Copyright 2005, by Mario Soares (msoares_bombay@yahoo.com) and Eastgloryid (eastgloryid@yahoo.com)
(Pemaksaan, Istri Selingkuh)
Sepasang manusia sedang bergumul bugil di atas ranjang. Keduanya berpelukan erat. Yang pria menindih si wanita. Kaki si wanita yang melingkar di sekeliling pinggul pasangannya seolah ikut membantu gerakan-gerakan si pria menyetubuhinya. Keduanya saling memagut dan mengulum mulut pasangannya. Menikmati setiap detik keintiman mereka.
Cuaca Jakarta di musim kemarau yang cerah dan panas seolah menjadi saksi persenggamaan mereka yang panas.
Si pria bernama Arman. Ia seorang marketing executive pada sebuah perusahaan nasional. Usianya baru 28 tahun. Wanita yang sedang digelutinya adalah istrinya yang baru dinikahinya tujuh bulan, Lisa. Ia adalah karyawati pada sebuah perusahaan jasa telekomunikasi di Jakarta. Usianya 25 tahun.
Arman sangat mencintai istrinya yang cantik rupawan itu. Kulitnya halus dan putih bersih. Nikmat sekali merasakan kelembutan tubuhnya saat ditindih dan disetubuhinya. Aroma tubuhnya begitu wangi alami. Suaranya pun merdu didengar. Apalagi saat mengeluarkan erangan nikmat di tempat tidur… Arman sangat menyukainya…
Sejak pacaran, orang sering mengatakan mereka pasangan yang serasi. Yang satu cantik, yang lain tampan. Keduanya berasal dari keluarga yang mapan dan berpendidikan tinggi. Masing-masing memiliki karir yang cerah.
Malam itu mereka tuntaskan dengan meraih puncak kenikmatan bersama-sama. Selesai bersetubuh, masih dalam keadaan bugil di balik selimut, mereka pun membahas rencana yang sudah mereka susun.
“Jadi Boss sudah mengizinkan Papah untuk cuti?” tanya Lisa membuka percakapan.
“Iya, Mah…” jawab Arman tersenyum. “Jadi minggu depan kita mudik ke Sumatera.”
Lebaran tahun itu Arman dan Lisa sepakat merayakannya di kampung halaman Arman di Bukittinggi. Arman ingin mengajak Lisa yang asli Jawa untuk melihat keindahan alam kampung halamannya itu.
“Hmmm… kalau begitu jadi ya petualangan pertama kita…?” senyum Lisa.
“Ha ha ha… sudah gak sabar ya..?” timpal suaminya. “Iya. Nanti kita akan melewati hutan juga… Banyak lah petualangan yang bisa kita lakukan…”
“Termasuk petualangan seks….?” goda Lisa sambil tersenyum nakal.
“Ha ha ha… Ya… ya… Tentu. Ide yang menarik…” jawab Arman bergairah. “Seperti… petualangan seks di hutan misalnya..?”
“Ha ha ha… kalau gitu Mamah jadi Jane… Papah jadi Tarzan…” gelak Lisa.
Keduanya pun tertawa terbahak-bahak. Sementara malam pun kian larut…
Di daerah sekitar jalan lintas Sumatera sering terjadi bencana kekeringan. Hal itu akan mengakibatkan para warga di sekitarnya kelaparan karena hasil pertanian dan kebun mereka gagal.
Setiap musim paceklik datang, di daerah itu sering terjadi perampokan terhadap mobil angkutan barang atau penumpang yang melintasinya. Untuk menghindari peristiwa itu, para sopir, baik truk, bus umum, dan mobil pribadi jika melewati daerah itu selalu beriringan secara konvoi. Daerah itu amat angker dan ganas. Belum lagi ditambah dengan kondisi jalan yang rusak parah.
Saat itu adalah penghujung musim kemarau. Cuaca mulai menampakkan perubahan ke arah musim hujan. Jalan yang rusak itu pun menjadi kotor dan becek hingga membuat lobang-lobang besar di badan jalan. Kesempatan itulah yang kadang digunakan oleh para perampok untuk menjarah mobil yang lewat saat berjalan perlahan.
Arman menyetir sendiri Nissan Terrano-nya. Ia tidak memakai jasa sopir. Selain ingin jalan santai juga supaya bisa menikmati keindahan alam hutan sepanjang perjalanan. Arman dan Lisa sama-sama memiliki hobi traveling ke tempat yang alami. Kesempatan mudik itulah yang mereka manfaatkan untuk sekalian menyalurkan hobinya.
Dalam melakukan perjalanan jauh itu mereka bergantian menyetir. Jika Arman capai maka Lisa yang menggantikan. Mereka hanya melakukan perjalanan dari pagi hingga sore. Pada malam hari mereka menginap pada hotel yang mereka temui. Perjalanan mudik itu amat santai dan dinikmati pasangan muda itu.
Pasangan ini memilih membawa mobil sendiri karena tidak ingin merepotkan para famili di kampungnya. Dengan membawa mobil sendiri, mereka pun dapat jalan-jalan sesuka hati mereka. Lagipula jika naik pesawat akan membuat mereka repot mengurus tiket dan terpaksa akan mengganggu waktu santai mereka.
Setelah menyeberang, mereka pun melanjutkan perjalanan ke Sumatera. Beberapa jam mereka berhenti untuk makan siang pada sebuah restoran di pinggir jalan lintas itu.
Sore harinya mereka memasuki wilayah yang terkenal angker tersebut. Arman berusaha mencari penginapan dan motel di sepanjang jalan yang penuh dengan hutan lebat. Di daerah itu memang jarang ada motel. Yang ada hanya rumah makan sederhana yang biasa dipakai oleh sopir truk untuk istirahat.
Beberapa kilometer kemudian mereka menemukan sebuah motel kecil. Mereka memang tidak ingin melanjutkan perjalanan malam. Tubuh mereka berdua sudah capai dan penuh keringat. Yang mereka inginkan adalah segera istirahat malam itu.
Motel yang mereka temui cukup sederhana. Mereka lalu masuk dan menemui petugas motel. Rupanya masih ada kamar yang tersedia. Sayangnya mereka cukup kecewa setelah mendapati tarif yang diajukan oleh si petugas cukup mahal. Dengan angkuhnya si petugas yang rupanya sekaligus pemilik motel kecil itu menolak tarifnya ditawar. Padahal sebenarnya ia memang telah menaikkannya di atas tarif normal karena melihat penampilan calon tamunya yang mencerminkan orang yang mapan ekonominya.
Bagi suami isteri itu memang tidak ada pilihan lain. Jika terus berjalan, maka hari telah larut. Lebih baik istirahat di motel itu meskipun sewanya mahal. Dengan terpaksa, Arman pun membayar tarif sewa yang diajukan. Mereka berdua lalu diantar menuju kamar yang diberikan si pemilik motel.
Begitu masuk, Lisa langsung merasa amat jijik melihat kondisi kamar itu. Kain spreinya saja amat jorok. Keempat dindingnya dipenuhi oleh coretan dan kata-kata kotor. Apalagi dinding itu banyak lobangnya yang di tutup dengan isolasi. Lisa sempat mengeluh pada Arman.
“Aduuh, Pah… Motel semacam ini koq mahal amat, siiih….?” gerutunya. “Mana budukan lagi….”
Arman cuma bisa menghela napas sambil merangkul istrinya.
“Yaah, Mah… Emang gak bisa kalo membandingkan motel ini dengan yang di Jakarta…” kata Arman menenangkan istrinya yang cukup sewot saat itu.
“Anggap aja ini bagian dari petualangan kita…” lanjutnya.
“Kamu pernah punya khayalan kita berbulan madu ke hutan dan bercinta seperti Tarzan dan Jane, kan…?” goda Arman. “Naah… anggap aja ini bagian dari perwujudan khayalan kita….”
Lisa hanya mencibir dan menonjok suaminya dengan manja. Mereka pun tertawa terbahak-bahak.
Setelah membersihkan badan dan berganti pakaian, mereka pun tidur di kasur yang tipis itu. Sebelumnya, Lisa melapisi kasur itu dengan bed cover yang kebetulan ia bawa di mobilnya karena sprei yang ada amat kotor dan bau.
Saat malam semakin larut, pasangan suami istri itu berusaha untuk tidur. Namun tak lama kemudian mereka terjaga oleh suara gaduh di sebelah kanan kamar mereka.
Samar-samar terdengar suara-suara erotis dari sepasang pria dan wanita yang sedang memadu birahi…. Sesekali terdengar pula kata-kata kotor yang diucapkan si pria saat melampiaskan nafsunya. Dari kata-kata yang dikeluarkannya, tampak sekali betapa kasar dan tak berpendidikannya laki-laki itu. Bunyi derit dipan dan dengus nafas dua manusia yang sedang bersetubuh itu terdengar begitu jelas di malam yang hening itu. Tak pelak, suara-suara itu membuat Arman dan Lisa terbangun.
Saat itu di kamar sebelah mereka rupanya ada seorang pria yang membawa seorang pelacur dan melakukan hubungan seks. Motel itu memang sebenarnya lebih banyak digunakan oleh para sopir maupun begal setempat untuk beristirahat dan melampiaskan nafsu syahwatnya bersama para pelacur. Terbukti bahwa tak lama kemudian, dari kamar sebelah kirinya pun terdengar suara-suara yang sama.
Lisa mulai menjadi kesal. Ia bahkan mengajak Arman keluar motel saja untuk melanjutkan perjalanan. Ia merasa bunyi-bunyi itu amat mengganggu istirahatnya.
Arman pun berusaha membujuk dan merayu istrinya. Akhirnya, Lisa pun menjadi lebih tenang. Sambil menyarankan Lisa untuk rileks, tangan Arman membelai bagian tubuh istrinya yang sensitif. Walaupun tak diutarakannya, sebenarnya Arman malah merasa terangsang mendengar suara-suara itu.
Karena belaian dan pilinan tangan Arman yang menggoda, Lisa pun ikut naik birahinya. Akhirnya mereka melakukan persebadanan pula seakan tidak mau kalah oleh pasangan-pasangan yang sedang beraktifitas di kamar-kamar sebelahnya.
Malam itu Lisa dihantarkan Arman hingga orgasme. Mereka lalu tertidur karena letih setelah pendakian itu. Lisa dan suaminya tertidur sambil telanjang. Lisa menghadap dinding sedangkan Arman memeluknya dari belakang.
Di luar pengetahuan suami istri itu, melalui sebuah lobang yang ada di dinding kamar mereka, ada sepasang mata yang mengintip aktifitas seksual mereka. Mata itu milik seorang dedengkot begal di daerah itu. Begal itu baru saja melakukan hubungan seks dengan seorang pelacur.
Mulanya ia iseng saja mengintip. Kebetulan selepas menyetubuhi pelacur yang dibawanya, ia mendengar dengus nafas pasangan suami istri itu saat melakukan hubungan seks. Ternyata apa yang dilihatnya benar-benar memikatnya dan menerbitkan air liurnya….
Dengan seksama si begal memperhatikan tubuh suami istri itu mendaki puncak kenikmatan. Ia pun amat terpana dan terpikat akan kecantikan Lisa saat bugil dengan suaminya. Seumur hidupnya belum pernah ia melihat langsung seorang wanita secantik itu. Ia hanya tahu kecantikan Lisa seperti kecantikan bintang-bintang sinetron yang ia saksikan lewat televisi.
Sosok telanjang Lisa amat menggodanya sehingga menimbulkan birahinya untuk menikmati tubuh perempuan itu. Lisa memang cantik. Wajahnya mirip artis sinetron. Persisnya, ia jadi teringat dengan aktris Berliana Febrianti. Bahkan Lisa lebih cantik dan sexy dibandingkan Berliana…
Begal itu melihatnya dengan penuh kekaguman. Sesaat ia membandingkan sosok Lisa dengan pelacur yang baru saja ia gauli… Perbedaannya bak siang dan malam….
“Kok ngintip-ngintip kamar sebelah segala, Bang?” tanya si pelacur yang baru saja ditiduri begal itu tiba-tiba.
“Masih mau nambah..?” sambung perempuan setengah umur itu. “Ayo, Bang… kalau mau nambah lagi…”
“Aaah… jangan banyak cakap kau…” sergah si begal yang merasa terusik keasyikannya oleh ocehan pelacur itu.
“Ini uangmu… cepatlah kau keluar…” usir Begal itu. “Ayo… cepat..”
“Iiih… Abang, kok sewot begitu sih…?” timpal si pelacur kesal sambil cepat-cepat memberesi pakaiannya.
“Kalo yang di kamar sebelah itu pasangan suami isteri, Bang… Bener lho… Abang gak bisa tidur sama itu cewek, biar nunggu sampai kapan pun… Mendingan sama saya aja…” goda si pelacur sambil melangkah keluar kamar.
Si begal membanting pintu kamar. Lalu ia menyusun sebuah rencana untuk dapat menaklukkan Lisa. Birahinya saat itu untuk menggauli Lisa tinggi sekali namun ia kecewa karena ada suaminya yang tidur di samping Lisa saat itu.
“Mungkin tidak malam ini…. tapi aku harus bisa mendapatkan perempuan cantik itu….” gumam si begal sambil kembali mengamati tubuh telanjang Lisa yang saat itu sedang tidur bersama suaminya setelah selesai bersetubuh.
Diamatinya terus tubuh mulus ibu rumah tangga itu dengan penuh napsunya… Tak lama kemudian si begal pun melakukan masturbasi sambil membayangkan bersetubuh dengan Lisa… Saat mencapai orgasme, ia pun melenguh dengan kerasnya….
“Uuuuuuaaaaagggghhhh….. Hhhhhhhhh….. HHHuaaaah….”
Suaranya yang panjang dan keras memecah keheningan malam… Lisa pun sampai terbangun mendengarnya namun suaminya tetap tertidur pulas di sampingnya. Sejenak matanya menatap ke arah dinding kamar sebelah tempat suara itu berasal… Karena kamar tempat Lisa dan suaminya tidur terang benderang, si begal itu pun bisa menatap kedua mata Lisa yang bening dan indah… Tentu saja perempuan itu tak bisa melihat sebaliknya karena terhalang dinding…..
