7/04/2011

Erotic Black Magic

Copyright 2002, by Dewi Setyowati (mediterania2000@yahoo.com)

(Pemaksaan, Istri Selingkuh)

Selama ini aku menjalani kehidupanku dengan normal, baik dalam rumah tangga maupun lingkungan kerjaku. Suamiku orangnya amat pengertian dan memenuhi segala kebutuhanku baik lahir maupun batin. Aku dan Mas Hendra menikah setamat kuliah karena kami telah cukup lama berpacaran sebelumnya.

Aku dilahirkan dalam lingkungan yang memegang teguh agama Katolik dan adat Jawa. Kehidupanku boleh dibilang berkecukupan. Ayahku adalah seorang pamong di daerah Jawa Tengah. Sedangkan orang tua Mas Hendra pun terbilang orang cukup berada dan menetap di Jakarta.

Selama bersama-sama menempuh kehidupan berumah tangga sekitar satu setengah tahun, kami belum memiliki anak. Sejak awal kami memang sengaja menundanya. Mas Hendra ingin aku mencurahkan perhatianku kepada pekerjaan. Di samping kami pun ingin tetap menikmati kehidupan berdua tanpa diganggu anak dulu.

Saat ini usiaku menginjak 27 tahun. Kulitku sawo matang. Tinggiku 168 cm dengan rambut yang panjang dan lurus. Kata teman-temanku, wajah dan bentuk tubuhku mirip Diah Permatasari yang juga asli Jawa.

Tidak heran selama aku kuliah dulu di daerah Surakarta, banyak teman sekampusku yang coba mendekati. Walaupun demikian, hatiku akhirnya terpaut pada Mas Hendra saja. Bukan materi yang aku kejar pada dirinya, melainkan sikapnya yang santun terhadap diriku.

Kebetulan memang kalau Mas Hendra datang ke kostku selalu pakai BMW atau Mercy milik orang tuanya. Walau sebetulnya aku lebih suka jika ia datang dan menjemputku pakai sepeda motor saja.

Kehidupan seksualku berjalan normal. Mas Hendra pun tahu seleraku. Ia amat mengerti kapan kami biasa berhubungan badan dan kapan tidak. Aku juga tidak mau Mas Hendra terlalu memforsir tenaganya untuk melakukan kewajibannya. Sebagai wanita Jawa aku dituntut untuk nrimo dan pasrah saja.

Kami tinggal di Surakarta dan menempati rumah pemberian orang tua Mas Hendra. Di rumah yang luas dan asri ini, kami tinggal dan ditemani dua orang pembantu suami istri. Kedua pembantu itu telah lama ikut dengan orang tua Mas Hendra. Umur mereka kira-kira 65 tahun. Yang perempuan bernama Mbok Lastri dan yang laki-laki Pak Bidin. Kami mempercayakan rumah kepada mereka jika kami pergi kerja.

Setiap hari aku ke kantor kadang diantar Mas Hendra dan kadang aku nyetir sendiri. Suatu saat ketika pulang kantor dan mau ke rumah, aku tanpa sengaja menyerempet sebuah sepeda yang dikemudikan oleh seorang pria paro baya. Pria itu jatuh.

Karena takut dan kaget, maka aku larikan saja mobilku ke arah rumah. Sesampai di rumah, kumasukkan mobil dan diam di kamar. Masih terbayang olehku saat pria itu jatuh dan memanggil-manggil aku untuk berhenti namun aku tancap gas.

Di rumah perasaanku tak tenang. Aku tak menceritakan kejadian itu kepada Mas Hendra.

Keesokan harinya aku minta diantar ke kantor oleh Mas Hendra.

Anehnya, lalu hampir tiap malam aku bermimpi bertemu dengan pria yang kutabrak itu. Sampai-sampai Mas Hendra heran akan sikapku yang berubah dingin dan gelisah. Lalu Mas Hendra menanyakan sebab perubahan sikapku itu.

