Copyright 2004, by Mario Soares (msoares_bombay@yahoo.com) and pka_bloomenstein (pka_bloomenstein@yahoo.com)
Namaku Novianti. Usiaku telah menginjak kepala tiga. Sudah menikah setahun lebih dan baru mempunyai seorang bayi laki-laki. Suamiku berusia hanya lebih tua satu tahun dariku. Kehidupan kami dapat dikatakan sangat bahagia. Memang kami berdua kawin dalam umur agak terlambat sudah diatas 30 tahun.
Selewat 40 hari dari melahirkan, suamiku masih takut untuk berhubungan seks. Mungkin dia masih teringat pada waktu aku menjerit-jerit pada saat melahirkan, memang dia juga turut masuk ke ruang persalinan mendampingi saya waktu melahirkan. Di samping itu aku memang juga sibuk benar dengan si kecil, baik siang maupun malam hari. Si kecil sering bangun malam-malam, nangis dan aku harus menyusuinya sampai dia tidur kembali.
Sementara suamiku semakin sibuk saja di kantor, maklum dia bekerja di sebuah kantor Bank Pemerintah di bagian Teknologi, jadi pulangnya sering terlambat. Keadaan ini berlangsung dari hari ke hari, hingga suatu saat terjadi hal baru yang mewarnai kehidupan kami, khususnya kehidupan pribadiku sendiri.
Ketika itu kami mendapat kabar bahwa ayah mertuaku yang berada di Amerika bermaksud datang ke tempat kami. Memang selama ini kedua mertuaku tinggal di Amerika bersama dengan anak perempuan mereka yang menikah dengan orang sana. Dia datang kali ini ke Indonesia sendiri untuk menyelesaikan sesuatu urusan. Ibu mertua nggak bisa ikut karena katanya kakinya sakit.
Ketika sampai waktu kedatangannya, kami menjemput di airport, suamiku langsung mencari-cari ayahnya. Suamiku langsung berteriak gembira ketika menemukan sosok seorang pria yang tengah duduk sendiri di ruang tunggu. Orang itu langsung berdiri dan menghampiri kami. Ia lalu berpelukan dengan suamiku. Saling melepas rindu. Aku memperhatikan mereka.
Ayah mertuaku masih nampak muda diumurnya menjelang akhir 50-an, meski kulihat ada beberapa helai uban di rambutnya. Tubuhnya yang tinggi besar, dengan kulit gelap masih tegap dan berotot. Kelihatannya ia tidak pernah meninggalkan kebiasaannya berolah raga sejak dulu. Beliau berasal dari belahan Indonesia Timur dan sebelum pensiun ayah mertua adalah seorang perwira angkatan darat.
“Hei nak Novi. Apa khabar…!”, sapa ayah mertua padaku ketika selesai berpelukan dengan suamiku.
“Ayah, apa kabar? Sehat-sehat saja kan? Bagaimana keadaan Ibu di Amerika..?” balasku.
“Oh…Ibu baik-baik saja. Beliau nggak bisa ikut, karena kakinya agak sakit, mungkin keseleo….”
“Ayo kita ke rumah”, kata suamiku kemudian.
Sejak adanya ayah di rumah, ada perubahan yang cukup berarti dalam kehidupan kami. Sekarang suasana di rumah lebih hangat, penuh canda dan gelak tawa. Ayah mertuaku orangnya memang pandai membawa diri, pandai mengambil hati orang. Dengan adanya ayah mertua, suamiku jadi lebih betah di rumah. Ngobrol bersama, jalan-jalan bersama.
Akan tetapi pada hari-hari tertentu, tetap saja pekerjaan kantornya menyita waktunya sampai malam, sehingga dia baru sampai kerumah di atas jam 10 malam. Hal ini biasanya pada hari-hari Senin setiap minggu. Sampai terjadilah peristiwa ini pada hari Senin ketiga sejak kedatangan ayah mertua dari Amerika.
Sore itu aku habis senam seperti biasanya. Memang sejak sebulan setelah melahirkan, aku mulai giat lagi bersenam kembali, karena memang sebelum hamil aku termasuk salah seorang yang amat giat melakukan senam dan itu biasanya kulakukan pada sore hari. Setelah merasa cukup kuat lagi, sekarang aku mulai bersenam lagi, disamping untuk melemaskan tubuh, juga kuharapkan tubuhku bisa cepat kembali ke bentuk semula yang langsing, karena memang postur tubuhku termasuk tinggi kurus akan tetapi padat.
Setelah mandi aku langsung makan dan kemudian meneteki si kecil di kamar. Mungkin karena badan terasa penat dan pegal sehabis senam, aku jadi mengantuk dan setelah si kecil kenyang dan tidur, aku menidurkan si kecil di box tempat tidurnya. Kemudian aku berbaring di tempat tidur. Saking sudah sangat mengantuk, tanpa terasa aku langsung tertidur. Bahkan aku pun lupa mengunci pintu kamar.
Setengah bermimpi, aku merasakan tubuhku begitu nyaman. Rasa penat dan pegal-pegal tadi seperti berangsur hilang… Bahkan aku merasakan tubuhku bereaksi aneh. Rasa nyaman sedikit demi sedikit berubah menjadi sesuatu yang membuatku melayang-layang. Aku seperti dibuai oleh hembusan angin semilir yang menerpa bagian-bagian peka di tubuhku.
Tanpa sadar aku menggeliat merasakan semua ini sambil melenguh perlahan. Dalam tidurku, aku bermimpi suamiku sedang membelai-belai tubuhku dan kerena memang telah cukup lama kami tidak berhubungan badan, sejak kandunganku berumur 8 bulan, yang berarti sudah hampir 3 bulan lamanya, maka terasa suamiku sangat agresif menjelajahi bagian-bagian sensitif dari sudut tubuhku.
Tiba-tiba aku sadar dari tidurku… tapi kayaknya mimpiku masih terus berlanjut. Malah belaian, sentuhan serta remasan suamiku ke tubuhku makin terasa nyata. Kemudian aku mengira ini perbuatan suamiku yang telah kembali dari kantor. Ketika aku membuka mataku, terlihat cahaya terang masih memancar masuk dari lobang angin dikamarku, yang berarti hari masih sore. Lagian ini kan hari Senin, seharusnya dia baru pulang agak malam, jadi siapa ini yang sedang mencumbuku…
Aku segera terbangun dan membuka mataku lebar-lebar. Hampir saja aku menjerit sekuat tenaga begitu melihat orang yang sedang menggeluti tubuhku. Ternyata… dia adalah mertuaku sendiri. Melihat aku terbangun, mertuaku sambil tersenyum, terus saja melanjutkan kegiatannya menciumi betisku. Sementara dasterku sudah terangkat tinggi-tinggi hingga memperlihatkan seluruh pahaku yang putih mulus.
“Yah…!! Stop….jangan…. Yaaahhhh…!!?” jeritku dengan suara tertahan karena takut terdengar oleh Si Inah pembantuku.
“Nov, maafkan Bapak…. Kamu jangan marah seperti itu dong, sayang….!!” Ia malah berkata seperti itu, bukannya malu didamprat olehku.
“Ayah nggak boleh begitu, cepat keluar, saya mohon….!!”, pintaku menghiba, karena kulihat tatapan mata mertuaku demikian liar sambil tangannya tak berhenti menggerayang ke sekujur tubuhku. Aku mencoba menggeliat bangun dan buru-buru menurunkan daster untuk menutupi pahaku dan beringsut-ingsut menjauhinya dan mepet ke ujung ranjang. Akan tetapi mertuaku makin mendesak maju menghampiriku dan duduk persis di sampingku. Tubuhnya mepet kepadaku. Aku semakin ketakutan.
“Nov… Kamu nggak kasihan melihat Bapak seperti ini? Ayolah, Bapak kan sudah lama merindukan untuk bisa menikmati badan Novi yang langsing padat ini….!!!!”, desaknya.
“Jangan berbicara begitu. Ingat Yah… aku kan menantumu…. istri Toni anakmu?”, jawabku mencoba menyadarinya.
“Jangan menyebut-nyebut si Toni saat ini, Bapak tahu Toni belum lagi menggauli nak Novi, sejak nak Novi habis melahirkan… Benar-benar keterlaluan tu anak….!!, lanjutnya.
Rupanya entah dengan cara bagaimana dia bisa memancing hubungan kita suami istri dari Toni. Ooooh…. benar-benar bodoh si Toni, batinku, nggak tahu kelakuan Bapaknya.
Mertuaku sambil terus mendesakku berkata bahwa ia telah berhubungan dengan banyak wanita lain selain ibu mertua dan dia tak pernah mendapatkan wanita yang mempunyai tubuh yang semenarik seperti tubuhku ini. Aku setengah tak percaya mendengar omongannya. Ia hanya mencoba merayuku dengan rayuan murahan dan menganggap aku akan merasa tersanjung.
Aku mencoba menghindar… tapi sudah tidak ada lagi ruang gerak bagiku di sudut tempat tidur. Ketika kutatap wajahnya, aku melihat mimik mukanya yang nampaknya makin hitam karena telah dipenuhi nafsu birahi. Aku mulai berpikir bagaimana caranya untuk menurunkan hasrat birahi mertuaku yang kelihatan sudah menggebu-gebu. Melihat caranya, aku sadar mertuaku akan berbuat apa pun agar maksudnya kesampaian.
Kemudian terlintas dalam pikiranku untuk mengocok kemaluannya saja, sehingga nafsunya bisa tersalurkan tanpa harus memperkosa aku. Akhirnya dengan hati-hati kutawarkan hal itu kepadanya.
“Yahh… biar Novi mengocok Ayah saja ya… karena Novi nggak mau ayah menyetubuhi Novi… Gimana…?”
Mertuaku diam dan tampak berpikir sejenak. Raut mukanya kelihatan sedikit kecewa namun bercampur sedikit lega karena aku masih mau bernegosiasi.
“Baiklah..”, kata mertuaku seakan tidak punya pilihan lain karena aku ngotot tak akan memberikan apa yang dimintanya.
Mungkin inilah kesalahanku. Aku terlalu yakin bahwa jalan keluar ini akan meredam keganasannya. Kupikir biasanya lelaki kalau sudah tersalurkan pasti akan surut nafsunya untuk kemudian tertidur. Aku lalu menarik celana pendeknya.
Ugh! Sialan, ternyata dia sudah tidak memakai celana dalam lagi. Begitu celananya kutarik, batangnya langsung melonjak berdiri seperti ada pernya. Aku sangat kaget dan terkesima melihat batang kemaluan mertuaku itu….
Oooohhhh…… benar-benar panjang dan besar. Jauh lebih besar daripada punya Toni suamiku. Mana hitam lagi, dengan kepalanya yang mengkilap bulat besar sangat tegang berdiri dengan gagah perkasa, padahal usianya sudah tidak muda lagi.
Tanganku bergerak canggung. Bagaimananpun baru kali ini aku memegang kontol orang selain milik suamiku, mana sangat besar lagi sehingga hampir tak bisa muat dalam tanganku. Perlahan-lahan tanganku menggenggam batangnya. Kudengar lenguhan nikmat keluar dari mulutnya seraya menyebut namaku.
“Ooooohhh…..sssshhhh…..Noviii…eee..eeenaaak… betulll..!!!” Aku mendongak melirik kepadanya. Nampak wajah mertuaku meringis menahan remasan lembut tanganku pada batangnya.
Aku mulai bergerak turun naik menyusuri batangnya yang besar panjang dan teramat keras itu. Sekali-sekali ujung telunjukku mengusap moncongnya yang sudah licin oleh cairan yang meleleh dari liangnya. Kudengar mertuaku kembali melenguh merasakan ngilu akibat usapanku. Aku tahu dia sudah sangat bernafsu sekali dan mungkin dalam beberapa kali kocokan ia akan menyemburkan air maninya. Sebentar lagi tentu akan segera selesai sudah, pikirku mulai tenang.
Dua menit, tiga… sampai lima menit berikutnya mertuaku masih bertahan meski kocokanku sudah semakin cepat. Kurasakan tangan mertuaku menggerayangi ke arah dadaku. Aku kembali mengingatkan agar jangan berbuat macam-macam.
“Nggak apa-apa …..biar cepet keluar..”, kata mertuaku memberi alasan.
Aku tidak mengiyakan dan juga tidak menepisnya karena kupikir ada benarnya juga. Biar cepat selesai, kataku dalam hati. Mertuaku tersenyum melihatku tidak melarangnya lagi. Ia dengan lembut dan hati-hati mulai meremas-remas kedua payudara di balik dasterku. Aku memang tidak mengenakan kutang kerena habis menyusui si kecil tadi. Jadi remasan tangan mertua langsung terasa karena kain daster itu sangat tipis.
Sebagai wanita normal, aku merasakan kenikmatan juga atas remasan ini. Apalagi tanganku masih menggenggam batangnya dengan erat, setidaknya aku mulai terpengaruh oleh keadaan ini. Meski dalam hati aku sudah bertekad untuk menahan diri dan melakukan semua ini demi kebaikan diriku juga. Karena tentunya setelah ini selesai dia tidak akan berbuat lebih jauh lagi padaku.
“Novi sayang.., buka ya? Sedikit aja..”, pinta mertuaku kemudian.
“Jangan Yah. Tadi kan sudah janji nggak akan macam-macam..”, ujarku mengingatkan.
“Sedikit aja. Ya?” desaknya lagi seraya menggeser tali daster dari pundakku sehingga bagian atas tubuhku terbuka. Aku jadi gamang dan serba salah. Sementara bagian dada hingga ke pinggang sudah telanjang. Nafas mertuaku semakin memburu kencang melihatku setengah telanjang.
“Oh.., Novii kamu benar-benar cantik sekali….!!!”, pujinya sambil memilin-milin dengan hati-hati puting susuku, yang mulai basah dengan air susu. Aku terperangah. Situasi sudah mulai mengarah pada hal yang tidak kuinginkan.
Aku harus bertindak cepat. Tanpa pikir panjang, langsung kumasukkan batang kemaluan mertuaku ke dalam mulutku dan mengulumnya sebisa mungkin agar ia cepat-cepat selesai dan tidak berlanjut lebih jauh lagi. Aku sudah tidak mempedulikan perbuatan mertuaku pada tubuhku. Aku biarkan tangannya dengan leluasa menggerayang ke sekujur tubuhku, bahkan ketika kurasakan tangannya mulai mengelus-elus bagian kemaluanku pun aku tak berusaha mencegahnya. Aku lebih berkonsentrasi untuk segera menyelesaikan semua ini secepatnya. Jilatan dan kulumanku pada batang kontolnya semakin mengganas sampai-sampai mertuaku terengah-engah merasakan kelihaian permainan mulutku.
Aku tambah bersemangat dan semakin yakin dengan kemampuanku untuk membuatnya segera selesai. Keyakinanku ini ternyata berakibat fatal bagiku. Sudah hampir setengah jam, aku belum melihat tanda-tanda apapun dari mertuaku. Aku jadi penasaran, sekaligus merasa tertantang. Suamiku pun yang sudah terbiasa denganku, bila sudah kukeluarkan kemampuan seperti ini pasti takkan bertahan lama. Tapi kenapa dengan mertuaku ini? Apa ia memakai obat kuat?
Saking penasarannya, aku jadi kurang memperhatikan perbuatan mertuaku padaku. Entah sejak kapan daster tidurku sudah terlepas dari tubuhku. Aku baru sadar ketika mertuaku berusaha menarik celana dalamku dan itu pun terlambat!
Begitu menengok ke bawah, celana itu baru saja terlepas dari ujung kakiku. Aku sudah telanjang bulat! Ya ampun, kenapa kubiarkan semua ini terjadi. Aku menyesal kenapa memulainya. Ternyata kejadiannya tidak seperti yang kurencanakan. Aku terlalu sombong dengan keyakinanku. Kini semuanya sudah terlambat. Berantakan semuanya! Pekikku dalam hati penuh penyesalan. Situasi semakin tak terkendali. Lagi-lagi aku kecolongan.
Mertuaku dengan lihainya dan tanpa kusadari sudah membalikkan tubuhku hingga berlawanan dengan posisi tubuhnya. Kepalaku berada di bawahnya sementara kepalanya berada di bawahku. Kami sudah berada dalam posisi enam sembilan! Tak lama kemudian kurasakan sentuhan lembut di seputar selangkanganku. Tubuhku langsung bereaksi dan tanpa sadar aku menjerit lirih.
Suka tidak suka, mau tidak mau, kurasakan kenikmatan cumbuan mertuaku di sekitar itu. Akh luar biasa! Aku menjerit dalam hati sambil menyesali diri. Aku marah pada diriku sendiri, terutama pada tubuhku sendiri yang sudah tidak mau mengikuti perintah pikiran sehatku.
Tubuhku meliuk-liuk mengikuti irama permainan lidah mertuaku. Kedua pahaku mengempit kepalanya seolah ingin membenamkan wajah itu ke dalam selangkanganku. Kuakui ia memang pandai membuat birahiku memuncak. Kini aku sudah lupa dengan siasat semula. Aku sudah terbawa arus. Aku malah ingin mengimbangi permainannya. Mulutku bermain dengan lincah. Batangnya kukempit dengan buah dadaku yang membusung penuh dan kenyal. Maklum, masih menyusui.
Sementara kontol itu bergerak di antara buah dadaku, mulutku tak pernah lepas mengulumnya. Tanpa kusadari kami saling mencumbu bagian vital masing-masing selama lima belas menit. Aku semakin yakin kalau mertuaku memakai obat kuat. Ia sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda akan keluar, sementara aku sudah mulai merasakan desiran-desiran kuat bergerak cepat ke arah pusat kewanitaanku. Jilatan dan hisapan mulut mertuaku benar-benar membuatku tak berdaya.
Aku semakin tak terkendali. Pinggulku meliuk-liuk liar. Tubuhku mengejang, seluruh aliran darah serasa terhenti dan aku tak kuasa untuk menahan desakan kuat gelombang lahar panas yang mengalir begitu cepat.
“Oooohhhhh…….aaaa….aaaaa……aaauugghhhhhhhhh..!!!!!” aku menjerit lirih begitu aliran itu mendobrak pertahananku. Kurasakan cairan kewanitaanku menyembur tak tertahankan. Tubuhku menggelepar seperti ikan terlempar ke darat merasakan kenikmatan ini. Aku terkulai lemas sementara batang kontol mertuaku masih berada dalam genggamanku dan masih mengacung dengan gagahnya, bahkan terasa makin kencang saja.
Aku mengeluh karena tak punya pilihan lain. Sudah kepalang basah. Aku sudah tidak mempunyai cukup tenaga lagi untuk mempertahankan kehormatanku, aku hanya tergolek lemah tak berdaya saat mertuaku mulai menindih tubuhku. Dengan lembut ia mengusap wajahku dan berkata betapa cantiknya aku sekarang ini.
“Noviii…..kau sungguh cantik. Tubuhmu indah dan langsing tapi padat berisi.., mmpphh..!!!”, katanya sambil menciumi bibirku, mencoba membuka bibirku dengan lidahnya.
Aku seakan terpesona oleh pujiannya. Cumbu rayunya begitu menggairahkanku. Aku diperlakukan bagai sebuah porselen yang mudah pecah. Begitu lembut dan hati-hati. Hatiku entah mengapa semakin melambung tinggi mendengar semua kekagumannya terhadap tubuhku.
Wajahku yang cantik, tubuhku yang indah dan berisi. Payudaraku yang membusung penuh dan menggantung indah di dada. Permukaan agak menggembung, pinggul yang membulat padat berisi menyambung dengan buah pantatku yang `bahenol’. Diwajah mertuaku kulihat memperlihatkan ekspresi kekaguman yang tak terhingga saat matanya menatap nanar ke arah lembah bukit di sekitar selangkanganku yang baru numbuh bulu-bulu hitam pendek, dengan warna kultiku yang putih mulus.
Kurasakan tangannya mengelus paha bagian dalam. Aku mendesis dan tanpa sadar membuka kedua kakiku yang tadinya merapat.