Ah, sudah semalam ini masih saja ada aktifitas di kamar sebelah, pikir Lisa.
Ia pun lalu membaringkan tubuhnya kembali… tanpa pernah terlintas sedikit pun kalau dalam waktu yang tak lama lagi ia akan sangat akrab dengan suara itu… dan juga pemiliknya…
Pagi harinya setelah mandi dan makan seperlunya mereka bersiap melanjutkan perjalanan. Pagi itu amat cerah. Arman pun menyetir dengan tenang dan santai. Sesekali ia menggoda Lisa yang saat itu memakai kacamata minus dan busana casual yang amat serasi dengan kulitnya.
Baru berjalan beberapa kilometer, Arman merasakan perutnya mules serasa ingin buang air besar. Keringat dinginnya muncul.
“Ada apa, Pah? Kamu sakit ya?” tanya Lisa.
“Auuh, aku ingin buang hajat nih… perutku sakiit,” jawab Arman meringis sambil menghentikan mobilnya.
Kemudian kemudi diambil alih istrinya. Lisa pun membawa mobil perlahan dengan harapan ia dapat menemukan sebuah rumah makan atau rumah penduduk di tengah perjalanan itu.
Tidak lama kemudian mereka melihat sebuah rumah yang terbuat dari kayu agak jauh dari pinggir jalan. Perasaan memang itulah satu-satunya rumah yang mereka temui sejak meninggalkan hotel tadi… Rumah itu berada agak ke dalam hutan. Lisa membelokkan mobilnya memasuki jalan tanah menuju rumah itu.
Sesampainya di sana, Lisa pun turun dan menemui seorang lelaki yang ada di depan rumah itu.
“Permisi, Pak… Boleh saya numpang ke kamar kecil?” pinta Lisa pada sang peghuni rumah.
“Wah, kami tak punya WC, Bu. Kalau mau buang air biasanya ke sungai di belakang rumah saja,” jawab si laki-laki.
Lisa lalu balik ke mobil dan minta suaminya turun. Ia mengatakan Arman bisa buang hajat di sungai belakang rumah karena rumah itu tidak punya WC. Tanpa pikir panjang, Arman mengikuti petunjuk istrinya dan berlari ke arah sungai itu.
Sementara menunggu suaminya, Lisa dipersilakan si laki-laki untuk duduk di teras rumahnya. Sambil tersenyum berterima kasih, wanita itu pun mendaratkan pantatnya ke sebuah kursi kayu sederhana sambil meluruskan kedua kakinya. Si penghuni rumah sendiri lalu meneruskan aktifitasnya. Sesekali ia tampak masuk ke hutan dan luput dari pandangan Lisa.
Sosok laki-laki itu memang membuat ngeri orang yang melihatnya. Usianya kira-kira 47 tahun. Tubuhnya kekar. Kulitnya hitam legam. Brewoknya yang tak tercukur dengan rapi menutupi raut wajahnya yang keras. Dari sela-sela kaos kumal yang dikenakannya, tampak codet-codet bekas sayatan benda tajam di sekujur tubuhnya. Sekilas tampak pula tato yang menghiasi beberapa bagian tubuhnya. Penampilannya membuat Lisa bergidik. Dalam hati ia bersyukur laki-laki itu tak menemaninya duduk di situ.
Sebenarnya si pemilik rumah kayu adalah laki-laki yang mengintip Lisa dan suaminya bersebadan di motel tadi malam. Lisa sama sekali tidak mengetahuinya. Laki-laki itu tinggal seorang diri di rumah itu. Ia adalah seorang perampok yang sering menjarah harta para sopir yang melewati kawasan itu.
Tunggu punya tunggu, Arman belum juga balik dari buang hajat. Lisa mulai gelisah. Sudah hampir setengah jam ia menunggu, suaminya belum juga muncul. Ia pun bertanya pada si pemilik rumah.
“Jambannya jauh tidak, Pak?” tanya Lisa.
“Ah, dekat sini kok, Bu. Di belakang rumah saya ini,” jawab laki-laki itu.
Lisa merasa semakin gelisah dan menyusul mencari suaminya. Ditemukannya sungai yang dimaksud dan ditelusurinya sepanjang tepiannya. Apa daya suaminya maupun tanda-tandanya tidak juga ditemukan….
Akhirnya ia pun balik ke rumah itu dan minta tolong pada si laki-laki untuk mencarinya. Laki-laki itu lalu pergi mencari Arman agak lama. Lisa pun sebelumnya dipersilakan duduk di dalam rumahnya.
Beberapa jam kemudian laki-laki itu datang kembali sendirian. Ia mengabarkan Lisa bahwa ia tak berhasil menemukan suaminya. Lisa cemas dan panik.
Dengan putus asa, diajaknya pria itu untuk mencari lagi suaminya bersama-sama. Sambil menemani Lisa, pria itu memberikan berbagai kemungkinan.
“Mungkin saja suami Ibu terpeleset dan hanyut di sungai yang deras itu.”
“Tapi suami saya pandai berenang, Pak… Ia termasuk anggota arung jeram…” timpal Lisa.
“Ya, tapi nasib orang kan siapa tahu, Bu… Jangan remehkan kekuatan alam…” jelas lelaki itu. “Sudah banyak kasusnya warga sini yang jelas-jelas akrab dengan sungai ini terbawa hanyut…”
“Apalagi sungai ini memang angker, Bu… Ada penunggunya…”
Lisa diam saja sambil pikirannya menerawang membayangkan suaminya mendapatkan musibah.
“Kemungkinan lain…. bisa jadi suami Ibu ketemu binatang buas… Hutan ini masih banyak harimaunya, Bu…”
Lisa bergidik mendengar kemungkinan itu. Ia semakin sedih. Pikirannya bertambah kacau. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
Si pria akhirnya menjanjikan pada Lisa untuk melanjutkan pencarian esok pagi karena malam telah menjelang dan hujan mulai turun. Lisa masih shock akan kejadian itu. Ia amat khawatir akan keselamatan suaminya. Dengan terpaksa ia akhirnya menerima saran dari si pria itu untuk mencari lagi esok hari.
Padahal saat Arman buang hajat tadi pagi, si laki-laki penghuni rumah bolak-balik mengawasinya. Begitu Arman selesai, begal itu tanpa kesulitan yang berarti melumpuhkannya. Diikat dan dikurungnya Arman di dalam sebuah kerangkeng untuk menangkap harimau. Kerangkeng itu ia taruh di dalam hutan agak jauh dari rumahnya sambil ditutupi dedaunan. Dipastikan bahwa pria malang itu tidak akan bisa meloloskan diri tanpa pertolongan orang lain.
Laki-laki itu membuat jebakan untuk Arman karena tergiur untuk merampas istrinya. Arman sakit perut karena sarapan miliknya di motel memang telah dibubuhi ramuan pencahar isi perut. Tak sulit melakukan itu karena si pemilik motel adalah teman baik si begal.
Pada malam itu, selesai melakukan masturbasi sambil memandangi tubuh telanjang Lisa, si begal langsung menemui dan membangunkan pemilik motel. Diceritakannya niatnya yang bulat untuk mendapatkan Lisa. Melihat tekadnya yang kuat, si pemilik motel akhirnya setuju untuk membantu temannya. Imbalan yang diminta adalah jika si begal berhasil, ia harus membagi tubuh wanita itu kepadanya. Tak bisa dipungkiri, si pemilik motel pun tergiur pula oleh kecantikan dan keseksian tubuh Lisa. Si begal langsung menyetujuinya.
“Bereslah, kawan… Kita kan saudara… Sesama saudara patutlah kita saling berbagi…”
Si pemilik motel mengangguk-angguk senang.
“Setelah aku menuntaskan napsuku pada wanita itu, kau pun pastilah dapat bagian,” lanjutnya. “Kau kan tahu aku orang yang tahu membalas budi…”
Mereka lalu tertawa terkekeh-kekeh dengan tercapainya kesepakatan di antara mereka.
Setelah berdiskusi dan bertukar pikiran semalaman, mereka pun berhasil membuat rencana yang matang. Pembahasan ditutup dengan saling membagi tugas. Selanjutnya, seperti telah diketahui, sejauh ini semua berjalan sesuai rencana…
Malam itu Lisa sangat gelisah, yang ada di pikirannya hanya Arman suaminya. Matanya sembab karena sedih. Lalu si pria mendekatinya.
“Bu, sabar aja, nanti suami ibu juga pulang. Besok kita cari ya?” bujuk si pria.
Lalu si pria mengenalkan diri.
“O… ya, Bu… nama Ibu siapa?” sambil mengulurkan tangannya yang kasar penuh bulu itu.
“Lisa, Pak…” Lisa mengulurkan tangannya juga.
“Nama yang cantik sekali… Secantik orangnya…” puji pria itu spontan. Lisa pun tersipu…
Si pria lalu menyebutkan namanya.
“Jarot. Nama saya Jarot,” terang si pria sambil menggenggam tangan halus Lisa. Ia merasakan kehalusan jemari dan kehangatan tangan Lisa. Lalu ia lepaskan.
Dengan logat Komering yang kental, Jarot bertanya pada Lisa tentang tujuannya dan asalnya. Lisa pun menjawab seadanya.
Malam pun menjelang dan hujan turun dengan derasnya. Rupanya inilah pertama kalinya hujan turun setelah musim kemarau yang kering selama berbulan-bulan. Hujan pun turun tak tanggung-tanggung. Benar-benar lebat diiringi suara guntur yang bersahut-sahutan… Seakan menandai suatu peristiwa besar yang akan terjadi malam itu….
“Bu… Mobil Ibu dipindah saja ke belakang rumah. Biar nggak basah!” kata si pria.
Lisa lalu memindahkan mobilnya ke arah belakang rumah yang terlindung atap rumbia. Dengan aba-aba dari Jarot, Nissan-nya dapat dipindahkan ke tempat yang aman. Pakaian Jarot basah oleh hujan. Lisa pun sempat tersiram air hujan saat menuju mobilnya.
Jarot menyarankan Lisa untuk membawa pakaian ganti dari dalam mobil. Jika tidak diganti akan membuatnya sakit dan menyulitkan pencarian suaminya esok hari. Lisa menuruti kata-kata si pria karena memang ada benarnya juga.
Sesampainya di dalam rumah, Jarot mempersilakan Lisa untuk berganti pakaian di kamar depan. Lisa pun masuk kamar. Sambil memperhatikan, Jarot mengunci pintu rumah lalu menyembunyikannya kuncinya.
Ia memperhatikan langkah Lisa menuju kamar. Ia akan segera menyusul untuk melaksanakan niatnya.
Saat Lisa melepaskan kaos dan kacamata minusnya, pria brewok itu masuk dan menutup pintu lalu menguncinya. Tubuh Lisa saat itu masih terbalut bra dan celana dalam.
Lisa kaget bercampur marah.
“Ada apa, Pak? Saya kan masih ganti pakaian…?” katanya dengan nada meninggi.
“Tenang sajalah, Bu… Aku hanya ingin melihat keindahan tubuh Ibu dari dekat… Soalnya jarang sekali aku melihat wanita secantik Ibu… Aku hanya ingin lihat…” kata Jarot dengan berani.
“Pergi keluar, Pak… Jika tidak saya akan berteriak…” jawab Lisa sengit sambil menutup dengan kaosnya belahan payudaranya yang menonjol dari sela-sela bra.
“Ayolah… Bu.. Jangan marah begitu… Silakan berteriak sekerasnya… Tidak ada yang akan menolong Ibu di sini…” jawab Jarot sambil mendekat ke arah Lisa. “Marilah kita sama-sama berbagi kehangatan di kedinginan malam ini…”
Lisa mundur dan terus berusaha memberi pengertian pada Jarot. Keringat dinginnya muncul meskipun saat itu cuaca dingin dan hujan. Keringatnya keluar karena menyadari akan bahaya yang segera ia hadapi. Namun Jarot pun terus mendesak istri Arman itu ke arah ranjang kayu yang terletak di pojok kamar itu. Lisa terdesak di pinggir ranjang.
“Jangan… Pak.. Saya mohon!… Jangan sentuh saya….” Lisa memohon pada begal itu.
“Saya akan bertindak lembut…. jika Ibu tidak macam-macam dan menyulitkan saya!” jawab Jarot.
Segala permohonan Lisa tidak digubris pria itu. Jarot terus mendesak Lisa hingga berhasil ia rangkul.
Saat-saat yang menegangkan itu pun lalu berjalan sesuai rencana Jarot. Ia lalu meraih tangan Lisa dan membawa Lisa ke arah tubuhnya untuk dipeluknya. Lisa terpaksa menurut karena tak bisa melawan. Dalam pelukan begal brewok itu, Lisa menangis karena bencana yang ia alami.
Lalu Jarot meraih dagu Lisa dan mengulum bibirnya yang kecil mungil. Lisa berusaha mengatupkan bibirnya agar tidak bisa dikulum si begal brewok. Namun segala upayanya sia-sia.
Jarot mendekap tubuh Lisa begitu eratnya. Secara spontan, wanita itu pun berusaha melepaskan dirinya. Apa daya, rontaan tubuh Lisa di dalam pelukan begal itu malah menimbulkan kontak dan gesekan-gesekan dengan tubuh Jarot yang pada gilirannya malah semakin memberikan kenikmatan pada begal itu dan menaikkan birahinya.
Si pria brewok itu pun berhasil mengulum dan membelit lidah Lisa. Lisa pasrah dan berusaha melepaskan belitan lidah si brewok. Jarot berhasil menghisap air ludah Lisa dan ia pun juga melepaskan ludahnya yang bau ke dalam rongga mulut Lisa.
