7/09/2011

Mas Tarmin dan Becaknya

Mas Tarmin tukang beca, suka mangkal di depan kos-kosanku.
Sejak aku melihat pertama, aku sudah nebak, pasti kontolnya gede.
Mulai saat itu aku nggak bisa lagi nyetop memikirkan dia dan kontolnya itu.
Aku selalu cari akal bagaimana aku bisa mendapatkan kontol itu.
Mas Tarmin.., aku pengin banget ngisepin kontolmu, mas.
Aku juga pengin njilatin bokongmu, pengin nyiumin duburmu.
Kencingin aku ya mas, berakin aku ya.. N'tar aku cebokin pakai lidahku.
Tanggung bersih deh.
Ahh, Mas Tarmin kapan aku bisa jalan sama kamu.

*****

Demikian sebaris catatan yang aku buat di buku harianku. Aku buat dengan penuh gelora nafsu saat mengingat Mas Tarmin. Kebetulan orangnya baik banget. Aku sering numpang becaknya saat nganter ke halte bis menuju sekolah. Dalam usaha mendekati dia, aku suka boros memberi upah gedean, diatas rata-rata tarip yang dia minta. Dia senang sekali. Terkadang saat-saat iseng, aku cari makan ke warung Tegal, kuajak sekalian untuk sama-sama makan.

Tetapi hingga saat ini aku nggak berani mengemukakan apa yang tersimpan jauh dalam pikiran dan hatiku. Selama ini aku cukup menciumi kontolnya lewat khayalan-khayalanku, yang biasanya berakhir dengan onani. Yaa, aku bisa onani di mana saja. Bahkan di dalam kelas, saat Bu guru memberikan pelajaran. Tidak jarang, bayangan susu ibu guru, atau leher Surti di depan bangkuku, atau bokong si Jay yang seksi menjadi sasaran onaniku. Aku cukup memasukkan tangan kiriku ke kantong celana, dan pelan-pelan mijit kemaluanku. Sementara khayalanku mengalir sesuai dengan gelora birahiku.

Sabtu sore. Saat-saat besok libur macam ini, pikiranku selalu kembali ke Mas Tarmin. Aku nengok ke jendela. Dia nggak nampak. Barangkali lagi narik. Biar kutunggu. Aku udah punya rencana. Aku mau minta antar dia keliling-keliling kawasan di seputar kos-kosanku ini. Aku akan bilang 'Aku carter mas, sampai pagi. Kuat yaa?! Aku mau santai-santai mbecak sama sampeyan. Kalau lapar atau haus mampir warung. Sak ketemunya, warung mana saja. Setuju??!'. Aku juga sudah siap sebungkus GG rokok kretek kesukaannya. Yahh, ini semua untuk membuat dia senang padaku. Biar dia susah untuk menolak keinginanku. Bahkan kalau perlu aku akan mengemis-emis untuk bisa ngisepin kontolnya.

Aku sudah bayangkan, kalau semalam panjang ini kami jalan bareng, pasti ada saat-saat dia pengin kencing, atau berak atau yaahh.. apalah. Dimana pada saat seperti itu aku bisa lebih mudah memulai ngomong menyampaikan keinginanku. Mungkin perlu kubelikan bir. Khan kalau minum bir biasanya terus pengin kencing. Ahh, Mas Tarmiinn, aku udah gemeter nihh..

Ehh, tiba-tiba saja dia yang nongol, sementara aku nunggu dan gelisah melongok-longok ke jalanan. 'Malam Minggu Mas Egis (begitu panggilanku), nggak muter-muter nih?'. Lho, lho, lho, koq kaya sudah di atur, dia yang nyamperin dan dia juga yang buka omongan ngajak muter-muter. Jadinya aku malahan pasang aksi, sedikit jual mahal. 'Muter-muter kemana mas? Lagian opo sampeyan kuat kalau narik jauh-jauh. Kalau aku sih enak tinggal leyeh-leyeh di jok becanya sambil kantuk-kantuk', begitu jawaban sok aksiku.

'Nantangin nih, ayyoo, biar sampai pagi biar aku layanin', begitu balik dia nantang penuh semangat sambil wajahnya semringah penuh senyum seperti jendral yang yakin akan menang perang.

