6/29/2011

Selamat Datang Aris Dan Paman Arjo! - bag. IV

Pagi hari setelah peristiwa terbaik sepanjang hidupku ...

Ada keributan di depan sekolahku. Fizkar dikeroyok Doni dan belasan temannya. Dia berdarah-darah. Namun, tiga orang dari belasan lawannya sudah terkapar kesakitan. Aku tak berani mendekat. Seharusnya aku membantu Fizkar menghadapi Doni dan teman-temannya. Namun, aku tidak pernah berkelahi. Kalaupun pernah bertengkar pasti berakhir dengan tangisanku. Dasar banci!

Fizkar dan lima orang teman Doni dibawa ke rumah sakit. Selebihnya diberikan pengobatan di sekolah. Doni melihatku. Wajahnya penuh dendam dan ancaman. Hey! Aku tidak terlibat, Don! Aku menggigil ketakutan. Bencong pengecut!

“Anak itu sudah terkena batunya!” sebuah bisikan. Aris berdiri menjajariku. Siapa yang dia maksud?

“Masih sekolah sudah merusak rumah tangga orang ...” lanjut Aris agak bergumam. Oooo ... Fizkar yang dia maksud ...

“Kamu tidak pernah tahu permasalahannya, Ris!” dengusku penuh kemarahan. Kutinggalkan dia mematung. Aku benci sekali padanya!

Pagi menuju siang dengan lambat ...

Satu orang teman Doni tewas! Seisi sekolah riuh. Seluruh siswa berkumpul di lapangan. Tidak mau belajar. Mereka menuntut Fizkar dikeluarkan dari sekolah! Aku hanya terdiam di pintu kelas. Jangan lakukan itu, padanya!

“Kamu masih menganggapnya baik-baik saja?” Aris menghampiriku. Aku tidak menjawab. Ini tidak adil! Aku pandangi wajah Aris. Penuh kemarahan ...

“Aku tidak akan pernah memaafkan orang-orang yang berusaha menyakitinya!” geramku. Aris terperangah. Barangkali ia tidak menduga kalau aku akan bereaksi seperti itu.

“Toro! Kamu ...”

“Pergi kamu dari sini! Kamu tidak pernah ada dalam kehidupan saya ...” usirku pada Aris.

“Ro ...”

“PERGI!” kugebrak pintu kelas dengan sekuat tenaga. Tanganku sakit tetapi lebih sakit melihat orang-orang telah mengadili Fizkar dengan tanpa perasaan. Aris menjauh. Wajahnya masih penuh ketidakpercayaan. Aku puas. Setidaknya ada orang yang tahu bahwa aku masih mendukung Fizkar.

Sepulang sekolah ...

Fizkar dikeluarkan dari sekolah. Belasan siswa yang mengeroyoknya hanya diberikan skorsing dan peringatan keras. Karena dianggap telah membunuh orang, Fizkar pun kemungkinan akan masuk penjara.

Perih ...

“Seharusnya kamu bersyukur, Ro! Tuhan membukakan matamu ... Segala keburukan Fizkar apakah belum cukup sebagai bukti kalau ...”

PLAKKK!

Kugampar pipi Aris. Ia langsung terdiam. Kutatapi wajahnya penuh kebencian.

“Kamu berani menamparku?!” nada pertanyaan Aris terdengar mengancam. Aku tidak takut. Kutentang dia sambil berkacak pinggang.

BRUGHH!!!

Ia mendorongku dengan keras! Aku tidak menyangka. Dengan gerakan tidak terkendali aku coba melepaskan diri dari tumbukan tubuhnya. Aris tidak mengendurkan cengkeramannya. Dan aku ... bukan tandingannya ...

Aku menangis. Aris membetot rambutku ke belakang. Ia ludahi wajahku. Aku tidak terima. Kubenturkan wajahku ke wajahnya. Sekeras mungkin. Ia menonjokku. Aku menjerit kesakitan. Kulemparkan benda apa pun yang terdekat ke arah Aris. Aris tambah kesetanan.