Aku pun akhirnya berterus terang dan menceritakan semuanya. Mas Hendra bisa memahaminya. Lalu ia sarankan aku untuk mengambil seorang sopir untuk mengantarku. Aku pun setuju sebab sejak saat itu aku memang trauma menyetir sendiri.

Beberapa hari kemudian, datanglah sopir yang dicari Mas Hendra itu. Alangkah kagetnya aku, soalnya ia adalah orang yang aku tabrak tempo hari. Ia pun kaget, namun aku berusaha mengatur sikapku. Aku yakin ia pun masih ingat denganku saat kutabrak. Supaya Mas Hendra tak curiga pada orang yang kutabrak itu, maka aku setuju saja jika ia jadi sopirku. Aku pikir hitung-hitung balas jasa atas kesalahanku saat itu. Namanya Pak Ronggo, umurnya kira2 66 tahun, namun masih kuat dan sehat.

Sejak saat itu aku selalu diantar Pak Ronggo ke mana pun aku pergi, baik ke kantor atau belanja. Setiap pagi ia telah ada di rumah, dan siap-siap membersihkan mobilku. Sedang suamiku telah akrab dengan Pak Ronggo.

Suatu hari, saat mengantar aku ke kantor sambil bincang-bincang, Pak Ronggo bilang padaku.

“Bu, kalau ndak salah, Ibu dulu nabrak saya dengan mobil ini, kan?”

Aku terdiam tak mampu ngomong apa-apa.

“Ibu kejam dan tidak bertanggung jawab,” kata Pak Ronggo.

Seketika mulutku terasa kelu. Badanku terasa gemetar tapi tak mampu untuk bergerak.

“Maaf, Pak.. Waktu itu memang saya salah… Saya tergesa-gesa saat itu,” jawabku akhirnya.

“Alaaahhh… kalian orang kaya memang begitu… Menganggap orang lain sampah,” lanjutnya.

“Jangan gitu, Pak… Saya waktu itu benar-benar khilaf,” kataku setengah memohon.

Lalu ia diam… Aku pun diam saja saat itu, hingga sampai di rumah.

Sejak kejadian itu sikapnya terhadapku jadi lain. Aku berusaha untuk tidak ambil pusing tapi aku tahu aku tak mampu berbuat seperti itu.

Aneh memang, kenapa sejak Pak Ronggo bertanya kepadaku saat itu, aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres di pikiranku.

Sejak itu, ada sensasi tersendiri dalam hatiku saat menatap matanya. Perasaanku kepada Pak Ronggo serasa ingin terus bersama dengannya. Jika ia pulang sore harinya,aku merasa ada yang hilang dalam hidupku. Dan pagi jika ia datang untuk mengantarku rasa itu jadi senang dan seperti kasmaran. Padahal perasaanku kepada Mas Hendra malah biasa saja.

Suatu Jumat sore, saat ia menjemputku, entah kenapa aku minta Pak Ronggo untuk mampir dulu untuk singgah di sebuah restoran. Di situ aku mengambil tempat agak ke sudut dan suasananya amat romantis. Pak Ronggo kuajak makan.

Kami duduk berhadap-hadapan. Ia pandangi terus mataku. Aku pun demikian seperti aku memandangi Mas Hendra. Begitulah yang terjadi sepanjang kami berdua makan. Tanpa ada kata-kata, ia lalu mulai menggenggam jemariku. Aku merasa tenang, seperti gadis remaja yang sedang bermesraan berdua dengan pasangannya.

Pak Ronggo lalu meraih tanganku dan menciumnya. Baru kali ini, tanganku dipegang orang selain suamiku. Ada rasa hangat yang mengalir di sekujur tubuhku. Beberapa saat kami menikmati suasana yang sebetulnya tak kuhendaki itu. Setelah itu kami keluar dari restoran dan menuju ke mobil.