'Kalau aku mau, aku suruh bayar berapa sam, peyan narik sampai pagi?', 'Jangan khawatir, pokoknya dijamin saja makan minumnya beres. Eeehh, di gang Jambe ada orang ngawinin nanggap Dang-Dut, n'tar kita mampir aja ke sono. Banyak babu-babu pada keluar nonton. Ng'kali bisa di senggol-senggol, asyyiikk..'. Woo, aku yang seharusnya bersorak-sorai. Aku langsung mengkhayal, 'Kena lu mas. Biar ku emut kontolmu. Biar ku isep dan telen tuh pejuh lu'. 'Ayyoo..!!', desaknya penuh semangat yang membuatku langsung ber-anjak. Ngambil dompet, jaket buat malam yang dingin, rokoknya Mas Tarmin. Tanpa ba bi Bu lagi kami keluar, aku langsung nangkring di becaknya, dia tarik sedikit mundur untuk dia cemplak dan mulai jalan. Pertualangan malam Minggu di mulai.

'Jangan buru-buruu, katanya santai', aku menegornya saat dia penuh semangat menggenjot becaknya hingga jalannya begitu kenceng. 'Bagaimana kalau kita nongkrong dulu di warung wak Sakir, ngopi, setuju', 'Okee boss, ha ha ha asyiikk'. Mas Tarmin melaju menuju warung wak Sakir di pengkolan dekat halte.

Terus terang aku nggak 'concern' pada kopi atau makanan saat ini. Aku bahagia banget bisa berdesak dengan Mas Tarmin. Bau keringatnya yang tanpa di tutup-tutupi dengan pewangi segala merupakan bau alami yang keluar dari tubuh Mas Tarmin. Begini rasanya bau lelaki. Kontolku jadi ngaceng. 'Mas ini kebetulan aku nyimpen rokok, dikasih temen, padahal aku nggak ngrokok khan, buat Mas Tarmin deh', 'Weh, weh, weh trima kasih banget Mas Egis. Sampeyan bener-bener bos saya lho'. Begitu gembira dia menerima sebungkus rokok GG dan langsung merangkulku, ngoyok-ojok tubuhku. Keringat dari bajunya nempel ke bajuku. Dan ini akan terus kuendusi sepanjang malam itu.

Yang aku menjadi deg-degan adalah saat dia merangkulku tanpa sengaja tangan kiriku menekan selangkangannya. Aku merasa bahwa dia juga ngaceng. Aku yakin itu. Dan bener rasanya, saat aku mau bayar makan & minuman ke wak Sakir, Mas Tarmin berdiri dan aku melirik ke arah selangkangan itu, woo, nampak celananya menggunung. Ada yang mendesak dari balik dalamnya. Mas Tarmin buru-buru beranjak, mungkin malu atau kagok, khawatir ngacengnya diperhatikan orang-orang di warung itu. Wahh, kalau bener.

Hari udah gelap. Di daerah itu jarak antara lampu jalannya jauh-jauh. Banyak juga yang nggak menyala. Jadinya secara umum kesannya gelap. Sementara orang-orang sudah menyepi. Beberapa sepeda lewat, tanpa lampu. Sesekali sepeda motor atau mobil orang yang pulang kerja. Suara bel kroncong becaknya Mas Tarmin ini berisik. Kena legokkan jalan sedikit saja suaranya gaduh.

'Mas Egis udah punya pacar belon? Koq perasaan saya Mas Egis nggak pernah pacaran ya?! Di kampungnya kali ya, ada yang nungguin'. Wah, pertanyaan macam begini yang menarik bagiku. Pertanyaan macam ini bisa dikembangkan. Bisa jadi lantaran untuk mencapai sasaran. Tapinya aku berlagak pilon. Aku hanya jawab, 'Hmm.., sok tau sampeyan..', 'Nah.., benar khan..', langsung saja dia jawab balik.

'Mas Tarmin kalo gelap-gelap gini ingat pacar ya?', tanyaku melempar jurus. 'N'tar mengkhayal lagi!', seranganku beruntun. 'Khayal apaan mas?!', bego atawa pura-pura, 'Yaa, khayal .., mbayangkan paha mulus, susu gede dan macam-macam.. Supaya menjadi tegang.. ha, ha, ha, ..'.

Dan jawabannya membuat jantungku langsung berdegup keras, 'Udah hee, udah tegang nih Mas Egis..', kudengar suara itu setengah berbisik, diselang ngos-ngosannya nggenjot becak. Bisikkan itu rasanya mengandung tujuan. Degup jantungku semakin tak keruan, 'Apanya yang tegang ma..mass ..?', seakan aku menginjak gas untuk mempercepat tercapainya tujuan.

