adegan karena sedang mengantar Santi ke kamar mandi, maka adegan yang hilang ini kuceritakan berdasarkan penuturan Mang Nurdin yang kuanggap paling akurat.
Dari sofa, Mang Obar menurunkan Ivana ke karpet. Dia berlutut di antara paha Ivana dan terus menyodoknya. Mang Nurdin membungkuk agar bisa mengemut payudara yang menggiurkan itu. Pak Andang berlutut di samping kepalanya dan menjejalkan penisnya ke mulutnya. Sambil diemut, dia memegangi payudara Ivana.
Endang dan Pak Usep yang nganggur kembali mendatanginya. Mereka pun ikut bergabung mengerjai Ivana. Tangan-tangan hitam kasar menggerayangi tubuh mulus itu. Ada yang mengelus pahanya, ada yang meremas payudaranya, ada yang memelintir putingnya. Beberapa diantaranya sedang dikocok penisnya oleh Ivana. Ikat rambutnya sudah terbuka sehingga rambutnya tergerai sebahu lebih. Pemandangan itulah yang kulihat ketika keluar dari kamar mandi.
Lebih dari lima menit dia menjadi objek seks kelima buruhku. Mulanya aku sangat menikmati tontonan ini, terlebih ketika sperma mereka muncrat di tubuhnya. Ada yang nyemprot di dada, perut, dan mukanya. Namun aku mulai merasa kasihan ketika mereka memaksanya membersihkan penis-penis mereka dengan mulutnya. Beberapa bahkan menjejalkan paksa ke dalam mulutnya.
Aku terpaksa turun tangan menyudahinya ketika kulihat air matanya mulai menetes. Aku tahu semasa pacaran denganku dulu dia memang tidak terlalu suka oral seks dan menelan sperma. Jijik, katanya. Apalagi sekarang dengan yang hitam-hitam gitu. Tentu saja aku tidak tega melihatnya dipaksa-paksa sampai menangis.
“Udah-udah Mang, cukup… jangan diterusin lagi, nangis nih dia!” kataku membubarkan mereka.
Kemudian aku sandarkan dia di kaki sofa dan kuberinya minum. Kulap sperma yang membasahi mukanya. Dia memelukku dan menangis sesenggukan. Aku balas memeluknya dan menenangkannya. Tidak peduli lagi dengan tubuhnya yang masih lengket-lengket.
“Duh… maaf banget, Neng. Abis tadi kita kirain Neng nikmatin. Ga taunya nangis beneran!” kata Mang Obar.
“Iya, kalo tau Neng ga suka ngemut kontol, kita juga ga maksa. Tadi Neng reaksinya malu-malu sih, jadi kita juga tambah nafsu,” tambah Pak Usep.
“Sori, sori, Na. Gua lupa bilang tadi. Abis mandi lu pulang aja yah!” hiburku mengelus-elus rambutnya.
“Ngga, ga papa kok, Win. Gua enjoy, cuma tadi gua kaget aja dipaksa-paksa gitu. Gua kan ga suka oral,” katanya setelah lebih tenang sambil membersihkan air mata.
Legalah kami mendengar dia berkata begitu. Kami kira dia bakal trauma atau shock. Aku lalu menyuruhnya mandi dan membantunya bangkit. Dia pun berjalan sempoyongan ke kamar mandi.
Aku dan para buruhku duduk-duduk di ruang tamu merenggangkan otot. Kupersilakan mereka menyantap snack dan minuman sambil menunggu Sandra. Aku ngobrol-ngobrol tentang pendapat mereka sekalian memberi pengarahan apa yang harus dilakukan untuk menghukum Sandra yang terlambat nanti. Sandra memang bukan type yang malu-malu seperti Ivana, tapi aku tetap harus memperingatkan mereka agar tidak bertindak kelewatan. Aku tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan gara-gara mewujudkan fantasi gilaku.
“Win, Ivana diapain aja sampe nangis gitu?” terdengar suara Santi bertanya dari belakang. Dia berjalan ke arahku dengan handuk kuning terlilit di tubuhnya, rambutnya masih agak basah.
“Ga, kok. Cuma belum biasa dikeroyok aja. Jadi sedikit… ya gitulah!” jawabku sambil meraih pinggangnya mengajak duduk di sebelahku.
Mang Nurdin mengajak Santi duduk disebelahnya saja, tapi Santi menolaknya.
“Nggak ah Pak, mending simpen tenaga aja buat si Sandra!” tolaknya.
Ketika kami ngobrol-ngobrol, ada yang misscall ke HP-ku, si Sandra. Semenit kemudian disusul bunyi bel. Nah pasti ini dia, pikirku. Aku menyuruh buruh-buruhku sembunyi di dapur dengan membawa pakaian masing-masing. Aku berencana membuat surprise sekaligus hukuman baginya. Kupakai celana pendekku untuk menyambutnya (iya dong, kalau ternyata bukan Sandra, masa aku menyambutnya memakai celana dalam).
“Hai, sori yah, telat,” katanya begitu pintu terbuka.
“Gua jadi ga usah main sama buruh-buruh lu, yah?” tanyanya.
“Udah malam gini, kita baru aja bubar. Masuk!” ajakku. “Ngapain aja seharian tadi?”
“Nge-bowling di BSM. Pada minta nambah game melulu, sih. Kan ga enak kalo gua pulang dulu. Sori banget.”
Sandra orangnya cantik, rambut panjang kemerahan direbound. Tinggi kurang lebih 160 cm. Dadanya tegak membusung 34B, lebih montok daripada Ivana dan Santi. Tampangnya sedikit mirip Vivian Chow, artis HK tahun 90-an itu loh. Dengan modal itu dia pantas bekerja paruh waktu sebagai SPG. Hari itu dia memakai baju putih lengan panjang dengan dada rendah dan rok selutut dari bahan jeans.
“Hi, baru lembur nih!” sapanya pada Santi.
Kubiarkan mereka berbasa-basi sebentar sampai aku menarik rambutnya dari belakang sehingga dia merintih kaget.
“Udah arisannya nanti lagi, kaya ga tau lu punya salah aja!”
“Aww…aduh, ngapain sih sakit tau!” rintihnya.
Mohon pembaca jangan salah paham mengira aku ini psikopat atau apa. Dalam bermain sex dengannya aku memang sering memakai cara kasar, karena dia juga menikmati dikasari. Cuma sebatas main jambak dan tampar sih, tidak sampai masokisme dengan pecut, lilin, dan sejenisnya. Karena dia suka variasi seks kasar inilah aku mengajukan tantangan padanya.
Aku mendekapnya dan menciumi bibir dan lehernya habis-habisan sampai nafasnya mulai memburu. Dia pun mulai meraba selangkanganku. Setelah memberi syarat dengan gerakan tangan ke arah dapur, mendadak aku melepas ciumanku dan menepis tangannya dari selangkanganku
“Heh, dasar gatel. Datang-datang udah pengen kontol. Kalo lu mau kontol, gua kasih lu lima sekaligus!” makiku sambil mendorong tubuhnya hingga tersungkur di lantai. Dia menjerit kecil dan begitu menengok ke belakang, di sana sudah berdiri para buruhku yang bugil yang senjatanya sudah di reload, mengacung tegak siap untuk pertempuran selanjutnya. Sebelum sempat bangun dia sudah diterkam kelima orang itu.
“Heeaaa…sikat !” seru mereka sambil menyerbunya.
“Win… sialan lu, gila!!” jeritnya.
“Huehehehe… tenang, San. Gua masih nyisain buat lu, kok. Kan lu suka dikasarin. Coba deh biar tau rasanya diperkosa, dijamin sensasional abis!” aku menyeringai padanya. Sandra meronta-ronta, tapi dia tidak bisa menghindar karena kedua kaki dan tangannya dipegangi mereka, malah itu hanya menambah nafsu mereka. Mereka tertawa-tawa sambil mengeluarkan komentar jorok bagaikan gerombolan serigala melolong-lolong sebelum menyantap mangsanya.
Keributan di sini memancing Ivana melongokkan kepalanya dari kamar mandi untuk melihat apa yang terjadi. Kupanggil dia, tapi dia bilang nanti, mandinya belum selesai. Pak Usep meremasi payudaranya yang masih terbungkus pakaian.
“Waw…teteknya gede nih, asyik!” komentarnya.
Mang Obar dan Pak Andang yang memegangi kakinya juga tak mau kalah, mereka menyingkap roknya sehingga terlihatlah celana dalamnya yang warna hitam dan pahanya yang putih mulus, tangan-tangan mereka segera mengelus-elus pahanya dan terus naik ke pangkal pahanya, bukan cuma itu, jari-jari itu juga mulai menyelinap lewat pinggir celana dalam itu menggerayangi kemaluannya. Mang Nurdin menyusupkan tangannya lewat bawah kaosnya sehingga dada kirinya menggelembung dan ada yang bergerak-gerak. Si Endang meraih tangan Sandra dan menggenggamkannya pada penisnya.
“Kocok Neng, kocokin yang saya !” suruhnya
“Erwin…mhhpphh…Win…gua…mmm !” desahnya di tengah cecaran bibir Pak Usep yang akhirnya melumat bibirnya.
Aku menyaksikan adegan ini dari jarak satu meteran sambil duduk merangkul Santi.
“Win, dasar kelainan seks lu, tega amat lu ngeliat kita digituin tiko!” katanya sambil mencubit pahaku
“Tapi lu suka kan, gua liat tadi lu hot gitu goyangnya, ngaku lo !” sambil memencet payudaranya.
“Buka ah handuknya ngehalangin aja !” kutarik lepas handuk yang melilit badannya
“Lu juga dong buka, biar adil !” balasnya sambil melepasi pakaianku.
“Sepongin San, sambil nonton si Sandra dismack down nih !” suruhku.
Dengan posisi duduk di sebelahku, dia merunduk menservis penisku, jilatan dan kulumannya menyemarakkan acara yang sedang kusaksikan, seperti popcorn yang menemani nonton di bioskop. Sambil menikmati liveshow dan sepongan, tanganku memijati payudaranya dan menelusuri lekuk-lekuk tubuhnya.
Rontaan Sandra semakin lemah, dia sudah pasrah bahkan hanyut menikmati ulah mereka. Aku berasumsi dia sudah tenggelam dalam hasrat seksualnya, hasrat terliar dalam dirinya, dia menikmati pagutan bibir Mang Nurdin tanpa ada paksaan, mengocok penis Endang dengan sukarela, juga ketika Pak Usep menempelkan penisnya ke mulutnya, tanpa diminta dia sudah menjilat dan mencium penis itu.
“Telanjangin euy, biar kita bisa ngeliat bodinya !” kata salah seorang dari mereka
“Iya bugilin, bugilin, ewe…ewe !!” timpal yang lain
Mereka bersorak-sorak dan mulai melucuti baju Sandra, pakaiannya beterbangan kesana-kemari hingga akhirnya tak satupun tersisa di tubuhnya yang indah selain arloji, cincin, dan gelang kakinya. Kelimanya memandangi tubuh telanjang Sandra tanpa berkedip.
“Anjrit, kulitnya mulus banget, cantik lagi !” komentar seseorang.
“Wih, teteknya…jadi ga tahan pengen netek eemmm…!” sahut Mang Nurdin yang langsung melahap payudara kanannya
“Sebelah sini juga bagus” sahut Pak Andang membuka lebar kedua belah pahanya.
Bersama Mang Obar dia memandangi daerah kemaluan Sandra yang berbulu lebat dengan tengahnya yang memerah. Keduanya menjilati vaginanya yang mulai becek. Tubuhnya menggelinjang hebat merasakan dua lidah menggelikitik vaginanya. Endang menciumi leher, bahu dan sekitar ketiak, sambil jarinya memilin-milin putingnya. Pak Usep menjilati bagian pinggir tubuhnya sambil tangannya menelusuri punggung dan pantatnya. Sandra hanya bisa menggeliat-geliat dikerubuti lima buruh kasar, mulutnya mengeluarkan suara desahan. Saat itu Ivana baru selesai mandi, dia menjatuhkan pantatnya di sebelahku, seperti Santi tadi dia juga memakai handuk melilit badannya, rambutnya masih agak basah.
“Buka ah ! ngapain sih malu-malu gitu!” kataku menarik lepas handuknya.
Bekas cupangan memerah masih nampak pada kulit payudara dan lehernya yang putih, kurangkul tubuhnya yang mulus itu di sisi kiriku. Santi tidak terlalu menghiraukan kedatangan Ivana, dia terus saja menjilat penisku dengan gerakan perlahan sambil memijat lembut buah pelirnya
“Kasian ih, masa lu tega si Sandra dikeroyok gitu !” kata Ivana.
“Santai aja Na, Sandra kan ga kaya lu, dia sih enjoy aja dikasarin gitu, dah biasa” jawabku santai.
“Ooo… ga kaya gua yah !” sehabis berkata dia langsung menyambar putingku dan menggigitnya
“Adawww…!!” jeritku refleks menepis kepalanya.
“Jahat ih, keras gitu masa gigitnya, putus nanti” kataku mengelus-elus putingku yang nyut-nyutan digigitnya.
Dia malah tertawa melihatku begitu, si Santi juga ikutan ketawa.
“Lho, kan ke Sandra lu bilang suka main kasar, baru digituin aja dah kaya disembelih hihihi !” Santi mengejekku.
“Ini sih bukan kasar, tapi sadisme gila,” gerutuku.
“Dah ah, lu terusin aja sana, jangan ngeledek ah!” kutekan kepalanya ke bawah.
“Sini lo !” kusambar tubuh Ivana yang masih cekikikan ke pelukanku.
Dengan bernafsu kupaguti lehernya dan payudaranya kuremas-remas sehingga dia mendesah-desah kenikmatan.
Bukan cuma menjilat, Mang Obar juga memasukkan jarinya ke liang vagina Sandra, diputar-putar seperti mengaduknya sementara lidahnya terus menjilati bibir vaginanya. Setelah puas menjilat, Mang Obar menyuruh Pak Andang menyingkir, dia angkat sedikit pinggul Sandra dan menekankan penisnya pada belahan kemaluan itu, dia melenguh ketika kepala penisnya sudah mulai masuk, lalu ditekan lagi dan lagi. Sandra menahan nafas dan menggigit bibir merasakan benda sebesar itu menyeruak ke vaginanya.
“Aaakkhh !” erangan panjang keluar dari mulut Sandra saat penis Mang Obar masuk seluruhnya dengan satu hentakan kuat.