Mertuaku menempatkan diri di antara kedua kakiku yang terbuka lebar. Kurasakan kepala kontolnya yang besar ditempelkan pada bibir kemaluanku. Digesek-gesek, mulai dari atas sampai ke bawah. Naik turun. Aku merasa ngilu bercampur geli dan nikmat. Cairan yang masih tersisa di sekitar itu membuat gesekannya semakin lancar karena licin.
Aku terengah-engah merasakannya. Kelihatannya ia sengaja melakukan itu. Apalagi saat moncong kontolnya itu menggesek-gesek kelentitku yang sudah menegang. Mertuaku menatap tajam melihat reaksiku. Aku balas menatap seolah memintanya untuk segera memasuki diriku secepatnya.
Ia tahu persis apa yang kurasakan saat itu. Namun kelihatannya ia ingin melihatku menderita oleh siksaan nafsuku sendiri. Kuakui memang aku sudah tak tahan untuk segera menikmati batang kontolnya dalam memekku. Aku ingin segera membuatnya `KO’. Terus terang aku sangat penasaran dengan keperkasaannya. Kuingin buktikan bahwa aku bisa membuatnya cepat-cepat mencapai puncak kenikmatan.
“Yah..?” panggilku menghiba.
“Apa sayang…”, jawabnya seraya tersenyum melihatku tersiksa.
“Cepetan..yaaahhhhh…….!!!”
“Sabar sayang. Kamu ingin Bapak berbuat apa…….?” tanyanya pura-pura tak mengerti.
Aku tak menjawab. Tentu saja aku malu mengatakannya secara terbuka apa keinginanku saat itu. Namun mertuaku sepertinya ingin mendengarnya langsung dari bibirku. Ia sengaja mengulur-ulur dengan hanya menggesek-gesekan kontolnya. Sementara aku benar-benar sudah tak tahan lagi mengekang birahiku.
“Novii….iiii… iiiingiiinnnn aaa…aaayahhhh….se….se.. seeegeeeraaaa ma… masukin..!!!”, kataku terbata-bata dengan terpaksa.
Aku sebenarnya sangat malu mengatakan ini. Aku yang tadi begitu ngotot tidak akan memberikan tubuhku padanya, kini malah meminta-minta. Perempuan macam apa aku ini!?
“Apanya yang dimasukin…….!!”, tanyanya lagi seperti mengejek.
“Aaaaaaggggkkkkkhhhhh…..ya…yaaaahhhh. Ja…..ja….Jaaangan siksa Noviiii..!!!”
“Bapak tidak bermaksud menyiksa kamu sayang……!!”
“Oooooohhhhhh.., Yaaaahhhh… Noviii ingin dimasukin kontol ayah ke dalam memek Novi…… uugghhhh..!!!”
Aku kali ini sudah tak malu-malu lagi mengatakannya dengan vulgar saking tak tahannya menanggung gelombang birahi yang menggebu-gebu. Aku merasa seperti wanita jalang yang haus seks. Aku hampir tak percaya mendengar ucapan itu keluar dari bibirku sendiri. Tapi apa mau dikata, memang aku sangat menginginkannya segera.
“Baiklah sayang. Tapi pelan-pelan ya”, kata mertuaku dengan penuh kemenangan telah berhasil menaklukan diriku.
“Uugghh..”, aku melenguh merasakan desakan batang kontolnya yang besar itu. Aku menunggu cukup lama gerakan kontol mertuaku memasuki diriku. Serasa tak sampai-sampai. Selain besar, kontol mertuaku sangat panjang juga. Aku sampai menahan nafas saat batangnya terasa mentok di dalam. Rasanya sampai ke ulu hati. Aku baru bernafas lega ketika seluruh batangnya amblas di dalam.
Mertuaku mulai menggerakkan pinggulnya perlahan-lahan. Satu, dua dan tiga tusukan mulai berjalan lancar. Semakin membanjirnya cairan dalam liang memekku membuat kontol mertuaku keluar masuk dengan lancarnya. Aku mengimbangi dengan gerakan pinggulku. Meliuk perlahan. Naik turun mengikuti irama tusukannya.
Gerakan kami semakin lama semakin meningkat cepat dan bertambah liar. Gerakanku sudah tidak beraturan karena yang penting bagiku tusukan itu mencapai bagian-bagian peka di dalam relung kewanitaanku. Dia tahu persis apa yang kuinginkan.
Ia bisa mengarahkan batangnya dengan tepat ke sasaran. Aku bagaikan berada di awang-awang merasakan kenikmatan yang luar biasa ini. Batang mertuaku menjejal penuh seluruh isi liangku, tak ada sedikitpun ruang yang tersisa hingga gesekan batang itu sangat terasa di seluruh dinding vaginaku.
“Aduuhh.. auuffhh.., nngghh..!!!”, aku merintih, melenguh dan mengerang merasakan semua kenikmatan ini.
Kembali aku mengakui keperkasaan dan kelihaian mertuaku di atas ranjang. Ia begitu hebat, jantan dan entah apalagi sebutan yang pantas kuberikan padanya. Toni suamiku tidak ada apa-apanya dibandingkan ayahnya yang bejat ini. Yang pasti aku merasakan kepuasan tak terhingga bercinta dengannya meski kusadari perbuatan ini sangat terlarang dan akan mengakibatkan permasalahan besar nantinya. Tetapi saat itu aku sudah tak perduli dan takkan menyesali kenikmatan yang kualami.
Mertuaku bergerak semakin cepat. Kontolnya bertubi-tubi menusuk daerah-daerah sensitive. Aku meregang tak kuasa menahan desiran-desiran yang mulai berdatangan seperti gelombang mendobrak pertahananku. Sementara mertuaku dengan gagahnya masih mengayunkan pinggulnya naik turun, ke kiri dan ke kanan. Eranganku semakin keras terdengar seiring dengan gelombang dahsyat yang semakin mendekati puncaknya.
Melihat reaksiku, mertuaku mempercepat gerakannya. Batang kontolnya yang besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepatnya seakan tak memperdulikan liangku yang sempit itu akan terkoyak akibatnya. Kulihat tubuh mertuaku sudah basah bermandikan keringat. Aku pun demikian. Tubuhku yang berkeringat nampak mengkilat terkena sinar lampu kamar.
Aku mencoba meraih tubuh mertuaku untuk mendekapnya. Dan disaat-saat kritis, aku berhasil memeluknya dengan erat. Kurengkuh seluruh tubuhnya sehingga menindih tubuhku dengan erat. Kurasakan tonjolan otot-ototnya yang masih keras dan pejal di sekujur tubuhku. Kubenamkan wajahku di samping bahunya. Pinggul kuangkat tinggi-tinggi sementara kedua tanganku menggapai buah pantatnya dan menarik kuat-kuat.
Kurasakan semburan demi semburan memancar kencang dari dalam diriku. Aku meregang seperti ayam yang baru dipotong. Tubuhku mengejang-ngejang di atas puncak kenikmatan yang kualami untuk kedua kalinya saat itu.
“Yaaaah.., ooooohhhhhhh.., Yaaaahhhhh..eeee…eeennnaaaakkkkkkkk…!!!”
Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku saking dahsyatnya kenikmatan yang kualami bersamanya.
“Sayang nikmatilah semua ini. Bapak ingin kamu dapat merasakan kepuasan yang sesungguhnya belum pernah kamu alami….”, bisik ayah dengan mesranya.
“Bapak sayang padamu, Bapak cinta padamu…. Bapak ingin melampiaskan kerinduan yang menyesak selama ini..”, lanjutnya tak henti-henti membisikan untaian kata-kata indah yang terdengar begitu romantis.
Aku mendengarnya dengan perasaan tak menentu. Kenapa ini datangnya dari lelaki yang bukan semestinya kusayangi. Mengapa kenikmatan ini kualami bersama mertuaku sendiri, bukan dari anaknya yang menjadi suamiku…????. Tanpa terasa air mata menitik jatuh ke pipi. Mertuaku terkejut melihat ini. Ia nampak begitu khawatir melihatku menangis.
“Novi sayang, kenapa menangis?” bisiknya buru-buru.
“Maafkan Bapak kalau telah membuatmu menderita..”, lanjutnya seraya memeluk dan mengelus-elus rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku semakin sedih merasakan ini. Tetapi ini bukan hanya salahnya. Aku pun berandil besar dalam kesalahan ini. Aku tidak bisa menyalahkannya saja. Aku harus jujur dan adil menyikapinya.
“Bapak tidak salah. Novi yang salah..”, kataku kemudian.
“Tidak sayang. Bapak yang salah…”, katanya besikeras.
“Kita, Yah. Kita sama-sama salah”, kataku sekaligus memintanya untuk tidak memperdebatkan masalah ini lagi.
“Terima kasih sayang”, kata mertuaku seraya menciumi wajah dan bibirku.
Kurasakan ciumannya di bibirku berhasil membangkitkan kembali gairahku. Aku masih penasaran dengannya. Sampai saat ini mertuaku belum juga mencapai puncaknya. Aku seperti mempunyai utang yang belum terbayar. Kali ini aku bertekad keras untuk membuatnya mengalami kenikmatan seperti apa yang telah ia berikan kepadaku.
Aku tak sadar kenapa diriku jadi begitu antusias untuk melakukannya dengan sepenuh hati. Biarlah terjadi seperti ini, toh mertuaku tidak akan selamanya berada di sini. Ia harus pulang ke Amerika. Aku berjanji pada diriku sendiri, ini merupakan yang terakhir kalinya.
Timbulnya pikiran ini membuatku semakin bergairah. Apalagi sejak tadi mertuaku terus-terusan menggerakan kontolnya di dalam memekku. Tiba-tiba saja aku jadi beringas. Kudorong tubuh mertuaku hingga terlentang. Aku langsung menindihnya dan menicumi wajah, bibir dan sekujur tubuhnya.
Kembali kuselomoti batang kontolnya yang tegak bagai tiang pancang beton itu. Lidahku menjilat-jilat, mulutku mengemut-emut. Tanganku mengocok-ngocok batangnya.
Kulirik kewajah mertuaku kelihatannya menyukai perubahanku ini. Belum sempat ia akan mengucapkan sesuatu, aku langsung berjongkok dengan kedua kaki bertumpu pada lutut dan masing-masing berada di samping kiri dan kanan tubuh mertuaku. Selangkanganku berada persis di atas batangnya.
“Akh sayang!” pekik mertuaku tertahan ketika batangnya kubimbing memasuki liang memekku. Tubuhku turun perlahan-lahan, menelan habis seluruh batangnya. Selanjutnya aku bergerak seperti sedang menunggang kuda. Tubuhku melonjak-lonjak seperti kuda binal yang sedang birahi.
Aku tak ubahnya seperti pelacur yang sedang memberikan kepuasan kepada hidung belang. Tetapi aku tak perduli. Aku terus berpacu. Pinggulku bergerak turun naik, sambil sekali-sekali meliuk seperti ular. Gerakan pinggulku persis seperti penyanyi dangdut dengan gaya ngebor, ngecor, patah-patah, bergetar dan entah gaya apalagi. Pokoknya malam itu aku mengeluarkan semua jurus yang kumiliki dan khusus kupersembahkan kepada ayah mertuaku sendiri!
“Ooohh… oohhhh… oooouugghh.. Noviiiii.., luar biasa…..!!!” jerit mertuaku merasakan hebatnya permainanku.
Pinggulku mengaduk-aduk lincah, mengulek liar tanpa henti. Tangan mertuaku mencengkeram kedua buah dadaku, diremas dan dipilin-pilin, sehingga air susuku keluar jatuh membasahi dadanya.
Ia lalu bangkit setengah duduk. Wajahnya dibenamkan ke atas dadaku. Menjilat-jilat seluruh permukaan dadaku yang berlumuran air susuku dan akhirnya menciumi putting susuku. Menghisapnya kuat-kuat sambil meremas-remas menyedot air susuku sebanyak-banyaknya.
Kami berdua saling berlomba memberi kepuasan. Kami tidak lagi merasakan dinginnya udara meski kamarku menggunakan AC. Tubuh kami bersimbah peluh, membuat tubuh kami jadi lengket satu sama lain. Aku berkutat mengaduk-aduk pinggulku. Mertuaku menggoyangkan pantatnya. Kurasakan tusukan kontolnya semakin cepat seiring dengan liukan pinggulku yang tak kalah cepatnya. Permain kami semakin meningkat dahsyat.
Sprei ranjangku sudah tak karuan bentuknya, selimut dan bantal serta guling terlempar berserakan di lantai akibat pergulatan kami yang bertambah liar dan tak terkendali. Kurasakan mertuaku mulai memperlihatkan tanda-tanda.
Aku semakin bersemangat memacu pinggulku untuk bergoyang. Mungkin goyangan pinggulku akan membuat iri para penyanyi dangdut saat ini. Tak selang beberapa detik kemudian, aku pun merasakan desakan yang sama. Aku tak ingin terkalahkan kali ini. Kuingin ia pun merasakannya. Tekadku semakin kuat. Aku terus memacu sambil menjerit-jerit histeris. Aku sudah tak perduli suaraku akan terdengar kemana-mana. Kali ini aku harus menang! Upayaku ternyata tidak percuma.
Kurasakan tubuh mertuaku mulai mengejang-ngejang. Ia mengerang panjang. Menggeram seperti harimau terluka. Aku pun merintih persis kuda betina binal yang sedang birahi.
“Eerrgghh.. ooooo….ooooooo…..oooooouugghhhhhh..!!!!” mertuaku berteriak panjang.
Tubuhnya menghentak-hentak liar. Tubuhku terbawa goncangannya. Aku memeluknya erat-erat agar jangan sampai terpental oleh goncangannya. Mendadak aku merasakan semburan dahsyat menyirami seluruh relung vaginaku. Semprotannya begitu kuat dan banyak membanjiri liangku. Akupun rasanya tidak kuat lagi menahan desakan dalam diriku. Sambil mendesakan pinggulku kuat-kuat, aku berteriak panjang saat mencapai puncak kenikmatan berbarengan dengan ayah mertuaku.
Tubuh kami bergulingan di atas ranjang sambil berpelukan erat. Saking dahsyatnya, tubuh kami terjatuh dari ranjang. Untunglah ranjang itu tidak terlalu tinggi dan permukaan lantainya tertutup permadani tebal yang empuk sehingga kami tidak sampai terkilir atau terluka.
“Oooooogggghhhhhhh.. yaahh..,nik….nikkkk nikmaatthh…. yaaahhhh..!!!!” jeritku tak tertahankan.
Tulang-tulangku serasa lolos dari persendiannya. Tubuhku lunglai, lemas tak bertenaga terkuras habis dalam pergulatan yang ternyata memakan waktu lebih dari 2 jam!
Gila! Jeritku dalam hati. Belum pernah rasanya aku bercinta sampai sedemikian lamanya. Aku hanya bisa memeluknya menikmati sisa-sisa kepuasan. Perasaanku tiba-tiba terusik.
Sepertinya aku mendengar sesuatu dari luar pintu kamar, kayaknya si Inah…. Karena mendengar suara ribut-ribut dari kamar, rupanya ia datang untuk mengintip…. tapi aku sudah terlalu lelah untuk memperhatikannya dan akhirnya tertidur dalam pelukan mertuaku, melupakan semua konsekuensi dari peristiwa di sore ini di kemudian hari…..
TAMAT
6/26/2011
Om dari Bali
Sejak aku announcement crita2ku di salah satu situs, aku sering mendapat pm dari pembacaku, ada juga sih dari prempuan, tapi mayoritas mah dari lelaki, biasa de, isinya ngajakin ktemuan dan ujung2nya maen. enak di mreka gak enak di aku ya. kalo dah sering pm2an dan isinya gak ngajakin maen aja, aku baru ngasi imelku dan chatting dilanjut ke imel2an. Salah satu temen chattingku yang sudah brubah menjadi imel2an berasal dari Singaraja, di utara pulau Bali. Dia selalu membahasakan dirinya om, umurnya 30an lah. Kita ngobrolnya dah macem2, mula2 mah sekitar urusan slangkanganlah, kemudian ditambah masalah2 kehidupan. Dia punya bisnis yang cukup maju di Singaraja. Apa bisnisnya gak relevanlah diomongin disini. Dia sering ngundang aku maen ke Singaraja. Dia bilang Bali yang diexpose selalu pantai2 diwilayah slatan, padahal diutara juga banyak tempat wisata dan pantai yang eksotis juga. Dia seorang duda, dia suka cerita suka banget sama cewek2 abg, yang menjadi pelampiasan napsunya selama ini. Biasa deh, lelaki seumuran dia pasti suka ama abg yang montok dan buluan, dia bilang suka maen ampe 3kali dan ceweknya ampe lemes waktu dia udahan. Aku suka amative aja ngebaca imelnya yang nyeritain pengalamannya maen am abg. Waktu aku nanya ukuran batangnya, dia gak mo ngasi tau, malah nanya balik :”Napa Nes, kamu pengen ngerasain punyaku yah”. Aku suka sengaja ngegganggu dia sembari critain pengalamanku kalo lagi maen, aku bilang aku suka banget ama batang yang gede, panjang dan keras banget ngacengnya, dan yang lebih penting lagi yang maennya kuat seperti dia sampe 3 kali dan bikin ceweknya terkapar saking lemesnya. Itu imel2an diawal, blakangan seh lebih banyak curhat jadinya, lebih sering sih aku yang curhat kedianya karena dia jauh lebih tua dari aku. Blakangan ini, aku sering curhat tentang masalah kehidupan yang sedang aku hadapi dan aku bingung mengatasinya. Dia merespons dengan usulannya sehingga imel2an antara aku dan dia makin intens aja.
Sampe akhirnya, dia bilang ada urusan mo ke Jakarta, dia ngajak ketemuan. dia ngasi no hpnya, akupun demikian. Dah gitu, dia ilang dari peredaran, aku sampe lupa dia mo ke Jakarta, karena beberapa ari gak ada imel dari dianya. Sampe suatu pagi aku dapet sms di hp ku, “Nes, aku nginep di auberge S (ini auberge yang tadinya auberge jaringan internasional, kemudian dimanage sendiri ama yan punya, dah pede kali ya). aku disuru nyusul kesana, “bawa bikini ya Nes, aku sekarang lagi di kolem renang nih”. Karena aku juga lowong segera aku membawa beberapa potong daleman, bikini dan baju ganti, dan mluncur ke auberge S yang ada dibilangan Senayan. Ketika sampe di auberge itu, aku ditanya aegis mo ketemu siapa di kolam renang, segera aku alarm si om, setelah nyambung aku berikan ke security, sehingga akhirnya aku diijinkan untuk menuju ke kolam renang. Karena hari itu hari kerja, di kolam renang hanya ada beberapa bule sedang berbaring berjemur, dipojokan kulihat seorang lelaki yang jelas sekali bukan bule, segera aku nyamperin dianya. Dia tersenyum melihatku, “Ines ya, pa kabar nih”. Aku menjabat tangannya. Ganteng juga dia. “Aku om Frans, temen chatting kamu”. Dia hanya memakai celana pendek gombrong saja, duduk didipan dibawah payung besar. Matanya jelalatan menyelusuri bodiku, memang aku pake tanktop ketat dan jins ketat sehingga semua yang menonjol dibodiku tercetak dengan jelas. Dia sampe nelen ludah memandangiku. “Mo sarapan Nes”, dia menawariku. “Bole om, kebetulan blon sarapan neh”. “Kamu mau american, oriental atawa indonesian breakfast”. “Indonesian bf mah dah tiap ari, americam bf pastinya roti doangan, kalo gitu oriental bf de om”. “emangnya kamu tiap pagi bf di hotel?”. “Bukan om, maksudnya kan tiap pagi ines bf ala indonesia kan. Kalo pagi gini sepi ya om kolam renangnya”. “Ines mo brenang? Bawa bikini gak?” “Bawa om, ines tukeran dulu ya, dimana tempatnya”. Dia menujuk ke arah tempat battery dan ganti pakaian. Aku segera menuju kesana, dan mengganti pakeanku dengan bikini yang kau bawa. Aku pake bikini yang minim sekali, dengan ikatan untuk bra dan cdnya, bodiku makin terkespose kemontokannya dengan bikini seperti itu. aku segera keluar dari ruang ganti dan menuju ketempatnya. Matanya makin berbinar memandangiku. “Wah Nes, kamu seksi sekali pake bikin. Tadi pake pakean lengkap aja dah merangsang, sekarang…” “Napa om ngaceng ya ngeliat ines”, godaku. “So pasti lah Nes, om kan lelaki normal, backbone ada lelaki yang accustomed yang gak ngaceng liat kamu kaya gini. Dah makan dulu sana, setelah itu baru kita ngobrolin masalahmu”. Aku segera menyantap bubur ayam yang masih ngepul2. Setelah selesai, teh manis anget pun aku sruput. Kemudian kami ngobrol naglor ngidul, tapi dia gak ngajakin aku brenang. Rupanya dia cuma pengen ngeliat bodilu ok gak, makanya dia minta aku pake bikin, lagian juga gak apa kan di kolam renang pake bikini, masak mo pake sarung kebaya di kolam renang. Akhirnya, “Nes, kita terusin ngobrolnya dikamar om yuk. Dah mulai panas nih”. “Panas apanya om”, godaku sembari senyum. “Udaranya, mataharinya dah naik tinggi nih”. “Om juga dah mo naik yach”. “Tau aja kamu”. Aku memakai pakean luarku tanpa melepas bikininya. Diapun mengenakan kemejanya, menandatangai pesanan makanan dan minuman dan menggandengku masuk ke lobi hotel. Dia memijit lantai kamarnya dan lift pun meluncur keatas.