'Kontolku ngaceng Mas Egis..', ampuunn.. 'Lihat nih', tanganku yang bersender di jok atas diraihnya dirabakan ke selangkangannya. Tentu saja aku nggak ngelak. Bahkan tanganku yang merasakan ada daging nonjol di selangkangan itu langsung memijat. Bukan main, kontol ini bener-bener gede. 'Gede banget mas!!'. Tanganku terus memijat-mijat.

'Aduh Mas Egis, enak nih di pijat-pijat'. 'Pelan-pelan dong jalannya', pintaku dengan maksud biar aku bisa mijat lebih lama. Bukannya dipelanin. Mas Tarmin sama sekali menghentikan becaknya. Turun dari sadelnya, tengak-tengok ke depan dan ke belakang, nggak ada orang, berdiri mendekat ke aku dari arah belakang. 'Mas, aku keluarin aja yah, Mas Boy pijatin yah ..'. 'Hhee eehh..'. Mas Tarmin membuka kancing celana kemudian menarik resluitingnya. Nampak celana dalamnya sekilas. Tangan kanannya langsung merogoh dan mengeluarkan kontolnya. Wwwoo.., panjangnyaa, gedenyaa.. 'Ayo Mas pijitin terus, enakk banget dehh..'.

Aku sendiri terus terang langsung kelimpungan. Kontolku jadi ngaceng banget. Dan kontol Mas Tarmin itu wuuhh, kenceng, keras, gede dan panjang. Aku langsung meraihnya kembali. 'Wwwuu, gede banget sih mass..', sambil aku membetulkan dudukku, memutar badan dan sedikit menarik kontol yang kuraih itu, sepertinya aku mau melihat lebih dekat. Tapi bukan itu. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku ingin lebih dekat untuk membaui aroma kontolnya itu.

Tangan kananku terus memijat-mijat dan mengurut-urut. Mas Tarmin mendesah merinding. Dia bilang pijatanku nikmat banget. Dia bilang udah lama kepingin dipijitin macam ini. 'Ayyoo mass.., ennaakk bangett..'.

Kata-katanya aku tangkap seakan hendak diperpanjang tetapi tak terucapkan. Aku yakin Mas Tarmin ingin lebih dari pijatan. 'Maass, bb.. boleh akuu.. sun yaahh..', akhirnya dengan sedikit serak aku membisik. Ahh, akhirnya terucap juga. Khayalan atau lebih tepat obsesi, obsesiku berbulan-bulan terpenuhi kini. Aku nggak lagi nunggu jawaban, langsung mengasongkan mulutku, sementara tanganku menarik kontol itu lebih dekat lagi dan aku mencaploknya. Langsung kukenyot.

'Waaduuhh mass Eggiiss.., amppuunn eennaakknyaa.. Wwwoo. Aaarrcchh..'.
Tidak lama. Mas Tarmin nggak bisa menahan lagi. Dari kontolnya muncrat-muncrat pejuhnya. Aku agak bingung dan sibuk. Rasa pejuh itu macam kelapa muda. Cairan kental itu gurihnya bukan main. Sebagian aku langsung minum, ini yang pertama kali aku, karena dalam khayalan telah aku laksanakan lama sebelumnya. Dan sebagian lain ada yang nyiprat ke pipiku, ke dagu, ada di tangan dan sebagian lain di leher kemejaku dan tercecer ke tanah.

'Maaf mas, aku nggak bisa tahan emosi tadi. Sungguh, sepertinya aku nafsu banget .. Uuhh.. malluu..', 'Kenapaa.., nggak pa pa koq, aku ngerti dan aku juga jadi pengin lho begitu lihat ini (sambil meraba kembali kontolnya) gede banget. Aku juga jadi nafsu banget'. Aku tak hendak melepas rabaan itu. Tapi dari jauh nampak lampu mobil bergoyang. Ada yang datang dari arah depan. Aku lepaskan yang aku pegang. Naik ke becak. Sementara Mas Tarmin membetulkan celananya dan kembali mendorong kemudian menggenjot becaknya. Se-akan-akan tidak ada sesuatupun yang terjadi untuk tidak memancing kecurigaan orang. Maklum ini merupakan perbuatan yang pertama kali diantara kami. Masih besar rasa takutnya.