Penis itu keluar-masuk dengan cepatnya, suara desahan Sandra seirama dengan ayunan pinggul Mang Obar. Desahan itu sesekali teredam bila ada yang mencium atau memasukkan penis ke mulutnya.
“Hehehe…liat tuh teteknya goyang-goyang, lucu ya!” sahut Pak Usep memperhatikan payudara yang ikut tergoncang karena tubuhnya terhentak-hentak
“Mulutnya enak, hangat, terus Neng, mainin lidahnya!” kata Endang yang lagi keenakan penisnya diemut Sandra.
“Uuuhh…uuhh…iyahh !” jerit klimaks Mang Obar, penisnya dihujamkan dalam-dalam dan menyemprotkan spermanya di dalam sana.
Posisi Mang Obar segera digantikan oleh Pak Andang, dia melakukannya dalam posisi sama dengan rekannya tadi sambil tangannya menggerayangi pahanya dengan liar. Sementara Endang mengerang lebih panjang, wajahnya mendongak ke atas dan meringis. Rupanya dia telah orgasme dan spermanya ditumpahkan ke mulut Sandra, dia menyedotnya, namun sebagian meleleh keluar bibirnya, dikeluarkannya sebentar untuk dikocok dan diperas, maka sperma itu pun nyiprat ke wajahnya. Kemudian dijilatnya lagi penis Endang yang mulai menyusut membersihkannya dari sisa-sisa sperma. Tugas Sandra menjadi sedikit lebih ringan setelah dua orang yang telah dibuatnya orgasme menyingkir, keduanya kini terduduk di pinggirnya, memulihkan tenaga sambil sesekali megang-megang tubuhnya. Tubuh Sandra menggelinjang merasakan sensasi yang selama ini belum dia rasakan, tangannya yang menggenggam penis Pak Usep nampak semakin gencar mengocoknya sehingga pemiliknya melenguh keenakan.
“Aahhh…emm…gitu Neng, enak…oohhh!” sambil tangannya meremasi payudaranya.
Mang Nurdin yang tadi menyusu sekarang mulai menciumi perut Sandra yang rata, tangan kirinya memainkan putingnya, tangan kanannya mengelus pantatnya.
Saat itu aku sedang menikmati penisku dipijati oleh cengkraman vagina Ivana yang duduk di pangkuanku dengan posisi membelakangi. Aku membiarkannya mengendarai penisku sementara aku menikmati Sandra digangbang, menonton sambil melakukan, suatu kenikmatan seks yang sejati. Kudekatkan wajahku ke lehernya dan kuhirup aroma tubuhnya, hhmm..wangi, habis mandi sih, di lehernya masih membekas cupangan mereka, tapi aku tak peduli, kulit lehernya yang mulus kuemut dan kugigiti pelan membuatnya semakin mendesah kesetanan. Tangan kiriku mendekap Santi sambil memutar-mutar putingnya, tapi kemudian Santi bangkit dan berdiri di hadapan kami, dia dekatkan kemaluannya pada Ivana, tanpa disuruh Ivana menjilatinya.
Santi mendesah menikmatinya, dipeganginya kepala Ivana, seolah meminta dia tidak melepaskannya. Aneh si Ivana ini, kalau diminta mengoral punya cowok susah, harus dibujuk-bujuk baru terpaksa diiyakan, tapi ini ke sesama jenisnya tanpa disuruh kok mau, mungkin sih akibat terlalu horny, tapi peduli amat ah, yang penting enjoy aja (emang iklan LA Light ?). Kuminta Santi menepi sedikit karena sempat menghalangi pandanganku terhadap Sandra. Ruang tamuku jadi dipenuhi oleh desah birahi yang sahut menyahut.
Sandra kembali orgasme oleh genjotan Mang Obar, badannya lemas bercucuran keringat, namun mereka terus menggumulinya. Gerakan Mang Obar semakin cepat dan menggumam-gumam tak jelas, tapi sebelum spermanya keluar, dia mencabut penisnya dan langsung menaiki dadanya.
“Misi, minggir dulu dong, tanggung nih, pengen ngentot pake teteknya sebelum ngecret !”
Segera dia jepitkan penisnya diantara dua gunung kembar itu lalu digesek-gesekkannya penisnya disana dengan lancar karena sudah licin oleh cairan cinta. Tak sampai tiga menit spermanya sudah muncrat, cipratannya berceceran di dada, leher, wajah dan sebagian rambut Sandra. Setelahnya dia menyuruh Sandra menjilati penisnya hingga bersih mengkilat. Dua orang lagi yang masih menggumulinya, Mang Nurdin dan Pak Usep, mengangkat tubuhnya dan membaringkannya ke kasur udara tempat Santi digarap. Mang Nurdin membalikkan tubuh Sandra hingga telungkup, pantatnya diangkat hingga menungging, dengan posisi ini dia memasukkan penisnya ke vagina Sandra dari belakang. Disodokkannya benda itu berkali-kali dengan keras, sehingga Sandra mengerang makin histeris.
Pak Usep tidak meneruskan aktivitasnya dengan Sandra, dia meninggalkannya berduaan dengan Mang Nurdin. Sementara dia sendiri menghampiri kami dan kedua tangan gemuknya melingkari perut Santi dari belakang, agaknya dia masih penasaran karena belum sempat menikmati Santi. Telapak tangannya bergerak ke atas membelai payudara Santi, sedangkan yang satunya ke bawah membelai kemaluannya, mulutnya mencupangi bahunya. Santi memejamkan mata menghayati setiap elusan tangan kasar itu pada bagian-bagian sensitifnya, desahan pelan keluar dari mulutnya. Tangannya lalu menarik wajah Santi ke belakang, begitu dia menoleh bibirnya langsung dipagut.
Keduanya terlibat percumbuan yang panas, sedotan-sedotan kuat dan permainan lidah terlibat di dalamnya. Dengan terus berciuman tangan kanannya beraksi di kemaluan Santi, jari-jari itu menggosok-gosok belahan kemaluannya, kadang juga masuk dan berputar-putar di dalamnya. Permainan jari Pak Usep yang lihai membuat tubuh Santi bergetar dan vaginanya melelehkan cairan. Sedangkan tangan kirinya meraba-raba bagian tubuh lainnya, lengan, dada, perut, paha, pantat, dll. Setelah mencumbunya selama beberapa menit, lidah Pak Usep kini menjilati lehernya dan menggelikitik telinganya.
Di pihakku, Ivana menaik-turunkan tubuhnya dengan lebih kencang, diantara desahannya terdengar kata-kata tak jelas, tanganku juga diraih dan diremaskan ke payudaranya, gelagat ini menunjukkan dia sudah di ambang orgasme.
“Aaahh…Win, dikit lagi nih… enak!” erangnya sambil meremas tanganku.
Aku pun merasa mau keluar juga saat itu, maka kupacu juga pinggulku sampai sofanya ikut goyang, penisku menusuk makin keras dan dalam padanya. Penisku serasa diperas oleh jepitan vaginanya, himpitannya makin lama makin kencang saja. Akhirnya cairan nikmat itu keluar dibarengi desahan yang panjang, aku pun mendapat orgasmeku lima detik setelahnya. Sperma bercampur lendirnya meleleh keluar dari sela-sela vaginanya membasahi selangkangan kami dan sofa di bawahnya. Kami saling berpelukan tersandar lemas di sofa, kubelai-belai lembut rambut dan wajahnya selama cooling down.
“Goyangan lu tambah asyik nih say, bersihin dong pake mulut, boleh ya?” pujiku sekaligus memintanya melakukan cleaning service.
“Nggak mau, lu sendiri aja!” jawabnya sambil manyun.
“Ayo dong say, lu kan baik, please dikit aja, yah…!” mohonku lagi memencet putingnya.
“Ok, tapi cuma bersihin aja yah, ga lebih,” katanya sambil turun dari pangkuanku.
Dia berjongkok diantara kedua kakiku. Dipegangnya penisku, kemudian mulai menjilati sisa-sisa cairan pada penisku hingga bersih.
Di kasur sana, Mang Nurdin menyetubuhi Sandra dengan ganasnya dengan doggie style. Mata Sandra merem-melek dan mendesah tak karuan akibat sodokan-sodokan yang diberikan Mang Nurdin. Mang Obar menghampiri mereka lalu duduk mekangkang di depan Sandra. Tangannya menjenggut rambut Sandra dan menjejalkan penisnya ke dalam mulutnya, tentu saja benda sebesar dan berdiameter selebar itu tidak muat di mulut Sandra yang mungil. Susah payah Sandra berusaha menyesuaikan diri, pelan-pelan kepalanya mulai naik-turun mengisap benda itu. Desahan tertahan masih terdengar dari mulutnya, pada dinding pipinya kadang terlihat tonjolan dari penis Mang Obar yang bergerak maju-mundur. Mang Obar mengelus punggung dan dadanya sambil menikmati penisnya dikulum Sandra. Mang Nurdin hampir klimaks, genjotannya semakin cepat, tak lama kemudian dia mendesah panjang dengan mencengkram erat bongkahan pantatnya, spermanya menyemprot di dalam vaginanya, ketika dia cabut penisnya, nampak cairan kental itu masih menjuntai seperti benang laba-laba, sebagian meleleh di sekitar pangkal paha Sandra.
Melihat vagina Sandra nganggur, Mang Obar menyuruhnya menghentikan kulumannya dan naik ke pangkuannya. Sandra yang klimaksnya tertunda karena Mang Nurdin sudah keluar duluan segera menaiki penis Mang Obar. Sebelum mulai, pria kurus itu meminta tissue basah pada Endang untuk mengelap ceceran sperma di sekujur tubuh Sandra. Sandra menaik-turunkan pinggulnya dengan gencar di atas penis Mang Obar, payudaranya pun ikut terayun-ayun seiring gerak badan. Pemandangan itu membuat Mang Obar tidak tahan untuk tidak melumatnya, mulutnya menangkap payudara yang kanan dan mengenyot-ngeyotnya, sementara tangannya bergerilya menyusuri lekuk-lekuk tubuh yang indah itu. Keringat sudah bercucuran membasahi tubuh Sandra yang sudah bekerja keras melayani lima pria sekaligus, rambutnya sudah acak-acakan, namun itulah yang menambah pesonanya. Desahan nikmat Sandra memacu Mang Obar untuk terus melahap dada, leher, dan ketiaknya.
Setelah puas melakukan foreplay bersama Santi, Pak Usep menyuruhnya nungging, masih dalam posisi berdiri, Santi mencondongkan badan ke depan dengan tangan bertumpu pada kepala sofa. Santi yang sudah horny berat itu pun tanpa sungkan-sungkan mengulurkan tangan ke belakang membuka bibir vaginanya, gatel minta ditusuk. Mang Obar mengerti bahasa tubuh Santi, dia pun segera melesakkan penisnya masuk ke lubang itu.
“Aarrghh…enak Mang, terus…terus !” jerit Santi
Adegan ini berlangsung tepat di sebelahku sehingga aku dapat mengamati ekpresi wajah Santi yang sedang menikmati sodokan penis Mang Obar, dia merintih-rintih dan sesekali menggigit bibir bawah. dari belakangnya Mang Obar menggerayangi tubuhnya sambil terus menggenjotinya, payudaranya tampak berayun-ayun menggodaku iseng meremas salah satunya. Beberapa kali tubuh Santi tersentak-sentak kalau Mang Obar memberikan sodokan keras padanya. Aku suka sekali melihat wajahnya yang seksi saat itu.
Ivana yang tadi membersihkan penisku kini sudah diajak Pak Andang memulai babak berikutnya. Dia berdiri memeluk Ivana dengan kedua tangan kasarnya, mendekapkan tubuh Ivana ke tubuhnya hingga dada mereka saling melekat “Neng Ivana, mmm..” dengan bernafsu dia memagut bibirnya dan melumatnya Ivana juga balas menciumnya hingga lidah mereka saling melilit, mengeluarkan suara lenguhan, sepertinya dia mau membalas membuatku terbakar api cemburu seperti ketika aku mencumbu Santi di depannya waktu baru datang tadi. Tangan Pak Andang meremas payudaranya dan tangan satunya mengelus punggung hingga pinggulnya. Kemudian dia mengangkat satu kaki Ivana dan menempelkan penisnya di bibir vagina Ivana. Secara refleks Ivana melingkarkan tangan ke leher Pak Andang menahan badannya. Pelan-pelan Pak Andang mendorong pantatnya ke depan hingga penisnya menyeruak ke dalam vagina Ivana. Mereka mendesah hampir bersamaan saat penis itu menerobos dan menggesek dinding vagina Ivana.
Lima menit setelah mereka berpacu dalam posisi berdiri, Pak Andang menghentikan genjotannya sejenak, lalu dia angkat kaki Ivana yang satunya. Sambil menggendong Ivana, dia meneruskan lagi kocokannya, dengan begini tusukan-tusukan yang diterima Ivana semakin terasa hujamannya, kedua payudaranya tampak seksi tergoncang-goncang. Kata Dr. sex Boyke gaya ini disebut monyet memanjat pohon kelapa , hebat juga Pak Andang ini sampai tahu variasi seks yang satu ini. O iya, masukan buat pembaca nih, kalau mau coba gaya yang satu ini kudu liat-liat kondisi loh, kalau cowoknya kurus kecil sedangkan badan ceweknya lebih besar atau bahkan gendut sebaiknya jangan deh, bisa-bisa bukannya nikmat yang didapat malah patah tulang, hehehe…Aku kagum oleh stamina Pak Andang ini, di usianya yang senja dia masih sanggup melakukan gaya ini cukup lama, aku sendiri tidak yakin bisa selama itu, sampai Ivana dibuat orgasme dalam gendongannya. Badannya mengejang dan kepalanya menengadah ke belakang serta mendesah panjang, dari selangkangannya cairan hasil persenggamaannya menetes-netes ke lantai. Tubuhnya yang lunglai mungkin sudah jatuh kalau tangan Pak Andang yang kokoh tidak memeganginya.
Pada saat yang sama, Mang Obar baru menuntaskan hajatnya terhadap Sandra. Keduanya klimaks bersamaan, dia mencabut penisnya lalu isinya ditumpahkan ke wajah Sandra, tidak sebanyak sebelumnya memang tapi lumayan membasahi wajahnya. Endang yang sudah siap bertarung lagi mendatanginya, dipeluknya Sandra dan dicium-cium bagian-bagian tubuh sensitifnya sambil memberinya waktu untuk mendinginkan vaginanya yang kepanasan. Mang Nurdin menghampiri Santi yang sedang dikerjai Pak Usep.