Di kamarnya aku duduk diranjangnya yang masih berantakan karena belon dirapikan oleh abode keeping. Dia menggantung don’t afflict assurance di tombol pintu luar. “Bekas gelut semalem ya om, backbone ceweknya”. “Dah balik tadi pagi Nes”. “Napa gak disuru nemenin om aja selama disini”. “Kan om pengen ktemu ines, ngapain lagi ajak yang laen”. “Nikmat gak om semalem”. “Lumayan lah”. “Om maen brapa kali”. “2 kali Nes, semalem skali bangun tidur skali”. “Wah ines gak kebagian apa2 dong”. “Don’t anguish Nes, backbone om tinggi skali kok”. “Minum obat ya om”. “enggak kok cuma supplemen khusus aja”. Dia mengambil bendable alcohol dari lemari es dan diberikannya ke aku beserta gelasnya. Aku menuangkan bendable alcohol ke gelas dan duduk di sofa. “Nes buka lagi bell pakean luanya, om kan mo menikmati memandangi bodi montok kamu”. Sembari tersenyum aku melepas pakean luarku, dan kembali duduk di daybed berbikini ria. Diapun melepas kemejanya dan duduk disebelahku. “Om tajir ya, auberge ini kan mahal ratenya om?” “Kan om bebanin ke kantor biayanya. Ya kalo ada napa gak dinikmati sih”. Dia memelukku dengan meletakan tangannya dipundakku. “nes kamu merangsang sekali deh”.
Tiba-tiba dia langsung memagut bibirku, “mmmmhhhhh….” Dia langsung mendekapku erat. Ciumannya sangat liar. Dia melumat bibirku dan lidahnya menyapu langit-langit ku. aku menyambutnya dengan bernapsu juga. Kami melakukan ciuman yang sangat panas. Dia melepas ciumannya lalu mulai menjilati telingaku dan menyapu leherku, aku menggelinjang keenakan. Kuamati wajahnya, dia pun melihatku dengan tatapan penuh nafsu. Dia lalu menyandarkan aku didadanya yang bidang. Kedua tangannya menggapai kedua toketku dan merabanya pelan, sedangkan dia menciumi pundak dan leherku. Tangannya terus meraba toket ku lalu dia mulai meremas toket kananku pelan,sedangkan tangan kirinya masih terus meraba-raba toket kiri ku. “emmmhhh…ohhh…enak om…” Desahan ku itu tak membuatnya makin nafsu. Dia sangat pintar mengendalikan nafsuku. Kini, kedua tangannya meremasi kedua toketku. Kurasakan nafasnya makin cepat. Remasannya pun makin gemas. “Om…enak ..terus…emhhhh…” Aku mendesah menikmati remasannya. Puas meremas dari luar, tangannya menelusup ke balik bra ku, dirabanya kedua toket ku itu. “ngghhh…enakh…uh…terus yang…emmhhh…” Desahanku itu sekarang membuat nafsunya makin naik. Dia mulai meraba pentilku lalu dengan jempol dan telunjuknya,di pilinnya pentilku dengan gemas. “ngghhh…enak om…ooooooohhhhh….” Dia langsung meremas toketku dengan gemas. Nafasnya makin memburu, remasannya makin kasar. “ah..ahh..enak om…” desahku. Remasannya makin cheat dan setiap dia mencubit pentilku, nafsuku makin meledak-ledak dan naik tak terkendali.
Setelah puas meremasi toketku, langsung dibukanya celana gombrongnya. Batangannya yang besar itu sudah mengacung pada ukuran maksimalnya. “Diemut bell Nes…”katanya dengan penuh nafsu. Langsung saja ku isap batangannya yang besar itu. Ku kocok pelan batangnya yang tidak masuk dalam mulutku. Kuisap kuat batangannya sampai pipiku kempot, lalu kumaju mundurkan mulutku, sehingga batangannya dapat keluar-masuk mulutku. “oh..oh..enak Nes..udah pengalaman ya? ngisepnya jago” dia mendesah keenakan. Ku teruskan kuluman ku sambil sesekali kukocok batangannya dengan tangan kananku. Kurasakan batangannya itu sudah berkedut-kedut didalam mulutku. “ah..ah..yang..udah mau keluar nih..isep..ughhh..” Dia sudah ngecret. batangannya memuntahkan banyak cairan putih yang kental, langsung kuisap pejunya sampai habis. Kurasakan mulutku dipenuhi oleh pejunya yang keluar cukup banyak itu. Dia sepertinya sudah penasaran dengan mem3k ku. Langsung dilepasnya bra dan cd bikiniku. Ia langsung mengenyot toket kananku, dan meremasi toket kiri ku yang tak dikenyotnya. “slrrpp..slrrppp…” terdengar suara kenyotannya di toket kananku.Tampaknya Ia sangat gemas dengan toketku, ia mengenyot toketku sampai pipinya kempot. Remasannya juga makin liar. “emhhhh….om..terusin..enakh…ohhhhh…” aku mendesah keenakan. Setelah puas mengenyot toket kananku, ia menjilati pentil kananku lalu menjilati toket ku dan mulai berpindah ke toket kiri ku yang sudah tak lagi diremasinya. mula-mula ia memainkan pentilku dengan lidahnya, lalu mulai mengisap nya. Tangan kanannya meraba-raba toketku yang tak dikenyotnya lalu memilin pentilku. “nghhhh….enak om…eeeemmmmmhhhhhhhhh…” aku mendesah menahan nikmat yang tak terkira. Napsuku semakin naik tak terkendali dan semakin meledak-ledak. Setelah puas menyusu, dia langsung merebahkanku dikasur dan membuka lebar-lebar kakiku. Dijilatinya mem3kku sehingga aku merasaa geli dan menggelinjang keenakan. “ahhh…enak om..ummmhhh…” desahku keenakan. Puas menjilati mem3kku, ia langsung menggunakan jarinya dan dimasukkannya jari telunjuk dan jari tengahnya, lalu mulai dimaju-mundurkan dengan cepat seolah-olah batangannya yang menusuk mem3kku. “ah..ahh..ah,,,ahhhhh…om…. ooooooooohhhhhh…” Dia tak memperdulikan desahanku dan meneruskannya bahkan kini makin cepat. Setelah puas mengorek mem3kku, dia mencubiti it1lku, sehingga aku menggelinjang keenakan. Aku sampai ngos-ngosan melayaninya, padahal baru juga pemanasannya.
Tanpa memberi ku kesempatan mengatur nafas, dia langsung menusukkan batangannya kedalam mem3kku. batangannya yang besar itu agak susah menerobos mem3kku. “ssshhh…ummmhhhhhhh..om…ooooooooohhhhhhhh. . .” desahku keenakan. dia mendorong batangannya kuat-kuat dengan bantuan cairan pelumas yang sudah membanjiri mem3kku, batangan itu pun dapat menusuk mem3kku. dia mulai menggoyangkan pinggulnya. “uhh..uhhhhh..enak om..ooohhhh…” desahku lagi. dia sudah larut dalam nafsunya, sehingga ia langsung menggenjotku dengan cepat. Digoyangkan pinggulnya dengan cepat. Terdengar bunyi berdecak karena gesekkan batangannya dengan dengan dinding mem3kku, batangannya dapat dengan leluasa keluar-masuk mem3kku karena mem3kku kini sangat basah dibanjiri cairan pelumas. dia sangat gemas melihat toketku yang montok. Ia langsung memegang kedua toketku lalu mulai meremasnya dengan gemas. “ooooohhhhh…enak om…umhhh..” Aku mendesah karena keenakkan. dia terus menggenjotku dengan cepat, sedangkan kedua tangannya tak pernah berhenti meremasi kedua toket ku. Aku terus mendesah menahan nikmat yang tak terkira. “gimana nes, enak gak?” tanya dia dengan nafas yang memburu. “ummmhhhh…enak om…terus…oooohhhhhhh..” aku mendesah keenakan. dia semakin mempercepat goyangan pinggulnya dan tak pernah berhenti meremas kedua toketku. “ohh…om…enak..om…” desahku lagi. dia terus memacu goyangannya dan tak berhenti meremas toketku. Kurasakan ada sesuatu yang meledak-ledak dalam diriku, aku merasa akan mendapat orgasme ku sebentar lagi. “oh…ohh..oh..emmmhhhh..oooohhhhhh..om…bent ar lagi…uhhhh..ines…mau…keluar nih…ooohhhh…” desahku menahan nikmat. “Iya…om juga udah mau keluar…ugggghhhh…” dia meleguh panjang dan menahan batangannya menancap lebih dalam di mem3kku, bersamaan dengan itu pejunya kembali memenuhi mem3kku, diremasnya kuat-kuat kedua toketku. Tak berapa lama, aku menyusul orgasme nya. “oooooohhhhhhhhhhh….” aku meleguh panjang dan tubuhku menggelinjang, bersamaan dengan itu, cairan orgasme ku membanjiri mem3kku. Tubuhku dipenuhi oleh keringat, dinginnya AC menjadi tak terasa.
dia menarik batangannya dan mengatur nafas sebentar. Ia lalu mengganti posisi, kini ia rebah di kasurku. Aku tau ia ingin mencoba posisi wot. batangannya masih mengacung, hebat bener kasiat suplemen yang diminumnya dah ngecret masih ngaceng aja dengan kerasnya. Aku mulai mengatur posisiku, dia memegangi batangannya lalu dengan bantuannya, batangannya dengan mudah menerobos mem3kku, kali ini tidak sulit sperti pertama karena mem3kku sudah dibanjiri cairan pelumas yang cukup banyak. Aku mulai menggoyangkan pinggulku perlahan. Kedua tangan dia kembali meraba toketku lalu mulai meremasinya pelan, dia berusaha membuatku nyaman terlebih dulu. Aku menggoyangkan pinggulku, gesekkan antara batangannya dan dinding mem3kku memberikan kenikmatan tersendiri bagiku. dia masih terus menggerayangi toket ku sambil meremasnya pelan. Setelah gelombang orgasme ku reda, nafsuku pun kembali naik. Kugoyangkan pinggulku dengan cepat. “oh..ohhhh..enak…uh…remes terus om…”desahku lagi. Aku meneruskan goyangan pinggulku dengan cepat, sedangkan dia tak pernah melepaskan tangannya dari toketku. Diremasnya kedua toketku dengan gemas,sambil sesekali memilin pentilku. Setelah puas meremas toketku, tangan dia kini menelusuri setiap lekuk tubuhku. Aku semakin terbakar, nafsuku naik dan meledak-ledak, dapat kurasakan kedua pentilku kini sudah mengeras dan meruncing karena terus-menerus dikenyot, selain itu nafsu ku sudah meningkat terus tak terkendali. Aku terus menggoyangkan pinggulku dengan cepat, nafasku makin memburu. Setelah puas mengelus tubuhku, tangan dia kembali mengarah pada kedua toketku yang sudah basah karena liur dan keringat itu, lalu ia menyibakkan rambutku yang menutupi toketku, Ia kembali meraba-raba kedua toket montokku itu. Rabaannya membuatku geli. Ia meraba-raba toketku lalu memilin kedua pentilnya sehingga membuatku seperti tersengat listrik. Sambil sedikit medesah aku terus menggoyangkan pinggulku, sedangkan dia masih senang bermain-main dengan kedua pentilku yang sudah mengeras itu, ia memilin-milin pentilku.”oooohhh…om…” desah ku. “ahh..pentil mu ngemesin nes…” katanya. Permainannya pada pentilku membuat nafsuku makin meledak, kugoyangkan terus pinggulku sedangkan dia tidak menghentikan permainan tangannya pada kedua toketku. Ia meremas toketku dengan gemas, sesekali ia memilin kedua pentilku. Kini aku merasa kedua pentilku semakin mengeras dan meruncing. Aku meneruskan goyanganku dan semakin kutambah kecepatannya. dia tampaknya sudah lelah meremas toket ku, ia menghentikan remasannya lalu dengan kedua tangannya, ia memegang pinggulku dan membantuku menggoyangkan pinggulku sehingga goyanganku semakin cepat. “oh..oh..om…enak…om…”desahku menahan nikmat.Tapi Aku masih ingin dipuaskan dengan remasannya, kuraih tangan kanannya dan kuletakkan di toket kiriku. “oh..masih pengen diremes yah nes?” tanyanya. “uuuhhh…iya…ohhh…remesin om..ughhh…” jawabku sambil sedikit mendesah. dia langsung meremasi kedua toketku dengan kedua tangannya.”ahhh..iya..gitu..enak..om..remesannya ..uhh..” dia terus meremasi kedua toketku dengan gemas.”oh..ohh…enak..terusin om..ughh…” Aku merasa aku akan mendapatkan orgasmeku sebentar lagi. Terus kugoyangkan pinggulku dengan cepat, toketku yang terus diremas itu membuatku merasakan nikmat tak terbayangkan, kurasakan pentilku sudah keras dan toketku basah terkena liur dan keringat, tubuhku sudah basah kuyup karena keringat. Kupejamkan mataku sambil terus menggoyangkan pinggulku, terus kugoyangkan pinggulku dengan cepat, aku makin merasa dekat dengan orgasme ku,terus kugoyangkan pinggulku dengan cepat.”ahhh…ahhhhh…om…bentar lagi ines…udah mau..keluar nih..om..oooooooohhhhhhhhhhh…….” Aku mengerang panjang, tubuhku menggelinjang dan cairan kenikmatan membanjiri mem3kku, aku kembali mendapatkan orgasmeku, aku merasakan kenikmatan tak terkira, dan serasa melayang, aku hanyut dalam gelombang kenikmatanku. Bersamaan dengan orgasme ku, dia juga kembali mendapatkan orgasmenya, diremasnya kuat-kuat toketku dan dihentakkannya pinggulnya hingga batangannya menusuk mem3kku lebih dalam, peju bercampur dengan cairan oragasmeku didalam mem3kku.Aku merasa sangat lemas sehingga tubuhku ambruk, dia dengan sigap menahan tubuhku. “Hehe..gimana nes, puas gak” tanyanya. “Puas banget om, backbone kont0l om besar banget, panjang lagi. Masuknya dalem banget deh om, kerasa banget gesekan kont0l om ke mem3k ines, lagi ya om”, jawabku dengan aught penuh kepuasan.
aku mengira ia akan menyudahi permainannya. Tapi ternyata aku salah, setelah batangannya kembali menguat, ia menarik batangannya dari dalam mem3kku lalu duduk bersandar disofa. Aku sudah sangat lelah dan lemas sehingga aku pasrah saja dengan apa yang akan dilakukannya padaku. Aku disuruhnya duduk membelakanginya dipangkuannya. Dengan mudah, batangannya yang basah terkena cairan pelumas mem3kku itu memasuki mem3kku. Aku menggoyangkan pinggulku, Kugoyangkan tubuhku naik-turun sehingga batangannya menghujam mem3kku. dia kembali meraba toketku dari belakang sambil mendesah-desah keenakan. Aku terus menggoyangkan tubuhku naik turun dia masih terus meremas kedua toketku sambil sesekali memilin-milin kedua pentilku yang sudah keras itu. “Ahh…ah…ahh.aahh..ahh..ah..ah..” aku mendesah keenakan sambil terus mengoyangkan tubuhku.dia sangat menikmati permainanku, aku terus menggerakkan tubuhku naik turun sehingga batangannya terus menghujam mem3kku, setiap batangannya menghujam mem3kku, aku merasa seperti tersengat listrik. dia sangat menyukai toketku, terbukti dengan ia tak pernah berhenti meremas kedua toketku dengan gemas.”Ah..ah…ahhh…enak…uh…ines..udah..gak ..kuat..yang..uuuh….” Goyangan tubuhku berhenti karena aku merasa sangat lelah. dia langsung menggoyangkan pinggulnya dengan cepat sedangkan tangannya tidak pernah berhenti meremasi toketku. “Ohhh…ohhhh..oohhh..enak..terus..uhhh…oohh hhh”, aku mendesah keenakan.Dibawah, batangannya terus menghujam mem3kku dengan cepat, tangannya tak pernah berhenti meremas toketku sambil sesekali dia menmilin pentilku. Aku merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa. Remasannya membuatku merasa nikmat. Aku merasa dia akan mendapatkan orgasmenya kembali sebentar lagi, dapat kurasakan batangannya berkedut-kedut dalam mem3kku. Remasannya pun semakin liar, ia juga tak berhenti menciumi bibir, pundak, dan leherku. Aku pun juga merasa akan mendapat orgasmeku kembali. Aku juga mulai menggoyangkan pinggulku dengan cepat dan liar,Tak berapa lama, dia mendapatkan orgasme ke-3nya denganku, ia meleguh panjang dan menancapkan batangannya dalam-dalam. Ia meremas kedua toketku kuat-kuat, pejunya muncrat dan memenuhi mem3kku kembali. Aku yang belum mendapatkan orgasmeku terus menggoyangkan pinggulku dengan cepat dan semakin cepat karena merasa aku akan mendapatkannya sebentar lagi, “uh..uhhh…uhhh…hyah…enak..uhh..ooooooooo oohh hhhhhh….” aku mendesah panjang dan tubuhku menggelinjang karena keenakkan.
