6/15/2011

Andani Citra – Kenangan Lain Bersama Sopirku 2

Copyright 2004, by Andani Citra

(Gadis dan Pria Tua)

Kisahku yang satu ini adalah lanjutan dari kisahku yang berjudul ‘Kenangan Bersama Sopirku’ jadi kejadiannya sudah cukup lama, waktu aku masih kelas tiga SMU, umurku juga masih 18 tahun ketika itu. Sejak aku menyerahkan tubuhku pada Tohir, sopirku, dia sering memintaku melakukannya lagi setiap kali ada kesempatan, bahkan terkadang aku dipaksanya melayani nafsunya yang besar itu. Ketika di mobil dengannya tidak jarang dia suruh aku mengoralnya, kalaupun tidak, minimal dia mengelus-elus paha mulusku atau meremas dadaku.

Pernah malah ketika kedua orang tuaku keluar kota dia ajak aku tidur bersamanya di kamarku. Memang di depan orang tuaku dia bersikap padaku sebagaimana sopir terhadap majikannya, namun begitu jauh dari mereka keadaan menjadi berbalik akulah yang harus melayaninya. Mulanya sih aku memang agak kesal karena sikapnya yang agak kelewatan itu, tapi di lain pihak aku justru menikmatinya.

Tepatnya dua minggu sebelum Ebtanas, aku sedang belajar sambil selonjoran bersandar di ujung ranjangku. Ketika itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.47, suasananya hening sekali pas untuk menghafal. Tiba-tiba konsentrasiku terputus oleh suara ketukan di pintu. Kupikir itu Mamaku yang ingin menengokku, tapi ketika pintu kubuka, jreeenngg… Aku tersentak kaget, si Tohir ternyata.

“Ih, ngapain sih Bang malam-malam gini, kalau keliatan Papa Mama kan gawat tahu.”

“Anu Non, nggak bisa tidur nih… Mikirin Non terus sih, bisa nggak Non sekarang… Sudah tiga hari nih?” katanya dengan mata menatapi tubuhku yang terbungkus gaun tidur pink.

“Aahh… Sudah ah Bang, saya kan harus belajar sudah mau ujian, nggak mau sekarang ah!” omelku sambil menutup pintu.

Namun sebelum pintu tertutup dia menahannya dengan kaki, lalu menyelinap masuk dan baru menutup pintu itu dan menguncinya.

“Tenang saja Non, semua sudah tidur dari tadi kok, tinggal kita duaan saja,” katanya menyeringai.

“Jangan ngelunjak Bang… Sana cepet keluar!” hardikku dengan telunjuk mengarah ke pintu.

Bukannya menuruti perintahku dia malah melangkah mendekatiku, tatapan matanya tajam seolah menelanjangiku.

“Bang Tohir… Saya bilang keluar… Jangan maksa!” bentakku lagi.

“Ayolah Non, cuma sebentar saja kok… Abang sudah kebelet nih, lagian masa Non nggak capek belakangan ini belajar melulu sih,” ucapnya sambil terus mendekat.

Aku terus mundur selangkah demi selangkah menghindarinya, jantungku semakin berdebar-debar seperti mau diperkosa saja rasanya. Akhirnya kakiku terpojok oleh tepi ranjangku hingga aku jatuh terduduk di sana. Kesempatan ini tidak disia-siakan sopirku, dia langsung menerkam dan menindih tubuhku. Aku menjerit tertahan dan meronta-ronta dalam himpitannya. Namun sepertinya reaksiku malah membuatnya semakin bernafsu, dia tertawa-tawa sambil menggerayangi tubuhku. Aku menggeleng kepalaku kesana kemari saat dia hendak menciumku dan menggunakan tanganku untuk menahan laju wajahnya.

“Mmhh… Jangan Bang… Citra nggak mau!” mohonku.

Aneh memang, sebenarnya aku bisa saja berteriak minta tolong, tapi kenapa tidak kulakukan, mungkin aku mulai menikmatinya karena perlakuan seperti ini bukanlah pertama kalinya bagiku, selain itu aku juga tidak ingin ortuku mengetahui skandal-skandalku. Breettt… Gaun tidurku robek sedikit di bagian leher karena masih memberontak waktu dia memaksa membukanya. Dia telah berhasil memegangi kedua lenganku dan direntangkannya ke atas kepalaku. Aku sudah benar-benar terkunci, hanya bisa menggelengkan kepalaku, itupun dengan mudah diatasinya. Bibirnya yang tebal itu sekarang menempel di bibirku. Aku bisa merasakan kumis pendek yang kasar menggesek sekitar bibirku juga deru nafasnya pada wajahku.

Kecapaian dan kalah tenaga membuat rontaanku melemah, mau tidak mau aku harus mengikuti nafsunya. Dia merangsangku dengan mengulum bibirku, mataku terpejam menikmati cumbuannya. Lidahnya terus mendorong-dorong memaksa ingin masuk ke mulutku. Mulutku pun pelan-pelan mulai terbuka membiarkan lidahnya masuk dan bermain di dalamnya. Lidahku secara refleks beradu karena dia selalu menyentil-nyentil lidahku seakan mengajaknya ikut menari. Suara desahan tertahan, deru nafas dan kecipak ludah terdengar jelas olehku.

Mataku yang terpejam terbuka ketika kurasakan tangan kasarnya mengelusi paha mulusku, dan terus mengelus menuju pangkal paha. Jarinya menekan-nekan liang vaginaku dan mengusap-ngusap belahan bibirnya dari luar. Birahiku naik dengan cepatnya, terpancar dari nafasku yang makin tak teratur dan vaginaku yang mulai becek.

Tangannya sudah menyusup ke balik celana dalamku. Jari-jarinya mengusap-usap permukaannya dan menemukan klitorisku. Benda seperti kacang itu dipencet-pencet dan digesekkan dengan jarinya membuatku menggelinjang dan merem-melek menahan geli bercampur nikmat. Terlebih lagi jari-jari lainnya menyusup dan menyetuh dinding-dinding dalam liang itu.

“Ooohhh… Non Citra jadi tambah cantik saja kalau lagi konak gini!” ucapnya sambil menatapi wajahku yang merona merah dengan matanya yang sayu karena sudah terangsang berat.

Lalu dia tarik keluar tangannya dari celana dalamku. Jari-jarinya belepotan cairan bening dari vaginaku.

“Non cepet banget basahnya, ya. Lihat nih becek gini,” katanya memperlihatkan jarinya yang basah di depan wajahku yang lalu dijilatinya.