“Yuk Pak, siap action lagi nih? Gabung aja!” kataku mempersilakannya bergabung dengan mereka.
“Iya dong, bos, saya kan belum sempat nyoblos si Neng ini tadi, hehehe…!” katanya berkalakar.
Dia menyusup dan duduk di antara Santi dan sofa, tangan Santi dipindahkan ke bahunya yang lebar. Mulutnya menangkap salah satu payudara Santi yang berayun-ayun, dengan nikmatnya dia menyedot-nyedot benda itu sambil meraba-raba tubuhnya. Di sisi lain, Ivana sedang sibuk melayani Pak Andang dan Mang Obar, tubuhnya terbaring di sofa dijilati dan digerayangi mereka.
Aku duduk sambil mengocok penisku menyaksikan pertempuran tiga mahasiswi melawan lima buruh kasar itu. Sungguh pemandangan yang membangkitkan nafsu, pembaca bisa bayangkan tiga orang cewek muda keturunan Chinese, cantik, putih, sexy, dan high class sedang digumuli buruh-buruh kasar, hitam, beda ras dan beda status sosial sungguh pemandangan yang sensual bagiku. Kami melupakan sejenak harga diri, martabat, dan perbedaan lainnya demi kesenangan seksual. My fantasy has come true, demikian kataku dalam hati. Tidak puas hanya dengan menonton sementara yang lain melakukan, aku pun mendekati Sandra yang sedang bergaya woman on top diatas Endang. Kupeluk dia dari belakang dan kupegang kedua payudaranya yang bergoyang-goyang.
“Gimana San rasanya digangbang sama mereka San ?” tanyaku dekat kupingnya.
“Sadis…mhh…but it’s pretty cool…aah !” jawabnya terengah-engah.
“Win lu-lu…masukin lewat…uuhh…belakang…yah!”
Mereka berhenti sebentar agar aku bisa memasukkan penisku ke pantat Sandra. Kudorong tubuhnya ke depan hingga agak menelungkup. Aku meringis ketika memasukkan penisku ke duburnya karena sempit sehingga rasanya sedikit ngilu, hal yang sama pun dirasakan oleh Sandra, namun setelah masuk rasanya jadi enak banget. Sandra mendesah-desah merasakan dua penis yang memompa dua lubangnya. Desahannya bertambah seru karena si Endang menjilati payudaranya yang menggantung itu dijilati Endang dari bawah, sedangkan rambutnya kujambak seperti mengendarai kuda. Tanganku yang satu tidak tinggal diam, kadang meremas payudaranya, kadang mengelus punggung dan pantatnya, serta sesekali kutampar pantatnya hingga dia menjerit.
“Harder…harder please, Mang juga dong nyodoknya kencengin!”
Detik-detik terakhir menjelang orgasme, gerakan Sandra semakin liar saja, sodokanku pun kupercepat sesuai yang dimintanya. Akhirnya ditengah sodokan kami yang belum menunjukkan tanda-tanda berhenti dia orgasme yang ke sekian kalinya. Kami terus menggenjotnya tanpa mempedulikannya yang sudah kecapean. Pada akhirnya aku dan Endang menyiram tubuhnya dengan sperma kami, Endang menyiram dada dan perutnya, sedangkan aku menyiram mukanya sampai rambutnya juga kena.
Kulihat sekelilingku yang lain juga sudah hampir selesai. Mang Nurdin bersadar di sofa sambil menengadahkan kepala, di pahanya Santi yang tergolek lemas menyandarkan kepala dengan mata setengah terpejam, tak jauh disebelah mereka Pak Usep juga terduduk lemas memangku betis Santi di pahanya, sambil mengatur nafas, dia mengelusi betisnya yang mulus. Pak Andang tidak terlihat karena sedang ke toilet. Pertempuran terakhir pun selesai tak lama kemudian, Mang Obar menumpahkan spermanya ke punggung Ivana setelah ber-doggie style di sofa.
Yang tampangnya paling semerawut ya si Sandra, dia sudah dikeroyok dan digilir lima orang ditambah aku lagi. Tubuhnya sudah berlumuran keringat, sperma, dan ludah, belum lagi pantatnya ada bekas tamparanku tadi. Kasihan juga sih melihatnya, tapi dia sepertinya menikmati kok. Dia menggosok-gosokkan sperma itu pada beberapa bagian tubuhnya, juga menjilati yang menempel di jari-jarinya.
Ya, pesta telah berakhir, jam tanpa terasa telah menunjukkan jam delapan kurang sepuluh. Aku memberi uang rokok pada kelima buruhku sebelum mereka berpamitan pulang.
Ivana dan Santi terpaksa harus mandi lagi karena badannya berkeringat dan lengket-lengket lagi. Agar tidak mengantri kamar mandi, aku memakai kamar mandi di kamar papa-mamaku yang ada bath tub marmernya, itulah kamar mandi terbesar di rumahku. Asyik deh rasanya, berendam di bath tub bersama ketiga cewek cantik ini, disana kami saling gosok badan, ciuman, pegang-pegangan, di-Thai massage lagi sama si Santi, wah serasa jadi kaisar aja deh.
Habis makan malam Ivana pulang menumpang mobil Santi karena sudah ditelepon dari rumahnya. Sandra juga tadinya mau pulang, tapi kuminta dia nginap saja disini supaya bisa menemaniku yang sehari-hari kesepian ini, mumpung dia anak kost dan besoknya libur hari kemerdekaan. Akhirnya dia setuju juga setelah kumohon-mohon. Malam itu kami tidur telanjang di bawah selimut yang lembut, tapi tidak ML, cuma pegang-pegangan dan ciuman saja, cape kan tadi sore sudah lembur gitu, setelah ngobrol-ngobrol dikit langsung tertidur.
Keesokan harinya libur, aku banyak menghabiskan waktu bersamanya, bangun pagi-pagi kami sudah melakukannya di kamar mandi, sepanjang hari itu kami telanjang bulat di rumah dan sebagian besar terisi dengan permainan seks di segenap pelosok rumah, mulai dari kamar, dapur, taman belakang hingga meja makan. Sejak mengadakan liveshow itu aku sebenarnya ingin mengadakan kembali acara seperti itu tapi sebaiknya jangan sering-sering deh takutnya kalau banyak yang tahu. Tidak baik juga buatku dan teman-teman cewekku itu.
TAMAT
6/29/2011
Selamat Datang Aris Dan Paman Arjo! - bag. IV
Pagi hari setelah peristiwa terbaik sepanjang hidupku ...
Ada keributan di depan sekolahku. Fizkar dikeroyok Doni dan belasan temannya. Dia berdarah-darah. Namun, tiga orang dari belasan lawannya sudah terkapar kesakitan. Aku tak berani mendekat. Seharusnya aku membantu Fizkar menghadapi Doni dan teman-temannya. Namun, aku tidak pernah berkelahi. Kalaupun pernah bertengkar pasti berakhir dengan tangisanku. Dasar banci!
Fizkar dan lima orang teman Doni dibawa ke rumah sakit. Selebihnya diberikan pengobatan di sekolah. Doni melihatku. Wajahnya penuh dendam dan ancaman. Hey! Aku tidak terlibat, Don! Aku menggigil ketakutan. Bencong pengecut!
“Anak itu sudah terkena batunya!” sebuah bisikan. Aris berdiri menjajariku. Siapa yang dia maksud?
“Masih sekolah sudah merusak rumah tangga orang ...” lanjut Aris agak bergumam. Oooo ... Fizkar yang dia maksud ...
“Kamu tidak pernah tahu permasalahannya, Ris!” dengusku penuh kemarahan. Kutinggalkan dia mematung. Aku benci sekali padanya!
Pagi menuju siang dengan lambat ...
Satu orang teman Doni tewas! Seisi sekolah riuh. Seluruh siswa berkumpul di lapangan. Tidak mau belajar. Mereka menuntut Fizkar dikeluarkan dari sekolah! Aku hanya terdiam di pintu kelas. Jangan lakukan itu, padanya!
“Kamu masih menganggapnya baik-baik saja?” Aris menghampiriku. Aku tidak menjawab. Ini tidak adil! Aku pandangi wajah Aris. Penuh kemarahan ...
“Aku tidak akan pernah memaafkan orang-orang yang berusaha menyakitinya!” geramku. Aris terperangah. Barangkali ia tidak menduga kalau aku akan bereaksi seperti itu.
“Toro! Kamu ...”
“Pergi kamu dari sini! Kamu tidak pernah ada dalam kehidupan saya ...” usirku pada Aris.
“Ro ...”
“PERGI!” kugebrak pintu kelas dengan sekuat tenaga. Tanganku sakit tetapi lebih sakit melihat orang-orang telah mengadili Fizkar dengan tanpa perasaan. Aris menjauh. Wajahnya masih penuh ketidakpercayaan. Aku puas. Setidaknya ada orang yang tahu bahwa aku masih mendukung Fizkar.
Sepulang sekolah ...
Fizkar dikeluarkan dari sekolah. Belasan siswa yang mengeroyoknya hanya diberikan skorsing dan peringatan keras. Karena dianggap telah membunuh orang, Fizkar pun kemungkinan akan masuk penjara.
Perih ...
“Seharusnya kamu bersyukur, Ro! Tuhan membukakan matamu ... Segala keburukan Fizkar apakah belum cukup sebagai bukti kalau ...”
PLAKKK!
Kugampar pipi Aris. Ia langsung terdiam. Kutatapi wajahnya penuh kebencian.
“Kamu berani menamparku?!” nada pertanyaan Aris terdengar mengancam. Aku tidak takut. Kutentang dia sambil berkacak pinggang.
BRUGHH!!!
Ia mendorongku dengan keras! Aku tidak menyangka. Dengan gerakan tidak terkendali aku coba melepaskan diri dari tumbukan tubuhnya. Aris tidak mengendurkan cengkeramannya. Dan aku ... bukan tandingannya ...
Aku menangis. Aris membetot rambutku ke belakang. Ia ludahi wajahku. Aku tidak terima. Kubenturkan wajahku ke wajahnya. Sekeras mungkin. Ia menonjokku. Aku menjerit kesakitan. Kulemparkan benda apa pun yang terdekat ke arah Aris. Aris tambah kesetanan.
“Bencong banyak ulah, kamu!” hinanya sambil memelintir tanganku. Aku menjerit lagi. Tanganku seperti mau patah!
Aris akhirnya melepaskan pelintirannya. Aku tetap menangis. Tangis kesakitan dan ketakutan. Sakit karena aku memang tidak terbiasa dengan kekerasan fisik. Takut karena aku segera sadar bahwa Aris jago karate. Aku? ...Banci kerupuk!
Sesorean aku menangis di kamar. Pertanyaan ibu dan bapakku tak aku pedulikan. Aris sendiri hanya diam saat ditanya. Akhirnya, orang tuaku beranggapan aku bertengkar dengan Aris. Namun, mereka hanya beranggapan pertengkaran biasa karena kami masih berada di kamar bersama-sama.
Malam ...
“Toro! Maafkan Aris, ya? Aris tadi berlebihan menyakiti Toro ...” Aris sudah memelukku dari belakang. Aku hanya diam. Namun, kurasakan air mataku menetes. Kurasakan ketulusan dan kelembutan hati Aris saat mengucapkan kata-kata itu. Dia jago karate. Melumpuhkan aku hanya satu kali gebrakan saja pasti dia sanggup. Dia tidak melakukannya. Justru aku yang membabi buta menyerangnya. Padahal, jurusku hanya cakaran, jeritan, dan tangisan. Dasar bencong!
“Kalau Toro memang membenci Aris, minta saja pada Bude dan Pakde buat mengusir Aris! Aris banyak dibantu di sini tetapi Aris tidak pernah membuat Toro senang, malah sering menyakiti Toro! Sekarang Aris mau berikan apa yang Toro pernah inginkan dari Aris ...” Aris mengusap punggung tanganku. Dibimbingnya tanganku ke belakang. Ia sentuhkan tanganku pada kontolnya yang masih bercelana. Ia rela mengorbankan kontolnya hanya untuk maafku. Aku tarik tanganku. Kubalikkan tubuhku menghadap tubuhnya. Kupeluk tubuhnya dan kusungkurkan wajahku ke dadanya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aris menciumi kepalaku bertubi-tubi.
Malam merangkak menuju pagi ...
Aku masih dalam pelukan Aris. Rupanya aku tertidur dalam rengkuhannya.
“Baru jam satu ... tidur saja lagi ...” bisik Aris lembut. Ia tidak tidur.
“Ris ... kamu tetap di sini, ya! Jangan pulang ...” ratapku sendu. Aku tidak ingin kehilangan lagi. Baru tadi siang aku kehilangan Fizkar.
“Kalau itu baik buat kamu, aku masih betah di sini ...” Aris menghela nafasnya. Berat.
Sunyi sesaat.
Aris membuka bajunya. Gerah? Ia juga membuka celananya. Aris? Kontol yang dulu pernah aku kocok itu berjuntai kenyal. Lebih besar dari sebelumnya. Cepat sekali perubahannya ...
“Kamu kini memiliki aku utuh, Ro!” Aris terbaring tengadah. Aku tak berani bergerak. Hanya berani memandangi keindahan itu dalam keremangan lampu kamar.
“Ayo, Ro! Aku ikhlas ...” Aris pasrah. Namun, tidak ada ajakan di sana. Tidak ada birahi Aris padaku. Aku menggeleng.
“Ayolah ...!” Aris meraih tanganku. Aku sudah tertelungkup di atas tubuhnya. Kosong.
“Lakukan seperti yang pernah kamu lakukan pada Fizkar, Ro!” pintanya.
“Fizkar menerimaku tanpa keterpaksaan ...” hindarku.
“Aku salah seorang yang membuat Fizkar harus pergi dari kehidupan kamu, Ro! Aku harus menebus kesalahan itu ... Aku akan memberikan apa pun yang pernah Fizkar berikan padamu!” janjinya.
“Aku terasing dalam kelemahanku, Ris! Fizkar tersisih dalam kekerasannya! Kami saling mengisi kesunyian kami masing-masing ...” mataku menerawang. Fizkar! Apa yang kamu rasakan di sana?
