5/24/2011

Om John, cinta pertamaku - bag. I

Oke cerita ini bermula dari kuliahku yang sudah memasuki semester 8 alias ud semester akhir dan sebentar lagi bakal memasuki sidang akhir. Dag dig duer gimana gitu. Mulai dari bimbingan dengan dosen yang killer, trus cerewet, banyak maunya, susah deh pokoknya. Nah karena mata kuliah skripsi kebetulan hanya 6 sks, jadi dalam seminggu cuma mentok - mentok masuk buat bimbingan aja, dan latihan sidang dsb, dll, dst. Waktu luang menjadi lebih banyak dan disitulah aku mulai mencari - cari pekerjaan. Jujur walopun masuk jurusan teknik informatika, tetapi aku sebenarnya tidak begitu menyukai hal - hal yang berhubungan tentang komputer, jadi bisa dibilang salah jurusan gitu. Tapi apa daya, akhirnya jalan juga selama 4 tahun, dan tahu - tahu sekarang uda mau skripsi kelulusan. Jadi akhirnya aku lebih memilih menjadi guru privat dulu (walopun pada semester - semester awal juga uda, tapi gak bertahan lama karena jadwal kuliah sangat padat). Kebetulan pada saat semester 8 ini, waktu luang lebih banyak jadi bisa jadi guru privat full selama satu semester kedepan, dan untunglah setelah mencari - cari akhirnya dapet juga anak privat yang bertempat tinggal di perumahan dekat kosan aku.

Inilah kisah awalnya....

Malem minggu. Di tengah - tengah lagi asiknya ngetik (tepatnya stress) bikin latar belakang buat skripsi, tiba - tiba terdengar dering handphone nokia 6120 yang aku letakkan di meja sebelah laptop yang lagi kugunakan sekarang. "Siapa ya??? Tumben malem - malem gini ada yang nelpon...Perasaan mama baru telpon deh tadi...", pikirku.
Sejenak aku lihat nomornya, ternyata nomor tidak dikenal.

"Hmmm siapa ya??? Angkat aja ah siapa tau temen...", sambil begitu aku menekan tombol untuk mengangkat handphone, dan di seberang sana terdengar suara laki - laki.

"Halo, dengan mas dennis??", tanya laki - laki tersebut.

"Ya betul, saya sendiri. Dengan siapa ya pak???", tanyaku penasaran.

"Oh, ini dengan John, mas. Begini, jadi saya denger - denger kalo mas terima privat buat kelas 3 SD. Kebetulan anak saya kelas 3 SD, pikir mau les privat aja gitu ama mas. Bisa gak mas kira - kira??" tanya laki - laki yang ternyata bernama Om John itu.

"Oh bisa pak, bisa! Kebetulan saya semester ini banyak waktu luang, jadi bisa kasih privat buat anak bapak. Jadi saya ada jadwal kosong hari senin, selasa, rabu, dan jumat. Jam berapa pun saya bisa antara hari - hari itu. Bapak juga bisa milih seminggu mau berapa kali. Bayarannya nanti tinggal disesuaikan aja." jawabku memberi penjelasan sejelas - jelasnya.

"Oh kalo gitu saya pilih seminggu 2 kali aja. Kalo kebanyakan, takutnya juga anak saya terlalu lelah nanti." jawab Om John. Wah ini bapak perhatian banget ya sama anaknya, pikirku. Soalnya pengalaman sih, kebanyakan orang tua langsung aja gitu menjejalkan anaknya seminggu full privat dari senin sampe jumat. Dipikir - pikir kasihan juga anaknya terlalu banyak belajar. Nanti malahan jadi stress dan berakibat buruk buat anaknya.

"Jadi mungkin saya ambil yang hari senin sama jumat aja. Kira - kira jam 5 sampe jam 7 sore bisa mas??" tanya om John.

"Bisa pak, bisa kok. Jadi bapak sama anak bapak tinggal di mana???" tanyaku

"Saya ada di cluster opal, blok B, nomor 3A", jawabnya. Oh ternyata di opal toh. Wah lumayan jauh juga tuh kalo jalan kaki, pikirku. Tapi ya, berhubung peluang dapet duit ud di tangan, ya uda disabet aja. Lagipula gak baik nolak rejeki.

"Ok pak. Jadi kapan mau mulai pak? Kebetulan ini hari sabtu. Bapak mau mulai senin besok?" tanyaku.

"Oh kalo gitu boleh deh mas. Jadi mas langsung aja ya ke alamat tadi jam 5 sorean. Ini no Hp saya. Kalo ada sesuatu, mas telepon ke nomor ini saja". jawab om John.

"Ok pak. Hari senin besok, jam 5 sore saya ke rumah bapak buat bicara lebih lanjut ya." jawabku senang, karena akhirnya ada juga kerjaan lagi yang mungkin bisa membantu meringankan pikiran yang letih dan stress membuat skripsi yang sangat tidak jelas ini.

"Baik mas dennis. Terima kasih ya. Selamat malam..." jawab om John seraya mengakhiri pembicaraan.

"Sama - sama pak. Selamat malam..." balasku sambil menutup handphoneku kembali.

Oke jadi aku dapet privat lagi. Pikiran mulai segar lagi karena akhirnya bisa dapat tambahan uang saku lagi semenjak kerja magang terakhir di semester 7. Dengan semangat 45 yang sudah mulai berkobar lagi, aku mulai mengetik kata - kata lagi untuk latar belakang skripsiku...

Tik..Tik..Tik...Tik.... Bunyi keyboard yang diketik terus saja berdengung di kamar kos ku. Maklum karena sering mengetik akibat jurusan yang mengharuskan banyak mengetik ini, kecepatan mengetik ku bisa dikatakan lumayan cepat. Sudah sekitar 2 jam aku berkutat dengan bagian latar belakang skripsiku. Grrr!! Kesal banget rasanya 2 jam cuma nyelesaiin bagian ini aja susah banget rasanya.

Tiba - tiba laptop ku berbunyi, tanda ada seseorang yang memulai chatting denganku. Maklum sambil ngerjain skripsi, aku online facebook dengan menggunakan modem.

Kucoba membuka facebook yang sudah kutinggal diam selama 2 jam tersebut, dan coba melihat siapa yang ingin chatting denganku. Oh...Ternyata si David, teman satu jurusanku toh.

"Eh, den, gila lu sampe jem segini masih melek aja. Mentang - mentang malming. wwkwk XD" demikian yang tertulis di layar chat facebook yang terkenal kecil itu

"Gak nih lagi ngerjain latar belakang skripsi g. Buset dah. Bikin latar belakang aja mpe 2 jem lebih gak kelar2 coba deh. Bikin kesel. T.T", itu yang kutulis sebagai jawabannya

"Iya nih skripsi bikin stress. Jangankan latar belakang, topik skripsi g aja masih ngegantung kata dosennys -_-', balas David. Hahaha, ternyata ada yang lebih parah dari aku.

"Hahaha, lu sih bikin topik susah banget. Yang gampang2 aja lah, yang penting jadi. wkwkwk", jawabku lega karena ternyata ada teman sependeritaan.

"Wkwkwk. Tau ah. Coba hari senen gua ajuin lagi. Eh ngomong2 katanya u cari anak privat ya?? Uda dapet blom tu??" tanyanya.

"Uda kok vid, baru aja ada yang nelpon gua minta privatin anaknya. Di cluster opal. 2 kali seminggu. Bayarannya sih belum diomongin. Nih senen ini gua mau ke rumah anak itu." jawabku sekenanya.

"Wah uda dapet ya. wkwkwk. Ntar kalo gajian, traktir gua ya kayak biasa. wkwkwk XD", jawab David. Emang ya, urusan traktir aja langsung tanpa malu2 diungkapkan. Hahaha, dasar David.

"Ok2. Tenang aja. wkwkwk", jawabku sambil melihat jam meja yang terletak di dekat laptopku yang ternyata sudah hampir menunjukkan jam 12 malam.

"Eh vid, g off dulu ya. Gila ud jem 12. Ntar mata gua makin kayak panda nih kalo gak cepet2 tidur. wkwkwk", jawabku sambil menguap. Wah ternyata aku memang sudah mengantuk.

"Ok2 den.", jawab david seraya aku mengclose facebook dan mendisconnet modem yang kupakai sekarang.

"Gila uda jem 12 aja. Tidur ah..." pikirku dalam hati. Memang aku terkenal akan lingkaran hitam dekat mataku yang katanya mirip banget sama mata panda. Ya apa daya, karena sering begadang, entah ngerjain tugas, chatting, ato nonton TV yang ada di kamar kosku.

Setelah aku mengesave latar belakang skripsiku yang kira - kira hampir selesai, aku menshut down laptopku, melipatnya, memasukkannya ke tas laptop, lalu memasukkannya ke lemari. Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk menyikat gigi, dan setelah selesai, aku mematikan lampu kamar kosku dan naik ke ranjang spring bed yang ada sisi seberang meja belajarku.

Sejenak sebelum menutup mata, aku kembali berpikir tentang tawaran dari om John tadi. Jujur ada perasaan was - was soalnya sudah beberapa kali aku memberika les privat sebelumnya, pernah ada kejadian yang tidak mengenakkan, entah bayarannya tidak sesuai, murid privat yang terlalu susah diatur, bahkan sampai dimarahi orang tua murid privatku karena melalaikan tugas mengajar privatku dan dianggap tidak sukses mengajar anak - anak mereka. Hhh...ya apa daya aku hanya bisa menerima saja saat hal - hal tersebut terjadi. Aku merasa khawatir akan menemui hal - hal itu lagi di tempat aku akan mengajar ini.

Tapi percuma mengkhawatirkannya sekarang. Lebih baik hari senin besok, aku ke rumah tersebut dan membicarakan semuanya agar lebih jelas. Sambil memeluk guling dan memutar badan ke arah kiri, aku mulai menutup mata dan mengakhiri malam minggu itu seperti biasanya...

Dingin....Begitu yang kurasakan saat perlahan membuka kedua mataku. Tampaknya aku langsung terlelap begitu naik ke tempat tidurku tadi malam sampai pagi ini. Kuangkat sedikit badanku lalu mengusap - usap kedua mataku dengan tangan kananku dan mencoba melihat jam yang ada di meja dekat tempat tidurku. Sudah jam 7 pagi. Sejenak kulihat keluar jendela yang terletak di sisi kanan tempat tidurku. Berembun...Ternyata pagi ini hujan turun rintik - rintik. Mungkin dari subuh tadi karena jendelanya sampai berembun. Hawa yang cukup dingin pagi membuatku melipat tangan untuk sedikit menghangatkan tubuh.

Aku berpikir hari ini akan menjadi hari minggu biasa yang hampir sama setiap kali kulewati semenjak memasuki kehidupan perkostan saat aku memasuki masa kuliah. Bangun pagi, membersihkan kamar kos yang sudah cukup berdebu di sana - sini, online melalui laptop sampai sore, kemudian mengerjakan tugas sampai malam sendirian. Terkadang pula aku pergi ke pasar yang terletak dekat mall yang ada di dekat kostan ku untuk membeli sayur - sayuran yang akan kumasak buat makan siang dan makan malam. Memang hari sabtu dan minggu bisa menjadi hari yang sangat baik untuk melakukan eksperimen - eksperimen atau hanya sekedar bermalas - malasan sepanjang hari. Sambil membayangkan rencanaku hari ini, aku bergegas ke kamar mandi untuk menyikat gigi kemudian bersiap untuk menyingkirkan debu - debu yang membekas di dalam kamar kostku.

Kegiatan - kegiatan rutin hari minggu kulakukan dengan semangat sampai jam di kamarku menunjukkan pukul 10 siang. Hujan masih turun rintik - rintik dan kelihatannya sedikit menjadi lebih deras. Biasanya aku melewati sarapan saat hari sabtu minggu, pertama untuk menghemat dan kedua karena tidak begitu banyak energi yang akan kupakai selama hari sabtu minggu tidak seperti hari - hari kuliah dari senin sampai jumat. Karena kamar kostku sudah cukup bersih, aku mengambil handukku yang kebetulan tergantung di beranda depan kamar kostku untuk mandi pagi. Untuk saja handuk itu tidak basah karena hujan sepanjang pagi itu. Kalo ternyata basah, aku berani bertaruh aku tidak akan mandi untuk pagi itu. Setelah mendapati handuk itu dan menaruhnya memanjang di pundakku, aku beranjak ke kamar mandi yang kebetulan milik bersama yang ada di luar kamar kostku. Pada hari - hari biasa ataupun hari libur, rata - rata kamar mandi tersebut kosong. Walaupun ada 3 kamar mandi berbeda, hanya satu kamar mandi ini yang lebih banyak digunakan oleh para penghuni kamar kost satu lantai denganku. Mungkin karena satu kamar mandi lebih digunakan oleh mbak penjaga kostku dan satu lagi tidak ada gantungan bajunya. Hmmm....memang ada saja keunikkan di setiap tempat kost dan mungkin keunikkan lainnya di tempat kostku adalah mondar - mandir. Di lantai tempat kamar kostku berada, hanya aku yang mampu bertahan selama 3 setengah tahun di kamar dan tempat yang sama. Bisa dibilang aku adalah senior di lantai 3, tempat kamar kostku berada. Tidak ada satupun penghuni yang mampu bertahan di lantai tersebut lebih dari 3 bulan. Bahkan waktu itu ada yang hanya beberapa hari saja. Padahal tidak ada yang angker ataupun hal lain semacam itu, tapi aku hanya bisa menerima saja. Hanya saja karena sekarang hanya ada 3 orang penghuni di lantai 3 ini, terkadang aku merasa kesepian. Hahaha tapi sebenarnya hal itu tidak terasa lagi, karena mungkin aku pun akan pindah setelah aku meluluskan kuliah S1 ku disini, tepatnya pulang ke kampung halaman. Sambil kembali mengingat hal - hal unik tersebut dan perasaan sedih akan berpisah dengan tempat ini sebentar lagi, aku langsung menuju ke kamar mandi.

Suara air yang mengalir dari keran dan jatuh ke bak penampungan air sudah cukup memenuhi kamar mandi sempit tempat aku membersihkan diri. Sambil mengambil satu gayung penuh air kemudian mengguyurnya dari atas kepalaku, aku berpikir tentang rencana ku hari minggu ini.

Mengerjakan skripsi seharian penuh ini bukan ide utama yang muncul di benakku. Aku tidak berani membayangkan seharian penuh memeras otakku hanya untuk memikirkan dan memenuhi lembar demi lembar skripsi ku dengan kata – kata yang menarik. Online seharian penuh juga bukan ide yang bagus, apalagi aku ingat hari ini pulsaku untuk memakai modem akan habis dan aku belum membeli voucher isi ulangnya. Lagipula biasanya aku juga malas online seharian penuh di depan komputer yang bisa membuat mata sakit. Jadi…

Kumatikan keran air dan mengambil handukku yang kugantung di gantungan yang ada dalam kamar mandi. Sudah kuputuskan nanti siang aku akan membeli bahan – bahan makanan di mall untuk makan malam saja. Kebetulan mall terletak di dekat kostku dan hujan – hujan begini bukan ide yang bagus untuk pergi ke pasar, apalagi hari sudah menjelang siang seperti ini. Memang pasar ada di dekat mall dan sudah menjadi pasar modern yang tidak becek seperti pasar – pasar tradisional yang lain. Tapi aku juga sedang tidak ingin memeras otak dan menghabiskan tenagaku untuk menarik urat suara menawar harga di sana – sini dengan para penjual sayur yang terkadang bisa lebih keras kepala bahkan daripada dosenku yang killer sekalipun. Jadi belanja sayur di mall adalah pilihan yang paling tepat untuk hari minggu hujan rintik – rintik… atau tepatnya hujan yang mulai deras ini…

Jadi segera sehabis aku memakai pakaianku, aku keluar dari kamar mandi dan menjemur handukku di tali jemuran yang terbentang di beranda lantai kamar kostku. Kumasukkan sedikit ke dalam agar tidak terkena air hujan yang kelihatannya semakin deras ini. Aku sedikit heran kenapa hujan hari ini bisa awet turun dari tadi pagi. Aku hanya berharap di lingkungan sini tidak terjadi banjir seperti di Jakarta. Seingatku di lingkungan tempat kostku tidak pernah terjadi banjir besar. Hanya saja sudah beberapa kali air menggenang cukup tinggi hingga mata kaki di beberapa daerah di lingkungan sini.

Aku memasuki kamar kostku yang kukunci saat aku ke kamar mandi tadi. Aku segera mengambil ransel yang biasanya kubawa ke kampus saat kuliah untuk kubawa ke mall. Menurutku, ransel itu bisa menjadi kantong doraemon yang sangat praktis, entah untuk menyimpan dompet, ponsel, laptop, atau barang belanjaan dari mall. Semuanya tinggal diletakkan di dalam ransel dan dibawa sekaligus. Walaupun hanya untuk pergi ke mall untuk hangout dengan teman – teman kuliahku, aku tetap membawa ransel. Ya… mungkin bisa dihitung sebagai bagian dari gayaku saat bepergian.

Setelah memastikan semua perlengkapanku telah dimasukkan ke dalam ransel, aku keluar dari kamar kostku lalu menguncinya dengan ransel sudah berada di pundakku. Aku mengenakan sandal santaiku dan turun ke lantai bawah sampai tiba – tiba aku dikejutkan oleh kilatan petir yang sangat silau dan singkat, dibarengi dengan bunyi guntur yang sempat membuatku tersentak sambil menutup mata. Hmmm… mungkin hari ini akan menjadi hari yang menarik, pikirku…

“Silakan Pak!” terlihat pelayan wanita yang memakai seragam biru khas ala Hoka – Hoka Bento itu mempersilakan pengunjung berikutnya untuk membayar pesanannya.

Kusempatkan diriku melihat – lihat menu yang tertulis di dinding bagian atas tempat counter kasir. Terlihat antrian masih panjang dari tempatku berdiri, jadi kupikir melihat menu – menu yang ada bisa menjadi pengisi waktu yang cukup bagus sambil menunggu giliranku membayar pesanan. Aku sendiri sudah memesan menu andalanku setiap kali aku makan di Hoka – Hoka Bento yaitu Hoka Hemat 2 yang terdiri dari 2 ekkado (gorengan campuran telur dan ayam) serta 1 tori baaga (potongan dada ayam olahan yang digoreng) seharga 12.000 rupiah. Ya…memang hanya menu satu ini yang paling sesuai dengan budget ku sebagai anak kost. Rasanya aku hanya bisa melihat satu – persatu menu lain yang ditulis dan membayangkan bagaimana rasanya…

Kira – kira 5 menit aku berdiri di antrian, akhirnya tiba juga giliranku untuk membayar pesanan. Hmm…jadi untuk hari ini aku hanya memesan tepatnya memesan seperti biasanya paket Hoka Hemat 2.

“Ini aja, Mas? Minumnya apa?” tanya wanita kasir sambil mengetikkan kode pesanan yang kemudian tertulis di layar kecil mesin kasir tersebut sebesar “12000”.

“Minumnya gak usah Mbak, ini aja”, jawabku singkat. Biasanya aku memang tidak pernah membeli minum di sini karena terlalu mahal. Jadi aku selalu membawa botol minum sendiri dari kostku untuk kuminum sendiri seusai makan.

“Jadi semuanya 12000…”, jawab wanita kasir tersebut.

“Sebentar ya Mbak…” jawabku sambil membuka resleting ranselku dengan sebelumnya menahannya di pundak kanan, kucari – cari dompetku, dan kukeluarkan dari dalam ranselku.

“Mbak, um…saya pesan minumnya deh…” ternyata aku lupa membawa minum. Ya ampun! Pasti beli minum di sini mahal banget, tapi ya aku juga tidak mau menahan tenggorokanku yang sudah pasti akan seret sehabis makan nanti.

“Mau pesan minuman yang mana mas?” tanya petugas kasir itu lagi sambil kulirik sedikit kulkas pendingin yang memang ada di belakang petugas kasir tersebut. Pastinya agar minuman bisa langsung diberikan dan pengunjung bisa melihat – lihat minuman apa saja yang ada di dalamnya.

Kulihat sejenak ada sebotol Minute Maid Orange yang kelihatannya tinggal satu di dalam kulkas itu karena aku bisa melihatnya seperti sedikit terasing dari minuman lain dan tidak ada kawan – kawan botol Minute Maid lainnya di sekitarnya. Kulihat daftar minuman yang ada di dinding tempat menu makanan terpampang, dan kutaksir harganya sekitar 5500 rupiah. Hmmm…kalau dibeli dari supermarket kalau tidak salah sekitar 4000 rupiah jadi kupikir harganya bisa cukup ditoleransi di sini. Apalagi di sini sudah dalam keadaan dingin, jadi pasti lebih enak untuk diminum.

“Minute Maid nya satu deh Mbak”, jawabku setelah yakin memilih Minute Maid sebagai pemenang minuman makan siangku kali ini.

Wanita kasir tersebut membuka kulkas di belakangnya dan mengambil satu botol Minute Maid yang kulihat tadi. Kelihatannya memang tinggal satu karena kulihat ruang di rak tempat Minute Maid tersebut kelihatan bolong saat Minute Maid itu diambil.

“Jadi semuanya 17500 rupiah, Mas…” sambil petugas kasir kembali mengetikkan kode yang aku tidak tahu berapa dan terlihat angka “17500” di layar mesin kasir.

Segera saja aku membuka lipatan dompetku dan mengambil selembar uang 20 ribuan, lalu kuberikan kepadanya.

“Jadi kembalinya 2500…” kembali petugas kasir tersebut mengetikkan hal – hal yang harus diketik di mesin kasir tersebut dan kemudian memberikanku uang kembalian berupa 2 lembar seribuan dan 1 keping uang 500an. Kuambil uang itu lalu aku mengucapkan terima kasih dan cepat – cepat membuka dompetku kembali untuk memasukkan uang itu. Aku tidak mau orang di belakangku menunggu terlalu lama untuk membayar pesanan mereka…

Tapi ada pepatah Inggris mengatakan bahwa “Haste Make Waste”, dan itulah yang terjadi ketika aku membuka dompet. Ada ruang khusus di dompetku yang kugunakan untuk menyimpan uang receh dan karena terlalu terburu – buru, dompetku kupegang terlalu miring dengan ruang tersebut terbuka sehingga uang – uang receh yang ada di dalamnya berhamburan keluar dan jatuh ke lantai menimbulkan suara berisik yang cukup membuat beberapa orang di antrian sempat memalingkan penglihatan mereka ke arahku.

Untunglah tidak banyak uang receh di dalam dompetku. Hanya 2 keping 500an, 1 keping 200an, dan 2 keping 100an. Tapi jika aku memungutnya satu persatu dengan posisiku masih di antrian terdepan kasir sekarang, tidak diragukan lagi aku akan dipelototi dengan pandangan kesal orang – orang yang sedang mengantri di belakang. Untungnya ada pilar kecil seperti pemisah antara antrian Hokben dengan lantai tempat para pengunjung mall berjalan, jadi kuletakkan saja nampan yang sudah lengkap dengan Hoka Hemat 2 dan Minute Maid beserta sumpit dan tisu di atas sana sambil aku sedikit ke depan untuk memberi kesempatan pada pengantri berikutnya untuk membayar.

Saat aku hendak memungut uang logam terakhir, terdengar suara anak kecil. Sepertinya perempuan. Mungkin pengantri berikutnya setelah aku.