Lisa jijik dan terus berusaha melepaskan diri dari betotan tubuh si pria. Ia harus menahan bau tubuh si pria dan kasarnya tangan-tangan si pria yang terus berusaha memilin dan meremas payudaranya yang masih terbungkus bra itu. Namun apalah daya seorang wanita yang lemah di samping ia pun sudah lemah secara psikis karena suaminya menghilang ditambah beban mental menghadapi upaya perkosaan terhadap dirinya.
Lisa hanya bisa menangis sesenggukan. Ia tidak rela diperkosa dan dicemari rahimnya oleh laki-laki laknat itu. Ingin rasanya ia bunuh diri saat itu juga…. namun alam bawah sadarnya masih mengingatkannya untuk tidak melakukan hal tercela itu.
Masih dalam pelukan erat begal itu, akhirnya Lisa berhasil ditundukkan. Bra yang menutupi payudaranya ia buka paksa. Kedua bukit salju yang mulus itu pun tergantung indah di dada Lisa. Tangan-tangan kasar Jarot yang penuh bulu itu berhasil menjamahnya. Dengan mulutnya, ia jilati dan gigiti putingnya. Lisa terlonjak sakit dan geli. Alam bawah sadarnya mulai menapaki rangsangan yang dihantarkan mulut begal itu yang mulai menampakkan wujudnya.
Lalu Lisa dibaringkan Jarot di atas kasurnya yang lusuh itu. Sebelumnya ia telah berhasil melepaskan seluruh penutup dada Lisa dan mengacak-acak dada wanita itu yang dihiasi oleh kalung berlian dengan inisial “L”. Jarot seakan tidak ingin kehilangan momen menentukan itu. Ia pun berusaha melepaskan celana jeans yang dikenakan Lisa.
Celana jeans yang dikenakan Lisa pun berhasil dilepaskan Jarot. Ia amat takjub dan terpana melihat batang paha Lisa yang jenjang dan putih mulus tanpa cacat itu terhidang di depan matanya. Celana dalam berwarna putih yang dikenakan Lisa saat itu membuatnya tambah bernafsu.
Jarot menyeringai…. Ia mendapati celana yang dipakai Lisa telah basah di belahan kemaluannya. Basah itu bukan basah keringat… Ia tahu persis bibir kemaluan yang basah itu karena lendir yang keluar dari liang vagina Lisa karena adanya nafsu yang muncul dari tubuhnya.
Sejak itu, Jarot benar-benar yakin kalau rencananya akan berjalan mulus dan lancar… Begal itu semakin merasa percaya diri… Ia yakin tubuh Lisa tak akan bisa berbohong terhadap rangsangan-rangsangan yang diberikannya… Tinggal sekarang ia harus bisa menguasai mental dan pikiran wanita itu sepenuhnya… sehingga tercapailah niatnya untuk menikmati tubuh Lisa sepuasnya…
Lalu Jarot menciumi celana yang basah di tengah kemaluan Lisa. Ada bau amis yang ia baui. Ia pun lalu melepaskannya. Wow…. itulah yang keluar dari mulut si begal.
Liang kemaluan Lisa masih rapi dan bulu-bulunya pun tertata indah meskipun saat itu amat lembab. Kemaluan Lisa tampak rapat dan belum ada celah yang longgar. Tidak seperti kemaluan pelacur-pelacur yang sering ia gauli selama ini, pikir Jarot. Ditambah lagi aroma kemaluan Lisa terasa beda sekali dengan yang ia temui selama ini.
Lalu ia pun mendekatkan wajahnya dan menyapu liang itu dengan lidahnya yang panjang juga kasar. Lidah Jarot mencari klitoris yang ada di sela liang itu. Ia lalu menciumi kemaluan Lisa sama seperti ia menciumi bibir Lisa tadi. Tidak ada rasa jijik di kepala pria itu.
Lisa masih terus menangis namun kini tubuhnya telah terbuka seluruhnya dan gairah yang dari tadi ia tahan akhirnya meledak juga. Jarot mengetahui bahwa Lisa saat itu telah siap untuk dicampuri kemaluannya. Bagaimanapun upaya Lisa untuk menyembunyikan gairahnya tetap tidak membantunya.
Karena vagina dan klitorisnya secara intensif terus-menerus dijelajahi mulut dan lidah Jarot, Lisa akhirnya mengalami orgasme. Tubuhnya tak bisa menolak rangsangan-rangsangan fisik yang terus-menerus dilancarkan padanya. Kemaluannya mengeluarkan cairan yang cukup kental. Cairan itu lalu ditelan Jarot hingga tandas tak bersisa. Kemaluan Lisa pun akhirnya bersih oleh lidah begal itu.
Tubuh Lisa menjadi lemah tak bertenaga. Ia benar-benar letih akibat kejadian-kejadian yang baru saja ia alami. Peristiwa itu membuatnya kehilangan kontrol dan membuatnya cenderung menurut pasrah. Ia pun terkulai bugil di atas ranjang.
Jarot merasa yakin kalau Lisa kini telah pasrah dan menyerah padanya. Tanpa ragu, ia pun membuka celananya di depan istri Arman yang sedang terbaring lunglai. Segera, Lisa pun dapat melihat batang penis begal itu yang menggelayut seperti belalai gajah yang hitam…. Ia tak dapat menyembunyikan keterkejutannya melihat alat kelamin yang sedemikian besarnya…. Semakin bertambah lagi keterkejutannya saat menyadari penis Jarot ternyata… tak dikhitan… Kepala penisnya tampak tertutup seperti kado yang belum dibuka….
Jarot lalu menaiki ranjang kayu itu. Dengan kedua tangannya, dibukanya kedua kaki Lisa sehingga terbuka mengangkang. Begal itu menempati posisi di tengah, di antara kedua kaki Lisa. Lalu Jarot melucuti baju kaos kumal yang dikenakannya dan melemparkannya ke lantai. Kini Lisa bisa melihat dengan jelas tubuh Jarot yang kekar, liat dan legam terbakar matahari. Berbagai macam tato menghiasi sekujur tubuhnya…. mulai dari pinggang hingga pangkal lengannya….
Kini di atas ranjang dua tubuh telanjang berlainan jenis telah siap melakukan perkawinan… Yang wanita adalah seorang ibu rumah tangga muda yang terbaring tak berdaya setelah diculik… dengan tubuh yang langsing, kulit putih mulus dan wajah cantik rupawan… Sedangkan si pria di atasnya yang siap mengawininya adalah seorang begal brewok dengan tubuh hitam kekar penuh dengan bekas luka dan tato… Lisa sama sekali tak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya….
Perlahan-lahan, Jarot lalu menaikkan kedua kaki Lisa yang masih mengangkang sehingga melingkari pinggulnya yang legam dan kekar. Lisa melihat kedua pahanya kini mengapit tato bergambar setan berwujud tengkorak yang menghiasi bagian perut Jarot.
Kemudian Jarot menggosok-gosokkan batang penisnya ke kemaluan Lisa… Lambat laun batang itu pun tumbuh semakin mengeras dan tegak…. Lisa pun kegelian merasakan kemaluan Jarot yang tumbuh menyentuhi kemaluannya. Setelah penis Jarot mengeras sepenuhnya dan siap dipakai, begal itu lalu mengarahkan kemaluannya yang panjang dan hitam Legam itu ke arah bibir kemaluan Lisa. Siap untuk dibenamkan ke dalamnya.
Bibir kemaluan Lisa masih rapat dan belum bisa menerima benda asing yang akan memasukinya saat itu. Lalu dengan jari tangannya Jarot membuka bibir itu dan menyelipkannya di tengahnya. Merasa batang penisnya telah siap lalu si begal pun mendorongnya hingga masuk ke dalam lubang kelamin ibu rumah tangga itu.
Saat penis Jarot masuk menyeruduk ke dalam kemaluan Lisa dengan kerasnya, spontan wanita itu pun terbelalak matanya dan ternganga lebar mulutnya. Seberkas jeritan tertahan di tenggorokannya. Sebentar kemudian, ia pun meringis…. kedua matanya terpejam menahan nyeri dan sakit pada rahimnya. Tak terasa air matanya pun menetes…
“Aduuuh…….. Paak…!! Ampuuun…” jeritnya halus mengiba belas kasihan kepada begal itu.
Jarot masih mendorong penisnya untuk masuk terus hingga dasar kemaluan Lisa. Lisa pun terus menangis dan air matanya menetes membasahi pipinya yang putih saat itu. Tubuhnya pun terguncang-guncang di bawah tubuh kekar Jarot.
Mengetahui tangisan Lisa saat menerima penisnya masuk, Jarot lalu memeluk Lisa dengan ketat dengan posisi tetap di atas tubuh putih Lisa. Ia peluk Lisa dan diciuminya bibir Lisa seakan tidak ingin terpisahkan. Jarot ingin bibir mereka juga menyatu sama seperti bagian bawah tubuh mereka yang telah dempet menyatu saat itu.
Rasa sakit dan perih di tubuh Lisa diungkapkannya dengan menekan bahu si begal yang kekar dengan kukunya yang runcing. Ia terus sesenggukan dan membenamkan kukunya di bahu bidang itu. Semua tindakan Lisa itu apalah artinya bagi pria yang terbiasa merampok itu. Jangankan kuku, golok pun telah ia rasakan.
Bahkan respons yang didapatnya saat menyetubuhi Lisa benar-benar membuatnya merasa nikmat. Ia tahu Lisa adalah istri orang… tapi menyetubuhinya sama seperti memperawani seorang gadis yang lugu dan belum berpengalaman….
Jarot tetap mendiamkan penisnya yang panjang dan besar itu di dalam kemaluan Lisa. Ia ingin mereguk kehangatan tubuh istri Arman itu dengan sempurna. Khususnya kehangatan yang berasal dari jepitan kewanitaan ibu rumah tangga itu. Apalagi dinding-dinding kemaluan Lisa terasa berdenyut-denyut… memijati penis Jarot yang keras…. Ia pun menikmati semua itu sambil terus mengulum bibir Lisa dan menjilati bagian belakang telinganya yang basah oleh keringat.
Rambut Lisa yang sebahu pun telah basah seolah turut menangisi keadaan Lisa saat itu. Dari tengkuk Lisa jilatannya terus berpindah kearah bahu yang putih bersih hingga menampakkan aliran merah darah dari urat-urat Lisa. Nafsu Jarot terus terpacu karena wangi tubuh Lisa yang juga masih tercium aroma Channel numero 5 yang telah bercampur dengan keringatnya saat itu.
Setelah puas di bahu, lalu ia turun ke arah payudara Lisa yang bernomer 34B itu. Di payudara Lisa mulut pria yang penuh oleh cambang dan kumis itu terus bermain-main dengan puting dan belahan susu itu. Jejak cupangan merah mulai banyak menghiasi kedua payudara yang putih dan mulus itu…
Ia telah membuat Lisa seakan lupa daratan. Lisa terus memejamkan matanya tidak ingin melihat kelakuan pria asing yang baru dikenalnya itu di atas tubuhnya.
Cengkeraman Lisa pada bahu Jarot akhirnya melemah. Ia telah orgasme untuk yang kedua kalinya. Hanya saja ia berusaha keras untuk tak menampakkannya karena malu…
Lalu si begal bergerak maju mundur dan terus menghujamkan kemaluannya ke dalam liang Lisa. Sedang kedua tangannya memegangi pinggang Lisa agar tetap di tempatnya. Lisa sebenarnya menikmati genjotan begal itu… Bagaimanapun ia belum berani menunjukkannya sehingga ia pun memejamkan kedua matanya. Sementara kedua tangannya tergeletak ke samping sambil meremas-remas seprei kumal yang sudah tak jelas warnanya itu.
Saat itu yang terdengar hanya dengus nafas dan erangan kedua makhluk yang sedang kawin itu.
Setelah beberapa lama perkawinan itu berlangsung… akhirnya si begal brewok itu pun melepaskan spermanya dengan gerakan begitu cepat dan hunjaman yang keras ke dalam kemaluan Lisa. Sambil melenguh-lenguh dengan suara berat, ia terus menekannya seolah ingin menuntaskan dendam birahi ke dalam tubuh Lisa dengan kasar. Spermanya keluar sangat banyak hingga tak tertampung oleh liang Lisa. Rembesannya keluar membasahi sprei kasur itu.
Di saat yang bersamaan, rupanya Lisa pun kembali mengalami orgasme… Kali ini tubuhnya menggelinjang hebat tak terkendali… Erangan panjang terlontar dari mulutnya… Dalam hati Lisa sedikit terkejut dan malu… Ia tak mengira akan sedemikian eksplisitnya orgasmenya nampak tanpa bisa disembunyikannya sama sekali… Ditambah lagi kenyataan bahwa mereka mengalami orgasme secara bersamaan…
Sementara Jarot yang mengetahuinya, segera mendekap tubuh wanita itu seerat-eratnya… Pinggulnya terus mendorong-dorong kemaluannya seakan ingin mendekam dan bersarang di kemaluan Lisa… Seakan ingin memompakan sisa-sisa sperma yang masih ada ke dalam rahim wanita itu… dan menandai Lisa sebagai milik pribadinya….
Lalu diciuminya seluruh wajah Lisa… dikulumnya dalam-dalam mulut wanita itu… seolah ingin menghargai apa yang telah mereka lalui bersama di ranjang itu… Lisa yang sudah kecapaian tak kuasa menolaknya… Baru kali ini ia mengalami perasaan sepenuhnya dimiliki dan dikuasai oleh seorang lelaki…
Sampai akhirnya gerakan kedua tubuh yang sama-sama telanjang itu pun mengendor…. Jarot masih menindihi tubuh Lisa yang telanjang. Selama beberapa menit mereka terpaku dalam posisi seperti itu… sampai penis Jarot yang telah lemas keluar dengan sendirinya dari kemaluan Lisa…
Setelah itu, karena capai si begal bergeser ke sebelah Lisa dan tertidur. Ada gurat kepuasan di wajahnya yang garang dan kejam. Ia telah berhasil menunaikan hasratnya yang ia dambakan pada Lisa. Ia pun tertidur pulas.