“Bencong banyak ulah, kamu!” hinanya sambil memelintir tanganku. Aku menjerit lagi. Tanganku seperti mau patah!

Aris akhirnya melepaskan pelintirannya. Aku tetap menangis. Tangis kesakitan dan ketakutan. Sakit karena aku memang tidak terbiasa dengan kekerasan fisik. Takut karena aku segera sadar bahwa Aris jago karate. Aku? ...Banci kerupuk!

Sesorean aku menangis di kamar. Pertanyaan ibu dan bapakku tak aku pedulikan. Aris sendiri hanya diam saat ditanya. Akhirnya, orang tuaku beranggapan aku bertengkar dengan Aris. Namun, mereka hanya beranggapan pertengkaran biasa karena kami masih berada di kamar bersama-sama.

Malam ...

“Toro! Maafkan Aris, ya? Aris tadi berlebihan menyakiti Toro ...” Aris sudah memelukku dari belakang. Aku hanya diam. Namun, kurasakan air mataku menetes. Kurasakan ketulusan dan kelembutan hati Aris saat mengucapkan kata-kata itu. Dia jago karate. Melumpuhkan aku hanya satu kali gebrakan saja pasti dia sanggup. Dia tidak melakukannya. Justru aku yang membabi buta menyerangnya. Padahal, jurusku hanya cakaran, jeritan, dan tangisan. Dasar bencong!

“Kalau Toro memang membenci Aris, minta saja pada Bude dan Pakde buat mengusir Aris! Aris banyak dibantu di sini tetapi Aris tidak pernah membuat Toro senang, malah sering menyakiti Toro! Sekarang Aris mau berikan apa yang Toro pernah inginkan dari Aris ...” Aris mengusap punggung tanganku. Dibimbingnya tanganku ke belakang. Ia sentuhkan tanganku pada kontolnya yang masih bercelana. Ia rela mengorbankan kontolnya hanya untuk maafku. Aku tarik tanganku. Kubalikkan tubuhku menghadap tubuhnya. Kupeluk tubuhnya dan kusungkurkan wajahku ke dadanya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aris menciumi kepalaku bertubi-tubi.

Malam merangkak menuju pagi ...

Aku masih dalam pelukan Aris. Rupanya aku tertidur dalam rengkuhannya.

“Baru jam satu ... tidur saja lagi ...” bisik Aris lembut. Ia tidak tidur.

“Ris ... kamu tetap di sini, ya! Jangan pulang ...” ratapku sendu. Aku tidak ingin kehilangan lagi. Baru tadi siang aku kehilangan Fizkar.

“Kalau itu baik buat kamu, aku masih betah di sini ...” Aris menghela nafasnya. Berat.

Sunyi sesaat.

Aris membuka bajunya. Gerah? Ia juga membuka celananya. Aris? Kontol yang dulu pernah aku kocok itu berjuntai kenyal. Lebih besar dari sebelumnya. Cepat sekali perubahannya ...

“Kamu kini memiliki aku utuh, Ro!” Aris terbaring tengadah. Aku tak berani bergerak. Hanya berani memandangi keindahan itu dalam keremangan lampu kamar.

“Ayo, Ro! Aku ikhlas ...” Aris pasrah. Namun, tidak ada ajakan di sana. Tidak ada birahi Aris padaku. Aku menggeleng.

“Ayolah ...!” Aris meraih tanganku. Aku sudah tertelungkup di atas tubuhnya. Kosong.

“Lakukan seperti yang pernah kamu lakukan pada Fizkar, Ro!” pintanya.

“Fizkar menerimaku tanpa keterpaksaan ...” hindarku.

“Aku salah seorang yang membuat Fizkar harus pergi dari kehidupan kamu, Ro! Aku harus menebus kesalahan itu ... Aku akan memberikan apa pun yang pernah Fizkar berikan padamu!” janjinya.