“Yah pa…Minute Maidnya uda abis…”, katanya dengan suara yang walaupun aku tidak melihat wajahnya, aku tahu dari nada bicaranya anak itu terdengar sedih…

“Oh abis ya…Ya udah sayang… Pesen minuman yang laen aja ya…” kali ini suara laki – laki, tapi bisa kupastikan yang ini sudah dewasa . Mungkin papanya…

“Ya uda deh pa…” kembali anak itu menjawab. Saat itu aku sudah melipat dompetku dan memasukkannya kembali ke dalam tasku. Kubalikkan badan dan kulihat seorang anak perempuan kecil dengan papanya sedang membayar pesanan. Spontan tiba – tiba aku angkat bicara…

“Adek,. Minute Maid kakak buat adek aja deh…” sambil aku menyodorkan Minute Maid yang tadi ada di nampanku yang masih ada di pilar itu ke anak itu. Kulihat anak itu hanya tersenyum malu…

“Eh mas gak usah… Biar kami pesen minum yang lain aja. Gak apa – apa kok…” papanya yang menjawab. Mungkin dia tahu putrinya malu untuk menjawab.

“Oh gak apa – apa kok Pak. Saya uda bawa minum juga kok” aku membalas sambil tersenyum, lalu kulihat kembali anak itu. Ia tetap tersenyum malu dan kulihat ia menunduk sedikit. Hehehe kelakuan anak kecil yang malu – malu terkadang memang bikin aku gemes…

“Aduh saya jadi gak enak lo Mas. Saya beli dari Mas aja ya??” sambil terlihat papanya merogoh saku belakang celananya untuk mengambil dompet.

“Eh uda Pak gak usah kok!” jawabku cepat. Aku benar – benar tak enak jika harus menerima uang itu.

“Wah….Kalo gitu makasih banyak ya Mas! Ayo Cindy, bilang apa sama kakak??” papanya terlihat mengelus – ngelus kepala anaknya yang ternyata bernama Cindy itu sambil anak itu menerima Minute Maid yang kuberikan padanya.

“Makasih ya Kak!” sekarang anak itu terlihat tersenyum gembira.

“Ya sama – sama adek!” sambil aku mengambil nampanku, menunduk permisi terhadap papanya, dan menuju tempat makan yang ada di sisi kiri daerah antrian…

Aku menelurusi lorong yang cukup panjang di supermarket mall itu. Di samping kiri dan kananku terlihat rak – rak yang sedikit lebih tinggi dariku berisikan penuh dengan bahan – bahan bumbu dapur. Aku sadar bahwa aku sudah kehabisan garam untuk bumbu makan malamku hari ini. Memang biasanya untuk makan malam, aku hanya menggunakan bumbu – bumbu yang standar. Garam, gula, lada, dan bawang putih yang dicacah terkadang pula aku tambahkan ketika aku hendak menumis sayur – sayuran. Aku hampir tidak pernah menggunakan vetsin. Bukan karena aku menganggapnya berbahaya bagi tubuh atau apa, tapi aku hanya ingin berlatih menggunakan bumbu – bumbu standar agar kelak mampu membuat masakan yang benar – benar enak. Malah sempat terpikir beberapa kali di pikiranku untuk membuka usaha rumah makan sederhana di tempat tinggalku seusai aku lulus nanti. Tentu saja modalnya sebisa mungkin dari penghasilanku selama kuliah ini dengan sedikit tambahan dari orang tuaku.

Aku menemukan garam meja yang biasanya kugunakan di tempat rak yang biasanya. Terkadang aku berpikir kok bisa ya supermarket menyediakan semua bahan kebutuhan hidup dalam satu tempat secara lengkap seperti ini? Bagaimana alokasi modalnya? Bagaimana menghitung profitnya secara jelas? Apakah satu persatu barang atau per kategori? Apakah mereka membelinya dari satu supplier saja atau banyak? Bagaimana pertimbangannya? Promosinya? Aduh…mulai deh pikiran aku menerawang ke hal – hal rumit yang sebenarnya tidak begitu penting untuk dipikirkan. Terkadang dari urusan membeli garam, pikiranku bisa ngelantur ke sistem hukum Indonesia, entah dari hal mana aku menghubungkannya…

Pokoknya aku ke sini untuk membeli 3 barang: garam, sayur, dan buah. Dengan tetap berpegang teguh pada tujuanku semula, langsung saja kuambil bungkusan garam tadi dan kumasukkan ke dalam keranjang belanja berwarna hijau yang kuambil saat aku memasuki supermarket ini, lalu aku beranjak ke bagian sayur yang ada di tempat lain yang kebetulan tidak terlalu jauh dari tempatku membeli garam.

Di rak tempat sayuran, sudah tersedia berbagai sayur yang kelihatannya baru saja dipasok karena terlihat masih sangat segar. Sayur favoritku di sini adalah buncis. Pertama karena bisa diambil sendiri dan harganya dihitung dari beratnya. Kedua karena memang aku menyukai buncis. Dua faktor yang sangat kuat untuk membuatku mengambil kantong plastik bening yang tersedia di dekat rak sayur – sayuran untuk mengambil sayur sesuka hati kita.

Kuambil segenggam penuh buncis, sambil kulihat sekilas. Aku tidak begitu mengerti soal sayuran, tetapi yang pasti, sayuran yang segar dan baik adalah yang berwarna hijau dan bersih. Jadi cukup kupastikan saja buncis – buncis yang kuambil berwarna hijau dan bersih dari bercak – bercak coklat yang ada. Aku mengambilnya sekitar 200 gram. Karena sering mengambilnya seperti ini, lama – kelamaan aku bisa memperkirakan dengan cukup tepat seberapa berat sayur yang sudah kuambil.

Setelah selesai, aku pergi ke rak buah – buahan yang terletak di dekat sana. Aku jarang membeli buah, hanya sesekali saja ketika aku cukup mempunyai uang. Aku menyukai buah – buahan, tapi ya…keadaan ekonomi terkadang tidak mengijinkan aku membelinya setiap saat. Paling seminggu sekali aku membeli beberapa buah untuk kemudian dimakan beberapa hari saja. Buah favoritku adalah apel walaupun apel disini tidak terlalu murah.

Kupilih beberapa apel import dari Amerika, atau bukan aku tidak begitu tahu, tapi yang pasti itu apel import. Cukup murah dan cukup manis serta garing ketika digigit. Minggu ini adalah pertengahan Februari, uangku untuk satu bulan ini juga tinggal setengah, jadi kuputuskan juga hanya membeli apel ini setengah dari biasanya yaitu seperempat kilo. Kuambil 3 buah apel merah yang telah kupilih sebelumnya dan kumasukkan ke dalam kantong plastik bening yang sebelumnya sudah kuambil. Tepat saat aku memasukkan apel ketiga ke dalam kantong plastik, Handphone ku berbunyi. Ada seseorang yang memanggil.

Kuletakkan keranjangku yang sudah berisikan sebungkus garam meja, sebungkus buncis, dan sebungkus apel itu ke lantai. Siapa yang menelepon ya?? Biasanya teman – teman kuliahku akan meng-sms daripada menelepon, kecuali kita janjian untuk hang-out. Orang tuaku hampir tidak pernah menelepon siang – siang seperti ini. Jangan – jangan…

Kuambil handphoneku dari dalam saku kanan celanaku lalu kulihat siapa yang menelepon….

Aduh benar kan! Ternyata Pak Dedi, pembimbing skripsiku, Jujur aku sangat tegang ketika Pak Dedi meneleponku. Pasti masalahnya seputar penulisan skripsiku yang kurang di beberapa bagian, atau bahasanya terlalu bertele – tele, atau justru fokus terlalu cepat ke permasalahan, atau bahkan yang paling menyebalkan adalah jadwal bimbingan yang ternyata harus dibatalkan karena beliau ada urusan. Aku harus mengganti seluruh jadwalku seharian hanya karena bimbingan skripsi yang pindah jadwal dengan tiba – tiba. Benar – benar menyebalkan!

Huff…sebenarnya aku malas untuk mengangkatnya, tapi pasti ini menyangkut masa depan skripsi yang juga berarti masa depan kelulusanku tahun ini. Dengan berat hati, aku menekan tombol jawab dan menempelkan handphoneku di telinga kananku. Dengan sebelumnya menarik nafas panjang tentunya karena aku yakin panggilan ini bukan hal yang melegakan.

“Halo, selamat siang Pak! Ada apa ya??” sapaku dengan ekspresi sedikit kesal. Untung kita hanya berbicara lewat telepon, jadi aku tidak perlu takut beliau merasa terusik dengan ekspresiku.

“Siang Den! Jadi begini, hari Kamis nanti saya ada urusan dan takutnya gak bisa ngadain bimbingan buat kamu. Jadi kalo besok saja bisa gak? Kalo gak bisa gak apa – apa juga kok. Jadi kita mulai bimbingan lagi kamis depan aja. Gimana??” tuh kan bener, beliau memajukan jadwal bimbingan nya. Tapi kalo tunggu minggu depan lagi, artinya bagian pendahuluan yang aku susun sekarang harus ditunda seminggu lagi. Padahal hasil analisis di bagian isi harus aku susun dari hasil survey ku setelah bagian pendahuluanku disetujui seluruhnya. Jadi sama saja aku menunda bagian analisisku seminggu. Grrr! Kalau begitu…

“Oh bisa Pak besok. Jam berapa ya, Pak?” aku menyerah. Akhirnya kuturuti saja deh kemauan beliau.

“Saya dari pagi sampai siang ada jadwal mengajar di kelas, jadi kira – kira jam setengah 4 sore bisa?” tanya Pak Dedi.

“Oh bisa Pak bisa kok!” ya ampun sore!!?? Malas banget rasanya..

“Oke, kalau begitu besok setengah 4 sore kamu langsung ke tempat saya saja ya. Besok saya evaluasi bagian pendahuluan kamu, jadi kamu langsung bisa ke bagian analisis dan survey. Thank you!” jawab Pak Dedi.

“Baik Pak, terima kasih ya!” jawabku sambil menutup handphone.

Oke! Hari ini benar – benar menarik tampaknya! Pertama tadi malam aku kurang tidur, dan kedua aku juga harus begadang kembali malam ini untuk menyelesaikan bagian pendahuluan skripsiku yang berarti menyelesaikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Ya ampun..memikirkannya saja sudah membuatku mumet.

Sambil menghela nafas panjang, kuambil keranjang belanjaanku yang tadi kuletakkan di lantai dan cepat – cepat pergi ke kasir. Semoga Tuhan membantuku seharian penuh ini…

Srek….Srek….lembar demi lembar dilihat secara bergantian. Sudah sekitar 5 menit aku hanya diam dengan perasaan tegang dan was – was melihat Pak Dedi sangat serius membaca lembar demi lembar bagian pendahuluan skripsiku. Keadaanku saat ini mungkin hampir menyerupai narapidana yang menunggu keputusan hukuman dari hakim. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Mungkin bagian latar belakangku terlalu panjang atau ngaco, atau mungkin bagian rumusan masalahku terlalu mendetil atau malah terlalu sulit untuk diimplementasikan, atau mungkin saja print out skripsiku terlalu berantakan, atau sulit dipahami, atau….Aduh!!! Pak Dedi cepatlah anda berbicara. Jangan membuatku menderita seperti ini…

“Hm…jadi maksud dari tujuan survey yang akan kamu lakukan itu sudah kamu sertakan semua di rumusan masalah ini?” tiba – tiba Pak Dedi berbicara. Entah kenapa suaranya langsung terngiang – ngiang di telingaku. Aduh…apa maksudnya??? Tapi tidak mungkin juga kan, aku dengan entengnya bilang “Oh, gak Pak. Kemarin itu saya langsung aja gitu buat rumusan masalahnya, soalnya uda mepet sih Pak. Yang penting disetujui dulu, jadi saya bisa langsung survey ke perusahaannya. Hehehe…”. Bisa – bisa aku langsung tidak diluluskan mata kuliah skripsi ini.

“Oh iya Pak. Jadi saya sudah mempertimbangkan akan melakukan survey yang berpusat hanya pada sistem informasi terutama di bagian penggajian. Secara umum menurut saya, sistem penggajian akan berelasi dengan sistem – sistem yang lain secara keseluruhan, jadi bisa sekaligus dibuat gambaran implementasinya dan sistem baru yang kira – kira bisa dirancang untuk memaksimalkan kinerja keseluruhannya Pak…” widih dari mana ya bisa kudapat semua kalimat – kalimat itu? Jujur saat ini, aku juga tidak yakin dengan penjelasanku tadi. Bahkan jika disuruh mengulanginya lagi, aku tidak yakin bisa menjelaskannya lagi. Haduh….

“Oh, jadi maksud kamu rumusan masalah di sini kamu mau menghubungkan relasi antara sistem informasi dengan keefektifan alokasi gaji karyawan secara terkomputerisasi ya??” tanya Pak Dedi. Hah!?!? Maksudnya apa lagi nih?? Kembali aku tidak mungkin mengatakan “Kayaknya kurang lebih gitu deh Pak, hehehe…”, jadi…

“Ya Pak. Maksudnya begitu. Hanya saja saya agak bingung mau tulis bahasanya seperti apa gitu…” ya, ya, memang aku bingung, tapi bukan cuma bahasanya, tapi SEMUANYA! Bahkan sampai alasan mengapa harus dibuat skripsi segala untuk memenuhi syarat kelulusan…Kenapa tidak ujian biasa seperti di SMA?? Menyusahkan saja.

“Ya, kalau saya lihat memang bahasa kamu di rumusan masalah yang agak sedikit bermasalah” jelas Pak Dedi. Aku ingin menimpali “Sebenarnya itu bukan rumusan masalah, tapi BIKIN masalah Pak, grr!!” Tapi kan itu gak mungkin…

“Jadi, tampaknya kamu harus perbaiki di penggunaan bahasa rumusan masalah dan tujuan kamu. Kamu yakin mau rumusan masalahnya seperti yang kamu bilang tadi? Karena menurut saya, kalau kamu pakai rumusan masalahnya seperti ini, kamu harus melakukan wawancara yang cukup rumit saat kamu survey nanti. Gimana?” tiba – tiba Pak Dedi menanyai hal yang paling kutakuti : MENGGANTI. Ya ampun, mengganti rumusan masalah sama saja mengganti keseluruhan pendahuluan dan mengganti perencanaan analisis. Ya ampun, ya ampun!!

“Oh gak apa – apa. Soalnya saya uda bikin perencaan surveynya. Jadi nanti tinggal dilaksanakan saja” Haduh! Apa yang barusan ku bilang??

“Oh ya udah, kalo gitu kamu cuma perlu perbaiki penggunaan kata – kata aja kok. Di bagian analisisnya nanti, tinggal kamu sesuaikan dengan rumusan masalah kamu aja. Mungkin saya berikan sedikit tambahan di…” Pak Dedi terlihat menandai beberapa bagian di latar belakangku, rumusan masalah, dan tujuan skripsiku. Jujur aku benar – benar tidak tahu apa yang beliau tandai. Pikiranku sudah melayang ke arah penderitaanku selama satu semester ini menyusun skripsi yang menyebalkan ini.

Aku dan Pak Dedi membahas beberapa teknik dari survey yang akan aku gunakan, bagaimana aku menghubungkan hasil analisisku, dan bagaimana rancangan sistem yang akan aku anjurkan nanti. Aku tidak begitu memahami inti dari pembahasan itu, tapi paling tidak aku sudah mendapatkan sedikit gambaran bagaimana dan apa saja yang harus aku lakukan dalam surveyku nanti. Mungkin ada sekitar satu jam kami membahas hal – hal tersebut, dan saat itulah aku ingat sekali….aku hari ini harus memberikan les privat!!

“Ya jadi kurang lebih nanti seperti itu ya. Ada yang mau kamu tanyakan Den?” untunglah Pak Dedi kelihatannya sudah selesai.

“Gak pak. Saya uda dapat gambaran secara garis besar tentang survey saya nanti. Jadi bimbingan lagi hari kamis depan ya Pak?” tanyaku seraya memasukkan lembar skripsiku ke dalam map dan memasukkannya ke dalam tas ranselku.

“Ya, tapi kita lihat dulu aja ya. Nanti saya bisa hubungi kamu kalo ada perubahan jadwal lagi”, jawab Pak Dedi sambil melipat laptopnya. Tampaknya beliau juga sudah selesai untuk hari ini.

“Oke Pak. Kalo gitu saya duluan ya Pak! Terima kasih Pak!” jawabku sambil berdiri lalu mengangguk sedikit ke beliau.

“Oke Den. Hati – hati ya!” balas beliau, lalu aku cepat – cepat keluar dari ruangan beliau lalu berlari menuju lift. Dalam lift, aku mengambil handphone yang ada dalam tas ranselku, lalu melihat jam yang tertera di sana…

16:50. Gawat 10 menit lagi jam 5! Secepat apa pun aku mengayuh sepedaku dari kampus ke cluster Opal tempatku mengajar nanti, paling tidak akan memakan waktu sekitar 15 menit. Tidak diragukan lagi aku akan terlambat di hari pertamaku menjadi guru privat.

Begitu pintu lift terbuka di lantai satu, langsung saja aku berlari menuju ke arah parkiran khusus sepeda yang terletak di halaman belakang kampusku. Tidak ada waktu untuk panik! Aku hanya bisa berharap aku tidak terlalu terlambat…

Kakiku terasa lebih capek dari biasanya. Wajar saja, aku mengayuh sepedaku dengan kecepatan maksimal agar cepat sampai di rumah anak privatku. Mungkin baru sekitar 5 menit aku meninggalkan gerbang depan kampusku, tapi bisa kupastikan aku sudah hampir setengah jalan. Mungkin itulah yang membuat kakiku terasa sedikit pegal. Padahal pada hari - hari biasa, aku bisa mengayuh sepedaku dari kampus sampai ke tempat kostku tanpa merasakan kelelahan yang berarti. Tapi saat ini, aku harus sedikit mengorbankan kakiku untuk sedikit lebih pegal, karena telat pada hari pertama, maka aku berani jamin akan timbul kesan yang tidak bagus pada anak privatku. Ditambah lagi langit kelihatan sangat mendung. Mungkin sebentar lagi akan hujan deras. Akan jadi masalah bila hujan turun sebelum aku sampai ke sana.


Aku terus saja mengayuh sepedaku secepat mungkin, tetapi tetap berhati - hati karena saat itu bisa kupastikan jam sudah menunjukkan sekitar jam 5 sore, yang berarti jalan raya sudah mulai ramai dengan orang - orang yang baru pulang bekerja dari kantor mereka, ataupun anak - anak sekolah yang lain. Tidak lucu juga kalau aku kecelakaan di sini, apalagi bila hanya mengendarai sepeda. Bisa - bisa malu yang kuterima bisa lebih sakit dari luka yang mungkin kualami. Sambil berpikir begitu, kulihat aku sudah berada di pintu masuk mall, berarti rumah yang kutuju sudah tidak jauh lagi. Ya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali lah untuk mendapatkan uang. Kalau kuliah sih...lebih baik tidak sama sekali daripada terlambat kali ya hahaha...

Sekitar 5 menit berikutnya sudah bisa kulihat jalan masuk menuju ke cluster Opal tempatku mengajar. Aku harus menyebrang ke sisi lain dan untunglah pas sekali saat aku sampai di depan jalan masuknya tidak ada kendaraan yang sedang melaju. Cepat - cepat saja kukayuh sepedaku lagi ke seberang. Jalan masuk menuju perumahan Opal dipenuhi oleh deretan pertokoan di sisi kiri dan kanan jalannya. Mungkin toko - toko itu dibuat untuk memudahkan penghuni perumahan membeli barang kebutuhan mereka. Sepengetahuanku cluster opal itu seperti perumahan kecil, tetapi kalau tidak salah rumah - rumahnya cukup mewah. Wah kalau gitu, kali ini tampaknya privatku bakal lancar nih...seandainya saja tidak telat seperti ini...

Jalan masuk menuju cluster opal untunglah tidak terlalu jauh, dan berapa lama kemudian aku sudah sampai di pintu masuk cluster opal blok B, tempatku mengajar nanti. Seperti hampir perumahan seperti kebanyakan, ada pos satpam di pintu masuk cluster nya. Terlihat 2 satpam sedang berjaga di dalamnya. Yang satu sedang membaca koran, dan yang satunya sedang melihat - lihat handphone. Dengan napas yang sedikit tersengal - sengal karena capek, aku mengayuh sepedaku sedikit ke arah pos satpam itu.

"Permisi Pak, saya boleh masuk?" tanyaku kepada satpam yang tadinya sedang asik dengan handphonenya itu

"Oh Bapak mau ketemu siapa?" tanyanya. HA!?!? BAPAK!?!? Ya ampun, pasti ini karena aku belum mencukur kumis dan jenggotku yang mulai tebal lagi. Memang kata teman - temanku, dengan kumis, jenggot, dan muka oriental, aku benar - bentar terlihat seperti bapak - bapak.

"Oh iya Pak. Saya mau ketemu dengan Bapak John, rumahnya no 3A" jawabku. Ya sudahlah terima nasib saja atas "old face" ku.

"Pak John...John...", terlihat pak satpam itu sedang mengingat - ingat sesuatu.

"Oh mungkin Pak Jonathan ya??”, tiba – tiba Pak Satpam itu berbicara lagi kepadaku. Waduh, aku lupa bertanya nama lengkap bapak anak privatku waktu itu. Yang kuingat cuma namanya itu John. Aku tidak tahu itu nama depan, nama tengah, nama belakang, atau nama panggilannya saja. Haduh!
“Iya Pak! Saya mau ketemu Pak Jonathan. Rumahnya yang di nomor 3A kan?” memang dasar aku adalah tipe orang yang asal ceplas – ceplos saja. Ya sudahlah, lagipula ini sudah benar cluster opal blok B dan pastinya hanya satu rumah di sini yang nomornya 3A.

“Oh kalau begitu bisa tinggalkan KTP nya Pak?” Oh iya, memang untuk masuk ke cluster – cluster seperti ini, para tamu diharuskan meninggalkan data diri seperti KTP atau SIM untuk ditukarkan dengan kartu masuk cluster. Saat keluar, KTP atau SIM itu baru dikembalikan. Sudah seperti penitipan barang saja…

Aku langsung membuka resleting ranselku yang tadinya kupapah di pundak belakang, mengeluarkan dompetku, dan mengambil KTP, lalu kuserahkan kepada satpam yang menanyakanku tadi. Setelah itu, ia memberikan aku sebuah kartu masuk cluster. Kulihat bernomor 15, sama dengan tanggal lahirku.

“Terima kasih ya Pak!” jawabku sambil menerima kartu itu lalu memasukkannya ke dalam resleting depan ranselku yang memang biasanya kugunakan sebagai tempat barang – barang kecil penting yang akan digunakan sewaktu - waktu.

“Oke, Pak!” sambil satpam itu mengarahkan tangannya ke arah dalam cluster pertanda aku diperbolehkan masuk dibalas dengan sedikit anggukkan kepala dariku. Aku langsung saja mengayuh sepedaku masuk ke dalam cluster.

No 1…No 2… No 3...Nah ini dia! pikirku. Tidak sulit menemukan rumah tempat aku mengajar karena kebetulan cluster Opal ini memang dibuat kecil dan minimalis, tidak seperti perumahan – perumahan besar yang terkadang bahkan bisa membuat pengunjung yang baru pertama kali masuk tersasar di dalamnya. Rumah tempatku mengajar terletak di arah kiri begitu aku memasuki pintu masuk, berjarak 3 rumah dari rumah yang terletak paling kanan di sisi kiri.

Aku mengerem sepedaku tepat di depan rumah itu. Tidak ada pagar, pintu masuk rumah langsung menuju ke jalanan cluster. Hm…mungkin inilah yang membedakan cluster dengan perumahan. Cluster terkesan lebih sempit dan rumah – rumahnya sebagian besar lebih minimalis dan berdesain sama, apalagi halaman depannya langsung berhubungan dengan jalan raya cluster. Tidak ada halaman seperti rumah – rumah perumahan yang lainnya. Aku hanya heran kenapa rata – rata rumah di cluster lebih mahal dari perumahan. Mungkin ada hubugannya dengan trend hidup para orang kaya zaman sekarang. Hm…

Aku melihat sekilas, memastikan bahwa ini benar rumah tempatku mengajar. Rumahnya tidak jauh berbeda dari rumah lainnya di cluster itu. Modelnya menyerupai bangunan minimalis modern zaman sekarang. Bertingkat 2, bercat dinding putih campur sedikit dengan warna abu – abu, dan di depan pintu masuknya hanya ada teras kecil. Paling yang membedakan adalah terdapat 2 kursi kayu menghadap jalanan dengan meja kecil di tengah – tengahnya. Mungkin teras ini sering dipakai untuk ngobrol – ngobrol santai antara penghuni rumah ini dengan teman – temannya.