Dalam mobiku, aku terdiam dan bingung dengan kejadian barusan. Otakku tidak berjalan sebagaimana mestinya, soalnya aku bermesraan dengan sopirku yang tidak sepadan denganku. Ia pun begitu bebasnya meraih, meremas, dan menciumi tanganku.

Sebelum menjalankan mobil, Pak Ronggo menoleh ke arahku dan kembali meraih jemariku. Lalu ia rengkuh tubuhku dan dikecupnya bibirku. Aku kembali seperti orang linglung.

Sesampai di rumah, aku terus terbayang sensasi kejadian tadi sore itu. Alangkah kurang ajarnya sopirku itu, bisik hatiku.

Malam harinya, dengan separo hati, aku layani suamiku seadanya. Tidak ada lagi rasa nikmat yang aku rasakan saat Mas Hendra mencumbu dan menyebadaniku. Di dalam hatiku selalu terbayang wajah Pak Ronggo. Dengan akal sehatku, aku berpikir apa istimewanya Pak Ronggo? Gak ada rasanya, tapi aku selalu terbayang wajahnya. Sampai-sampai, saat suamiku berada di atas tubuhku melakukan hubungan badan, aku kira Pak Ronggo yang berada di atas tubuhku. Untunglah aku masih bisa menguasai diri.

Besoknya aku seperti biasa diantar olehnya. Ia tambah berani saja dengan meraba paha dan dadaku. Tangannya aku tepiskan namun ia hanya tersenyum.

Setiap hari, matanya tidak luput memandangiku dari ujung rambut sampai kaki. Aku merasa ditelanjangi oleh sikapnya yang seperti itu. Anehnya aku tak kuasa menolak. Seolah ada pancaran energi dari matanya yang mengaliri sekujur tubuhku dan memberikan sensasi yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Di samping itu, ia pun selalu mencuri-curi kesempatan. Ada-ada saja yang ia pegang dari tubuhku. Kadang dadaku, pahaku. Kadang ia cium bibirku. Namun aku tidak berontak.

Lama-kelamaan aku mulai terbiasa dirabai dan diciuminya. Setiap ada kesempatan berduaan, Pak Ronggo sudah tak tahu malu lagi. Ia pasti akan mendekati dan menyentuhku.

Suatu ketika, sepulang kantor, mobil tidak ia arahkan ke rumahku melainkan ke rumahnya di kawasan Kartosuro. Di sana suasananya sepi dan jarang ada rumah penduduk. Entah kenapa, aku mau saja diajak turun dan masuk ke rumahnya, yang dikelilingi pohon-pohon besar.

Rumahnya terbuat dari kayu dan beratap genteng yang telah tua. Di dalam rumah hanya ada dipan beralaskan tikar dengan sebuah bantal. Lalu Pak Ronggo menutup pintu rumah. Dipersilakannya aku duduk di pinggiran dipan. Kalau dilihat, gubuknya seperti rumah dukun. Di dindingnya ada berbagai macam tulang-belulang. Bau menyan sudah tercium sejak kami memasuki rumah.

Pak Ronggo pergi ke belakang. Tidak lama kemudian ia muncul kembali dan duduk di sampingku.

“Bu… Beginilah keadaan saya,” katanya.

“Oooo… ndak apa lah, Pak?” jawabku.

Tiba-tiba ia menepuk pundakku. Aku tersentak. Lalu ia melingkarkan tangannya di bahuku. Aku tiba-tiba merasa tidak enak.

“Bu… Saya ingin… merasakan kehangatan tubuh Ibu…” katanya tanpa basa-basi.

Aku terkejut setengah mati mendengar ucapannya yang lugas itu. Tapi entah kenapa, aku tidak bereaksi negatif menanggapi keinginannya itu. Seolah aku dihipnotisnya.

“Dulunya istri saya masih hidup dan sedang sakit keras. Jika saja Ibu tidak tabrak saya saat itu, saya masih bisa menolongnya. Namun Ibu telah membuat saya terlambat… dan istri saya pun mati,” terangnya.