Setelah gaya pangkuan, dia segera mengubah posisi dengan posisi active style. Karena nafsuku masih tinggi, aku ikuti saja kemauannya. Ternyata,staminanya sangat kuat. kedua tanganku bertumpu pada kasur, ia langsung menusukkan batangannya dari belakang dan langsung menggenjotku dengan cepat. Dalam posisi ini kedua toketku menggelantung, sehingga terlihat semakin montok, dia pun langsung meremas toket montok ku. Mula-mula ia mencaplok toket kiriku dan meremasnya dengan gemas, goyangan pinggulnya juga semakin cepat. “uhh..uh..uhh..uhh..uhhhh..enak..umhhh..enak om…ooooohhhhh” genjotannya yang begitu cepat itu membuatku mendesah keenakan. Nafsu dia sepertinya juga makin tak terkendali, genjotannya makin cepat sambil terus meremas toket kiriku dengan kasar. kini dia menggoyangkan pinggulnya dengan cepat, remasannya pun makin cepat dan kasar. “ahh…ahhhhh….ahhhhhhh…ahhh”, aku mendesah sangat kencang.”toketmu montok banget deh…” katanya sambil terus menggenjotku. dia menghentikan remasannya dan kembali mengelus kedua toket montokku yang menggelantung itu,setelah itu ia kembali meremas kedua toketku dengan gemas. “aahhh..hyaahh…enak om…ooooohhhhh…” Aku mendesah keenakan. Aku makin tenggelam terbawa nafsu. dia masih terus menggoyangkan pinggulnya bahkan makin cepat. batangannya terus-menerus keluar-masuk mem3kku. Setiap hujamannya membuatku merasa nikmat. “oooooooooohhhhhhhhhh…enak om…eeemmmmhhhhhh” Aku kembali mendapat orgasme ku, cairan orgasme ku kembali membanjiri mem3kku. dia masih belum selesai,ia terus menggenjotku dengan sangat cepat, terdengar bunyi decakkan dari mem3kku yang sudah sangat becek itu, kedua tangannya tak berhenti meremas toketku. “ah..ah..ah…bentar lagi nih nes…” dia mendesah keenakkan. Goyangannya makin liar, demikian juga dengan remasannya yang tak pernah berhenti itu. Tak lama, dia melenguh panjang dan pejunya menyembur kembali dalam mem3kku, bersamaan dengan itu dia memilin kedua pentilku sehingga aku menggelinjang dan karena gelombang orgasmeku masih belum reda, aku kembali merasakan kenikmatan kembali melanda seluruh tubuhku. “ooooooooohhhhhhhhhh….” aku mendesah panjang, bersamaan dengan itu aku kembali dilanda orgasme. Setelah puas dengan active style, dia mencabut batangannya dari mem3kku. Aku sudah sangat lemas sehingga aku terjatuh di ranjang.
dia rupanya masih ingin penutup. Ia lalu jongkok diatas ku lalu ia memegang kedua toketku lalu menjepitkannya pada batangannya. Aku lalu melakukan breast fucking, kunaik turunkan toketku dan kujepit kuat-kuat batangannya dengan toket montokku.”ah..ah..enak nes…kamu jago yah…toket mu juga..montok banget..om gak tahan” Aku merasa senang dipuji seperti itu. Aku menjepitkan batangannya kuat-kuat dengan kedua toketku dan terus kunaik-turunkan toketku, Kurasakan batangannya kembal berkedut-kedut dan kembali menyemburkan peju, mengenai wajah dan toket ku, setelah itu aku membersihkan batangannya dari sisa-sisa pejunya dengan mulutku. Setelah itu aku tergeletak di ranjang dan berusaha mengatur nafasku. “Om luar biasa deh, bisa berkali2 ngecret, kuat banget ya suplemen yang om minum. Ines sampe klenger nih, istirahat dulu ya om”. “Nes, mem3k kamu nikmat banget deh, lebih nikmat dari yang semalem. empotan kamu luar biasa, bikin om kepengen terus. Kamu nemenin om selama om di Jakarta ya Nes, kita berbagi kenikmatan terus setiap ada waktu”. Wah bisa letoy neh ngeladenin napsunya. Bener2 nikmat, dimulai dari chatting lewat pm, trus lewat imel dan berakhir dengan nancepnya kont0lnya diselangkanganku berkali2.
Sampe akhirnya, dia bilang ada urusan mo ke Jakarta, dia ngajak ketemuan. dia ngasi no hpnya, akupun demikian. Dah gitu, dia ilang dari peredaran, aku sampe lupa dia mo ke Jakarta, karena beberapa ari gak ada imel dari dianya. Sampe suatu pagi aku dapet sms di hp ku, “Nes, aku nginep di auberge S (ini auberge yang tadinya auberge jaringan internasional, kemudian dimanage sendiri ama yan punya, dah pede kali ya). aku disuru nyusul kesana, “bawa bikini ya Nes, aku sekarang lagi di kolem renang nih”. Karena aku juga lowong segera aku membawa beberapa potong daleman, bikini dan baju ganti, dan mluncur ke auberge S yang ada dibilangan Senayan. Ketika sampe di auberge itu, aku ditanya aegis mo ketemu siapa di kolam renang, segera aku alarm si om, setelah nyambung aku berikan ke security, sehingga akhirnya aku diijinkan untuk menuju ke kolam renang. Karena hari itu hari kerja, di kolam renang hanya ada beberapa bule sedang berbaring berjemur, dipojokan kulihat seorang lelaki yang jelas sekali bukan bule, segera aku nyamperin dianya. Dia tersenyum melihatku, “Ines ya, pa kabar nih”. Aku menjabat tangannya. Ganteng juga dia. “Aku om Frans, temen chatting kamu”. Dia hanya memakai celana pendek gombrong saja, duduk didipan dibawah payung besar. Matanya jelalatan menyelusuri bodiku, memang aku pake tanktop ketat dan jins ketat sehingga semua yang menonjol dibodiku tercetak dengan jelas. Dia sampe nelen ludah memandangiku. “Mo sarapan Nes”, dia menawariku. “Bole om, kebetulan blon sarapan neh”. “Kamu mau american, oriental atawa indonesian breakfast”. “Indonesian bf mah dah tiap ari, americam bf pastinya roti doangan, kalo gitu oriental bf de om”. “emangnya kamu tiap pagi bf di hotel?”. “Bukan om, maksudnya kan tiap pagi ines bf ala indonesia kan. Kalo pagi gini sepi ya om kolam renangnya”. “Ines mo brenang? Bawa bikini gak?” “Bawa om, ines tukeran dulu ya, dimana tempatnya”. Dia menujuk ke arah tempat battery dan ganti pakaian. Aku segera menuju kesana, dan mengganti pakeanku dengan bikini yang kau bawa. Aku pake bikini yang minim sekali, dengan ikatan untuk bra dan cdnya, bodiku makin terkespose kemontokannya dengan bikini seperti itu. aku segera keluar dari ruang ganti dan menuju ketempatnya. Matanya makin berbinar memandangiku. “Wah Nes, kamu seksi sekali pake bikin. Tadi pake pakean lengkap aja dah merangsang, sekarang…” “Napa om ngaceng ya ngeliat ines”, godaku. “So pasti lah Nes, om kan lelaki normal, backbone ada lelaki yang accustomed yang gak ngaceng liat kamu kaya gini. Dah makan dulu sana, setelah itu baru kita ngobrolin masalahmu”. Aku segera menyantap bubur ayam yang masih ngepul2. Setelah selesai, teh manis anget pun aku sruput. Kemudian kami ngobrol naglor ngidul, tapi dia gak ngajakin aku brenang. Rupanya dia cuma pengen ngeliat bodilu ok gak, makanya dia minta aku pake bikin, lagian juga gak apa kan di kolam renang pake bikini, masak mo pake sarung kebaya di kolam renang. Akhirnya, “Nes, kita terusin ngobrolnya dikamar om yuk. Dah mulai panas nih”. “Panas apanya om”, godaku sembari senyum. “Udaranya, mataharinya dah naik tinggi nih”. “Om juga dah mo naik yach”. “Tau aja kamu”. Aku memakai pakean luarku tanpa melepas bikininya. Diapun mengenakan kemejanya, menandatangai pesanan makanan dan minuman dan menggandengku masuk ke lobi hotel. Dia memijit lantai kamarnya dan lift pun meluncur keatas.
Di kamarnya aku duduk diranjangnya yang masih berantakan karena belon dirapikan oleh abode keeping. Dia menggantung don’t afflict assurance di tombol pintu luar. “Bekas gelut semalem ya om, backbone ceweknya”. “Dah balik tadi pagi Nes”. “Napa gak disuru nemenin om aja selama disini”. “Kan om pengen ktemu ines, ngapain lagi ajak yang laen”. “Nikmat gak om semalem”. “Lumayan lah”. “Om maen brapa kali”. “2 kali Nes, semalem skali bangun tidur skali”. “Wah ines gak kebagian apa2 dong”. “Don’t anguish Nes, backbone om tinggi skali kok”. “Minum obat ya om”. “enggak kok cuma supplemen khusus aja”. Dia mengambil bendable alcohol dari lemari es dan diberikannya ke aku beserta gelasnya. Aku menuangkan bendable alcohol ke gelas dan duduk di sofa. “Nes buka lagi bell pakean luanya, om kan mo menikmati memandangi bodi montok kamu”. Sembari tersenyum aku melepas pakean luarku, dan kembali duduk di daybed berbikini ria. Diapun melepas kemejanya dan duduk disebelahku. “Om tajir ya, auberge ini kan mahal ratenya om?” “Kan om bebanin ke kantor biayanya. Ya kalo ada napa gak dinikmati sih”. Dia memelukku dengan meletakan tangannya dipundakku. “nes kamu merangsang sekali deh”.
Tiba-tiba dia langsung memagut bibirku, “mmmmhhhhh….” Dia langsung mendekapku erat. Ciumannya sangat liar. Dia melumat bibirku dan lidahnya menyapu langit-langit ku. aku menyambutnya dengan bernapsu juga. Kami melakukan ciuman yang sangat panas. Dia melepas ciumannya lalu mulai menjilati telingaku dan menyapu leherku, aku menggelinjang keenakan. Kuamati wajahnya, dia pun melihatku dengan tatapan penuh nafsu. Dia lalu menyandarkan aku didadanya yang bidang. Kedua tangannya menggapai kedua toketku dan merabanya pelan, sedangkan dia menciumi pundak dan leherku. Tangannya terus meraba toket ku lalu dia mulai meremas toket kananku pelan,sedangkan tangan kirinya masih terus meraba-raba toket kiri ku. “emmmhhh…ohhh…enak om…” Desahan ku itu tak membuatnya makin nafsu. Dia sangat pintar mengendalikan nafsuku. Kini, kedua tangannya meremasi kedua toketku. Kurasakan nafasnya makin cepat. Remasannya pun makin gemas. “Om…enak ..terus…emhhhh…” Aku mendesah menikmati remasannya. Puas meremas dari luar, tangannya menelusup ke balik bra ku, dirabanya kedua toket ku itu. “ngghhh…enakh…uh…terus yang…emmhhh…” Desahanku itu sekarang membuat nafsunya makin naik. Dia mulai meraba pentilku lalu dengan jempol dan telunjuknya,di pilinnya pentilku dengan gemas. “ngghhh…enak om…ooooooohhhhh….” Dia langsung meremas toketku dengan gemas. Nafasnya makin memburu, remasannya makin kasar. “ah..ahh..enak om…” desahku. Remasannya makin cheat dan setiap dia mencubit pentilku, nafsuku makin meledak-ledak dan naik tak terkendali.
Setelah puas meremasi toketku, langsung dibukanya celana gombrongnya. Batangannya yang besar itu sudah mengacung pada ukuran maksimalnya. “Diemut bell Nes…”katanya dengan penuh nafsu. Langsung saja ku isap batangannya yang besar itu. Ku kocok pelan batangnya yang tidak masuk dalam mulutku. Kuisap kuat batangannya sampai pipiku kempot, lalu kumaju mundurkan mulutku, sehingga batangannya dapat keluar-masuk mulutku. “oh..oh..enak Nes..udah pengalaman ya? ngisepnya jago” dia mendesah keenakan. Ku teruskan kuluman ku sambil sesekali kukocok batangannya dengan tangan kananku. Kurasakan batangannya itu sudah berkedut-kedut didalam mulutku. “ah..ah..yang..udah mau keluar nih..isep..ughhh..” Dia sudah ngecret. batangannya memuntahkan banyak cairan putih yang kental, langsung kuisap pejunya sampai habis. Kurasakan mulutku dipenuhi oleh pejunya yang keluar cukup banyak itu. Dia sepertinya sudah penasaran dengan mem3k ku. Langsung dilepasnya bra dan cd bikiniku. Ia langsung mengenyot toket kananku, dan meremasi toket kiri ku yang tak dikenyotnya. “slrrpp..slrrppp…” terdengar suara kenyotannya di toket kananku.Tampaknya Ia sangat gemas dengan toketku, ia mengenyot toketku sampai pipinya kempot. Remasannya juga makin liar. “emhhhh….om..terusin..enakh…ohhhhh…” aku mendesah keenakan. Setelah puas mengenyot toket kananku, ia menjilati pentil kananku lalu menjilati toket ku dan mulai berpindah ke toket kiri ku yang sudah tak lagi diremasinya. mula-mula ia memainkan pentilku dengan lidahnya, lalu mulai mengisap nya. Tangan kanannya meraba-raba toketku yang tak dikenyotnya lalu memilin pentilku. “nghhhh….enak om…eeeemmmmmhhhhhhhhh…” aku mendesah menahan nikmat yang tak terkira. Napsuku semakin naik tak terkendali dan semakin meledak-ledak. Setelah puas menyusu, dia langsung merebahkanku dikasur dan membuka lebar-lebar kakiku. Dijilatinya mem3kku sehingga aku merasaa geli dan menggelinjang keenakan. “ahhh…enak om..ummmhhh…” desahku keenakan. Puas menjilati mem3kku, ia langsung menggunakan jarinya dan dimasukkannya jari telunjuk dan jari tengahnya, lalu mulai dimaju-mundurkan dengan cepat seolah-olah batangannya yang menusuk mem3kku. “ah..ahh..ah,,,ahhhhh…om…. ooooooooohhhhhh…” Dia tak memperdulikan desahanku dan meneruskannya bahkan kini makin cepat. Setelah puas mengorek mem3kku, dia mencubiti it1lku, sehingga aku menggelinjang keenakan. Aku sampai ngos-ngosan melayaninya, padahal baru juga pemanasannya.
Tanpa memberi ku kesempatan mengatur nafas, dia langsung menusukkan batangannya kedalam mem3kku. batangannya yang besar itu agak susah menerobos mem3kku. “ssshhh…ummmhhhhhhh..om…ooooooooohhhhhhhh. . .” desahku keenakan. dia mendorong batangannya kuat-kuat dengan bantuan cairan pelumas yang sudah membanjiri mem3kku, batangan itu pun dapat menusuk mem3kku. dia mulai menggoyangkan pinggulnya. “uhh..uhhhhh..enak om..ooohhhh…” desahku lagi. dia sudah larut dalam nafsunya, sehingga ia langsung menggenjotku dengan cepat. Digoyangkan pinggulnya dengan cepat. Terdengar bunyi berdecak karena gesekkan batangannya dengan dengan dinding mem3kku, batangannya dapat dengan leluasa keluar-masuk mem3kku karena mem3kku kini sangat basah dibanjiri cairan pelumas. dia sangat gemas melihat toketku yang montok. Ia langsung memegang kedua toketku lalu mulai meremasnya dengan gemas. “ooooohhhhh…enak om…umhhh..” Aku mendesah karena keenakkan. dia terus menggenjotku dengan cepat, sedangkan kedua tangannya tak pernah berhenti meremasi kedua toket ku. Aku terus mendesah menahan nikmat yang tak terkira. “gimana nes, enak gak?” tanya dia dengan nafas yang memburu. “ummmhhhh…enak om…terus…oooohhhhhhh..” aku mendesah keenakan. dia semakin mempercepat goyangan pinggulnya dan tak pernah berhenti meremas kedua toketku. “ohh…om…enak..om…” desahku lagi. dia terus memacu goyangannya dan tak berhenti meremas toketku. Kurasakan ada sesuatu yang meledak-ledak dalam diriku, aku merasa akan mendapat orgasme ku sebentar lagi. “oh…ohh..oh..emmmhhhh..oooohhhhhh..om…bent ar lagi…uhhhh..ines…mau…keluar nih…ooohhhh…” desahku menahan nikmat. “Iya…om juga udah mau keluar…ugggghhhh…” dia meleguh panjang dan menahan batangannya menancap lebih dalam di mem3kku, bersamaan dengan itu pejunya kembali memenuhi mem3kku, diremasnya kuat-kuat kedua toketku. Tak berapa lama, aku menyusul orgasme nya. “oooooohhhhhhhhhhh….” aku meleguh panjang dan tubuhku menggelinjang, bersamaan dengan itu, cairan orgasme ku membanjiri mem3kku. Tubuhku dipenuhi oleh keringat, dinginnya AC menjadi tak terasa.
dia menarik batangannya dan mengatur nafas sebentar. Ia lalu mengganti posisi, kini ia rebah di kasurku. Aku tau ia ingin mencoba posisi wot. batangannya masih mengacung, hebat bener kasiat suplemen yang diminumnya dah ngecret masih ngaceng aja dengan kerasnya. Aku mulai mengatur posisiku, dia memegangi batangannya lalu dengan bantuannya, batangannya dengan mudah menerobos mem3kku, kali ini tidak sulit sperti pertama karena mem3kku sudah dibanjiri cairan pelumas yang cukup banyak. Aku mulai menggoyangkan pinggulku perlahan. Kedua tangan dia kembali meraba toketku lalu mulai meremasinya pelan, dia berusaha membuatku nyaman terlebih dulu. Aku menggoyangkan pinggulku, gesekkan antara batangannya dan dinding mem3kku memberikan kenikmatan tersendiri bagiku. dia masih terus menggerayangi toket ku sambil meremasnya pelan. Setelah gelombang orgasme ku reda, nafsuku pun kembali naik. Kugoyangkan pinggulku dengan cepat. “oh..ohhhh..enak…uh…remes terus om…”desahku lagi. Aku meneruskan goyangan pinggulku dengan cepat, sedangkan dia tak pernah melepaskan tangannya dari toketku. Diremasnya kedua toketku dengan gemas,sambil sesekali memilin pentilku. Setelah puas meremas toketku, tangan dia kini menelusuri setiap lekuk tubuhku. Aku semakin terbakar, nafsuku naik dan meledak-ledak, dapat kurasakan kedua pentilku kini sudah mengeras dan meruncing karena terus-menerus dikenyot, selain itu nafsu ku sudah meningkat terus tak terkendali. Aku terus menggoyangkan pinggulku dengan cepat, nafasku makin memburu. Setelah puas mengelus tubuhku, tangan dia kembali mengarah pada kedua toketku yang sudah basah karena liur dan keringat itu, lalu ia menyibakkan rambutku yang menutupi toketku, Ia kembali meraba-raba kedua toket montokku itu. Rabaannya membuatku geli. Ia meraba-raba toketku lalu memilin kedua pentilnya sehingga membuatku seperti tersengat listrik. Sambil sedikit medesah aku terus menggoyangkan pinggulku, sedangkan dia masih senang bermain-main dengan kedua pentilku yang sudah mengeras itu, ia memilin-milin pentilku.”oooohhh…om…” desah ku. “ahh..pentil mu ngemesin nes…” katanya. Permainannya pada pentilku membuat nafsuku makin meledak, kugoyangkan terus pinggulku sedangkan dia tidak menghentikan permainan tangannya pada kedua toketku. Ia meremas toketku dengan gemas, sesekali ia memilin kedua pentilku. Kini aku merasa kedua pentilku semakin mengeras dan meruncing. Aku meneruskan goyanganku dan semakin kutambah kecepatannya. dia tampaknya sudah lelah meremas toket ku, ia menghentikan remasannya lalu dengan kedua tangannya, ia memegang pinggulku dan membantuku menggoyangkan pinggulku sehingga goyanganku semakin cepat. “oh..oh..om…enak…om…”desahku menahan nikmat.Tapi Aku masih ingin dipuaskan dengan remasannya, kuraih tangan kanannya dan kuletakkan di toket kiriku. “oh..masih pengen diremes yah nes?” tanyanya. “uuuhhh…iya…ohhh…remesin om..ughhh…” jawabku sambil sedikit mendesah. dia langsung meremasi kedua toketku dengan kedua tangannya.”ahhh..iya..gitu..enak..om..remesannya ..uhh..” dia terus meremasi kedua toketku dengan gemas.”oh..ohh…enak..terusin om..ughh…” Aku merasa aku akan mendapatkan orgasmeku sebentar lagi. Terus kugoyangkan pinggulku dengan cepat, toketku yang terus diremas itu membuatku merasakan nikmat tak terbayangkan, kurasakan pentilku sudah keras dan toketku basah terkena liur dan keringat, tubuhku sudah basah kuyup karena keringat. Kupejamkan mataku sambil terus menggoyangkan pinggulku, terus kugoyangkan pinggulku dengan cepat, aku makin merasa dekat dengan orgasme ku,terus kugoyangkan pinggulku dengan cepat.”ahhh…ahhhhh…om…bentar lagi ines…udah mau..keluar nih..om..oooooooohhhhhhhhhhh…….” Aku mengerang panjang, tubuhku menggelinjang dan cairan kenikmatan membanjiri mem3kku, aku kembali mendapatkan orgasmeku, aku merasakan kenikmatan tak terkira, dan serasa melayang, aku hanyut dalam gelombang kenikmatanku. Bersamaan dengan orgasme ku, dia juga kembali mendapatkan orgasmenya, diremasnya kuat-kuat toketku dan dihentakkannya pinggulnya hingga batangannya menusuk mem3kku lebih dalam, peju bercampur dengan cairan oragasmeku didalam mem3kku.Aku merasa sangat lemas sehingga tubuhku ambruk, dia dengan sigap menahan tubuhku. “Hehe..gimana nes, puas gak” tanyanya. “Puas banget om, backbone kont0l om besar banget, panjang lagi. Masuknya dalem banget deh om, kerasa banget gesekan kont0l om ke mem3k ines, lagi ya om”, jawabku dengan aught penuh kepuasan.
