5/24/2011

Om John, cinta pertamaku - bag. I

Oke cerita ini bermula dari kuliahku yang sudah memasuki semester 8 alias ud semester akhir dan sebentar lagi bakal memasuki sidang akhir. Dag dig duer gimana gitu. Mulai dari bimbingan dengan dosen yang killer, trus cerewet, banyak maunya, susah deh pokoknya. Nah karena mata kuliah skripsi kebetulan hanya 6 sks, jadi dalam seminggu cuma mentok - mentok masuk buat bimbingan aja, dan latihan sidang dsb, dll, dst. Waktu luang menjadi lebih banyak dan disitulah aku mulai mencari - cari pekerjaan. Jujur walopun masuk jurusan teknik informatika, tetapi aku sebenarnya tidak begitu menyukai hal - hal yang berhubungan tentang komputer, jadi bisa dibilang salah jurusan gitu. Tapi apa daya, akhirnya jalan juga selama 4 tahun, dan tahu - tahu sekarang uda mau skripsi kelulusan. Jadi akhirnya aku lebih memilih menjadi guru privat dulu (walopun pada semester - semester awal juga uda, tapi gak bertahan lama karena jadwal kuliah sangat padat). Kebetulan pada saat semester 8 ini, waktu luang lebih banyak jadi bisa jadi guru privat full selama satu semester kedepan, dan untunglah setelah mencari - cari akhirnya dapet juga anak privat yang bertempat tinggal di perumahan dekat kosan aku.

Inilah kisah awalnya....

Malem minggu. Di tengah - tengah lagi asiknya ngetik (tepatnya stress) bikin latar belakang buat skripsi, tiba - tiba terdengar dering handphone nokia 6120 yang aku letakkan di meja sebelah laptop yang lagi kugunakan sekarang. "Siapa ya??? Tumben malem - malem gini ada yang nelpon...Perasaan mama baru telpon deh tadi...", pikirku.
Sejenak aku lihat nomornya, ternyata nomor tidak dikenal.

"Hmmm siapa ya??? Angkat aja ah siapa tau temen...", sambil begitu aku menekan tombol untuk mengangkat handphone, dan di seberang sana terdengar suara laki - laki.

"Halo, dengan mas dennis??", tanya laki - laki tersebut.

"Ya betul, saya sendiri. Dengan siapa ya pak???", tanyaku penasaran.

"Oh, ini dengan John, mas. Begini, jadi saya denger - denger kalo mas terima privat buat kelas 3 SD. Kebetulan anak saya kelas 3 SD, pikir mau les privat aja gitu ama mas. Bisa gak mas kira - kira??" tanya laki - laki yang ternyata bernama Om John itu.

"Oh bisa pak, bisa! Kebetulan saya semester ini banyak waktu luang, jadi bisa kasih privat buat anak bapak. Jadi saya ada jadwal kosong hari senin, selasa, rabu, dan jumat. Jam berapa pun saya bisa antara hari - hari itu. Bapak juga bisa milih seminggu mau berapa kali. Bayarannya nanti tinggal disesuaikan aja." jawabku memberi penjelasan sejelas - jelasnya.

"Oh kalo gitu saya pilih seminggu 2 kali aja. Kalo kebanyakan, takutnya juga anak saya terlalu lelah nanti." jawab Om John. Wah ini bapak perhatian banget ya sama anaknya, pikirku. Soalnya pengalaman sih, kebanyakan orang tua langsung aja gitu menjejalkan anaknya seminggu full privat dari senin sampe jumat. Dipikir - pikir kasihan juga anaknya terlalu banyak belajar. Nanti malahan jadi stress dan berakibat buruk buat anaknya.

"Jadi mungkin saya ambil yang hari senin sama jumat aja. Kira - kira jam 5 sampe jam 7 sore bisa mas??" tanya om John.

"Bisa pak, bisa kok. Jadi bapak sama anak bapak tinggal di mana???" tanyaku

"Saya ada di cluster opal, blok B, nomor 3A", jawabnya. Oh ternyata di opal toh. Wah lumayan jauh juga tuh kalo jalan kaki, pikirku. Tapi ya, berhubung peluang dapet duit ud di tangan, ya uda disabet aja. Lagipula gak baik nolak rejeki.

"Ok pak. Jadi kapan mau mulai pak? Kebetulan ini hari sabtu. Bapak mau mulai senin besok?" tanyaku.

"Oh kalo gitu boleh deh mas. Jadi mas langsung aja ya ke alamat tadi jam 5 sorean. Ini no Hp saya. Kalo ada sesuatu, mas telepon ke nomor ini saja". jawab om John.

"Ok pak. Hari senin besok, jam 5 sore saya ke rumah bapak buat bicara lebih lanjut ya." jawabku senang, karena akhirnya ada juga kerjaan lagi yang mungkin bisa membantu meringankan pikiran yang letih dan stress membuat skripsi yang sangat tidak jelas ini.

"Baik mas dennis. Terima kasih ya. Selamat malam..." jawab om John seraya mengakhiri pembicaraan.

"Sama - sama pak. Selamat malam..." balasku sambil menutup handphoneku kembali.

Oke jadi aku dapet privat lagi. Pikiran mulai segar lagi karena akhirnya bisa dapat tambahan uang saku lagi semenjak kerja magang terakhir di semester 7. Dengan semangat 45 yang sudah mulai berkobar lagi, aku mulai mengetik kata - kata lagi untuk latar belakang skripsiku...