Kemudian dengan tangan yang satunya dia sibakkan gaun tidurku sehingga payudaraku yang tidak memakai bra terbuka tanpa terhalang apapun. Matanya melotot mengamat-ngamati dan mengelus payudaraku yang berukuran 34B, dengan puting kemerahan serta kulitnya yang putih mulus. Teman-teman cowokku bilang, bahwa bentuk dan ukuran payudaraku ideal untuk orang Asia, kencang dan tegak seperti punya artis bokep Jepang, bukan seperti punya bule yang terkadang oversize dan turun ke bawah.

“Nnngghhh… Bang” desahku dengan mendongak ke belakang merasakan mulutnya memagut payudaraku yang menggemaskan itu.

Mulutnya menjilat, mengisap, dan menggigit pelan putingnya. Sesekali aku bergidik keenakan kalau kumis pendeknya menggesek putingku yang sensitif. Tangan lainnya turut bekerja pada payudaraku yang sebelah dengan melakukan pijatan atau memainkan putingnya sehingga kurasakan kedua benda sensitif itu semakin mengeras. Yang bisa kulakukan hanya mendesah dan meremasi rambutnya yang sedang menyusu.

Puas menyusu dariku, mulutnya perlahan-lahan turun mencium dan menjilati perutku yang rata dan terus berlanjut makin ke bawah sambil tangannya menurunkan celana dalamku. Sambil memeloroti dia mengelusi paha mulusku. CD itu akhirnya lepas melalui kaki kananku yang dia angkat, setelah itu dia mengulum sejenak jempol kakiku dan juga menjilati kakiku. Darahku semakin bergolak oleh permainannya yang erotis itu. Selanjutnya dia mengangkat kedua kakiku ke bahunya, badanku setengah terangkat dengan selangkangan menghadap ke atas.

Aku pasrah saja mengikuti posisi yang dia inginkan, pokoknya aku ingin menuntaskan birahiku ini. Tanpa membuang waktu lagi dia melumat kemaluanku dengan rakusnya. Lidahnya menyapu seluruh pelosok vaginaku dari bibirnya, klitorisnya, hingga ke dinding di dalamnya, anusku pun tidak luput dari jilatannya. Lidahnya disentil-sentilkan pada klitorisku memberikan sensasi yang luar biasa pada daerah itu. Aku benar-benar tak terkontrol dibuatnya, mataku merem-melek dan berkunang-kunang, syaraf-syaraf vaginaku mengirimkan rangsangan ini ke seluruh tubuh yang membuatku serasa menggigil.

“Ah… Aahh… Bang… Nngghh… Terus!” erangku lebih panjang di puncak kenikmatan, aku meremasi payudaraku sendiri sebagai ekspresi rasa nikmat.

Tohir terus menyedot cairan yang keluar dari sana dengan lahapnya. Tubuhku jadi bergetar seperti mau meledak. Kedua belah pahaku semakin erat mengapit kepalanya. Setelah puas menyantap hidangan pembuka berupa cairan cintaku, barulah dia turunkan kakiku. Aku sempat beristirahat dengan menunggunya membuka baju, tapi itu tidak lama. Setelah dia membuka baju, dia buka juga dasterku yang sudah tersingkap. Kami berdua kini telanjang bulat.

Dia membentangkan kedua pahaku dan mengambil posisi berlutut di antaranya. Bibir vaginaku jadi ikut terbuka memancarkan warna merah merekah diantara bulu-bulu hitamnya, siap untuk menyambut yang akan memasukinya. Namun Tohir tidak langsung mencoblosnya, terlebih dulu dia gesek-gesekkan penisnya yang besar itu pada bibirnya untuk memancing birahiku agar naik lagi. Karena sudah tidak sabar ingin segera dicoblos, aku meraih batang itu, keras sekali benda itu waktu kugenggam, panjang dan berurat lagi.

“Aaakkhh…!” erangku lirih sambil mengepalkan tangan erat-erat saat penisnya melesak masuk ke dalamku.

“Aauuuhhh…!” aku menjerit lebih keras dengan tubuh berkelejotan karena hentakan kerasnya hingga penis itu tertancap seluruhnya pada vaginaku.

Untung saja kamar Papa Mamaku di lantai dasar dan letaknya cukup jauh dari kamarku, kalau tidak tentu suara-suara aneh di kamarku pasti terdengar oleh mereka, bagaimanapun sopirku ini termasuk nekad berani melakukannya di saat dan tempat seperti ini, tapi justru disinilah sensasinya ngeseks di tempat yang ‘berbahaya’.

Dengan gerakan perlahan dia menarik penisnya lalu ditekan ke dalam lagi seakan ingin menikmati dulu gesekan-gesekan pada himpitan lorong sempit yang bergerinjal-gerinjal itu. Aku ikut menggoyangkan pinggul dan memainkan otot vaginaku mengimbangi sodokannya. Responku membuatnya semakin menggila, penisnya semakin lama menyodok semakin kasar saja. Kedua gunungku jadi ikut terguncang-guncang dengan kencang.

Kuperhatikan selama menggenjotku otot-otot tubuhnya mengeras, tubuhnya yang hitam kekar bercucuran keringat, sungguh macho sekali, pria sejati yang memberiku kenikmatan sejati. Suara desahanku bercampur baur dengan erangan jantannya dan derit ranjang. Butir-butir keringat nampak di sejukur tubuhku seperti embun, walaupun ruangan ini ber-ac tapi aku merasa panas sekali.

“Uugghh… Non Citra… Sayang… Kamu emang uenak tenan… Oohh… Non cewek paling cantik yang pernah abang entotin,” Tohir memgumam tak karuan di tengah aktivitasnya.

Dia menurunkan tubuhnya hingga menindihku, kusambut dengan pelukan erat, kedua tungkaiku kulingkarkan di pinggangnya. Dia mendekatkan mulutnya ke leher jenjangku dan memagutnya. Sementara di bawah sana penisnya makin gencar mengaduk-aduk vaginaku, diselingi gerakan berputar yang membuatku serasa diaduk-aduk. Tubuh kami sudah berlumuran keringat yang saling bercampur, akupun semakin erat memeluknya. Aku merintih makin tak karuan menyambut klimaks yang sudah mendekat bagaikan ombak besar yang akan menghantam pesisir pantai.

Namun begitu sudah di ambang klimaks, dia menurunkan frekuensi genjotannya. Tanpa melepaskan penisnya, dia bangkit mendudukkan dirinya, maka otomatis aku sekarang diatas pangkuannya. Dengan posisi ini penisnya menancap lebih dalam pada vaginaku, semakin terasa pula otot dan uratnya yang seperti akar beringin itu menggesek dinding kemaluanku. Kembali aku menggoyangkan badanku, kini dengan gerakan naik-turun. Dia merem-melek keenakan dengan perlakuanku. Mulutnya sibuk melumat payudaraku kiri dan kanan secara bergantian membuat kedua benda itu penuh bekas gigitan dan air liur. Tangannya terus menjelajahi lekuk-lekuk tubuhku, mengelusi punggung, pantat, dan paha.