aku mengira ia akan menyudahi permainannya. Tapi ternyata aku salah, setelah batangannya kembali menguat, ia menarik batangannya dari dalam mem3kku lalu duduk bersandar disofa. Aku sudah sangat lelah dan lemas sehingga aku pasrah saja dengan apa yang akan dilakukannya padaku. Aku disuruhnya duduk membelakanginya dipangkuannya. Dengan mudah, batangannya yang basah terkena cairan pelumas mem3kku itu memasuki mem3kku. Aku menggoyangkan pinggulku, Kugoyangkan tubuhku naik-turun sehingga batangannya menghujam mem3kku. dia kembali meraba toketku dari belakang sambil mendesah-desah keenakan. Aku terus menggoyangkan tubuhku naik turun dia masih terus meremas kedua toketku sambil sesekali memilin-milin kedua pentilku yang sudah keras itu. “Ahh…ah…ahh.aahh..ahh..ah..ah..” aku mendesah keenakan sambil terus mengoyangkan tubuhku.dia sangat menikmati permainanku, aku terus menggerakkan tubuhku naik turun sehingga batangannya terus menghujam mem3kku, setiap batangannya menghujam mem3kku, aku merasa seperti tersengat listrik. dia sangat menyukai toketku, terbukti dengan ia tak pernah berhenti meremas kedua toketku dengan gemas.”Ah..ah…ahhh…enak…uh…ines..udah..gak ..kuat..yang..uuuh….” Goyangan tubuhku berhenti karena aku merasa sangat lelah. dia langsung menggoyangkan pinggulnya dengan cepat sedangkan tangannya tidak pernah berhenti meremasi toketku. “Ohhh…ohhhh..oohhh..enak..terus..uhhh…oohh hhh”, aku mendesah keenakan.Dibawah, batangannya terus menghujam mem3kku dengan cepat, tangannya tak pernah berhenti meremas toketku sambil sesekali dia menmilin pentilku. Aku merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa. Remasannya membuatku merasa nikmat. Aku merasa dia akan mendapatkan orgasmenya kembali sebentar lagi, dapat kurasakan batangannya berkedut-kedut dalam mem3kku. Remasannya pun semakin liar, ia juga tak berhenti menciumi bibir, pundak, dan leherku. Aku pun juga merasa akan mendapat orgasmeku kembali. Aku juga mulai menggoyangkan pinggulku dengan cepat dan liar,Tak berapa lama, dia mendapatkan orgasme ke-3nya denganku, ia meleguh panjang dan menancapkan batangannya dalam-dalam. Ia meremas kedua toketku kuat-kuat, pejunya muncrat dan memenuhi mem3kku kembali. Aku yang belum mendapatkan orgasmeku terus menggoyangkan pinggulku dengan cepat dan semakin cepat karena merasa aku akan mendapatkannya sebentar lagi, “uh..uhhh…uhhh…hyah…enak..uhh..ooooooooo oohh hhhhhh….” aku mendesah panjang dan tubuhku menggelinjang karena keenakkan.
Setelah gaya pangkuan, dia segera mengubah posisi dengan posisi active style. Karena nafsuku masih tinggi, aku ikuti saja kemauannya. Ternyata,staminanya sangat kuat. kedua tanganku bertumpu pada kasur, ia langsung menusukkan batangannya dari belakang dan langsung menggenjotku dengan cepat. Dalam posisi ini kedua toketku menggelantung, sehingga terlihat semakin montok, dia pun langsung meremas toket montok ku. Mula-mula ia mencaplok toket kiriku dan meremasnya dengan gemas, goyangan pinggulnya juga semakin cepat. “uhh..uh..uhh..uhh..uhhhh..enak..umhhh..enak om…ooooohhhhh” genjotannya yang begitu cepat itu membuatku mendesah keenakan. Nafsu dia sepertinya juga makin tak terkendali, genjotannya makin cepat sambil terus meremas toket kiriku dengan kasar. kini dia menggoyangkan pinggulnya dengan cepat, remasannya pun makin cepat dan kasar. “ahh…ahhhhh….ahhhhhhh…ahhh”, aku mendesah sangat kencang.”toketmu montok banget deh…” katanya sambil terus menggenjotku. dia menghentikan remasannya dan kembali mengelus kedua toket montokku yang menggelantung itu,setelah itu ia kembali meremas kedua toketku dengan gemas. “aahhh..hyaahh…enak om…ooooohhhhh…” Aku mendesah keenakan. Aku makin tenggelam terbawa nafsu. dia masih terus menggoyangkan pinggulnya bahkan makin cepat. batangannya terus-menerus keluar-masuk mem3kku. Setiap hujamannya membuatku merasa nikmat. “oooooooooohhhhhhhhhh…enak om…eeemmmmhhhhhh” Aku kembali mendapat orgasme ku, cairan orgasme ku kembali membanjiri mem3kku. dia masih belum selesai,ia terus menggenjotku dengan sangat cepat, terdengar bunyi decakkan dari mem3kku yang sudah sangat becek itu, kedua tangannya tak berhenti meremas toketku. “ah..ah..ah…bentar lagi nih nes…” dia mendesah keenakkan. Goyangannya makin liar, demikian juga dengan remasannya yang tak pernah berhenti itu. Tak lama, dia melenguh panjang dan pejunya menyembur kembali dalam mem3kku, bersamaan dengan itu dia memilin kedua pentilku sehingga aku menggelinjang dan karena gelombang orgasmeku masih belum reda, aku kembali merasakan kenikmatan kembali melanda seluruh tubuhku. “ooooooooohhhhhhhhhh….” aku mendesah panjang, bersamaan dengan itu aku kembali dilanda orgasme. Setelah puas dengan active style, dia mencabut batangannya dari mem3kku. Aku sudah sangat lemas sehingga aku terjatuh di ranjang.
dia rupanya masih ingin penutup. Ia lalu jongkok diatas ku lalu ia memegang kedua toketku lalu menjepitkannya pada batangannya. Aku lalu melakukan breast fucking, kunaik turunkan toketku dan kujepit kuat-kuat batangannya dengan toket montokku.”ah..ah..enak nes…kamu jago yah…toket mu juga..montok banget..om gak tahan” Aku merasa senang dipuji seperti itu. Aku menjepitkan batangannya kuat-kuat dengan kedua toketku dan terus kunaik-turunkan toketku, Kurasakan batangannya kembal berkedut-kedut dan kembali menyemburkan peju, mengenai wajah dan toket ku, setelah itu aku membersihkan batangannya dari sisa-sisa pejunya dengan mulutku. Setelah itu aku tergeletak di ranjang dan berusaha mengatur nafasku. “Om luar biasa deh, bisa berkali2 ngecret, kuat banget ya suplemen yang om minum. Ines sampe klenger nih, istirahat dulu ya om”. “Nes, mem3k kamu nikmat banget deh, lebih nikmat dari yang semalem. empotan kamu luar biasa, bikin om kepengen terus. Kamu nemenin om selama om di Jakarta ya Nes, kita berbagi kenikmatan terus setiap ada waktu”. Wah bisa letoy neh ngeladenin napsunya. Bener2 nikmat, dimulai dari chatting lewat pm, trus lewat imel dan berakhir dengan nancepnya kont0lnya diselangkanganku berkali2.
Selamat Datang Aris Dan Paman Arjo! - bag. I
Pagi masih gelap saat kudengar ibu membangunkan aku yang terlelap. Seperti biasa aku hanya mengubah posisi berbaringku menjadi meringkuk. “Toro! Bangun. Paman Arjo datang dari kampung, tuh!” suara ibu agak berbisik. Mungkin ia malu kalau sampai terdengar tamunya. “Sudah, Mbak! Biarkan saja, masih gelap” terdengar suara berat seorang pria dalam bahasa Jawa. Paman Arjo? “Kamu geseran saja deh! Paman Arjo dan Aris biar bisa istirahat. Kasihan mereka seharian di perjalanan” ibu menggeser paksa tubuhku. Di rumah ini memang hanya ada dua kamar tidur. Satu untuk bapak dan ibuku, satu lagi kamarku sendiri. “Rebahan dulu Dik Arjo! Aris ajak sekalian!” ujar ibu sambil keluar kamarku. Aku sudah bergeser ke bagian paling tepi ranjangku dan mencoba lagi melanjutkan mimpiku. Tak lama kudengar suara orang masuk ke kamarku. Pintu ditutup. “Itu siapa, Pak?” terdengar suara lelaki belasan tahun juga dalam bahasa Jawa. “Itu Toro, anak Pakde Muji. Dia juga sudah kelas dua SMA tapi umurnya satu tahun di bawah kamu” terdengar suara Paman Arjo berbisik. “Sekarang tidur dulu. Masih gelap. Biar Bude dan Pakde istirahat lagi.” Tiba-tiba terdengar suara orang membuka pakaian. Hmmmh… Terdengar lagi suara tubuh yang dibaringkan di sebelahku. Hening… Aku tidak bisa tidur. Otak homoku mulai bekerja. Ada dua lelaki berbaring di sebelahku, tetapi aku diamkan saja? Bodoh! Perlahan aku buka mataku dan kulihat lelaki remaja sebayaku terbaring telentang. Ia sudah pulas. Perjalanan jauh membuatnya harus segera terkapar. Wajahnya cukup tampan. Bersih tidak berjerawat, tidak seperti aku. Segera kuberalih ke selangkangannya. Ouch! Dadaku langsung berdebar. Menonjol sekali! Apakah dia ngaceng? Kulihat pria empat puluhan tahun di sebelahnya. Garis wajahnya mirip, hanya lebih gelap. Kumisnya pun lumayan tebal. Dan… wauwww tonjolannya luar biasa. Kalau yang ini aku yakin pasti sedang ngaceng! Tak tahan aku turun dari tempat tidurku menuju tepi lain ranjangku. Mereka benar-benar kelelahan sehingga pulas sekali mereka tertidur. Kusentuh perlahan tonjolan di selangkangan Paman Arjo. Dia tidak terbangun. Kutambah tekanan sentuhan tanganku. Tetap tak terbangun. Pulas sekali. Dengan leluasa kuusap-usap kemaluan pamanku itu. Kontolnya yang sudah tegang kurasakan bertambah ngaceng. Oh, my God! Panasnya sangat terasa. Kuremas sedikit untuk memastikan ia tidak terbangun. Benar-benar pulas! Aku tak bisa berlama-lama lagi. Perlahan kubuka pengait celananya. Untung ia tidak menggunakan ikat pinggang dan celana dalam sehingga memudahkan aku menjalankan aksiku. Begitu risleting celananya tersingkap kontol pamanku langsung mengacung kekar. Luar biasa! Aku benar-benar berhadapan dengan kontol yang besar, panjang, kekar, dan hangat. Masih agak takut-takut aku pegang batang kontol tersebut. Pamanku tetap tak terbangun… Kuelus lagi perlahan… Mulai mengurut… Paman Arjo tetap tertidur. Tak sabar lagi aku segera memasukkan batang segar itu ke mulutku. Glek… benar-benar besar. Hangat pula! Tidak sampai sepuluh menit kurasakan denyut kontol Paman Arjo mulai tak beraturan. Dia mau muncrat… CROTTT!... Kurasakan semburan hangat di tenggorokanku. Hmh… sedap betul! Thanks Paman Arjo! Aku segera merapikan lagi celana Paman Arjo. Selesai? Belum donk! Sayang kalau yang muda disia-siakan, pikirku. Aku naik lagi ke ranjangku. Kudekati Aris dengan perlahan. Kusentuh lagi kemaluannya. Mulai ngaceng. Tidak sebesar ayahnya memang, tetapi sayang kalau dianggurin, batinku. Agak kesulitan aku membuka celana Aris. Selain menggunakan ikat pinggang ia juga menggunakan celana berlapis, yaitu celana boxer dan celana dalam biasa. Huhhh… aku harus bekerja ekstra hati-hati jangan sampai ia terbangun. Setelah bermacam lapisan tadi tersingkap terlihat juga kontol segar Aris. Lebih kecil sedikit dibandingkan kontol ayahnya, tapi lebih panjang dan lebih muda tentunya. Kubelai batang kontol Aris yang mulus itu. Agak kupercepat dan kutekan belaianku. Berbeda dengan ayahnya yang diam saja, Aris kulihat mengerang kenikmatan. Hmmmh… mimpi basah barangkali. Aku ingin membuatnya lebih keenakan. Langsung kumasukkan batang kontolnya ke mulutku. Tapi… sial! Aris menepis kepalaku. Ia segera mengubah posisi tidurnya. Aku berdebar-debar… Dia bangun… Tidak… ia masih terpejam dan sepertinya kembali melanjutkan mimpinya. Aris sudah tertidur lagi. Nafsu setanku kembali bangkit. Kugerayangi lagi kontolnya. Dia masih ngaceng!... Kalau kuisap pasti kepalaku akan menyentuh tubuh Paman Arjo. Jangan-jangan dia ikut terbangun nanti. Akhirnya kuputuskan tanganku saja yang bekerja. Kukocok perlahan kontol Aris. Dia diam saja. Sudah tertidur lagi rupanya… Menit-menit berlalu. Aris diam saja tetapi aku tahu ia tidak benar-benar tertidur. Namun, karena dia tidak menolak perbuatanku kuputuskan untuk terus mengocok kontolnya. Dan tiba-tiba… CROTT!! Dia muncrat pula akhirnya. Aku puas… tetapi… “Sudah, ya! Saya capek mau istirahat…!” Aris menatapku tajam. Ia merapikan celananya dan kembali tertidur dengan memunggungiku. Marahkah? Akh! Aku tak peduli… Yang penting pagi ini aku berhasil merasakan keperkasaan dua batang kontol milik ayah dan anak sekaligus… Puass!!!
Selamat datang, Paman Arjo dan Aris! Mungkin itulah sambutan yang bisa kulakukan untuk kalian. Aku rela untuk senantiasa melakukannya untuk kalian. Mengisap ataupun sekadar mengocok kontol kalian sehingga kalian merasa nikmat luar biasa!
Ternyata kedatangan Paman Arjo ke Jakarta bertujuan mengantarkan Aris untuk tinggal bersama keluargaku. Ia ingin melanjutkan SMA-nya di Jakarta. Jarak rumahnya di kampung dengan sekolah sangat jauh sehingga justru memakan banyak biaya dan tenaga. Selain itu, Paman Arjo menginginkan agar Aris bisa belajar denganku. Semua orang tahu kalau aku lumayan pandai. Di SD selalu juara kelas. Di SMP paling jelek masuk tiga besar. Di SMA pun sampai saat ini paling buruk aku ada di peringkat lima.
Sebenarnya kondisi perekonomian keluargaku tidak begitu bagus. Bapakku hanya pensiunan pegawai kereta api. Sekarang mencari tambahan dengan membantu ibu berdagang di kantin di sebuah kantor yang tidak begitu jauh dari rumah. Untungnya kedua kakak perempuanku sudah tidak tinggal bersama kami lagi. Kakakku yang sulung, Eka Damayanti, mengikuti suaminya dan tinggal di Palembang. Paling sering setahun sekali bertemu bapak dan ibu. Yang kedua, Dwi Larasati, juga ikut suami, tetapi masih tinggal di sekitar Jakarta juga. Namun, suaminya belum memiliki pekerjaan tetap sehingga masih sering merepotkan kedua orang tuaku.
Paman Arjo sendiri merupakan adik kandung ibuku. Ibuku anak kedua sedangkan Paman Arjo anak kelima, yang paling kecil. Aris anak pertamanya dan mungkin akan menjadi anak satu-satunya karena sampai saat ini ia belum mempunyai adik. Aku belum begitu mengenal mereka. Kami sekeluarga baru bisa pulang kampung antara tiga sampai empat tahun sekali. Selama ini Paman Arjo cukup baik dan sepertinya kagum dengan kepandaianku. Dengan Aris aku tidak begitu dekat. Kalau aku datang ke kampung ia sibuk bermain dengan teman-temannya.
Selama di Jakarta Aris hanya menumpang tinggal dan makan di rumahku. Untuk biaya keperluan sekolahnya Paman Arjo berjanji akan secara rutin mengirimkannya ke Jakarta setiap selesai panen. Hal ini terpaksa dilakukan karena Paman Arjo tidak ingin terlalu membebani orang tuaku. Bapak ibuku pun berjanji untuk sebaik mungkin menampung Aris. Mereka ingin Aris menemaniku karena sejak kelas satu SMP aku selalu mengurung diri di rumah. Aku malas keluar untuk bermain. Aku bosan dijuluki banci atau bencong!
“Bapak dan ibu mau ke kantin, kamu temani Paman Arjo dan Aris ya, Ro?!” ibuku berpamitan. Segala keperluan di rumah sudah ia siapkan.
“Ya, Bu!” jawabku. Tanpa disuruh pun aku akan melakukannya dengan senang hati. Apalagi kalau mereka tidur lagi. Aku akan gerayangi tubuh berotot mereka.
“Kamu mandi dulu sana, Ris!” perintah Paman Arjo pada anaknya. Aris segera mengeluarkan perlengkapan mandinya dan menuju bagian belakang rumahku. Jadi ingin ikut, nih!
“Kamu sudah mandi?” pertanyaan Paman Arjo mengejutkanku. Tangannya memegangi lenganku. Aku mengangguk. Paman Arjo meraih badanku dan merangkulnya. Oh, my God!
“Nanti temani Aris belajar, ya!” pintanya lembut. Aku lagi-lagi mengangguk. Paman Arjo mencium pipiku perlahan. Apa yang ada di hatinya, ya? Ini ciuman sayang seorang paman kepada keponakannya atau ...?
“Paman tidak marah kamu begitukan ...” katanya lagi, “... tapi jangan ke Aris, ya! Nanti dia tidak betah. Dia anaknya keras. Kalau tidak menyukai sesuatu ia bisa berbuat nekat!” ucapan Paman Arjo membuatku gemetar. Kasarkah Aris?
“Sebagai gantinya Paman saja. Kamu boleh apakan saja kontol Paman. Asal jangan ketahuan orang lain!” Paman tersenyum. Matanya ramah. Suatu keikhlasan berkorban. Aku tahu ia mau melakukannya bukan karena ia bernafsu dengan perbuatan homo itu. Ia sangat prihatin dengan keadaanku...
Aku merebahkan kepalaku ke dadanya. Hangat. Ia mengusap sayang kepalaku. Nafsuku bangkit lagi. Biar aku manfaatkan keadaan ini!
“Paman betul-betul tidak marah pada saya?” tanyaku memastikan. Ia mengangguk. Kuletakkan telapak tanganku di tengah selangkangannya. Ia tidak menepisnya. Kuremas perlahan kontolnya yang belum menegang. Ia berbisik.
“Kalau mau lagi, cepat! Aris mandinya cuma sebentar!” ia memperingatkanku. Aku segera membuka risleting celananya. Kukeluarkan batang kekar yang mulai merekah tersebut. Langsung kuhisap. Aku tak ingin Aris memergoki bapaknya sedang dihisap kontolnya olehku. Aku berupaya agar Paman Arjo cepat muncrat. Dia pun sepertinya membantuku dengan menuntunku menemukan titik-titik kenikmatannya. Berbeda dengan tadi pagi yang pasif saja.
“Keluar, Ro... Oooouuucchhh!...” erangnya seksi. Tidak sampai lima menit! Tidak apa-apa, kondisi mengharuskannya seperti itu. Kutelan peju Paman Arjo. Ia langsung memasukkan kontolnya yang dahsyat itu. Beruntungnya Bibi Arjo!
Paman Arjo bangkit menuju kamar. Tak lama Aris muncul dari belakang. Fresh sekali! Oh, Tuhan tak mungkin aku sanggup menahan birahiku kepada Aris ...