Sementara itu, Lisa yang telah pulih kembali pikiran dan akal sehatnya yang sebelumnya tertutup oleh hawa nafsu hanya bisa menangis… Ia merasa berdosa telah mengkhianati suaminya… Ia merasa dirinya kotor… tak ada bedanya seperti pelacur-pelacur yang ditemuinya di motel malam sebelumnya…
Masih dengan tetesan air mata di pipi, Lisa lalu bangun dari ranjang kayu itu dan mengenakan kembali seluruh pakaiannya yang berserakan di lantai kamar.
Sebenarnya ia ingin mandi membersihkan seluruh tubuhnya dari sperma dan keringat begal itu… Sayang rumah itu tak memiliki kamar mandi sendiri. Ia merasa telah amat kotor saat itu… Apa daya, kepada siapa ia bisa mengadu. Semuanya telah terjadi. Tak mungkin ia dapat membalik waktu…
Lisa pun berjalan ke arah pakaian Jarot berusaha mencari kunci kamar agar bisa keluar namun tidak ditemukannya.
Karena kecapaian setelah pergumulan laknat tadi ditambah masalah suaminya yang menghilang, Lisa pun akhirnya hanya bisa terduduk jongkok di sudut kamar. Ia pun terlelap. Namun saat ia baru saja terlelap, tiba-tiba si begal itu bangun dan menarik Lisa agar tidur di sampingnya di atas ranjang kayu itu.
Lisa terpaksa menurut karena ia tidak dapat lagi melawan. Lalu ia berbaring di samping si brewok yang masih bugil hingga malam menjelang.
Sesekali di atas ranjang saat mereka tidur berdampingan, tangan Jarot yang kasar meremas payudara Lisa yang telah tertutup bra dan kaos yang dikenakannya. Lisa pun selalu melepaskan tangan si begal yang gatal itu. Bagaimanapun intimnya hubungan yang telah mereka lalui bersama-sama pada malam itu, Lisa tetap merasa dirinya sebagai istri Arman yang sah… Begal itu tak lain sekedar memaksanya dan memperbudaknya untuk melayani nafsu birahinya…
Tak lama kemudian, mereka berdua pun tertidur saking lelahnya.
Tengah malam Lisa terjaga. Ia merasa mendengar suara orang yang memanggil-mangil namanya.
Ia pun duduk dan membangunkan begal brewok di sampingnya yang saat itu masih bertelanjang. Tubuh hitam dan penuh bulu itu lalu bangun.
“Ada apa Lisa”? tanya Jarot.
“Aku mendengar suara-suara orang di luar memanggil-manggil namaku,” jawab Lisa.
Mendengar perkataan Lisa saat itu, Jarot mengenakan celana pendeknya dan masih bertelanjang dada.
“Coba kulihat keluar,” katanya.
Lalu mereka keluar rumah. Hujan masih turun dengan derasnya. Suara yang didengar Lisa itupun tidak ada lagi.
“Nah, tidak ada bukan?” sahut begal itu.
“Rumah ini letaknya jauh dari perkampungan penduduk, Lisa… Di sekeliling sini masih hutan lebat…”
Mereka pun kembali ke dalam rumah Jarot yang memang tidak memiliki penerangan listrik. Lisa diam memperhatikan tingkah laku si pria.
“Waduh…” kata Jarot sambil memegangi perutnya. “Aku lapar sekali… Kau juga lapar, Lisa?”
Spontan Lisa mengangguk.
Memang pastilah perut mereka lapar karena kegiatan mereka yang sangat panas tadi di ranjang telah menghabiskan banyak energi. Lisa pun jelas sangat lapar karena makanan yang terakhir masuk ke dalam perutnya adalah sarapan pada pagi harinya.
“Di mobilku ada makanan, Pak… Perbekalan terakhir yang dibeli oleh suamiku sewaktu di Lampung,” terang Lisa.
“Aaa.. bagus lah itu… Kalau begitu ayo kita ambil,” sahut begal itu.
“O, ya. Satu hal lagi… Jangan panggil aku ‘Pak’… Panggil saja Jarot, ya? Semua wanita yang sudah kutiduri boleh memanggil namaku saja…”
Jarot kemudian mengambil makanan yang ada di mobil berdua dengan Lisa. Dirangkulnya pundak wanita itu seolah mereka sepasang kekasih…
Jarot melepaskan rangkulannya saat ia mengangkuti makanan dari mobil. Saat itu sempat terlintas di kepala Lisa untuk melarikan diri namun ia tidak mampu karena ia masih berpikir akan keselamatan suaminya.
Mereka pun balik ke dalam rumah Jarot dan makanan itu mereka habiskan tanpa sisa.
Karena waktu masih malam dan hujan turun dengan derasnya, mereka pun kembali ke kamar untuk tidur. Lisa merasa badannya masih pegal dan capai. Ia ingin beristirahat dan dapat tidur dengan nyenyak malam itu.
Sesampai di kamar, mereka naik ke ranjang kayu itu. Ternyata, di atas ranjang, kejahilan si begal mulai muncul lagi. Rupanya makanan yang diberikan Lisa tadi telah mampu membantunya memulihkan tenaganya kembali… Ia pun berusaha kembali merangsang Lisa untuk bersebadan lagi.
“Sudahlah, Jarot… Saya capek…” kata Lisa mencoba mencegah.
“Lisa, dingin-dingin begini aku tak bisa tidur,” jawab Jarot.
Tanpa banyak bicara lagi, si begal pun melepaskan celananya. Walaupun masih merasa agak rikuh karena belum terbiasa melihat lelaki telanjang selain suaminya, Lisa mencuri-curi pandang juga ke arah penis Jarot yang menggelantung di selangkangannya. Dalam hati sebenarnya ia kagum juga melihat belalai yang panjang itu. Masih terbayang jelas dalam ingatannya bagaimana monster itu memasuki tubuhnya dan membuatnya orgasme berkali-kali…
Setelah ia bugil, tanpa minta persetujuan Lisa, dilucutinya pula busana wanita itu sehingga mereka pun sama-sama telanjang kembali. Lisa tak mampu menolaknya lagi…
“Dingin…” desah Lisa sambil melipat kedua tangan menutupi dadanya… Hujan memang masih turun dengan lebatnya di luar sana. Bahkan semakin deras diiringi guntur yang meledak-ledak.
“Jangan khawatir, Lisa… Sebentar lagi juga panas…” kata begal itu tersenyum sambil menatap mata Lisa dengan penuh arti. Dibukanya lipatan tangan Lisa karena Jarot ingin menikmati dan merabai keindahan kedua payudara wanita itu. Lisa membiarkan saja begal itu memulai aksinya dan menikmati rangsangan yang diberikan padanya…
Jarot dalam waktu singkat telah berhasil membuat Lisa tidak berdaya menolak apa pun yang dimintanya. Seakan wanita itu telah berada sepenuhnya dalam kekuasaannya… Begitu pula ketika ia meminta pada istri Arman itu untuk mengisap penisnya dengan mulutnya.
“Apaa…?” tanya Lisa terkejut. Mulutnya menganga. Matanya menatap Jarot seakan tak percaya dengan permintaan begal itu terhadap dirinya. Bagaimana bisa ia meminta hal seperti itu kepada seorang wanita yang baru dikenalnya? Ya, begal itu memang baru saja menyetubuhinya… tapi meminta ia mengisap penisnya…? Lisa membayangkan pastilah begal itu menganggap dan memperlakukannya sama seperti ratusan pelacur yang pernah ditidurinya…
“Saya gak bisa… Maaf… Gak mungkin…” kata Lisa menggelengkan kepalanya sambil tertawa salah tingkah.
“Jangan khawatir, Lisa… Nanti akan kuajari,” kata Jarot menenangkan Lisa yang mukanya tampak kecut.
“Ayo… tak apa-apa… Aku benar-benar ingin kau melakukannya untukku…”
Lisa tampak ragu-ragu tapi ia pun tak berbicara lagi. Jarot mengerti kalau ia harus segera melakukannya. Yang diperlukan Lisa adalah bimbingan. Maka tanpa minta persetujuan Lisa lagi, ia pun mendekatkan pangkal pahanya ke wajah ibu rumah tangga yang sedang menunggu itu.
Lisa lalu diajari si brewok untuk melakukan seks oral. Wanita itu awalnya merasa canggung dan ragu. Bau pesing bekas air seni terasa jelas bercampur dengan aroma sperma dan keringat Jarot. Dirasakannya juga cairan vaginanya ada di sana, ikut bercampur menyelimuti batang yang keras itu… Semuanya itu terasa lengket di dalam mulutnya saat bercampur dengan air ludahnya.
Setelah membiasakan diri, akhirnya Lisa bisa juga melakukannya dengan panduan Jarot. Apalagi begal itu terus-menerus memujinya sambil membelai-belai kepalanya sehingga meningkatkan rasa percaya diri ibu rumah tangga itu…
Penis Jarot yang semula tertutup lapisan kering campuran dari air seni, air mani, keringat, dan cairan vagina Lisa sedikit demi sedikit mulai bersih dijilati istri Arman itu. Tinggal kini batang hitam yang mengeras dan tak dikhitan itu berkilauan disapu air liur Lisa…
Jarot merasa sangat puas dengan layanan Lisa… Sebagai imbalannya, wanita itu pun menerima semprotan sperma begal itu di mulutnya.
Spontan air mani Jarot yang kental itu pun tertelan olehnya. Walaupun menyadari bahwa itu adalah konsekuensi dari seks oral, Lisa tetap sempat terkejut saat menerima siraman sperma begal itu di dalam mulutnya… Bagaimanapun itu adalah pertama kalinya ia melakukan itu….
Untunglah Lisa cepat menguasai dirinya sehingga tidak sampai memuntahkan kembali air mani yang sudah terkumpul di dalam mulutnya… Sedikit demi sedikit ditelannya cairan kental itu supaya tidak tersedak… Jarot memperhatikan usaha Lisa sambil tersenyum puas…
Begal itu lalu membersihkan bibir Lisa yang belepotan sperma dengan kain sprei yang kumal.
Dari seks oral itu, untuk kedua kalinya malam itu Lisa dan si begal melakukan hubungan badan. Sebelumnya, terlebih dahulu Lisa membantu membangkitkan kembali penis Jarot dengan tangan dan mulutnya…
Kali ini permainan menjadi amat bergairah. Lisa sudah mulai terbiasa menerima sodokan penis Jarot di kemaluannya. Kali ini keduanya sudah seperti pasangan yang serasi… sudah seirama dan saling beradaptasi dalam persetubuhan itu… Lisa pun tak melakukan perlawanan sama sekali terhadap Jarot. Dibiarkannya begal itu membimbingnya mendaki puncak kenikmatan bersama…
Malam itu akhirnya kedua makhluk yang berlainan jenis dan status itu menyatu kembali dalam kesatuan ragawi. Bersatu padu dalam perkawinan yang panas dan bergairah… Tak ada lagi batas di antara mereka.
Lisa yang memang wanita baik-baik dan terpelajar serta masih berstatus sebagai istri orang, kadang masih berusaha membuat kesan ia tidak begitu menikmati persetubuhan itu. Namun yang sebenarnya terjadi, Lisa benar-benar menikmatinya. Kemaluannya pun menerima banyak lelehan air mani si perampok brewok tersebut.
Kenikmatan badani yang diterimanya dari Jarot sedikit demi sedikit membantu pikiran Lisa terbuka terhadap kemungkinan bahwa Arman suaminya telah tewas hanyut terbawa arus sungai atau dimakan binatang buas. Terlepas dari kenyataan yang tidak diketahui Lisa bahwa Arman sebenarnya masih hidup dan disekap oleh Jarot. Pikiran itu pula yang membuat Lisa pelan-pelan mulai merasa rileks menjalin hubungan intim bersama begal itu.
Bahkan Lisa mulai terbuka pula terhadap kemungkinan bahwa Jarot adalah takdirnya… Jodohnya yang berikutnya setelah ia terpisahkan dengan Arman… Ia seperti mendapatkan sosok lelaki sejati pada figur Jarot. Profil Jarot yang berperilaku buruk tapi perkasa membawa pesona tersendiri di matanya… Pemikiran-pemikiran itulah yang membantu Lisa secara sadar semakin membiarkan jiwa dan raganya bersatu dengan Jarot…. Apalagi bimbingan Jarot semakin memudahkannya…
Sementara Jarot sendiri tentu saja amat menikmati hubungan seks dengan Lisa… Ia sebelumnya tak pernah merasakan bagaimana berhubungan badan dengan wanita baik-baik dan terhormat. Tak pernah pula ia merasakan bersetubuh dengan wanita secantik dan seseksi Lisa… Bersebadan dengan Lisa ibarat mimpi yang menjadi kenyataan bagi Jarot… Ia merasakan perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan semua pelacur yang ia kenal selama ini. Ini membuatnya jadi ketagihan…
Yang diinginkannya saat ini adalah menikmati Lisa sepuas-puasnya. Setelah itu, siapa tahu ia pun bisa mendapatkan keturunan darinya yang bisa meneruskan statusnya sebagai begal penguasa daerah itu.
Selain itu, jika kepepet, dengan modal kecantikan dan keseksian gendaknya yang baru itu, Jarot bisa saja mengkaryakan Lisa sebagai pelacur. Pastilah banyak begal dan warga sekitar situ yang akan berbondong-bondong membayar berapa saja untuk bisa menikmati Lisa. Bagi Jarot, mendapatkan Lisa seperti mendapatkan harta karun atau modal yang demikian besar…
Bagaimanapun, Jarot memang tidak pernah sungkan untuk berbagi milik pribadinya dengan sesama kaumnya. Itulah salah satu yang membuatnya disegani di kalangan begal dan perampok di sana. Paling tidak, untuk waktu dekat ini, Jarot tetap ingat akan janjinya untuk membagi Lisa kepada si pemilik motel atas jasanya…
“Aah… nanti sajalah aku ceritakan semua rencanaku itu pada Lisa sedikit demi sedikit,” pikir Jarot sambil memandangi wajah Lisa yang sedang menahan gejolak orgasme akibat genjotannya mautnya. “Perempuan pasti akan menuruti apa yang dikatakan oleh lakinya… Terbukti semua keinginanku terhadap dirinya sejauh ini diturutinya dengan patuh… Padahal sampai kemarin, siapa yang sangka kalau seorang wanita terhormat seperti dia akan tunduk pada begal sepertiku…”
“Oouuuuuuh…” jerit Lisa menikmati orgasmenya yang bertubi-tubi dan memabukkan… Rintihan dan ekspresi wajahnya yang erotis membuyarkan semua angan yang berkecamuk di kepala Jarot.