Aku memarkir sepedaku di luar secara menyamping, lalu melangkah ke teras, ke depan pintu masuk yang berwarna abu – abu dengan dilapisi pintu dengan kawat anti nyamuk di depannya. Biasanya setahuku pintu masuk dibuka begitu saja dengan pintu anti nyamuk tertutup. Apa ini artinya tidak ada orang di rumah itu?? Tapi tidak mungkin ya…aku yakin ini rumah tempatku mengajar. Tidak mungkin jika kosong atau ditinggal pergi. Mungkin pemiliknya memang lebih terbiasa membiarkan pintu rumahnya dalam keadaan seperti ini.

Aku mencari bel dan kutemukan tepat di dinding yang menjadi pemisah antara rumah itu dengan rumah di sebelah kanannya, kira – kira setinggi kepalaku, sebuah tombol coklat dengan gambar bel di tengah – tengahnya. Kutekan sekali dan kutunggu sebentar…

Hm…Kutekan belnya sekali lagi lalu kutunggu lagi…





Aneh…Tidak ada tanda – tanda ada orang di dalam. Apa belnya rusak?? Apa kuketok saja pintunya?? Tapi tidak mungkin juga karena pintu dengan kawat anti nyamuk itu tidak memungkinkan aku mengetok pintu kayu yang ada di dalamnya. Hm… jadi gimana ya?? Tampaknya orang rumah ini memang sedang keluar. Mungkin aku telepon saja ya?? Barangkali Om John lupa kalau hari ini aku akan datang…

Aku merasa tidak enak jika harus duduk di kursi yang ada di teras itu, jadi aku memilih lesehan di terasnya saja. Aku membuka resleting ranselku, lalu mengambil Nokia 6120 ku yang biasa kupakai.

Begitu kulihat, ternyata ada 1 pesan baru di Handphoneku. Kulihat dan ternyata….

“Maaf Den, saya John. Hari ini saya agak telat pulang ke rumah karena sehabis menjemput anak saya, tadi saya harus balik ke kantor karena ada sedikit urusan. Kalau kamu sudah sampai di rumah saya dan saya belum pulang, kamu tunggu sebentar di depan ya? Saya segera pulang secepat mungkin…” Oh ternyata ini dari Om John toh.

Ya sudah deh apa boleh buat, terpaksa memang aku harus menunggu di depan rumah. Saat aku mau memasukkan kembali handphoneku ke dalam ranselku, tiba – tiba hujan mulai turun, dan parahnya langsung deras. Serentak saja aku berdiri dari dudukku dan menggeser diriku agak ke dalam agar tidak terkena hujan. Kuputuskan saja duduk di kursi kayu ini sampai Om John datang.

Tepat saat aku hendak duduk di kursi yang ada di kiri dari tempatku berdiri, samar – samar dari tumpahan air hujan, aku bisa melihat lampu sinar mobil datang dari arah kanan, lalu berbelok berhenti tepat di depan rumah…

Begitu melihat ada sebuah mobil yang berhenti di depanku, aku hanya berdiri mematung dan mengurungkan niatku untuk duduk di kursi yang ada di sana. Sinar lampu mobil nya cukup menyilaukan sehingga aku sedikit memicingkan mataku untuk melihat jelas mobilnya. Karena hujan yang deras dan hari sudah mulai gelap, aku tidak begitu jelas melihat mobil itu. Yang bisa kupastikan hanya itu sebuah mobil kijang berwarna biru tua, mungkin model baru atau bahkan mungkin baru – baru ini dibeli. Untunglah aku tidak perlu memicingkan mataku lama – lama karena sekarang lampu mobil itu terlihat sudah dimatikan.

Hhhh…hari pertamaku menjadi guru privat tampaknya sangat menarik. Terburu – buru, menunggu, hujan deras, dan lagi skripsiku. TIDAK!! Hm…? Terlihat pintu mobil bagian kanan depan dibuka.

Kembali karena hujan yang deras, aku tidak begitu melihat siapa yang keluar. Yang pasti laki – laki, memakai pakaian hitam, mungkin itu jas, cukup tinggi, mungkin lebih tinggi dari tinggiku yang sekitar 175 cm ini. Dia langsung keluar dengan cepat, menutup pintu mobilnya, kemudian berlari kecil ke pintu mobil bagian depan ke sebelah kiri. Dia membukanya dengan cepat, di membuka pakaian hitamnya yang membuatku yakin itu adalah jas dan menutupi dengan cepat seseorang yang turun dari pintu mobil itu. Jauh lebih pendek darinya. Mungkin itu anaknya. Berarti…

Mereka berdua berlari sedikit ke arah teras tempatku berdiri diam. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas. Laki – laki tersebut memang sedikit lebih tinggi dariku, dia memakai kemeja lengan panjang biru tua, wajahnya oriental, bisa kupastikan dia juga keturunan chinese sama sepertiku, alisnya tebal, matanya tidak terlalu sipit, bibirnya tipis, dan terlihat sekilas bekas cukuran di tempat tumbuhnya kumis dan jenggot. Rambutnya pendek cepak sepertiku dengan bagian depan rambutnya sedikit naik (yang banyak digunakan oleh para eksmud sekarang). Yang seorang lagi…

“Kamu Dennis ya??” tiba – tiba laki – laki itu menyapaku dengan terlihat air hujan yang menetes dari rambutnya yang terlihat turun karena basah oleh air hujan.

“Iya Om! Om om John??” tanyaku sambil melirik sedikit ke arah anak kecil yang berdiri di sampingnya.

“Pa! Pa! Masuk dulu yu!! Aku basah nih!” bisa kudengar anak kecil yang wajahnya hanya bisa kulihat sedikit saja karena tertutup jas besar memanggil – manggil sambil menarik lengan baju laki – laki itu.

“Oh ya sayang! Papa lupa! Maaf ya…” tanpa sempat menjawab pertanyaanku, laki – laki itu langsung merogoh kunci dari saku celana eksekutifnya, dan terlihat dia membuka pintu kawat yang ada paling depan…kemudian membuka pintu kayu yang ada di dalam…Tidak berapa lama terlihat pintu rumah itu sudah terbuka semua. Aku hanya bisa melihat mereka berdua tanpa sempat berbicara apa pun.

“Ayo Den kamu masuk aja! Saya mau bawa anak saya ke atas dulu. Kamu tunggu di ruang tamu depan sini saja ya?” kata laki – laki itu sambil menghadap ke arahku. Kulihat anaknya sudah masuk duluan dengan terburu – buru begitu pintu dibuka. Aku hanya mengangguk dan melihat laki – laki itu menyusulnya ke dalam setelah sebelumnya menyalakan lampu ruang tamu yang ada begitu pintu masuk dibuka.

Aku membuka sepatu dan kaos kakiku yang sedikit basah karena cipratan air hujan lalu masuk ke dalam setelah menutup pintu kawat yang ada paling depan. Setelah sedikit menyibakkan rambutku yang sedikit basah tadi, aku duduk di sofa panjang berwarna coklat tua yang ada di dekatku. Ruang tamu tempatku duduk ini tidak terlalu besar, tapi suasananya cukup terasa tenang di waktu hujan – hujan begini. Yang kudengar hanya suara hujan turun di luar dengan derasnya. Setelah duduk di sofa itu, aku melepas ransel dari pundakku dan menaruhnya di sampingku karena memang sofanya cukup lebar.

Hm…yang bisa kulakukan sekarang hanya menunggu pemilik rumah ini dan anaknya.






Sudah sekitar 15 menit aku menunggu di sofa dan aku mulai bosan. Kuambil handphone dari ranselku yang setelah kulihat sudah menujukkan pukul setengah 6 sore. Haduh, rasanya aku bakal pulang malam hari ini...

“Maaf ya nunggu lama!” aku tersadar dari pikiranku dan melihat ke arah laki – laki yang tadi mempersilakanku masuk.

“Oh gapapa kok Om. Um….” Aku bingung mau menjawab apa.

“Oya kenalin saya John.” Sapa laki – laki itu sambil menyodorkan tangan. Ternyata benar laki – laki itu yang bernama Om John, orang tua dari anak privatku. Karena lampu ruang tamu yang terang, sekarang aku bisa melihat Om John dengan jelas. Untunglah beliau masih muda, paling tidak terlihat masih muda. Mungkin bisa kuperkirakan sekitar pertengahan 30an. Badannya tegap dan lebih berisi dibandingkan badanku.

“Oya Om. Saya Dennis!” jawabku sambil menjabat tangannya. Tangannya juga lebih besar dariku.

“Oke Den. Ini anak saya!” sambil Om John melihat ke arah dalam, kemudian terlihat seorang anak kecil perempuan muncul dari dalam mengenakan baju terusan berwarna pink dengan rambut panjang diikat buntut kuda. Rasanya aku pernah melihatnya baru – baru ini. Mungkin cuma perasaanku saja.

“Ayo Cin, salaman donk sama kakak?” Om John mengelus – ngelus rambut anaknya yang panjang itu.
“Eh!? Kakak?? “ anak perempuan itu kelihatan senang campur kaget. Aduh! Jangan – jangan ada sesuatu di mukaku.

“Kak! Inget aku? Kemaren kakak yang di mall itu kan??” tanya anak perempuan itu.

Sebentar….mall?? Hm… Kemarin aku ke mall….OH YA!! Dia anak kemarin yang kuberikan Minute Maid.

“Oh iya ya! Hahaha, kebetulan banget ya!? Haha” aku tertawa kecil dan sedikit lega karena ternyata aku sempat bertemu dengan anak ini sebelumnya.

“Iya kak! Seneng deh bisa ketemu kakak lagi! Aku Cindy kak!” anak perempuan yang bernama Cindy itu mengulurkan tangannya dan kusambut dengan jabatan tanganku yang jauh lebih besar darinya. Aku dan Cindy saling berpandangan dan tersenyum.

“Oalah kamu ternyata yang kemarin ya!? Kebetulan banget ya!” Om John serasa juga tidak percaya bahwa ternyata guru privat anaknya adalah aku.

Kami bertiga tertawa kecil merasa lucu dan aneh karena kebetulan ini. Om John mempersilakan aku masuk ke bagian dalam rumah. Ternyata masih ada satu ruang tamu yang lebih besar di bagian dalam rumah. Terdapat televisi LCD, sofa besar yang disusun beberapa buah secara melingkar, satu karpet berbulu sebagai alas di bawahnya, dan satu meja kaca sepinggangku di tengah – tengah lingkaran sofa itu. Menurutku tempat yang sangat cocok untuk mengajar dengan efektif.

“Jadi Den, tempat mengajar kamu di sini aja gimana?” Om John menanyaiku apakah tempat ini cocok untuk tempat belajar.

“Oh ya Om! Di mana aja bisa kok Om!” aku menjawab singkat.

“Ya, jadi silakan dimulai aja!” Om John mempersilakan aku duduk di karpet alas itu.

Aku mengangguk,lalu duduk secara lesehan di lantai. Terlihat Cindy membawa tas sekolahnya, lalu duduk di sampingku, sedangkan Om John naik ke lantai atas. Dia mengeluarkan beberapa buku, yang kulihat buku matematika dan IPA. Hm…memang 2 pelajaran ini juga sangat menyulitkanku saat aku SD dulu.

Kemudian mulailah aku mengajarkan Cindy. Pertama – tama aku menanyakan PR dia, lalu membantu menyelesaikannya sebelum aku mengajarkan materi yang lain. Untunglah aku sudah cukup berpengalaman dalam mengajarkan anak – anak seusia Cindy, jadi tidak perlu waktu lama bagiku untuk mencari penjelasan yang mudah dan cepat dimengerti untuk anak seusianya.

Perkalian, pembagian, beberapa review dan beberapa latihan soal aku ajarkan kepada Cindy selama kurang lebih satu jam dan hal ini membuatku mulai sedikit haus.

“Ayo – ayo istirahat dulu! Nih saya bawakan minuman!” kehadiran Om John bagaikan malaikat penyelamat. Aku tidak menyadari kapan beliau turun padahal tangga menuju lantai atas tepat berada di arah depan tempat aku lesehan,tapi yang pasti kehadirannya pas sekali saat aku haus. Hehehe. Beliau membawa 2 gelas minuman berwarna kuning cerah. Bisa kupastikan itu adalah sirup jeruk.

“Makasi ya Om. Maaf ngerepotin” jawabku tidak enak.

“Oh ya sama – sama. Hahaha. Ayo silakan dilanjutin.” Om John dengan suara rendahnya naik kembali ke atas.

Setelah aku meneguk sedikit minuman yang diberikan, rasanya aku menjadi bersemangat kembali. Karena kupikir Cindy sudah cukup memahami materi – materi yang tadi kami bahas bersama, aku beralih ke IPA. Yang kubahas paling cuma bahan – bahan penting yang harus dihapal, membuat singkatan – singkatan sebisaku buat Cindy agar dia lebih mudah menghapal, dan membantu menjelaskan beberapa materi yang cukup sulit dipahami oleh anak SD. Sesekali kami tertawa ketika Cindy menceritakan hari – harinya di sekolah dan kekonyolan yang dibuat oleh teman – temannya. Sungguh menyenangkan. Rasanya aku sudah lupa betapa menyenangkannya mengajar anak – anak kecil. Cindy juga anak yang menyenangkan dan tidak nakal, tidak seperti beberapa anak privatku sebelumnya.

“Jadi begitu Cindy. Ingetin aja singkatan – singkatan yang kakak buat tadi. Dijamin kamu pasti inget!” jawabku menutup materi hari itu.

“Oke kak!” jawab Cindy sembari ia memasukkan buku – bukunya kembali ke dalam tasnya. Pas sekali saat itu, Om John turun dari lantai atas. Kali ini aku melihatnya turun.

“Oh uda selesai ya?” tanya Om John.

“Iya Pak sudah selesai buat hari ini.” jawabku. Hm…rasanya ada yang harus kubicarakan lagi, tapi apa ya??

“Oh ya, masalah biayanya bagaimana nih?” tanyanya. Aku ingat aku belum memberitahu biaya untuk jasa privatku.

“Biasanya sih 350 ribu Om. Um…terlalu besar gak?” aku menjawab dengan ragu –ragu. Biasanya sih aku mematok tarif sebesar itu, dan hampir semua orang tua anak privatku yang dulu menawarnya dengan kejam. Aku cukup trauma dengan kejadian – kejadian dulu, tapi tidak ada salahnya aku memasang harga terlebih dahulu.

“Oh, kalo gitu kamu ambil segini dulu aja ya?” tiba – tiba Om John menyodorkan selembar 50 ribuan yang diambil dari saku kemeja yang dipakainya.

“Aduh, aduh gak usah om. Nanti aja setelah pas satu bulan.” Jawabku sambil memberi tanda dengan tangan kananku bahwa aku belum perlu menerimanya sekarang.

“Uda gapapa. Anggap aja uang pendaftaran. Ya??” Buset seperti sekolah saja ada uang pendaftarannya. Ya…mungkin sudah rejeki ya.

“Um…kalo gitu makasi ya Om!” aku menerimanya sambil mengangguk, lalu melipat uang itu dan memasukkannya ke saku celanaku. Aku tidak enak mengambil dompetku terlebih dahulu.

“Om, kalo gitu saya pulang dulu ya. Nanti hari Jumat, saya datang lagi ke sini.” Jawabku sambil mengambil ranselku lalu menggendongnya di pundakku.

“Oke, makasih ya Den!” jawab Om John, lalu kami berdua dan Cindy menuju pintu depan. Kulihat sekilas keluar, hari sudah gelap. Untunglah hujan sudah berhenti.

“Makasih ya Kak! Hari Jumat ke sini lagi ya!” terlihat Cindy tersenyum. Kulihat – lihat, wajah Cindy manis sekali saat tersenyum.

“Oke Cin. Kakak pulang dulu ya!” jawabku membalas senyumannya, lalu menuju teras depan dan memakai sandalku. Aku sebelumnya membersihkan dulu jok sepedaku yang basah karena hujan tadi, lalu baru menaikinya.

“Dadah kak!” terlihat Cindy melambai – lambaikan tangannya ke arahku.

“Dadah Cin! Mari Om, saya pulang dulu” aku mengangguk kecil ke arah Om John.

“Ya Den! Hati – hati ya!” balas Om John.

Aku memutar arah sepedaku, lalu langsung mengayuh ke arah pos satpam di depan. Rasanya hari pertama ku tidaklah buruk. Anak privat yang menyenangkan, orang tua yang baik, bahkan dapat 50 ribu pula. Tapi rasanya tadi ada yang kurang. Apa ya???

Sambil berpikir, aku menukarkan kartu masuk cluster dengan KTP ku yang tadi diambil oleh satpam, lalu kembali mengayuh sepedaku. Sempat kulihat sekilas jam dinding yang ternyata tergantung di pos satpam tadi sudah menunjukkan pukul 7:15 malam. Aku kembali mengayuh sepedaku di jalanan yang lingkungan luar cluster yang sudah mulai sepi.

Sambil berpikir – pikir apa yang kurang tadi, aku mengayuh sepedaku dengan santai. Hembusan angin malam yang cukup dingin menemaniku saat perjalananku kembali ke kostan ku malam itu…

“Mbak! Senyum – senyum aja dari tadi?? Ciee…bb an sama siapa tuh??” godaku terhadap wanita yang duduk sambil memegang blackberrynya di meja yang ada di samping kanan mejaku.

“Ah…kamu mau tau aja Den! Ada deh pokoknya…! Hehe” wanita itu menjawab dengan tertawa kecil.

Hari ini aku sedang bekerja sebagai customer service di kampusku secara part time. Biasanya aku bekerja sebagai customer service dengan jadwal yang fleksibel, hanya dengan ketentuan 20 jam perminggu, karena upahnya akan dihitung secara perjam. Aku merasa beruntung pada semester terakhir ini aku bisa mendapatkan lowongan yang sebenarnya sudah dibuka semenjak aku semester 4. Peminatnya yang sangat banyak dan seleksi nya yang cukup ketat membuat lowongan ini cukup susah untuk aku ikuti pada awal – awal semester. Tetapi untunglah pendekatan dengan orang – orang marketing selama 3 tahun belakangan ini membuahkan hasil yang sesuai. Memang benar kata orang. Dalam dunia pekerjaan apa pun baik perkantoran ataupun wirausaha, yang terpenting adalah relasi.

Kebetulan karena semester ini aku hanya tinggal menyusun skripsi dan jadwal privatku yang hanya senin dan jumat sore, aku bisa bekerja full dari Senin sampai Jumat, walaupun seperti pada hari Senin kemarin aku tidak datang karena jadwal bimbinganku yang dadakan sehingga aku harus memfokuskan waktuku untuk menyelesaikan pendahuluan skripsku waktu itu. Dalam seminggu, kurang lebih aku bisa bekerja selama 30 jam, yang berarti penghasilan tambahanku lebih banyak. Lumayanlah. Di semester akhir ini, aku sudah secara mandiri mampu membayar uang kost, biaya hidup, dan menabung untuk modal usahaku nanti setiap bulannya.

“Aduh…! Mbak BB an mulu dari tadi sih! Bunyinya sampe kedengeran sampe sini gitu, gimana saya gak penasaran coba??” jawabku.

“Ya maklum lah Den….Mbak Dian lagi kangen nih ama dia…Hihihi…” jawab wanita yang bernama Dian Hapsari itu. Mbak Dian adalah petugas customer service di kampusku sejak aku semester 1 yang artinya sudah hampir 4 tahun dia bekerja di sini. Ada seorang lagi bernama Mbak Ayu, tetapi dia sudah mengundurkan diri karena mau menikah 2 tahun lalu, dan semenjak itulah dibuka lowongan menjadi customer service part time bagi para mahasiswa. Aku pernah tanya ke Mbak Dian kenapa tidak cari petugas tetap yang baru saja. Katanya sih karena pihak kampus memutuskan lowongan ini ditujukan saja untuk mahasiswa, sekalian latihan kerja gitu. Lagipula biayanya lebih murah dan perekrutan juga lebih cepat. Hmm…aku rasa sih pasti yang diutamakan alasan ke 2 deh…

“Eh uda ah..! Liatin Mbak terus deh kamu!? Ntar naksir loh sama Mbak, hehehe” sekarang Mbak Dian balas menggodaku.

“Wah, kalo gitu ntar saya saingan sama si dia yang lagi di seberang sana donk Mbak?? Hahaha!!” aku tertawa geli mendegar perkataan Mbak Dian.

“Eh ngomong – ngomong gimana tu Den masalah skripsi kamu? Kamu uda lakuin survey ke perusahaan nya belom? Perusahaan…apa itu namanya??” tanya Mbak Dian yang terlihat meletakkan BB nya kembali ke atas meja.

“Oh perusahaan Jaya Gading? Belom sih Mbak, tapi untung uda disetujuin sama Pak Dedi, jadi tinggal minta surat pengantar, dan buat janji sama manajernya.” Jawabku.

“Oh gitu. Kayaknya kamu mesti cepet deh Den, biasanya manajer perusahaan itu gak bakal langsung bisa diwawancarai. Sibuk biasanya. Apalagi kan wawancara kamu nanti sifatnya menyeluruh, jadi mungkin agak susah buat manajernya cari waktunya.” Saran Mbak Dian. Benar juga ya, aku lupa mesti buat janji dulu, buat pertanyaannya, minta surat pengantarnya, HADUH! Repot banget deh rasanya…

“Iya nih, rencananya senin besok deh saya langsung minta ke bagian kemahasiswaan” jawabku seraya melihat jam dinding yang tergantung di dinding atas yang ada di belakangku. Sudah jam setengah 5 sore. Ini hari Jumat, aku harus mengajar privat di rumah Cindy.

“Eh ya Mbak, saya balik dulu ya Mbak…Saya ada jadwal mengajar privat jem 5 nanti…” pesanku pada Mbak Dian sambil merapikan ranselku yang biasa kupakai yang kuletakkan di lantai di sisi kanan tempatku duduk.

“Oh ya Den. Hati – hati ya! Hm…anak SD ya?? Coba anak SMP ato SMA…kan bisa kamu gaet tuh. Hihihi” ya ampun Mbak Dian ini. Orang uda mau pulang masih dibercandain juga.

“Hahaha ya sih Mbak. Sayang…” haduh kujawab pertanyaan ini dengan jawaban yang konyol pula.

“Hihihi, ya uda Den. Semangat ya!” pesan Mbak Dian.

“Oke Mbak! Saya duluan ya!” jawabku sambil bangkit dari tempat dudukku, lalu menggendong ranselku di punggung, lalu melambaikan tangan sedikit ke Mbak Dian. Kebetulan tempatku bekerja ini berada di lantai satu, jadi aku hanya tinggal berjalan sedikit ke parkiran tempat sepeda hitamku diparkir…

---------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Untunglah, kali ini aku tidak telat seperti hari Senin kemarin. Kuparkir sepedaku di depan teras rumah Cindy, lalu beranjak ke terasnya. Kulihat pintu kayu bagian dalam terbuka dan itu artinya ada orang di dalam, jadi kutekan langsung saja bel yang ada di kanan tempatku berdiri di depan pintu berlapis kawat nyamuk yang kelihatan sedikit berdebu itu. Tak berapa lama, samar – samar kulihat sosok yang tinggi muncul dari dalam lalu membukakan pintu itu.