“Aku terasing dalam kelemahanku, Ris! Fizkar tersisih dalam kekerasannya! Kami saling mengisi kesunyian kami masing-masing ...” mataku menerawang. Fizkar! Apa yang kamu rasakan di sana?

“Biarkan aku menggantikan Fizkar sesaat, Ro! Kalau dia kembali, aku akan pergi ...” suara Aris melemah. Benarkah kamu akan kembali, Fizkar?

Aris mencumbuiku dini hari itu. Aku berusaha tidak membalasnya. Kuandaikan diriku hanya sebuah bangkai yang bebas ia perlakukan sepuasnya. Namun, Aris tidak menyerah. Kepasifanku justru memancing rasa penasarannya. Benarkah aku tak menginginkan dirinya?

Seorang hansip memukul tiang listrik sebanyak dua kali ...

Aris menindihku. Kami sudah sama-sama bugil. Permainannya selembut Fizkar. Ia sungguh-sungguh ingin menggantikan Fizkar.

“Sakit, Ris! ...” ucapku saat kurasakan kontolnya hendak dihujamkan ke anusku. Sisa Fizkar kemarin masih terasa sakitnya.

“Aku masukin pelan-pelan, kok!” bujuknya. Meskipun kontolnya tidak sebesar Fizkar, tetapi ukuran Aris termasuk super juga. Apalagi baru kemarin Fizkar merojok duburku.

“Kasih pelicin dulu ...” pintaku. Aris mengambil sebotol lotion. Lotion yang sering kugunakan untuk merancap sendirian.

...

“Enak?” tanya Aris sumringah. Kontolnya sudah mondar-mandir di pantatku. Gerakannya lebih bebas. Dengan lotion itu lubang pantatku lebih mudah ditembus. Apalagi diameter kontol Aris lebih kecil dibandingkan kontol Fizkar. Kondisi ini sangat menguntungkan. Nikmatnya jauh lebih besar daripada sakitnya.

Oooouch ... kontolku yang terbanting ke sana ke mari akibat sodokan kontol Aris mulai mengeluarkan peju. Ejakulasiku yang pertama ...

Aris terus menggenjotku. Ia telah terbakar dalam nikmat homoseksual ...

“Sudah, Ris! Aku sudah keluar lagi ...” ujarku kepayahan. Aris menghentikan entotannya. Ia tarik perlahan kontolnya ke luar. Aku terkapar tak berdaya. Aris pun menghempaskan tubuhnya. Tetap telentang. Kontol itu tetap mencuat.

“Keluarkan aku, Ro!” pintanya memohon. Akh, nafsunya belum terbebaskan. Kudekati tubuhnya. Kubersihkan kontol itu dari cairan anus dan lotion dengan bajuku. Setelah kurasa bersih segera kukocok perlahan ...

“Isep, Ro!” mohonnya lagi. Aku teringat Paman Arjo. Ach! Air cucuran atap itu akhirnya jatuh ke pelimbahan juga. Paman Arjo sangat senang kontolnya aku isep. Sekarang, Aris, anaknya juga minta diperlakukan sama!

Tak kupungkiri kontol Aris lebih segar dibandingkan bapaknya. Bahkan, ukurannya sudah menyamai. Beberapa tahun mendatang kontol Aris akan lebih besar daripada kontol Paman Arjo.

“Ro! ... mau keluar, Ro!” ceracau Aris bergetar. Hanya sepersekian detik setelah ia bicara kontol itu telah meledak. Cairan keperjakaannya mengisi ruang kosong di mulut dan tenggorokanku. Kehangatan itu mengalir ...

Masih jam tiga ...

Kami berbaring berpelukan. Tanpa pembatas. Aku ingin bermimpi indah pagi ini. Aris menggigit telingaku perlahan ...

“Maaf ... kalau aku tidak sehebat Fizkar ...” desisnya.