“Lisaaaaa…… Hhhggggh….” lenguh Jarot melepaskan semua sperma yang ditahannya dari tadi ke dalam rahim istri Arman sebagai balasannya.
Kemudian hening. Hanya degupan jantung keduanya yang terasa bergejolak di dada mereka yang saling menempel.
Si begal dan gundik barunya menyatu bugil di atas ranjang. Keduanya berpelukan erat. Jarot di atas Lisa. Kaki Lisa yang mengapit pinggul Jarot menekan pantat begal itu supaya tetap di tempatnya. Mereka pun berciuman dengan syahdu. Menikmati setiap detik keintiman mereka.
Hujan pun seolah menjadi saksi berjodohnya Jarot dan Lisa dalam malam pertama perkawinan mereka yang dahsyat….
TAMAT
7/04/2011
Erotic Black Magic
Copyright 2002, by Dewi Setyowati (mediterania2000@yahoo.com)
(Pemaksaan, Istri Selingkuh)
Selama ini aku menjalani kehidupanku dengan normal, baik dalam rumah tangga maupun lingkungan kerjaku. Suamiku orangnya amat pengertian dan memenuhi segala kebutuhanku baik lahir maupun batin. Aku dan Mas Hendra menikah setamat kuliah karena kami telah cukup lama berpacaran sebelumnya.
Aku dilahirkan dalam lingkungan yang memegang teguh agama Katolik dan adat Jawa. Kehidupanku boleh dibilang berkecukupan. Ayahku adalah seorang pamong di daerah Jawa Tengah. Sedangkan orang tua Mas Hendra pun terbilang orang cukup berada dan menetap di Jakarta.
Selama bersama-sama menempuh kehidupan berumah tangga sekitar satu setengah tahun, kami belum memiliki anak. Sejak awal kami memang sengaja menundanya. Mas Hendra ingin aku mencurahkan perhatianku kepada pekerjaan. Di samping kami pun ingin tetap menikmati kehidupan berdua tanpa diganggu anak dulu.
Saat ini usiaku menginjak 27 tahun. Kulitku sawo matang. Tinggiku 168 cm dengan rambut yang panjang dan lurus. Kata teman-temanku, wajah dan bentuk tubuhku mirip Diah Permatasari yang juga asli Jawa.
Tidak heran selama aku kuliah dulu di daerah Surakarta, banyak teman sekampusku yang coba mendekati. Walaupun demikian, hatiku akhirnya terpaut pada Mas Hendra saja. Bukan materi yang aku kejar pada dirinya, melainkan sikapnya yang santun terhadap diriku.
Kebetulan memang kalau Mas Hendra datang ke kostku selalu pakai BMW atau Mercy milik orang tuanya. Walau sebetulnya aku lebih suka jika ia datang dan menjemputku pakai sepeda motor saja.
Kehidupan seksualku berjalan normal. Mas Hendra pun tahu seleraku. Ia amat mengerti kapan kami biasa berhubungan badan dan kapan tidak. Aku juga tidak mau Mas Hendra terlalu memforsir tenaganya untuk melakukan kewajibannya. Sebagai wanita Jawa aku dituntut untuk nrimo dan pasrah saja.
Kami tinggal di Surakarta dan menempati rumah pemberian orang tua Mas Hendra. Di rumah yang luas dan asri ini, kami tinggal dan ditemani dua orang pembantu suami istri. Kedua pembantu itu telah lama ikut dengan orang tua Mas Hendra. Umur mereka kira-kira 65 tahun. Yang perempuan bernama Mbok Lastri dan yang laki-laki Pak Bidin. Kami mempercayakan rumah kepada mereka jika kami pergi kerja.
Setiap hari aku ke kantor kadang diantar Mas Hendra dan kadang aku nyetir sendiri. Suatu saat ketika pulang kantor dan mau ke rumah, aku tanpa sengaja menyerempet sebuah sepeda yang dikemudikan oleh seorang pria paro baya. Pria itu jatuh.
Karena takut dan kaget, maka aku larikan saja mobilku ke arah rumah. Sesampai di rumah, kumasukkan mobil dan diam di kamar. Masih terbayang olehku saat pria itu jatuh dan memanggil-manggil aku untuk berhenti namun aku tancap gas.
Di rumah perasaanku tak tenang. Aku tak menceritakan kejadian itu kepada Mas Hendra.
Keesokan harinya aku minta diantar ke kantor oleh Mas Hendra.
Anehnya, lalu hampir tiap malam aku bermimpi bertemu dengan pria yang kutabrak itu. Sampai-sampai Mas Hendra heran akan sikapku yang berubah dingin dan gelisah. Lalu Mas Hendra menanyakan sebab perubahan sikapku itu.
Aku pun akhirnya berterus terang dan menceritakan semuanya. Mas Hendra bisa memahaminya. Lalu ia sarankan aku untuk mengambil seorang sopir untuk mengantarku. Aku pun setuju sebab sejak saat itu aku memang trauma menyetir sendiri.
Beberapa hari kemudian, datanglah sopir yang dicari Mas Hendra itu. Alangkah kagetnya aku, soalnya ia adalah orang yang aku tabrak tempo hari. Ia pun kaget, namun aku berusaha mengatur sikapku. Aku yakin ia pun masih ingat denganku saat kutabrak. Supaya Mas Hendra tak curiga pada orang yang kutabrak itu, maka aku setuju saja jika ia jadi sopirku. Aku pikir hitung-hitung balas jasa atas kesalahanku saat itu. Namanya Pak Ronggo, umurnya kira2 66 tahun, namun masih kuat dan sehat.
Sejak saat itu aku selalu diantar Pak Ronggo ke mana pun aku pergi, baik ke kantor atau belanja. Setiap pagi ia telah ada di rumah, dan siap-siap membersihkan mobilku. Sedang suamiku telah akrab dengan Pak Ronggo.
Suatu hari, saat mengantar aku ke kantor sambil bincang-bincang, Pak Ronggo bilang padaku.
“Bu, kalau ndak salah, Ibu dulu nabrak saya dengan mobil ini, kan?”
Aku terdiam tak mampu ngomong apa-apa.
“Ibu kejam dan tidak bertanggung jawab,” kata Pak Ronggo.
Seketika mulutku terasa kelu. Badanku terasa gemetar tapi tak mampu untuk bergerak.
“Maaf, Pak.. Waktu itu memang saya salah… Saya tergesa-gesa saat itu,” jawabku akhirnya.
“Alaaahhh… kalian orang kaya memang begitu… Menganggap orang lain sampah,” lanjutnya.
“Jangan gitu, Pak… Saya waktu itu benar-benar khilaf,” kataku setengah memohon.
Lalu ia diam… Aku pun diam saja saat itu, hingga sampai di rumah.
Sejak kejadian itu sikapnya terhadapku jadi lain. Aku berusaha untuk tidak ambil pusing tapi aku tahu aku tak mampu berbuat seperti itu.
Aneh memang, kenapa sejak Pak Ronggo bertanya kepadaku saat itu, aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres di pikiranku.
Sejak itu, ada sensasi tersendiri dalam hatiku saat menatap matanya. Perasaanku kepada Pak Ronggo serasa ingin terus bersama dengannya. Jika ia pulang sore harinya,aku merasa ada yang hilang dalam hidupku. Dan pagi jika ia datang untuk mengantarku rasa itu jadi senang dan seperti kasmaran. Padahal perasaanku kepada Mas Hendra malah biasa saja.
Suatu Jumat sore, saat ia menjemputku, entah kenapa aku minta Pak Ronggo untuk mampir dulu untuk singgah di sebuah restoran. Di situ aku mengambil tempat agak ke sudut dan suasananya amat romantis. Pak Ronggo kuajak makan.
Kami duduk berhadap-hadapan. Ia pandangi terus mataku. Aku pun demikian seperti aku memandangi Mas Hendra. Begitulah yang terjadi sepanjang kami berdua makan. Tanpa ada kata-kata, ia lalu mulai menggenggam jemariku. Aku merasa tenang, seperti gadis remaja yang sedang bermesraan berdua dengan pasangannya.
Pak Ronggo lalu meraih tanganku dan menciumnya. Baru kali ini, tanganku dipegang orang selain suamiku. Ada rasa hangat yang mengalir di sekujur tubuhku. Beberapa saat kami menikmati suasana yang sebetulnya tak kuhendaki itu. Setelah itu kami keluar dari restoran dan menuju ke mobil.
Dalam mobiku, aku terdiam dan bingung dengan kejadian barusan. Otakku tidak berjalan sebagaimana mestinya, soalnya aku bermesraan dengan sopirku yang tidak sepadan denganku. Ia pun begitu bebasnya meraih, meremas, dan menciumi tanganku.
Sebelum menjalankan mobil, Pak Ronggo menoleh ke arahku dan kembali meraih jemariku. Lalu ia rengkuh tubuhku dan dikecupnya bibirku. Aku kembali seperti orang linglung.
Sesampai di rumah, aku terus terbayang sensasi kejadian tadi sore itu. Alangkah kurang ajarnya sopirku itu, bisik hatiku.
Malam harinya, dengan separo hati, aku layani suamiku seadanya. Tidak ada lagi rasa nikmat yang aku rasakan saat Mas Hendra mencumbu dan menyebadaniku. Di dalam hatiku selalu terbayang wajah Pak Ronggo. Dengan akal sehatku, aku berpikir apa istimewanya Pak Ronggo? Gak ada rasanya, tapi aku selalu terbayang wajahnya. Sampai-sampai, saat suamiku berada di atas tubuhku melakukan hubungan badan, aku kira Pak Ronggo yang berada di atas tubuhku. Untunglah aku masih bisa menguasai diri.
Besoknya aku seperti biasa diantar olehnya. Ia tambah berani saja dengan meraba paha dan dadaku. Tangannya aku tepiskan namun ia hanya tersenyum.
Setiap hari, matanya tidak luput memandangiku dari ujung rambut sampai kaki. Aku merasa ditelanjangi oleh sikapnya yang seperti itu. Anehnya aku tak kuasa menolak. Seolah ada pancaran energi dari matanya yang mengaliri sekujur tubuhku dan memberikan sensasi yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Di samping itu, ia pun selalu mencuri-curi kesempatan. Ada-ada saja yang ia pegang dari tubuhku. Kadang dadaku, pahaku. Kadang ia cium bibirku. Namun aku tidak berontak.
Lama-kelamaan aku mulai terbiasa dirabai dan diciuminya. Setiap ada kesempatan berduaan, Pak Ronggo sudah tak tahu malu lagi. Ia pasti akan mendekati dan menyentuhku.
Suatu ketika, sepulang kantor, mobil tidak ia arahkan ke rumahku melainkan ke rumahnya di kawasan Kartosuro. Di sana suasananya sepi dan jarang ada rumah penduduk. Entah kenapa, aku mau saja diajak turun dan masuk ke rumahnya, yang dikelilingi pohon-pohon besar.
Rumahnya terbuat dari kayu dan beratap genteng yang telah tua. Di dalam rumah hanya ada dipan beralaskan tikar dengan sebuah bantal. Lalu Pak Ronggo menutup pintu rumah. Dipersilakannya aku duduk di pinggiran dipan. Kalau dilihat, gubuknya seperti rumah dukun. Di dindingnya ada berbagai macam tulang-belulang. Bau menyan sudah tercium sejak kami memasuki rumah.
Pak Ronggo pergi ke belakang. Tidak lama kemudian ia muncul kembali dan duduk di sampingku.
“Bu… Beginilah keadaan saya,” katanya.
“Oooo… ndak apa lah, Pak?” jawabku.
Tiba-tiba ia menepuk pundakku. Aku tersentak. Lalu ia melingkarkan tangannya di bahuku. Aku tiba-tiba merasa tidak enak.
“Bu… Saya ingin… merasakan kehangatan tubuh Ibu…” katanya tanpa basa-basi.
Aku terkejut setengah mati mendengar ucapannya yang lugas itu. Tapi entah kenapa, aku tidak bereaksi negatif menanggapi keinginannya itu. Seolah aku dihipnotisnya.
“Dulunya istri saya masih hidup dan sedang sakit keras. Jika saja Ibu tidak tabrak saya saat itu, saya masih bisa menolongnya. Namun Ibu telah membuat saya terlambat… dan istri saya pun mati,” terangnya.
Aku terdiam mendengar penjelasannya. Rasanya pikiranku saat itu sudah kosong.
Sekonyong-konyong Pak Ronggo mengambil potongan batok kelapa yang ada di meja di samping dipan tempat kami duduk. Dituangkannya cairan dari dalam sebuah kendi yang ada di meja itu ke dalam batok kelapa. Cairan itu encer dan berwarna kuning gelap. Sejenak mulutnya tampak komat-kamit sambil berkonsentrasi menatap batok kelapa. Beberapa detik kemudian, ia meludah ke dalam cairan tersebut.
Tanpa berkata-kata, Pak Ronggo kembali merangkul pundakku. Kali ini lebih kuat. Sementara tangannya yang satu lagi berusaha meminumkan cairan di dalam batok kelapa itu kepadaku.
Mulanya aku berontak. Lagipula aku tak tahu cairan apa itu. Baunya sangat pesing. Aku mau muntah saat Pak Ronggo mendekatkan batok kelapa itu ke bibirku. Entah kenapa, aku tak bisa menolaknya. Aku seperti tak punya pilihan.