Tik..Tik..Tik...Tik.... Bunyi keyboard yang diketik terus saja berdengung di kamar kos ku. Maklum karena sering mengetik akibat jurusan yang mengharuskan banyak mengetik ini, kecepatan mengetik ku bisa dikatakan lumayan cepat. Sudah sekitar 2 jam aku berkutat dengan bagian latar belakang skripsiku. Grrr!! Kesal banget rasanya 2 jam cuma nyelesaiin bagian ini aja susah banget rasanya.

Tiba - tiba laptop ku berbunyi, tanda ada seseorang yang memulai chatting denganku. Maklum sambil ngerjain skripsi, aku online facebook dengan menggunakan modem.

Kucoba membuka facebook yang sudah kutinggal diam selama 2 jam tersebut, dan coba melihat siapa yang ingin chatting denganku. Oh...Ternyata si David, teman satu jurusanku toh.

"Eh, den, gila lu sampe jem segini masih melek aja. Mentang - mentang malming. wwkwk XD" demikian yang tertulis di layar chat facebook yang terkenal kecil itu

"Gak nih lagi ngerjain latar belakang skripsi g. Buset dah. Bikin latar belakang aja mpe 2 jem lebih gak kelar2 coba deh. Bikin kesel. T.T", itu yang kutulis sebagai jawabannya

"Iya nih skripsi bikin stress. Jangankan latar belakang, topik skripsi g aja masih ngegantung kata dosennys -_-', balas David. Hahaha, ternyata ada yang lebih parah dari aku.

"Hahaha, lu sih bikin topik susah banget. Yang gampang2 aja lah, yang penting jadi. wkwkwk", jawabku lega karena ternyata ada teman sependeritaan.

"Wkwkwk. Tau ah. Coba hari senen gua ajuin lagi. Eh ngomong2 katanya u cari anak privat ya?? Uda dapet blom tu??" tanyanya.

"Uda kok vid, baru aja ada yang nelpon gua minta privatin anaknya. Di cluster opal. 2 kali seminggu. Bayarannya sih belum diomongin. Nih senen ini gua mau ke rumah anak itu." jawabku sekenanya.

"Wah uda dapet ya. wkwkwk. Ntar kalo gajian, traktir gua ya kayak biasa. wkwkwk XD", jawab David. Emang ya, urusan traktir aja langsung tanpa malu2 diungkapkan. Hahaha, dasar David.

"Ok2. Tenang aja. wkwkwk", jawabku sambil melihat jam meja yang terletak di dekat laptopku yang ternyata sudah hampir menunjukkan jam 12 malam.

"Eh vid, g off dulu ya. Gila ud jem 12. Ntar mata gua makin kayak panda nih kalo gak cepet2 tidur. wkwkwk", jawabku sambil menguap. Wah ternyata aku memang sudah mengantuk.

"Ok2 den.", jawab david seraya aku mengclose facebook dan mendisconnet modem yang kupakai sekarang.

"Gila uda jem 12 aja. Tidur ah..." pikirku dalam hati. Memang aku terkenal akan lingkaran hitam dekat mataku yang katanya mirip banget sama mata panda. Ya apa daya, karena sering begadang, entah ngerjain tugas, chatting, ato nonton TV yang ada di kamar kosku.

Setelah aku mengesave latar belakang skripsiku yang kira - kira hampir selesai, aku menshut down laptopku, melipatnya, memasukkannya ke tas laptop, lalu memasukkannya ke lemari. Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk menyikat gigi, dan setelah selesai, aku mematikan lampu kamar kosku dan naik ke ranjang spring bed yang ada sisi seberang meja belajarku.

Sejenak sebelum menutup mata, aku kembali berpikir tentang tawaran dari om John tadi. Jujur ada perasaan was - was soalnya sudah beberapa kali aku memberika les privat sebelumnya, pernah ada kejadian yang tidak mengenakkan, entah bayarannya tidak sesuai, murid privat yang terlalu susah diatur, bahkan sampai dimarahi orang tua murid privatku karena melalaikan tugas mengajar privatku dan dianggap tidak sukses mengajar anak - anak mereka. Hhh...ya apa daya aku hanya bisa menerima saja saat hal - hal tersebut terjadi. Aku merasa khawatir akan menemui hal - hal itu lagi di tempat aku akan mengajar ini.

Tapi percuma mengkhawatirkannya sekarang. Lebih baik hari senin besok, aku ke rumah tersebut dan membicarakan semuanya agar lebih jelas. Sambil memeluk guling dan memutar badan ke arah kiri, aku mulai menutup mata dan mengakhiri malam minggu itu seperti biasanya...

Dingin....Begitu yang kurasakan saat perlahan membuka kedua mataku. Tampaknya aku langsung terlelap begitu naik ke tempat tidurku tadi malam sampai pagi ini. Kuangkat sedikit badanku lalu mengusap - usap kedua mataku dengan tangan kananku dan mencoba melihat jam yang ada di meja dekat tempat tidurku. Sudah jam 7 pagi. Sejenak kulihat keluar jendela yang terletak di sisi kanan tempat tidurku. Berembun...Ternyata pagi ini hujan turun rintik - rintik. Mungkin dari subuh tadi karena jendelanya sampai berembun. Hawa yang cukup dingin pagi membuatku melipat tangan untuk sedikit menghangatkan tubuh.