Tak lama kemudian aku kembali mendekati orgasme, maka kupercepat goyanganku dan mempererat pelukanku. Hingga akhirnya mencapai suatu titik dimana tubuhku mengejang, detak jantung mengencang, dan pandangan agak kabur lalu disusul erangan panjang serta melelehnya cairan hangat dari vaginaku. Saat itu dia gigit putingku dengan cukup keras sehingga gelinjangku makin tak karuan oleh rasa perih bercampur nikmat. Ketika gelombang itu berangsur-angsur berlalu, goyanganku pun makin mereda, tubuhku seperti mati rasa dan roboh ke belakang tapi ditopang dengan lengannya yang kokoh.

Dia membiarkanku berbaring mengumpulkan tenaga sebentar. Diambilnya tempat minum di atas meja kecil sebelah ranjangku dan disodorkan ke mulutku. Beberapa teguk air membuatku lebih enakan dan tenagaku mulai pulih berangsur-angsur.

“Sudah segar lagi kan, Non? Kita terusin lagi yuk!” sahut Tohir senyum-senyum sambil mulai menggerayangi tubuhku kembali.

“Habis ini sudahan yah, takut ketahuan nih,” kataku.

Kali ini tubuhku dibalikkan dalam posisi menungging, kemudian dia mulai menciumi pantatku. Lidahnya menelusuri vagina dan anusku memberiku sensasi geli. Kemudian aku merasa dia meludahi bagian duburku, ya ketika kulihat ke belakang dia memang sedang membuang ludahnya beberapa kali ke daerah itu, lalu digosok-gosokkan dengan jarinya. Oh… Jangan-jangan dia mau main sodomi, aku sudah lemas dulu membayangkan rasa sakitnya ditusuk benda sebesar itu pada daerah situ padahal dia belum juga menusuk. Pertama kali aku melakukan anal sex dengan temanku yang penisnya tidak sebesar Tohir saja sudah sakit banget, apalagi yang sebesar ini. Aduh bisa mampus gua, pikirku.

Benar saja yang kutakutkan, setelah melicinkan daerah itu dia bangkit dengan tangan kanan membimbing penisnya dan tangan kiri membuka anusku. Aku meronta ingin menolak tapi segera dipegangi olehnya.

“Jangan Bang… Jangan disitu, sakit!” mohonku setengah meronta.

“Tenang Non, nikmati saja dulu, ntar juga enak kok,” katanya dengan santai.

Aku merintih sambil menggigit guling menahan rasa perih akibat tusukan benda tumpul pada duburku yang lebih sempit dari vaginaku. Air mataku saja sampai meleleh keluar.

“Aduuhh… Sudah dong Bang… Citra nggak tahan,” rintihku yang tidak dihiraukannya.

“Uuhh… Sempit banget nih,” dia mengomentariku dengan wajah meringis menahan nikmat.

Setelah beberapa saat menarik dan mendorong akhirnya mentok juga penisnya. Dia diamkan sebentar penisnya disana untuk beradaptasi sekalian menikmati jepitannya. Kesempatan ini juga kupakai untuk membiasakan diri dan mengambil nafas.

Aku menjerit kecil saat dia mulai menghujamkan penisnya. Secara bertahap sodokannya bertambah kencang dan kasar sehingga tubuhku pun ikut terhentak-hentak. Tangannya meraih kedua payudaraku dan diremas-remasnya dengan brutal. Keringat dan air mataku bercucuran akibat sensasi nikmat di tengah-tengah rasa perih dan ngilu, aku menangis bukan karena sedih, juga bukan karena benci, tapi karena rasa sakit bercampur nikmat. Rasa sakit itu kurasakan terutama pada dubur dan payudara, aku mengaduh setiap kali dia mengirim hentakan dan remasan keras, namun aku juga tidak rela dia menyudahinya. Terkadang aku harus menggigit bibir atau bantal untuk meredam jeritanku agar tidak keluar sampai ke bawah sana.

Akhirnya ada sesuatu perasaan nikmat mengaliri tubuhku yang kuekspresikan dengan erangan panjang, ya aku mengalami orgasme panjang dengan cara kasar seperti ini, tubuhku menegang beberapa saat lamanya hingga akhirnya lemas seperti tak bertulang. Tohir sendiri menyusulku tak lama kemudian, dia menggeram dan makin mempercepat genjotannya. Kemudian dengan nafas masih memburu dia mencabut penisnya dariku dan membalikkan tubuhku. Spermanya muncrat dengan derasnya dan berceceran di sekujur dada dan perutku, hangat dan kental dengan baunya yang khas.

Tubuh kami tergolek lemas bersebelahan. Aku memejamkan mata dan mengatur nafas sambil merenungkan dalam-dalam kegilaan yang baru saja kami lakukan, sebuah hubungan terlarang antara seorang gadis dari keluarga kaya dan terpelajar yang cantik dan terawat dengan sopirnya sendiri yang kasar dan berbeda kelas sosial. Hari-hari berikutnya aku jadi semakin kecanduan seks, terutama seks liar seperti ini, dimana tubuhku dipakai orang-orang kasar seperti Tohir, dari situlah aku merasakan sensasinya.

Sebenarnya aku pernah ingin berhenti, tetapi aku tidak bisa meredam libidoku yang tinggi, jadi ya kujalani saja apa adanya. Untuk mengimbanginya aku rutin merawat diriku sendiri dengan fitness, olahraga, mandi susu, sauna, juga mengecek jadwal suburku secara teratur. Dua bulan ke depan Tohir terus memperlakukanku seperti budak seksnya sampai akhirnya dia mengundurkan diri untuk menemani istrinya yang menjadi TKW di Timur Tengah. Lega juga aku bisa lepas dari cengkeramannya, tapi terkadang aku merasa rindu akan keperkasaannya, dan hal inilah yang mendorongku untuk mencoba berbagai jenis penis hingga kini.

TAMAT

Aladin I

Zaman dahulu kala di Negeri Cina tinggallah seorang pemuda miskin Aladin namanya. Kemiskinannya membuat Aladin melakukan segala hal untuk menghidupi dirinya bersama dengan ibunya yang sudah tua renta. Kadangkala Aladin mengemis di pasar, menjadi kuli membantu para pedagang mengangkat barang dagangan mereka, dan juga mencuri.