Aku merangkulnya lebih rapat. Aku tidak ingin membandingkan Fizkar dengannya. Aku bahagia dengan Fizkar. Aku pun nyaman bersama Aris. Aku ingin Aris tahu hal itu.

Aris balas merengkuhku. Sepertinya ia tahu hal itu ...


Aris tidak bermain-main dengan janjinya. Ia gantikan Fizkar dalam hidupku. Kamar tidur kami sudah berulang kali menjadi saksi kehangatan cinta kasih sepasang remaja lelaki. Selama dua tahun semuanya berlangsung. Fizkar tetap tidak ada berita.

Kami lulus dengan nilai cukup baik. Aris mengikuti pesan bapaknya untuk langsung bekerja. Bukan hal yang sulit baginya yang memiliki banyak kelebihan. Ia diterima sebagai operator pabrik penghasil kendaraan bermotor kenamaan di wilayah Jakarta Utara. Ia pun memutuskan tinggal di tempat kost yang lebih dekat dengan tempatnya bekerja. Selain menghemat biaya transportasi, ia juga tidak ingin merepotkan orang tuaku yang semakin tidak produktif. Ibu sakit. Warung ditutup karena bapak juga tidak sanggup mengelolanya. Aku? Bisa apa katak dalam tempurung? Banci!

Ibu meninggal. Untuk mengurus bapak, Mbak Laras dan suaminya, Bang Samsul, tinggal bersama kami. Selain mengurus keperluan bapak sehari-hari dan makanku, Mbak Laras membuka warung kelontong kecil-kecilan di depan rumah. Bang Samsul? Pria Betawi asli yang lebih suka memancing, nongkrong-nongkrong, atau tidur seharian di rumah. Aku sendiri hampir setengah tahun menganggur. Ingin kuliah tidak tega. Ingin bekerja sulit mendapatkannya. Aku selalu gagal saat diwawancara.

Bapak pun meninggal. Aku benar-benar kehilangan. Aku memutuskan untuk membantu Mbak Laras. Aku bertugas melayani pembeli. Urusan belanja dan penetuan jenis barang dagangan tetap Mbak Laras. Sesudah belanja barang dagangan, Mbak Laras mencoba kembali menghidupkan warung di kantin yang pernah dikelola ibu. Praktis, warung kecil depan rumah itu menjadi tanggung jawab aku seharian.

“Ooahem ... “ terdengar suara kuapan yang keras sekali. Tumben baru jam sembilan Bang Samsul sudah bangun. Biasanya paling cepat jam sebelas ia bangun setelah begadang semalaman akibat menonton bola atau sekadar bermain kartu di pos ronda. Mbak Laras sudah dua jam lalu meninggalkan rumah.

“Sudah bangun, Bang?” tegurku basa-basi.Orangnya sangar, jadi aku harus baik-baik dengannya. Ini pesan kakakku.

“Bikinin gue kopi, Ro!” perintahnya songong. Aduh, tuan tanah ...

Aku penuhi permintaannya meskipun mendongkol. Kuletakkan kopi itu di hadapannya yang sedang membaca koran. Ia memaksa Mbak Laras untuk berlangganan koran. Selain untuk mengisi kekosongan juga buat mengotak-atik kode togel yang secara terselubung ada di dalamnya.

“Ada air hangat, Ro? Gue mau mandi tapi dingin banget ...” Anjing! Monyet satu ini benar-benar benalu! Kasihan Mbak Laras ...

“Habis buat bikin kopi ...” jawabku datar. Kegeramanku sengaja kusembunyikan.

“Masak air, gih!” Hah! Benar-benar keterlaluan! Namun, aku tidak berani melawan ... Bencong!

Kutinggalkan warung yang memang hanya ramai di siang atau sore hari seusai anak-anak SD pulang sekolah. Sabar ... sabar ... Kujerang air.