Aku berpikir hari ini akan menjadi hari minggu biasa yang hampir sama setiap kali kulewati semenjak memasuki kehidupan perkostan saat aku memasuki masa kuliah. Bangun pagi, membersihkan kamar kos yang sudah cukup berdebu di sana - sini, online melalui laptop sampai sore, kemudian mengerjakan tugas sampai malam sendirian. Terkadang pula aku pergi ke pasar yang terletak dekat mall yang ada di dekat kostan ku untuk membeli sayur - sayuran yang akan kumasak buat makan siang dan makan malam. Memang hari sabtu dan minggu bisa menjadi hari yang sangat baik untuk melakukan eksperimen - eksperimen atau hanya sekedar bermalas - malasan sepanjang hari. Sambil membayangkan rencanaku hari ini, aku bergegas ke kamar mandi untuk menyikat gigi kemudian bersiap untuk menyingkirkan debu - debu yang membekas di dalam kamar kostku.

Kegiatan - kegiatan rutin hari minggu kulakukan dengan semangat sampai jam di kamarku menunjukkan pukul 10 siang. Hujan masih turun rintik - rintik dan kelihatannya sedikit menjadi lebih deras. Biasanya aku melewati sarapan saat hari sabtu minggu, pertama untuk menghemat dan kedua karena tidak begitu banyak energi yang akan kupakai selama hari sabtu minggu tidak seperti hari - hari kuliah dari senin sampai jumat. Karena kamar kostku sudah cukup bersih, aku mengambil handukku yang kebetulan tergantung di beranda depan kamar kostku untuk mandi pagi. Untuk saja handuk itu tidak basah karena hujan sepanjang pagi itu. Kalo ternyata basah, aku berani bertaruh aku tidak akan mandi untuk pagi itu. Setelah mendapati handuk itu dan menaruhnya memanjang di pundakku, aku beranjak ke kamar mandi yang kebetulan milik bersama yang ada di luar kamar kostku. Pada hari - hari biasa ataupun hari libur, rata - rata kamar mandi tersebut kosong. Walaupun ada 3 kamar mandi berbeda, hanya satu kamar mandi ini yang lebih banyak digunakan oleh para penghuni kamar kost satu lantai denganku. Mungkin karena satu kamar mandi lebih digunakan oleh mbak penjaga kostku dan satu lagi tidak ada gantungan bajunya. Hmmm....memang ada saja keunikkan di setiap tempat kost dan mungkin keunikkan lainnya di tempat kostku adalah mondar - mandir. Di lantai tempat kamar kostku berada, hanya aku yang mampu bertahan selama 3 setengah tahun di kamar dan tempat yang sama. Bisa dibilang aku adalah senior di lantai 3, tempat kamar kostku berada. Tidak ada satupun penghuni yang mampu bertahan di lantai tersebut lebih dari 3 bulan. Bahkan waktu itu ada yang hanya beberapa hari saja. Padahal tidak ada yang angker ataupun hal lain semacam itu, tapi aku hanya bisa menerima saja. Hanya saja karena sekarang hanya ada 3 orang penghuni di lantai 3 ini, terkadang aku merasa kesepian. Hahaha tapi sebenarnya hal itu tidak terasa lagi, karena mungkin aku pun akan pindah setelah aku meluluskan kuliah S1 ku disini, tepatnya pulang ke kampung halaman. Sambil kembali mengingat hal - hal unik tersebut dan perasaan sedih akan berpisah dengan tempat ini sebentar lagi, aku langsung menuju ke kamar mandi.

Suara air yang mengalir dari keran dan jatuh ke bak penampungan air sudah cukup memenuhi kamar mandi sempit tempat aku membersihkan diri. Sambil mengambil satu gayung penuh air kemudian mengguyurnya dari atas kepalaku, aku berpikir tentang rencana ku hari minggu ini.

Mengerjakan skripsi seharian penuh ini bukan ide utama yang muncul di benakku. Aku tidak berani membayangkan seharian penuh memeras otakku hanya untuk memikirkan dan memenuhi lembar demi lembar skripsi ku dengan kata – kata yang menarik. Online seharian penuh juga bukan ide yang bagus, apalagi aku ingat hari ini pulsaku untuk memakai modem akan habis dan aku belum membeli voucher isi ulangnya. Lagipula biasanya aku juga malas online seharian penuh di depan komputer yang bisa membuat mata sakit. Jadi…

Kumatikan keran air dan mengambil handukku yang kugantung di gantungan yang ada dalam kamar mandi. Sudah kuputuskan nanti siang aku akan membeli bahan – bahan makanan di mall untuk makan malam saja. Kebetulan mall terletak di dekat kostku dan hujan – hujan begini bukan ide yang bagus untuk pergi ke pasar, apalagi hari sudah menjelang siang seperti ini. Memang pasar ada di dekat mall dan sudah menjadi pasar modern yang tidak becek seperti pasar – pasar tradisional yang lain. Tapi aku juga sedang tidak ingin memeras otak dan menghabiskan tenagaku untuk menarik urat suara menawar harga di sana – sini dengan para penjual sayur yang terkadang bisa lebih keras kepala bahkan daripada dosenku yang killer sekalipun. Jadi belanja sayur di mall adalah pilihan yang paling tepat untuk hari minggu hujan rintik – rintik… atau tepatnya hujan yang mulai deras ini…

Jadi segera sehabis aku memakai pakaianku, aku keluar dari kamar mandi dan menjemur handukku di tali jemuran yang terbentang di beranda lantai kamar kostku. Kumasukkan sedikit ke dalam agar tidak terkena air hujan yang kelihatannya semakin deras ini. Aku sedikit heran kenapa hujan hari ini bisa awet turun dari tadi pagi. Aku hanya berharap di lingkungan sini tidak terjadi banjir seperti di Jakarta. Seingatku di lingkungan tempat kostku tidak pernah terjadi banjir besar. Hanya saja sudah beberapa kali air menggenang cukup tinggi hingga mata kaki di beberapa daerah di lingkungan sini.