Sesungguhnya Aladin adalah pemuda yang baik. Kalau sangat tidak kepepet maka ia sangat tidak suka untuk mencuri. Namun kebutuhan hidup menyebabkan ia tak tahan untuk mencuri dari orang-orang kaya yang sombong yang suka memamer-mamerkan perhiasan mereka saat berjalan-jalan di tengah keramaian.

Aladin memiliki seorang sahabat setia. Ali namanya. Ali berusia lima tahun lebih muda dari Aladin. Meskipun usia mereka terpaut jauh namun keduanya sangat akrab. Saat ini usia Aladin baru sembilan belas tahun. Keduanya senantiasa bersama-sama melakukan pekerjaan untuk memperoleh uang membiayai hidup mereka yang miskin. Ali adalah anak yatim piatu. Karena itu seringkali ia menumpang tidur di rumah Aladin. Apabila tidak menumpang, maka remaja tanggung itu akan tidur di emperan-emperan toko. Menjadi gelandangan.

Sesungguhnya Aladin mengajak Ali untuk tinggal bersama dengannya dan ibunya yang renta. Namun Ali sangat sungkan memenuhi ajakan Aladin itu. Kebaikan Aladin dan ibunya selama ini sudah membuatnya berhutang budi. Ia tak mau berhutang budi lebih banyak lagi. Karena tidak tahu bagaimana harus membalas nantinya.

Suatu hari Aladin dan Ali bekerja di toko menjual tepung gandum milik pedangang di pasar. Tiba-tiba lewatlah iring-iringan putri kerajaan melintasi pasar. Putri Jasmin, demikian nama putri cantik itu sedang duduk diatas tandu yang diangkat oleh empat pengawal istana bertubuh kekar. Tandu itu ditutupi dengan kain sutra transparan berwarna merah.

Disaat Putri Jasmin lewat, Aladin sedang memanggul karung besar berisi tepung gandum di punggungnya. Sebelah tangannya terentang ke atas memegang ujung karung, sementara tangan yang lain terentang ke bawah menahan bobot karung. Aladin menggenakan rompi kecil menutup bagian atas tubuhnya. Otot-ototnya yang terbentuk sempurna rerlihat jelas, berkilauan oleh pantulan cahaya matahari di tubuhnya yang basah bersimbah keringat. Bulu ketiaknya yang lebat, basah melambai-lambai dari lipatan lengannya yang terentang ke atas.

Dari atas tandu Putri Jasmin tak kuasa untuk menahan pandangannya dari pemuda Aladin. Darahnya mendesir melihat pemuda tampan yang jantan itu. Jemarinya yang lentik dan lembut menyibakkan kain sutra penutup tandunya agar dapat melihat lebih jelas sosok Aladin yang tampan dan jantan itu. Cadar yang menutupi wajahnya yang cantik disingkapkannya. Ia tersenyum menggoda pada Aladin. Kecantikan Putri Jasmin membuat Aladin terpesona. Ia memandangi sang putri tanpa berkedip. Keduanya saling menatap untuk waktu yang cukup lama. Cinta tubuh diantara mereka saat itu juga.

Rombongan itu menjauh. Namun Aladin tetap memandang ke arah tandu berisi Putri Jasmin.

“Aladin,” tegur Ali yang juga sedang mengangkat karung berisi gandum sama seperti Aladin. “Apa yang kau lamunkan?”

Aladin tersadar. Wajahnya tersipu. Malu tertangkap basah oleh Ali sedang melamunkan Putri Jasmin. “Tidak ada apa-apa,” sahutnya. Ia segera berlalu membawa karungnya menuju gudang. Ali hanya menggeleng-geleng saja melihat kelakuan sahabatnya yang aneh.

Malam itu, baik Aladin maupun Putri Jasmin saling membayangkan satu sama lain diatas peraduan mereka masing-masing. Berbaring telentang dengan kedua lengan menjadi bantal Aladin menatap langit-langit kamarnya membayangkan kecantikan Putri Jasmin. Baru sekali itu ia melihat seorang gadis sedemikian cantik seperti itu. Peraduannya yang hanya terbuat dari kayu yang sudah reot tak dirasakannya menyakitkan punggungnya seperti malam-malam sebelumnya. Membayangkan kecantikan Putri Jasmin membuat tempat tidurnya dirasakannya begitu empuk malam itu.

Sementara itu diatas peraduannya yang sangat empuk Putri Jasmin senyum-senyum sendiri mengingat rupa Aladin. Ia sangat bergairah melihat ketampanan wajah dan kejantanan tubuh pemuda yang dekil itu. Dada Aladin yang bidang penuh dengan bulu dan bulu ketiak yang lebat dilipatan lengan berorot Aladin begitu menggodanya.

“Mengapa pemuda setampan dan segagah dia bisa hidup dalam kemiskinan seperti itu?” tanyanya membatin.

Sejak saat itu Aladin menjadi sangat bersemangat bekerja. Ia berniat mengumpulkan uang untuk melamar Putri Jasmin.

“Kau gila!” kata ibunya yang renta suatu hari saat Aladin menceritakan hasratnya meminang Putri Jasmin pada ibunya.

“Mengapa ibu berkata seperti itu?”

“Gaji yang engkau kumpulkan sampai engkau mati sekalipun tak cukup untuk melamar putri itu anakku. Hentikanlah khayalanmu itu. Bekerjalah yang baik untuk bisa menghidupi kita berdua. Kalau engkau sudah ingin sekali kawin, akan aku lamarkan untukmu gadis-gadis miskin di desa kita ini,” kata ibunya.

Sejak itu Aladin tak lagi menceritakannya keinginannya pada sang ibu. Namun hasrat untuk melamar Putri Jasmin tetap menggelora di jiwanya.

Suatu hari Karim paman Aladin menyuruhnya untuk mengunjungi sang paman ke rumahnya. Biasanya kalau sang paman menyuruhnya kesana pasti ada pekerjaan yang akan diberikan sang paman pada keponakannya itu. Meskipun sang paman terkenal kejam dan pelit namun dengan membantu pamannya paling tidak ia memperoleh sedikit uang.

“Hari ini aku tidak bekerja di toko gandum,” kata Aladin pada Ali, saat remaja tanggung sahabatnya itu datang menjemputnya ke rumah untuk bersama-sama berangkat ke toko gandum.

“Mengapa?” tanya Ali.

“Pamanku menyuruhku datang ke rumahnya. Mungkin ada pekerjaan yang akan diberikannya padaku,” jawab Aladin.