Sejak itu sepanjang jalan aku nggak nglepasin remasan tanganku dari kontolnya. 'Pejuhku enak ya mas?, n'tar tak kasih lagi yaa?!', begitulah macam omongan selanjutnya sepanjang jalan. 'Aku pp.. pengin nyiumin.. ss..seluruh tubuh kamu Mas Tarmin..', suaraku serak-serak dan tersendat menahan birahi yang semakin memuncak.

'Aku juga mau mas, biar aku kenyotin kontol Mas Egis sampai basah kuyup. Biar aku jilatin tuh bokongnya dan silit (dubur)nya. Boleh ya mass?!'.

Aku tidak menyadari, tahu-tahu sudah berada di depan orang punya kawinan itu. Suara musik dang-dut dari kaset, sementara nunggu krew 'live show'-nya yang lagi mempersiapkan alat-alatnya. Ramai orang lalu lalang. Di sana-sini pedagang kaki lima menggunakan kesempatan untuk menanggok rejeki. Mungkin pedagang kagetan, yang keluar dagang karena tetangga punya hajatan, khususnya karena adanya tontonan Dang-dut yang sangat disenangi oleh orang-orang kampung di sekitar situ. Malam itu babu-babu pada dandan untuk memancing jodoh. Siapa tahu ada pria yang berkenan di hatinya untuk mengajak makan bakso atau beli es teler.

'Mas, jangan ketempat yang ramai banget!, n'tar dilihat orang lhoo', 'Nggaakk maass, aku malahan cari yang agak gelapan dikit. Tuuhh, di bawah pohon sebelah kanan tuh. Dekat tukang bajigur lagi. Khan enak di-obok-obok samil makan ubi', jawab Mas Tarmin sambil langsung menggenjpot becaknya ke tempat itu. Aku pasrah saja. Dia pasti lebih tahu. Mungkin juga berpengalaman.

Ternyata malam itu agak konyol. Aku dan Mas Tarmin nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Ditempat hajatan ini orang lalu lalang dan tak ada tempat yang sepi tanpa mencurigakan orang. Dan jam 3 pagi kami pulang. Semangat kami udah terpukul oleh kantuk yang sangat.

Tapi ada kelegaan yang besar. Antara Mas Tarmin dan aku telah ada saling pengertian. Pasti ada kesempatan lain untuk menyalurkan nafsu birahi lebih total.

Bekasi, Februari 2003

Tamat

Pak Rektor

Aku tidak tahu bagaimana semua ini berawal. Yang pasti, sejak aku merasakan adanya gejolak seks pada diriku, ketertarikanku bukannya tertuju pada perempuan, melainkan laki-laki. Anehnya, laki-laki impianku adalah laki-laki setengah baya atau lebih, kebapakan dan gemuk. Anehnya lagi, puncak gairahku bukan pada wajah melainkan ketiak. Ya, aku selalu membayangkan ketiak laki-laki berumuran 50 tahun.

Impian tentang ketiak laki-laki setengah limapuluh tahun itulah yang kemudian mengisi benakku jika birahi datang. Di sisi lain, aku masih takut setengah mati jika gairah misterius ini kuungkapkan. Akibatnya, selama ini aku hanya bisa mencari celah dengan cara melirik dan berharap bisa melihat ketiak itu pada setiap laki-laki yang memenuhi kriteria itu, berumuran 50-an tahun dan gemuk.

Aku simpan gairahku ini sejak aku merasa memiliki naluri seks, benar-benar penantian panjang yang tidak hanya menyiksa, melainkan juga menghadirkan frustasi bagiku. Selama itu pula keberanianku seperti lenyap ditelan bumi. Aku terus mencari cara agar bisa menemukan laki-laki dengan ketiak seperti yang aku impikan tetapi sekaligus menyimpan mimpi rahasia ini dari siapapun. Hingga suatu hari mimpi itu menjadi kenyataan.

Kisah itu terjadi ketika dimasa pertengahan kuliahku di sebuah perguruan tinggi bergengsi di Jawa. Aku memang salah satu yang beruntung bisa kuliah di sana.