Aku memasuki kamar kostku yang kukunci saat aku ke kamar mandi tadi. Aku segera mengambil ransel yang biasanya kubawa ke kampus saat kuliah untuk kubawa ke mall. Menurutku, ransel itu bisa menjadi kantong doraemon yang sangat praktis, entah untuk menyimpan dompet, ponsel, laptop, atau barang belanjaan dari mall. Semuanya tinggal diletakkan di dalam ransel dan dibawa sekaligus. Walaupun hanya untuk pergi ke mall untuk hangout dengan teman – teman kuliahku, aku tetap membawa ransel. Ya… mungkin bisa dihitung sebagai bagian dari gayaku saat bepergian.

Setelah memastikan semua perlengkapanku telah dimasukkan ke dalam ransel, aku keluar dari kamar kostku lalu menguncinya dengan ransel sudah berada di pundakku. Aku mengenakan sandal santaiku dan turun ke lantai bawah sampai tiba – tiba aku dikejutkan oleh kilatan petir yang sangat silau dan singkat, dibarengi dengan bunyi guntur yang sempat membuatku tersentak sambil menutup mata. Hmmm… mungkin hari ini akan menjadi hari yang menarik, pikirku…

“Silakan Pak!” terlihat pelayan wanita yang memakai seragam biru khas ala Hoka – Hoka Bento itu mempersilakan pengunjung berikutnya untuk membayar pesanannya.

Kusempatkan diriku melihat – lihat menu yang tertulis di dinding bagian atas tempat counter kasir. Terlihat antrian masih panjang dari tempatku berdiri, jadi kupikir melihat menu – menu yang ada bisa menjadi pengisi waktu yang cukup bagus sambil menunggu giliranku membayar pesanan. Aku sendiri sudah memesan menu andalanku setiap kali aku makan di Hoka – Hoka Bento yaitu Hoka Hemat 2 yang terdiri dari 2 ekkado (gorengan campuran telur dan ayam) serta 1 tori baaga (potongan dada ayam olahan yang digoreng) seharga 12.000 rupiah. Ya…memang hanya menu satu ini yang paling sesuai dengan budget ku sebagai anak kost. Rasanya aku hanya bisa melihat satu – persatu menu lain yang ditulis dan membayangkan bagaimana rasanya…

Kira – kira 5 menit aku berdiri di antrian, akhirnya tiba juga giliranku untuk membayar pesanan. Hmm…jadi untuk hari ini aku hanya memesan tepatnya memesan seperti biasanya paket Hoka Hemat 2.

“Ini aja, Mas? Minumnya apa?” tanya wanita kasir sambil mengetikkan kode pesanan yang kemudian tertulis di layar kecil mesin kasir tersebut sebesar “12000”.

“Minumnya gak usah Mbak, ini aja”, jawabku singkat. Biasanya aku memang tidak pernah membeli minum di sini karena terlalu mahal. Jadi aku selalu membawa botol minum sendiri dari kostku untuk kuminum sendiri seusai makan.

“Jadi semuanya 12000…”, jawab wanita kasir tersebut.

“Sebentar ya Mbak…” jawabku sambil membuka resleting ranselku dengan sebelumnya menahannya di pundak kanan, kucari – cari dompetku, dan kukeluarkan dari dalam ranselku.

“Mbak, um…saya pesan minumnya deh…” ternyata aku lupa membawa minum. Ya ampun! Pasti beli minum di sini mahal banget, tapi ya aku juga tidak mau menahan tenggorokanku yang sudah pasti akan seret sehabis makan nanti.

“Mau pesan minuman yang mana mas?” tanya petugas kasir itu lagi sambil kulirik sedikit kulkas pendingin yang memang ada di belakang petugas kasir tersebut. Pastinya agar minuman bisa langsung diberikan dan pengunjung bisa melihat – lihat minuman apa saja yang ada di dalamnya.

Kulihat sejenak ada sebotol Minute Maid Orange yang kelihatannya tinggal satu di dalam kulkas itu karena aku bisa melihatnya seperti sedikit terasing dari minuman lain dan tidak ada kawan – kawan botol Minute Maid lainnya di sekitarnya. Kulihat daftar minuman yang ada di dinding tempat menu makanan terpampang, dan kutaksir harganya sekitar 5500 rupiah. Hmmm…kalau dibeli dari supermarket kalau tidak salah sekitar 4000 rupiah jadi kupikir harganya bisa cukup ditoleransi di sini. Apalagi di sini sudah dalam keadaan dingin, jadi pasti lebih enak untuk diminum.

“Minute Maid nya satu deh Mbak”, jawabku setelah yakin memilih Minute Maid sebagai pemenang minuman makan siangku kali ini.

Wanita kasir tersebut membuka kulkas di belakangnya dan mengambil satu botol Minute Maid yang kulihat tadi. Kelihatannya memang tinggal satu karena kulihat ruang di rak tempat Minute Maid tersebut kelihatan bolong saat Minute Maid itu diambil.

“Jadi semuanya 17500 rupiah, Mas…” sambil petugas kasir kembali mengetikkan kode yang aku tidak tahu berapa dan terlihat angka “17500” di layar mesin kasir.

Segera saja aku membuka lipatan dompetku dan mengambil selembar uang 20 ribuan, lalu kuberikan kepadanya.