“Baiklah kalau begitu. Aku berangkat sendirian ke sana,” Ali kemudian berlalu meninggalkan Aladin. Tatapan Aladin mengikuti sosok Ali yang tinggi dan atletis diusianya yang semuda itu, hingga sosoknya hilang di persimpangan jalan.

Kemudian Aladin berangkat menuju rumah sang paman. Sesampainya di sana dilihatnya kediaman sang paman sepi. Karena sudah terbiasa, tanpa permisi Aladin memasuki rumah sang paman. Tak ada orang di dalam rumah yang cukup besar itu. Aladin masuk semakin dalam. Di depan kamar pamannya yang hanya ditutupi sehelai tirai terbuat dari kain, Aladin mendengar suara-suara merintih dari dalam kamar itu.

“Dasar paman. Masih tak pernah berubah. Siang-siang begini disempatkannya juga buat ngentot,” batin Aladin. Perlahan-lahan Aladin menyibak tirai itu. Ia berniat untuk mengintip sang paman. Seringkali Aladin memergoki sang paman sedang memuas-muaskan birahi di kamarnya. Kalau tidak dengan istrinya, biasanya dengan para budak yang ada di rumahnya.

Aladin sangat terkejut saat matanya melongok ke dalam kamar pamannya itu. Pemandangan yang dilihatnya kali ini sangat berbeda dengan yang biasa dilihatnya. Di atas ranjang dengan tubuh telanjang bulat sang paman bersimpuh. Pantatnya bergerak cepat maju mundur. Sang paman kelihatan sangat bernafsu. Tangannya tak berhenti meremas-remas pantat yang sedang di entotnya itu. Didepannya menungging dengan tangan lurus ke tempat tidur seorang bocah laki-laki. Pamannya begitu asik melakukan sodomi pada bocah laki-laki itu!

Aladin hampir tak mempercayai apa yang dilihatnya. Bocah laki-laki bertubuh ramping namun cukup berotot itu terlihat sangat kesakitan saat dibool oleh sang paman. Tubuhnya yang putih mulus terlihat menegang dan memerah. Matanya yang sipit terpejam-pejam dengan mulut menganga menahan erangan. Dibelakangnya Paman Aladin asik menyodok-nyodokkan kontolnya yang besar diantara paha sang bocah yang merenggang. Buah pantatnya terlihat memerah oleh remasan dan tepukan paha sang paman yang kokoh.

“Ohhhh…. Ohhhhh…. Benar-benar sempithhh…. Sempithhhsshhhh ssshhekalihhh….. jauh lebih sempithhh dari memekhhhh… ohhhh…,” racau sang paman keenakan.

Sementara bocah itu terus menahan sakit. Wajahnya yang tampan terlihat sangat kepayahan. Dari tempatnya berdiri Aladin bisa melihat kontol sang bocah yang lemas menggantung bersama dengan dua buah pelirnya di selengkangannya bergoncang-goncang cepat akibat genjotan sang paman. Aladin tak menyangka pamannya bisa juga memperoleh kenikmatan dengan membool lobang pantat bocah itu.

Lama juga sang paman asik bergoyang pantat. Akhirnya aksi senggama itu usai dengan tubuh sang paman berkelojotan. Pantatnya menekan keras ke pantat sang bocah. Mulutnya menciumi punggung sang bocah yang mulus. “Ohhhh… ohhhhhhhhhh…,” sang paman menjerit. Spermanya tumpah ruah di dalam lobang pantat bocah itu. Selanjutnya tubuh keduanya ambruk. Kontol sang paman terlepas dari jepitan lobang pantat sang bocah. Aladin memandangi sang bocah yang mengangkang. Lobang pantatnya terlihat memerah, menganga lebar dengan cairan putih kental belepotan di sekitarnya.

“Ohhhhh… nikmatnyahhh…. Lobang pantamu luar biasa bocah…. Sangat menjepit kontolkuhh…,” desah sang paman sembari menciumi dada sang bocah yang mungil.

Aladin segera berlalu dari tempatnya mengintip. Ia tak mau ketahuan sang paman. Sepuluh menit berlalu. Sang paman belum keluar dari kamar. Suasana kamar hening. Tak lama kemudian tirai kamar itu tersibak. Sang paman keluar bersama-sama dengan bocah itu. Sang bocah yang hanya menggenakan sehelai kain kecil penutup kontolnya berjalan mengangkang-ngangkang kepayahan meninggalkan kamar. Ia sempat menatap Aladin dengan tatapan sayu. Sementara sang paman yang melihat Aladin langsung tersenyum lebar melihat kehadiran keponakannya. Sang bocah berjalan ke belakang rumah dengan gontai. Tetap dengan mengangkang-ngangkang.

“Aladin keponakanku. Sudah lamakah engkau tiba?”

“Baru saja paman. Ada apa bocah itu di dalam kamar paman?” tanya Aladin memancing.

“Oh. Tubuhku rasanya sangat penat. Istriku kebetulan sedang tidak ada di rumah. Jadi aku minta padanya untuk memijatku tadi,” sahut sang paman mengelak.

“Dasar bejat,” kata Aladin. Tapi hanya dalam hati. Yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata ini,”Ada apa paman memanggilku?”

“Aku memerlukan bantuanmu Aladin. Sssttt…” tiba-tiba suara sang paman membisik. “Aku mendapatkan informasi bahwa ada harta karun yang tersimpan di sebuah gua di tengah hutan. Bersama denganmu kita akan mengambilnya. Setelah mendapatkannya maka harta karun itu akan kita bagi dunia Aladin. Bagaimana?”

“Harta karun?” Aladin takjub mendengarnya.

“Ya,”

Aladin berfikir sejenak. Mengapa pamannya tidak mengambil sendiri. Mengapa pamannya berbaik hati berbagi dengannya.

“Mengapa paman mengajakku?” tanya Aladin.

“Aladin. Engkau kan masih muda dan tubuhnya kekar dan kuat. Sedangkan aku sudah tak lagi muda. Tentu saja aku tak berani mengambil harta itu sendiri. Bagaimana bila ada perampok di jalan. Denganmu aku yakin akan bisa membawa harta itu dengan selamat kemari,”

“Mmmm… begitu ya,” Aladin menimbang-nimbang. “Baiklah kalau begitu paman. Mari kita mengambilnya,”

“Kalau begitu besok kita berangkat mengambil harta itu,” sahut sang paman.

Keesokan harinya berangkatlah Aladin bersama pamannya ke hutan. Aladin sangat bersemangat. Ia sudah mengkhayalkan dengan harta karun yang didapatnya maka ia akan kaya raya dan dapat melamar Putri Jasmin.