“Oh Dennis? Ayo – ayo masuk. Cindy uda nungguin dari tadi tuh. Kangen dia sama kamu kayaknya. Hahaha” Oh ternyata Om John yang membukakan pintu. Kulihat beliau masih memakai kemeja dan celana panjang dengan rapi. Mungkin beliau baru pulang dari kantornya.

“Iya om, permisi…” jawabku sambil melepas sepatu dan kaos kakiku lalu meletakkannya di samping keset yang ada di teras itu, lalu masuk ke dalam. Begitu masuk, aku sekilas mencium aroma parfum. Mungkin parfumnya Om John. Ya wajar lah beliau seorang pekerja kantoran, pasti harus tampil rapi dan wangi sepanjang hari. Jujur rasanya aku menyukai aroma parfumnya…tidak menyengat tapi bisa tercium dengan jelas…hm…

“Halo Cin!” sapaku pada Cindy yang terlihat sedang duduk di sofa sambil menonton TV LCD di ruang tamu tempat aku kemarin mengajarinya.

“Kak Dennis! Cindy uda tungguin dari tadi. Hihihi” Cindy tiba – tiba menarik tanganku lalu mengajakku duduk di sampingnya.

“Nih nih kak! Lihat deh! Terlihat Cindy memberikanku sebuah buku gambar yang sudah terbuka dan terdapat gambar di halaman samping kanannya. 2 orang dan 1 orang anak kecil. Anak kecil berdiri di tengah dan 2 orang dewasa terlihat menggandeng tangan anak kecil itu di samping kiri dan kanannya. Gambarnya mirip – mirip anime Jepang yang sering kulihat di majalah – majalah, tetapi tentu saja yang ini lebih kekanakkan. Tapi kuakui bila benar – benar Cindy yang menggambarnya sendiri, dia pasti memiliki bakat melukis yang besar.

“Gambar siapa nih Cin?? Bagus deh! Kamu gambar sendiri??” tanyaku serasa tidak percaya sambi terus melihat gambar itu.

“Itu gambar aku, papa, sama kakak!” jawab Cindy.

“Hahaha, kenapa gak…”

“Eh ya, hari ini aku ada PR Bahasa Inggris nih Kak! Kerjain dulu yu” tiba – tiba Cindy nyeletuk sebelum aku sempat menyelesaikan pertanyaanku. Ya sudahlah. Lagipula pertanyaan yang tidak penting kok.

“Oke – oke! Yuk kita kerjain!” jawabku melihat Cindy mengambil tasnya yang ada di sampingnya lalu mengeluarkan satu buku besar dan satu buku tulis kecil dari dalamnya. Di buku besar itu tertulis “English Learning for Third Elementary School”. Ternyata ini khusus untuk kelas 3 SD yang artinya Cindy sudah belajar bahasa Inggris semenjak dia duduk di kelas 1 SD. Padahal dulu aku baru mulai belajar Bahasa Inggris saat aku masuk kelas 3 SD. Memang tidak heran anak sekarang jauh lebih cepat berkembang dan lebih pintar dari anak – anak dulu.

…………..
…………..
…………..

Akhirnya aku selesai membantu Cindy menyelesaikan PR Bahasa Inggrisnya sekaligus mengajarinya. Aku sempat kaget karena ternyata Cindy sudah mempelajari tenses yang dulu baru kupelajari saat aku masuk SMP kelas 1. Aku tidak berani membayangkan jika aku mengajar Cindy yang sudah SMA. Pasti akhirnya berbalik aku yang minta diajari.

Kulihat sekilas jam di handphoneku yang kutaruh di meja kaca tempat kami belajar. 18:17. Huff…ternyata sudah satu jam lebih aku dan Cindy berkutat dengan Bahasa Inggris.

“Kak, istirahat dulu ya! Cindy ambilin minum ya! Kakak mau apa?? Ada coca – cola, fanta, lemon tea…” Hahaha, pas sekali Cindy saat aku haus..

“Kakak minta air putih aja deh.” Aku memang lebih suka meminum air putih dibandingkan minuman bersoda, walaupun sebenarnya lemon tea juga tidak terlalu buruk. Tapi aku takut merepotkan Cindy jika aku minta Lemon Tea.

“Oh bentar ya Kak!” Cindy terlihat masuk ke dapur yang terletak di ruangan belakang tempatku duduk sekarang, lalu terdengar bunyi gelas ditaruh, samar – samar dengan sesuatu yang dituangkan ke dalamnya. Tak berapa lama terlihat Cindy membawakanku segelas besar berisikan air bening dengan sedikit es batu di dalamnya.

“Waduh, makasi ya Cin! Kakak jadi ngerepotin nih…hehehe…” ucapku pada Cindy dan dia hanya menggangguk sambil tersenyum. Aku meneguknya dan saat tegukan ku yang ketiga, kudengar suara seperti sepatu yang turun dari lantai atas…

“Eh Cin, mau jalan – jalan gak?” Kulihat Om John turun dari lantai atas dengan sudah ganti baju mengenakan kaos biru muda dan celana jeans panjang biru tua.

“Mau mau Pa! Eh kakak ikut bareng ya! Cindy ganti baju dulu!” Cindy tiba – tiba langsung beranjak berlari ke atas tanpa sempat aku berkata apa – apa, lalu menghilang ke lantai atas.

“Den, kamu ikut aja ya! Kamu juga belum makan malam kan??” tahu – tahu Om John sudah berdiri di dekatku dan bertanya hal itu.

“Eh….gak deh Om!” Ya ampun, rasanya aku sangat tidak enak jika harus mengganggu acara keluarga mereka.

“Udah gapapa! Cindy juga pengen kamu ikut kok! Dia bisa sedih kalo kamu gak ikut…” Om John tersenyum berkata padaku.

“Tapi Om…” Hm…alasan apa lagi yang bisa kuberikan ya??

“Oke! Kalo gitu saya panasin mobil dulu ya!” kembali aku tidak diberikan kesempatan oleh keluarga ini berbicara. Ya sudahlah. Masa makan gratis ditolak?? Tidak baik untuk perut dan hubungan kekeluargaan…

Sekitar 10 menit kemudian, Cindy turun dan telah berganti baju kaos merah dengan celana jeans biru muda. Seperti biasa, kelihatan cantik dan manis… Aku telah membereskan buku – buku yang tadi ada di atas meja, jadi aku tinggal mengambil ranselku.

“Yu Kak!” Cindy menggandeng tangan kananku lalu menuntunku keluar ke arah teras, setelah sebelumnya dia mematikan lampu yang ada di ruang tamu.

Di teras, Cindy melepaskan gandengannya lalu naik ke mobil bagian depan kiri. Aku duduk di kursi kayu yang ada di teras, lalu mulai memakai kaos kakiku.

Kembali aku merasakaan sesuatu yang mengganjal lewat di otakku. Rasanya ada sesuatu hal yang benar - benar mengusikku semenjak aku datang ke rumah ini hari senin kemarin. Tapi memang dasar tidak peka, aku susah sekali untuk menemukannya. Lagipula kalaupun ada, pasti hal itu tidaklah penting karena memang aku pekanya pada hal – hal yang tidak penting.

Aku mengikat tali sepatuku sebelah kanan, lalu berdiri dan bersiap masuk ke mobil. Kulihat Om John keluar dari mobil lalu menutup pintu kayu sebelah dalam diikuti pintu berkawat lalu menguncinya.

“Yu Den!” Om John menepuk pundakku, lalu berjalan kembali ke arah mobil kijang biru tuanya, diikuti olehku dibelakangnya…

“Pa aku mau makan ikan!” terlihat Cindy menjawab dengan mata berbinar – binar.

Aku diajak oleh Cindy dan Om John ke mall yang biasa kudatangi atau tepatnya satu –satunya mall yang bisa didatangi, karena di lingkungan dekat sini hanya ada satu mall itu. Kami makan di sebuah restoran Chinese Food yang ada pada food court, tetapi bukan di dalam mall melainkan yang ada di luar mall dan biasanya disebut Food City. Biasanya setiap malam, para pengunjung Food City akan disuguhkan musik Live, entah dari penyanyi solo, atau kelompok band. Mungkin sudah ada penetapan jadwal harinya masing – masing, kapan penyanyi solo dan kapan kelompok band yang akan main.

Keadaan food city tempat kami makan saat ini cukup ramai. Hanya tinggal beberapa meja yang kosong di bagian tengah food city. Maklum lah hari ini hari Jumat. Banyak keluarga pergi ke sini untuk makan sekaligus mendegarkan musik Live yang dimainkan. Kami duduk di salah satu meja yang ada di tengah – tengah area food city. Sebuah meja makan segiempat ukuran sedang dengan 4 kursi, masing – masing 2 kursi berdampingan saling berhadapan. Cindy duduk di sebelahku, dan Om John duduk di kursi yang berhadapan dengan Cindy.

“Oh kalo gitu, ikan asam manis satu Mbak. Den, kamu mau makan apa??” Om John memesan makanan itu kepada pelayan wanita yang berdiri di dekat meja kami, lalu menanyakan apa yang ingin kupesan.

“Em…gak om saya mah terserah aja…” masa aku dengan entengnya “oh, saya mau ini om, sama itu, terus nanti dibungkus buat dibawa ke kostan saya ya…”. Bisa – bisa mukaku langsung kubeli yang baru saking malunya.

“Hm..kalo gitu om pesen capcay aja kali ya? Gimana? Cindy juga doyan capcay kan??” tanya Om John pada Cindy. Kebetulan juga sih. Aku lebih suka sayur – sayuran daripada daging. Tapi itu bukan berarti aku vegetarian juga sih.

“Iya pa! Kak Den doyan capcay gak??” Cindy bertanya padaku.

“Oh Kakak mah semua doyan kok! Haha” jawabku mantap. Ya gak semua makanan, tapi minimal hampir semua chinese food aku lumayan suka.

“Oke. Kalo gitu capcay deh Mbak! Minumnya…kamu mau apa Cin?” Om John bertanya lagi.

“Cindy mau es jeruk deh!” jawab Cindy.

“Terus kamu Den?” haduh Om John jangan tanya terus dong…

“Em…um…hm…es teh manis deh om…” aku mulai ragu – ragu. Entah kenapa rasanya malu deh aku minta air putih.

“Oh, satu es jeruk, satu es the manis, saya air putih aja Mbak!” Yah…ternyata Om John pesan air putih. Tahu gitu aku tadi tidak usah malu – malu pesan air putih.

“Baik Pak. Ditunggu sebentar ya…” terlihat pelayan wanita itu mengambil menu yang tadi diberikan kepada kami, lalu beranjak ke restoran tempat kami memesan menu – menu tadi.

Saat itu, yang sedang menyuguhkan musik live adalah sebuah kelompok band anak muda dan kebetulan saat itu yang dimainkan adalah lagu Marcell yang sempat hits yaitu “Takkan Terganti”. Hm…aku sempat terhanyut oleh bagian reff yang dinyanyikan oleh vokalis pria yang berdiri di panggung sana.

“Eh Kak Den! Ntar abis makan, kita main – main di Timezone yu! Cindy ada kartunya nih! Waktu itu bonus jadi isinya masih banyak. Hehe” tiba – tiba Cindy menarik – narik sedikit lenganku dan membuyarkan penghayatanku kepada lagu itu.

“Eh, oh ya ya!” Kebetulan nih. Walaupun aku sudah kuliah, aku tetap saja suka bermain – main di tempat – tempat seperti itu.

“Pa pa, nanti abis makan kita main – main dulu ya! Mumpung ada Kak Den nih…” Cindy bertanya pada Om John dengan ekspresi wajah anak kecil yang sedang meminta sesuatu kepada orang tuanya.

“Iya Cin. Tapi kita makan dulu ya…” Om John menjawab dengan lembut sambil mengelus – elus kepala Cindy. Hm…aku bisa melihat sekarang bahwa Om John adalah ayah yang sangat baik dan sayang pada Cindy. Aku jadi ingat ayah dan ibuku yang ada di rumah…

“Permisi…” tidak berapa lama pelayaan wanita yang tadi membawa sebuah nampan yang di atasnya sudah terdapat menu – menu yang kami pesan tadi. Kami, tepatnya aku makan dengan lahap. Tapi tetap saja aku makan dengan pelan – pelan. Takut ketahuan rakusnya hehehe…

……………..
……………..
……………..

“Eh kak itu bagus ya!” Cindy menunjuk – nunjuk sebuah boneka panda besar yang dipajang di etalase toko di mall tempat kami berjalan – jalan setelah kami makan dan bermain – main di Timezone tadi. Rasanya memang wajar Cindy menyukai boneka – boneka besar seperti itu.

“Iya…Cindy pengen beli ya??” tanyaku pada Cindy. Hm…rasanya kalau dia meminta pada Om John pasti langsung dibelikan deh…

“Iya sih Kak. Tapi nanti aja deh kalo Cindy uangnya uda cukup! Sekarang Cindy masih nyimpen terus dikit – dikit dari uang jajan yang dikasih papa” Ya ampun aku benar – benar kagum! Anak sekecil dia sudah mulai terbiasa dalam menabung. Aku ingat sekali saat aku kelas 3 SD, setiap punya uang jajan langsung kuhabiskan. Ternyata penilaianku terhadap anak sekarang yang makin canggih tetapi manja tidak sepenuhnya benar.

“Yu Cin, Den. Uda malem ini. Kita pulang aja ya…” Om John menghampiri kami dari arah samping. Tadi Om John sedang ke ATM yang ada di samping kanan toko tempat kami melihat boneka panda ini.

“Oh ya pa! Yu Kak!” Cindy menggandeng tangan kiriku dan berjalan berdampingan di kiriku. Om John berjalan sedikit lebih ke depan.

“Pa pa! Tungguin dong!” Cindy melepaskan gandenganku lalu berlari kecil ke arah Om John. Om John menoleh ke arahnya, tersenyum lalu menggandeng tangan kiri Cindy dengan tangan kanannya. Hahaha. Aku ditinggal sendirian di belakang deh.

“Kak!” Cindy tiba – tiba menoleh ke belakang, ke arahku. Aku berlari ke depan sedikit, lalu tangan kanan Cindy kembali menggandeng tangan kiriku sedangkan tangan kirinya menggandenga tangan kanan Om John. Kami bertiga berjalan bergandengan seperti itu di deretan pertokoan mall sampai dengan tempat parkiran tempat mobil Om John diparkir.

Sesampainya di tempat parkir, Om John membukakan pintu mobil bagian depan sebelah kiri terlebih dahulu, lalu Cindy naik masuk. Setelah itu barulah Om John membuka pintu mobil bagian depan sebelah kanan tempat menyetir, lalu naik ke dalam mobil. Aku membuka pintu mobil bagian tengah lalu naik setelah Cindy dan Om John naik. Mobil kijang biru tua ini pun melaju ke tempat pintu keluar mall yang terletak agak jauh dari lapangan tempat Om John memarkir mobil ini.

Selama perjalanan pulang, kulihat deretan lampu jalanan yang sudah menyala terang menghiasi jalan dari mall kembali ke rumah Om John. Aku jarang keluar malam – malam seperti ini, jadi tampaknya pemandangan lingkungan sekitarku masih cukup membuatku sedikit terkagum. Kulihat ada beberapa toko yang sudah hampir tutup, tetapi ada juga masih buka. Karena jalan dari mall menuju rumah Om John kebetulan lewat di bagian depan kostku, kulihat sejenak ke arah bangungan bertingkat 3 tempat kost – kostanku. Lampu bagian paling atas terlihat sudah menyala, dan hanya satu dari deretan jendela kamar paling atas yang terbuka yang menandakan bahwa itu adalah kamarku. Bila dilihat seperti ini, ternyata bangunan tempat kostku besar juga. Dan tidak terasa sekali bahwa aku sudah menginap di bangunan itu selama 3 setengah tahun.

Mobil sampai di tikungan yang mengarah ke jalan masuk cluster Opal. Oh ternyata sudah mau sampai toh…Jam berapa sekarang?

Kulihat sekilas jam digital yang kebetulan terlihat menyala terang pada pemutar vdc player yang ada di mobil Om John. Karena aku tepat duduk di tengah, dengan mudah bisa kulihat bahwa sekarang sudah hampir jam 22:01 atau sekitar jam sepuluh malam. Kulihat sekeliling, ternyata kami sudah berada pada jalan masuk cluster.

Aku akhirnya teringat hal apa yang sempat mengusikku saat hari Senin aku pertama kali datang dan yang tadi sore saat kami bertiga berjalan bergandengan di dalam deretan pertokoan mall tadi. Mungkin tidak begitu penting buatku, atau malah bukan urusanku sama sekali. Tapi jujur, ada baiknya aku mengetahui hal itu mengingat aku adalah guru privat Cindy dan mungkin kelak aku bisa bersikap yang tepat nantinya pada Cindy.

Tadi ada aku, Cindy, dan Om John…

Jadi…

Di mana mamanya Cindy…?

“Kamu mau masuk Den? Saya mau bawa Cindy ke dalam dulu!” kata Om John yang sedang menggendong Cindy di punggungnya. Kelihatannya Cindy ketiduran di dalam mobil tadi. Memang wajar untuk anak seusianya sudah merasa ngantuk jam segini.

“Oh gak Om. Saya tunggu di teras sini aja deh!” jawabku sambil berjalan menuju teras rumah Om John yang tidak begitu luas itu.

“Kalau gitu, kamu tunggu bentar ya…Duduk dulu aja di kursi” kata Om John yang kemudian masuk dengan tetap menggendong Cindy di punggungnya. Aku melihat dari depan pintu Om John dan Cindy masuk ke dalam dengan memunggungiku. Cindy terlihat sedikit terbangun, lalu mengusap – usap matanya, kemudian terlihat tertidur dengan meletakkan kepalanya di punggung ayahnya. Mereka kemudian menghilang ke lantai atas…

Hm….apa yang kulakukan sekarang???

Tampaknya mestinya tadi langsung saja kubilang mau pulang, jadi aku tidak perlu menunggu seperti ini. Lagipula aku cukup yakin akan lumayan lama menunggu Om John membawa Cindy ke kamarnya, lalu menidurkannya. Atau mungkin Om John akan membangunkannya terlebih dahulu, menyuruhnya menyikat gigi, lalu menemaninya sampai tertidur. Sudah pasti tidak akan makan waktu singkat…

Ya sudahlah. Aku memutuskan akan duduk saja di kursi yang ada di teras depan tempat ku berdiri sekarang. Duduk sendirian dengan dihembus angin malam seperti ini di lingkungan cluster mungkin juga bukan hal yang jelek. Siapa tau aku bisa dapat ilham, terutama untuk tugas skripsiku yang nasibnya masih diperjuangkan ini. Hufff…

Aku kemudian duduk di kursi yang ada di sisi kiri jika dilihat dari arah depan pintu setelah tentunya menutup pintu berlapis kawat nyamuk yang tadi dibiarkan terbuka oleh Om John karena langsung membawa Cindy ke dalam rumah tanpa menutupnya. Walaupun anti nyamuk, tentu saja nyamuk akan menyerbu rumah jika pintunya dibiarkan terbuka lebar seperti itu.

Aku duduk. Melihat ke arah jalanan kecil yang ada di depanku, sesekali melihat beberapa rumah yang bentuk, warna cat, dan tipe bangunannya sama seperti rumah ini, atau melihat ke arah kolam renang persegi panjang yang kebetulan berada di tengah – tengah cluster ini. Karena jarak dari rumah Om John tidak terlalu jauh dari pintu masuk cluster yang berada di tengah – tengah cluster, aku dapat melihat kolam renang itu dengan cukup jelas. Aku membayangkan jika andai saja ada orang yang berenang malam – malam begini, pasti orang itu nekad untuk masuk angin.

Aku mengeluarkan handphone nokia dari dalam tasku, melihat jamnya yang sudah bertuliskan “22:22”. Wow! Angka yang bagus! Tapi sayang itu artinya sudah hampir jam setengah 11 malam.

Aku tidak tahu berapa lama aku duduk menunggu di kursi ini. Mungkin sudah sekitar 5 atau 10 menit, dan buruknya, aku sudah mulai bosan.

Kutarik napas panjang, lalu aku iseng saja memejamkan mata sebentar. Aku tidak mengantuk, tapi tidak ada salahnya memejamkan mata sebentar.






“Den??” aku segera terbangun dari kesadaranku yang sudah setengah hilang tadi. Ternyata walaupun tidak mengantuk, itu bukan berarti badan kita tidak capek. Buktinya memejamkan mata sebentar seperti ini saja, aku langsung sudah kehilangan setengah kesadaran.

“Ah…maaf Om. Saya hampir ketiduran…” aku menjawab dengan mata yang hanya setengah terbuka. Aku tidak berani membayangkan bagaimana wajahku terlihat oleh Om John. Mungkin seperti anak – anak kuliahan malas yang dipaksa bangun pagi hanya karena waktu kuliahnya yang pagi hari.

“Ah gak apa – apa. Nih saya bawakan teh hangat…” Om John terlihat membawa 2 cangkir kecil berisikan teh dengan uapnya yang sedikit masih mengepul lengkap dengan piring kecilnya, lalu meletakkannya di meja yang ada di tengah. Aduh! Kenapa malah disuguhin teh ya? Jadi makin lama deh pulangnya…

“Ah gak usah repot – repot om…” aku yakin perkataan ini sama sekali tidak membantu dan memperkuat alasanku untuk segera pulang.

“Gak repot kok. Diminum dulu Den tehnya. Malem – malem begini enak minum yang hangat – hangat…” kata Om John sambil duduk di kursi yang ada di sebelahku.

Hhhh….ya sudahlah. Toh lagipula besok hari Sabtu, aku tidak harus ke kampus lagi.

Aku mengambil cangkir sudah disuguhkan itu, lalu meneguknya perlahan. Aku kaget karena tehnya tidak sepanas yang kukira. Hangatnya menurutku sangat pas. Bisa sedikit kurasakan rasa manis. Mungkin ditambahkan sedikit gula. Yang pasti tehnya sangat enak.

“Jadi gimana?” tiba – tiba Om John bertanya padaku.

“Oh tehnya enak kok Om!” jawabku spontan sambil menaruh kembali cangkir yang tadi kuminum. Ya ampun! Ternyata hampir kuminum habis semuanya. Haus atau doyan ya aku ini??

“Hahaha bukan. Maksud saya kamu. Gimana kamu seminggu ini ngajar Cindy?” Oh dia bertanya pendapatku tentang Cindy toh.

“Oh saya kirain tehnya Om. Hehe…” aku merasa malu tadi kujawab dengan sangat PD.

“Cindy…anaknya pinter kok Om. Dia cepet nangkap yang saya ajarin. Anaknya juga gak bandel kok Om. Lucu. Dari ceritanya sih, rasanya dia anak yang ramah sama teman – temannya juga kok.” Jawabku.

“Oh syukur deh. Saya jadi lega…” Om John tersenyum sambil menatap ke bawah. Hm…maksudnya apa ya lega??

Oh ya, aku ingat ada sesuatu yang ingin kutanyakan……

“Om…em…um…” Hei! Dasar mulut. Belom kuperintahkan ngomong, udah bunyi saja.

Tapi….

Tanya tidak ya….???

Gimana kalo jawabannya ternyata….

Haduh....!

“Ya…?” Om John balik bertanya. Ya tentu saja dia bingung. Lah aku cuma em…um… doang tadi.

Aku terdiam sejenak. Aku mulai ragu untuk bertanya. Lagipula apa memang penting buatku untuk tahu soal tadi?? Rasanya tidak deh…

“……………..Kamu bingung ya kenapa tadi kita cuma bertiga….?” Om John pun angkat bicara karena aku tidak kunjung membuka suara. Tepat sasaran. Sekarang aku benar –benar bingung mau jawab apa…

“Gak kok, Om…em…em…” em…lagi em…lagi. Penyakit lama kambuh…

“…..Istri saya…mamanya Cindy….sudah meninggal….” Om John memberikan jawaban yang sama persis dengan salah satu alternatif jawaban yang kupikirkan. Malah yang terburuk. Dasar bodoh aku ini…

Aku kehilangan kata – kata untuk berkata – kata. Aku hanya memandang Om John yang sekarang memandangiku. Dia tetap tersenyum…

“Istri saya…Lena…sudah meninggal 8 tahun lalu. Dia meninggal saat melahirkan Cindy…” Oh ternyata….