“Jadi kembalinya 2500…” kembali petugas kasir tersebut mengetikkan hal – hal yang harus diketik di mesin kasir tersebut dan kemudian memberikanku uang kembalian berupa 2 lembar seribuan dan 1 keping uang 500an. Kuambil uang itu lalu aku mengucapkan terima kasih dan cepat – cepat membuka dompetku kembali untuk memasukkan uang itu. Aku tidak mau orang di belakangku menunggu terlalu lama untuk membayar pesanan mereka…

Tapi ada pepatah Inggris mengatakan bahwa “Haste Make Waste”, dan itulah yang terjadi ketika aku membuka dompet. Ada ruang khusus di dompetku yang kugunakan untuk menyimpan uang receh dan karena terlalu terburu – buru, dompetku kupegang terlalu miring dengan ruang tersebut terbuka sehingga uang – uang receh yang ada di dalamnya berhamburan keluar dan jatuh ke lantai menimbulkan suara berisik yang cukup membuat beberapa orang di antrian sempat memalingkan penglihatan mereka ke arahku.

Untunglah tidak banyak uang receh di dalam dompetku. Hanya 2 keping 500an, 1 keping 200an, dan 2 keping 100an. Tapi jika aku memungutnya satu persatu dengan posisiku masih di antrian terdepan kasir sekarang, tidak diragukan lagi aku akan dipelototi dengan pandangan kesal orang – orang yang sedang mengantri di belakang. Untungnya ada pilar kecil seperti pemisah antara antrian Hokben dengan lantai tempat para pengunjung mall berjalan, jadi kuletakkan saja nampan yang sudah lengkap dengan Hoka Hemat 2 dan Minute Maid beserta sumpit dan tisu di atas sana sambil aku sedikit ke depan untuk memberi kesempatan pada pengantri berikutnya untuk membayar.

Saat aku hendak memungut uang logam terakhir, terdengar suara anak kecil. Sepertinya perempuan. Mungkin pengantri berikutnya setelah aku.

“Yah pa…Minute Maidnya uda abis…”, katanya dengan suara yang walaupun aku tidak melihat wajahnya, aku tahu dari nada bicaranya anak itu terdengar sedih…

“Oh abis ya…Ya udah sayang… Pesen minuman yang laen aja ya…” kali ini suara laki – laki, tapi bisa kupastikan yang ini sudah dewasa . Mungkin papanya…

“Ya uda deh pa…” kembali anak itu menjawab. Saat itu aku sudah melipat dompetku dan memasukkannya kembali ke dalam tasku. Kubalikkan badan dan kulihat seorang anak perempuan kecil dengan papanya sedang membayar pesanan. Spontan tiba – tiba aku angkat bicara…

“Adek,. Minute Maid kakak buat adek aja deh…” sambil aku menyodorkan Minute Maid yang tadi ada di nampanku yang masih ada di pilar itu ke anak itu. Kulihat anak itu hanya tersenyum malu…

“Eh mas gak usah… Biar kami pesen minum yang lain aja. Gak apa – apa kok…” papanya yang menjawab. Mungkin dia tahu putrinya malu untuk menjawab.

“Oh gak apa – apa kok Pak. Saya uda bawa minum juga kok” aku membalas sambil tersenyum, lalu kulihat kembali anak itu. Ia tetap tersenyum malu dan kulihat ia menunduk sedikit. Hehehe kelakuan anak kecil yang malu – malu terkadang memang bikin aku gemes…

“Aduh saya jadi gak enak lo Mas. Saya beli dari Mas aja ya??” sambil terlihat papanya merogoh saku belakang celananya untuk mengambil dompet.

“Eh uda Pak gak usah kok!” jawabku cepat. Aku benar – benar tak enak jika harus menerima uang itu.

“Wah….Kalo gitu makasih banyak ya Mas! Ayo Cindy, bilang apa sama kakak??” papanya terlihat mengelus – ngelus kepala anaknya yang ternyata bernama Cindy itu sambil anak itu menerima Minute Maid yang kuberikan padanya.

“Makasih ya Kak!” sekarang anak itu terlihat tersenyum gembira.

“Ya sama – sama adek!” sambil aku mengambil nampanku, menunduk permisi terhadap papanya, dan menuju tempat makan yang ada di sisi kiri daerah antrian…

Aku menelurusi lorong yang cukup panjang di supermarket mall itu. Di samping kiri dan kananku terlihat rak – rak yang sedikit lebih tinggi dariku berisikan penuh dengan bahan – bahan bumbu dapur. Aku sadar bahwa aku sudah kehabisan garam untuk bumbu makan malamku hari ini. Memang biasanya untuk makan malam, aku hanya menggunakan bumbu – bumbu yang standar. Garam, gula, lada, dan bawang putih yang dicacah terkadang pula aku tambahkan ketika aku hendak menumis sayur – sayuran. Aku hampir tidak pernah menggunakan vetsin. Bukan karena aku menganggapnya berbahaya bagi tubuh atau apa, tapi aku hanya ingin berlatih menggunakan bumbu – bumbu standar agar kelak mampu membuat masakan yang benar – benar enak. Malah sempat terpikir beberapa kali di pikiranku untuk membuka usaha rumah makan sederhana di tempat tinggalku seusai aku lulus nanti. Tentu saja modalnya sebisa mungkin dari penghasilanku selama kuliah ini dengan sedikit tambahan dari orang tuaku.