Dengan menggunakan dua ekor kuda yang besar mereka melaju menuju hutan. Tak lupa mereka membawa empat kantong besar sebagai tempat harta karun yang mereka peroleh nanti. Hutan yang mereka masuki sangat lebat. Dengan peta harta karun yang diperoleh sang paman entah dari siapa akhirnya mereka menemukan lokasi tempat harta karun itu berada.

Gua yang dimaksud oleh sang paman ternyata adalah sebuah celah sempit didalam tanah berada diantara kumpulan batu karang besar.

“Dengan tali ini masuklah engkau ke dalam Aladin, aku akan memegangi tali ini dari atas,” kata sang paman. Aladin mengikuti kata-kata sang paman. Perlahan-lahan dengan bergelayutan pada tali Aladin menuruni celah itu. Kedalamannya cukup jauh. Sesampai didalam suasananya sangat gelap. Aladin yang sudah mempersiapkan obor segera menghidupkannya.

Di dasar celah itu ternyata masih terdapat lorong-lorong lagi. Aladin dengan diterangi obor berjalan masuk ke dalam lorong itu. Dan di dalam lorong itulah Aladin menemukan harta karun yang baru pertama kali dilihatnya seumur hidupnya. Berbagai macam perhiasan terbuat dari emas menumpuk.

“Bagaimana Aladin? Kau sudah menemukannya?” tanya sang paman dari atas.

“Sudah paman, sudah,” teriak Aladin.

“Kalau begitu isikanlah harta itu ke dalam kantong-kantong ini,” kata sang paman. Kemudian empat kantong besar di lemparkan sang paman ke dalam.

Aladin segera mengisi kantong itu. Setelah mengisinya Aladin menyandangkan kantong-kantong itu ke bahunya.

“Sekarang angkatlah aku paman,” kata Aladin.

“Kantong itu saja dahulu yang engkau ikatkan ke ujung tali Aladin. Agar aku bisa menariknya,” sahut sang paman.

“Tidak paman. Angkatlah aku bersama-sama dengan kantong ini,”

“Tidak usah. Kantong itu saja dahulu,” sang paman rupanya sudah berniat jahat pada keponakannya itu. Rencananya setelah mengangkat semua kantong ia akan meninggalkan Aladin sendiri disana. Aladin mulai mencurigai pamannya.

“Kalau begitu aku tidak akan mengikatkan kantong-kantong ini di ujung tali,” kata Aladin.

“Kau benar-benar kurang ajar!” sang paman mulai marah.

“Paman pasti akan meninggalkan aku nantinya,” balas Aladin.

Akhirnya bereka berdebat terus. Sang paman yang marah karena rencananya tak kesampaian akhirnya menutup lobang itu dengan batu dan meninggalkan Aladin. Tinggallah Aladin sendiri di dasar tanah.

“Pamanku benar-benar jahat,” batin Aladin. Ia terduduk sendiri merenungi nasibnya. Kini ia terkurung di dalam tanah bersama harta karun yang melimpah. Sementara sang paman meninggalkannya. Aladin memandangi harta karun di dalam kantong. Sebuah lampu yang terbuat dari emas tertangkap pandangannya. Aladin segera mengambil lampu itu. Ia berniat memindahkan api dari obornya ke sumbu lampu itu.

“Betapa kotonya lampu ini,” kata Aladin. Tangannya kemudian menggosok-gosok lampu itu membersihkannya dari tanah. Tiba-tiba terjadi keanehan. Dari ujung sumbu lampu itu keluar asap tebal. Asap itu terus membubung dan membentuk gumpalan kemudian perlahan-lahan gumpalan itu berbentuk wujud manusia. Aladin ketakutan.

Gumpalan asap menipis. Lalu hilang. Kini terlihatlah sesosok tubuh laki-laki, tinggi kekar berdiri tegak di hadapan Aladin. Laki-laki itu sangat gagah dan tampan. Aladin ketakutan sekaligus kebingungan melihat laki-laki itu. Yang membingungkan Aladin adalah laki-laki tampan itu tak menggenakan pakaian sama sekali. Tak ada sehelai benangpun melekat di tubuhnya yang berotot. Pada selangkangannya menggantung sebuah kontol besar, melengkung ke arah kanan. Rimbunan jembut memenuhi pangkal kontol itu.

“Sssiiiapa kau?” tanya Aladin.

“Aku adalah jin lampu lampu,” sahut laki-laki itu dengan suara berwibawa.

“Jin lampu lampu?”

“Ya. Engkau telah membebaskan diriku dari kurungan lampu itu ratusan tahun. Sebagai tanda terima kasih, aku akan memenuhi segala permintaanmu,” sahut jin lampu itu.

“Segala permintaan?”

“Ya. Apapun yang kau minta,”

“Benarkah kata-katamu itu?”

“Cobalah dulu,”

“Baiklah. Bebaskan aku dari sini beserta harta-harta ini,”

“Perintahmu adalah tugasku. Ting,”

Tiba-tiba Aladin sudah berada di luar demikian juga seluruh kantong harta itu. Aladin merasa sangat senang. Jin lampu itu sudah berdiri di sebelahnya. Masih telanjang bulat. Aladin melirik pada batang kontol besar yang menggantung itu.

“Aku minta kau menggenakan pakaian,” kata Aladin.

“Kenapa engkau meminta seperti itu?”

“Aku merasa risih melihatmu telanjang bulat seperti itu,”

“Engkau merasa risih atau iri? Karena melihat kontolku ini?”

“Mmmm dua-duanya,”

“Mengapa engkau tidak memintaku agar membesarkan ukuran kontolmu. Agar engkau merasa bangga,”

“Ukuranku sudah cukup besar,” sahut Aladin.

“Tapi tidak sebesar punyaku kan,”

“Iya,”

“Makanya. Mintalah,”

“Baiklah. Aku minta agar kontolku lebih besar dari punyamu,”

“Permintaanmu adalah tugasku. Ting,”

Tiba-tiba Aladin merasa celananya menjadi sempit. Ia melirik ke bawah. Selangkangannya terlihat menonjol besar. Aladin segera membuka celananya.

“Astaga besar sekali,” serunya girang. Pada selangkangannya menggantung sebuah kontol yang besar. Panjangnya sekitar dua puluh sentimeter. “Padahal masih lemas. Bagaimana lagi kalau tegak?” seru Aladin.

“Cobalah tegakkan agar engkau mengetahui ukurannya,” kata Jin lampu.

“Maksudmu engkau menyuruhku onani? Buat apa tanganku capek. Aku hanya mau melakukannya apabila ada yang membantu,” sahut Aladin.