Pelan-pelan kuminum cairan itu. Rasanya sangat tak enak. Setelah minum seteguk, aku sempat terbatuk dan berusaha menjauhkan mulutku dari batok itu. Mengetahui hal itu, Pak Ronggo segera memaksaku untuk menghabiskan cairan yang ada di dalam batok itu. Sambil memejamkan mataku, perlahan-lahan kuhabiskan juga isi batok itu.
Melihat aku masih kuat, Pak Ronggo kemudian menuangkan lagi cairan dari dalam kendi itu ke dalam batok. Ritual yang sama dilakukannya kembali sebelum untuk kedua kalinya menyuruhku menghabiskan isi batok itu.
Ia baru saja akan mengisi kembali batok itu untuk yang ketiga kalinya ketika aku merasakan panas yang luar biasa dari dalam tubuhku. Seluruh badanku terasa ringan dan tanpa terasa aku menjatuhkan kepalaku dalam dekapan Pak Ronggo. Melihat hal itu, Pak Ronggo mengurungkan niatnya untuk menyuruhku kembali minum cairan aneh itu.
Aku berkeringat. Nafasku terengah-engah. Di dalam diriku ada semacam gairah yang menghentak untuk dituntaskan dan dilepaskan.
“Karena istri saya sudah tak ada…. Sekarang Ibulah yang harus menggantikannya…” Pak Ronggo kembali berkata.
Setelah berkata begitu, ia menatap dalam-dalam mataku. Aku jadi tak berdaya. Tangannya yang kasar lalu meraih kancing busana kantor yang kukenakan. Satu per satu pakaianku jatuh ke lantai sehingga aku sama sekali tidak berpenutup lagi.
Sambil melucuti busanaku, setiap inci tubuhku ia raih dan jamah. Aku merasakan kepasrahan dan sensasi yang luar biasa. Ada desakan dari dalam diriku yang membuatku tak sabar untuk segera disetubuhinya.
Pak Ronggo membaringkan tubuh bugilku di dipan kayu itu. Lalu ia buka pakaiannya sendiri hingga ia sama-sama bugil denganku. Aku bisa melihat sisa-sisa ototnya yang liat di tengah tubuhnya yang mulai keriput.
Laki-laki tua itu mulai menggumuliku. Ia meraih inci demi inci dari setiap lekuk di tubuhku dengan mulutnya yang rakus. Aku pun tak kuat dan mengerang kenikmatan.
Akhirnya tibalah saat yang dinanti-nantikan. Ia perlahan-lahan menyisipkan batang kemaluannya yang ternyata sangat keras ke dalam lubang kemaluanku dan mulai menyetubuhiku. Dihunjamkan kejantanannya ke dalam rahimku berkali-kali sehingga dipan tua itu berderit-derit. Aku hanya bisa mendengus dan serasa dijadikan kuda pacu. Ooh… rasanya enaak… sekali…
Entah berapa lama kami menikmati persenggamaan itu. Tubuh mulusku dijamah Pak Ronggo berulang-ulang hingga akhirnya ia pancarkan cairan pembuat bayinya yang hangat di dalam kemaluanku. Ada rasa panas dan tegang di tempat bersatunya alat kelamin kami saat ia sampai klimaks. Tanpa bisa kubayangkan sebelumnya, aku pun ternyata mencapai klimaks berkali-kali.
Tubuhku saat itu penuh dengan keringatku sendiri yang bercampur dengan keringat Pak Ronggo. Aku merasakan perih dan nyeri pada selangkanganku karena kejantanan Pak Ronggo panjang dan besar juga. Hampir seluruh kulit tubuhku merah-merah dan putingku serasa panas akibat gigitan Pak Ronggo.
Di lain pihak, badanku pun terasa lemas luar biasa karena orgasme beruntun yang kualami. Aku membiarkan saja Pak Ronggo tertidur di atas tubuhku. Dengkurannya yang keras segera terdengar. Alat vitalnya masih terjepit oleh kemaluanku. Bisa kurasakan air maninya menetes keluar dari dalam rongga kemaluanku.
Tak sampai setengah jam kemudian Pak Ronggo terbangun. Kondisi fisikku pun sudah pulih kembali walaupun aku tak sampai tertidur seperti Pak Ronggo. Tanpa membersihkan badan terlebih dahulu, aku disuruh berpakaian dan berbenah seperti biasa lagi. CD-ku sengaja kumasukkan ke dalam tas tangan karena aku seolah masih saja merasakan air mani Pak Ronggo merembes mengalir keluar dari dalam vaginaku. Aku lalu diantarnya pulang dengan mobilku.
Di dalam mobil aku jadi merasa menyesal karena telah mengkhianati Mas Hendra. Inilah untuk pertama kalinya aku bersetubuh dengan lelaki lain selain suamiku. Namun apa dayaku, Pak Ronggo ternyata telah menguasai diriku hingga ia berhasil menelanjangi dan menyetubuhiku.
Setibanya di rumah, aku masih bisa merasakan dan mencium bau keringat serta sperma Pak Ronggo yang menempel di sekujur tubuhku. Aku sampai menghabiskan waktu satu jam lebih di kamar mandi untuk meyakinkan bau keringat Pak Ronggo tak lagi menempel di badanku sehingga suamiku tak akan curiga.
Sejak kejadian itu, Pak Ronggo selalu mengulangi kembali perbuatan nistanya itu terhadapku. Anehnya, aku pun tak menolaknya. Aku pasti akan melayaninya dengan sepenuh hati setiap ia mendatangiku. Setiap ada kesempatan, seperti saat aku pulang kantor, Pak Ronggo akan selalu meminta jatahnya. Apalagi jika suamiku ke Jakarta, pastilah ia dengan seenaknya menginap di rumahku. Jika sudah begitu, aku akan bersebadan bersama Pak Ronggo di atas ranjang milikku dan Mas Hendra sepanjang waktu.
Setiap Pak Ronggo menggauliku, aku selalu merasakan kepuasan, walaupun setelah itu aku juga merasakan pegal-pegal pada selangkanganku. Soalnya Pak Ronggo biasanya membuatku harus terus mengangkang selama sekitar satu jam. Dengan Mas Hendra, kalau bisa lebih dari sepuluh menit pun sudah bagus.
Aku sebetulnya takut kalau para pembantuku, Mbok Lastri dan Pak Bidin, tahu hubungan terlarang kami tapi Pak Ronggo menenangkanku. Mereka memang pasti bisa menebak perbuatan kami berdua karena Pak Ronggo begitu bebasnya masuk ke kamar tidur pribadiku setiap ada kesempatan dan bisa menghabiskan waktu berjam-jam di dalamnya.
Pak Ronggo tampaknya bisa menutup mulut kedua pembantuku. Ia meyakinkanku bahwa mereka tak akan membocorkan rahasia kami kepada suamiku. Bahkan belakangan aku baru tahu kalau mereka berdua entah bagaimana caranya telah dibuat Pak Ronggo bekerja sama melanggengkan hubungannya denganku.
Contohnya, kalau Mas Hendra kebetulan sedang keluar kota, seperti biasa aku akan menghabiskan waktuku untuk disebadani Pak Ronggo. Jika aku sedang tanggung melayani Pak Ronggo di kamar dan tiba-tiba suamiku meneleponku ke rumah, Mbok Lastri sudah terbiasa untuk menjawabnya dan mengatakan berbagai macam alasan untuk menutupi kegiatanku bersama Pak Ronggo. Dengan demikian Pak Ronggo tak perlu terganggu karena aku harus menjawab telepon suamiku dulu.
Aku baru mengetahui kebiasaan itu karena biasanya Mbok Lastri akan melapor padaku begitu aku keluar kamar. Ia tahu kalau aku keluar kamar, berarti aku telah selesai menjalankan tugasku melayani Pak Ronggo.
“Bu, dua jam yang lalu Bapak telepon mau cari Ibu. Aku bilang Ibu sedang silaturahmi ke rumah Bu Hadi. Nanti beliau telepon lagi jam 7 malam.”
Mbok Lastri sampai hafal jam berapa aku masuk kamar bersama Pak Ronggo, jam berapa biasanya kami keluar sehingga kalau suamiku menelepon, ia bisa mengatur kapan suamiku harus menelepon kembali. Tanpa kusangka, ternyata ia benar-benar berperan seperti sekretarisku padahal aku tak pernah mengajarinya. Aku tak tahu bagaimana cara Pak Ronggo membuatnya jadi begitu, padahal Mbok Lastri dan Pak Bidin adalah pembantu yang setia pada keluarga Mas Hendra sejak lama.
Hampir selama setahun aku menjadi bulan-bulanan nafsu Pak Ronggo. Bagaimanapun, aku merasa sedikit tenang dalam melakukan hubungan gelap dengannya. Aku tahu tidak bakalan hamil karena aku sudah memasang spiral. Itu sengaja kulakukan karena setiap kali Pak Ronggo berhubungan seks denganku, ia selalu mengeluarkan air maninya di dalam rahimku. Tak mungkin aku mencegahnya melakukan hal itu. Karena itulah, sekitar dua minggu sejak aku pertama kali disetubuhi Pak Ronggo, aku berinisiatif memasang spiral untuk mencegah jangan sampai aku dihamilinya.
Walaupun sudah terbiasa disebadani Pak Ronggo, aku tetap selalu mencium bau tidak enak saat ia berada di atas tubuhku. Bau keringatnya memang amat busuk. Aku selalu mengganti seprei ranjangku setiap ia selesai meniduriku. Kalau tidak, bau keringatnya akan tinggal di kain seprei itu.
Kamar pun aku semprot dengan wewangian. Jika aku sedang bersebadan dengan Pak Ronggo, AC-nya kubiarkan selalu menyala. Kalau kamar sedang tak dipakai, semua jendela dan pintu akan kubuka lebar-lebar sehingga ada sirkulasi udara.
Mbok Lastri dan Pak Bidin pun sudah hafal kalau sekarang aku menyuruh mereka untuk mencuci seprei tiap hari. Mereka tahu kalau aku harus bertugas melayani Pak Ronggo tiap hari. Justru kalau satu hari aku tak menyerahkan cucian, mereka akan bertanya dengan lugunya.
“Hari ini ndak dinas ya, Bu? Tadi siang pulang ndak diantar Pak Ronggo?”
Mereka selalu menyebut ‘dinas’ untuk mengistilahkan tugas harianku melayani Pak Ronggo di ranjang. Mereka sudah tahu kalau jadwal harianku melayaninya biasanya sepulang kantor sehingga aku biasa menyerahkan cucian sore harinya sebelum Mas Hendra pulang.
“Oh, ndak, Mbok… Bapak sore ini mau ke Jakarta selama dua hari. Aku tadi pulang diantar Bapak. Pak Ronggo nanti kemari lagi sesudah mengantar Bapak ke bandara.”
Jika sudah kuberitahu seperti itu, mereka akan langsung mengerti kalau malam itu mereka harus menyiapkan makan malam untuk dua orang ke kamar tidurku dan setelah itu mereka bisa tidur cepat. Soalnya semalaman aku pasti harus kerja lembur melayani Pak Ronggo. Barulah esok harinya sebelum aku berangkat ke kantor diantar Pak Ronggo, mereka harus mencuci seprei yang dua kali lipat baunya karena semalaman habis dipakai sebagai alas kami bersetubuh.
Tak heran kalau badan Pak Ronggo sangat bau. Semakin lama aku intim dengannya, aku jadi tahu kalau ia memang jarang mandi. Belum tentu tiap hari ia mandi. Bahkan setelah selesai menyetubuhiku, ia tak pernah mandi. Setiap selesai menuntaskan nafsu seksnya padaku, ia selalu menyuruhku untuk mengisap dan menjilati penisnya sampai bersih dari sisa-sisa air maninya. Hanya seperti itulah caranya mandi sehabis menyebadaniku.
Setelah sekian lama, barulah aku mengetahui dari seorang pintar di tempat kerjaku bahwa Pak Ronggo adalah seorang dukun dan aku telah diguna-gunanya. Temanku itu dapat melihat semua yang terjadi pada diriku dan dengan tulus hati berniat menolongku.
Pengaruh guna-guna Pak Ronggo atas diriku ternyata sangat kuat karena dulu aku sudah meminum air kencingnya yang telah diberi jampi-jampi. Guna-guna seperti itu luar biasa kuat karena tentu tak mudah untuk menyuruh seorang gadis meminum air kencing si pemeletnya. Pak Ronggo sangat beruntung saat itu karena bisa membuatku melakukannya.
Di lain pihak, aku pun sebetulnya beruntung karena hanya meminum dua cawan air kencing Pak Ronggo. Seandainya saja dulu aku minum lebih banyak lagi, tentulah Pak Ronggo bisa menguasaiku secara permanen.
Atas bantuan dan usaha keras rekan kerjaku itu, kini aku telah terbebas dari guna-guna Pak Ronggo. Usahanya itu sendiri memakan waktu yang cukup lama karena harus dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap. Tak mudah untuk membuat Pak Ronggo mau melepaskan diriku. Ia sudah jadi terbiasa hidup enak karena aku senantiasa melayani nafsu seksnya yang masih menggebu-gebu di usianya yang sudah senja.
Setelah aku benar-benar terbebas dari guna-gunanya, Pak Ronggo pun akhirnya kupecat. Satu hal yang tak mungkin kulakukan saat aku masih berada dalam pengaruh gaibnya.
Ia sempat mengancam akan membongkar hubungan seks kami kepada suamiku kalau aku berani memecatnya. Sebetulnya aku takut juga. Setelah bernegosiasi, dengan diberi duit sekitar 20 juta dari tabunganku, aku minta dia keluar baik-baik. Tampaknya dia mau menerimanya. Sejak saat itu ia tak pernah muncul lagi.
Aku hanya berharap Pak Ronggo bisa melewati masa tuanya dengan tenang dan tak menggangguku lagi. Aku pun mencabut spiralku dan berharap bisa melupakan semua kejadian ini. Aku ingin membina kembali kehidupan yang normal bersama Mas Hendra.