“Jadi Cindy belum pernah bertemu mamanya ya om?” Tiba – tiba aku spontan bertanya hal bodoh lalu langsung merasa jadi orang paling bodoh di dunia. Rasanya otakku bukan di kepala mungkin ya?? Mungkin di mulut. Belum apa – apa uda langsung nyerocos aja…

“Eh maaf om…” aku meminta maaf atas pertanyaan bodohku.

“Ah gak apa – apa Den. Iya…Cindy sendiri belum pernah bertemu langsung sama mamanya. Paling dia cuma bisa lihat mamanya di foto – foto yang ada di rumah aja…” Om John menjawab tetap dengan wajah tersenyum. Tapi…

Sebodoh – bodohnya atau setidak pekanya aku, aku yakin itu bukan senyum bahagia atau senyum lega. Bukan senyum yang dilontarkan seseorang saat menerima lotere. Bukan senyum seseorang saat memenangkan tender. Bukan pula senyum seseorang saat bercerita tentang sesuatu….

Ini senyum sedih…Senyum sedih saat seseorang menghadapi kenyataan pahit. Senyum sedih saat seseorang memaksa dirinya untuk tersenyum. Senyum sedih saat seseorang kehilangan sesuatu yang amat berharga baginya…

Aku tidak ingin Om John bercerita lebih banyak lagi. Hal itu hanya akan membuatnya bertambah sedih. Aku cukup tahu hal ini, tapi sudah benar – benar cukup hanya sebatas ini.

“Maaf Om…Um…Sudah malam. Saya pulang dulu aja ya…Takut kemalaman nanti.” Aku langsung mengakhiri pembicaraan ini. Aku beranjak dari tempat dudukku tanpa memberikan kesempatan pada Om John untuk meneruskan pembicaraan.

“Terima kasih ya Om tehnya…” aku memakai ransel di punggungku lalu mengangguk sedikit ke arah Om John, menuju sepedaku yang terparkir tepat di hadapanku.

“Oh sama – sama Den. Maaf ya jadi kemalaman begini…” Sekarang aku bisa melihat Om John tersenyum kembali. Kali ini tidak ada rasa sedih di raut wajahnya. Paling tidak dia tidak perlu mengingat – ingat lagi ceritanya tadi lebih jauh.

“Gak apa – apa Om. Oya, Om jangan tidur terlalu malam. Denger – denger lagi musim sakit Om sekarang.” Pesanku pada Om John.

“Oh hahaha. Kamu juga jaga kesehatan ya Den!” Om John tertawa kecil. Mungkin aneh dan lucu mendengar anak seusiaku menasehatinya seperti itu.

“Ya Om. Saya pulang dulu ya Om....” Aku tersenyum ke arahnya, lalu memutar sepedaku…

“Den!” Om John memanggilku kembali. Aku menoleh ke belakang dengan keadaan sudah naik di atas sepedaku.

Kulihat dia memandangku….Deg….Biasanya aku salah tingkah jika dilihat langsung seperti ini…

“Makasi ya….” Om John ternyata hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah menemani Cindy jalan – jalan malam ini. Seharusnya aku yang berterima kasih karena telah ditraktir malam ini.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu berbalik, mengayuh sepedaku ke arah pintu keluar, ke arah pos satpam tempat KTP ku ditawan.

Malam itu aku mengayuh sepeda seperti biasanya di jalanan keluar cluster yang sudah jauh lebih sepi dari sebelumnya. Aku hanya berpikir kasihan sekali Cindy yang belum pernah bertemu mamanya sejak lahir dan Om John yang kehilangan istrinya sampai sekarang. Aku merasa bersyukur masih diberikan orang tua yang lengkap, dibesarkan oleh kedua orangtuaku sampai sebesar ini, dan diberikan suasana keluarga yang harmonis.

Sambil merenung sedikit, aku mengayuh sepedaku ke arah jalan raya yang terihat dari kejauhan. Hanya suara putaran rantai sepedaku yang kudengar malam ini…

“Silakan ditunggu sebentar ya mas..!” jawab seorang wanita berpakaian rapi dengan setelan jas biru tua dengan kemeja putih dan rok panjang yang berwarna biru tua juga yang masuk ke lorong yang terletak di sisi kiri tempatku berdiri sekarang.

Hari ini hari Selasa dan aku telah berada di perusahaan tempat aku akan melakukan survey, Perusahaan Jaya Gading. Perusahaan ini bergerak di bidang supplier alat tulis kantor, sekolah, dan rumahan. Mungkin ini bukan perusahaan pusatnya, tapi di lingkungan tempat tinggalku sekarang, perusahaan ini cukup besar dan merupakan salah satu perusahaan yang paling banyak diincar oleh para lulusan dari kampusku. Aku sendiri sejujurnya ragu memilih perusahaan ini sebagai target surveyku, tapi apa boleh buat. Pengajuan tempat surveyku juga diterima oleh Pak Dedi karena perusahaan inilah yang aku pilih. Jadinya aku sedikit menyesal aku terburu – buru memilih perusahaan besar seperti ini sebagai bahan penulisan skripsiku. Coba perusahaan kecil atau franchise saja. Pasti akan lebih mudah dan sederhana. Tinggal bagaimana aku mengolah tata bahasaku saja agar terlihat menarik nanti di skripsi.

5 menit…
10 menit…

Aku duduk di sebuah sofa panjang berwarna hijau muda yang ada di samping pintu masuk otomatis di lobby tempat aku menyerahkan proposalku kepada petugas wanita tadi. Aku bilang padanya bahwa aku seorang mahasiswa yang meminta ijin untuk melakukan wawancara dengan manajer perusahaan seputar tentang sistem penggajian yang berjalan di perusahaan ini, bagaimana implementasinya, hubungannya dengan sistem lain dan bla bla bla… Aku sudah menulisnya semua dalam surat pengajuan beserta surat pengantar resmi dari kampusku lengkap jadi satu dibungkus dalam map coklat dan sudah kuberikan tadi. Aku gugup walaupun sekarang aku cuma ingin membuat janji. Rencananya pertanyaan dan seputarnya akan kubahas lagi hari Kamis dengan Pak Dedi lalu baru melakukan wawancara resmi dengan manajernya sesuai dengan jadwal yang disepakati nantinya.




... bersambung ke bagian ke-2

sumber: http://gayindo.forumotion.net/t18686p126-om-john-cinta-pertamaku

Om John, cinta pertamaku - bag. II

... dari bagian ke-1
-----------------------
Aku bingung kenapa petugas wanita tadi lama sekali ya?? Padahal cuma mengantarkan surat itu saja, kemudian dibaca oleh manajernya, lalu manajernya tinggal memberi pesan, terserah deh tertulis atau lisan atau lewat sms langsung ke aku juga boleh. Hm….Aku hanya menerawang ke arah luar jendela kaca. Bisa kulihat kampusku yang masih sedikit terlihat bagian atapnya dari tempatku duduk. Memang kebetulan perusahaan ini tidak terlalu jauh dari kampusku.

“Maaf Mas…” tiba – tiba aku kaget karena petugas wanita tadi sudah berdiri di sampingku. Kapan dia muncul?? Apa resepsionis diajarkan untuk berjalan tanpa diketahui orang ya???

“Iya Mbak? Jadi gimana ya?” tanyaku tidak sabar. Aku siap apapun jawabannya asal...

“Maaf mas, Bapak Manajernya sekarang sedang rapat, dan beliau bilang tidak sempat membaca surat pengajuan wawancara ini sekarang, apalagi beliau bilang banyak jadwal wawancara lain yang harus beliau lakukan, jadi tampaknya jadwal wawancara dengan Mas masih belum bisa dibuat sekarang…” YA AMPUN!! Padahal baru saja aku mau bilang aku siap kapan saja. Sekarang gimana??

“Oh kalau begitu, surat ini saya tinggal aja di sini ya Mbak? Jika sudah ada jawaban yang pasti, tolong hubungi saya aja bagaimana? Nomor saya ada di dalam surat itu…” jawabku kepada petugas wanita itu sambil menunjuk ke arah map coklat yang dia pegang dengan tangan kanannya.

“Baik Mas. Sebelumnya maaf ya…” petugas wanita itu meminta maaf. Sebenarnya ini bukan salahnya. Kenapa sih Bapak Manajer itu selalu sibuk?? Apa jangan – jangan sebenarnya dia hanya menghindar wawancara dengan mahasiswa karena takut diekspos semuanya??? Ya elah…rasanya tidak akan kutanya sampai sebegitunya… Grrr!!!!!!!!

Aku keluar dari pintu otomatis di dengan raut muka senyum yang jelas – jelas dipaksakan. Ya ampun kenapa susah sekali meminta waktu wawancara saja?? Toh lagipula pasti hasilnya perusahaan ini akan menjadi lebih tenar dari sebelumnya. Dengan langkah yang berat, aku menuju ke parkiran depan gedung tempat sepedaku berada. Parkiran depan gedung perusahaan ini biasanya ditujukan untuk sepeda motor, tapi satpam yang berjaga di pos tepat di samping tempat sepedaku diparkir bilang bahwa sepedaku diparkir saja di sini.

“Mari Pak, saya duluan!” ucapku pada mas satpam yang dibalas dengan angkatan telapak tangannya. Kebetulan ini hari Senin dan seperti biasa aku mempunyai jadwal mengajar di rumah Cindy.

Jarak dari gedung perusahaan ini ke rumah Cindy hampir sama dengan jarak dari kampusku ke rumah Cindy. Tidak berbeda jauh, tapi mungkin sedikit lebih dekat. Aku cukup bingung melihat langit yang sudah mulai mendung kembali. Akhir – akhir ini turunnya hujan sama sekali tidak dapat diperkirakan. Saat aku datang ke perusahaan ini setengah jam yang lalu, aku yakin langit masih terang tadi. Sekarang sudah berwarna abu – abu pekat yang menandakan akan turun hujan yang cukup lebat nanti. Memang mendekati akhir bulan Februari seperti ini, cuaca tidak menentu dan sulit diperkirakan.

Aku hanya berharap hujan tidak turun di tengah jalan….

Tapi terlambat…

Hujan mulai turun begitu aku mulai memasuki jalan masuk ke cluster tempat rumah Cindy berada. Karena aku menganut sistem “nekat”, aku tetap mengayuh sepedaku sekuat tenaga, pada gigi tertinggi,dan kecepatan tertinggi.

“Uda mas gak apa – apa! Langsung aja!” kata satpam yang menjaga di pos depan cluster Opal. Hahaha. Pasti dia sudah lumayan kenal sama aku. Mungkin juga dia sudah tahu kalau aku menjadi guru privat salah satu rumah di dalam. Atau mungkin karena dia tahu aku kehujanan?? Ya…apapun bolehlah…

“Makasih ya Mas!” aku langsung saja mengayuh ke dalam di tengah derasnya guyuran hujan dan…

GUSRAKK!! Aku mendadak kehilangan keseimbangan tepat saat di belokan ke arah kiri mengarah ke rumah Cindy dan aku terjatuh dari sepedaku ke arah kiri. Aku terjatuh tepat di depan teras yang ada di rumah Cindy dengan keadaan tubuhku terjatuh ke arah kiri, dan betis kiriku tertimpa pedal sepeda dengan cukup keras.

Awww….aku merasakan nyeri sedikit pada bagian betis kiriku. Apa mungkin terluka ya?? Rasanya tidak…mungkin hanya sedikit memar saja. Hari ini aku memakai celana jenis katun yang cukup tebal, jadi rasanya cukup bagus melindungi betisku saat terjatuh tadi.

Aku langsung berdiri dan mendirikan sepedaku, lalu memasang standarnya tanpa menguncinya kembali. Aku tidak punya banyak waktu untuk mengambil terlebih dahulu gembok dan kunci yang kusimpan di tas ranselku, melingkarkannya di sekitar roda sepedaku, menguncinya, lalu memasukkan kuncinya kembali ke dalam tas ranselku. Akan memakan cukup waktu dan aku akan benar – benar membanjiri teras depan rumah Cindy dari air yang menetes dari pakaianku.

Sambil mengelap – ngelap sedikit lengan kanan dan kiriku yang basah, aku menekan bel seperti biasa. Aku menyibakkan rambutku yang sudah mulai panjang kembali sambil menunggu seseorang datang membukakan pintu. Bisa kurasakan hawa dingin hujan sedikit menusuk kulit tubuhku dicampur dengan sedikit rasa nyeri di bagian betis kiriku. Baju merah dan celana biru tuaku sudah cukup basah karena hujan. Sepatu dan kaos kakiku juga basah. Aku berharap Cindy tidak akan terganggu dengan penampilanku hari ini.

“Eh Kak Dennis, masuk yuk!” ternyata Cindy yang membukakan pintu. Ia masih mengenakan seragam sekolah putih merahnya.

“Halo Cin. Maaf ya kakak kehujanan nih!” aku meminta maaf pada Cindy karena mungkin aku terlihat agak berantakkan sekarang.

“Gak apa – apa kok Kak!” Cindy menjawab dengan senyum yang menurutku sangat lucu. Giginya tersusun rapi dan wajahnya putih dengan pipi sedikit tembem.

Aku melepaskan sepatu dan kaos kakiku dan seperti biasa, kutaruh di teras depan rumah di samping pintu depan. Cindy sudah masuk duluan ke dalam dengan membiarkan pintu dalam keadaan terbuka. Aku masuk, menutup pintu depan dengan perlahan setelah sebelumnya mengeringkan kakiku yang sedikit basah di keset depan, lalu masuk dan duduk di sofa tempat kami biasa belajar. Aku tidak melihat Cindy dimana – mana. Mungkin dia naik ke atas…

“Kak! Hari ini Cindy ada PR. Bantuin ya Kak!” ternyata benar Cindy naik ke atas tadi karena terlihat dia turun dari lantai atas dengan membawa sebuah buku besar tipis. Aku tidak melihat dengan jelas buku apa itu karena tertutup oleh pagar pengaman tangga.

“Oke Cin. PR apa nih??” aku bertanya saat Cindy sudah berada di lantai bawah dan berlari ke arah tempatku duduk.

“PR seni musik Kak!” Cindy menjawab antusias.

APA!!! PR seni musik?? Mati aku…

Oh Tuhan di antara semua pelajaran yang ada, mengapa kau harus memberiku tugas yang teramat sulit seperti ini??? Mengajarkan seni musik kepada seorang anak perempuan kelas 3 SD. Aku memang suka musik, tapi itu bukan berarti aku dapat mengajarkannya.

“Jadi gini Kak, ini PR Cindy. Jadi Cindy mesti ngubah angka – angka ini jadi bentuk – bentuk yang ada kepala, terus bendera, tangkai. Um…Cindy gak inget tu namanya Kak…Kakak tahu gak??” Cindy langsung menyerbuku dengan pertanyaan yang benar – benar sesuai dengan perkiraanku sambil membuka lembaran yang ternyata sudah ada 5 garis tipis masing – masing di setiap halamannya sebanyak kurang lebih 5 buah di satu halaman. Ternyata Cindy belajar not balok. Sesuatu yang sempat membuatku tertatih – tatih pada saat pertama kali aku mempelajarinya dulu.

“Oh itu namanya not balok deh kalo gak salah Cin…” jawabku sekenanya saja. Ya lagipula kalaupun ujian, tidak akan ditanyakan lah benda ini disebut apa, mengapa benda ini ada, dan bla bla bla sebagainya.

“Oh ya not balok Kak! Cindy baru inget. Um…jadi Cindy agak bingung nih gimana caranya ya kok angka bisa jadi not – not balok. Terus angka – angkanya kok ada garis – garisnya gitu sih diatasnya???” Oh Cindy, jangan membuat Kak Dennis ini lebih menderita lagi.

“Ok…jadi….erm….begini…” Akhirnya dengan tekad sekuat baja, aku berusaha untuk menjelaskannya kepada Cindy. Bahwa angka – angka dengan garis di atasnya itu berpengaruh pada ketukan musik setelah sebelumnya aku memberitahu apa itu ketukan. Bukannya aku tidak mengerti tentang not balok. Aku mengerti, hanya saja aku belum pernah sekalipun mengajar seni musik pada anak – anak privatku sebelumnya. Jadi bisa dibilang, Cindy adalah anak privatku yang pertama yang aku ajarkan seni musik. Semoga saja aku tidak memberikan penjelasan yang salah atau terlalu sulit dipahami.

“Jadi ya begitu Cin. Ketukan itu ada banyak macemnya. Ada yang 3 / 4, 4 / 4, 6 / 8, dan yang lainnya. Tapi biasanya sih yang paling umum dipakai di lagu – lagu sekarang sih 4 / 4. Terus itu kan ada tulisan 1 = C, artinya mulainya itu di kunci C. Terus yang tulisan titik – titik di belakang angka ini maksudnya…”

“Aduh Kak! Jadi bingung deh Cindy. Kunci C itu yang kayak gimana ya?? Terus kok bisa sih lagu itu pake kunci C?? Kenapa gak D, ato E, ato A aja gitu supaya gampang??? Kan A itu berarti mulai dari pertama??” Cindy menanyai hal – hal yang memang sih berhubungan erat dengan seni musik. Tapi gimana aku ngejelasinnya!!?!?!?!?

“Hm…itu sih terserah yang maen sih Cin. Si yang maenin lagu itu mau pake kunci apa. Bisa C, bisa D, bisa E, bisa A, terserah sih. Tapi setiap kunci yang dipiih, nanti lagunya juga bakal kedengeran lain…” aku masih bergumul dengan penjelasan yang kuberikan. Cindy kira – kira ngerti gak ya???

“Ah Cindy bingung. Perasaan kalo Cindy maen, gak pernah merhatiin yang kayak gitu – gitu deh…” terlihat raut wajah Cindy yang sudah mulai merengut. Wajar sih… Eh tapi tunggu dulu…Maksudnya Cindy pas dia bilang “pas maen”… itu maksudnya….

“Hm??? Kamu maen….keyboard…ato piano….gitu maksudnya???” tanyaku penasaran. Wah kalau misalnya ada alat musiknya, pasti lebih gampang deh ngejelasinnya.

“Ada sih kak. Di lantai atas, di deket kamarnya Papa. Ada keyboard. Cindy pernah sih diajarin papa maen lagu, tapi papa gak pernah bilang tuh ada yang beginian…” Cindy menjawab sambil mengangkat dan menunjuk – nunjuk ke lantai atas dengan jari telunjuk kanannya.

“Oh kamu ada keyboard ya??? Gimana kalau kita ke atas aja langsung kita praktekkin??? Kakak yakin deh kamu lebih bisa ngerti” aku akhirnya angkat bicara juga. Ya…bisa dibayangin kan kita belajar sesuatu dan belum pernah dipraktekkin sekalipun. Pasti walaupun merasa ngerti, merasa hampa…

“Oh ya uda Kak! Kalo gitu ke atas aja kali ya??” Cindy menjawab sambil membereskan buku musik yang tadi sempat kucoret – coret sedikit

“Oke Cin. Yu…” Aku menggandeng tangan Cindy dan bersama Cindy naik ke lantai atas dengan menaiki tangga yang ada di ruang tamu itu…






Ternyata bagian atas rumah Cindy terhubung langsung dengan beranda luar dengan di sisi kiri dan kanannya ada sebuah pintu berjendela kaca besar untuk menutup beranda. Bisa kulihat pagar pengaman berwarna sama dengan cat rumah ini sedikit menghalangi pandanganku ke rumah yang ada di seberang, ditambah lagi hari yang sudah mulai gelap. Di lantai atas hanya terdapat 2 buah pintu kayu yang saling berseberangan, susunan sofa yang membentuk huruf L berwarna biru tua yang terdapat di sudut kiri ruangan, dan sebuah keyboard….tunggu itu piano! Piano itu terletak di sisi kanan, mepet ke arah tembok dan berada persis di sebelah kanan pintu yang ada di sisi kanan. Bukan grand piano, hanya piano kecil berwarna coklat kehitaman dengan merk Yamaha jelas terpampang di salah satu bagian piano itu.

“Kak ini keyboardnya!!” Cindy melepas gandenganku lalu menunjuk ke arah piano yang dia bilang sebagai “keyboard” itu.

“Itu sebenarnya piano Cin. Bukan keyboard” Aku tersenyum melihat Cindy. Memang mungkin keyboard dan piano hampir mirip, tapi paling tidak aku tahu sedikit perbedaannya dan ada baiknya aku memberitahu Cindy.

“Oh jadi ini piano ya??? Cindy kirain keyboard…” jawab Cindy sambil duduk di kursi tanpa sandaran yang ada di depan piano itu, lalu membuka tutup piano itu dengan menggesernya ke dalam. Aku mendekat dan bisa kulihat banyak tombol di sana – sini dengan deretan tuts putih dan hitam yang rapi layaknya piano – piano lain. Hm…

Cindy menekan sebuah tombol yang terpisah dari tombol – tombol yang aku tidak begitu tahu fungsinya dan terlihat layar piano itu mulai menyala dengan diawali deretan lampu warna – warni yang sebelumnya muncul beruntun di sisi atas tuts piano.

Cindy mencoba menekan satu tuts dan bisa kudengar bunyi “ting”. Aku tidak tahu nada apa itu. Aku bukan orang peka akan nada.

“Jadi gimana Kak?” Cindy menoleh ke arah ku yang sekarang sudah berdiri di sisi kirinya.

“Jadi ini yang namanya…” Aku menjelaskan kepada Cindy apa itu kunci, tangga nada, sekaligus mempraktekannya. Mengapa bisa terdapat nada dasar C, apa maksudnya, dan segala macam pertanyaan yang diajukan Cindy seputar lagu, sambil sedikit demi sedikit membantunya mengerjakan PR seni musiknya…

Dan….akhirnya sekitar setengah jam, atau 45 menit atau berapapun lah PR seni musik Cindy selesai juga. Kelihatannya Cindy juga mulai memahami cara – cara mengubah not angka menjadi not balok. Hufff….Kulihat ke arah luar, hari sudah gelap. Sudah jam berapa ya???

“Eh Kak, Cindy kan cuma ada PR ini aja terus kan uda selesai. Papa juga belum pulang. Jadi kita main – main dulu yu???” Cindy tiba – tiba berbicara dengan nada yang sekarang sudah terdengar senang. Sebelumnya daritadi nada bicara Cindy menggambarkan seorang anak berusia 8 tahun yang mulai putus asa menyelesaikan Prnya. Eh ya tapi ngomong – ngomong Om John dari tadi tidak ada di rumah ya?? Aku baru sadar. Kemana ya Om John??? Sampai malam begini belum pulang??

“Nih Kak! Cindy bisa maenin satu lagu nih. Diajarin sama papa. Dengerin yah Kak!!” Cindy terlihat sangat gembira dan mengambil posisi layaknya seorang pianis. Hm…Aku penasaran lagu apa yang akan dia mainkan ya…

Ting Ting Ting Ting Ting Ting Ting….Hei…Aku tahu lagu ini! Twinkle twinkle little star…Lagu anak – anak yang paling sering kudengar. Walaupun sederhana, tetap saja enak mendengarkannya…

Satu persatu Cindy menekan tutsnya secara bergantian dan aku hanya tersenyum melihatnya. Kulihat ada suatu buku berjilid spiral yang berdiri di tempat biasanya partitur lagu dipajang. Aku iseng mengambilnya dan membuka lembarnya satu demi satu sambil terus mendengar alunan piano Cindy yang sangat menenangkan hati.

Hm…First Love….Tonight I’ll Celebrate My Love…River Flows In You…Buset dah. Lagunya tidak ada satupun yang bisa kumainkan. Aku tahu lagunya tapi tidak satupun lagu yang bisa kumainkan….Tapi….tunggu….