Saat itu aku dan kawan-kawan mahasiswaku sedang menggarap sebuah kegiatan sosial yakni menggelar aksi pasar murah di sebuah daerah yang belum lama lalu tertimpa bencana banjir. Nah, sebagai anggota panitia inti aku ketiban tugas menghadap Rektor universitasku untuk meminta ijin dan bantuan sarana seperti kendaraan pengangkut dan berbagai peralatan yang kami butuhkan di lokasi nanti.

Ini bukan tugas yang mudah karena kesibukan rektor yang tidak pernah selesai itu. Tetapi aku juga bersemangat karena aku sungguh menyukai tampang rektorku ini. Meski tidak pernah bertatap muka secara dekat, tetapi dari berbagai kesempatan aku telah mengamati, rektorku adalah seorang pria setengah umur yang bagiku masuk daftar 'sangat seksi'. Siapa tahu aku bisa melihat sekilas ketiaknya ketika berbicara denganku nanti, pikirku berharap.

Masih pagi ketika kakiku menginjakkan kaki di lantai tiga gedung rektorat, tempat ruangan rektor berada. Dari sekretarisnya aku tahu, aku mendapat urutan ketiga menghadap rektorku. Okey, aku lalu merebahkan pantatku di ruang tunggu. Setelah sekitar 30 menit menunggu, perempuan yang tampak anggun di usianya yang aku taksir sekitar 35 tahun itu memanggilku dan menyuruhku masuk.

Aku segera masuk ke ruangan ber-AC. Pak Rektor masih sibuk menandatangani menandatangani beberapa berkas.

"Silakan duduk, Mas," katanya tanpa memandangku.

Tampaknya, mahasiswa memang selalu tidak menarik baginya. Tetapi beberapa menit kemudian aku sadar aku telah keliru menilai rektorku.

"Apa yang bisa saya Bantu nih," katanya santai, sembari bangkit dari kursi putarnya.

Dadaku makin bergemuruh. Beberapa menit kemudian, sosok yang kukagumi itu sudah berada hanya sekitar 50 centimeter di depanku. Sungguh membuatku terkesiap.

Hari itu beliau mengenakan kemeja putih lengan panjang, berdasi dan bawahan gelap. Wajahnya kebapakan, dadanya menyembul indah dibalik kemeja putihnya, membangun komposisi yang begitu eksotik berpadu dengan perutnya yang meski menyembul tetapi tidak cukup gemuk. Lengannya besar dan tampak kuat dengan bulu-bulu di lengannya yang sedikit terbuka.

"Okey, apa yang bisa bapak bantu? Bapak sedang tidak begitu sehat nih?" katanya kemudian. Pemakaian kata 'bapak' sungguh membuat andrenalinku mengalir cepat.
"Ini, Pak, saya mau meminta universitas membantu kami menggelar acara pasar murah.." aku lalu berceloteh menerangkan konsep acara dan rangkaian kegiatan yang bakal kami gelar, mirip salesman produk elektronik.
"Wah, bagus itu, membantu warga yang baru saja tertimpa musibah. Baik, apa yang dibutuhkan?" katanya.

Plong, langkah besar telah kucapai. Aku lalu menyodorkan proposal dan beliau segera menandatanganinya setelah membaca sekilas.

"Saya setuju, saya dukung," katanya.

Gol, tugasku telah mencapai targetnya. Tiba-tiba aku lihat dia memijit-mjit leher dengan tangan kirinya, menampakkan ada yang salah pada urat leher. Kesempatanku, pikirku setengah ngelantur.

"Ee, bapak sedang tak enak badan, apa yang sakit, Pak?" tanyaku setengah gemetar.

Kali ini otakku sudah dipenuhi fantasi mengenai orang ini. Aku berusaha memancingnya.

"Ini loh, leher saya kaku sekali, sepertinya bapak salah tidur nih," katanya sembari mengelus leher kirinya.
"Ngg, boleh saya pijit, Pak, siapa tahu akan membantu," kataku begitu saja.

Aku merasa sudah lepas kendali ketika mengucap kalimat itu.

"Oya, boleh, wah itu akan sangat membantu," katanya.

Kuletakkan map berisi proposal dan sejurus kemudian kedua tanganku sudah memijit leher ektorku yang gagah. Persentuhan kulit tanganku dan kulit leher Pak Rektor segera membuat hormon seks-ku tersentak.

"Wah, bapak kurang tidur, nih," kataku berusaha memecah sunyi.
"Iya nih, soalnya beberapa malam ini lembur baca laporan. Wah ini enak sekali," kata Pak Rektor sembari melepas dasinya.