“Sudah, Ris?” Paman Arjo menuju kamar mandi. Aris mengangguk. Ia menatapku. Entah dari mana kurasakan hawa ketakutan menyelimutiku. Aris masih marah atas kejadian tadi pagi atau ia juga mengetahui perlakuanku pada bapaknya? Aku benar-benar takut ...
“Sekolahnya jauh?” suara Aris yang lumayan berat mengejutkanku. Ekspresinya biasa saja. Ia tidak melihat ke arahku. Namun, ia langsung duduk di sebelahku.
“Dekat...” suaraku jelas bergetar. Perpaduan antara salah tingkah disapa remaja gagah itu dengan ketakutan atas perbuatanku padanya dan bapaknya.
“Naik apa?” tanyanya lagi. Kali ini ia menoleh ke arahku. Aku menunduk tak berani menunjukkan wajahku yang bersemu merah. Malu. Takut ...
“Jalan kaki cuma sepuluh menit...” suaraku nyaris berbisik. Benar-benar aku tertekan. Aris menautkan telapak tangannya di telapak tanganku. Meremasnya lembut. Memberi kekuatan...
“Maafkan aku ya? Tadi aku mengantuk sekali... jadi kaget waktu kamu pegang...” Hah?... Ia tidak marah! Apakah ia juga tidak keberatan kalau aku melakukannya lagi?
“Aku yang minta maaf ...” jawabku. Tetap tidak sepantasnya menyambut tamu seperti itu. Homo sialan! Rutukku pada diriku sendiri.
“Kamu sering begitu?” pertanyaan Aris cenderung menuduh. Aku menggeleng cepat.
“Baru tadi aku begitu...” Jujur. Aku tidak pernah melakukannya dengan orang lain sebelumnya. Paman Arjo yang pertama dan Aris yang kedua. Sungguh!
“Jangan begitu lagi, ya?! Kepada siapa pun! Nanti kamu keterusan, susah melepaskan kebiasaan tersebut!” nasihatnya. Perih. Tak akan semudah itu, Ris! Kamu bukan aku. Kamu bukan homo. Kamu tidak tahu apa yang aku rasa...
Pembicaraan terus berlanjut. Cenderung satu arah. Aris bertanya, aku menjawab. Semua pertanyaan berkisar masalah sekolah. Yah, itu kan tujuannya ke Jakarta! Aku malu tidak mampu memberikan informasi sedetail mungkin. Meskipun masuk lima besar, tetapi aku termasuk siswa yang sangat pendiam dan tidak pandai bergaul. Aku merasakan bahwa Aris tidak puas dengan informasi yang kuberikan tentang kegiatan ekstrakurikuler, kebiasaan teman-temanku (yang memang aku tidak tahu!), dan pertanyaannya yang lain. Aku malu sekali...
“Toro! Sarapan dulu, yuk! Paman sudah lapar!” suara Paman Arjo menghentikan suasana memalukan tersebut. Ia telah selesai mandi. Lelaki empat puluhan tahun itu sungguh tampan. Seandainya ia kaya pasti lebih mampu merawat tubuhnya. Mungkin akan seputih Aris, anaknya yang berkulit lebih bersih. Atau mungkin saat mudanya pun ia seperti Aris? Kemungkinan itu sangat besar...
“Saya sudah sarapan. Paman dengan Aris silahkan saja! Sudah ibu siapkan di meja!” Aku bangkit menunjukkan sarapan kedua tamuku itu. Aris dan Paman Arjo duduk menghadap meja. Aku tinggalkan mereka ke kamar.
“Kasihan anak itu! Kata ibunya tidak pernah bergaul. Nyaris tidak mempunyai kawan. Padahal anak itu pintar...” terdengar suara Paman Arjo dalam bahasa Jawa. Ia kira aku tidak paham bahasa itu.
“Orangnya sangat pemalu, Pak! Aku ajak ngobrol malah aku seperti sedang melakukan wawancara. Aku terus yang bertanya. Jawabannya juga tidak banyak...” jelas Aris. Maafkan aku, Ris! Terlalu banyak yang menggantung di jiwaku....
“Kamu harus sabar! Bantu dia ...” permintaan Paman Arjo pada anaknya membuatku sesak. Aku memang membutuhkan bantuan ...
“Membantu bagaimana, Pak? Lelaki kok, seperti perempuan ...” Deggg ... Ris, kamu tega! Tak perlu diucapkan! Aku pun menyadari keadaanku! Aku benci Aris!!
“Jangan begitu! Dia saudaramu! Ibunya kakak perempuan Bapak. Ibunya tidak meminta. Namun, Bapak ingin kamu membantunya. Kamu sebaya dengannya. Mudah-mudahan kamu bisa memasuki kekosongan hatinya!” Pamanku membujuk Aris.
“Yah, aku coba semampu aku, Pak! Tantangannya berat. Dia seperti Si Kholis...” ucapan Aris tertahan.
“Mudah-mudahan tidak separah Si Kholis. Kholis sudah benar-benar jadi perempuan. Baju dan penampilannya tidak ada lelakinya sama sekali” harap Paman Arjo. Aku tidak tahu siapa Si Kholis. Mungkin salah satu banci di kampung Pamanku.
“Dia tidak pakai rok karena masih sekolah. Kalau lulus nanti dia akan pakai rok karena tidak ada aturan yang memaksanya memakai celana.. ha..ha..” ucapan Aris sungguh menyakitkan. Dia tertawa lebih menyakitkan lagi. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Paman Arjo. Aku benci sekali padamu, Ris!!!
Aku tertidur dengan air mata yang bersimbah. Perih sekali. Memang bukan Aris seorang yang menghinaku dengan ucapan-ucapan seperti itu. Banci ...
“Kok, sudah tidur lagi? Mentang-mentang liburan, ya?” Aris sudah berada di belakang punggungku. Aku segera menghapus air mataku. Terlambat! Aris sudah melihatnya ...
“Kamu mendengar obrolanku dengan bapakku, ya?” tanyanya khawatir.
“Aku punya kuping!” ketusku. Judes sekali. Banci!
“Memangnya kamu mengerti bahasa Jawa?” tanyanya lagi.
“Tri Sugihantoro itu bukan orang Batak!” sungutku. Aris tersenyum. Sialan!
“Oooh, jadi kamu orang Jawa toh...” godanya.
“Aku lahir di Jawa!” aku melotot padanya.
“Aku juga ...” Hhhh ... “... berarti kita sama, dong!” Aris tertawa. Renyah sekali. Aku kesal sekali. Kubalikkan lagi badanku. Aku ingin tidur saja!
“Tri Sugihantoro! Ajak Aris Irawan berjalan-jalan, dong! Aku sudah tidak sabar, nih, mau lebih mengenali kota Jakarta, ibukota yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri ini..” Hampir aku tertawa mendengar gaya bercandanya yang sekaligus memperkenalkan dirinya itu. Aris Irawan! Harusnya ditambah menjadi ... Aris Irawan Si Tampan!
“Aku tidak pernah berjalan-jalan. Aktivitasku cuma rumah dan sekolah!” elakku.
“Ya, sudah! Ajak aku ke sekolahmu, dong! Biar tidak kaget nanti masuk ke sana ...” bujuknya. Dia memang akan dimasukkan bapak ke sekolahku.
“Sekarang itu sedang libur! Masih tutup kali ...” tegasku.
“Aku cuma ingin tahu jalannya saja ... Mau, ya Ro?!” Aku bangkit dengan malas. Mungkin lebih baik pergi daripada tidur. Selama liburan aku jenuh sekali.
“Nah, begitu, dong! Tamu memang harus diberikan pelayanan ekstra ...” kata Aris senang. Tadi pagi sudah! Pekikku dalam hati. Refleks kuarahkan pandanganku ke selangkangan remaja kekar itu.
“Sudah, dong! Jangan dibegitukan lagi, ya? Nanti aku marah ...” ancamnya halus. Ternyata berasa juga tuh, anak ...
Akhirnya kami memohon izin kepada Paman Arjo untuk melihat-lihat sekolah. Lelaki baik itu benar-benar berjiwa petani. Ia sedang merapihkan tanaman di depan rumah yang memang tidak ada yang merawat.
Kami berjalan bersisian. Bangga rasanya. Aku yang biasanya sendiri kini berjalan di samping seorang pria tampan dan gagah. Pria itu saudaraku, lagi. Aku mati-matian mengimbangi gaya berjalannya yang tegap itu. Yah ... jangan sampai terlihat begitu kontras. Seorang pria gagah berjalan dengan banci kalengan. Apa kata dunia?
Di sekolah ternyata sudah berlangsung beberapa aktivitas. Persiapan penerimaan siswa baru (PSB) dan masa orientasi siswa baru (MOS). Penerimaan siswa baru dilakukan oleh para guru. Sebagian pengurus OSIS yang di antaranya juga teman sekelasku di kelas satu sedang mempersiapkan acara MOS.
“Toro! Itu siapa?” Selly, teman sekelasku yang paling cantik ... juga genit. Tidak biasanya ia menegurku. Hmmmm ... pasti ada maunya. Kulirik Aris. Ia sudah tersenyum ke Selly. Manis sekali. Hhhh ... bete!
Aku benar-benar tidak menikmati kunjunganku ke sekolah pada hari libur itu. Setelah dengan terpaksa kuperkenalkan Aris kepada Selly, ia sudah lebur dengan teman-teman Selly di OSIS. Ada Anom, si ketua OSIS yang juga pernah menjadi bintang iklan sebuah cream antijerawat. Ada Raden, wakil ketua yang putih tinggi dan jago basket. Ada Aini, Rosalina, dan beberapa pengurus OSIS yang tidak aku kenali.
Seharusnya aku tetap di sana. Namun, entah bagaimana aku sudah terlempar dari kumpulan itu. Aris sudah asyik berbincang-bincang dengan mereka, yang notabene adalah orang yang baru ia kenal. Aku sendiri berpura-pura membaca berbagai selebaran maupun tempelan yang ada di mading sekolah. Tak ada satu huruf pun yang terbaca. Mataku berkabut! Sedih sekali ...
“Kok, kamu meninggalkan aku di sana sih?!” suara Aris mengejutkanku. Aku tergagap. Malu sekali ...
Untungnya Aris tidak terus mencecarku. Aku berharap ia sudah memahami keadaanku. Satu jam lebih aku relakan diriku hanya mematung di depan mading. Selama itu pula Aris sudah tenggelam dalam keakraban dengan beberapa teman barunya.
“Ris! Ayo, langsung gabung rapat sekarang saja!” teriakan Raden mengajak. Aris menarikku ke arah ruang rapat meskipun aku berusaha menolak.
“Aduh! Aku berterima kasih sekali, nih! Kalian baru kenal sudah memberiku kesempatan bergabung di MOS. Aku rasa biar aku adaptasi dulu, ya?!” Aris melontarkan keberatannya secara halus. Yang lain pun akhirnya maklum. Yah, terdaftar secara resmi saja belum sudah dilibatkan dalam kepanitiaan MOS. Aneh ... sinisku dalam hati.
Aku tiba-tiba ingin buang air. Kutinggalkan Aris sebentar. Ia tidak menyertaiku hanya memperhatikan saja dari agak jauh. Takut kalau aku minta diperkosa sepertinya.
“Nah, ini anaknya!!” terkejut aku seorang murid langsung membetot keras kerah kausku. Cagax! Nama aslinya Teguh. Ia memegangiku. Seorang temannya membuka celanaku secara paksa. Aku panik setengah mati. Mau apa mereka?
“Siapin kontol elo, Ndra!” Hendra! Preman sekolah itu sedang mengelus-elus kontolnya yang makin lama makin tegang. Celanaku sudah terlepas termasuk cd-ku.
“Panggil calon anak baru itu, Wenk!” perintah Hendra pada anak yang memeloroti celanaku tadi. Oooh, ini mungkin yang namanya Zhawenk. Coretan di tembok toilet banyak terdapat nama ini. Zhawenk keluar. Cagax terus memegangiku. Aku tidak dapat berontak sama sekali. Hendra telah mengarahkan kontolnya yang lumayan besar ke pantatku. Jangan! Pekikku takut. Aku belum pernah ...
“Ini anaknya!” suara Zhawenk menunjukkan kedatangan Aris. Aku tidak berani melihat ke arahnya. Hina sekali keadaanku.
“Toro! Kamu kenapa?” tanyanya panik. Namun, Zhawenk yang bertubuh tinggi dan jago berkelahi telah memeganginya.
“Gue cuma mau kasih peringatan buat elo! Jangan sok kegantengan elo di sini. Elo anak baru! Selly dan cewek-cewek cakep di sini jatah anak-anak lama. Kalau elo berani mendekati seorang saja di antara mereka, siap-siap saja elo seperti bencong ini! Hehh ...” Hendra mendengus seraya menancapkan dengan kasar kontolnya ke anusku. Augh! Aku benar-benar menjerit.
“Jangan lakukan itu! Lepaskan dia!’ Aris berupaya menghentikan tindakan Hendra. Ia tidak bisa berbuat yang lain. Ada tiga anak berangasan yang harus dia hadapi. Meskipun dia jago beladiri tetapi ketiga anak ini biangnya tawuran.
“Saya janji tidak akan mendekati cewek-cewek itu!” teriak Aris.
“Elo tahu risikonya kalau elo langgar janji elo!?” ancam Zhawenk bengis. Aris mengangguk.
“Tolong lepaskan dia ...” ujarnya lemah. Tiba-tiba Cagax melemparkanku ke sudut toilet dibantu dengan tendangan di pantatku oleh Hendra yang batal menghujamkan kembali kontolnya. Aduhhhh ... sakit ...
“Toro!’” Aris kembali berteriak. Bersamaan dengan itu Zhawenk melemparnya ke arahku. Kasar dan bengis!
Aris hampir menabrakku. Untungnya ia menghindar sehingga tidak menambah penderitaan fisikku. Mentalku nyaris hancur...
Ketiga preman sekolah tadi sudah tidak ada. Aris mendekatiku dengan cemas. Ia benahi celanaku. Aku hanya menangis. Ingin mati rasanya. Seorang lelaki dijadikan sandera lelaki lainnya. Disodomi pula! Bencong!
Aris memapahku ke luar toilet. Aku merasakan sakit di pantatku. Bukan cuma karena tendangan kaki Hendra. Tendangan kontol Hendra juga sempat menembus lubangku meski sebentar. Sakit ... tak ada nikmatnya ...
Kami pulang. Aris sibuk menghiburku. Ia juga meminta maaf karena semua terjadi karena dirinya. Aku tidak berbicara sama sekali. Kejadian itu benar-benar membuatku shock. Suhu tubuhku langsung melonjak. Panas. Ibu, bapak, dan Paman Arjo menjadi prihatin melihatku. Mereka menatapi Aris bergantian. Mereka butuh penjelasan.
“Tadi saya memaksanya mengantarkan ke sekolah untuk melihat-lihat... padahal ia sudah mengeluh sakit ...”
Hanya itu.
Selamat datang, Paman Arjo dan Aris! Mungkin itulah sambutan yang bisa kulakukan untuk kalian. Aku rela untuk senantiasa melakukannya untuk kalian. Mengisap ataupun sekadar mengocok kontol kalian sehingga kalian merasa nikmat luar biasa!
Ternyata kedatangan Paman Arjo ke Jakarta bertujuan mengantarkan Aris untuk tinggal bersama keluargaku. Ia ingin melanjutkan SMA-nya di Jakarta. Jarak rumahnya di kampung dengan sekolah sangat jauh sehingga justru memakan banyak biaya dan tenaga. Selain itu, Paman Arjo menginginkan agar Aris bisa belajar denganku. Semua orang tahu kalau aku lumayan pandai. Di SD selalu juara kelas. Di SMP paling jelek masuk tiga besar. Di SMA pun sampai saat ini paling buruk aku ada di peringkat lima.
Sebenarnya kondisi perekonomian keluargaku tidak begitu bagus. Bapakku hanya pensiunan pegawai kereta api. Sekarang mencari tambahan dengan membantu ibu berdagang di kantin di sebuah kantor yang tidak begitu jauh dari rumah. Untungnya kedua kakak perempuanku sudah tidak tinggal bersama kami lagi. Kakakku yang sulung, Eka Damayanti, mengikuti suaminya dan tinggal di Palembang. Paling sering setahun sekali bertemu bapak dan ibu. Yang kedua, Dwi Larasati, juga ikut suami, tetapi masih tinggal di sekitar Jakarta juga. Namun, suaminya belum memiliki pekerjaan tetap sehingga masih sering merepotkan kedua orang tuaku.
Paman Arjo sendiri merupakan adik kandung ibuku. Ibuku anak kedua sedangkan Paman Arjo anak kelima, yang paling kecil. Aris anak pertamanya dan mungkin akan menjadi anak satu-satunya karena sampai saat ini ia belum mempunyai adik. Aku belum begitu mengenal mereka. Kami sekeluarga baru bisa pulang kampung antara tiga sampai empat tahun sekali. Selama ini Paman Arjo cukup baik dan sepertinya kagum dengan kepandaianku. Dengan Aris aku tidak begitu dekat. Kalau aku datang ke kampung ia sibuk bermain dengan teman-temannya.
Selama di Jakarta Aris hanya menumpang tinggal dan makan di rumahku. Untuk biaya keperluan sekolahnya Paman Arjo berjanji akan secara rutin mengirimkannya ke Jakarta setiap selesai panen. Hal ini terpaksa dilakukan karena Paman Arjo tidak ingin terlalu membebani orang tuaku. Bapak ibuku pun berjanji untuk sebaik mungkin menampung Aris. Mereka ingin Aris menemaniku karena sejak kelas satu SMP aku selalu mengurung diri di rumah. Aku malas keluar untuk bermain. Aku bosan dijuluki banci atau bencong!
“Bapak dan ibu mau ke kantin, kamu temani Paman Arjo dan Aris ya, Ro?!” ibuku berpamitan. Segala keperluan di rumah sudah ia siapkan.
“Ya, Bu!” jawabku. Tanpa disuruh pun aku akan melakukannya dengan senang hati. Apalagi kalau mereka tidur lagi. Aku akan gerayangi tubuh berotot mereka.
“Kamu mandi dulu sana, Ris!” perintah Paman Arjo pada anaknya. Aris segera mengeluarkan perlengkapan mandinya dan menuju bagian belakang rumahku. Jadi ingin ikut, nih!
“Kamu sudah mandi?” pertanyaan Paman Arjo mengejutkanku. Tangannya memegangi lenganku. Aku mengangguk. Paman Arjo meraih badanku dan merangkulnya. Oh, my God!
“Nanti temani Aris belajar, ya!” pintanya lembut. Aku lagi-lagi mengangguk. Paman Arjo mencium pipiku perlahan. Apa yang ada di hatinya, ya? Ini ciuman sayang seorang paman kepada keponakannya atau ...?
“Paman tidak marah kamu begitukan ...” katanya lagi, “... tapi jangan ke Aris, ya! Nanti dia tidak betah. Dia anaknya keras. Kalau tidak menyukai sesuatu ia bisa berbuat nekat!” ucapan Paman Arjo membuatku gemetar. Kasarkah Aris?
“Sebagai gantinya Paman saja. Kamu boleh apakan saja kontol Paman. Asal jangan ketahuan orang lain!” Paman tersenyum. Matanya ramah. Suatu keikhlasan berkorban. Aku tahu ia mau melakukannya bukan karena ia bernafsu dengan perbuatan homo itu. Ia sangat prihatin dengan keadaanku...
Aku merebahkan kepalaku ke dadanya. Hangat. Ia mengusap sayang kepalaku. Nafsuku bangkit lagi. Biar aku manfaatkan keadaan ini!
“Paman betul-betul tidak marah pada saya?” tanyaku memastikan. Ia mengangguk. Kuletakkan telapak tanganku di tengah selangkangannya. Ia tidak menepisnya. Kuremas perlahan kontolnya yang belum menegang. Ia berbisik.
“Kalau mau lagi, cepat! Aris mandinya cuma sebentar!” ia memperingatkanku. Aku segera membuka risleting celananya. Kukeluarkan batang kekar yang mulai merekah tersebut. Langsung kuhisap. Aku tak ingin Aris memergoki bapaknya sedang dihisap kontolnya olehku. Aku berupaya agar Paman Arjo cepat muncrat. Dia pun sepertinya membantuku dengan menuntunku menemukan titik-titik kenikmatannya. Berbeda dengan tadi pagi yang pasif saja.