“Baiklah kalau begitu. Duduklah di batu itu aku akan membantumu,” kata jin lampu. Aladin segera duduk di atas batu, mengangkang memamerkan kontolnya yang besar dan rimbun dengan jembut lebat. Ia tak sabar dengan bantuan jin lampu. Ia yakin jin lampu akan menghadirkan seorang gadis cantik membantunya.

Jin lampu kemudian mendekati Aladin. Sekejab saja ia sudah menunduk di selangkangan Aladin. Mulut sang jin lampu langsung melahap kontol besar Aladin.

“Mau apa kau?” tanya Aladin bingung. Jin lampu tampan itu sudah sibuk mengulum-ngulum kontol besar Aladin. “Bukan ini maksudku,” kata Aladin. Ia berusaha melepaskan diri dari mulut jin lampu. Namun usahanya gagal karena jin lampu itu sudah sedemikian bernafsu mengerjai kontol Aladin.

“Nikmati saja. Sudah ratusan tahun aku tidak merasakan nikmatnya kontol dalam mulutku.. mmhhh… mmhhh…,”

“Kau menyukai kontol?” tanya Aladin bingung.

“Mmmhhhpp… Iya. Aku jin lampu yang suka kontol. Apalagi kontol-kontol pemuda tampan seperti engkau, Mmmhhhh…mmmmhhhh…,”

“Jadi…..,”

“Mmmhhh…benar. Aku jin lampu homosex. Aku dikurung dalam lampu itu adalah sebagai hukuman dari tuanku yang sebelumnya. Ia sangat gagah dan tampan. Dan kontolnya besar sekali. Aku sangat menyukai kontolnya itu,” jin lampu tampan itu menghentikan kulumannya di kontol Aladin. Lalu duduk bercerita di samping Aladin. “Sebenarnya diapun sangat suka kukulum kontolnya. bukan hanya kuluman kontolku dia suka, lobang pantatkupun sangat suka dientotnya. Akhirnya dia menikah dengan seorang putri cantik. Sejak itu aku dan dia sangat jarang bermain kontol. Suatu waktu aku sangat terangsang. Aku tak tahan lagi menahan nafsuku. Saat dia tidur bersama istrinya di kamarnya, kudatangi dia. Mereka sedang tertidur lelap,” jin lampu tampan itu terdiam sejenak. Aladin terus mendengarkan dengan antusias.

“Sepertinya mereka usai ngentot berdua. Keduanya tertidur dalam keadaan telanjang bulat. Sperma tuanku kulihat berceceran di sekitar memek istrinya. Aku sangat suka dengan rasa gurihnya sperma tuanku. Ku jilat ceceran sperma di memek istrinya itu. Setelah bersih mulutku langsung mengulum sumber memek itu. Kontol tuanku kuhisap kuat. Dia terbangun. Melihatku dia tersenyum. Rupanya di juga rindu dengan mulutku. Dia berbisik padaku agar melakukannya dengan perlahan dan jangan berisik agar istrinya yang tertidur di sebelahnya tidak terbangun. Aku melakukan kuluman di kontolnya sesuai dengan permintaannya. Rupanya dia tak cukup puas dengan mulutku saja. Dia juga rindu lobang pantatku. Kemudian dia menyuruhku menduduki kontolnya. Kulakukan apa yang disuruhnya. Kami mengentot dengan lembut. Pantatku berputar-putar memilin-milin dan membenamkan kontolnya yang besar di lobang pantatku. Istrinya terus terlelap di sebelahnya,”

“Gila. Kalian melakukannya dengan istrinya tidur di sebelahnya,”

“Ya. Dia benar-benar rindu pantatku. Dia bergoyang dengan sangat bersemangat. Pantatku diremas-remasnya. Aku melayaninya dengan tak kalah bersemangat. Kami bergoyang dengan cepat dan keras. Tak lagi memperdulikan keberadaan istrinya. Tempat tidur berderak-derak. Nasib sial, istrinya terbangun. Waktu itu keadaannya sudah nanggung sekali. Aku sudah hampir orgame. Tuanku juga. Istrinya terkejut melihat tubuhku yang telanjang bulat sedang menduduki kontol suaminya. Tuanku langsung marah-marah padaku. Ia mengatakan bahwa ia terasa bermimpi mengentot istrinya. Ternyata aku. Selanjutnya untuk menyenangkan istrinya ia mengurungku dalam lampu itu dan membuangku ke laut. Begitulah aku dibuang dalam keadaan ngentot nanggung dan telanjang bulat. Karenanya begitu melihatmu tadi aku langsung terangsang. Engkau begitu gagah dan tampan seperti tuanku dulu. Kalau seandanya tadi yang menolongku adalah laki-laki yang tidak menarik atau seorang wanita maka aku hanya akan memenuhi tiga permintaannya saja. Tapi karena engkau yang menolongku maka semua permintaanmu akan aku kabulkan asal aku selalu di dekatmu dan bisa menikmati kontolmu,”

“Mmmmm begitu,” Aladin menimbang-nimbang. Ia belum pernah diisep kontol oleh laki-laki. Tadinya ia merasa sangat aneh. Namun ternyata hisapan jin lampu tampan itu bisa merangsang kontolnya juga. Lagipula jin lampu ini dapat dimanfaatkannya untuk memenuhi segala keinginannya. Akhirnya Aladin memutuskan untuk menerima saja kelakuan jin lampu yang gagah ini. “Engkau boleh melanjutkan hisapanmu tadi. Yang penting segala permintaanku harus engkau kabulkan,”

“Tentu saja,”

“Tapi ada yang ingin aku tanyakan padamu terlebih dahulu,”

“Apa yang ingin engkau tanyakan?”

“Engkau terlihat sangat gagah dan tampan. Begitu jantan malah. Mengapa engkau bisa menyukai laki-laki? Apakah wanita cantik tidak bisa memuaskanmu?”

“Aku bisa memuaskan birahiku pada wanita. Namun entah mengapa aku lebih menikmatinya bila melakukannya dengan laki-laki sepertiku. Apalagi bila laki-laki itu tampan dan jantan seperti engkau. Aku sangat menyukainya. Mungkin sudah takdirku diciptakan seperti ini,” jawab jin lampu dengan lirih. Ia terlihat sedih.

“Maafkan pertanyaanku jin lampu kalau itu menyinggung perasaanmu,”

“Tidak apa-apa. Aku bisa memahami kebingunganmu. Bolehkah kita melanjutkan lagi permainan yang tadi tertunda,”

“Baiklah. Silakan engkau mengisap kontolku lagi,”

“Bolehkah bila aku menduduki kontolmu?”

“Kau menginginkannya? Apakah bisa? Lobang pantatmu kan sempit. Sementara kontolmu besar begini. Apakah engkau tidak kesakitan?”