Terpampang jelas di situ judul lagu yang amat kukenal…”Eyes On Me”. Aku ingat ini adalah satu – satunya lagu dengan piano yang bisa kumainkan. Aku tidak bisa main piano, tetapi aku ingat sekali bahwa aku penggemar berat lagu ini saat aku memainkan game Final Fantasy VIII saat aku kecil dulu dan berusaha untuk dapat memainkannya dengan piano…Sudah berapa lama ya sekarang??? Apa masih bisa kumainkan lagu ini???

“Kak! Gimana??? Bagus gak??” Cindy melihatku dengan wajah berbinar – binar. Aku tidak sadar dia sudah selesai memainkan lagunya.

“Bagus banget deh Cin. Kamu punya bakat nih main piano. Hahaha!” aku mengelus – ngelus kepala Cindy dan terlihat dia tertawa – tawa kecil.

“Kak! Mau coba maenin gak?? Mumpung gak ada papa nih. Hehe…” Cindy tiba – tiba menawarkan ku untuk mencoba memainkan pianonya. Mumpung gak ada Om John?? Wah, kalau misalnya ketahuan gimana ya???

“Ayo Kak! Coba aja dimaenin! Lagu apa aja boleh!” Cindy berdiri dari duduknya lalu menarik tanganku untuk duduk di kursi tanpa sandaran itu. Aku duduk sambil menatap deretan tuts putih dan hitam yang ada di hadapanku sekarang. Tangan kananku masih memegang buku kumpulan lagu yang kubuka tadi. Kutaruh kembali buku itu ke tempatnya dengan satu halaman yang terbuka. Lagu yang sangat kusuka.

“Lagu apa itu kak?” Cindy bertanya dan aku menoleh ke arahnya.

“Ini doang Cin yang bisa kakak maenin, tapi uda lama juga sih. Gak tau deh masih bisa apa gak..” aku menjawab dengan senyuman ragu yang kupaksakan.

“Oh coba Kak coba! Cindy mau denger!!!” Cindy sekarang melompat – lompat kegirangan. Aku tersenyum lalu mulai memfokuskan diriku ke deretan tuts yang rapi itu lalu mencari letak nada pertama yang cocok dengan tangan kanan dan kiriku.

Aku ragu….

Perlahan…kutekan tuts yang ada tepat di bawah jempol tangan kananku… Satu persatu kumainkan jariku pada tuts piano yang terkenal berat itu….

(biar mudah dibayangin, bayangin aja si Dennis maenin pianonya kayak begini) http://www.youtube.com/watch?v=iMJ9OTXsQSg

Entah kenapa walaupun sudah mungkin bertahun – tahun tidak kumainkan, alunan nadanya masih bisa kuhapal….atau mungkin tepatnya masih bisa kurasakan dengan jelas.

Jari jemariku mampu mengingat posisinya masing – masing dalam memainkan lagu itu. Aku sedikit menggerakkan kepalaku… mungkin terbawa suasana lagu ini. Aku tidak tahu apakan Cindy suka dengan permainanku. Tapi…paling tidak dia mau mendengarkannya sampai selesai…

….
….
….

Kutekan jempol kananku pada tuts putih yang mengakhiri lagu ini…
Huff….ternyata aku masih bisa memainkannya sampai selesai...
Bisa kurasakan ada beberapa nada yang sempat selip tadi…
Tapi tidak apa….

Terdengar suara tepukan tangan membuatku tersadar kembali pada posisi dudukku…

Aku sentak menoleh ke arah tepuk tangan itu terdengar, dari arah tangga yang menuju ke bawah. Kulihat sosok laki – laki yang masih memakai jas lengkap dengan setelan kemeja putih dan dasi polos merah tua berdiri di sana dengan wajah tersenyum. Om John…Apa dia mendengar semuanya???? Malu sekali aku rasanya memainkan piano ini tanpa ijin.

“Eh papa! Kak Dennis tadi maenin lagu yang bagggusss banget! Papa denger gak tadi???” Cindy berlari menghampiri Om John lalu langsung memeluknya. Bagus?? Benarkah tadi itu terdengar bagus???

“Iya, tadi papa liat kok. Cindy, maaf ya papa pulang telat. Tadi ada rapat di kantor.” Om John melepas pelukannya sedikit lalu berbicara ke arah Cindy sambil mengelus – ngelus rambut panjang Cindy yang terkuncir rapi ke belakang. Oh rupanya tadi Om John ada rapat, makanya pulangnya malam begini…Ngomong – ngomong sekarang uda jam berapa ya?? Tadi aku lupa mengecek jam di HP ku karena tiba – tiba disuruh Cindy untuk mencoba piano ini.

Om John melepas pelukan Cindy, lalu menggandengnya berjalan menuju ke arahku. Aku sentak berdiri setelah sadar betapa tidak sopannya aku tetap duduk di kursi piano sedangkan dapat ijin untuk memainkan piaonya saja tidak. Dasar aku….

“Om, maaf ya tadi saya maenin pianonya” pintaku sambil menundukkan kepala sedikit. Aku sudah siap jika memang harus diomeli.

“Oalah gak apa – apa kok Den! Saya justru kaget lo kamu bisa maenin lagu bagus tadi!.” Untunglah Om John tidak marah, malah dia suka dengan permainan pianoku tadi. Syukur syukur…

“Pa….pa! Hari ini kita makan apa???” Cindy menarik – narik tangan kanan Om John yang digandengnya. Bisa kukira – kira mungkin ini sudah hampir jam tujuh karena biasanya anak seumuran Cindy sudah mulai lapar jam – jam segitu. Ya….walau tidak semua anak umur 8 tahun begitu sih…

“Oh papa uda beliin nasi goreng. Tu Cin ada di bawah!” Om John menjawab dengan menggerakkan sedikit kepalanya menandakan nasi goreng yang telah dibelinya ada lantai bawah. Ah….aku jadi lapar…

Cindy lalu bergegas turun ke bawah dengan berlari – lari. Aku tersenyum melihat Om John yang juga tersenyum padaku. Tunggu….Aku jadi grogi bila Om John senyum – senyum begitu melihatku. Apa ada yang salah dengan mukaku ya?? O…pasti dia marah pianonya kumainkan tadi.

“Den, kamu juga belom makan kan? Saya beliin juga buat kamu….Yu ke bawah…” Ha??? Serius?? Kebetulan sekali. Tapi artinya aku sudah 2 kali makan gratis….

Tapi….kan gak mungkin banget jika aku menolak…

Jadi….

“Oya Om. Makasi ya!” aku tersenyum, lalu meng – off kan piano tadi lalu menutupnya kembali berikut dengan buku musik yang tadi masih terbuka. Aku berjalan menuju tempat Om John berdiri dekat tangga…Duh! Ternyata memang ada yang salah dengan kaki kiriku. Pasti gara – gara terjatuh dari sepeda tadi…

“Kenapa kamu Den?” Om John tiba – tiba bertanya. Pasti karena cara jalanku yang agak aneh.

“Oh gapapa kok om!” aku menjawab, lalu dengan cepat turun ke lantai bawah dengan cara jalan sewajar – wajarnya walaupun dengan cara itu aku merasa lebih sakit dari sebelumnya.

Oh Tuhan, semoga saja lukanya tidak terlalu parah…

….
….
….

Aku melihat Cindy sedang asyik menonton acara Opera Van Java yang ditayangkan di Trans 7. Setelah kami makan tadi, Cindy langsung menyalakan TV lalu menyetel acara ini. Aku juga cukup suka acara ini. Sangat bagus mengusir stress setelah seharian penuh berkutat dengan urusan kuliah. Sesekali Cindy tertawa melihat acara itu. Hahaha…Cindy sangat lucu saat dia tertawa.

Om John sendiri seusai makan tadi, langsung bergegas ke lantai atas. Mungkin ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Cindy asyik menonton TV dan Om John asyik mengerjakan pekerjaan kantornya. Rasanya saat yang sangat bagus buatku untuk segera pulang. Aku ingin segera mengobati kaki kiriku yang bermasalah ini sebelum nantinya bertambah parah atau infeksi. Tapi….ada satu masalah….

“Den, coba kamu duduk di sofa. Kayaknya kaki kiri kamu ada yang luka deh…” Om John tiba – tiba turun dari lantai atas. Masih dengan setelan lengkap hanya saja tanpa jasnya. Tanpanya dia membawa sesuatu yang tidak bisa jelas kulihat. Hah!?!? Ya ampun…ketahuan ya??? Aku memang tidak pandai berakting.

“Gak apa – apa kok Om! Di kostan saya aja deh. Saya juga uda mau pulang kok!” Aku merasa sangat – sangat bodoh telah mengatakan bahwa “mau pulang”. Jelas – jelas hujan masih turun tanpa belas kasihan di luar sana.

“Uda, kamu duduk aja! Cin, geser sedikit ya…Kak Dennis mau duduk” Om John berkata kepada Cindy sambil terus berjalan menuju arah sofa.

“Eh papa kok bawa – bawa betadine sama obat gosok???” Cindy bertanya sambil menggeser sedikit posisi duduknya tadi. Betadine…obat gosok….kombinasi yang sangat pas. Hhhh….tidak ada salahnya aku mengobatinya di sini daripada makin parah nanti.

“Kak Dennis kayaknya agak luka deh. Den ayo sini!” Om John duduk di sebelah kiri Cindy, menyisakan ruang kosong yang cukup lebar di posisi tengah. Aku hanya mengangguk, lalu berjalan ke arah sofa dan duduk di tengah – tengah mereka berdua….

“Ayo Den! Coba deh kamu angkat celanamu sedikit.” Om John menyuruhku menggulung sedikit celana katunku supaya kelihatan apa yang mengganjal dan membuatku menderita selama 2 setengah jam tadi.

Dengan ragu – ragu, kuangkat sedikit celana katunku bagian kaki sebelah kiri. Begitu setinggi setegah lutut, terpampanglah satu garis luka memanjang arah bawah berwarna merah di bagian pertengahan antara betis dan tulang keringku. Masih ada bekas memar, mungkin sebesar ibu jari yang terlihat sudah mulai membiru di bagian tulang keringku, sejajar dengan luka tadi. Wah…pantesan…gimana gak sakit???

“Waduh! Lukanya panjang lo Den! Ada yang biru lagi di sini?? Kenapa kamu gak bilang dari tadi?” Om John terlihat sedikit tidak nyaman mengatakan hal itu. Ya…kan gak mungkin aku bilang juga Om…

“Maaf Om….” Aku hanya minta maaf saja. Ya…habis aku tidak bisa bicara yang lain lagi sih…

“Hm…diobatin dulu aja ya? Nih kebetulan ada betadine sama obat gosok…” Om John menaruh kedua botol itu di atas meja kaca yang ada di tengah – tengah.

“Wah kakak! Gak sakit tuh kak??” Cindy bertanya – tanya.

“Um…sedikit sih Cin. Tapi gak apa – apa sih…Hehe” aku menjawab sambil tertawa – tawa. Masa aku bilang “aduh sakit banget! SUMPAH!”.

“Hm…mungkin lebih bagus digosok dulu kali ya bagian yang memar, baru yang luka diobatin…” Om John menyarankanku untuk mengobati bagian yang memar dulu, baru lukanya. Ya..masuk akal sih.

“Pa, Cindy ke atas dulu ya! Mau sikat gigi dulu!” Cindy terlihat beranjak dari duduknya lalu berlari ke arah atas. Om John hanya mengangguk. Kulihat saluran Trans 7 sedang menyiarkan iklan. Mungkin dia akan balik lagi ketika acaranya dimulai lagi….

Oke jadi memarnya dulu baru…

“Bisa kamu gosok sendiri Den?” Om John bertanya padaku.

“Bisa Om!” Aku menjawab sekenanya. Aku membuka tutup botol obat gosok itu, lalu menuangkannya sedikit ke tangan kananku, lalu perlahan mulai menggosok….bagian yang terlihat biru mengerikan itu. Uh….sensasi perih, sakit, entah apa namanya lagi mulai terasa. Tidak kukira memar seperti ini saja sangat membuatku bertekuk lutut.

“Kayaknya agak susah ya kalo kamu sendiri Den….Mending saya aja yang gosok deh…” HAH!?!?!?

“Gak apa – apa Om!” aku panik setengah mati. Eh…kenapa aku panik ya???

Om John tiba – tiba memegang dan mengangkat kaki kiriku lalu meletakkannya di….pangkuannya. Aku hanya bisa diam…Aku benar – benar tidak mampu berkata – kata…

Dengan cekatan, Om John menuangkan sedikit obat gosok itu di tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegan pergelangan kaki kiriku. Dia mulai menggosoknya….ARGH! Sakit sekali. Aku mengerenyitkan wajahku menahan rasa sakit.

“Ditahan sedikit ya Den…Kalo begini baru bisa cepet sembuh…” Om John menatapku dengan pandangan….khawatir????

Aku diam saja. Tidak mengangguk. Tidak menggeleng. Tidak berkata apa pun. Aku sudah cukup shock dengan keadaanku sekarang….




Sakit yang kurasakan sedikit demi sedikit sudah mulai membuatku terbiasa. Kulihat Om John masih menggosok bagian memarku itu dengan jari – jari tangan kanannya. Sepertinya ini hal yang wajar…tapi….

“Ya sudah lumayan lah!” Om John mengangkat kembali kaki kiriku lalu meletakkannya kembali ke lantai. Kulihat masih ada bekas cairan coklat tua di bagian yang berwarna biru itu.

“Betadinenya kamu pakai sendiri ya. Saya mau cuci tangan dulu!” Om John berdiri dari duduknya lalu pergi ke dapur di belakang.

….
….
….

Aku kembali menaiki sepedaku. Di pintu terlihat Om John dan Cindy. Hujan sudah berhenti dan hari sudah mulai malam.

“Hati – hati ya Den!”

“Iya Om. Makasi banyak ya!”

“Hati – hati ya Kak!” Cindy melambai – lambaikan tangannya ke arahku.

Seperti biasa…jalanan cluster terlihat sepi karena hari sudah mulai malam. Masih ada genangan air di pinggir jalan akibat hujan deras tadi.

Aku mengayuh sepedaku…Lebih perlahan dari biasanya, karena kaki kiriku masih sakit akibat tadi…

….
….
Kurasa apa yang dilakukan Om John tadi wajar. Dia hanya khawatir denganku dan berusaha untuk membantuku…Tidak ada yang aneh…Tidak ada yang tidak wajar...

Ya…pasti begitu….

“Hoi, Den! Bengong aje lu!?!?” tiba – tiba aku tersadar dari lamunanku sendiri yang aku tidak tahu apa itu. Ah…dasar David! Ngagetin terus deh bisanya…

“Buset deh…Dari tadi bengong mulu lu…Ada apaan??” temanku David bertanya. David adalah teman satu angkatan dan satu jurusan denganku. Dia juga sama denganku, sedang berkutat dan berjuang untuk mengerjakan skripsinya. Kalau tidak salah akhirnya tema skripsinya diterima juga. Tentang…sistem inventory kalau tidak salah atau apa lah…

“Um…kagak vid! Bingung aja gua, dari tadi ujan kagak berhenti nih. Padahal kostan gua deket, tapi kalo gini deres mah bisa basah kuyup gua…” jawabku sambil sedikit melihat ke arah luar jendela bening besar yang ada di samping kanan tempat kami duduk. Sekarang kami berada di food court mall, sekitar jam 6 sore hari Jumat. Sudah sekitar satu jam kami duduk di sini membahas beberapa teori tentang analisis sistem. Kebetulan tema skripsi kami hampir sama, jadi kami bahas saja.

“Iya nih...Padahal perasaan tadi jem 5 an gua datang langitnya masih cerah – cerah aja tuh. Ya…lu masih enak lah kostannya deket. Kostan gua jauh, mana gua naik motor lagi. Kagak bisa pulang beneran gua…” Oya aku lupa kalo kostan si David lebih jauh lagi. Um…tepatnya dia ngontrak sih bareng satu temannya yang lain.

“Hahaha..makanya kan uda gua bilang dulu, mending satu kostan sama gua aja!”

“Ya…waktu itu gua uda terlanjur ngontrak. Gimana lagi donk?? Eh…ngomong – ngomong gimana tu nasib anak privat lu??? Hari ini kan mestinya lu ngajar kan??” David bertanya dengan muka sedikit kaget. Alisnya yang sedikit tebal terlihat sedikit menyeramkan dengan muka mengerenyit seperti itu.

“Oh…tadi bapak anak privat gua…si Cindy sms. Katanya hari ini Cindy ada kegiatan retret gitu di sekolahnya ke….ke mana gitu gua lupa…Pulang hari Sabtu sore katanya. Jadi hari ini gua gak ngajar deh. Hohoho” Aku menjawab sambil tertawa – tawa sedikit. Sebenernya sih jujur aku seneng – seneng aja kalo gak ngajar. Toh bayaranku juga gak akan dipotong kok. Tapi….kok rasanya….ada yang hilang gitu ya….

“Wah, enak donk. Gaji buta. Wahaha!” Nah si David malah ketawa. Deretan giginya yang rapi terlihat sedikit karena tawanya yang lepas itu. Matanya yang sedikit sipit sepertiku makin terlihat sipit aja.

“Ya gitu deh!....Eh…Aduh nih ujan kagak mau berhenti juga ya?? Mana uda mulai malem lagi…ck...” Aku mulai merasa tidak nyaman karena hujan yang tidak kunjung berhenti juga.

“Kenapa Den? Nyantai aja lah…Kalo kemaleman makan di sini aja.” David sedikit mengarahkan kepalanya ke arah belakang. Ke arah deretan counter makanan yang terlihat padat dan bervariasi, mulai dari makanan Indonesia, makanan Jepang, sampai makanan barat. Bukannya aku tidak mau sih, tapi kan makanan di sini tidak begitu bersahabat…dengan isi dompetku.

“Gak sih Vid. Di kostan gua banyak sayur sih. Sayang kalo didiemin, ntar keburu busuk lagi. Rencana sih malam ini gua mau masak aja lah…” jawabku sambil kembali melihat ke arah luar. Bagus banget nih….Langit uda mulai gelap. Hujan tidak reda sedikitpun. Nih hujan bener – bener deh…

“Oh gitu…Hm…lu gak bawa payung?” tanya David sambil merapikan isi tas putih yang ada di sampingnya. Mungkin dia juga sudah mau pulang, eh….mungkin cuma jalan – jalan di mall kali…

“Kagak, lupa gua. Yah…mesti nyumput – nyumput gesit – gesit deh pulangnya ini.” Aku juga bergegas merapikan isi ranselku lalu berdiri dengan menimbulkan sedikit bunyi pada bangku plastik yang kududuki tadi. Hufff….Hujan oh hujan…mengapa kau turun di saat yang tidak pernah tepat??? GRRR!!!

“Oke deh Den. Kalo gitu gua ke sana dulu deh. Mau lihat gadget Hp.” David terlihat sudah memakai tas di pundak kirinya.

“Oh oke vid! Gua ke bawah deh kalo gitu. Duluan ya!” Aku menepuk pundah kanan David, lalu bergegas turun ke lantai bawah dengan eskalator yang kebetulan tidak terlalu jauh dari tempat diskusi kami tadi.

Aku hanya bisa membayangkan sebasah apa aku saat sampai di kostanku nanti…

….
….
….

Aku sudah berada di pintu depan mall…
Aku hanya menatap sedikit ke arah langit…
Gelap…
Air hujan turun tanpa ampun….
Walah….
Aku menarik napas sedikit…Berpikir bahwa tidak masalah jika aku basah kuyup. Toh baju dan celana yang kupakai sekarang bakal dicuci juga. Masalah masuk angin sih…tidak lah ya. Begitu pulang ke kostan, aku akan langsung mandi.

Oke…sekarang atau tidak sama sekali…

Aku langsung berlari ke arah luar menuju area pejalan kaki yang sedikit terlindungi oleh atap yang aku tidak tahu terbuat dari apa. Mungkin beton, mungkin aluminium, mungkin cuma asbes….ugh siapa yang peduli??

Berjalan sedikit, aku berlari lagi. Sekarang cukup jauh. Ke arah tempat karaoke yang terletak di sebelah kiri pintu masuk mobil. Bunyi cipratan air yang lumayan terdengar sama sekali tidak kuhiraukan. Yang penting sekarang aku sudah berada di bawah atap luar tempat karaoke itu. Sudah setengah jalan… Aku juga sudah setengah basah…

Sekarang bagian yang lumayan sulit. Aku harus menyebrangi jalan kecil dan yang sangat disayangkan langsung berhubungan dengan belokan yang artinya tidak akan ada kendaraan yang berhenti, dan…jalanan itu sudah terlihat tergenangi oleh air yang mungkin sudah hampir mencapai mata kaki.

Sudah kepalang basah (maksudnya bener – bener basah). Ya sudah deh…

Aku berlari secepat mungkin menyeberangi jalan itu walaupun sempat mendapat klakson panjang mobil – mobil yang akan melaju karena kebetulan sekali aku menyebrang saat lampu lalu lintas berganti hijau. Aku tidak begitu peduli. Mungkin aku dimaki – maki oleh para pengendara di sana. Tapi biarlah, toh aku tidak mendengarnya juga.

….
….
….

Akhirnya sampailah aku pada deretan pertokoan yang mengarah langsung ke arah tempat kostku. Hufff….sudah banyak tetesan air yang turun dari rambutku. Celana katun coklat mudaku sudah berganti warna menjadi coklat tua mulai dari lutut ke bawah karena basah. Nasib ranselku juga lumayan parah. Basah total. Untung saja aku tidak bawa laptop tadi.

Aku berjalan lumayan cepat walaupun sekarang aku sudah bisa bernafas sedikit lega karena aku tidak akan banyak kehujanan. Tapi, ada baiknya aku cepat sampai di kostan untuk segera mandi. Sambil berjalan, sesekali aku mengusap – ngusap tangan kanan dan kiriku, berharap bisa sedikit kering walaupun tidak banyak.

Sedikit lagi dan…

Ah….akhirnya aku sudah berada persis di bawah ruko tempat kostanku. Terlihat sedikit sepi. Mungkin karena hujan, orang jadi malas keluar. Atau hanya perasaanku saja???

Hujan masih deras….sangat deras…Arah jalanan saja sulit kulihat…
Ini hujan atau badai ya???

BRUKK!! Tiba – tiba seseorang menabrak badanku dari samping kanan membuat badanku sedikit terhempas ke arah kiri dan sempat membuat pandanganku kabur. Mungkin dia datang dari arah seberang dengan terburu – buru. Hujan dan lingkungan yang mulai gelap mungkin sedikit membuatnya kesulitan.

“Eh! Aduh! Maaf ya!” Tunggu…

Orang yang menabrakku tadi…


“….Den??”

“….Loh?? Om John??”

Oke….Jadi tadi yang nabrak aku itu Om John??? Atau orang lain, terus Om John sebenernya uda dari tadi di sini.

Ngomong – ngomong kalaupun dia di sini…

Ngapain??

“Maaf ya Den…Om gak liat kamu tadi…” aku merasa pundakku dipegang oleh tangannya. Tampaknya memang tadi Om John yang menabrakku.

“Gak… gak apa – apa kok Om!” aku mengibas – ngibaskan tangan kiriku, menandakan bahwa aku baik – baik saja. Tangannya masih saja memegang pundakku…

Um…entah kenapa….aku merasa….

Sedikit…deg – degan…

“Um…Om kok ada di sini?” aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya alasan utama adalah aku berusaha mengalihkan perhatianku dari tangan Om John yang memegang pundakku.

Ah…Om John perhatian sekali ya….

…. Apa yang kupikirkan sih!?!?

“Oh, gak…Tadi saya ada urusan sedikit di toko mebel yang ada di seberang…” Toko mebel?? Oh…yang di seberang itu toh…

“Om…gak bawa mobil aja?” aku baru ingat kijang biru nya tidak ada dimana – mana.