“Sudah matang, Ro?” tanyanya lima belas menit kemudian. Aku hanya mengangguk. Malas berbicara dengan juragan satu itu.

“Tuang ke bak sekalian, ya! Hangat saja ...” ujarnya enteng. Grrrrr .... Asap mungkin sudah mengepul di atas kepalaku. Jam sembilan baru bangun, mau mandi saja kedinginan. Ini Jakarta, Bung! Betawi gila!

Aku penuhi permintaannya dengan sisa-sisa kesabaranku. Kukira-kira suhu yang tepat. Tidak panas juga tidak dingin. Hangat.

“Sudah?” Bang Samsul kembali bertanya setelah aku keluar dari kamar mandi.

“Sudah!’ judesku, “Mau dimandikan sekalian?!” tanyaku kesal. Bang Samsul terlihat kaget. Ia mungkin tidak menyangka kalau aku akan menanggapinya demikian. Aku langsung gemetar saat menyadari wajahnya mengeras.

“Ngentot lo! Ngomong apa lo?!” tanyanya bengis. Ia cengkeram kerah bajuku. Diangkatnya. Kemudian dihempaskannya aku ke dalam warung.

“Ampun, Bang ...” ratapku. Air mataku sudah meleleh ... Dasar banciiiiii !

Ketakutanku tidak menyurutkan kekejaman Bang Samsul. Ia langsung menyepak. Wajahku yang ditujunya. Untungnya aku sudah membalikkan badan sehingga tendangannya hanya mengenai bagian belakang kepalaku pelan.

“Elo mau macam-macam sama gue?!” tubuhku kembali dia angkat. Tuhan! Dia benar-benar kesetanan. Matanya terlihat merah. Aku merasakan sesuatu mengalir dari balik celanaku. Aku terkencing-kencing ...

Bang Smasul membanting tubuhku lagi. Sakit! Dia tekan kepalaku ke genangan air seniku sendiri.

“Jilat sampai kering!” Aku mencoba menahan tekanannya. Tak berdaya.

“Ampuuuunnn, Bang!....” aku lebih keras berteriak memohon. Berharap ada tetangga yang mendengar. Barangkali bisa menghentikan aksi kesetanan bang Samsul terhadapku.

“Terus! Teriak lebih keras!” perintahnya mengancam. Ia sobek celanaku dengan kekuatan tangannya yang besar. BRETTT.... BRETT.... BRET....

Aku sudah tanpa celana! Kontolku yang mengkeret ketakutan diremasnya kasar.

“Kontol banci! Kecil begini ... Bencong!” hinanya. Aku hendak menjerit kesakitan. Namun, suara itu tidak keluar. Mulutku terbungkam karena kepalaku ditariknya ke belakang dengan kasar. Ia balikkan tubuhku. Ia pertahankan posisi tubuhku dalam keadaan menungging. Rambutku dicengkermnya kuat ke belakang. Aku sungguh tak berdaya ...

“Gue entot lo sampai mampus!” dengusnya di telingaku. Oh, kontol itu sudah menyentuh pantatku. Tidaaaakkk!

“Jangan, Bang! Ampuuunn ...” pintaku terus mengiba. Namun Bang Samsul tidak pernah ada keinginan untuk menghentikannya. Duburku yang sudah terlatih dengan sodokan kontol Aris tak kuasa menghalau gempuran kontol Bang Samsul. Karena dalam ketakutan, kurasakan kontol itu jauh lebih menyakitkan daripada kontol Aris maupun Fizkar. Aku akhirnya pasrah. Kucoba menikmatinya supaya tidak terlalu sakit.

“Mas Toro ada ...”suara seorang pembeli terhenti.

“Nyari apa, Wan?” Suara Bang Samsul terdengar mengejek. Ia tetap mengentoti pantatku. Kulihat Iwan termangu melihat pemandangan di hadapannya.

“Mas Toro diapakan, Bang?” tanya Iwan terdengar khawatir. Anak itu sudah kelas satu SMP, harusnya sudah mengerti!