Aku menemukan garam meja yang biasanya kugunakan di tempat rak yang biasanya. Terkadang aku berpikir kok bisa ya supermarket menyediakan semua bahan kebutuhan hidup dalam satu tempat secara lengkap seperti ini? Bagaimana alokasi modalnya? Bagaimana menghitung profitnya secara jelas? Apakah satu persatu barang atau per kategori? Apakah mereka membelinya dari satu supplier saja atau banyak? Bagaimana pertimbangannya? Promosinya? Aduh…mulai deh pikiran aku menerawang ke hal – hal rumit yang sebenarnya tidak begitu penting untuk dipikirkan. Terkadang dari urusan membeli garam, pikiranku bisa ngelantur ke sistem hukum Indonesia, entah dari hal mana aku menghubungkannya…

Pokoknya aku ke sini untuk membeli 3 barang: garam, sayur, dan buah. Dengan tetap berpegang teguh pada tujuanku semula, langsung saja kuambil bungkusan garam tadi dan kumasukkan ke dalam keranjang belanja berwarna hijau yang kuambil saat aku memasuki supermarket ini, lalu aku beranjak ke bagian sayur yang ada di tempat lain yang kebetulan tidak terlalu jauh dari tempatku membeli garam.

Di rak tempat sayuran, sudah tersedia berbagai sayur yang kelihatannya baru saja dipasok karena terlihat masih sangat segar. Sayur favoritku di sini adalah buncis. Pertama karena bisa diambil sendiri dan harganya dihitung dari beratnya. Kedua karena memang aku menyukai buncis. Dua faktor yang sangat kuat untuk membuatku mengambil kantong plastik bening yang tersedia di dekat rak sayur – sayuran untuk mengambil sayur sesuka hati kita.

Kuambil segenggam penuh buncis, sambil kulihat sekilas. Aku tidak begitu mengerti soal sayuran, tetapi yang pasti, sayuran yang segar dan baik adalah yang berwarna hijau dan bersih. Jadi cukup kupastikan saja buncis – buncis yang kuambil berwarna hijau dan bersih dari bercak – bercak coklat yang ada. Aku mengambilnya sekitar 200 gram. Karena sering mengambilnya seperti ini, lama – kelamaan aku bisa memperkirakan dengan cukup tepat seberapa berat sayur yang sudah kuambil.

Setelah selesai, aku pergi ke rak buah – buahan yang terletak di dekat sana. Aku jarang membeli buah, hanya sesekali saja ketika aku cukup mempunyai uang. Aku menyukai buah – buahan, tapi ya…keadaan ekonomi terkadang tidak mengijinkan aku membelinya setiap saat. Paling seminggu sekali aku membeli beberapa buah untuk kemudian dimakan beberapa hari saja. Buah favoritku adalah apel walaupun apel disini tidak terlalu murah.

Kupilih beberapa apel import dari Amerika, atau bukan aku tidak begitu tahu, tapi yang pasti itu apel import. Cukup murah dan cukup manis serta garing ketika digigit. Minggu ini adalah pertengahan Februari, uangku untuk satu bulan ini juga tinggal setengah, jadi kuputuskan juga hanya membeli apel ini setengah dari biasanya yaitu seperempat kilo. Kuambil 3 buah apel merah yang telah kupilih sebelumnya dan kumasukkan ke dalam kantong plastik bening yang sebelumnya sudah kuambil. Tepat saat aku memasukkan apel ketiga ke dalam kantong plastik, Handphone ku berbunyi. Ada seseorang yang memanggil.

Kuletakkan keranjangku yang sudah berisikan sebungkus garam meja, sebungkus buncis, dan sebungkus apel itu ke lantai. Siapa yang menelepon ya?? Biasanya teman – teman kuliahku akan meng-sms daripada menelepon, kecuali kita janjian untuk hang-out. Orang tuaku hampir tidak pernah menelepon siang – siang seperti ini. Jangan – jangan…

Kuambil handphoneku dari dalam saku kanan celanaku lalu kulihat siapa yang menelepon….

Aduh benar kan! Ternyata Pak Dedi, pembimbing skripsiku, Jujur aku sangat tegang ketika Pak Dedi meneleponku. Pasti masalahnya seputar penulisan skripsiku yang kurang di beberapa bagian, atau bahasanya terlalu bertele – tele, atau justru fokus terlalu cepat ke permasalahan, atau bahkan yang paling menyebalkan adalah jadwal bimbingan yang ternyata harus dibatalkan karena beliau ada urusan. Aku harus mengganti seluruh jadwalku seharian hanya karena bimbingan skripsi yang pindah jadwal dengan tiba – tiba. Benar – benar menyebalkan!

Huff…sebenarnya aku malas untuk mengangkatnya, tapi pasti ini menyangkut masa depan skripsi yang juga berarti masa depan kelulusanku tahun ini. Dengan berat hati, aku menekan tombol jawab dan menempelkan handphoneku di telinga kananku. Dengan sebelumnya menarik nafas panjang tentunya karena aku yakin panggilan ini bukan hal yang melegakan.

“Halo, selamat siang Pak! Ada apa ya??” sapaku dengan ekspresi sedikit kesal. Untung kita hanya berbicara lewat telepon, jadi aku tidak perlu takut beliau merasa terusik dengan ekspresiku.

“Siang Den! Jadi begini, hari Kamis nanti saya ada urusan dan takutnya gak bisa ngadain bimbingan buat kamu. Jadi kalo besok saja bisa gak? Kalo gak bisa gak apa – apa juga kok. Jadi kita mulai bimbingan lagi kamis depan aja. Gimana??” tuh kan bener, beliau memajukan jadwal bimbingan nya. Tapi kalo tunggu minggu depan lagi, artinya bagian pendahuluan yang aku susun sekarang harus ditunda seminggu lagi. Padahal hasil analisis di bagian isi harus aku susun dari hasil survey ku setelah bagian pendahuluanku disetujui seluruhnya. Jadi sama saja aku menunda bagian analisisku seminggu. Grrr! Kalau begitu…

“Oh bisa Pak besok. Jam berapa ya, Pak?” aku menyerah. Akhirnya kuturuti saja deh kemauan beliau.