Aku terdiam mendengar penjelasannya. Rasanya pikiranku saat itu sudah kosong.

Sekonyong-konyong Pak Ronggo mengambil potongan batok kelapa yang ada di meja di samping dipan tempat kami duduk. Dituangkannya cairan dari dalam sebuah kendi yang ada di meja itu ke dalam batok kelapa. Cairan itu encer dan berwarna kuning gelap. Sejenak mulutnya tampak komat-kamit sambil berkonsentrasi menatap batok kelapa. Beberapa detik kemudian, ia meludah ke dalam cairan tersebut.

Tanpa berkata-kata, Pak Ronggo kembali merangkul pundakku. Kali ini lebih kuat. Sementara tangannya yang satu lagi berusaha meminumkan cairan di dalam batok kelapa itu kepadaku.

Mulanya aku berontak. Lagipula aku tak tahu cairan apa itu. Baunya sangat pesing. Aku mau muntah saat Pak Ronggo mendekatkan batok kelapa itu ke bibirku. Entah kenapa, aku tak bisa menolaknya. Aku seperti tak punya pilihan.

Pelan-pelan kuminum cairan itu. Rasanya sangat tak enak. Setelah minum seteguk, aku sempat terbatuk dan berusaha menjauhkan mulutku dari batok itu. Mengetahui hal itu, Pak Ronggo segera memaksaku untuk menghabiskan cairan yang ada di dalam batok itu. Sambil memejamkan mataku, perlahan-lahan kuhabiskan juga isi batok itu.

Melihat aku masih kuat, Pak Ronggo kemudian menuangkan lagi cairan dari dalam kendi itu ke dalam batok. Ritual yang sama dilakukannya kembali sebelum untuk kedua kalinya menyuruhku menghabiskan isi batok itu.

Ia baru saja akan mengisi kembali batok itu untuk yang ketiga kalinya ketika aku merasakan panas yang luar biasa dari dalam tubuhku. Seluruh badanku terasa ringan dan tanpa terasa aku menjatuhkan kepalaku dalam dekapan Pak Ronggo. Melihat hal itu, Pak Ronggo mengurungkan niatnya untuk menyuruhku kembali minum cairan aneh itu.

Aku berkeringat. Nafasku terengah-engah. Di dalam diriku ada semacam gairah yang menghentak untuk dituntaskan dan dilepaskan.

“Karena istri saya sudah tak ada…. Sekarang Ibulah yang harus menggantikannya…” Pak Ronggo kembali berkata.

Setelah berkata begitu, ia menatap dalam-dalam mataku. Aku jadi tak berdaya. Tangannya yang kasar lalu meraih kancing busana kantor yang kukenakan. Satu per satu pakaianku jatuh ke lantai sehingga aku sama sekali tidak berpenutup lagi.

Sambil melucuti busanaku, setiap inci tubuhku ia raih dan jamah. Aku merasakan kepasrahan dan sensasi yang luar biasa. Ada desakan dari dalam diriku yang membuatku tak sabar untuk segera disetubuhinya.

Pak Ronggo membaringkan tubuh bugilku di dipan kayu itu. Lalu ia buka pakaiannya sendiri hingga ia sama-sama bugil denganku. Aku bisa melihat sisa-sisa ototnya yang liat di tengah tubuhnya yang mulai keriput.

Laki-laki tua itu mulai menggumuliku. Ia meraih inci demi inci dari setiap lekuk di tubuhku dengan mulutnya yang rakus. Aku pun tak kuat dan mengerang kenikmatan.