Aku terkesiap karena Pak Rektor lalu membuka beberapa kancing kemejanya. Tanganku segera bergerak. Urutan jariku tidak lagi hanya terpusat pada sisi leher kirinya, melainkan bergerak ke arah depan dan pundak. Pak Rektor menengadah, kulihat matanya menutup, tanda merasakan keenakan. Tanganku lalu menuju ke dada atasnya.

"Wah, enak sekali ini, terus ya. Jangan kawatir, saya sudah bilang sekretaris saya tidak mau menerima tamu sampai siang nanti," katanya.
"Ngg, lebih baik kemeja Bapak dibuka ya," kataku setengah berharap.

Di luar dugaan, tanpa menunggu waktu Rektorku segera membuka kemeja. Kini tampaklah tubuh bapak yang seksi ini. Tanganku segera menyambutnya, jari-jariku bergerak ke arah dada, kembali ke leher, lalu ke dada dan semakin mendekat ke putingnya. Tiba-tiba kedua tanganku diraihnya dan aku diminta bergerak hingga berhadapan dengan wajah rektor.

"Mau nggak adik mencium Bapak?" katanya.

Meski kaget, tetapi aku tidak boleh menyiakan kesempatan. Tanpa menunggu waktu, aku segera mendaratkan hidungku ke pipinya, lalu ke bibir Pak rektor. Ahh, luar biasa. Aku merasa sekujur tubuhku seperti kena setrum tegangan tinggi. Aku terus menciumi wajahnya, lalu leher, lalu pundaknya, lalu dadanya. Erangan lirih bergumam dari mulut rektorku. Kini dia tersandar pasrah di kursi panjangnya.

"Pak, saya ingin mencium ketiak Bapak," kataku meminta.
"Lakukan, lakukan sekarang," kata Pak Rektor.

Sekejab kemudian aku daratkan mulutku pada bagian atas lengannya. Aku tidak mau terburu-buru. Sembari mengangkat lengan kirinya dengan tangan kananku, aku terus menciumi lengan Rektorku, semakin dekat ke arah ketiak. Hingga lengan itu benar-benar terbuka.

Kulihat bulu-bulu itu merekah, wow, luar biasa. Darahku terkesiap. Pertama-tama aku ciumi ketiak itu dengan hidungku. Bau parfum lembut menyapa indra pembauanku, bercampur dengan bau keringat laki-laki.

"Oh, Pak Rektor. Anda seksi sekali," kataku.

Kini lidahku menyapu ketiaknya, membuat bulu-bulu rimbun itu basah. Sementara tangan kiriku terus meremas ketiak kirinya.

"Oughh.. Oughh.. Terus, Nak, terus, Bapak senang.. Ougghh, nikmat sekali," desah Rektorku tercinta itu.

Mmm, tanpa basa-basi lagi, aku lepas ikat pinggangnya, lalu kait celana, lalu aku pelorotkan. Wow, batang itu telah sekeras batu. Aku lalu melepas celana dalam rektorku. "Lakukan, nak, lakukan, bapak sungguh menikmatinya," kata dia.

Kami berlumat bibir kembali, lalu aku jilati lehernya, lalu dadanya. Aku sedot puting susunya hingga Pak rektor mengaduh. Lidahku terus bergerak, kini ketiak kanannya aku jilati, sementara tangan kananku meremas-remas bulu ketiak kirinya. Lalu sebalinya, aku lumat ketiak kirinya dengan lidahku hingga mengkilap-kilap karena basah. Lalu perutnya aku jilati, bulu halus di sana membuat kontolku sangat kencang karena birahi.

Kini wajahku berada diantara dua kakinya. Kontol itu aku ciumi, jembutnya aku jilati. Perutnya yang membuncit seksi aku remas. Sementara tangan kiriku terus meremasi ketiak kanannya.

"Ouugghh.. Pakk, oughh.. Pak, bapak benar-benar seksi, ketiak bapak ougghh..," kataku sebelum mulutku telah dipenuhi batang kontolnya yang sudah sangat keras.
"Lakukan sekarang, lakukan sekarang.. Oughh," kata Rektorku sembari bangkir dan membalikkan badannya.

Kini pantatnya ada di depanku. Kedua tangannya memegangi sandaran kursi. Aku lalu melepas celanaku. Lalu menggosok-gosokkannya pada pantat rektorku yang putih bersih. Tanganku terus sibuk meremasi ketiak dan dadanya yang gembul. Sejurus kemudian kontolku sudah masuk ke lubang itu.