“Keluar, Ro... Oooouuucchhh!...” erangnya seksi. Tidak sampai lima menit! Tidak apa-apa, kondisi mengharuskannya seperti itu. Kutelan peju Paman Arjo. Ia langsung memasukkan kontolnya yang dahsyat itu. Beruntungnya Bibi Arjo!
Paman Arjo bangkit menuju kamar. Tak lama Aris muncul dari belakang. Fresh sekali! Oh, Tuhan tak mungkin aku sanggup menahan birahiku kepada Aris ...
“Sudah, Ris?” Paman Arjo menuju kamar mandi. Aris mengangguk. Ia menatapku. Entah dari mana kurasakan hawa ketakutan menyelimutiku. Aris masih marah atas kejadian tadi pagi atau ia juga mengetahui perlakuanku pada bapaknya? Aku benar-benar takut ...
“Sekolahnya jauh?” suara Aris yang lumayan berat mengejutkanku. Ekspresinya biasa saja. Ia tidak melihat ke arahku. Namun, ia langsung duduk di sebelahku.
“Dekat...” suaraku jelas bergetar. Perpaduan antara salah tingkah disapa remaja gagah itu dengan ketakutan atas perbuatanku padanya dan bapaknya.
“Naik apa?” tanyanya lagi. Kali ini ia menoleh ke arahku. Aku menunduk tak berani menunjukkan wajahku yang bersemu merah. Malu. Takut ...
“Jalan kaki cuma sepuluh menit...” suaraku nyaris berbisik. Benar-benar aku tertekan. Aris menautkan telapak tangannya di telapak tanganku. Meremasnya lembut. Memberi kekuatan...
“Maafkan aku ya? Tadi aku mengantuk sekali... jadi kaget waktu kamu pegang...” Hah?... Ia tidak marah! Apakah ia juga tidak keberatan kalau aku melakukannya lagi?
“Aku yang minta maaf ...” jawabku. Tetap tidak sepantasnya menyambut tamu seperti itu. Homo sialan! Rutukku pada diriku sendiri.
“Kamu sering begitu?” pertanyaan Aris cenderung menuduh. Aku menggeleng cepat.
“Baru tadi aku begitu...” Jujur. Aku tidak pernah melakukannya dengan orang lain sebelumnya. Paman Arjo yang pertama dan Aris yang kedua. Sungguh!
“Jangan begitu lagi, ya?! Kepada siapa pun! Nanti kamu keterusan, susah melepaskan kebiasaan tersebut!” nasihatnya. Perih. Tak akan semudah itu, Ris! Kamu bukan aku. Kamu bukan homo. Kamu tidak tahu apa yang aku rasa...
Pembicaraan terus berlanjut. Cenderung satu arah. Aris bertanya, aku menjawab. Semua pertanyaan berkisar masalah sekolah. Yah, itu kan tujuannya ke Jakarta! Aku malu tidak mampu memberikan informasi sedetail mungkin. Meskipun masuk lima besar, tetapi aku termasuk siswa yang sangat pendiam dan tidak pandai bergaul. Aku merasakan bahwa Aris tidak puas dengan informasi yang kuberikan tentang kegiatan ekstrakurikuler, kebiasaan teman-temanku (yang memang aku tidak tahu!), dan pertanyaannya yang lain. Aku malu sekali...
“Toro! Sarapan dulu, yuk! Paman sudah lapar!” suara Paman Arjo menghentikan suasana memalukan tersebut. Ia telah selesai mandi. Lelaki empat puluhan tahun itu sungguh tampan. Seandainya ia kaya pasti lebih mampu merawat tubuhnya. Mungkin akan seputih Aris, anaknya yang berkulit lebih bersih. Atau mungkin saat mudanya pun ia seperti Aris? Kemungkinan itu sangat besar...
“Saya sudah sarapan. Paman dengan Aris silahkan saja! Sudah ibu siapkan di meja!” Aku bangkit menunjukkan sarapan kedua tamuku itu. Aris dan Paman Arjo duduk menghadap meja. Aku tinggalkan mereka ke kamar.
“Kasihan anak itu! Kata ibunya tidak pernah bergaul. Nyaris tidak mempunyai kawan. Padahal anak itu pintar...” terdengar suara Paman Arjo dalam bahasa Jawa. Ia kira aku tidak paham bahasa itu.
“Orangnya sangat pemalu, Pak! Aku ajak ngobrol malah aku seperti sedang melakukan wawancara. Aku terus yang bertanya. Jawabannya juga tidak banyak...” jelas Aris. Maafkan aku, Ris! Terlalu banyak yang menggantung di jiwaku....
“Kamu harus sabar! Bantu dia ...” permintaan Paman Arjo pada anaknya membuatku sesak. Aku memang membutuhkan bantuan ...
“Membantu bagaimana, Pak? Lelaki kok, seperti perempuan ...” Deggg ... Ris, kamu tega! Tak perlu diucapkan! Aku pun menyadari keadaanku! Aku benci Aris!!
“Jangan begitu! Dia saudaramu! Ibunya kakak perempuan Bapak. Ibunya tidak meminta. Namun, Bapak ingin kamu membantunya. Kamu sebaya dengannya. Mudah-mudahan kamu bisa memasuki kekosongan hatinya!” Pamanku membujuk Aris.
“Yah, aku coba semampu aku, Pak! Tantangannya berat. Dia seperti Si Kholis...” ucapan Aris tertahan.
“Mudah-mudahan tidak separah Si Kholis. Kholis sudah benar-benar jadi perempuan. Baju dan penampilannya tidak ada lelakinya sama sekali” harap Paman Arjo. Aku tidak tahu siapa Si Kholis. Mungkin salah satu banci di kampung Pamanku.
“Dia tidak pakai rok karena masih sekolah. Kalau lulus nanti dia akan pakai rok karena tidak ada aturan yang memaksanya memakai celana.. ha..ha..” ucapan Aris sungguh menyakitkan. Dia tertawa lebih menyakitkan lagi. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Paman Arjo. Aku benci sekali padamu, Ris!!!
Aku tertidur dengan air mata yang bersimbah. Perih sekali. Memang bukan Aris seorang yang menghinaku dengan ucapan-ucapan seperti itu. Banci ...
“Kok, sudah tidur lagi? Mentang-mentang liburan, ya?” Aris sudah berada di belakang punggungku. Aku segera menghapus air mataku. Terlambat! Aris sudah melihatnya ...
“Kamu mendengar obrolanku dengan bapakku, ya?” tanyanya khawatir.
“Aku punya kuping!” ketusku. Judes sekali. Banci!
“Memangnya kamu mengerti bahasa Jawa?” tanyanya lagi.
“Tri Sugihantoro itu bukan orang Batak!” sungutku. Aris tersenyum. Sialan!
“Oooh, jadi kamu orang Jawa toh...” godanya.
“Aku lahir di Jawa!” aku melotot padanya.
“Aku juga ...” Hhhh ... “... berarti kita sama, dong!” Aris tertawa. Renyah sekali. Aku kesal sekali. Kubalikkan lagi badanku. Aku ingin tidur saja!
“Tri Sugihantoro! Ajak Aris Irawan berjalan-jalan, dong! Aku sudah tidak sabar, nih, mau lebih mengenali kota Jakarta, ibukota yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri ini..” Hampir aku tertawa mendengar gaya bercandanya yang sekaligus memperkenalkan dirinya itu. Aris Irawan! Harusnya ditambah menjadi ... Aris Irawan Si Tampan!
“Aku tidak pernah berjalan-jalan. Aktivitasku cuma rumah dan sekolah!” elakku.
“Ya, sudah! Ajak aku ke sekolahmu, dong! Biar tidak kaget nanti masuk ke sana ...” bujuknya. Dia memang akan dimasukkan bapak ke sekolahku.
“Sekarang itu sedang libur! Masih tutup kali ...” tegasku.
“Aku cuma ingin tahu jalannya saja ... Mau, ya Ro?!” Aku bangkit dengan malas. Mungkin lebih baik pergi daripada tidur. Selama liburan aku jenuh sekali.
“Nah, begitu, dong! Tamu memang harus diberikan pelayanan ekstra ...” kata Aris senang. Tadi pagi sudah! Pekikku dalam hati. Refleks kuarahkan pandanganku ke selangkangan remaja kekar itu.
“Sudah, dong! Jangan dibegitukan lagi, ya? Nanti aku marah ...” ancamnya halus. Ternyata berasa juga tuh, anak ...
Akhirnya kami memohon izin kepada Paman Arjo untuk melihat-lihat sekolah. Lelaki baik itu benar-benar berjiwa petani. Ia sedang merapihkan tanaman di depan rumah yang memang tidak ada yang merawat.
Kami berjalan bersisian. Bangga rasanya. Aku yang biasanya sendiri kini berjalan di samping seorang pria tampan dan gagah. Pria itu saudaraku, lagi. Aku mati-matian mengimbangi gaya berjalannya yang tegap itu. Yah ... jangan sampai terlihat begitu kontras. Seorang pria gagah berjalan dengan banci kalengan. Apa kata dunia?
Di sekolah ternyata sudah berlangsung beberapa aktivitas. Persiapan penerimaan siswa baru (PSB) dan masa orientasi siswa baru (MOS). Penerimaan siswa baru dilakukan oleh para guru. Sebagian pengurus OSIS yang di antaranya juga teman sekelasku di kelas satu sedang mempersiapkan acara MOS.
“Toro! Itu siapa?” Selly, teman sekelasku yang paling cantik ... juga genit. Tidak biasanya ia menegurku. Hmmmm ... pasti ada maunya. Kulirik Aris. Ia sudah tersenyum ke Selly. Manis sekali. Hhhh ... bete!
Aku benar-benar tidak menikmati kunjunganku ke sekolah pada hari libur itu. Setelah dengan terpaksa kuperkenalkan Aris kepada Selly, ia sudah lebur dengan teman-teman Selly di OSIS. Ada Anom, si ketua OSIS yang juga pernah menjadi bintang iklan sebuah cream antijerawat. Ada Raden, wakil ketua yang putih tinggi dan jago basket. Ada Aini, Rosalina, dan beberapa pengurus OSIS yang tidak aku kenali.
Seharusnya aku tetap di sana. Namun, entah bagaimana aku sudah terlempar dari kumpulan itu. Aris sudah asyik berbincang-bincang dengan mereka, yang notabene adalah orang yang baru ia kenal. Aku sendiri berpura-pura membaca berbagai selebaran maupun tempelan yang ada di mading sekolah. Tak ada satu huruf pun yang terbaca. Mataku berkabut! Sedih sekali ...
“Kok, kamu meninggalkan aku di sana sih?!” suara Aris mengejutkanku. Aku tergagap. Malu sekali ...
Untungnya Aris tidak terus mencecarku. Aku berharap ia sudah memahami keadaanku. Satu jam lebih aku relakan diriku hanya mematung di depan mading. Selama itu pula Aris sudah tenggelam dalam keakraban dengan beberapa teman barunya.
“Ris! Ayo, langsung gabung rapat sekarang saja!” teriakan Raden mengajak. Aris menarikku ke arah ruang rapat meskipun aku berusaha menolak.
“Aduh! Aku berterima kasih sekali, nih! Kalian baru kenal sudah memberiku kesempatan bergabung di MOS. Aku rasa biar aku adaptasi dulu, ya?!” Aris melontarkan keberatannya secara halus. Yang lain pun akhirnya maklum. Yah, terdaftar secara resmi saja belum sudah dilibatkan dalam kepanitiaan MOS. Aneh ... sinisku dalam hati.
Aku tiba-tiba ingin buang air. Kutinggalkan Aris sebentar. Ia tidak menyertaiku hanya memperhatikan saja dari agak jauh. Takut kalau aku minta diperkosa sepertinya.
“Nah, ini anaknya!!” terkejut aku seorang murid langsung membetot keras kerah kausku. Cagax! Nama aslinya Teguh. Ia memegangiku. Seorang temannya membuka celanaku secara paksa. Aku panik setengah mati. Mau apa mereka?
“Siapin kontol elo, Ndra!” Hendra! Preman sekolah itu sedang mengelus-elus kontolnya yang makin lama makin tegang. Celanaku sudah terlepas termasuk cd-ku.
“Panggil calon anak baru itu, Wenk!” perintah Hendra pada anak yang memeloroti celanaku tadi. Oooh, ini mungkin yang namanya Zhawenk. Coretan di tembok toilet banyak terdapat nama ini. Zhawenk keluar. Cagax terus memegangiku. Aku tidak dapat berontak sama sekali. Hendra telah mengarahkan kontolnya yang lumayan besar ke pantatku. Jangan! Pekikku takut. Aku belum pernah ...
“Ini anaknya!” suara Zhawenk menunjukkan kedatangan Aris. Aku tidak berani melihat ke arahnya. Hina sekali keadaanku.
“Toro! Kamu kenapa?” tanyanya panik. Namun, Zhawenk yang bertubuh tinggi dan jago berkelahi telah memeganginya.
“Gue cuma mau kasih peringatan buat elo! Jangan sok kegantengan elo di sini. Elo anak baru! Selly dan cewek-cewek cakep di sini jatah anak-anak lama. Kalau elo berani mendekati seorang saja di antara mereka, siap-siap saja elo seperti bencong ini! Hehh ...” Hendra mendengus seraya menancapkan dengan kasar kontolnya ke anusku. Augh! Aku benar-benar menjerit.
“Jangan lakukan itu! Lepaskan dia!’ Aris berupaya menghentikan tindakan Hendra. Ia tidak bisa berbuat yang lain. Ada tiga anak berangasan yang harus dia hadapi. Meskipun dia jago beladiri tetapi ketiga anak ini biangnya tawuran.
“Saya janji tidak akan mendekati cewek-cewek itu!” teriak Aris.
“Elo tahu risikonya kalau elo langgar janji elo!?” ancam Zhawenk bengis. Aris mengangguk.
“Tolong lepaskan dia ...” ujarnya lemah. Tiba-tiba Cagax melemparkanku ke sudut toilet dibantu dengan tendangan di pantatku oleh Hendra yang batal menghujamkan kembali kontolnya. Aduhhhh ... sakit ...
“Toro!’” Aris kembali berteriak. Bersamaan dengan itu Zhawenk melemparnya ke arahku. Kasar dan bengis!
Aris hampir menabrakku. Untungnya ia menghindar sehingga tidak menambah penderitaan fisikku. Mentalku nyaris hancur...
Ketiga preman sekolah tadi sudah tidak ada. Aris mendekatiku dengan cemas. Ia benahi celanaku. Aku hanya menangis. Ingin mati rasanya. Seorang lelaki dijadikan sandera lelaki lainnya. Disodomi pula! Bencong!
Aris memapahku ke luar toilet. Aku merasakan sakit di pantatku. Bukan cuma karena tendangan kaki Hendra. Tendangan kontol Hendra juga sempat menembus lubangku meski sebentar. Sakit ... tak ada nikmatnya ...
Kami pulang. Aris sibuk menghiburku. Ia juga meminta maaf karena semua terjadi karena dirinya. Aku tidak berbicara sama sekali. Kejadian itu benar-benar membuatku shock. Suhu tubuhku langsung melonjak. Panas. Ibu, bapak, dan Paman Arjo menjadi prihatin melihatku. Mereka menatapi Aris bergantian. Mereka butuh penjelasan.
“Tadi saya memaksanya mengantarkan ke sekolah untuk melihat-lihat... padahal ia sudah mengeluh sakit ...”
Hanya itu.
Pak RT - Manfaat Kerja Bakti
Minggu pagi. Minggu yang cerah. Sebagian besar kaun bapak di RT-ku bergotong royong membersihkan lingkungan yang rutin dilaksanakan sebulan sekali. Rutinitas bulanan yang sangat aku sukai. Selain berolahraga aku juga bisa memanfaatkannya untuk memanjakan selera homoku. Bagaimana tidak? Para bapak itu umumnya hanya mengenakan celana pendek yang bias menunjukkan kekekaran paha dan betis mereka. Dan yang terpenting, sebagian besar dari mereka memiliki tonjolan yang lumayan besar di depan celananya. Akh… Aku memang belum pernah melihat satu pun kontol mereka. Namun, aku yakin ukuran mereka cukup banyak yang di atas standar. Semoga saja ada yang menjadi milikku pagi ini!
“Bapak-bapak! Istirahat dulu... Ada lontong, nih!” teriakan Mang Udin menghentikan kegiatan seluruh peserta kerja bakti.
“Hahhh... Lontong?!” canda Pak Edi yang berkonotasi seksual itu memancing tawa seluruh bapak-bapak itu. Aku jadi terangsang mendengarnya.
“Lontongnye siape?” tukas Bang Jali dengan gaya Betawi-nya.
“Lontongnya Pak RT! Tadi Bu RT yang mengantarkan...” jawab Pak Soleh polos. Spontan yang lain tertawa makin terpingkal. Pun aku. Pak Soleh yang kalem tapi juga polos itu agak terbengong mendapat reaksi demikian.
“Lontongnye Pak RT segini, nih?” Bang Jali menggenggam lontong yang belum terbuka dan mengacungkannya ke atas. Acungan tangannya diikuti seluruh pandangan para pekerja bakti. Hingga meledaklah tawa mereka.
“Lho, mengapa semua menertawakan? Ada yang salah kalau lontong saya sebesar itu?” tanya Pak RT. Ia penasaran rupanya.
“Segitu belum besar, Te!” tukas Pak Edi. Yang lain tertawa lagi.
“Itu belum bangun, Pak Edi...” bela Pak RT.
“Kalau sudah bangun seberapa, Te?” Mang Udin berlagak penasaran.
“Yaaah... bisa-bisa saya yang paling besar di sini...” agak gelagapan Pak RT menangkis pertanyaan Mang Udin. Ada nuansa gengsi dalam nada suaranya.
“Wah! Yang bener, nih?” tanya Bang Jali mengejek.
“Coba kita cek, Pak RT...” usul Pak Soleh. Lagi-lagi dengan keluguannya kami semua tertawa. Kecuali Pak RT.
“Oh, jangan, dong! Itu urusan pribadi... Bukan konsumsi orang banyak!” kelitnya berdiplomatis. Semakin kentara gengsinya. Pak RT, gitu loh!
“Kalau cuma satu orang yang lihat boleh, Te?” goda Bang Nasrul.
“E...e...” Pak RT gelagapan. Lagi-lagi kami tertawa. Hal ini membuat wajah Pak RT bersemu merah. Aku menikmati sekali gaya bercanda bapak-bapak ini.
“Gimane, Te? Berani buktiin nggak kalo lontong ente paling gede di sini?” Bang Jali kembali memancing gengsi Pak RT. Aku berharap Pak RT mengiyakan. He...he...
“Memangnya bapak-bapak yang lain tidak malu kalau diminta memperlihatkan lontong masing-masing?” Pak RT mencoba mengalihkan perhatian hadirin dari lontongnya. Hi...hi...hi...
“Buat ngebuktiin omongan ente, Te, kite semua kagak ragu melorotin kolor masing-masing!” Bang Jali seolah-olah menjadi perwakilan warga. Ucapannya tersebut membuat beberapa bapak misuh-misuh. Tidak pede sepertinya.
“Ah, saya sih kecil! Tidak usah dibuktikan lagi!” sela Pak Soleh segera. Yang lain langsung tertawa lagi.
“Wah! Kasihan Bu Soleh, dong...” ejekan Pak Edi membuat Pak Soleh mengkeret. Beberapa bapak yang sebelumnya berniat bersikap seperti Pak Soleh langsung mengubah strategi. Nah, looo....
“Kalau saya lumayan besar, tetapi tidak sebesar Pak RT...” Pak Jono salah satu pengubah strategi itu berdalih.
“Lho? Sudah pernah lihat lontong Pak RT, Pak Jono?” ledek Mang Udin seolah-olah bertanya. Pak Jono tidak menjawab. Hanya wajahnya yang memerah. Malu. Jangan-jangan... memang pernah, nih! Kik..kik...kik...