TAMAT
(Pemaksaan, Istri Selingkuh)
Selama ini aku menjalani kehidupanku dengan normal, baik dalam rumah tangga maupun lingkungan kerjaku. Suamiku orangnya amat pengertian dan memenuhi segala kebutuhanku baik lahir maupun batin. Aku dan Mas Hendra menikah setamat kuliah karena kami telah cukup lama berpacaran sebelumnya.
Aku dilahirkan dalam lingkungan yang memegang teguh agama Katolik dan adat Jawa. Kehidupanku boleh dibilang berkecukupan. Ayahku adalah seorang pamong di daerah Jawa Tengah. Sedangkan orang tua Mas Hendra pun terbilang orang cukup berada dan menetap di Jakarta.
Selama bersama-sama menempuh kehidupan berumah tangga sekitar satu setengah tahun, kami belum memiliki anak. Sejak awal kami memang sengaja menundanya. Mas Hendra ingin aku mencurahkan perhatianku kepada pekerjaan. Di samping kami pun ingin tetap menikmati kehidupan berdua tanpa diganggu anak dulu.
Saat ini usiaku menginjak 27 tahun. Kulitku sawo matang. Tinggiku 168 cm dengan rambut yang panjang dan lurus. Kata teman-temanku, wajah dan bentuk tubuhku mirip Diah Permatasari yang juga asli Jawa.
Tidak heran selama aku kuliah dulu di daerah Surakarta, banyak teman sekampusku yang coba mendekati. Walaupun demikian, hatiku akhirnya terpaut pada Mas Hendra saja. Bukan materi yang aku kejar pada dirinya, melainkan sikapnya yang santun terhadap diriku.
Kebetulan memang kalau Mas Hendra datang ke kostku selalu pakai BMW atau Mercy milik orang tuanya. Walau sebetulnya aku lebih suka jika ia datang dan menjemputku pakai sepeda motor saja.
Kehidupan seksualku berjalan normal. Mas Hendra pun tahu seleraku. Ia amat mengerti kapan kami biasa berhubungan badan dan kapan tidak. Aku juga tidak mau Mas Hendra terlalu memforsir tenaganya untuk melakukan kewajibannya. Sebagai wanita Jawa aku dituntut untuk nrimo dan pasrah saja.
Kami tinggal di Surakarta dan menempati rumah pemberian orang tua Mas Hendra. Di rumah yang luas dan asri ini, kami tinggal dan ditemani dua orang pembantu suami istri. Kedua pembantu itu telah lama ikut dengan orang tua Mas Hendra. Umur mereka kira-kira 65 tahun. Yang perempuan bernama Mbok Lastri dan yang laki-laki Pak Bidin. Kami mempercayakan rumah kepada mereka jika kami pergi kerja.
Setiap hari aku ke kantor kadang diantar Mas Hendra dan kadang aku nyetir sendiri. Suatu saat ketika pulang kantor dan mau ke rumah, aku tanpa sengaja menyerempet sebuah sepeda yang dikemudikan oleh seorang pria paro baya. Pria itu jatuh.
Karena takut dan kaget, maka aku larikan saja mobilku ke arah rumah. Sesampai di rumah, kumasukkan mobil dan diam di kamar. Masih terbayang olehku saat pria itu jatuh dan memanggil-manggil aku untuk berhenti namun aku tancap gas.
Di rumah perasaanku tak tenang. Aku tak menceritakan kejadian itu kepada Mas Hendra.
Keesokan harinya aku minta diantar ke kantor oleh Mas Hendra.
Anehnya, lalu hampir tiap malam aku bermimpi bertemu dengan pria yang kutabrak itu. Sampai-sampai Mas Hendra heran akan sikapku yang berubah dingin dan gelisah. Lalu Mas Hendra menanyakan sebab perubahan sikapku itu.
Aku pun akhirnya berterus terang dan menceritakan semuanya. Mas Hendra bisa memahaminya. Lalu ia sarankan aku untuk mengambil seorang sopir untuk mengantarku. Aku pun setuju sebab sejak saat itu aku memang trauma menyetir sendiri.
Beberapa hari kemudian, datanglah sopir yang dicari Mas Hendra itu. Alangkah kagetnya aku, soalnya ia adalah orang yang aku tabrak tempo hari. Ia pun kaget, namun aku berusaha mengatur sikapku. Aku yakin ia pun masih ingat denganku saat kutabrak. Supaya Mas Hendra tak curiga pada orang yang kutabrak itu, maka aku setuju saja jika ia jadi sopirku. Aku pikir hitung-hitung balas jasa atas kesalahanku saat itu. Namanya Pak Ronggo, umurnya kira2 66 tahun, namun masih kuat dan sehat.
Sejak saat itu aku selalu diantar Pak Ronggo ke mana pun aku pergi, baik ke kantor atau belanja. Setiap pagi ia telah ada di rumah, dan siap-siap membersihkan mobilku. Sedang suamiku telah akrab dengan Pak Ronggo.
Suatu hari, saat mengantar aku ke kantor sambil bincang-bincang, Pak Ronggo bilang padaku.
“Bu, kalau ndak salah, Ibu dulu nabrak saya dengan mobil ini, kan?”
Aku terdiam tak mampu ngomong apa-apa.
“Ibu kejam dan tidak bertanggung jawab,” kata Pak Ronggo.
Seketika mulutku terasa kelu. Badanku terasa gemetar tapi tak mampu untuk bergerak.
“Maaf, Pak.. Waktu itu memang saya salah… Saya tergesa-gesa saat itu,” jawabku akhirnya.
“Alaaahhh… kalian orang kaya memang begitu… Menganggap orang lain sampah,” lanjutnya.
“Jangan gitu, Pak… Saya waktu itu benar-benar khilaf,” kataku setengah memohon.
Lalu ia diam… Aku pun diam saja saat itu, hingga sampai di rumah.
Sejak kejadian itu sikapnya terhadapku jadi lain. Aku berusaha untuk tidak ambil pusing tapi aku tahu aku tak mampu berbuat seperti itu.
Aneh memang, kenapa sejak Pak Ronggo bertanya kepadaku saat itu, aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres di pikiranku.
Sejak itu, ada sensasi tersendiri dalam hatiku saat menatap matanya. Perasaanku kepada Pak Ronggo serasa ingin terus bersama dengannya. Jika ia pulang sore harinya,aku merasa ada yang hilang dalam hidupku. Dan pagi jika ia datang untuk mengantarku rasa itu jadi senang dan seperti kasmaran. Padahal perasaanku kepada Mas Hendra malah biasa saja.
Suatu Jumat sore, saat ia menjemputku, entah kenapa aku minta Pak Ronggo untuk mampir dulu untuk singgah di sebuah restoran. Di situ aku mengambil tempat agak ke sudut dan suasananya amat romantis. Pak Ronggo kuajak makan.
Kami duduk berhadap-hadapan. Ia pandangi terus mataku. Aku pun demikian seperti aku memandangi Mas Hendra. Begitulah yang terjadi sepanjang kami berdua makan. Tanpa ada kata-kata, ia lalu mulai menggenggam jemariku. Aku merasa tenang, seperti gadis remaja yang sedang bermesraan berdua dengan pasangannya.
Pak Ronggo lalu meraih tanganku dan menciumnya. Baru kali ini, tanganku dipegang orang selain suamiku. Ada rasa hangat yang mengalir di sekujur tubuhku. Beberapa saat kami menikmati suasana yang sebetulnya tak kuhendaki itu. Setelah itu kami keluar dari restoran dan menuju ke mobil.
Dalam mobiku, aku terdiam dan bingung dengan kejadian barusan. Otakku tidak berjalan sebagaimana mestinya, soalnya aku bermesraan dengan sopirku yang tidak sepadan denganku. Ia pun begitu bebasnya meraih, meremas, dan menciumi tanganku.
Sebelum menjalankan mobil, Pak Ronggo menoleh ke arahku dan kembali meraih jemariku. Lalu ia rengkuh tubuhku dan dikecupnya bibirku. Aku kembali seperti orang linglung.
Sesampai di rumah, aku terus terbayang sensasi kejadian tadi sore itu. Alangkah kurang ajarnya sopirku itu, bisik hatiku.
Malam harinya, dengan separo hati, aku layani suamiku seadanya. Tidak ada lagi rasa nikmat yang aku rasakan saat Mas Hendra mencumbu dan menyebadaniku. Di dalam hatiku selalu terbayang wajah Pak Ronggo. Dengan akal sehatku, aku berpikir apa istimewanya Pak Ronggo? Gak ada rasanya, tapi aku selalu terbayang wajahnya. Sampai-sampai, saat suamiku berada di atas tubuhku melakukan hubungan badan, aku kira Pak Ronggo yang berada di atas tubuhku. Untunglah aku masih bisa menguasai diri.
Besoknya aku seperti biasa diantar olehnya. Ia tambah berani saja dengan meraba paha dan dadaku. Tangannya aku tepiskan namun ia hanya tersenyum.
Setiap hari, matanya tidak luput memandangiku dari ujung rambut sampai kaki. Aku merasa ditelanjangi oleh sikapnya yang seperti itu. Anehnya aku tak kuasa menolak. Seolah ada pancaran energi dari matanya yang mengaliri sekujur tubuhku dan memberikan sensasi yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Di samping itu, ia pun selalu mencuri-curi kesempatan. Ada-ada saja yang ia pegang dari tubuhku. Kadang dadaku, pahaku. Kadang ia cium bibirku. Namun aku tidak berontak.
Lama-kelamaan aku mulai terbiasa dirabai dan diciuminya. Setiap ada kesempatan berduaan, Pak Ronggo sudah tak tahu malu lagi. Ia pasti akan mendekati dan menyentuhku.
Suatu ketika, sepulang kantor, mobil tidak ia arahkan ke rumahku melainkan ke rumahnya di kawasan Kartosuro. Di sana suasananya sepi dan jarang ada rumah penduduk. Entah kenapa, aku mau saja diajak turun dan masuk ke rumahnya, yang dikelilingi pohon-pohon besar.
Rumahnya terbuat dari kayu dan beratap genteng yang telah tua. Di dalam rumah hanya ada dipan beralaskan tikar dengan sebuah bantal. Lalu Pak Ronggo menutup pintu rumah. Dipersilakannya aku duduk di pinggiran dipan. Kalau dilihat, gubuknya seperti rumah dukun. Di dindingnya ada berbagai macam tulang-belulang. Bau menyan sudah tercium sejak kami memasuki rumah.
Pak Ronggo pergi ke belakang. Tidak lama kemudian ia muncul kembali dan duduk di sampingku.
“Bu… Beginilah keadaan saya,” katanya.
“Oooo… ndak apa lah, Pak?” jawabku.
Tiba-tiba ia menepuk pundakku. Aku tersentak. Lalu ia melingkarkan tangannya di bahuku. Aku tiba-tiba merasa tidak enak.
“Bu… Saya ingin… merasakan kehangatan tubuh Ibu…” katanya tanpa basa-basi.
Aku terkejut setengah mati mendengar ucapannya yang lugas itu. Tapi entah kenapa, aku tidak bereaksi negatif menanggapi keinginannya itu. Seolah aku dihipnotisnya.
“Dulunya istri saya masih hidup dan sedang sakit keras. Jika saja Ibu tidak tabrak saya saat itu, saya masih bisa menolongnya. Namun Ibu telah membuat saya terlambat… dan istri saya pun mati,” terangnya.
Aku terdiam mendengar penjelasannya. Rasanya pikiranku saat itu sudah kosong.
Sekonyong-konyong Pak Ronggo mengambil potongan batok kelapa yang ada di meja di samping dipan tempat kami duduk. Dituangkannya cairan dari dalam sebuah kendi yang ada di meja itu ke dalam batok kelapa. Cairan itu encer dan berwarna kuning gelap. Sejenak mulutnya tampak komat-kamit sambil berkonsentrasi menatap batok kelapa. Beberapa detik kemudian, ia meludah ke dalam cairan tersebut.
Tanpa berkata-kata, Pak Ronggo kembali merangkul pundakku. Kali ini lebih kuat. Sementara tangannya yang satu lagi berusaha meminumkan cairan di dalam batok kelapa itu kepadaku.
Mulanya aku berontak. Lagipula aku tak tahu cairan apa itu. Baunya sangat pesing. Aku mau muntah saat Pak Ronggo mendekatkan batok kelapa itu ke bibirku. Entah kenapa, aku tak bisa menolaknya. Aku seperti tak punya pilihan.
Pelan-pelan kuminum cairan itu. Rasanya sangat tak enak. Setelah minum seteguk, aku sempat terbatuk dan berusaha menjauhkan mulutku dari batok itu. Mengetahui hal itu, Pak Ronggo segera memaksaku untuk menghabiskan cairan yang ada di dalam batok itu. Sambil memejamkan mataku, perlahan-lahan kuhabiskan juga isi batok itu.
Melihat aku masih kuat, Pak Ronggo kemudian menuangkan lagi cairan dari dalam kendi itu ke dalam batok. Ritual yang sama dilakukannya kembali sebelum untuk kedua kalinya menyuruhku menghabiskan isi batok itu.
Ia baru saja akan mengisi kembali batok itu untuk yang ketiga kalinya ketika aku merasakan panas yang luar biasa dari dalam tubuhku. Seluruh badanku terasa ringan dan tanpa terasa aku menjatuhkan kepalaku dalam dekapan Pak Ronggo. Melihat hal itu, Pak Ronggo mengurungkan niatnya untuk menyuruhku kembali minum cairan aneh itu.
Aku berkeringat. Nafasku terengah-engah. Di dalam diriku ada semacam gairah yang menghentak untuk dituntaskan dan dilepaskan.
“Karena istri saya sudah tak ada…. Sekarang Ibulah yang harus menggantikannya…” Pak Ronggo kembali berkata.
Setelah berkata begitu, ia menatap dalam-dalam mataku. Aku jadi tak berdaya. Tangannya yang kasar lalu meraih kancing busana kantor yang kukenakan. Satu per satu pakaianku jatuh ke lantai sehingga aku sama sekali tidak berpenutup lagi.