“Biarkan aku menggantikan Fizkar sesaat, Ro! Kalau dia kembali, aku akan pergi ...” suara Aris melemah. Benarkah kamu akan kembali, Fizkar?
Aris mencumbuiku dini hari itu. Aku berusaha tidak membalasnya. Kuandaikan diriku hanya sebuah bangkai yang bebas ia perlakukan sepuasnya. Namun, Aris tidak menyerah. Kepasifanku justru memancing rasa penasarannya. Benarkah aku tak menginginkan dirinya?
Seorang hansip memukul tiang listrik sebanyak dua kali ...
Aris menindihku. Kami sudah sama-sama bugil. Permainannya selembut Fizkar. Ia sungguh-sungguh ingin menggantikan Fizkar.
“Sakit, Ris! ...” ucapku saat kurasakan kontolnya hendak dihujamkan ke anusku. Sisa Fizkar kemarin masih terasa sakitnya.
“Aku masukin pelan-pelan, kok!” bujuknya. Meskipun kontolnya tidak sebesar Fizkar, tetapi ukuran Aris termasuk super juga. Apalagi baru kemarin Fizkar merojok duburku.
“Kasih pelicin dulu ...” pintaku. Aris mengambil sebotol lotion. Lotion yang sering kugunakan untuk merancap sendirian.
...
“Enak?” tanya Aris sumringah. Kontolnya sudah mondar-mandir di pantatku. Gerakannya lebih bebas. Dengan lotion itu lubang pantatku lebih mudah ditembus. Apalagi diameter kontol Aris lebih kecil dibandingkan kontol Fizkar. Kondisi ini sangat menguntungkan. Nikmatnya jauh lebih besar daripada sakitnya.
Oooouch ... kontolku yang terbanting ke sana ke mari akibat sodokan kontol Aris mulai mengeluarkan peju. Ejakulasiku yang pertama ...
Aris terus menggenjotku. Ia telah terbakar dalam nikmat homoseksual ...
“Sudah, Ris! Aku sudah keluar lagi ...” ujarku kepayahan. Aris menghentikan entotannya. Ia tarik perlahan kontolnya ke luar. Aku terkapar tak berdaya. Aris pun menghempaskan tubuhnya. Tetap telentang. Kontol itu tetap mencuat.
“Keluarkan aku, Ro!” pintanya memohon. Akh, nafsunya belum terbebaskan. Kudekati tubuhnya. Kubersihkan kontol itu dari cairan anus dan lotion dengan bajuku. Setelah kurasa bersih segera kukocok perlahan ...
“Isep, Ro!” mohonnya lagi. Aku teringat Paman Arjo. Ach! Air cucuran atap itu akhirnya jatuh ke pelimbahan juga. Paman Arjo sangat senang kontolnya aku isep. Sekarang, Aris, anaknya juga minta diperlakukan sama!
Tak kupungkiri kontol Aris lebih segar dibandingkan bapaknya. Bahkan, ukurannya sudah menyamai. Beberapa tahun mendatang kontol Aris akan lebih besar daripada kontol Paman Arjo.
“Ro! ... mau keluar, Ro!” ceracau Aris bergetar. Hanya sepersekian detik setelah ia bicara kontol itu telah meledak. Cairan keperjakaannya mengisi ruang kosong di mulut dan tenggorokanku. Kehangatan itu mengalir ...
Masih jam tiga ...
Kami berbaring berpelukan. Tanpa pembatas. Aku ingin bermimpi indah pagi ini. Aris menggigit telingaku perlahan ...
“Maaf ... kalau aku tidak sehebat Fizkar ...” desisnya.
Aku merangkulnya lebih rapat. Aku tidak ingin membandingkan Fizkar dengannya. Aku bahagia dengan Fizkar. Aku pun nyaman bersama Aris. Aku ingin Aris tahu hal itu.
Aris balas merengkuhku. Sepertinya ia tahu hal itu ...
Aris tidak bermain-main dengan janjinya. Ia gantikan Fizkar dalam hidupku. Kamar tidur kami sudah berulang kali menjadi saksi kehangatan cinta kasih sepasang remaja lelaki. Selama dua tahun semuanya berlangsung. Fizkar tetap tidak ada berita.
Kami lulus dengan nilai cukup baik. Aris mengikuti pesan bapaknya untuk langsung bekerja. Bukan hal yang sulit baginya yang memiliki banyak kelebihan. Ia diterima sebagai operator pabrik penghasil kendaraan bermotor kenamaan di wilayah Jakarta Utara. Ia pun memutuskan tinggal di tempat kost yang lebih dekat dengan tempatnya bekerja. Selain menghemat biaya transportasi, ia juga tidak ingin merepotkan orang tuaku yang semakin tidak produktif. Ibu sakit. Warung ditutup karena bapak juga tidak sanggup mengelolanya. Aku? Bisa apa katak dalam tempurung? Banci!
Ibu meninggal. Untuk mengurus bapak, Mbak Laras dan suaminya, Bang Samsul, tinggal bersama kami. Selain mengurus keperluan bapak sehari-hari dan makanku, Mbak Laras membuka warung kelontong kecil-kecilan di depan rumah. Bang Samsul? Pria Betawi asli yang lebih suka memancing, nongkrong-nongkrong, atau tidur seharian di rumah. Aku sendiri hampir setengah tahun menganggur. Ingin kuliah tidak tega. Ingin bekerja sulit mendapatkannya. Aku selalu gagal saat diwawancara.
Bapak pun meninggal. Aku benar-benar kehilangan. Aku memutuskan untuk membantu Mbak Laras. Aku bertugas melayani pembeli. Urusan belanja dan penetuan jenis barang dagangan tetap Mbak Laras. Sesudah belanja barang dagangan, Mbak Laras mencoba kembali menghidupkan warung di kantin yang pernah dikelola ibu. Praktis, warung kecil depan rumah itu menjadi tanggung jawab aku seharian.
“Ooahem ... “ terdengar suara kuapan yang keras sekali. Tumben baru jam sembilan Bang Samsul sudah bangun. Biasanya paling cepat jam sebelas ia bangun setelah begadang semalaman akibat menonton bola atau sekadar bermain kartu di pos ronda. Mbak Laras sudah dua jam lalu meninggalkan rumah.
“Sudah bangun, Bang?” tegurku basa-basi.Orangnya sangar, jadi aku harus baik-baik dengannya. Ini pesan kakakku.
“Bikinin gue kopi, Ro!” perintahnya songong. Aduh, tuan tanah ...
Aku penuhi permintaannya meskipun mendongkol. Kuletakkan kopi itu di hadapannya yang sedang membaca koran. Ia memaksa Mbak Laras untuk berlangganan koran. Selain untuk mengisi kekosongan juga buat mengotak-atik kode togel yang secara terselubung ada di dalamnya.
“Ada air hangat, Ro? Gue mau mandi tapi dingin banget ...” Anjing! Monyet satu ini benar-benar benalu! Kasihan Mbak Laras ...
“Habis buat bikin kopi ...” jawabku datar. Kegeramanku sengaja kusembunyikan.
“Masak air, gih!” Hah! Benar-benar keterlaluan! Namun, aku tidak berani melawan ... Bencong!
Kutinggalkan warung yang memang hanya ramai di siang atau sore hari seusai anak-anak SD pulang sekolah. Sabar ... sabar ... Kujerang air.
“Sudah matang, Ro?” tanyanya lima belas menit kemudian. Aku hanya mengangguk. Malas berbicara dengan juragan satu itu.
“Tuang ke bak sekalian, ya! Hangat saja ...” ujarnya enteng. Grrrrr .... Asap mungkin sudah mengepul di atas kepalaku. Jam sembilan baru bangun, mau mandi saja kedinginan. Ini Jakarta, Bung! Betawi gila!
Aku penuhi permintaannya dengan sisa-sisa kesabaranku. Kukira-kira suhu yang tepat. Tidak panas juga tidak dingin. Hangat.
“Sudah?” Bang Samsul kembali bertanya setelah aku keluar dari kamar mandi.
“Sudah!’ judesku, “Mau dimandikan sekalian?!” tanyaku kesal. Bang Samsul terlihat kaget. Ia mungkin tidak menyangka kalau aku akan menanggapinya demikian. Aku langsung gemetar saat menyadari wajahnya mengeras.
“Ngentot lo! Ngomong apa lo?!” tanyanya bengis. Ia cengkeram kerah bajuku. Diangkatnya. Kemudian dihempaskannya aku ke dalam warung.
“Ampun, Bang ...” ratapku. Air mataku sudah meleleh ... Dasar banciiiiii !
Ketakutanku tidak menyurutkan kekejaman Bang Samsul. Ia langsung menyepak. Wajahku yang ditujunya. Untungnya aku sudah membalikkan badan sehingga tendangannya hanya mengenai bagian belakang kepalaku pelan.
“Elo mau macam-macam sama gue?!” tubuhku kembali dia angkat. Tuhan! Dia benar-benar kesetanan. Matanya terlihat merah. Aku merasakan sesuatu mengalir dari balik celanaku. Aku terkencing-kencing ...
Bang Smasul membanting tubuhku lagi. Sakit! Dia tekan kepalaku ke genangan air seniku sendiri.
“Jilat sampai kering!” Aku mencoba menahan tekanannya. Tak berdaya.
“Ampuuuunnn, Bang!....” aku lebih keras berteriak memohon. Berharap ada tetangga yang mendengar. Barangkali bisa menghentikan aksi kesetanan bang Samsul terhadapku.
“Terus! Teriak lebih keras!” perintahnya mengancam. Ia sobek celanaku dengan kekuatan tangannya yang besar. BRETTT.... BRETT.... BRET....
Aku sudah tanpa celana! Kontolku yang mengkeret ketakutan diremasnya kasar.
“Kontol banci! Kecil begini ... Bencong!” hinanya. Aku hendak menjerit kesakitan. Namun, suara itu tidak keluar. Mulutku terbungkam karena kepalaku ditariknya ke belakang dengan kasar. Ia balikkan tubuhku. Ia pertahankan posisi tubuhku dalam keadaan menungging. Rambutku dicengkermnya kuat ke belakang. Aku sungguh tak berdaya ...
“Gue entot lo sampai mampus!” dengusnya di telingaku. Oh, kontol itu sudah menyentuh pantatku. Tidaaaakkk!
“Jangan, Bang! Ampuuunn ...” pintaku terus mengiba. Namun Bang Samsul tidak pernah ada keinginan untuk menghentikannya. Duburku yang sudah terlatih dengan sodokan kontol Aris tak kuasa menghalau gempuran kontol Bang Samsul. Karena dalam ketakutan, kurasakan kontol itu jauh lebih menyakitkan daripada kontol Aris maupun Fizkar. Aku akhirnya pasrah. Kucoba menikmatinya supaya tidak terlalu sakit.
“Mas Toro ada ...”suara seorang pembeli terhenti.
“Nyari apa, Wan?” Suara Bang Samsul terdengar mengejek. Ia tetap mengentoti pantatku. Kulihat Iwan termangu melihat pemandangan di hadapannya.
“Mas Toro diapakan, Bang?” tanya Iwan terdengar khawatir. Anak itu sudah kelas satu SMP, harusnya sudah mengerti!
“Gue entot biar jadi lelaki sejati!” jawab Bang Samsul asal. Iwan tidak beranjak. Mungkin rasa ingin tahunya membuat ia tetap menyaksikan penderitaanku. Aku malu sekali.
“Tidak sakit, Mas?” tanyanya lugu padaku. Aku hanya meringis.
“Jelas nggak! Dia keenakan, Wan! Nih, lihat!” Bang Samsul mempercepat entotannya. Aku meratap-ratap. Namun, karena dalam keadaan terguncang-guncang suaraku justru seorang yang sedang merasakan kenikmatan. Sial!
“Iwan mau, Bang!” Hah!
“Elo panggilin teman-teman lo!” perintah Bang Samsul pada Iwan. Iwan langsung menghilang. Ia memanggil teman-temannya!
Bang Samsul terus mengoyak anusku dengan kontol besarnya. Tak lama Iwan kembali bersama dua orang temannya. Harun dan Jaka.
“Waduh! Enak banget, ya, Bang?” Mereka bertanya hampir bersamaan. Wajahku Bang Samsul arahkan ke mereka. Ia ingin menghancurkanku!
“Tanya ke dia, nih!” tunjuk Bang Samsul.
“Wah, namanya juga bencong! Dikasih kontol pasti keenakan!” ucapan Jaka membuat mereka tertawa bersamaan.
“Sekarang elo bertiga hajar banci ini pakai kontol elo semua! Bikin di sampai ampun-ampun!” Bang Samsul edan!
Aku mencoba berontak saat Iwan meremas-remas pantatku sambil menggosok-gosok kontolnya yang sudah ngaceng. Namun, Jaka menarik kepalaku ke selangkangannya. Ia hujamkan kontolnya yang mulai berjembut itu ke mulutku. Aku tidak mau menggigitnya. Mereka dan bang Samsul pasti akan membalasnya dengan lebih menyakitkan.
“Wah, saya di mana, nih?” Harun masih memegangi kontolnya yang juga sudah ngaceng. Kedua lubangku telah terisi.
“Masukin ke boolnya! Pantatnya sudah longgar! Elo bareng Iwan hajar sampai kapok tuh bencong!” ajaran Bang Samsul mengompori ketiga abg tersebut.
“Iya, Run! Kita entot bareng! Masih longgar, nih! Ach!” Iwan menggeser posisinya. Dua kontol sudah melesak ke anusku. Biarpun masih kecil tetapi karena dua sekaligus aku merasakan sesak di pantatku. Iwan dan Harun menusukkan kontolnya bergantian. Saat Iwan maju, Harun mundur. Demikian seterusnya. Hingga sensasi itu tak pernah berhenti.
Jaka sendiri benar-benar kupuaskan akhirnya. Dengan kepiawaian mulut homoku, kuberikan pelayanan paling sempurna untuk abg yang kalau besar nanti menurutku akan seperti Kaka Slank.
Siang itu akhirnya aku menjadi budak seks keempat lelaki tersebut. Bang Samsul menyemburkan pejunya ke wajahku. Panas sekali! Nuansa penghinaannya terasa sekali. Ia puas melumuri bagian tubuhku yang paling terhormat dengan cairan tetes hina dari kontolnya.
Tindakan Bang Samsul diikuti ketiga abg tersebut.
CRETTT ... CRETT .. CRET
Peju Iwan membasahi pipi kananku.