“Oh gak tadi saya jalan kaki. Gak kepikiran sih bakal ujan gede kayak gini. Paling gak coba tadi saya bawa payung…” Om John menjawab, lalu menoleh ke arah langit yang sudah terlihat gelap, bercampur dengan awan putih pekat.

….
“Oh ya…Kamu sendiri dari mana?” Om John balik menanyaiku.

“Oh saya dari mall Om. Sekarang mau pulang ke kostan sih…” jawabku.

“Wah kehujanan juga kamu ya? Sampe basah gitu??? Kostan kamu masih jauh?” tanyanya lagi dengan alisnya yang tebal sedikit naik, tanda Om John penasaran dengan tempat kostku.

Hm…mungkin jawabannya bakal kedengeran aneh ya..

“Gak Om. Kebetulan kostan saya ada di lantai atas bangunan ini…” aku menjawab dengan mengangkat sedikit kepalaku ke atas, ke arah kamarku yang sebenarnya sedikit lebih ke arah dalam.

“Oh, di sini ya?? Saya kirain ini cuma ruko biasa…” Om John serasa tidak percaya. Ya…wajar sih. Pertama kali aku datang ke sini juga aku mengira ini hanya ruko biasa, apalagi jika dilihat dari depan tertutup oleh bank. Mungkin ini ya salah satu sebab kenapa tempat kostku susah sekali dapat penghuni dulu – dulunya.

“Iya Om…” aku menjawab….bingung….


Aku harus ngomong apa lagi??
Masa “Eh Om kalo gitu saya ke atas dulu ya! Semoga hujannya cepet reda ya…”
Gak mungkin, jadi…

…tapi…

“Om….mau mampir ke kostan saya dulu…sambil nunggu hujan reda???” Oke!!! Seperti biasa, belum selesai nih otak mikir, mulut sudah ngoceh aja….

….
Kok gak ada jawaban??? Lah…malah wajah Om John terlihat senyum – senyum aja…
Oke…aku tahu pasti Om John mikir “Nih anak pasti ada maunya deh…”.
Mati dah…

….
“Hm…boleh sih Den. Tapi apa gak ngerepotin??” Om John bertanya dengan sedikit tertawa. Aku bisa melihat sedikit deretan gigi putihnya yang rapi.

“Gak kok Om! Kebetulan saya hari ini gak ada tugas apa – apa kok!” aku kembali mengibas – ngibaskan tangan kananku. Aku sedikit memberi tanda kepada Om John untuk mengikutiku dari belakang. Sayangnya bagian depan pintu masuk ke kostanku tidak sepenuhnya terlindung dari atap. Jadi…yah….maaf ya Om harus berbasah – basah sedikit lagi…

….
Aku menaiki satu persatu anak tangga menuju ke lantai paling atas, lantai 3 tempat kamarku berada dan Om John mengikutiku dari belakang.

“Maaf ya Om kamar saya agak jauh di lantai paling atas…” aku berbasa – basi agar Om John tidak sedikit teralihkan perhatiannya menaiki tangga – tangga ini.

“Ah…gak apa – apa kok Den! Wah…tiap hari kamu naik turun tangga kayak begini…Lama – lama berotot kaki kamu Den. Hahaha!!” Aku hanya bisa ikut tertawa. Fiuuhh….untunglah Om John tidak terlalu terbebani dengan kegiatan naik tangga ini.

Akhirnya kami sampai di depan kamarku yang ada di lantai 3. Aku merogoh saku kanan celana katunku, meraih kunci, lalu kumasukkan ke dalam lubang kunci pintu kamarku yang terkunci.

Tiba – tiba…beberapa kecemasan menghampiriku.

Kamar…rapi??? Okelah lumayan rapi buat ukuran anak cowok…
Bau??? Gak kok! Aku gak merokok, dan kamarku selalu kusapu setiap hari…
Barang – barang aneh??? Ah….paling hanya boneka kura – kura yang dikasih keponakanku saat ulang tahunku tahun lalu.

Ckrek! Terdengar pintu sudah terbuka. Kubuka pintu kamarku dengan perlahan lalu sedikit kuintip bagian dalam kamarku yang sedikit gelap gulita.

Rapi….bersih….oke lah ya…???

Ah siapa yang peduli sih sekalipun berantakan?? Om John kan laki – laki juga. Pasti bisa memahami lah…

Aku melepaskan sandalku lalu kutaruh di samping keset bergambar mobil yang ada di depan pintu kamarku. Aku masuk, menyalakan lampu, lalu menaruh tas ranselku di atas bangku yang biasa kugunakan untuk duduk ketika mengerjakan tugas atau apapun di atas meja.

Om John…ah iya…Om John masih di depan…

“Om…masuk aja Om…Sepatunya taruh di sini aja boleh…” aku mempersilakan Om John untuk masuk sambil menunjuk ke arah sandal dan sepatu yang biasa kugunakan saat kuliah yang terletak di samping keset tadi.

Kulihat Om John mengangguk, lalu mulai melepaskan sepatu nya yang berukuran cukup besar itu tepat di samping sepatu kuliahku. Mungkin tadi aku tidak begitu melihatnya, tapi sekarang aku bisa melihat kalau rambut Om John cukup berkilauan terkena sinar lampu karena basah oleh air hujan. Kemeja merah dan celana hitamnya hanya basah sedikit. Tapi rambutnya….

Aku bergegas masuk, membuka lemari, lalu mengeluarkan handuk kecil berwarna putih. Gawat….Rambut basah seperti itu jika dibiarkan terlalu lama bisa sakit nanti…

“Om, pake ini buat keringin rambut om aja…” aku segera menyerahkan handuk kecil itu pada Om John.

“Makasi loh Den. Tuh kan bener…Saya jadi ngerepotin…” Om John sedikit menyunggingkan senyum ke arahku. Dia mulai mengelap rambutnya yang basah sehingga tatanan rambutnya yang biasanya rapi menjadi sedikit berantakan.

“Ah gak apa – apa kok Om! Santai aja. Maaf ya Om, kalo kamar saya agak berantakan…” aku hanya bisa tertawa – tawa seperti biasa, seperti orang konyol.

“Loh, kalo saya bilang kamar kamu rapi kok. Kamarnya Cindy malah kayaknya lebih berantakan. Hahaha…”

“Wah gak mungkin lah Om. Oya, saya mandi dulu ya Om? Om tunggu di sini aja gak apa – apa?” aku bertanya sembari mengambil kaos polo coklat muda, celana panjang coklat, dan CD dari dalam lemariku.

“Oh, ya udah Den, saya tunggu di sini aja!”

“Kalo gitu saya mandi dulu ya Om…” aku mengangguk sedikit lalu keluar dari kamarku, bergegas menuju kamar mandi setelah memakai sandal jepit yang biasa kupakai ketika ke kamar mandi. Aku menutup pintu dan kulihat Om John duduk di bangku yang biasa kududuki.


….
…Aku hanya berharap dia tidak bosan menunggu…

Suara hujan yang mulai turun kembali rasanya tidak begitu mengganggu telingaku, mungkin karena perutku yang sudah mulai lapar…

Hhhh….hari ini rasanya tidak begitu baik…

Hujan deras…
Skripsiku yang belum menemui nasib baik… Apalagi manajer yang “terhormat” dari perusahaan tempatku survey waktu itu belum menghubungiku sama sekali. Yah…gak mungkin juga sih manajernya yang langsung nelpon. Pasti beliau kan “SIBUK”.
Belum lagi, misalkan selesai, aku masih harus berkutat dengan penyusunan sistem baru.
Diagram – diagram yang tidak jelas bentuknya itu harus kugambarkan dengan seksama…. Salah sedikit… habislah sudah…

“Den?” Suara Om John membuyarkan lamunanku.

Lagi – lagi aku melamun hal yang tidak jelas. Pantas saja teman – temanku bilang rambutku banyak ubannya. Wong mikirin hal – hal gak penting seperti tadi melulu sih…

“Kamu ngelamunin apa? Dari tadi kelihatannya kamu bengong terus?” Om John bertanya dengan wajah cemas.

Cemas??? Hahaha. Om…. Tidak perlu mencemaskan aku. Memang Dennis itu terkenal dengan sering melamun dan berpikiran tidak jelas kok.

“Ah gak Om. Cuma saya sempat kepikiran aja soal skripsi saya buat kelulusan semester ini…” aku menjawab jujur. Ya…jujur. Toh, tidak ada alasan untuk menutupinya.

“Oh ya kamu sekarang sudah semester 8 ya? Kamu jurusan….apa ya? Saya lupa..” Loh, bukannya waktu itu sudah pernah kubilang ya?

“Saya Teknik Informatika Om.” Aku menjawab sedikit berat dengan senyum yang sedikit kupaksakan. Mungkin Om John tahu itu tapi rasanya tidak begitu kupedulikan.

“Permisi…” Seorang mas – mas membawakan kami 2 nasi uduk, lengkap dengan sepiring tahu tempe dan semangkuk sayur asem berukuran sedang yang sempat kami pesan tadi. Sebenarnya aku sempat tidak enak tadi, karena lagi – lagi aku diajak makan oleh Om John sehabis aku mandi tadi. Dia bilang karena hujannya sudah reda dan dia juga belum makan, dia menanyakan apakah aku juga mau menemani dia makan.

Ya….masa aku bilang “tidak”, jadi ya….

Beginilah sekarang. Aku diajak makan ke sebuah kedai kaki lima yang cukup jauh dari tempat kostanku. Aku juga belum pernah makan ke sini, karena kupikir cukup mahal untuk ukuran anak kost sepertiku.

“Kamu buat skripsi tentang apa?” Om John bertanya sambil mengambil sendok dan garpu dari tempatnya yang ada di atas meja tempat kami duduk.

“Oh, saya buat analisis tentang sistem penggajian sebuah perusahaan gitu Om. Terus nanti saya buat rancangan menyeluruh yang bisa direkomendasikan untuk sebuah perusahaan dari situ…” Um…apakah penjelasanku terlalu sulit? Ah…tapi kan Om John juga pasti lulusan universitas. Paling tidak pasti dia mendapat sedikit bayangan tentang apa yang kuceritakan tadi.

“Hm…gitu ya…Perusahaan apa Den?” Om John bertanya lagi.

“Perusahaan Jaya Gading Om. Yang ada deket kampus saya itu.” Huff…entah kenapa rasanya aku berat memberitahu tentang perusahaan ini. Mungkin karena aku sedikit tidak yakin apakah perusahaan ini tepat untuk bahan skripsiku.

“Oh yang itu…” Om John hanya mengangguk – angguk.

“Terus kamu uda ke perusahaannya? Maksudnya, kamu uda tahu sistem penggajian di sana?” Om John kembali bertanya lagi. Sekarang aku sedikit melihat ada rasa ingin tahu di wajahnya karena kebetulan kami duduk berseberangan.

“Saya sih udah ngajuin proposal Om…ke bapak manajer perusahaannya. Tapi sampai sekarang belum dapet pemberitahuan lebih lanjut….” aku menjawab dengan muka sedikit merengut.

“Oh gitu…”

“Tau tuh Om. Mungkin manajernya sibuk atau dia gak mau diwawancarain atau apa gitu saya juga gak yakin sih. Jujur sih Om saya agak sebel deh. Mungkin mestinya saya wawancara salah satu staff aja, pasti lebih cepat.” Aku sedikit mengungkapkan kekesalanku.

“Hahaha. Emang kadang manajer itu ya…gitu deh Den…” Om John sedikit tertawa mendengar keluhanku. Oya…Om John kan juga orang kantoran. Pasti dia juga sering mengalami hal – hal yang mirip – mirip denganku.

“Iya tuh Om. Kali manajernya menganggap, posisinya sebagai manajer itu terhormat banget gitu kali, makanya dia gak mau diwawancarain sama anak kuliahan. Kadang emang orang dengan posisi tinggi itu sedikit sombong rasanya…” Aku menjawab dengan menghembuskan napas kesal.

“Ya sudah Den. Ditunggu aja. Ntar pasti dibales juga kok…Sekarang makan dulu aja yu…” Om John terlihat sudah mulai mengaduk – aduk sayur asem yang ada di bagian kananku. Aku mengangguk…perutku memang sudah lapar.

….
….
….

“Den, kamu pulang duluan aja. Gapapa kok, Om tunggu di sini…”

Payungku cuma satu. Memang hujan ini sedikit kurang ajar. Tadi pas kami pergi makan, hujan sudah reda, bahkan berhenti sama sekali. Sekarang pas kami mau pulang, malah hujannya turun lebih deras daripada tadi….

Jadi…masa aku meninggalkan Om John sendirian di sini? Setelah dia mentraktirku makan tadi? Gak sopan rasanya. Tapi dipikir – pikir gak efektif juga aku nunggu di sini sama Om John sampai hujan berhenti. Secara, aku kan membawa payung.

Apa payungnya kuberikan saja kepada Om John, biar dia bisa pulang ke rumahnya?

Tidak…kalau begitu aku yang harus menunggu?? Wah, gak ada yang tau kan nih hujan kapan berhentinya???

Hm….

“Om, kalo gak pake payung ini aja ke rumah Om…” Mulutmu harimaumu… Seperti biasa aku ngomong sebelum selesai mikir.

“Loh? Terus kamu gimana?” Om John kebingungan. Yah….wajar sih.

ADUH! Seandainya aku gak ketemu Om John malem ini….

“Saya anterin Om sampai ke rumah aja…” Eh….? Barusan aku ngomong apaan?

“Oh, gak ngerepotin nih Den? Payungnya juga kayaknya gak muat deh…” Om John terlihat sedikit menahan tawa. Namanya juga payung lipat. Pasti gak bakal muat kalau mau dipakai berdua.

“Gapapa Om. Paling cuma basah sedikit lah nanti…” Aku menjawab sambil membuka payung lipat abu – abu yang tadi kubawa. Tapi dipikir – pikir Om John benar juga. Jangankan berdua. Sendiri saja sudah sangat sempit.

“Hm…Oke deh, Den! Yu!” Om John tersenyum dan…tiba – tiba merangkul pundakku yang sempat membuatku menahan napas sebentar. Mungkin agar posisinya nyaman. Bisa kubayangkan betapa tidak nyamannya jalan berdua sempit – sempitan di bawah satu payung yang sangat kecil seperti ini.




Hujan turun dengan deras…
Kami berdua mulai berjalan ke arah rumah Om John, melewati deretan pertokoan...
Berjalan berdampingan seperti ini…
Membuatku sedikit…tidak…sangat….

Gugup….

Tangan kananku memengang gagang payung, pundak kiri dan kananku dipegang oleh kedua tangan Om John.


Wajar saja, dengan keadaan seperti ini, kami harus berjalan sangat…sangat berdekatan seperti ini…

Bahkan wajah kami berdua hampir menempel…


Sepanjang jalan, kami hanya terdiam. Mungkin memang tidak ada yang bisa diomongkan…untuk saat ini…dengan keadaan seperti ini…




“Makasi ya Den…” Om John tersenyum padaku. Baju dan celana panjangnya sedikit basah. Tapi untunglah, cuma sedikit. Semoga saja Om John tidak sakit.

“Iya Om. Saya…pulang dulu ya…” Aku mengangguk dan berbalik berjalan ke arah gerbang depan cluster.

Langit sudah gelap, dan dipenuhi oleh awan putih pekat. Kelihatannya hujan ini masih akan turun dalam waktu yang lama. Aku terus saja berjalan perlahan pulang ke tempat kostku.

….
….
Ada yang aneh…Tidak biasanya aku seperti ini…
….Ada sesuatu…. Entah kenapa…aku merasakan ada sedikit yang aneh tadi..

Tiba – tiba kurasakan getaran handphoneku yang kutaruh di saku kanan celanaku. Ada seseorang yang menelepon.

Kulihat nomornya…Nomor tidak dikenal…Siapa ini??

Kutekan tombol jawab dan di seberang sana terdengar suara seorang wanita. Rasanya suaranya pernah kudengar…

“Halo, dengan Mas Dennis?” suara di seberang itu bertanya. Benar…suara ini terdengar familiar.

“Iya saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?” aku bertanya.

“Saya customer service perusahaan Jaya Gading. Hari Senin kemarin mas ke sini untuk memberikan proposal pengajuan wawancara…” Oh! Ternyata mbak yang waktu itu…

“Oh ya mbak! Hm…ada apa ya?” Akhirnya ada kabar juga. Kuharap ini kabar baik…

“Jadi begini mas. Bapak manajer tadi menelepon. Beliau sudah membaca dan menyetujui proposal wawancara mas. Beliau bilang, beliau bersedia diwawancarai hari Senin besok jam 5 sore…” Senin, jam 5…Bagus sekali… pas saat aku ada jadwal mengajar. Emang tuh manajer ngajak berantem ya… Uda balesnya lama, sekali dibales waktunya bener – bener gak tepat lagi…

Kalau aku menunda lagi, mungkin aku akan kehilangan kesempatan ini selamanya…

“Oh bisa Mbak! Kalau gitu, saya datang lagi hari Senin besok ya?” aku menjawab dengan nada “pura – pura” senang.

“Oke mas, akan saya beritahu ke bapak manajer. Terima kasih mas..” wanita itu mengakhiri pembicaraannya dan menutup teleponnya setelah aku juga mengucapkan terima kasih kepadanya.

….
….
Kuharap Om John bisa mengerti hal ini…

Oke, sampai kapan aku harus menunggu????

Kukeluarkan lagi handphone ku dari dalam ransel ku dengan muka sedikit kesal. Jam 16:30. Grrrrr!!!!!!

Okelah, memang kita janjian untuk ketemuan jam 5. Tapi masa gak bisa dipercepat sih??? Lah, aku juga gak akan bertanya lama – lama kok. Selama manajer atau apapun jabatannya itu bersedia bekerja sama dengan baik, DAN tentunya tidak bertele – tele…

Tidak bertele – tele….Hm….Untuk ketemuan begini saja aku harus menunggu sampai sekitar…5 hari. Itupun waktunya tidak pas, dan parahnya aku tidak mungkin untuk menolak. Kupikir – pikir lagi, emang seberapa ter “hormat” kah bapak yang nanti aku temui. Kenapa rasanya sulit banget?? Atau memang sengaja dipersulit??

Hufff…sudahlah, sekarang aku sudah berada di sini. Cepat bicara, cepat bertindak, cepat selesai.

Aku memasukkan kembali handphone ku ke dalam bagian depan ranselku. Aku disuruh menunggu di tempat yang sama persis waktu aku datang hari Senin minggu kemarin. Mbak customer service yang waktu itu aku temui sudah naik ke lantai atas. Katanya sih untuk menemui bapak manajer yang akan kutemui itu. Aku sedikit bingung sih. Tadi sebelumnya, mbak tadi sempat menelepon….kelihatannya bapak manajer itu, kemudian tiba – tiba disuruh langsung ke atas menghadapnya, dan aku disuruh menunggu di sofa ini.

Kira – kira ada apa ya??

…Mungkin “ada apa” tidak begitu penting. Yang paling ingin kutahu adalah “kapan” aku bisa bertemu dengan bapak manajer itu. Sudah sekitar 15 menit mbak petugas customer service tadi naik ke lantai atas.

Aku sangat berharap ketika nanti dia kembali, dia tidak berkata, misalnya “Aduh, maaf mas….”. Atau “Hm…begini mas….” Atau “Mas, sepertinya…”. Yang ingin kudengar adalah “Oke mas, silakan bertemu dengan bapak manajer di lantai atas…” atau apapun deh asalkan jangan 3 contoh kalimat yang tadi.

Oh Tuhan, betapa berat cobaan yang Engkau berikan padaku sore ini…
Aku terjebak dalam situasi sulit. Menunggu tanpa kepastian, dan harus membatalkan… OH YA!!! Aku lupa memberitahu Om John dan Cindy kalau hari ini aku akan telat atau mungkin tidak bisa datang.

Langsung saja aku mengambil handphone ku kembali dengan cepat. Kutekan tombol bawah, dan langsung terpampang di layar handphoneku daftar kontak yang telah kusimpan. Kucari nomor Om John dengan terburu – buru…

Ah…. Ini dia. Hm….Kutelepon atau ku sms saja? Kalau ku SMS, bagaimana kalau dia tidak melihatnya? Kalau ku telepon, bagaimana kalau ternyata misalnya dia sedang meeting. Aku kan tidak tahu kapan Om John pulang kantor. Salah – salah nanti malah aku dimarahin karena menelepon di waktu yang tidak tepat.

…ARGH!! Kutelepon atau ku sms saja ya??

…Ah… ya sudahlah ku telepon saja. Yang penting bertindak dulu baru lihat hasilnya nanti. Ada pepatah bilang, kalau terlalu perhitungan, kita tidak akan bertindak. Ya entah itu pepatah atau kukarang sendiri.

Kutekan saja tombol bergambar telepon berwarna hijau, dan terlihat di layar handphone ku sebuah tulisan “Memanggil Om John…”. Segera kuletakkan handphone ku di telinga kananku. Berharap Om John segera mengangkatnya….

TUUUUTTT…… TUUUUUUTTTT….

“Maaf mas Dennis??” Tiba – tiba aku terkejut dengan mbak yang tadi sudah ada di sampingku dan tanpa sadar mematikan panggilanku tadi. Ya ampunn….mbak!! Udah 2 kali loh mbak ngagetin aku. Gimana kalo aku jantungan??

“Ya Mbak?” Aku berdiri dari dudukku. Memasang muka penuh harap. Harap – harap cemas maksudnya…

“Bapak Manajer bersedia di wawancarai oleh mas. Tapi kelihatannya mas harus menunggu sebentar lagi. Beliau sedang ada urusan sedikit dan sekarang sedang keluar.” HORE!! Akhirnya, aku bisa membuat kemajuan lagi dalam penyusunan skripsiku. Eh tunggu…Dari tadi aku kan di sini…Terus tadi emangnya ada yang keluar ya?? Rasanya tidak deh…atau mungkin ada… aku juga tidak yakin.

Ya siapa yang peduli lah. Toh kita bukan tim penyidik atau reserse yang sedang mengintai. Siapa yang keluar masuk tidak penting lah…

“Oh begitu. Kalo gitu gapapa Mbak. Saya tunggu aja…” Aku akhirnya bisa menjawab dengan wajah tersenyum. Kali ini benar – benar senyum lega.

“Oh ya mas. Bapak Manajer bilang, mas tunggu di ruangannya aja di atas…” Apa??

“Um…gapapa mbak. Saya tunggu di sini aja deh.” Terus terang entah aku harus merasa apa. Tersanjung?? Terhormat?? Aneh?? Gak juga rasanya. Aku hanya tidak enak saja rasanya harus menunggu di ruangan seperti itu sendirian. Ruangan manajer yang akan aku wawancara lagi….Rasanya tidak begitu etis…

“Gapapa kok mas, soalnya beliau sendiri yang suruh mas tunggu di ruangannya. Mari, saya anterin…” Mbak yang tidak aku tahu namanya itu mengangguk dan menyuruhku mengikutinya. Jadi yah….

Kuikuti dia sampai ke area belakang, ke arah lift. Kulihat dia menekan tombol naik, dan pintu lift langsung terbuka. Begitu masuk, kulihat deretan tombol standar lift di dalam. Cukup menarik perhatianku melihat angka paling besar yang menunjukkan nomor lantai di perusahaan ini adalah 9. Sama dengan bangunan kampusku.

Dan…dia menekan lantai nomor 9…Eh???