Suasana bertambah hangat. Celetukan-celetukan beraroma kontol betul-betul menggairahkan aku. Kurasakan kontolku sudah ngaceng sejak tadi. Namun, aku mencoba menyembunyikannya dari yang lain. Takut ketahuan kalau... hombreng! Huuu...
“Udeh, sekarang gini aje: Kita tarohan! Yang lontongnye lebih kecil dari ente, Te, gantiin ente ronda! Jadi, kalo ade lima orang yang lebih kecil lontongnye, ente bisa ngaso ngeronda selama lima minggu, Te!” Yups. Pancingan yang jitu! Oh, Bang Jali! I love you! Lelaki satu ini benar-benar membuat Minggu ini begitu berarti bagiku. Kwakakkakk...
Pak RT terlihat terkejut. Ia mulai tidak pede. Sebagian bapak yang sealiran dengan Pak Soleh hanya menggerutu. Sepertinya tidak terima , tetapi tak berdaya menolak usulan Bang Jali. Takut dikick balik oleh Bang Jali dan Pak Edi. Lihat saja Pak Soleh dan Pak Jono! Jadi kalem... Kasihan...
“Sebentar, Bang Jali! Kalau yang lontongnya lebih besar dari Pak RT dapat apa ?” tanyaku kritis.
“Pak Sugi benar, Bang! Yang lebih besar dapat apa?” Bang Nasrul mendukungku. Nampaknya ia juga bernafsu dengan tarohan tersebut. Hmm, darahnya masih muda. Baru dua puluh tujuh.
“Digantikan rondanya oleh Pak RT!” usul seseorang.
“Bebas iuran warga selama satu bulan!” usul yang lain.
“Anaknya dapat beasiswa!” usul yang aneh.
“Dapat beras tiga setengah liter!” usul yang juga aneh.
“Gratis naik haji!” makin aneh.
“Diisep sampai puas!” lebih dari aneh. Upss! Usul siapa itu? Oh, ternyata usulku sendiri. Untung cuma dalam hati...
Pak RT semakin memucat. Bang Jali, Pak Edi, dan Bang Nasrul sepertinya ingin membuatnya semakin pasi. Aku menikmati sekali kejahilan tiga lelaki iseng tersebut.
Akhirnya diputuskan bahwa yang lontongnya lebih besar daripada Pak RT dapat menentukan sendiri hadiahnya dari Pak RT, tetapi yang realistis. Dengan catatan diungkapkan sebelum dilakukan pembuktian ukuran dan disetujui oleh para pekerja bakti (cieee...). Pak RT sepertinya sudah tidak bernafas, tetapi jantungnya terus berdetak cepat. Aku juga... tapi dengan alasan yang berbeda tentunya! Ha...ha...ha....
Pak Soleh, Pak Jono, Mbah Broto, dan Mas Nono langsung menyatakan siap menggantikan Pak RT ronda. Lumayan, sebulan Pak RT bisa puas mengeloni isterinya tanpa kewajiban lain yang mengganggu. He...he...
“Saya dibelikan viagra saja!” Mang Udin menyebut keinginannya. Terlalu mahal. Disetujui Pak RT mengurutnya selama satu jam sebagai penggantinya.
“Pak RT onani di depan saya!” Gila. Pak Edi benar-benar gila. Disetujui, tetapi dilakukan hanya di depan Pak Edi. Huuu... Penonton kecewa! Cuma aku, sih....
“Aye mau kontol aye diisep ente, Te, ampe muncrat!” permintaan yang seksi. Pak RT makin memutih wajahnya. Disetujui, tetapi jika kontol Bang Jali yang lebih kecil, dia harus bersedia melakukan hal yang sama. Dan... tetap dilakukan di ruang tertutup hanya mereka berdua. Huuu... lagi.
“Saya mau Pak RT menonton bokep semalaman dengan saya dalam keadaan bugil!” permintaan Bang Nasrul, si jejaka. Disetujui, tetapi dilakukan di ruang tertutup. Hanya berdua. Huuu...lagi-lagi.
“Kalau saya ingin kontol Pak RT dikocok oleh orang yang memiliki kontol paling besar dan disaksikan oleh peserta taruhan!” Ini permintaanku. Tidak malu. Sudah ada yang meminta dengan aroma serupa, bukan? Disetujui, tetapi hanya aku yang menonton. Itu pun jika si pemilik kontol terbesar bersedia melakukan tugasnya. Jika tidak, Bang Jali yang akan melakukannya. Ooohhhh... Bang Jali benar-benar memanjakanku! Sadarkah ia?....
Selebihnya, delapan orang bapak yang lain tidak ingin bertaruh. Namun, mereka tetap berpartisipasi dalam pengukuran kontol. Sekadar menghapus rasa penasaran, katanya. Ah,... masak?
Seluruh pekerja bakti akhirnya menuju aula RT. Seluruh pintu dan jendela dikunci. Ruangan dibiarkan terang benderang karena sudah dipastikan pemandangan di dalam tidak tembus ke luar.
Kami semua berdiri melingkar. Kecuali empat orang yang sudah mengaku kalah tentu saja. Sesuai kesepakatan kami diwajibkan membuat kontol kami masing-masing menjadi ngaceng. Akh, aku sudah dari tadi!
Tidak sampai tiga menit semua batang kontol telah menegang. Pak RT yang berada di tengah lingkaran sepertinya belum maksimal. Mungkin ia stress. Ditunggu sampai menit kelima buat Pak RT menegangkan kontolnya. Selanjutnya akan langsung diadakan pengukuran dalam keadaan bagaimana pun. Kasihan Pak RT... Dia sudah tidak bisa menambah ketegangan pada kontolnya! Stress....
Akibatnya, hasilnya mudah ditebak. Kontol kami semua lebih besar dibandingkan kontol Pak RT. Karena kasihan, segala permintaan kami diperkenankan diganti dengan satu permintaan terbaru: Pak RT boleh memilih salah satu dari kami untuk membobol liang duburnya saat itu juga disaksikan seluruh pekerja bakti!
Setelah mempertimbangkan untung-ruginya, Pak RT dengan lesu menyetujui hal tersebut. Dia memilih Pak Edi!
Aku tidak tahu alasan pasti Pak RT memilih Pak Edi. Padahal kontol terbesar adalah Bang Jali. Kalau mau yang segar muda, ya Bang Nasrul. Yang panjangan, Mang Udin. Akh... apa ya alasannya? Aku penasaran....
Pak RT dengan polosnya langsung menungging di tengah ruangan. Pak Edi pun tidak menunggu lama. Ia langsung menghujamkan kontolnya ke dubur Pak RT. Tidak ada hambatan. Selain ukuran kontol Pak Edi tidak terlalu super, lubang Pak RT pun lumayan besar.
Pak Edi terus memaju-mundurkan kontolnya. Sesekali ia angkat ke belakang badan Pak RT untuk memperlihatkan kontol Pak RT. Luar biasa! Pak RT kali ini benar-benar ngaceng! Dan ternyata.... ukurannya tetap yang terkecil! Hik...hik...
Hampir satu jam Pak Edi menunggangi Pak RT. Ia mengerang dahsyat setelah berhasil menyemburkan pejunya di lubang dubur Pak RT. Jantan! Pak RT sendiri sudah tiga kali melelehkan pejunya saat dirojok kontol Pak Edi. Hwalaaahhh...
Taruhan usai. Semua meninggalkan aula. Pak RT dan Pak Edi terakhir keluar. Aku sengaja membarengi mereka. Dan.... tak sengaja aku mendengar Pak Edi berbisik kepada Pak RT:
“Jangan khawatir! Lubangmu masih lebih sempit dibandingkan isterimu!”
SELESAI
“Bapak-bapak! Istirahat dulu... Ada lontong, nih!” teriakan Mang Udin menghentikan kegiatan seluruh peserta kerja bakti.
“Hahhh... Lontong?!” canda Pak Edi yang berkonotasi seksual itu memancing tawa seluruh bapak-bapak itu. Aku jadi terangsang mendengarnya.
“Lontongnye siape?” tukas Bang Jali dengan gaya Betawi-nya.
“Lontongnya Pak RT! Tadi Bu RT yang mengantarkan...” jawab Pak Soleh polos. Spontan yang lain tertawa makin terpingkal. Pun aku. Pak Soleh yang kalem tapi juga polos itu agak terbengong mendapat reaksi demikian.
“Lontongnye Pak RT segini, nih?” Bang Jali menggenggam lontong yang belum terbuka dan mengacungkannya ke atas. Acungan tangannya diikuti seluruh pandangan para pekerja bakti. Hingga meledaklah tawa mereka.
“Lho, mengapa semua menertawakan? Ada yang salah kalau lontong saya sebesar itu?” tanya Pak RT. Ia penasaran rupanya.
“Segitu belum besar, Te!” tukas Pak Edi. Yang lain tertawa lagi.
“Itu belum bangun, Pak Edi...” bela Pak RT.
“Kalau sudah bangun seberapa, Te?” Mang Udin berlagak penasaran.
“Yaaah... bisa-bisa saya yang paling besar di sini...” agak gelagapan Pak RT menangkis pertanyaan Mang Udin. Ada nuansa gengsi dalam nada suaranya.
“Wah! Yang bener, nih?” tanya Bang Jali mengejek.
“Coba kita cek, Pak RT...” usul Pak Soleh. Lagi-lagi dengan keluguannya kami semua tertawa. Kecuali Pak RT.
“Oh, jangan, dong! Itu urusan pribadi... Bukan konsumsi orang banyak!” kelitnya berdiplomatis. Semakin kentara gengsinya. Pak RT, gitu loh!
“Kalau cuma satu orang yang lihat boleh, Te?” goda Bang Nasrul.
“E...e...” Pak RT gelagapan. Lagi-lagi kami tertawa. Hal ini membuat wajah Pak RT bersemu merah. Aku menikmati sekali gaya bercanda bapak-bapak ini.
“Gimane, Te? Berani buktiin nggak kalo lontong ente paling gede di sini?” Bang Jali kembali memancing gengsi Pak RT. Aku berharap Pak RT mengiyakan. He...he...
“Memangnya bapak-bapak yang lain tidak malu kalau diminta memperlihatkan lontong masing-masing?” Pak RT mencoba mengalihkan perhatian hadirin dari lontongnya. Hi...hi...hi...
“Buat ngebuktiin omongan ente, Te, kite semua kagak ragu melorotin kolor masing-masing!” Bang Jali seolah-olah menjadi perwakilan warga. Ucapannya tersebut membuat beberapa bapak misuh-misuh. Tidak pede sepertinya.
“Ah, saya sih kecil! Tidak usah dibuktikan lagi!” sela Pak Soleh segera. Yang lain langsung tertawa lagi.
“Wah! Kasihan Bu Soleh, dong...” ejekan Pak Edi membuat Pak Soleh mengkeret. Beberapa bapak yang sebelumnya berniat bersikap seperti Pak Soleh langsung mengubah strategi. Nah, looo....
“Kalau saya lumayan besar, tetapi tidak sebesar Pak RT...” Pak Jono salah satu pengubah strategi itu berdalih.
“Lho? Sudah pernah lihat lontong Pak RT, Pak Jono?” ledek Mang Udin seolah-olah bertanya. Pak Jono tidak menjawab. Hanya wajahnya yang memerah. Malu. Jangan-jangan... memang pernah, nih! Kik..kik...kik...
Suasana bertambah hangat. Celetukan-celetukan beraroma kontol betul-betul menggairahkan aku. Kurasakan kontolku sudah ngaceng sejak tadi. Namun, aku mencoba menyembunyikannya dari yang lain. Takut ketahuan kalau... hombreng! Huuu...
“Udeh, sekarang gini aje: Kita tarohan! Yang lontongnye lebih kecil dari ente, Te, gantiin ente ronda! Jadi, kalo ade lima orang yang lebih kecil lontongnye, ente bisa ngaso ngeronda selama lima minggu, Te!” Yups. Pancingan yang jitu! Oh, Bang Jali! I love you! Lelaki satu ini benar-benar membuat Minggu ini begitu berarti bagiku. Kwakakkakk...
Pak RT terlihat terkejut. Ia mulai tidak pede. Sebagian bapak yang sealiran dengan Pak Soleh hanya menggerutu. Sepertinya tidak terima , tetapi tak berdaya menolak usulan Bang Jali. Takut dikick balik oleh Bang Jali dan Pak Edi. Lihat saja Pak Soleh dan Pak Jono! Jadi kalem... Kasihan...
“Sebentar, Bang Jali! Kalau yang lontongnya lebih besar dari Pak RT dapat apa ?” tanyaku kritis.
“Pak Sugi benar, Bang! Yang lebih besar dapat apa?” Bang Nasrul mendukungku. Nampaknya ia juga bernafsu dengan tarohan tersebut. Hmm, darahnya masih muda. Baru dua puluh tujuh.
“Digantikan rondanya oleh Pak RT!” usul seseorang.
“Bebas iuran warga selama satu bulan!” usul yang lain.
“Anaknya dapat beasiswa!” usul yang aneh.
“Dapat beras tiga setengah liter!” usul yang juga aneh.
“Gratis naik haji!” makin aneh.
“Diisep sampai puas!” lebih dari aneh. Upss! Usul siapa itu? Oh, ternyata usulku sendiri. Untung cuma dalam hati...
Pak RT semakin memucat. Bang Jali, Pak Edi, dan Bang Nasrul sepertinya ingin membuatnya semakin pasi. Aku menikmati sekali kejahilan tiga lelaki iseng tersebut.
Akhirnya diputuskan bahwa yang lontongnya lebih besar daripada Pak RT dapat menentukan sendiri hadiahnya dari Pak RT, tetapi yang realistis. Dengan catatan diungkapkan sebelum dilakukan pembuktian ukuran dan disetujui oleh para pekerja bakti (cieee...). Pak RT sepertinya sudah tidak bernafas, tetapi jantungnya terus berdetak cepat. Aku juga... tapi dengan alasan yang berbeda tentunya! Ha...ha...ha....
Pak Soleh, Pak Jono, Mbah Broto, dan Mas Nono langsung menyatakan siap menggantikan Pak RT ronda. Lumayan, sebulan Pak RT bisa puas mengeloni isterinya tanpa kewajiban lain yang mengganggu. He...he...
“Saya dibelikan viagra saja!” Mang Udin menyebut keinginannya. Terlalu mahal. Disetujui Pak RT mengurutnya selama satu jam sebagai penggantinya.
“Pak RT onani di depan saya!” Gila. Pak Edi benar-benar gila. Disetujui, tetapi dilakukan hanya di depan Pak Edi. Huuu... Penonton kecewa! Cuma aku, sih....
“Aye mau kontol aye diisep ente, Te, ampe muncrat!” permintaan yang seksi. Pak RT makin memutih wajahnya. Disetujui, tetapi jika kontol Bang Jali yang lebih kecil, dia harus bersedia melakukan hal yang sama. Dan... tetap dilakukan di ruang tertutup hanya mereka berdua. Huuu... lagi.
“Saya mau Pak RT menonton bokep semalaman dengan saya dalam keadaan bugil!” permintaan Bang Nasrul, si jejaka. Disetujui, tetapi dilakukan di ruang tertutup. Hanya berdua. Huuu...lagi-lagi.
“Kalau saya ingin kontol Pak RT dikocok oleh orang yang memiliki kontol paling besar dan disaksikan oleh peserta taruhan!” Ini permintaanku. Tidak malu. Sudah ada yang meminta dengan aroma serupa, bukan? Disetujui, tetapi hanya aku yang menonton. Itu pun jika si pemilik kontol terbesar bersedia melakukan tugasnya. Jika tidak, Bang Jali yang akan melakukannya. Ooohhhh... Bang Jali benar-benar memanjakanku! Sadarkah ia?....
Selebihnya, delapan orang bapak yang lain tidak ingin bertaruh. Namun, mereka tetap berpartisipasi dalam pengukuran kontol. Sekadar menghapus rasa penasaran, katanya. Ah,... masak?
Seluruh pekerja bakti akhirnya menuju aula RT. Seluruh pintu dan jendela dikunci. Ruangan dibiarkan terang benderang karena sudah dipastikan pemandangan di dalam tidak tembus ke luar.
Kami semua berdiri melingkar. Kecuali empat orang yang sudah mengaku kalah tentu saja. Sesuai kesepakatan kami diwajibkan membuat kontol kami masing-masing menjadi ngaceng. Akh, aku sudah dari tadi!
Tidak sampai tiga menit semua batang kontol telah menegang. Pak RT yang berada di tengah lingkaran sepertinya belum maksimal. Mungkin ia stress. Ditunggu sampai menit kelima buat Pak RT menegangkan kontolnya. Selanjutnya akan langsung diadakan pengukuran dalam keadaan bagaimana pun. Kasihan Pak RT... Dia sudah tidak bisa menambah ketegangan pada kontolnya! Stress....
Akibatnya, hasilnya mudah ditebak. Kontol kami semua lebih besar dibandingkan kontol Pak RT. Karena kasihan, segala permintaan kami diperkenankan diganti dengan satu permintaan terbaru: Pak RT boleh memilih salah satu dari kami untuk membobol liang duburnya saat itu juga disaksikan seluruh pekerja bakti!
Setelah mempertimbangkan untung-ruginya, Pak RT dengan lesu menyetujui hal tersebut. Dia memilih Pak Edi!
Aku tidak tahu alasan pasti Pak RT memilih Pak Edi. Padahal kontol terbesar adalah Bang Jali. Kalau mau yang segar muda, ya Bang Nasrul. Yang panjangan, Mang Udin. Akh... apa ya alasannya? Aku penasaran....
Pak RT dengan polosnya langsung menungging di tengah ruangan. Pak Edi pun tidak menunggu lama. Ia langsung menghujamkan kontolnya ke dubur Pak RT. Tidak ada hambatan. Selain ukuran kontol Pak Edi tidak terlalu super, lubang Pak RT pun lumayan besar.
Pak Edi terus memaju-mundurkan kontolnya. Sesekali ia angkat ke belakang badan Pak RT untuk memperlihatkan kontol Pak RT. Luar biasa! Pak RT kali ini benar-benar ngaceng! Dan ternyata.... ukurannya tetap yang terkecil! Hik...hik...
Hampir satu jam Pak Edi menunggangi Pak RT. Ia mengerang dahsyat setelah berhasil menyemburkan pejunya di lubang dubur Pak RT. Jantan! Pak RT sendiri sudah tiga kali melelehkan pejunya saat dirojok kontol Pak Edi. Hwalaaahhh...
Taruhan usai. Semua meninggalkan aula. Pak RT dan Pak Edi terakhir keluar. Aku sengaja membarengi mereka. Dan.... tak sengaja aku mendengar Pak Edi berbisik kepada Pak RT:
“Jangan khawatir! Lubangmu masih lebih sempit dibandingkan isterimu!”
SELESAI
Subscribe to:
Posts (Atom)
Paling Populer Selama Ini
-
Pagi masih gelap saat kudengar ibu membangunkan aku yang terlelap. Seperti biasa aku hanya mengubah posisi berbaringku menjadi meringkuk. “T...
-
. Album Berikutnya
-
Sebagai penghuni baru di Kota ini, sore itu aku memutuskan untuk jalan-jalan di salah satu mall terkenal di daerah selatan Jakarta. Aku ingi...
-
Namaku Suryati, biasa dipanggil Yati. Sejak berkeluarga dan tinggal di Jakarta aku selalu sempatkan pulang mudik menengok orang tua di Semar...
-
---------- 1. Mature Gay Daddy - Oldermen Lihat Cuplikan Size: 44,11 MiB Duration: 00:11:20 Type: avi Video: 400x300 http://b93d...
-
Album Sebelumnya
-
Cerita lainnya tanpa gambar tapi tak kalah seru, klik aja ini
-
Untuk menghabiskan anggaran tahunan, perusahaan kami berniat membeli beberapa peralatan kantor berupa komputer dan beberapa perlengkapan lai...
-
(by: haus_lelaki@yahoo.com) Tugas kantor selesai. 10 hari di Biak jenuh juga. Masalahnya tidak mudah menemukan pasangan sesama lelaki unt...
-
(by: rustyryans@gmail.com) Siang itu memang terasa sangat membosankan,setelah hampir 2 minggu menghabiskan waktu liburan akhir semester ta...