CROT ... CROT .. CROT
Kini giliran dahi kiriku terkena semburan kontol Harun.
CRUOT ... CROTT ...CROTTT
Jaka mengakhiri semuanya dengan menyiramkan cairan kontolnya di tengah-tengah wajahku. Ia memulaskan kepala kontolnya yang merah ke seluruh wajahku.
Aku puas ...
Meski terhina.
Ada keributan di depan sekolahku. Fizkar dikeroyok Doni dan belasan temannya. Dia berdarah-darah. Namun, tiga orang dari belasan lawannya sudah terkapar kesakitan. Aku tak berani mendekat. Seharusnya aku membantu Fizkar menghadapi Doni dan teman-temannya. Namun, aku tidak pernah berkelahi. Kalaupun pernah bertengkar pasti berakhir dengan tangisanku. Dasar banci!
Fizkar dan lima orang teman Doni dibawa ke rumah sakit. Selebihnya diberikan pengobatan di sekolah. Doni melihatku. Wajahnya penuh dendam dan ancaman. Hey! Aku tidak terlibat, Don! Aku menggigil ketakutan. Bencong pengecut!
“Anak itu sudah terkena batunya!” sebuah bisikan. Aris berdiri menjajariku. Siapa yang dia maksud?
“Masih sekolah sudah merusak rumah tangga orang ...” lanjut Aris agak bergumam. Oooo ... Fizkar yang dia maksud ...
“Kamu tidak pernah tahu permasalahannya, Ris!” dengusku penuh kemarahan. Kutinggalkan dia mematung. Aku benci sekali padanya!
Pagi menuju siang dengan lambat ...
Satu orang teman Doni tewas! Seisi sekolah riuh. Seluruh siswa berkumpul di lapangan. Tidak mau belajar. Mereka menuntut Fizkar dikeluarkan dari sekolah! Aku hanya terdiam di pintu kelas. Jangan lakukan itu, padanya!
“Kamu masih menganggapnya baik-baik saja?” Aris menghampiriku. Aku tidak menjawab. Ini tidak adil! Aku pandangi wajah Aris. Penuh kemarahan ...
“Aku tidak akan pernah memaafkan orang-orang yang berusaha menyakitinya!” geramku. Aris terperangah. Barangkali ia tidak menduga kalau aku akan bereaksi seperti itu.
“Toro! Kamu ...”
“Pergi kamu dari sini! Kamu tidak pernah ada dalam kehidupan saya ...” usirku pada Aris.
“Ro ...”
“PERGI!” kugebrak pintu kelas dengan sekuat tenaga. Tanganku sakit tetapi lebih sakit melihat orang-orang telah mengadili Fizkar dengan tanpa perasaan. Aris menjauh. Wajahnya masih penuh ketidakpercayaan. Aku puas. Setidaknya ada orang yang tahu bahwa aku masih mendukung Fizkar.
Sepulang sekolah ...
Fizkar dikeluarkan dari sekolah. Belasan siswa yang mengeroyoknya hanya diberikan skorsing dan peringatan keras. Karena dianggap telah membunuh orang, Fizkar pun kemungkinan akan masuk penjara.
Perih ...
“Seharusnya kamu bersyukur, Ro! Tuhan membukakan matamu ... Segala keburukan Fizkar apakah belum cukup sebagai bukti kalau ...”
PLAKKK!
Kugampar pipi Aris. Ia langsung terdiam. Kutatapi wajahnya penuh kebencian.
“Kamu berani menamparku?!” nada pertanyaan Aris terdengar mengancam. Aku tidak takut. Kutentang dia sambil berkacak pinggang.
BRUGHH!!!
Ia mendorongku dengan keras! Aku tidak menyangka. Dengan gerakan tidak terkendali aku coba melepaskan diri dari tumbukan tubuhnya. Aris tidak mengendurkan cengkeramannya. Dan aku ... bukan tandingannya ...
Aku menangis. Aris membetot rambutku ke belakang. Ia ludahi wajahku. Aku tidak terima. Kubenturkan wajahku ke wajahnya. Sekeras mungkin. Ia menonjokku. Aku menjerit kesakitan. Kulemparkan benda apa pun yang terdekat ke arah Aris. Aris tambah kesetanan.
“Bencong banyak ulah, kamu!” hinanya sambil memelintir tanganku. Aku menjerit lagi. Tanganku seperti mau patah!
Aris akhirnya melepaskan pelintirannya. Aku tetap menangis. Tangis kesakitan dan ketakutan. Sakit karena aku memang tidak terbiasa dengan kekerasan fisik. Takut karena aku segera sadar bahwa Aris jago karate. Aku? ...Banci kerupuk!
Sesorean aku menangis di kamar. Pertanyaan ibu dan bapakku tak aku pedulikan. Aris sendiri hanya diam saat ditanya. Akhirnya, orang tuaku beranggapan aku bertengkar dengan Aris. Namun, mereka hanya beranggapan pertengkaran biasa karena kami masih berada di kamar bersama-sama.
Malam ...
“Toro! Maafkan Aris, ya? Aris tadi berlebihan menyakiti Toro ...” Aris sudah memelukku dari belakang. Aku hanya diam. Namun, kurasakan air mataku menetes. Kurasakan ketulusan dan kelembutan hati Aris saat mengucapkan kata-kata itu. Dia jago karate. Melumpuhkan aku hanya satu kali gebrakan saja pasti dia sanggup. Dia tidak melakukannya. Justru aku yang membabi buta menyerangnya. Padahal, jurusku hanya cakaran, jeritan, dan tangisan. Dasar bencong!
“Kalau Toro memang membenci Aris, minta saja pada Bude dan Pakde buat mengusir Aris! Aris banyak dibantu di sini tetapi Aris tidak pernah membuat Toro senang, malah sering menyakiti Toro! Sekarang Aris mau berikan apa yang Toro pernah inginkan dari Aris ...” Aris mengusap punggung tanganku. Dibimbingnya tanganku ke belakang. Ia sentuhkan tanganku pada kontolnya yang masih bercelana. Ia rela mengorbankan kontolnya hanya untuk maafku. Aku tarik tanganku. Kubalikkan tubuhku menghadap tubuhnya. Kupeluk tubuhnya dan kusungkurkan wajahku ke dadanya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aris menciumi kepalaku bertubi-tubi.
Malam merangkak menuju pagi ...
Aku masih dalam pelukan Aris. Rupanya aku tertidur dalam rengkuhannya.
“Baru jam satu ... tidur saja lagi ...” bisik Aris lembut. Ia tidak tidur.
“Ris ... kamu tetap di sini, ya! Jangan pulang ...” ratapku sendu. Aku tidak ingin kehilangan lagi. Baru tadi siang aku kehilangan Fizkar.
“Kalau itu baik buat kamu, aku masih betah di sini ...” Aris menghela nafasnya. Berat.
Sunyi sesaat.
Aris membuka bajunya. Gerah? Ia juga membuka celananya. Aris? Kontol yang dulu pernah aku kocok itu berjuntai kenyal. Lebih besar dari sebelumnya. Cepat sekali perubahannya ...
“Kamu kini memiliki aku utuh, Ro!” Aris terbaring tengadah. Aku tak berani bergerak. Hanya berani memandangi keindahan itu dalam keremangan lampu kamar.
“Ayo, Ro! Aku ikhlas ...” Aris pasrah. Namun, tidak ada ajakan di sana. Tidak ada birahi Aris padaku. Aku menggeleng.
“Ayolah ...!” Aris meraih tanganku. Aku sudah tertelungkup di atas tubuhnya. Kosong.
“Lakukan seperti yang pernah kamu lakukan pada Fizkar, Ro!” pintanya.
“Fizkar menerimaku tanpa keterpaksaan ...” hindarku.
“Aku salah seorang yang membuat Fizkar harus pergi dari kehidupan kamu, Ro! Aku harus menebus kesalahan itu ... Aku akan memberikan apa pun yang pernah Fizkar berikan padamu!” janjinya.
“Aku terasing dalam kelemahanku, Ris! Fizkar tersisih dalam kekerasannya! Kami saling mengisi kesunyian kami masing-masing ...” mataku menerawang. Fizkar! Apa yang kamu rasakan di sana?
“Biarkan aku menggantikan Fizkar sesaat, Ro! Kalau dia kembali, aku akan pergi ...” suara Aris melemah. Benarkah kamu akan kembali, Fizkar?
Aris mencumbuiku dini hari itu. Aku berusaha tidak membalasnya. Kuandaikan diriku hanya sebuah bangkai yang bebas ia perlakukan sepuasnya. Namun, Aris tidak menyerah. Kepasifanku justru memancing rasa penasarannya. Benarkah aku tak menginginkan dirinya?
Seorang hansip memukul tiang listrik sebanyak dua kali ...
Aris menindihku. Kami sudah sama-sama bugil. Permainannya selembut Fizkar. Ia sungguh-sungguh ingin menggantikan Fizkar.
“Sakit, Ris! ...” ucapku saat kurasakan kontolnya hendak dihujamkan ke anusku. Sisa Fizkar kemarin masih terasa sakitnya.
“Aku masukin pelan-pelan, kok!” bujuknya. Meskipun kontolnya tidak sebesar Fizkar, tetapi ukuran Aris termasuk super juga. Apalagi baru kemarin Fizkar merojok duburku.
“Kasih pelicin dulu ...” pintaku. Aris mengambil sebotol lotion. Lotion yang sering kugunakan untuk merancap sendirian.
...
“Enak?” tanya Aris sumringah. Kontolnya sudah mondar-mandir di pantatku. Gerakannya lebih bebas. Dengan lotion itu lubang pantatku lebih mudah ditembus. Apalagi diameter kontol Aris lebih kecil dibandingkan kontol Fizkar. Kondisi ini sangat menguntungkan. Nikmatnya jauh lebih besar daripada sakitnya.
Oooouch ... kontolku yang terbanting ke sana ke mari akibat sodokan kontol Aris mulai mengeluarkan peju. Ejakulasiku yang pertama ...
Aris terus menggenjotku. Ia telah terbakar dalam nikmat homoseksual ...
“Sudah, Ris! Aku sudah keluar lagi ...” ujarku kepayahan. Aris menghentikan entotannya. Ia tarik perlahan kontolnya ke luar. Aku terkapar tak berdaya. Aris pun menghempaskan tubuhnya. Tetap telentang. Kontol itu tetap mencuat.
“Keluarkan aku, Ro!” pintanya memohon. Akh, nafsunya belum terbebaskan. Kudekati tubuhnya. Kubersihkan kontol itu dari cairan anus dan lotion dengan bajuku. Setelah kurasa bersih segera kukocok perlahan ...
“Isep, Ro!” mohonnya lagi. Aku teringat Paman Arjo. Ach! Air cucuran atap itu akhirnya jatuh ke pelimbahan juga. Paman Arjo sangat senang kontolnya aku isep. Sekarang, Aris, anaknya juga minta diperlakukan sama!
Tak kupungkiri kontol Aris lebih segar dibandingkan bapaknya. Bahkan, ukurannya sudah menyamai. Beberapa tahun mendatang kontol Aris akan lebih besar daripada kontol Paman Arjo.
“Ro! ... mau keluar, Ro!” ceracau Aris bergetar. Hanya sepersekian detik setelah ia bicara kontol itu telah meledak. Cairan keperjakaannya mengisi ruang kosong di mulut dan tenggorokanku. Kehangatan itu mengalir ...
Masih jam tiga ...
Kami berbaring berpelukan. Tanpa pembatas. Aku ingin bermimpi indah pagi ini. Aris menggigit telingaku perlahan ...
“Maaf ... kalau aku tidak sehebat Fizkar ...” desisnya.
Aku merangkulnya lebih rapat. Aku tidak ingin membandingkan Fizkar dengannya. Aku bahagia dengan Fizkar. Aku pun nyaman bersama Aris. Aku ingin Aris tahu hal itu.
Aris balas merengkuhku. Sepertinya ia tahu hal itu ...
Aris tidak bermain-main dengan janjinya. Ia gantikan Fizkar dalam hidupku. Kamar tidur kami sudah berulang kali menjadi saksi kehangatan cinta kasih sepasang remaja lelaki. Selama dua tahun semuanya berlangsung. Fizkar tetap tidak ada berita.
Kami lulus dengan nilai cukup baik. Aris mengikuti pesan bapaknya untuk langsung bekerja. Bukan hal yang sulit baginya yang memiliki banyak kelebihan. Ia diterima sebagai operator pabrik penghasil kendaraan bermotor kenamaan di wilayah Jakarta Utara. Ia pun memutuskan tinggal di tempat kost yang lebih dekat dengan tempatnya bekerja. Selain menghemat biaya transportasi, ia juga tidak ingin merepotkan orang tuaku yang semakin tidak produktif. Ibu sakit. Warung ditutup karena bapak juga tidak sanggup mengelolanya. Aku? Bisa apa katak dalam tempurung? Banci!
Ibu meninggal. Untuk mengurus bapak, Mbak Laras dan suaminya, Bang Samsul, tinggal bersama kami. Selain mengurus keperluan bapak sehari-hari dan makanku, Mbak Laras membuka warung kelontong kecil-kecilan di depan rumah. Bang Samsul? Pria Betawi asli yang lebih suka memancing, nongkrong-nongkrong, atau tidur seharian di rumah. Aku sendiri hampir setengah tahun menganggur. Ingin kuliah tidak tega. Ingin bekerja sulit mendapatkannya. Aku selalu gagal saat diwawancara.
Bapak pun meninggal. Aku benar-benar kehilangan. Aku memutuskan untuk membantu Mbak Laras. Aku bertugas melayani pembeli. Urusan belanja dan penetuan jenis barang dagangan tetap Mbak Laras. Sesudah belanja barang dagangan, Mbak Laras mencoba kembali menghidupkan warung di kantin yang pernah dikelola ibu. Praktis, warung kecil depan rumah itu menjadi tanggung jawab aku seharian.
“Ooahem ... “ terdengar suara kuapan yang keras sekali. Tumben baru jam sembilan Bang Samsul sudah bangun. Biasanya paling cepat jam sebelas ia bangun setelah begadang semalaman akibat menonton bola atau sekadar bermain kartu di pos ronda. Mbak Laras sudah dua jam lalu meninggalkan rumah.
“Sudah bangun, Bang?” tegurku basa-basi.Orangnya sangar, jadi aku harus baik-baik dengannya. Ini pesan kakakku.
“Bikinin gue kopi, Ro!” perintahnya songong. Aduh, tuan tanah ...