Akhirnya tibalah saat yang dinanti-nantikan. Ia perlahan-lahan menyisipkan batang kemaluannya yang ternyata sangat keras ke dalam lubang kemaluanku dan mulai menyetubuhiku. Dihunjamkan kejantanannya ke dalam rahimku berkali-kali sehingga dipan tua itu berderit-derit. Aku hanya bisa mendengus dan serasa dijadikan kuda pacu. Ooh… rasanya enaak… sekali…

Entah berapa lama kami menikmati persenggamaan itu. Tubuh mulusku dijamah Pak Ronggo berulang-ulang hingga akhirnya ia pancarkan cairan pembuat bayinya yang hangat di dalam kemaluanku. Ada rasa panas dan tegang di tempat bersatunya alat kelamin kami saat ia sampai klimaks. Tanpa bisa kubayangkan sebelumnya, aku pun ternyata mencapai klimaks berkali-kali.

Tubuhku saat itu penuh dengan keringatku sendiri yang bercampur dengan keringat Pak Ronggo. Aku merasakan perih dan nyeri pada selangkanganku karena kejantanan Pak Ronggo panjang dan besar juga. Hampir seluruh kulit tubuhku merah-merah dan putingku serasa panas akibat gigitan Pak Ronggo.

Di lain pihak, badanku pun terasa lemas luar biasa karena orgasme beruntun yang kualami. Aku membiarkan saja Pak Ronggo tertidur di atas tubuhku. Dengkurannya yang keras segera terdengar. Alat vitalnya masih terjepit oleh kemaluanku. Bisa kurasakan air maninya menetes keluar dari dalam rongga kemaluanku.

Tak sampai setengah jam kemudian Pak Ronggo terbangun. Kondisi fisikku pun sudah pulih kembali walaupun aku tak sampai tertidur seperti Pak Ronggo. Tanpa membersihkan badan terlebih dahulu, aku disuruh berpakaian dan berbenah seperti biasa lagi. CD-ku sengaja kumasukkan ke dalam tas tangan karena aku seolah masih saja merasakan air mani Pak Ronggo merembes mengalir keluar dari dalam vaginaku. Aku lalu diantarnya pulang dengan mobilku.

Di dalam mobil aku jadi merasa menyesal karena telah mengkhianati Mas Hendra. Inilah untuk pertama kalinya aku bersetubuh dengan lelaki lain selain suamiku. Namun apa dayaku, Pak Ronggo ternyata telah menguasai diriku hingga ia berhasil menelanjangi dan menyetubuhiku.

Setibanya di rumah, aku masih bisa merasakan dan mencium bau keringat serta sperma Pak Ronggo yang menempel di sekujur tubuhku. Aku sampai menghabiskan waktu satu jam lebih di kamar mandi untuk meyakinkan bau keringat Pak Ronggo tak lagi menempel di badanku sehingga suamiku tak akan curiga.

Sejak kejadian itu, Pak Ronggo selalu mengulangi kembali perbuatan nistanya itu terhadapku. Anehnya, aku pun tak menolaknya. Aku pasti akan melayaninya dengan sepenuh hati setiap ia mendatangiku. Setiap ada kesempatan, seperti saat aku pulang kantor, Pak Ronggo akan selalu meminta jatahnya. Apalagi jika suamiku ke Jakarta, pastilah ia dengan seenaknya menginap di rumahku. Jika sudah begitu, aku akan bersebadan bersama Pak Ronggo di atas ranjang milikku dan Mas Hendra sepanjang waktu.

Setiap Pak Ronggo menggauliku, aku selalu merasakan kepuasan, walaupun setelah itu aku juga merasakan pegal-pegal pada selangkanganku. Soalnya Pak Ronggo biasanya membuatku harus terus mengangkang selama sekitar satu jam. Dengan Mas Hendra, kalau bisa lebih dari sepuluh menit pun sudah bagus.

Aku sebetulnya takut kalau para pembantuku, Mbok Lastri dan Pak Bidin, tahu hubungan terlarang kami tapi Pak Ronggo menenangkanku. Mereka memang pasti bisa menebak perbuatan kami berdua karena Pak Ronggo begitu bebasnya masuk ke kamar tidur pribadiku setiap ada kesempatan dan bisa menghabiskan waktu berjam-jam di dalamnya.