“Aku sangat merindukan sodokan kontol di lobang pantatku. Aku sudah biasa. Rasanya sangat nikmat kok. Tidak ada sakit sama sekali. Bolehkah?”

“Baiklah. Terserah padamu saja,”

Jin lampu tampan dan gagah itu segera mengangkangi selangkangan Aladin. Posisi mereka berdua saling berhadapan muka. Perlahan-lahan jin lampu itu menurunkan pantatnya memasukkan kontol Aladin ke dalam lobang pantatnya. Aladin memandangi daerah selangkangannya. Dilihatnya kontolnya yang besar dan tegang itu sedikit demi sedikit masuk ke dalam lobang pantat jin lampu. Kontolnya dirasakannya seperti dibungkus oleh sesuatu yang hangat dan empuk. Aladin mengerang. Kontolnya terasa diremas dengan kuat.

“Ohhhh… enaknya..,” erang Aladin.

“Kau menyukainya?” tanya jin lampu.

“Yahhh… trusshhhhh…,”

Jin lampu terus menekan pantatnya ke arah bawah. Tak lama kontol Aladin tertelan seluruhnya dalam lobang pantat jin lampu. Jin lampu itu terlihat begitu menikmati kontol Aladin di dalam lobang pantatnya. Ia tersenyum pada Aladin. Selanjutnya ia menggerakkan bongkahan pantatnya naik turun dengan lembut. Aladin kembali mengerang. Jin lampu memegangi bahu Aladin dengan kedua tangannya. Tungkai kakinya bergerak-gerak menaik turunkan pantatnya.

Kehidupan jalanan membuat Aladin terbiasa ngentot dengan pelacur jalanan. Kontolnya sudah seringkali dikocok-kocok oleh memek wanita. Namun kocokan lobang pantat jin lampu dirasakannya sangat berbeda dari kocokan memek yang pernah dirasakannya. Gesekan lobang pantat jin lampu pada daging batang kontolnya merupakan sensasi yang sangat luar biasa dirasakannya. Aladin sangat menikmatinya. Ia kini mulai merlakukan gerakan pantat balasan. Pinggang ramping jin lampu dicengkeramnya dengan erat. Pantatnya bergerak naik turun. Ia tak memperdulikan lagi kalau jin lampu itu laki-laki juga sepertinya. Bibirnya mencari bibir jin lampu yang tipis dan merah. Dilumatnya bibir jin lampu dengan penuh nafsu diantara erangan dan dengusan nafasnya yang keras. Kedua lelaki tampan itu berciuman sambil terus bergoyang pantat seirama.

Kulit mereka yang putih mulai terlihat memerah. Keringat mengucur deras membasahi setiap lekuk tubuh mereka yang berotot. “Ohhhhh…. Ohhhhh….. ohhhhh….. ohhhhhhh….. ohhhhhh…..,” tak ada suara lain selain erangan-erangan kenikmatan dan suara kecipak dan tepukan buah pantat jin lampu dengan paha Aladin.

Otot-otot mereka terlihat semakin mengencang. Goyangan pantat yang mereka lakukan juga semakin cepat dan tak beraturan. Masing-masing ingin melakukan gerakan menekan lebih dulu. Aladin menyarangkan wajahnya di dada bidang jin lampu. Mulutnya menciumi dan menggigit-gigit pentil jin lampu yang kecoklatan dalam keadaan tegak keras.

Keduanya terus bergerak. Kontol jin lampu yang tegak menggesek-gesek perut Aladin yang berotot. Jin lampu mulai mengerang-erang keras. Wajahnya menengadah. Matanya terpejam-pejam. Rupanya orgasmenya akan segera tiba. Tak lama pantatnya menekan keras. Kontol Aladin terbenam dalam di lobang pantatnya. Tangannya mencengkeram bahu Aladin kuat-kuat. “Heh… heh…. Hehh…. Ahhhh…. Ahhh…. ahhh…. ahhh…,” jin lampu mengerang kuat. Tubuhnya kelojotan. Dari lobang kencingnya menyembur sperma. Kencang dan deras. Menyemprot-nyemprot membasahi perut dan dada Aladin.

Orgasme menyebabkan lobang pantat jin lampu berkontaksi. Rongga lobang pantatnya mendenyut-denyut kuat. Hal ini membuat Aladin merasakan kontolnya diemas dengan sangat kuat. Pengaruhnya luar biasa. Aladin tak lagi bisa menahan orgasmenya. Otot-ototnya mengejang. Perutnya kembang kempis. Nafasnya tersengal-sengatl. Dari mulutnya keluar erangan. “Ohhhhhh… ohhhhhhhh…………….. ohhhhhhh……,” mulutnya mnghisap pentil dada jin lampu kuat-kuat. Pinggang ramping jin lampu dicengkeramnya kuat. Pantatnya menekan ke atas. Sesaat kemudian spermanya menyembur deras memenuhi lobang pantat jin lampu. “Ohhhhhhhhhh………..,”

Jin lampu memeluk leher Aladin erat. Bahu Aladin digigit-gigitnya. Ia sangat keenakan menerima semburan sperma hangat Aladin di rongga lobang pantatnya. Untuk beberapa saat keduanya tetap saling menekan pantat, menikmati orgasme mereka yang dahsyat. Otot-otot mereka menegang. Berkilauan karena basah bersimbah keringat.

Jin lampu tetap duduk di atas pangkuan Aladin. Keduanya saling menatap untuk waktu yang lama.

“Bagaimana Aladin?” tanya jin lampu lembut. Ia beringsut dari atas pangkuan Aladin. Kontol Aladin yang sudah lemas lepas dari lobang pantat jin lampu.

“Hehehe.. huihh… rasanya luar biasa,” sahut Aladin cengengesan. Ia memandangi kontolnya yang belepotan spermanya sendiri.

“Kau menyukainya?”tanya jin lampu. Tangannya mengelap sisa-sisa ceceran sperma Aladin di lobang pantatnya dengan celana panjang Aladin.

“Sangat. Hah.. hah.. rasanya aku keranjin lampugan. Hei mengapa kau mengelap sperma itu dengan celanaku?”

“Santai saja. Aku akan mengganti pakaianmu nanti. Kita dapat mengulanginya kapanku kita mau,”

“Baiklah. Saat ini engkau harus membantuku,” Aladin mengelap sperma di kontol dan badannya dengan celananya juga.

“Aku siap melaksanakan apapun yang kau perintahkan,”

“Kita harus kembali ke rumahku. Sebentar lagi hari hampir gelap,”

“Perintahmu adalah tugasku. Ting,”

... ke bagian 2

Paling Populer Selama Ini