“Saya dari pagi sampai siang ada jadwal mengajar di kelas, jadi kira – kira jam setengah 4 sore bisa?” tanya Pak Dedi.

“Oh bisa Pak bisa kok!” ya ampun sore!!?? Malas banget rasanya..

“Oke, kalau begitu besok setengah 4 sore kamu langsung ke tempat saya saja ya. Besok saya evaluasi bagian pendahuluan kamu, jadi kamu langsung bisa ke bagian analisis dan survey. Thank you!” jawab Pak Dedi.

“Baik Pak, terima kasih ya!” jawabku sambil menutup handphone.

Oke! Hari ini benar – benar menarik tampaknya! Pertama tadi malam aku kurang tidur, dan kedua aku juga harus begadang kembali malam ini untuk menyelesaikan bagian pendahuluan skripsiku yang berarti menyelesaikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Ya ampun..memikirkannya saja sudah membuatku mumet.

Sambil menghela nafas panjang, kuambil keranjang belanjaanku yang tadi kuletakkan di lantai dan cepat – cepat pergi ke kasir. Semoga Tuhan membantuku seharian penuh ini…

Srek….Srek….lembar demi lembar dilihat secara bergantian. Sudah sekitar 5 menit aku hanya diam dengan perasaan tegang dan was – was melihat Pak Dedi sangat serius membaca lembar demi lembar bagian pendahuluan skripsiku. Keadaanku saat ini mungkin hampir menyerupai narapidana yang menunggu keputusan hukuman dari hakim. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Mungkin bagian latar belakangku terlalu panjang atau ngaco, atau mungkin bagian rumusan masalahku terlalu mendetil atau malah terlalu sulit untuk diimplementasikan, atau mungkin saja print out skripsiku terlalu berantakan, atau sulit dipahami, atau….Aduh!!! Pak Dedi cepatlah anda berbicara. Jangan membuatku menderita seperti ini…

“Hm…jadi maksud dari tujuan survey yang akan kamu lakukan itu sudah kamu sertakan semua di rumusan masalah ini?” tiba – tiba Pak Dedi berbicara. Entah kenapa suaranya langsung terngiang – ngiang di telingaku. Aduh…apa maksudnya??? Tapi tidak mungkin juga kan, aku dengan entengnya bilang “Oh, gak Pak. Kemarin itu saya langsung aja gitu buat rumusan masalahnya, soalnya uda mepet sih Pak. Yang penting disetujui dulu, jadi saya bisa langsung survey ke perusahaannya. Hehehe…”. Bisa – bisa aku langsung tidak diluluskan mata kuliah skripsi ini.

“Oh iya Pak. Jadi saya sudah mempertimbangkan akan melakukan survey yang berpusat hanya pada sistem informasi terutama di bagian penggajian. Secara umum menurut saya, sistem penggajian akan berelasi dengan sistem – sistem yang lain secara keseluruhan, jadi bisa sekaligus dibuat gambaran implementasinya dan sistem baru yang kira – kira bisa dirancang untuk memaksimalkan kinerja keseluruhannya Pak…” widih dari mana ya bisa kudapat semua kalimat – kalimat itu? Jujur saat ini, aku juga tidak yakin dengan penjelasanku tadi. Bahkan jika disuruh mengulanginya lagi, aku tidak yakin bisa menjelaskannya lagi. Haduh….

“Oh, jadi maksud kamu rumusan masalah di sini kamu mau menghubungkan relasi antara sistem informasi dengan keefektifan alokasi gaji karyawan secara terkomputerisasi ya??” tanya Pak Dedi. Hah!?!? Maksudnya apa lagi nih?? Kembali aku tidak mungkin mengatakan “Kayaknya kurang lebih gitu deh Pak, hehehe…”, jadi…

“Ya Pak. Maksudnya begitu. Hanya saja saya agak bingung mau tulis bahasanya seperti apa gitu…” ya, ya, memang aku bingung, tapi bukan cuma bahasanya, tapi SEMUANYA! Bahkan sampai alasan mengapa harus dibuat skripsi segala untuk memenuhi syarat kelulusan…Kenapa tidak ujian biasa seperti di SMA?? Menyusahkan saja.

“Ya, kalau saya lihat memang bahasa kamu di rumusan masalah yang agak sedikit bermasalah” jelas Pak Dedi. Aku ingin menimpali “Sebenarnya itu bukan rumusan masalah, tapi BIKIN masalah Pak, grr!!” Tapi kan itu gak mungkin…

“Jadi, tampaknya kamu harus perbaiki di penggunaan bahasa rumusan masalah dan tujuan kamu. Kamu yakin mau rumusan masalahnya seperti yang kamu bilang tadi? Karena menurut saya, kalau kamu pakai rumusan masalahnya seperti ini, kamu harus melakukan wawancara yang cukup rumit saat kamu survey nanti. Gimana?” tiba – tiba Pak Dedi menanyai hal yang paling kutakuti : MENGGANTI. Ya ampun, mengganti rumusan masalah sama saja mengganti keseluruhan pendahuluan dan mengganti perencanaan analisis. Ya ampun, ya ampun!!

“Oh gak apa – apa. Soalnya saya uda bikin perencaan surveynya. Jadi nanti tinggal dilaksanakan saja” Haduh! Apa yang barusan ku bilang??