Aku penuhi permintaannya meskipun mendongkol. Kuletakkan kopi itu di hadapannya yang sedang membaca koran. Ia memaksa Mbak Laras untuk berlangganan koran. Selain untuk mengisi kekosongan juga buat mengotak-atik kode togel yang secara terselubung ada di dalamnya.
“Ada air hangat, Ro? Gue mau mandi tapi dingin banget ...” Anjing! Monyet satu ini benar-benar benalu! Kasihan Mbak Laras ...
“Habis buat bikin kopi ...” jawabku datar. Kegeramanku sengaja kusembunyikan.
“Masak air, gih!” Hah! Benar-benar keterlaluan! Namun, aku tidak berani melawan ... Bencong!
Kutinggalkan warung yang memang hanya ramai di siang atau sore hari seusai anak-anak SD pulang sekolah. Sabar ... sabar ... Kujerang air.
“Sudah matang, Ro?” tanyanya lima belas menit kemudian. Aku hanya mengangguk. Malas berbicara dengan juragan satu itu.
“Tuang ke bak sekalian, ya! Hangat saja ...” ujarnya enteng. Grrrrr .... Asap mungkin sudah mengepul di atas kepalaku. Jam sembilan baru bangun, mau mandi saja kedinginan. Ini Jakarta, Bung! Betawi gila!
Aku penuhi permintaannya dengan sisa-sisa kesabaranku. Kukira-kira suhu yang tepat. Tidak panas juga tidak dingin. Hangat.
“Sudah?” Bang Samsul kembali bertanya setelah aku keluar dari kamar mandi.
“Sudah!’ judesku, “Mau dimandikan sekalian?!” tanyaku kesal. Bang Samsul terlihat kaget. Ia mungkin tidak menyangka kalau aku akan menanggapinya demikian. Aku langsung gemetar saat menyadari wajahnya mengeras.
“Ngentot lo! Ngomong apa lo?!” tanyanya bengis. Ia cengkeram kerah bajuku. Diangkatnya. Kemudian dihempaskannya aku ke dalam warung.
“Ampun, Bang ...” ratapku. Air mataku sudah meleleh ... Dasar banciiiiii !
Ketakutanku tidak menyurutkan kekejaman Bang Samsul. Ia langsung menyepak. Wajahku yang ditujunya. Untungnya aku sudah membalikkan badan sehingga tendangannya hanya mengenai bagian belakang kepalaku pelan.
“Elo mau macam-macam sama gue?!” tubuhku kembali dia angkat. Tuhan! Dia benar-benar kesetanan. Matanya terlihat merah. Aku merasakan sesuatu mengalir dari balik celanaku. Aku terkencing-kencing ...
Bang Smasul membanting tubuhku lagi. Sakit! Dia tekan kepalaku ke genangan air seniku sendiri.
“Jilat sampai kering!” Aku mencoba menahan tekanannya. Tak berdaya.
“Ampuuuunnn, Bang!....” aku lebih keras berteriak memohon. Berharap ada tetangga yang mendengar. Barangkali bisa menghentikan aksi kesetanan bang Samsul terhadapku.
“Terus! Teriak lebih keras!” perintahnya mengancam. Ia sobek celanaku dengan kekuatan tangannya yang besar. BRETTT.... BRETT.... BRET....
Aku sudah tanpa celana! Kontolku yang mengkeret ketakutan diremasnya kasar.
“Kontol banci! Kecil begini ... Bencong!” hinanya. Aku hendak menjerit kesakitan. Namun, suara itu tidak keluar. Mulutku terbungkam karena kepalaku ditariknya ke belakang dengan kasar. Ia balikkan tubuhku. Ia pertahankan posisi tubuhku dalam keadaan menungging. Rambutku dicengkermnya kuat ke belakang. Aku sungguh tak berdaya ...
“Gue entot lo sampai mampus!” dengusnya di telingaku. Oh, kontol itu sudah menyentuh pantatku. Tidaaaakkk!
“Jangan, Bang! Ampuuunn ...” pintaku terus mengiba. Namun Bang Samsul tidak pernah ada keinginan untuk menghentikannya. Duburku yang sudah terlatih dengan sodokan kontol Aris tak kuasa menghalau gempuran kontol Bang Samsul. Karena dalam ketakutan, kurasakan kontol itu jauh lebih menyakitkan daripada kontol Aris maupun Fizkar. Aku akhirnya pasrah. Kucoba menikmatinya supaya tidak terlalu sakit.
“Mas Toro ada ...”suara seorang pembeli terhenti.
“Nyari apa, Wan?” Suara Bang Samsul terdengar mengejek. Ia tetap mengentoti pantatku. Kulihat Iwan termangu melihat pemandangan di hadapannya.
“Mas Toro diapakan, Bang?” tanya Iwan terdengar khawatir. Anak itu sudah kelas satu SMP, harusnya sudah mengerti!
“Gue entot biar jadi lelaki sejati!” jawab Bang Samsul asal. Iwan tidak beranjak. Mungkin rasa ingin tahunya membuat ia tetap menyaksikan penderitaanku. Aku malu sekali.
“Tidak sakit, Mas?” tanyanya lugu padaku. Aku hanya meringis.
“Jelas nggak! Dia keenakan, Wan! Nih, lihat!” Bang Samsul mempercepat entotannya. Aku meratap-ratap. Namun, karena dalam keadaan terguncang-guncang suaraku justru seorang yang sedang merasakan kenikmatan. Sial!
“Iwan mau, Bang!” Hah!
“Elo panggilin teman-teman lo!” perintah Bang Samsul pada Iwan. Iwan langsung menghilang. Ia memanggil teman-temannya!
Bang Samsul terus mengoyak anusku dengan kontol besarnya. Tak lama Iwan kembali bersama dua orang temannya. Harun dan Jaka.
“Waduh! Enak banget, ya, Bang?” Mereka bertanya hampir bersamaan. Wajahku Bang Samsul arahkan ke mereka. Ia ingin menghancurkanku!
“Tanya ke dia, nih!” tunjuk Bang Samsul.
“Wah, namanya juga bencong! Dikasih kontol pasti keenakan!” ucapan Jaka membuat mereka tertawa bersamaan.
“Sekarang elo bertiga hajar banci ini pakai kontol elo semua! Bikin di sampai ampun-ampun!” Bang Samsul edan!
Aku mencoba berontak saat Iwan meremas-remas pantatku sambil menggosok-gosok kontolnya yang sudah ngaceng. Namun, Jaka menarik kepalaku ke selangkangannya. Ia hujamkan kontolnya yang mulai berjembut itu ke mulutku. Aku tidak mau menggigitnya. Mereka dan bang Samsul pasti akan membalasnya dengan lebih menyakitkan.
“Wah, saya di mana, nih?” Harun masih memegangi kontolnya yang juga sudah ngaceng. Kedua lubangku telah terisi.
“Masukin ke boolnya! Pantatnya sudah longgar! Elo bareng Iwan hajar sampai kapok tuh bencong!” ajaran Bang Samsul mengompori ketiga abg tersebut.
“Iya, Run! Kita entot bareng! Masih longgar, nih! Ach!” Iwan menggeser posisinya. Dua kontol sudah melesak ke anusku. Biarpun masih kecil tetapi karena dua sekaligus aku merasakan sesak di pantatku. Iwan dan Harun menusukkan kontolnya bergantian. Saat Iwan maju, Harun mundur. Demikian seterusnya. Hingga sensasi itu tak pernah berhenti.
Jaka sendiri benar-benar kupuaskan akhirnya. Dengan kepiawaian mulut homoku, kuberikan pelayanan paling sempurna untuk abg yang kalau besar nanti menurutku akan seperti Kaka Slank.
Siang itu akhirnya aku menjadi budak seks keempat lelaki tersebut. Bang Samsul menyemburkan pejunya ke wajahku. Panas sekali! Nuansa penghinaannya terasa sekali. Ia puas melumuri bagian tubuhku yang paling terhormat dengan cairan tetes hina dari kontolnya.
Tindakan Bang Samsul diikuti ketiga abg tersebut.
CRETTT ... CRETT .. CRET
Peju Iwan membasahi pipi kananku.
CROT ... CROT .. CROT
Kini giliran dahi kiriku terkena semburan kontol Harun.
CRUOT ... CROTT ...CROTTT
Jaka mengakhiri semuanya dengan menyiramkan cairan kontolnya di tengah-tengah wajahku. Ia memulaskan kepala kontolnya yang merah ke seluruh wajahku.
Aku puas ...
Meski terhina.
Ganasnya Supirku
Kisah ini terjadi sejak setahun yang lalu dan herannya aku tidak dapat melepaskan dirinya dari sisiku. Panggil saja aku Emma. Sejak usiaku 20 tahun aku menjadi bintang iklan dan foto model, dan saat ini usiaku 27 tahun jadi sudah 7 tahun aku malang melintang di dunia modelling. Sejak aku sibuk menjadi model, ayah memberiku sebuah mobil sedan dan aku sendiri yang menyupirnya.
Karena makin lama aku makin banyak iklan yang kubintangi, otomatis kesibukanku juga makin bertambah. Kalau pulang ke rumah pasti di atas jam 12.00 malam. Karena terlalu sering pulang malam habis syuting dan tidak enak karena mengganggu tetangga tempat tinggal ayah, atas persetujuan ayah dan ibuku, aku menyewa apartemen di daerah Kuningan dari hasilku menjadi model.
Hallo..aku Emma
Akhirnya sejak 2 tahun lalu aku tinggal di apartemen beserta seorang pembantu (Menik). 6 bulan aku sudah tinggal di apartemen itu. Suatu malam ketika aku pulang secara tidak sadar aku menubrukkan mobilku ke pohon, untungnya aku tidak cedera berat, namun hal itu membuat diriku trauma untuk membawa mobil sendiri dan selama hampir 3 bulan, aku menggunakan Taxi untuk mengantarku syuting iklan.
Pada suatu hari, temanku mengajurkan untuk menggunakan jasa supir. Akhirnya setelah kutimbang-timbang, suatu hari temanku mengantarkan supir ke apartemenku. Pada awalnya aku agak ragu setelah melihat wajah (sebut saja David) untuk menjadi supirku. Terus terang aku agak takut karena dia berasal dari Timur Indonesia, orangnya berkulit hitam legam, usia sekitar 53 tahun, orangnya tinggi besar dan berbulu. Namun kata temanku, dia biasa mengendarai mobil-mobil otomatic dan pernah menjadi supir dari salah satu kedutaan. Akhirnya dengan segala pertimbangan David resmi menjadi supir pribadiku.
Sejak saat itu aku berpikir untuk memilih mobil baru, karena mobil sedan yang ayah belikan untukku tidak pernah kuperbaiki sejak kecelakaan tersebut. Mobil yang kugunakan adalah keluaran Korea. Dan memang rupanya David selain ahli dalam menyupir (menyupirnya tenang dan hati-hati), sopan terhadap diriku (jadi bodyguard-ku), ternyata dalam hal melayani nafsu seksku dia juga ahli.
Kejadiannya kira-kira satu tahun lalu, malam itu jam 02.30 aku pulang dari acara pembubaran panitia iklan salah satu produk makanan. Karena pada acara tersebut ada minuman yang memabukkan, aku agak sempoyongan ketika dipapah temanku masuk mobil dan Pak David terkaget-kaget dari tidurnya. Setelah itu David langsung menggantarku pulang ke apartemen.
Dalam keadaan setengah mabuk, berat rasanya untuk naik lift sendiri, setelah sampai di parkiran apartemen, kuminta David mepapahku ke kamarku di lantai 37. Tubuhku mengelayut di tubuh David. Sampai di pintu kamar, kunci kamar lepas dari tanganku karena aku makin pusing. Dengan cekatan David mengambil kunci yang terjatuh, secara otomatis tubuhku juga lunglai dan dengan cepat juga David membopong tubuhku, lalu membuka pintu dan masuk apartemen. Aku dibopong hingga masuk kamar tidurku, lalu direbahkannya tubuhku di tempat tidur. David lalu keluar kamar tidurku.
Setengah jam kemudian karena aku tidak dapat tertidur akibat kepalaku pusing dan aku merasakan mual ingin muntah, aku berteriak memanggil Menik pembantuku untuk membantuku bangkit. Tapi yang masuk kamar bukan Menik melainkan David.
“Ada apa Non..? Menik khan lagi pulang kampung..”
“Oh.. iya.. aku lupa.. tolong.. Pak.. saya mau muntah.”
“Kemana.. Non..?”
“Tolong.. ke kamar mandi..”
David lalu membopongku ke kamar mandi. Sampai di sana aku pun langsung muntah.
Setelah selesai, David membopongku kembali ke kamar tidur, namun secara tidak sengaja rok yang kukenakan tersingkap hingga terlihat celana dalamku yang berwarna hitam model cawat oleh David disaat dia merebahkan tubuhku di tempat tidur. David pun langsung berubah menjadi buas dan kasar. Dia langsung menggosokan tangannya di pahaku yang putih mulus dan vaginaku yang masih tertutup celana dalam diremas oleh tangannya. Aku hanya dapat mendesah dan tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolaknya, karena badanku yang lemas sehabis muntah.
Aku mulai dipreteli
David pun makin kasar, celana dalamku langsung ditarik ke bawah hingga betis lalu jari-jarinya mulai dimainkan di vaginaku. Aku hanya dapat melengguh dan mendesah ketika jarinya dimainkan di vaginaku.
“Ahh.. aahh.. sshh.. sshh.. awghh..”
Jari-jari tangan David ditusukkan makin ke dalam vaginaku. Aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa terhadap apa yang David lakukan padaku karena pusing di kepalaku makin berat dan tubuhku sama sekali tidak bertenaga. Karena aku tidak dapat berpikir jernih, David makin menggila menguasai tubuhku.
Ga tahan...
David mulai menjilati pahaku yang putih nan mulus, makin lama makin ke atas hingga liang vaginaku terjilat oleh lidahnya yang agak kasar permukaannya. Aku makin terbawa arus kenikmatan dan bukannya berontak terlebih-lebih ketika lidahnya menemukan biji klitorisku dan disedot-sedot oleh lidahnya hingga aku pun melintir dan menggelinjang nikmat.
“Arhh.. arghh.. sshh.. sshh.. oohh.. oohh..! Pak.. David.. terus.. Pak.. trus..!”
Aku malah berceracau tidak karuan. David pun makin menyedot klitorisku lebih gila karena kusuruh.