Pak Ronggo tampaknya bisa menutup mulut kedua pembantuku. Ia meyakinkanku bahwa mereka tak akan membocorkan rahasia kami kepada suamiku. Bahkan belakangan aku baru tahu kalau mereka berdua entah bagaimana caranya telah dibuat Pak Ronggo bekerja sama melanggengkan hubungannya denganku.

Contohnya, kalau Mas Hendra kebetulan sedang keluar kota, seperti biasa aku akan menghabiskan waktuku untuk disebadani Pak Ronggo. Jika aku sedang tanggung melayani Pak Ronggo di kamar dan tiba-tiba suamiku meneleponku ke rumah, Mbok Lastri sudah terbiasa untuk menjawabnya dan mengatakan berbagai macam alasan untuk menutupi kegiatanku bersama Pak Ronggo. Dengan demikian Pak Ronggo tak perlu terganggu karena aku harus menjawab telepon suamiku dulu.

Aku baru mengetahui kebiasaan itu karena biasanya Mbok Lastri akan melapor padaku begitu aku keluar kamar. Ia tahu kalau aku keluar kamar, berarti aku telah selesai menjalankan tugasku melayani Pak Ronggo.

“Bu, dua jam yang lalu Bapak telepon mau cari Ibu. Aku bilang Ibu sedang silaturahmi ke rumah Bu Hadi. Nanti beliau telepon lagi jam 7 malam.”

Mbok Lastri sampai hafal jam berapa aku masuk kamar bersama Pak Ronggo, jam berapa biasanya kami keluar sehingga kalau suamiku menelepon, ia bisa mengatur kapan suamiku harus menelepon kembali. Tanpa kusangka, ternyata ia benar-benar berperan seperti sekretarisku padahal aku tak pernah mengajarinya. Aku tak tahu bagaimana cara Pak Ronggo membuatnya jadi begitu, padahal Mbok Lastri dan Pak Bidin adalah pembantu yang setia pada keluarga Mas Hendra sejak lama.

Hampir selama setahun aku menjadi bulan-bulanan nafsu Pak Ronggo. Bagaimanapun, aku merasa sedikit tenang dalam melakukan hubungan gelap dengannya. Aku tahu tidak bakalan hamil karena aku sudah memasang spiral. Itu sengaja kulakukan karena setiap kali Pak Ronggo berhubungan seks denganku, ia selalu mengeluarkan air maninya di dalam rahimku. Tak mungkin aku mencegahnya melakukan hal itu. Karena itulah, sekitar dua minggu sejak aku pertama kali disetubuhi Pak Ronggo, aku berinisiatif memasang spiral untuk mencegah jangan sampai aku dihamilinya.

Walaupun sudah terbiasa disebadani Pak Ronggo, aku tetap selalu mencium bau tidak enak saat ia berada di atas tubuhku. Bau keringatnya memang amat busuk. Aku selalu mengganti seprei ranjangku setiap ia selesai meniduriku. Kalau tidak, bau keringatnya akan tinggal di kain seprei itu.

Kamar pun aku semprot dengan wewangian. Jika aku sedang bersebadan dengan Pak Ronggo, AC-nya kubiarkan selalu menyala. Kalau kamar sedang tak dipakai, semua jendela dan pintu akan kubuka lebar-lebar sehingga ada sirkulasi udara.

Mbok Lastri dan Pak Bidin pun sudah hafal kalau sekarang aku menyuruh mereka untuk mencuci seprei tiap hari. Mereka tahu kalau aku harus bertugas melayani Pak Ronggo tiap hari. Justru kalau satu hari aku tak menyerahkan cucian, mereka akan bertanya dengan lugunya.

“Hari ini ndak dinas ya, Bu? Tadi siang pulang ndak diantar Pak Ronggo?”