Sambil melucuti busanaku, setiap inci tubuhku ia raih dan jamah. Aku merasakan kepasrahan dan sensasi yang luar biasa. Ada desakan dari dalam diriku yang membuatku tak sabar untuk segera disetubuhinya.
Pak Ronggo membaringkan tubuh bugilku di dipan kayu itu. Lalu ia buka pakaiannya sendiri hingga ia sama-sama bugil denganku. Aku bisa melihat sisa-sisa ototnya yang liat di tengah tubuhnya yang mulai keriput.
Laki-laki tua itu mulai menggumuliku. Ia meraih inci demi inci dari setiap lekuk di tubuhku dengan mulutnya yang rakus. Aku pun tak kuat dan mengerang kenikmatan.
Akhirnya tibalah saat yang dinanti-nantikan. Ia perlahan-lahan menyisipkan batang kemaluannya yang ternyata sangat keras ke dalam lubang kemaluanku dan mulai menyetubuhiku. Dihunjamkan kejantanannya ke dalam rahimku berkali-kali sehingga dipan tua itu berderit-derit. Aku hanya bisa mendengus dan serasa dijadikan kuda pacu. Ooh… rasanya enaak… sekali…
Entah berapa lama kami menikmati persenggamaan itu. Tubuh mulusku dijamah Pak Ronggo berulang-ulang hingga akhirnya ia pancarkan cairan pembuat bayinya yang hangat di dalam kemaluanku. Ada rasa panas dan tegang di tempat bersatunya alat kelamin kami saat ia sampai klimaks. Tanpa bisa kubayangkan sebelumnya, aku pun ternyata mencapai klimaks berkali-kali.
Tubuhku saat itu penuh dengan keringatku sendiri yang bercampur dengan keringat Pak Ronggo. Aku merasakan perih dan nyeri pada selangkanganku karena kejantanan Pak Ronggo panjang dan besar juga. Hampir seluruh kulit tubuhku merah-merah dan putingku serasa panas akibat gigitan Pak Ronggo.
Di lain pihak, badanku pun terasa lemas luar biasa karena orgasme beruntun yang kualami. Aku membiarkan saja Pak Ronggo tertidur di atas tubuhku. Dengkurannya yang keras segera terdengar. Alat vitalnya masih terjepit oleh kemaluanku. Bisa kurasakan air maninya menetes keluar dari dalam rongga kemaluanku.
Tak sampai setengah jam kemudian Pak Ronggo terbangun. Kondisi fisikku pun sudah pulih kembali walaupun aku tak sampai tertidur seperti Pak Ronggo. Tanpa membersihkan badan terlebih dahulu, aku disuruh berpakaian dan berbenah seperti biasa lagi. CD-ku sengaja kumasukkan ke dalam tas tangan karena aku seolah masih saja merasakan air mani Pak Ronggo merembes mengalir keluar dari dalam vaginaku. Aku lalu diantarnya pulang dengan mobilku.
Di dalam mobil aku jadi merasa menyesal karena telah mengkhianati Mas Hendra. Inilah untuk pertama kalinya aku bersetubuh dengan lelaki lain selain suamiku. Namun apa dayaku, Pak Ronggo ternyata telah menguasai diriku hingga ia berhasil menelanjangi dan menyetubuhiku.
Setibanya di rumah, aku masih bisa merasakan dan mencium bau keringat serta sperma Pak Ronggo yang menempel di sekujur tubuhku. Aku sampai menghabiskan waktu satu jam lebih di kamar mandi untuk meyakinkan bau keringat Pak Ronggo tak lagi menempel di badanku sehingga suamiku tak akan curiga.
Sejak kejadian itu, Pak Ronggo selalu mengulangi kembali perbuatan nistanya itu terhadapku. Anehnya, aku pun tak menolaknya. Aku pasti akan melayaninya dengan sepenuh hati setiap ia mendatangiku. Setiap ada kesempatan, seperti saat aku pulang kantor, Pak Ronggo akan selalu meminta jatahnya. Apalagi jika suamiku ke Jakarta, pastilah ia dengan seenaknya menginap di rumahku. Jika sudah begitu, aku akan bersebadan bersama Pak Ronggo di atas ranjang milikku dan Mas Hendra sepanjang waktu.
Setiap Pak Ronggo menggauliku, aku selalu merasakan kepuasan, walaupun setelah itu aku juga merasakan pegal-pegal pada selangkanganku. Soalnya Pak Ronggo biasanya membuatku harus terus mengangkang selama sekitar satu jam. Dengan Mas Hendra, kalau bisa lebih dari sepuluh menit pun sudah bagus.
Aku sebetulnya takut kalau para pembantuku, Mbok Lastri dan Pak Bidin, tahu hubungan terlarang kami tapi Pak Ronggo menenangkanku. Mereka memang pasti bisa menebak perbuatan kami berdua karena Pak Ronggo begitu bebasnya masuk ke kamar tidur pribadiku setiap ada kesempatan dan bisa menghabiskan waktu berjam-jam di dalamnya.
Pak Ronggo tampaknya bisa menutup mulut kedua pembantuku. Ia meyakinkanku bahwa mereka tak akan membocorkan rahasia kami kepada suamiku. Bahkan belakangan aku baru tahu kalau mereka berdua entah bagaimana caranya telah dibuat Pak Ronggo bekerja sama melanggengkan hubungannya denganku.
Contohnya, kalau Mas Hendra kebetulan sedang keluar kota, seperti biasa aku akan menghabiskan waktuku untuk disebadani Pak Ronggo. Jika aku sedang tanggung melayani Pak Ronggo di kamar dan tiba-tiba suamiku meneleponku ke rumah, Mbok Lastri sudah terbiasa untuk menjawabnya dan mengatakan berbagai macam alasan untuk menutupi kegiatanku bersama Pak Ronggo. Dengan demikian Pak Ronggo tak perlu terganggu karena aku harus menjawab telepon suamiku dulu.
Aku baru mengetahui kebiasaan itu karena biasanya Mbok Lastri akan melapor padaku begitu aku keluar kamar. Ia tahu kalau aku keluar kamar, berarti aku telah selesai menjalankan tugasku melayani Pak Ronggo.
“Bu, dua jam yang lalu Bapak telepon mau cari Ibu. Aku bilang Ibu sedang silaturahmi ke rumah Bu Hadi. Nanti beliau telepon lagi jam 7 malam.”
Mbok Lastri sampai hafal jam berapa aku masuk kamar bersama Pak Ronggo, jam berapa biasanya kami keluar sehingga kalau suamiku menelepon, ia bisa mengatur kapan suamiku harus menelepon kembali. Tanpa kusangka, ternyata ia benar-benar berperan seperti sekretarisku padahal aku tak pernah mengajarinya. Aku tak tahu bagaimana cara Pak Ronggo membuatnya jadi begitu, padahal Mbok Lastri dan Pak Bidin adalah pembantu yang setia pada keluarga Mas Hendra sejak lama.
Hampir selama setahun aku menjadi bulan-bulanan nafsu Pak Ronggo. Bagaimanapun, aku merasa sedikit tenang dalam melakukan hubungan gelap dengannya. Aku tahu tidak bakalan hamil karena aku sudah memasang spiral. Itu sengaja kulakukan karena setiap kali Pak Ronggo berhubungan seks denganku, ia selalu mengeluarkan air maninya di dalam rahimku. Tak mungkin aku mencegahnya melakukan hal itu. Karena itulah, sekitar dua minggu sejak aku pertama kali disetubuhi Pak Ronggo, aku berinisiatif memasang spiral untuk mencegah jangan sampai aku dihamilinya.
Walaupun sudah terbiasa disebadani Pak Ronggo, aku tetap selalu mencium bau tidak enak saat ia berada di atas tubuhku. Bau keringatnya memang amat busuk. Aku selalu mengganti seprei ranjangku setiap ia selesai meniduriku. Kalau tidak, bau keringatnya akan tinggal di kain seprei itu.
Kamar pun aku semprot dengan wewangian. Jika aku sedang bersebadan dengan Pak Ronggo, AC-nya kubiarkan selalu menyala. Kalau kamar sedang tak dipakai, semua jendela dan pintu akan kubuka lebar-lebar sehingga ada sirkulasi udara.
Mbok Lastri dan Pak Bidin pun sudah hafal kalau sekarang aku menyuruh mereka untuk mencuci seprei tiap hari. Mereka tahu kalau aku harus bertugas melayani Pak Ronggo tiap hari. Justru kalau satu hari aku tak menyerahkan cucian, mereka akan bertanya dengan lugunya.
“Hari ini ndak dinas ya, Bu? Tadi siang pulang ndak diantar Pak Ronggo?”
Mereka selalu menyebut ‘dinas’ untuk mengistilahkan tugas harianku melayani Pak Ronggo di ranjang. Mereka sudah tahu kalau jadwal harianku melayaninya biasanya sepulang kantor sehingga aku biasa menyerahkan cucian sore harinya sebelum Mas Hendra pulang.
“Oh, ndak, Mbok… Bapak sore ini mau ke Jakarta selama dua hari. Aku tadi pulang diantar Bapak. Pak Ronggo nanti kemari lagi sesudah mengantar Bapak ke bandara.”
Jika sudah kuberitahu seperti itu, mereka akan langsung mengerti kalau malam itu mereka harus menyiapkan makan malam untuk dua orang ke kamar tidurku dan setelah itu mereka bisa tidur cepat. Soalnya semalaman aku pasti harus kerja lembur melayani Pak Ronggo. Barulah esok harinya sebelum aku berangkat ke kantor diantar Pak Ronggo, mereka harus mencuci seprei yang dua kali lipat baunya karena semalaman habis dipakai sebagai alas kami bersetubuh.
Tak heran kalau badan Pak Ronggo sangat bau. Semakin lama aku intim dengannya, aku jadi tahu kalau ia memang jarang mandi. Belum tentu tiap hari ia mandi. Bahkan setelah selesai menyetubuhiku, ia tak pernah mandi. Setiap selesai menuntaskan nafsu seksnya padaku, ia selalu menyuruhku untuk mengisap dan menjilati penisnya sampai bersih dari sisa-sisa air maninya. Hanya seperti itulah caranya mandi sehabis menyebadaniku.
Setelah sekian lama, barulah aku mengetahui dari seorang pintar di tempat kerjaku bahwa Pak Ronggo adalah seorang dukun dan aku telah diguna-gunanya. Temanku itu dapat melihat semua yang terjadi pada diriku dan dengan tulus hati berniat menolongku.
Pengaruh guna-guna Pak Ronggo atas diriku ternyata sangat kuat karena dulu aku sudah meminum air kencingnya yang telah diberi jampi-jampi. Guna-guna seperti itu luar biasa kuat karena tentu tak mudah untuk menyuruh seorang gadis meminum air kencing si pemeletnya. Pak Ronggo sangat beruntung saat itu karena bisa membuatku melakukannya.
Di lain pihak, aku pun sebetulnya beruntung karena hanya meminum dua cawan air kencing Pak Ronggo. Seandainya saja dulu aku minum lebih banyak lagi, tentulah Pak Ronggo bisa menguasaiku secara permanen.
Atas bantuan dan usaha keras rekan kerjaku itu, kini aku telah terbebas dari guna-guna Pak Ronggo. Usahanya itu sendiri memakan waktu yang cukup lama karena harus dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap. Tak mudah untuk membuat Pak Ronggo mau melepaskan diriku. Ia sudah jadi terbiasa hidup enak karena aku senantiasa melayani nafsu seksnya yang masih menggebu-gebu di usianya yang sudah senja.
Setelah aku benar-benar terbebas dari guna-gunanya, Pak Ronggo pun akhirnya kupecat. Satu hal yang tak mungkin kulakukan saat aku masih berada dalam pengaruh gaibnya.
Ia sempat mengancam akan membongkar hubungan seks kami kepada suamiku kalau aku berani memecatnya. Sebetulnya aku takut juga. Setelah bernegosiasi, dengan diberi duit sekitar 20 juta dari tabunganku, aku minta dia keluar baik-baik. Tampaknya dia mau menerimanya. Sejak saat itu ia tak pernah muncul lagi.
Aku hanya berharap Pak Ronggo bisa melewati masa tuanya dengan tenang dan tak menggangguku lagi. Aku pun mencabut spiralku dan berharap bisa melupakan semua kejadian ini. Aku ingin membina kembali kehidupan yang normal bersama Mas Hendra.
TAMAT
Subscribe to:
Posts (Atom)
Paling Populer Selama Ini
-
Pagi masih gelap saat kudengar ibu membangunkan aku yang terlelap. Seperti biasa aku hanya mengubah posisi berbaringku menjadi meringkuk. “T...
-
. Album Berikutnya
-
Sebagai penghuni baru di Kota ini, sore itu aku memutuskan untuk jalan-jalan di salah satu mall terkenal di daerah selatan Jakarta. Aku ingi...
-
Namaku Suryati, biasa dipanggil Yati. Sejak berkeluarga dan tinggal di Jakarta aku selalu sempatkan pulang mudik menengok orang tua di Semar...
-
---------- 1. Mature Gay Daddy - Oldermen Lihat Cuplikan Size: 44,11 MiB Duration: 00:11:20 Type: avi Video: 400x300 http://b93d...
-
Album Sebelumnya
-
Cerita lainnya tanpa gambar tapi tak kalah seru, klik aja ini
-
Untuk menghabiskan anggaran tahunan, perusahaan kami berniat membeli beberapa peralatan kantor berupa komputer dan beberapa perlengkapan lai...
-
(by: haus_lelaki@yahoo.com) Tugas kantor selesai. 10 hari di Biak jenuh juga. Masalahnya tidak mudah menemukan pasangan sesama lelaki unt...
-
(by: rustyryans@gmail.com) Siang itu memang terasa sangat membosankan,setelah hampir 2 minggu menghabiskan waktu liburan akhir semester ta...