Pasrah.....
Setelah hampir 15 menit lamanya vaginaku disedot oleh David (supirku), aku pun berontak, dimana kepala David yang ada di selangkanganku kuremas dan keluarlah dari vaginaku cairan yang langsung dijilat dan ditelan habis oleh David hingga tidak bersisa. Tubuhku makin lemas setelah cairan yang keluar dari vagina dengan banyak. Hal ini berbeda dengan David yang makin ganas, bajuku langsung dirobek, begitu juga BH-ku hingga aku benar-benar bugil dibuatnya. Payudaraku yang 36B terbungkus kulit putih bersih nan mulus terbuka tanpa penutup, dan terus terang baru sekali ini aku bugil dilihat oleh seorang laki-laki seumur hidupku, dan yang beruntung adalah supirku sendiri. Pacar-pacarku terdahulu pun belum seuntung supirku.
David yang belum puas menikmati klitorisku tadi, langsung melepaskan baju dan celananya hingga bugil. Mataku langsung melihat batang kemaluan David yang panjang, gede, besar dan hitam menggelantung dengan tegang dan keras di antara pahanya yang kulitnya hitam legam. Saking hitamnya tubuh David, sampai terlihat mengkilap karena keringatnya mulai menetes dari pori-porinya.
David lalu naik ke atas tubuhku dan jongkok di perutku, batang kejantanannya menggelantung tepat di wajahku. Aku mulai berontak, kugelengkan wajahku, aku tidak mau menggulum kejantanannya, karena selain hitam dan besar, penis David mengeluarkan bau yang agak aneh. Tapi David rupanya lebih pintar, hidungku dibekap oleh tangannya sehingga aku sulit bernapas, mau tidak mau aku harus bernapas dengan mulut.
Begitu mulutku terbuka untuk bernapas, tangannya yang memegangi penisnya langsung menyodokkan kejantanannya masuk mulutku. Aku pun tersedak oleh batangnya yang ada di mulutku. Aku berusaha berontak, namun lagi-lagi hidungku dibekap hingga disaat mulutku terbuka makin lebar batangnya ditekan lagi lebih ke dalam mulutku. Aku makin tersedak karena batang David rasanya menyentuh amandelku. Namun rupanya walau sudah menyentuh amandelku, batang kejantanan David belum sepenuhnya masuk dalam mulutku. David mencoba menyodokkan lebih ke dalam lagi batangnya dalam mulutku hingga terasa sampai kerongkonganku hingga aku terbatuk-batuk.
David lalu melonggarkan dengan menarik kemaluannya sehingga aku dapat bernapas, tapi lalu dia menyodokkan lagi penisnya masuk ke dalam mulutku hingga aku tersengal dan terbatuk-batuk lagi, sedangkan hidungku tetap ditutup oleh tangannya. Otomatis mataku mulai berair menahan rasa sakit di kerongkonganku. David terus melakukannya selama hampir 1 jam sampai cairan putih kental, rasanya aneh dan berbau memenuhi mulutku.
Aku berusaha mengeluarkan cairan itu dari mulutku dengan menahan napas agar cairan itu tidak masuk, tapi David menyodokkan lagi kemaluannya sehingga cairan yang bau dan rasanya aneh tertelan juga yang membuatku terbatuk-batuk.
“Nah.. gitu dong.. Bu. Cairan David.. harus Ibu telan. Gimana rasanya, enak.. khan..?”
“Bangsat loh.. Sialan loh Vid..! Keluar kamu dari rumah saya..!”
Kumarahi dan kumaki David yang telah menyiksaku. Memang pada saat David menjilati klitorisku, aku merasakan nikmat, namun hal yang baru saja dia perbuat terhadapku membuat diriku tersiksa.
Namun David rupanya semakin gila dan ganas. Tubuhku lalu ditariknya ke sisi tempat tidur, kakiku direnggangkannya dan diletakkan di pundaknya. Batang kemaluannya ditempelkan pada vaginaku, lalu dengan jarinya dibukanya vaginaku dan dimasukkan kejantanannya ke dalam vaginaku. Vaginaku yang masih rapat karena belum pernah dimasuki kemaluan siapa pun merasa seperti dirobek.
Aku meringis kesakitan, “Akh.. akhh.. sakit Vid.. sakit..!”
Kejantanan David mulai membongkar vaginaku yang masih rapat dan sempit. Disodokkannya batangnya yang hitam, panjang dan besar itu ke vaginaku.
Aku dibuatnya menjerit-jerit menerima sodokan itu di vaginaku, “Akh.. sakit Vid.. kontolmu besar sekali..”
“Gimana Bu rasanya..? Nanti juga enak kok.. Bu..”
Payudaraku yang ranum, terbungkus kulit yang putih bersih pun dan ukurannya 36B sudah dilahap oleh mulutnya, dicucup, disedot dan digigit putingnya. Aku makin lama makin menggelinjang mengikuti irama permainannya. Walaupun tubuh David hitam legam sedang berada di atas tubuhku yang putih mulus, makin lama permainan kami membuat tubuhnya mengkilat karena keringat yang menimbulkan aroma bau yang tidak enak, yang membuatku ingin muntah lagi, namun vaginaku rasanya makin enak setelah semua batangnya masuk ke vaginaku.
“Argh.. argh..! Vid, kontolmu enak sekali.. walau tubuhmu bau.. keringat.. argh.. arghh.. Trus.. Vid.. trus..! Kontolmu nikmat sekali..”
David terus menghujamkan kemaluannya ke dalam vaginaku. Perasaan ini sama sekali belum pernah kurasakan dalam hidupku. Tapi karena nikmatnya, aku merasa tidak memperdulikan apakah laki-laki yang menikmati vaginaku itu supirku sendiri.
David pun juga terus melumatkan payudaraku dengan putingnya digigit-gigit, yang membuatku makin menggelinjang.
“Vid.., gila..! Enak buanget kontol lu, argh.. argh..!” kataku menanggapi kelakuannya.
“Bu.. memek Ibu juga.. nikmat banget..! Kontol saya kayak diperas-peras..! Enak buanget.. Bu.” jawabnya sambil terus melakukan gerakan yang membuatku terasa nikmat.
Hampir satu jam kemudian, vaginaku terhujam batang kejantanannya David. Aku pun memberontak dan mengelepar ke kiri dan kanan, sambil kujambak rambutnya yang hitam ikal. Vaginaku terasa sakit luar biasa dengan mengeluarkan cairan putih kental dan berdarah, namun nikmat bukan kepalang. Cairan itu membasahi kemaluan David yang masih tertanam di vaginaku. Saking banyaknya cairan itu sampai keluar hingga meluber ke pahaku.
“Argh.. arghh.. Vid. Aku keluar nich..! Argh.. argh.. sakit Vid, namun.. enak buanget deh..! Aku sampe.. lemas nih..! Argh.. argh..!”
Tubuhku pun lemas tidak berdaya dengan tetesan cairan putih kemerah-merahan di vaginaku yang tumpah ke seprei, membuatku agak panik begitu melihatnya.
“Vid..! Aku kenapa..? Kok ada.. darahnya.. juga..?”
“Ya.., memang Bu. Vagina Ibu sudah sobek. Jadi berdarah.., Ibu bukan perawan lagi.”
“Hah..? Aku tidak perawan lagi..? Kamu apain sih..!”
“Tenang Bu..! Kalau ada apa-apa, David tanggung jawab.”
“Ya sudah.”
Aku pun langsung lemas lagi karena tetesan itu masih mengalir. Namun aku tidak berbuat apa-apa ketika badanku diputar posisinya hingga aku menungging. Dan selama itu pun batang David masih tertanam pada vaginaku sehingga terasa agak perih. David lalu memompanya lagi kemaluannya keluar masuk vaginaku, makin lama rasa perih vaginaku hilang karena rasa nikmat luar biasa yang kurasakan pada vaginaku. Aku merasa kalau batang kejantanan David rasanya lebih tertusuk ke dalam lagi hingga terasa ke perutku.
Hampir 1 jam kemudian, aku pun mengeluarkan cairan lagi yang membuat diriku makin lemas tidak berdaya, yang mana banyak sekali cairan putih kental seakan tidak habis-habisnya dari vaginaku, tubuhku menjadi lunglai.
“Akh.. akh.. Vid.. aku keluar lagi nich..!”
Lima menit kemudian, akhirnya David pun sampai juga pada puncaknya. Namun karena posisi tubuhku yang sudah loyo, sehingga David tidak dapat melepaskan batang kemaluannya dari vaginaku dan secara otomatis cairan hangat pun mengalir dengan derasnya dari penisnya membasahi rahimku.
“Bu.., aku keluar nich..! Aku.. keluar.. argh.. argh.. tapi.. nggak bisa dicabut dari memek Ibu..”
Aku tidak berbuat apa-apa atas tindakan david membuang sperma di rahimku, karena rasa hangat dan nikmat yang kurasakan, aku hanya tersenyum.
“Vid. Hangat sekali sperma kamu. Argh..!”
Setelah cairan sperma David membasahi vaginaku, dan setelah dia mengubah posisi tubuhku, akhirnya batang kejantanannya terlepas juga dari vaginaku. Lalu ambruklah tubuh David di atas tubuhku yang sangat lemas. Kami pun tertidur lemas tidak berdaya.
Aku terbangun sekitar jam 06.00 pagi. Disaat terbangun, aku terkaget-kaget melihat David, supirku sedang tertidur telanjang di sampingku. Aku pun langsung loncat dari tempat tidurku, saat itu aku ingin sekali membangunkan dan memarahinya, namun setelah kuingat lagi peristiwa yang David lakukan padaku malamnya, aku malah tersenyum senang. Lalu kudekatkan tubuhku yang juga bugil, kusandarkan kepalaku dekat kemaluan David, lalu mulai kujilati dan kukulum batang kejantanannya. Ada sisa-sisa sperma yang rasanya agak asin terjilat olehku. 5 menit kemudian ketika batang David yang hitam legam sedang kusedot-sedot, David pun terbangun, aku pun menyudahi tindakanku.
“Akh.. Vid.. batangmu..enak..sekali, tadi malam memekku kamu.. apain..? Enak sekali deh..! Saya mau kalau kamu lakukan lagi kapan-kapan.”
“Akh.. Ibu. Kalau begitu saya siap main lagi. Semua terserah Ibu.., tapi.. Ibu nggak marah sama David khan kalau vagina Ibu saya rusak..?”
“Nggak Vid. Ibu malah menikmatinya. Kamu.. mau nggak nemenin Ibu mandi..?”
“Kalau Ibu mau.., saya mah ayoo aja..”
“Yoo.. Vid..!”
Aku dan David bermain lagi di kamar mandi sekalian membersihkan tubuh kami.
Sejak saat itu, aku dan David hampir tiap malam melakukan hubungan suami istri. David, selain menjadi supirku kini menjadi budak nafsu seksku, dan sudah hampir 9 bulan hubunganku dengan David. Aku pun berharap dapat hamil dari benihnya David, supirku.
Karena makin lama aku makin banyak iklan yang kubintangi, otomatis kesibukanku juga makin bertambah. Kalau pulang ke rumah pasti di atas jam 12.00 malam. Karena terlalu sering pulang malam habis syuting dan tidak enak karena mengganggu tetangga tempat tinggal ayah, atas persetujuan ayah dan ibuku, aku menyewa apartemen di daerah Kuningan dari hasilku menjadi model.
Hallo..aku Emma
Akhirnya sejak 2 tahun lalu aku tinggal di apartemen beserta seorang pembantu (Menik). 6 bulan aku sudah tinggal di apartemen itu. Suatu malam ketika aku pulang secara tidak sadar aku menubrukkan mobilku ke pohon, untungnya aku tidak cedera berat, namun hal itu membuat diriku trauma untuk membawa mobil sendiri dan selama hampir 3 bulan, aku menggunakan Taxi untuk mengantarku syuting iklan.
Pada suatu hari, temanku mengajurkan untuk menggunakan jasa supir. Akhirnya setelah kutimbang-timbang, suatu hari temanku mengantarkan supir ke apartemenku. Pada awalnya aku agak ragu setelah melihat wajah (sebut saja David) untuk menjadi supirku. Terus terang aku agak takut karena dia berasal dari Timur Indonesia, orangnya berkulit hitam legam, usia sekitar 53 tahun, orangnya tinggi besar dan berbulu. Namun kata temanku, dia biasa mengendarai mobil-mobil otomatic dan pernah menjadi supir dari salah satu kedutaan. Akhirnya dengan segala pertimbangan David resmi menjadi supir pribadiku.
Sejak saat itu aku berpikir untuk memilih mobil baru, karena mobil sedan yang ayah belikan untukku tidak pernah kuperbaiki sejak kecelakaan tersebut. Mobil yang kugunakan adalah keluaran Korea. Dan memang rupanya David selain ahli dalam menyupir (menyupirnya tenang dan hati-hati), sopan terhadap diriku (jadi bodyguard-ku), ternyata dalam hal melayani nafsu seksku dia juga ahli.
Kejadiannya kira-kira satu tahun lalu, malam itu jam 02.30 aku pulang dari acara pembubaran panitia iklan salah satu produk makanan. Karena pada acara tersebut ada minuman yang memabukkan, aku agak sempoyongan ketika dipapah temanku masuk mobil dan Pak David terkaget-kaget dari tidurnya. Setelah itu David langsung menggantarku pulang ke apartemen.
Dalam keadaan setengah mabuk, berat rasanya untuk naik lift sendiri, setelah sampai di parkiran apartemen, kuminta David mepapahku ke kamarku di lantai 37. Tubuhku mengelayut di tubuh David. Sampai di pintu kamar, kunci kamar lepas dari tanganku karena aku makin pusing. Dengan cekatan David mengambil kunci yang terjatuh, secara otomatis tubuhku juga lunglai dan dengan cepat juga David membopong tubuhku, lalu membuka pintu dan masuk apartemen. Aku dibopong hingga masuk kamar tidurku, lalu direbahkannya tubuhku di tempat tidur. David lalu keluar kamar tidurku.
Setengah jam kemudian karena aku tidak dapat tertidur akibat kepalaku pusing dan aku merasakan mual ingin muntah, aku berteriak memanggil Menik pembantuku untuk membantuku bangkit. Tapi yang masuk kamar bukan Menik melainkan David.
“Ada apa Non..? Menik khan lagi pulang kampung..”