Mereka selalu menyebut ‘dinas’ untuk mengistilahkan tugas harianku melayani Pak Ronggo di ranjang. Mereka sudah tahu kalau jadwal harianku melayaninya biasanya sepulang kantor sehingga aku biasa menyerahkan cucian sore harinya sebelum Mas Hendra pulang.

“Oh, ndak, Mbok… Bapak sore ini mau ke Jakarta selama dua hari. Aku tadi pulang diantar Bapak. Pak Ronggo nanti kemari lagi sesudah mengantar Bapak ke bandara.”

Jika sudah kuberitahu seperti itu, mereka akan langsung mengerti kalau malam itu mereka harus menyiapkan makan malam untuk dua orang ke kamar tidurku dan setelah itu mereka bisa tidur cepat. Soalnya semalaman aku pasti harus kerja lembur melayani Pak Ronggo. Barulah esok harinya sebelum aku berangkat ke kantor diantar Pak Ronggo, mereka harus mencuci seprei yang dua kali lipat baunya karena semalaman habis dipakai sebagai alas kami bersetubuh.

Tak heran kalau badan Pak Ronggo sangat bau. Semakin lama aku intim dengannya, aku jadi tahu kalau ia memang jarang mandi. Belum tentu tiap hari ia mandi. Bahkan setelah selesai menyetubuhiku, ia tak pernah mandi. Setiap selesai menuntaskan nafsu seksnya padaku, ia selalu menyuruhku untuk mengisap dan menjilati penisnya sampai bersih dari sisa-sisa air maninya. Hanya seperti itulah caranya mandi sehabis menyebadaniku.

Setelah sekian lama, barulah aku mengetahui dari seorang pintar di tempat kerjaku bahwa Pak Ronggo adalah seorang dukun dan aku telah diguna-gunanya. Temanku itu dapat melihat semua yang terjadi pada diriku dan dengan tulus hati berniat menolongku.

Pengaruh guna-guna Pak Ronggo atas diriku ternyata sangat kuat karena dulu aku sudah meminum air kencingnya yang telah diberi jampi-jampi. Guna-guna seperti itu luar biasa kuat karena tentu tak mudah untuk menyuruh seorang gadis meminum air kencing si pemeletnya. Pak Ronggo sangat beruntung saat itu karena bisa membuatku melakukannya.

Di lain pihak, aku pun sebetulnya beruntung karena hanya meminum dua cawan air kencing Pak Ronggo. Seandainya saja dulu aku minum lebih banyak lagi, tentulah Pak Ronggo bisa menguasaiku secara permanen.

Atas bantuan dan usaha keras rekan kerjaku itu, kini aku telah terbebas dari guna-guna Pak Ronggo. Usahanya itu sendiri memakan waktu yang cukup lama karena harus dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap. Tak mudah untuk membuat Pak Ronggo mau melepaskan diriku. Ia sudah jadi terbiasa hidup enak karena aku senantiasa melayani nafsu seksnya yang masih menggebu-gebu di usianya yang sudah senja.

Setelah aku benar-benar terbebas dari guna-gunanya, Pak Ronggo pun akhirnya kupecat. Satu hal yang tak mungkin kulakukan saat aku masih berada dalam pengaruh gaibnya.

Ia sempat mengancam akan membongkar hubungan seks kami kepada suamiku kalau aku berani memecatnya. Sebetulnya aku takut juga. Setelah bernegosiasi, dengan diberi duit sekitar 20 juta dari tabunganku, aku minta dia keluar baik-baik. Tampaknya dia mau menerimanya. Sejak saat itu ia tak pernah muncul lagi.

Aku hanya berharap Pak Ronggo bisa melewati masa tuanya dengan tenang dan tak menggangguku lagi. Aku pun mencabut spiralku dan berharap bisa melupakan semua kejadian ini. Aku ingin membina kembali kehidupan yang normal bersama Mas Hendra.

TAMAT

No comments:

Post a Comment

Paling Populer Selama Ini