"Arrhhgg.. Aghh. Aggrrhh.." teriak rektorku lirih.
"Oooh, nikmat sekali, ayo digenjot, Bapak sudah tidak tahan nihh," katanya.

Aku langsung menekan kontolku. Beberapa menit kemudian aku sudah mengentot rektorku yangs eksi. Aku menggenjotnya, tarik-tekan-tarik-tekan.. Ougghh.. luar biasa nikmat.

"Ougghh.. Pak.. Saya sudah tidak tahan.. Ougghh..," kataku dan air maniku sudah siap menyembur.

Tanganku kananku segera menyusup mencari ketiaknya, tangan kiriku meraih puting kirinya dan.

"Aaargghh.. Pak, saya keluar.. Ougghh," desahku sembari mengejangkan badanku menikmati sejuta pesona puncak ini.
"Ouugghh.. " rektorku balas mendesah.

Sesaat kemudian rektorku membalikkan badan. Kontolnya yang sudah sangat tegang seperti roket yang siap diluncurkan. Wajahku ditariknya, dibenamkan untuk menjilati kontolnya yang terus dikocoknya. Aku jilati kontol itu sementara tangan kananku terus mengocoknya.

"Aagrrghh.. Ougghh.. Enak sekali.. Uuugghh.. " jeritnya.

Gerakan mengocok itu semakin kukencangkan, sementara mulutku terus melumat pucuk kontolnya yang merah membara. Tangan kiriku meremas-remas puting kirinya.

"Ouugghh.. Bapak mau keluar, awas, bapak mau keluarr," katanya sembari mengejang.

Benar saja, beberapa detik kemudian cairan putih menyembur ke wajahku, memuncrati seluruh wajahku hingga kuyup.

"Ouugghh.. Nikmaat.. Nikmaat sekali..," ujar Pak rektor di akhir ereksinya.

Kami lalu berangkulan. Aku masih menciumi dada dan ketiaknya. Lalu kami berciuman.

"Bapak, jangan dicukur rambut ketiaknya ya, oh, bapak ini seksi sekali," kataku.
"Tenang saja, ketiak bapak milikmu, bapak tidak akan mencukurnya. Bapak senang kamu menciuminya," katanya sembari mendaratkan ciuman ke mulut. Kami berpagutan lagi.
"Jangan bilang siapapun. Ini hanya antara kita, okey. Bapak senang sama kamu, kami juga sangat seksi dan pandai menyenangkan saya. Bapak akan calling kamu nanti untuk ketemu, okey," kata Rektorku.

Aku tertawa senang lalu menghadiahinya dengan ciuman di bibir. Setelah kembali berpakaian dan membersihkan bekas pertempuran kami, aku meminta pamit kembali ke kampus. Aku melangkah keluar ruang rektorku seperti melayang. Dia tidak hanya seorang rektor, melainkan laki-laki impian yang tiba-tiba hadir begitu saja, menjawab semua mimpi, membuatnya nyata dan mengajakku terbang ke langit tujuh.

Sejak itu aku dan rektorku sering membuat janji bertemu di hotel atau tempat tertentu. Setiap kali bertemu, ketiaknya adalah bagian yang paling aku gemari. Aku ciumi, jilati dan terus jilati. Kami sungguh menikmati semua itu sebagai dua orang pecinta. Hingga aku lulus dan kemudian bekerja di kota yang lain.

Sejak itu pula kami jarang bertemu, rektorku sendiri ditarik ke Jakarta dan menjadi pejabat di Kementrian Pendidikan usai habis masa menjadi rektor yang hanya lima tahun itu. Lalu semuanya kembali seperti semula, dan aku terus memimpikan laki-laki berumur setengah abad atau lebih, gemuk dan ketiak yang lebat.

Hingga kisah ini aku tulis, mimpi itu terus menggema dalam ruang pikir dan setiap desah nafasku. Aku selalu berharap dan berharap, aku akan bertemu laki-laki setengah abad atau lebih tua, gemuk dan ketiak yang rimbun. Aku menginginkannya, terus memimpikkannya, hingga kini. Seandainya aku bertemu dengan laki-laki seperti itu, akan aku beri semuanya, semuanya.

Tamat

Paling Populer Selama Ini