Kok yang ditekan lantai nomor 9? Bukannya biasanya makin tinggi lantainya, berarti makin tinggi kedudukannya ya?? Apalagi ini lantai tertinggi, berarti bisa dipastikan beliau, entah siapa namanya nanti adalah orang yang cukup penting di perusahaan ini. Hm…aku jadi ingin makin tahu siapa sebenarnya “bapak” manajer yang akan kuwawancarai nanti…

Ting….Terdengar bunyi lift yang menandakan kami sudah sampai di lantai paling atas. Kebetulan tidak ada orang yang naik di tengah jalan tadi. Begitu pintu lift terbuka…

Aku bisa melihat ruangan – ruangan kecil yang tertutup oleh pintu berwarna coklat. Ada jendela kecil di masing – masing pintu. Mungkin digunakan untuk melihat apakah orang yang ada di dalamnya sedang ada tamu atau meeting atau yang lain. Kebetulan tepat saat pintu lift terbuka, yang tepat berada di depanku adalah ruangan yang tertutup pintu yang berukuran lebih besar dari ruangan – ruangan yang lain. Mungkin ruangan inilah yang digunakan untuk meeting kepala – kepala bagian perusahaan ini dengan direktur. Di kiri dan kanan terdapat lorong yang mengarah ke sederetan ruangan. Tidak banyak. Mungkin hanya sekitar 2 – 3 ruangan di masing – masing lorong.

Jadi….di mana ruangannya???

Aku dituntun ke lorong sebelah kanan oleh mbak customer service yang akhirnya bisa kutahu bernama Linda itu saat aku berkenalan dengannya di lift tadi. Memang aneh rasanya baru berkenalan apalagi dia tahu namaku dari awal. Tapi ya….wajar lah. Lingkungan formal seperti ini terkadang membuatku agak gugup untuk berkenalan dengan orang – orang yang terlibat di dalamnya.

Aku hanya mengikutinya, sambil melihat – lihat sekelilingku. Tidak banyak furnitur, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Padahal sempat kubayangkan, suasana kantor itu adalah meja di sana – sini dengan karyawan yang padat. Mungkin memang agak beda tingkatan staff dengan deretan kepala perusahaan.

Akhirnya…langkah kami terhenti di ruangan yang ada di tengah. Pintunya dibukakan oleh mbak Linda dan…

Wah….inikah ruangannya???

“Silakan masuk mas Dennis.” Mbak Linda mempersilakanku masuk. Tiba – tiba saja perasaanku menjadi gugup…Benarkah aku boleh masuk dan menunggu di…ruangan ini?????

Aku masuk sambil tersenyum. Tersenyum gugup. Aku masuk dan….

“Silakan duduk dulu mas…” Oke…mbak saya duduk. Terus…

“Ditunggu sebentar ya mas. Saya cek ke bawah dulu, apa beliau sudah datang…” Mbak Linda tersenyum lalu keluar dan menutup pintu coklat tadi dengan perlahan.



Aku duduk lalu meletakkan ranselku di….bawah. Ruangan ini cukup besar…. Dingin….ACnya mungkin terlalu kencang…Atau memang aku tidak kuat dengan AC?

Aku duduk di sofa yang mungkin memang diperuntukkan untuk tamu. Di depanku terdapat meja dengan kursi yang saling berhadapan. Satu kursi terlihat lebih besar dan ada di bagian dalam meja. Pasti di situ tempat bapak manajer itu duduk…

Aku melihat sekeliling. Standard lah… tapi entah mengapa ruangan ini cukup nyaman. Ada tempat sampah di sudut ruangan sebelah pintu masuk, meja yang kuceritakan tadi, AC berdiri di sudut ruangan dekat meja tadi….

Eh ya! Sebaiknya aku menelepon Om John sekarang.

Kembali kukeluarkan handphoneku dan langsung saja kutekan panggil 2 kali. Langsung lah kuletakkan handphone ku di telinga kananku seperti tadi. Kuharap kali ini Om John…

“Halo? Iya kenapa Den?” Ternyata langsung diangkat oleh Om John di dering pertama tadi.

“Iya Om. Hm…jadi begini. Hari ini saya harus melakukan wawancara buat bahan skripsi saya. Jadi…rasanya mungkin hari ini saya gak bisa dateng buat ngajarin Cindy deh…” Aku harap Om John tidak marah…

“Oh….” Hanya Oh???? Bisa kupastikan Om John mungkin sedikit kesal mendengarnya…

“Iya. Maaf banget ya Om…”

“Yah…gapapa sih Den. Hm…padahal saya baru aja jemput Cindy…” Om John terdengar kecewa.

Samar – samar bisa kudengar suara anak perempuan di seberang sana. Mungkin suaranya Cindy. Aku tidak yakin apa yang Cindy omongkan.

“Maaf ya Om. Maaf banget….” Aku hanya bisa meminta maaf dan maaf….

“Ya udah gapapa. Tapi laen kali, kamu jangan keseringan begini ya… Kasihan Cindy nungguin terus, tapi kamunya gak bisa dateng…”

“Iya Om. Laen kali pasti saya beritahu lebih awal, jadi bisa diatur untuk penggantinya Om…” Kelihatannya secara resmi aku diomeli oleh Om John.

“Oke oke. Uda dulu ya Den. Ntar saya bilangin sama Cindy…” Om John langsung menutup teleponnya tanpa sempat aku balas.

….Jadi…tadi aku dimarahi kan??? Ini semua gara – gara wawancara ini….

GRR!! Aku ingin cepat – cepat melihat wajah Bapak Manajer yang akan aku wawancarai ini. Aku ingin tahu seberapa garang, atau seberapa berwibawa, atau seberapa menyeramkannya wajahnya. Yang membuatku diomeli seperti ini…
Saat aku memasukkan kembali handphoneku ke dalam ransel…

“Mas Dennis…Beliau sudah datang, kebetulan bersama anaknya… Silakan Pak….” Tiba – tiba pintu terbuka dan terlihat Mbak Linda sudah berdiri di sana, mempersilakan seseorang masuk…Anak?? Jadi dia ke sini bersama anaknya???

Dan masuklah seorang….

A….APA!????!?! DI….DI….DIA MANAJERNYA!?!?!?

Aku tidak percaya dengan siapa yang berdiri di hadapanku…
Pikiranku langsung tertuju pada tempat sampah yang tadi kulihat di sudut ruangan ini.
Coba tempat sampah itu lebih besar sedikit….Ingin rasanya kubenamkan semua wajahku….tidak….seluruh tubuhku kalau perlu ke dalam sana…

“Pak, kalau begitu saya permisi dulu ya…” Mbak Linda pamit lalu keluar dan menutup pintu itu…. TUNGGU….!!! JANGAN TINGGALKAN AKU SENDIRIAN DI SINI!!!

Pintu ditutup dan…

Tinggalah aku sendirian di ruangan itu…Tepatnya berdua…

……………………………………………………………
“KAK!” Anak bapak itu memanggil….Tiba - tiba terlintas kata “BODOH!” di pikiranku…

“Kak Dennis, ngapain di sini???? Cindy baru pulang terus diajak papa ke sini. Katanya Kak Dennis ada di sini…” Anak itu….Tidak….Maksudku…Cindy…diajak oleh papanya ke sini…

Yang berarti…

“Oke….Sebelumnya maaf ya Den, kalo misalnya saya terkesan sombong sama kamu…” Bapak manajer… TEPATNYA….Om John…. Itu memulai percakapan….

Yang terlintas di otakku langsung saat itu adalah “DASAR BODOH!” Seandainya aku dan mulut besarku saat itu tidak nyerocos dengan lincahnya waktu itu….

Sekarang gimana??????????????????????????????????

Masihkah pantas buatku untuk melakukan wawancara ini?????

“Um…Maaf Om….” Ya Den, minta maaflah sebanyak mungkin! Ini lantai 9 loh! Gimana kalo kamu terjun aja dari sini??????????

Aku hanya tertunduk….Tidak berani melihat Om John….Bahkan aku tidak berani melihat Cindy, padahal Cindy melihatku dengan wajah penuh kebingungan…

……

“Hahaha! Ya ampun, Den! Gak usah jadi salah tingkah gitu! Wajar aja kok kalo kamu mikir kayak gitu. Tapi mohon dimaklumin juga ya. Soalnya waktu itu saya belum sempat baca proposal kamu….Saya aja baru tahu kamu mau wawancara di sini pas kamu ceritain waktu itu…” Om John akhirnya…..menjawab dengan melegakan. Aku merasakan tangannya memegang pundak kananku….Membuatku merasa lega…..sedikit.

“Maaf Om…Maaf sekali….Saya gak ada maksud sama sekali buat….” Aku memberanikan diriku untuk menatap wajahnya yang ternyata….sama sekali tidak menggambarkan kemarahan…

…..Apakah aku boleh lega sekarang??? Tidak….belum, belum…

“Gak apa – apa kok Den, Om sama sekali gak marah kok. Mestinya Om langsung kasih tahu kamu aja kalo sebenarnya yang bakal kamu wawancarai itu Om. Tapi….Om pengen kasih sedikit kejutan buat kamu…” Benarkah???? Benarkah….Om John tidak marah??

“Kak! Kak Den! Kakak kok ada di sini??? Papa tadi bilang sih mau ke sini dulu, tapi Cindy gak tau kakak ada di sini….” Cindy memegang – megang tangan kananku.

“Kakak di sini mau nanya – nanya buat tugas kakak Cin. Tapi kakak gak tau ternyata yang orang yang mau kakak tanyain itu papanya Cindy…” Aku tersenyum melihat Cindy yang saat itu masih memakai baju seragam putih merah SD nya.

“Iya, jadi….Cindy bisa tunggu sebentar di sini gak??? Papa sama Kak Dennis mau ke lantai bawah dulu buat lihat – lihat…” Om John akhirnya…melepas tangannya dari pundakku lalu mengelus – ngelus kepala Cindy. Entah kenapa aku sangat senang melihat Om John sangat menyayangi Cindy.

“Ya pa! Tapi jangan lama – lama ya…” Cindy tersenyum melihat Om John, lalu Om John kembali…merangkul pundakku…mengarahkanku keluar ruangan.

….Aku tahu, laki – laki merangkul pundak laki – laki lain adalah hal yang sangat…sangat wajar. Tapi….entah kenapa….

Aku merasa ada yang lain…..

….
Pintu lift terbuka dan kami sudah berada di lantai 5. Di sinilah baru kulihat deretan meja dan kursi kerja tertata dengan rapi….ya masih bisa dibilang rapi, tersusun sampai sekitar setengah isi ruangan. Masing – masing sudah dilengkapi satu unit komputer dan dipisahkan dengan sekat seperti halnya meja – meja para dosen di kampusku. Hanya beberapa orang yang sedang bekerja di mejanya. Mungkin karena ini sudah jam pulang kantor…

“Selamat sore Pak Jonathan!” Tiba – tiba seorang pemuda menyapa Om John dari balik mejanya yang kebetulan terletak persis di sisi kiri tidak terlalu jauh dari pintu lift.

“Ya, sore Di!” Pemuda itu melihat ke arahku dan mengangguk sambil tersenyum. Aku juga membalas anggukkannya. Di….Mungkin namanya Jodi, Eddi, Andi atau semacamnya…

Om John berjalan sambil memberikan beberapa penjelasan. Aku mengikut di sampingnya.

“Jadi, lantai 5 ini dikhususkan buat mengatur keuangan, gaji, dan arsip Den. Di sini rata- rata sudah pakai komputer…” Kami berhenti di salah satu meja yang kebetulan tampaknya pekerjanya sudah pulang. Om John terlihat menyalakan komputer yang ada di meja itu…

“Ini meja admin program keuangannya Den. Mungkin orangnya sudah pulang….Kamu….mau coba lihat program keuangannya Den???” Apa??? Ya ampun, aku sampai diperbolehkan melihat contoh program penggajian perusahaan ini??? Tampaknya hari ini tidak seburuk yang kukira…

“Boleh Om…Buat tambahan referensi…” Aku mengangguk tanda setuju. Setelah beberapa saat…

Terpampanglah suatu program yang kelihatannya masih sedikit asing bagiku. Paling yang kutahu ini menggunakan PHP dan….

“Jadi cara mengoperasikannya gini Den…Hm…Kamu ambil kursi dari meja yang kosong aja…” Aku mengangguk dan kuambil saja kursi yang berada tepat di meja seberang meja tempat Om John duduk sekarang. Kebetulan kursi di ruangan ini adalah kursi yang beroda di bagian bawahnya, jadi tidak memerlukan banyak tenaga untuk memindahkannya ke samping kursi yang diduduki Om John. Aku menggesernya tepat berada di samping kiri Om John, lalu duduk…

Um…rasanya terlalu dekat….Ah…tidak juga…Aku bisa melihat dengan jelas wajah Om John dari samping kirinya…

“Jadi begini Den. Kita masuk dulu. Kebetulan passwordnya…hm…” Bisa kulihat sedikit bekas cukuran janggut dan kumisnya….

“Nah setelah login kita ke…” Aku tidak tahu hidungnya sangat mancung…Mungkin menyamai orang – orang bule yang sering kulihat di TV....

“Di sini kita bisa lihat jumlah kehadiran masing – masing pegawai, terus di…” Alisnya tebal…tidak seperti alisku tipis…

“Data – data kehadiran pegawai ini jadi terhubung ke…” Matanya....hitam kecoklatan seperti orang – orang Asia lainnya…Ada sedikit kantung mata….Mungkin Om John sering kurang tidur sepertiku…

“Program yang ini didesain buat menghitung gaji karyawan yang tadi sudah dihitung itu ke…” Bibirnya tidak terlalu merah…Mungkin mendekati merah muda….Rasanya Om John bukan seorang perokok. Aku tidak pernah melihat dia merokok…

“Jadi, tinggal kita klik ke tab ini, tapi yang jelas kita mesti pastikan dulu kalau…” Wajahnya terlihat tidak terlalu halus. Wajarlah, hampir semua laki – laki begitu…

“Dari sini, kita bisa langsung ke….” Harum….Aroma parfum yang sama ketika aku pertama kali datang ke rumahnya….Wangi yang entah kenapa sangat kusuka…Maskulin, tapi tidak berlebihan…

“Oke, jadi terakhir tinggal kita klik di sini terus tinggal…” Dia….

“Nah sudah selesai Den…Gimana??” …..

“Den??” ….tampan…..

“Den???” ….Ya…dia memang tampan….sangat tampan dan….

“Den!” Jantungku serasa langsung turun dari dada ke perutku…Ya ampun….??? Apa saja yang kupikirkan tadi….??????????????????????

Bisa kudengar Om John dan Cindy sedang berbincang – bincang dan tertawa – tawa kecil….
Mungkin Cindy sedang bercerita tentang sekolahnya hari ini, atau gurunya yang konyol hari ini…. Atau…

“Eh, Kak Den! Um….Kakak kenapa???” Cindy membuyarkan lamunanku…….

…..Aku yakin 1000% mukaku pasti seperti orang bodoh tadi. Melamun tanpa sebab…Sebenarnya ada sebabnya, tapi….

Aku hanya tersenyum tanpa berbicara apa – apa ke arah Cindy yang sedang duduk di seberangku. Aku sedikit melirik ke arah….

…..Ya ampun! Dia tersenyum lagi ke arahku…. Ini sudah yang ke berapa hari ini??? Rasanya aku menjadi orang paling bodoh jika dilihat dengan senyuman seperti itu….

“Um….kakak gak apa – apa kok Cin… Cuma sedikit capek aja hari ini mungkin….” Aku menjawab sekenanya saja… Untunglah Cindy kelihatannya tidak bertanya lebih jauh lagi.

“Den….” Ah….suara yang entah kenapa akhir – akhir ini selalu membuatku salah tingkah kembali terdengar olehku…

“Y….ya Om….?” Suara Om John… Dalam, rendah, berat, dan….keren…. mungkin???

“Gimana tadi?? Kamu uda jelas semua??” Om John akhirnya bertanya sesuatu yang bisa kujawab.

“Oh….um…lumayan Om. Sudah lumayan jelas. Paling nggak saya uda dapet gambaran keseluruhan buat bahan analisis saya…” Aku mengangguk sedikit. Dipikir – pikir lagi, sebenarnya tidak juga…

“Eh eh Kak! Sebenernya tadi kakak sama papa ngapain aja???” Cindy bertanya kepadaku. Ngapain aja….???

“Cuma tanya – tanya sedikit tentang keadaan kantor kok Cin.” Aku menjawab kembali dengan sekenanya saja. Kuambil gelas yang berisikan air putih yang ada di kananku, lalu kuteguk sedikit…

“Eh ya, Kak! Hari ini Cindy gak ada PR. Abis ini, Kakak ke rumah aja. Maen – maen….” Cindy kelihatan sangat senang. Hm….bisa saja sih. Tapi artinya aku gaji buta lagi dong….????

“Iya Den. Abis makan, kamu ke rumah aja, maen – maen sama Cindy. Nanti pulangnya saya anterin aja…” Om John sekarang yang “memberikan perintah”. Yang artinya, tidak mungkin kutolak…

“Oh…ya uda Om…” Aku menjawab, sambil melirik ke arah mas – mas pelayan berbaju rapi yang kelihatannya membawakan pesanan kami tadi…

Oya, aku belum bilang yah di mana aku sekarang??
Kebetulan seusai di kantor tadi, aku “kembali” ditraktir untuk ke sekian kalinya oleh Om John. Aku diajak makan malam di sebuah rumah makan yang dekat sekali dengan kostanku, jadi sebelum ke sini, aku taruh dulu sepedaku di kostku. Dipikir – pikir, aku sudah beberapa kali ditraktir seperti ini, jadi aku sempat menolak tadi. Tapi, karena Om John memaksa jadi aku terima saja…
Jadi kelihatannya, aku akan ke rumah Cindy sehabis makan ini. Parahnya bukan untuk memberikan pengajaran, tapi untuk menemani Cindy bermain. Hm…mungkin anggap saja itu bagian dari pekerjaan…

…………...
…………...
……………
…………...

“Hayo Cindy, uda malem loh…Kamu tidur yah sekarang…” Om John memegang kedua pundak Cindy dari belakang. Wajahnya tersenyum… Um…entah kenapa akhir – akhir ini, tepatnya beberapa jam yang lalu aku sering sekali mempehatikan senyum Om John…

Kenapa ya….???

…..”Iya, pa. Cindy juga uda ngantuk…” Cindy terlihat menguap cukup lebar, lalu mengusap – usap matanya yang sekarang kelihatan sedikit berair. Kelihatannya Cindy benar – benar mengantuk. Yah…mungkin dia kecapekan. Pulang sekolah, dia langsung di ajak Om John ke kantor, lalu sepulang ke rumah ini Cindy langsung mengajakku ngobrol di ruang tamu tempat biasa aku mengajarnya sampai jam segini. Ngomong – ngomong, aku juga tidak tahu sekarang jam berapa. Tapi, bisa kupastikan mungkin sudah melewati jam 9 malam.

“Den….Bisa tolong kamu anterin Cindy ke atas?” Om John sekarang tersenyum padaku.

“Oh ya Om. Yuk, Cin…” Cindy menggandeng tangan kananku, lalu perlahan aku menuntunnya ke lantai atas. Cindy terlihat sudah sangat mengantuk. Aku menuntunnya menaiki satu persatu anak tangga ke lantai atas dengan perlahan.

Sesampainya di atas, seperti biasa sudah terpampang piano yang waktu itu aku mainkan satu pintu di kiri dan kanan. Um….yang mana kamarnya Cindy ya?? Aku tidak pernah tahu yang mana itu…

“Cin, kamar kamu yang mana??” Aku bertanya kepada Cindy dan bisa kurasakan dia sedikit menarikku ke arah kanan. Oh, ternyata kamarnya yang ada di sebelah kanan…

Aku membuka pintunya. Kebetulan tidak terkunci, dan….

Gelap….Gelap sekali….Aku hampir tidak bisa melihat apa pun. Terpaksa pintu kamar Cindy kubuka sedikit lebih lebar lagi agar paling tidak ada sedikit cahaya yang masuk…Ah…bisa kulihat samar – samar bayangan persegi yang ada di sisi kiri dinding kamar Cindy. Pasti itu tombol lampunya…

Kutekan saja dan….

…..Inikah kamar Cindy………….?

“Kak….Cindy gosok gigi dulu ya…” Aku melihat ke arah wajahnya dan mengangguk sambil tersenyum mengiyakan. Cindy melepaskan gandengannya dan pergi ke arah pintu yang ada di pojok kanan kamar. Kelihatannya itu kamar mandi…

Cindy pergi ke arah dalam lalu menutup pintu kamar mandinya. Aku menutup pintu kamar dan….

Wah….kamar Cindy bisa kupastikan dengan sangat akurat lebih besar dari kamarku. Mungkin hampir satu setengah kalinya…

Dindingnya kebetulan dicat putih, sama seperti kamar kostku. Di tengah – tengah ruangan ada spring bed berukuran sedang yang hanya cukup ditiduri oleh satu orang dilapisi sprei bergambar Pikachu. Hm…Apa Cindy menyukai pokemon?? Haha…

Di seberang ranjangnya ada meja belajar yang hm…sedikit berantakan….mungkin besarnya sama dengan meja belajar di kamarku. Standard lah ukuran segitu…. Kuambil sebuah remote AC yang ada di atas meja itu, lalu kutekan tombol ON dengan mengarahkannya ke AC yang berada di sebelah kanan tombol lampu tadi… TIIT…. Kelihatannya AC nya sudah menyala. 200 C….Tidak terlalu dingin lah….

Kuletakkan remote kembali di atas meja, lalu kembali mengamati meja belajarnya. Hm….lampu meja, beberapa buku sekolah, dan… hm….bingkai foto???

Kuambil bingkai foto itu lalu kuamati sejenak…Cindy dan Om John….Cindy tersenyum mengenakan baju terusan berwarna merah muda dan Om John berlutut memegang pundak Cindy. Mereka berdua tersenyum…Aku teringat…Cindy sampai sekarang belum pernah sekalipun bertemu dengan mamanya…

……Kasihan sekali Cindy….Seandainya saja ada seseorang yang bisa menggantikan mamanya….

……………………..
……………………..
……………………..

“Makasih ya Om, uda nganterin saya…” Aku tersenyum melihat Om John yang duduk di sebelah kananku. Sesuai janjinya, Om John mengantarku pulang ke kostanku dengan mobilnya…

“Ya, sama – sama Den…” Om John membalas senyumanku….Lagi….Senyuman yang entah kenapa membuatku….

“Kalo gitu saya pulang dulu ya Om…” Aku mengangguk, lalu melepaskan seat belt ku….

Tiba – tiba….

Kurasakan tangan Om John….memegang tangan kananku….DEG! Kembali jantungku berdegup….seperti di kantor tadi….

……….Om John…hanya menatapku….Tangannya masih memegang tanganku dengan erat…..Erat….tapi tidak mencengkramnya….

………Rasanya tanganku jadi berkeringat……Detak jantungku sudah mendekati kata “tidak beraturan”…

………..”A….a….ada….apa ya….Om….?” Kuberanikan diri untuk bertanya padanya. Pertama, aku bisa mati duduk jika keadaan ini dilanjutkan. Kedua….aku tidak ingin Om John tahu kalau aku bisa mati duduk jika keadaan ini dilanjutkan.

…..”Eh….ma….maaf Den…..” Om John tiba – tiba melepas pegangannya lalu mengalihkan tatapannya ke arah depan. Eh tunggu, tunggu….. Jangan bilang tadi Om John bengong memperhatikan aku….

……Oke, lebih baik ku sudahi percapakan ini secepatnya….

“Ya….gapapa Om. Saya pulang dulu ya Om…” Aku tersenyum, lalu bergegas membuka pintu mobil….

Sebelum aku menutupnya kembali, aku melambaikan tanganku ke arah Om John yang lalu membalas lambaian tanganku. Pintu mobil kututup dan mobil Om John pun melaju menjauh….

…..Aku melihat mobil Om John yang semakin menjauh ke arah depan sambil tersenyum…. Senyum yang masih belum ku tahu karena apa….

>>>>bersambung....

sumber: http://gayindo.forumotion.net/t18686p126-om-john-cinta-pertamaku

Paling Populer Selama Ini