“Oh.. iya.. aku lupa.. tolong.. Pak.. saya mau muntah.”
“Kemana.. Non..?”
“Tolong.. ke kamar mandi..”
David lalu membopongku ke kamar mandi. Sampai di sana aku pun langsung muntah.
Setelah selesai, David membopongku kembali ke kamar tidur, namun secara tidak sengaja rok yang kukenakan tersingkap hingga terlihat celana dalamku yang berwarna hitam model cawat oleh David disaat dia merebahkan tubuhku di tempat tidur. David pun langsung berubah menjadi buas dan kasar. Dia langsung menggosokan tangannya di pahaku yang putih mulus dan vaginaku yang masih tertutup celana dalam diremas oleh tangannya. Aku hanya dapat mendesah dan tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolaknya, karena badanku yang lemas sehabis muntah.
Aku mulai dipreteli
David pun makin kasar, celana dalamku langsung ditarik ke bawah hingga betis lalu jari-jarinya mulai dimainkan di vaginaku. Aku hanya dapat melengguh dan mendesah ketika jarinya dimainkan di vaginaku.
“Ahh.. aahh.. sshh.. sshh.. awghh..”
Jari-jari tangan David ditusukkan makin ke dalam vaginaku. Aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa terhadap apa yang David lakukan padaku karena pusing di kepalaku makin berat dan tubuhku sama sekali tidak bertenaga. Karena aku tidak dapat berpikir jernih, David makin menggila menguasai tubuhku.
Ga tahan...
David mulai menjilati pahaku yang putih nan mulus, makin lama makin ke atas hingga liang vaginaku terjilat oleh lidahnya yang agak kasar permukaannya. Aku makin terbawa arus kenikmatan dan bukannya berontak terlebih-lebih ketika lidahnya menemukan biji klitorisku dan disedot-sedot oleh lidahnya hingga aku pun melintir dan menggelinjang nikmat.
“Arhh.. arghh.. sshh.. sshh.. oohh.. oohh..! Pak.. David.. terus.. Pak.. trus..!”
Aku malah berceracau tidak karuan. David pun makin menyedot klitorisku lebih gila karena kusuruh.
Pasrah.....
Setelah hampir 15 menit lamanya vaginaku disedot oleh David (supirku), aku pun berontak, dimana kepala David yang ada di selangkanganku kuremas dan keluarlah dari vaginaku cairan yang langsung dijilat dan ditelan habis oleh David hingga tidak bersisa. Tubuhku makin lemas setelah cairan yang keluar dari vagina dengan banyak. Hal ini berbeda dengan David yang makin ganas, bajuku langsung dirobek, begitu juga BH-ku hingga aku benar-benar bugil dibuatnya. Payudaraku yang 36B terbungkus kulit putih bersih nan mulus terbuka tanpa penutup, dan terus terang baru sekali ini aku bugil dilihat oleh seorang laki-laki seumur hidupku, dan yang beruntung adalah supirku sendiri. Pacar-pacarku terdahulu pun belum seuntung supirku.
David yang belum puas menikmati klitorisku tadi, langsung melepaskan baju dan celananya hingga bugil. Mataku langsung melihat batang kemaluan David yang panjang, gede, besar dan hitam menggelantung dengan tegang dan keras di antara pahanya yang kulitnya hitam legam. Saking hitamnya tubuh David, sampai terlihat mengkilap karena keringatnya mulai menetes dari pori-porinya.
David lalu naik ke atas tubuhku dan jongkok di perutku, batang kejantanannya menggelantung tepat di wajahku. Aku mulai berontak, kugelengkan wajahku, aku tidak mau menggulum kejantanannya, karena selain hitam dan besar, penis David mengeluarkan bau yang agak aneh. Tapi David rupanya lebih pintar, hidungku dibekap oleh tangannya sehingga aku sulit bernapas, mau tidak mau aku harus bernapas dengan mulut.
Begitu mulutku terbuka untuk bernapas, tangannya yang memegangi penisnya langsung menyodokkan kejantanannya masuk mulutku. Aku pun tersedak oleh batangnya yang ada di mulutku. Aku berusaha berontak, namun lagi-lagi hidungku dibekap hingga disaat mulutku terbuka makin lebar batangnya ditekan lagi lebih ke dalam mulutku. Aku makin tersedak karena batang David rasanya menyentuh amandelku. Namun rupanya walau sudah menyentuh amandelku, batang kejantanan David belum sepenuhnya masuk dalam mulutku. David mencoba menyodokkan lebih ke dalam lagi batangnya dalam mulutku hingga terasa sampai kerongkonganku hingga aku terbatuk-batuk.
David lalu melonggarkan dengan menarik kemaluannya sehingga aku dapat bernapas, tapi lalu dia menyodokkan lagi penisnya masuk ke dalam mulutku hingga aku tersengal dan terbatuk-batuk lagi, sedangkan hidungku tetap ditutup oleh tangannya. Otomatis mataku mulai berair menahan rasa sakit di kerongkonganku. David terus melakukannya selama hampir 1 jam sampai cairan putih kental, rasanya aneh dan berbau memenuhi mulutku.
Aku berusaha mengeluarkan cairan itu dari mulutku dengan menahan napas agar cairan itu tidak masuk, tapi David menyodokkan lagi kemaluannya sehingga cairan yang bau dan rasanya aneh tertelan juga yang membuatku terbatuk-batuk.
“Nah.. gitu dong.. Bu. Cairan David.. harus Ibu telan. Gimana rasanya, enak.. khan..?”
“Bangsat loh.. Sialan loh Vid..! Keluar kamu dari rumah saya..!”
Kumarahi dan kumaki David yang telah menyiksaku. Memang pada saat David menjilati klitorisku, aku merasakan nikmat, namun hal yang baru saja dia perbuat terhadapku membuat diriku tersiksa.
Namun David rupanya semakin gila dan ganas. Tubuhku lalu ditariknya ke sisi tempat tidur, kakiku direnggangkannya dan diletakkan di pundaknya. Batang kemaluannya ditempelkan pada vaginaku, lalu dengan jarinya dibukanya vaginaku dan dimasukkan kejantanannya ke dalam vaginaku. Vaginaku yang masih rapat karena belum pernah dimasuki kemaluan siapa pun merasa seperti dirobek.
Aku meringis kesakitan, “Akh.. akhh.. sakit Vid.. sakit..!”
Kejantanan David mulai membongkar vaginaku yang masih rapat dan sempit. Disodokkannya batangnya yang hitam, panjang dan besar itu ke vaginaku.
Aku dibuatnya menjerit-jerit menerima sodokan itu di vaginaku, “Akh.. sakit Vid.. kontolmu besar sekali..”
“Gimana Bu rasanya..? Nanti juga enak kok.. Bu..”
Payudaraku yang ranum, terbungkus kulit yang putih bersih pun dan ukurannya 36B sudah dilahap oleh mulutnya, dicucup, disedot dan digigit putingnya. Aku makin lama makin menggelinjang mengikuti irama permainannya. Walaupun tubuh David hitam legam sedang berada di atas tubuhku yang putih mulus, makin lama permainan kami membuat tubuhnya mengkilat karena keringat yang menimbulkan aroma bau yang tidak enak, yang membuatku ingin muntah lagi, namun vaginaku rasanya makin enak setelah semua batangnya masuk ke vaginaku.
“Argh.. argh..! Vid, kontolmu enak sekali.. walau tubuhmu bau.. keringat.. argh.. arghh.. Trus.. Vid.. trus..! Kontolmu nikmat sekali..”
David terus menghujamkan kemaluannya ke dalam vaginaku. Perasaan ini sama sekali belum pernah kurasakan dalam hidupku. Tapi karena nikmatnya, aku merasa tidak memperdulikan apakah laki-laki yang menikmati vaginaku itu supirku sendiri.
David pun juga terus melumatkan payudaraku dengan putingnya digigit-gigit, yang membuatku makin menggelinjang.
“Vid.., gila..! Enak buanget kontol lu, argh.. argh..!” kataku menanggapi kelakuannya.
“Bu.. memek Ibu juga.. nikmat banget..! Kontol saya kayak diperas-peras..! Enak buanget.. Bu.” jawabnya sambil terus melakukan gerakan yang membuatku terasa nikmat.
Hampir satu jam kemudian, vaginaku terhujam batang kejantanannya David. Aku pun memberontak dan mengelepar ke kiri dan kanan, sambil kujambak rambutnya yang hitam ikal. Vaginaku terasa sakit luar biasa dengan mengeluarkan cairan putih kental dan berdarah, namun nikmat bukan kepalang. Cairan itu membasahi kemaluan David yang masih tertanam di vaginaku. Saking banyaknya cairan itu sampai keluar hingga meluber ke pahaku.
“Argh.. arghh.. Vid. Aku keluar nich..! Argh.. argh.. sakit Vid, namun.. enak buanget deh..! Aku sampe.. lemas nih..! Argh.. argh..!”
Tubuhku pun lemas tidak berdaya dengan tetesan cairan putih kemerah-merahan di vaginaku yang tumpah ke seprei, membuatku agak panik begitu melihatnya.
“Vid..! Aku kenapa..? Kok ada.. darahnya.. juga..?”
“Ya.., memang Bu. Vagina Ibu sudah sobek. Jadi berdarah.., Ibu bukan perawan lagi.”
“Hah..? Aku tidak perawan lagi..? Kamu apain sih..!”
“Tenang Bu..! Kalau ada apa-apa, David tanggung jawab.”
“Ya sudah.”
Aku pun langsung lemas lagi karena tetesan itu masih mengalir. Namun aku tidak berbuat apa-apa ketika badanku diputar posisinya hingga aku menungging. Dan selama itu pun batang David masih tertanam pada vaginaku sehingga terasa agak perih. David lalu memompanya lagi kemaluannya keluar masuk vaginaku, makin lama rasa perih vaginaku hilang karena rasa nikmat luar biasa yang kurasakan pada vaginaku. Aku merasa kalau batang kejantanan David rasanya lebih tertusuk ke dalam lagi hingga terasa ke perutku.
Hampir 1 jam kemudian, aku pun mengeluarkan cairan lagi yang membuat diriku makin lemas tidak berdaya, yang mana banyak sekali cairan putih kental seakan tidak habis-habisnya dari vaginaku, tubuhku menjadi lunglai.
“Akh.. akh.. Vid.. aku keluar lagi nich..!”
Lima menit kemudian, akhirnya David pun sampai juga pada puncaknya. Namun karena posisi tubuhku yang sudah loyo, sehingga David tidak dapat melepaskan batang kemaluannya dari vaginaku dan secara otomatis cairan hangat pun mengalir dengan derasnya dari penisnya membasahi rahimku.
“Bu.., aku keluar nich..! Aku.. keluar.. argh.. argh.. tapi.. nggak bisa dicabut dari memek Ibu..”
Aku tidak berbuat apa-apa atas tindakan david membuang sperma di rahimku, karena rasa hangat dan nikmat yang kurasakan, aku hanya tersenyum.
“Vid. Hangat sekali sperma kamu. Argh..!”
Setelah cairan sperma David membasahi vaginaku, dan setelah dia mengubah posisi tubuhku, akhirnya batang kejantanannya terlepas juga dari vaginaku. Lalu ambruklah tubuh David di atas tubuhku yang sangat lemas. Kami pun tertidur lemas tidak berdaya.
Aku terbangun sekitar jam 06.00 pagi. Disaat terbangun, aku terkaget-kaget melihat David, supirku sedang tertidur telanjang di sampingku. Aku pun langsung loncat dari tempat tidurku, saat itu aku ingin sekali membangunkan dan memarahinya, namun setelah kuingat lagi peristiwa yang David lakukan padaku malamnya, aku malah tersenyum senang. Lalu kudekatkan tubuhku yang juga bugil, kusandarkan kepalaku dekat kemaluan David, lalu mulai kujilati dan kukulum batang kejantanannya. Ada sisa-sisa sperma yang rasanya agak asin terjilat olehku. 5 menit kemudian ketika batang David yang hitam legam sedang kusedot-sedot, David pun terbangun, aku pun menyudahi tindakanku.
“Akh.. Vid.. batangmu..enak..sekali, tadi malam memekku kamu.. apain..? Enak sekali deh..! Saya mau kalau kamu lakukan lagi kapan-kapan.”
“Akh.. Ibu. Kalau begitu saya siap main lagi. Semua terserah Ibu.., tapi.. Ibu nggak marah sama David khan kalau vagina Ibu saya rusak..?”
“Nggak Vid. Ibu malah menikmatinya. Kamu.. mau nggak nemenin Ibu mandi..?”
“Kalau Ibu mau.., saya mah ayoo aja..”
“Yoo.. Vid..!”
Aku dan David bermain lagi di kamar mandi sekalian membersihkan tubuh kami.
Sejak saat itu, aku dan David hampir tiap malam melakukan hubungan suami istri. David, selain menjadi supirku kini menjadi budak nafsu seksku, dan sudah hampir 9 bulan hubunganku dengan David. Aku pun berharap dapat hamil dari benihnya David, supirku.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Paling Populer Selama Ini
-
Pagi masih gelap saat kudengar ibu membangunkan aku yang terlelap. Seperti biasa aku hanya mengubah posisi berbaringku menjadi meringkuk. “T...
-
. Album Berikutnya
-
Sebagai penghuni baru di Kota ini, sore itu aku memutuskan untuk jalan-jalan di salah satu mall terkenal di daerah selatan Jakarta. Aku ingi...
-
Namaku Suryati, biasa dipanggil Yati. Sejak berkeluarga dan tinggal di Jakarta aku selalu sempatkan pulang mudik menengok orang tua di Semar...
-
---------- 1. Mature Gay Daddy - Oldermen Lihat Cuplikan Size: 44,11 MiB Duration: 00:11:20 Type: avi Video: 400x300 http://b93d...
-
Album Sebelumnya
-
Cerita lainnya tanpa gambar tapi tak kalah seru, klik aja ini
-
Untuk menghabiskan anggaran tahunan, perusahaan kami berniat membeli beberapa peralatan kantor berupa komputer dan beberapa perlengkapan lai...
-
(by: haus_lelaki@yahoo.com) Tugas kantor selesai. 10 hari di Biak jenuh juga. Masalahnya tidak mudah menemukan pasangan sesama lelaki unt...
-
(by: rustyryans@gmail.com) Siang itu memang terasa sangat membosankan,setelah hampir 2 minggu menghabiskan waktu liburan akhir semester ta...