“Gue entot biar jadi lelaki sejati!” jawab Bang Samsul asal. Iwan tidak beranjak. Mungkin rasa ingin tahunya membuat ia tetap menyaksikan penderitaanku. Aku malu sekali.

“Tidak sakit, Mas?” tanyanya lugu padaku. Aku hanya meringis.

“Jelas nggak! Dia keenakan, Wan! Nih, lihat!” Bang Samsul mempercepat entotannya. Aku meratap-ratap. Namun, karena dalam keadaan terguncang-guncang suaraku justru seorang yang sedang merasakan kenikmatan. Sial!

“Iwan mau, Bang!” Hah!

“Elo panggilin teman-teman lo!” perintah Bang Samsul pada Iwan. Iwan langsung menghilang. Ia memanggil teman-temannya!

Bang Samsul terus mengoyak anusku dengan kontol besarnya. Tak lama Iwan kembali bersama dua orang temannya. Harun dan Jaka.

“Waduh! Enak banget, ya, Bang?” Mereka bertanya hampir bersamaan. Wajahku Bang Samsul arahkan ke mereka. Ia ingin menghancurkanku!

“Tanya ke dia, nih!” tunjuk Bang Samsul.

“Wah, namanya juga bencong! Dikasih kontol pasti keenakan!” ucapan Jaka membuat mereka tertawa bersamaan.

“Sekarang elo bertiga hajar banci ini pakai kontol elo semua! Bikin di sampai ampun-ampun!” Bang Samsul edan!

Aku mencoba berontak saat Iwan meremas-remas pantatku sambil menggosok-gosok kontolnya yang sudah ngaceng. Namun, Jaka menarik kepalaku ke selangkangannya. Ia hujamkan kontolnya yang mulai berjembut itu ke mulutku. Aku tidak mau menggigitnya. Mereka dan bang Samsul pasti akan membalasnya dengan lebih menyakitkan.

“Wah, saya di mana, nih?” Harun masih memegangi kontolnya yang juga sudah ngaceng. Kedua lubangku telah terisi.

“Masukin ke boolnya! Pantatnya sudah longgar! Elo bareng Iwan hajar sampai kapok tuh bencong!” ajaran Bang Samsul mengompori ketiga abg tersebut.

“Iya, Run! Kita entot bareng! Masih longgar, nih! Ach!” Iwan menggeser posisinya. Dua kontol sudah melesak ke anusku. Biarpun masih kecil tetapi karena dua sekaligus aku merasakan sesak di pantatku. Iwan dan Harun menusukkan kontolnya bergantian. Saat Iwan maju, Harun mundur. Demikian seterusnya. Hingga sensasi itu tak pernah berhenti.

Jaka sendiri benar-benar kupuaskan akhirnya. Dengan kepiawaian mulut homoku, kuberikan pelayanan paling sempurna untuk abg yang kalau besar nanti menurutku akan seperti Kaka Slank.

Siang itu akhirnya aku menjadi budak seks keempat lelaki tersebut. Bang Samsul menyemburkan pejunya ke wajahku. Panas sekali! Nuansa penghinaannya terasa sekali. Ia puas melumuri bagian tubuhku yang paling terhormat dengan cairan tetes hina dari kontolnya.

Tindakan Bang Samsul diikuti ketiga abg tersebut.

CRETTT ... CRETT .. CRET

Peju Iwan membasahi pipi kananku.

CROT ... CROT .. CROT

Kini giliran dahi kiriku terkena semburan kontol Harun.

CRUOT ... CROTT ...CROTTT

Jaka mengakhiri semuanya dengan menyiramkan cairan kontolnya di tengah-tengah wajahku. Ia memulaskan kepala kontolnya yang merah ke seluruh wajahku.

Aku puas ...

Meski terhina.

No comments:

Post a Comment

Paling Populer Selama Ini