“Oh ya udah, kalo gitu kamu cuma perlu perbaiki penggunaan kata – kata aja kok. Di bagian analisisnya nanti, tinggal kamu sesuaikan dengan rumusan masalah kamu aja. Mungkin saya berikan sedikit tambahan di…” Pak Dedi terlihat menandai beberapa bagian di latar belakangku, rumusan masalah, dan tujuan skripsiku. Jujur aku benar – benar tidak tahu apa yang beliau tandai. Pikiranku sudah melayang ke arah penderitaanku selama satu semester ini menyusun skripsi yang menyebalkan ini.

Aku dan Pak Dedi membahas beberapa teknik dari survey yang akan aku gunakan, bagaimana aku menghubungkan hasil analisisku, dan bagaimana rancangan sistem yang akan aku anjurkan nanti. Aku tidak begitu memahami inti dari pembahasan itu, tapi paling tidak aku sudah mendapatkan sedikit gambaran bagaimana dan apa saja yang harus aku lakukan dalam surveyku nanti. Mungkin ada sekitar satu jam kami membahas hal – hal tersebut, dan saat itulah aku ingat sekali….aku hari ini harus memberikan les privat!!

“Ya jadi kurang lebih nanti seperti itu ya. Ada yang mau kamu tanyakan Den?” untunglah Pak Dedi kelihatannya sudah selesai.

“Gak pak. Saya uda dapat gambaran secara garis besar tentang survey saya nanti. Jadi bimbingan lagi hari kamis depan ya Pak?” tanyaku seraya memasukkan lembar skripsiku ke dalam map dan memasukkannya ke dalam tas ranselku.

“Ya, tapi kita lihat dulu aja ya. Nanti saya bisa hubungi kamu kalo ada perubahan jadwal lagi”, jawab Pak Dedi sambil melipat laptopnya. Tampaknya beliau juga sudah selesai untuk hari ini.

“Oke Pak. Kalo gitu saya duluan ya Pak! Terima kasih Pak!” jawabku sambil berdiri lalu mengangguk sedikit ke beliau.

“Oke Den. Hati – hati ya!” balas beliau, lalu aku cepat – cepat keluar dari ruangan beliau lalu berlari menuju lift. Dalam lift, aku mengambil handphone yang ada dalam tas ranselku, lalu melihat jam yang tertera di sana…

16:50. Gawat 10 menit lagi jam 5! Secepat apa pun aku mengayuh sepedaku dari kampus ke cluster Opal tempatku mengajar nanti, paling tidak akan memakan waktu sekitar 15 menit. Tidak diragukan lagi aku akan terlambat di hari pertamaku menjadi guru privat.

Begitu pintu lift terbuka di lantai satu, langsung saja aku berlari menuju ke arah parkiran khusus sepeda yang terletak di halaman belakang kampusku. Tidak ada waktu untuk panik! Aku hanya bisa berharap aku tidak terlalu terlambat…

Kakiku terasa lebih capek dari biasanya. Wajar saja, aku mengayuh sepedaku dengan kecepatan maksimal agar cepat sampai di rumah anak privatku. Mungkin baru sekitar 5 menit aku meninggalkan gerbang depan kampusku, tapi bisa kupastikan aku sudah hampir setengah jalan. Mungkin itulah yang membuat kakiku terasa sedikit pegal. Padahal pada hari - hari biasa, aku bisa mengayuh sepedaku dari kampus sampai ke tempat kostku tanpa merasakan kelelahan yang berarti. Tapi saat ini, aku harus sedikit mengorbankan kakiku untuk sedikit lebih pegal, karena telat pada hari pertama, maka aku berani jamin akan timbul kesan yang tidak bagus pada anak privatku. Ditambah lagi langit kelihatan sangat mendung. Mungkin sebentar lagi akan hujan deras. Akan jadi masalah bila hujan turun sebelum aku sampai ke sana.


Aku terus saja mengayuh sepedaku secepat mungkin, tetapi tetap berhati - hati karena saat itu bisa kupastikan jam sudah menunjukkan sekitar jam 5 sore, yang berarti jalan raya sudah mulai ramai dengan orang - orang yang baru pulang bekerja dari kantor mereka, ataupun anak - anak sekolah yang lain. Tidak lucu juga kalau aku kecelakaan di sini, apalagi bila hanya mengendarai sepeda. Bisa - bisa malu yang kuterima bisa lebih sakit dari luka yang mungkin kualami. Sambil berpikir begitu, kulihat aku sudah berada di pintu masuk mall, berarti rumah yang kutuju sudah tidak jauh lagi. Ya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali lah untuk mendapatkan uang. Kalau kuliah sih...lebih baik tidak sama sekali daripada terlambat kali ya hahaha...

Sekitar 5 menit berikutnya sudah bisa kulihat jalan masuk menuju ke cluster Opal tempatku mengajar. Aku harus menyebrang ke sisi lain dan untunglah pas sekali saat aku sampai di depan jalan masuknya tidak ada kendaraan yang sedang melaju. Cepat - cepat saja kukayuh sepedaku lagi ke seberang. Jalan masuk menuju perumahan Opal dipenuhi oleh deretan pertokoan di sisi kiri dan kanan jalannya. Mungkin toko - toko itu dibuat untuk memudahkan penghuni perumahan membeli barang kebutuhan mereka. Sepengetahuanku cluster opal itu seperti perumahan kecil, tetapi kalau tidak salah rumah - rumahnya cukup mewah. Wah kalau gitu, kali ini tampaknya privatku bakal lancar nih...seandainya saja tidak telat seperti ini...

Jalan masuk menuju cluster opal untunglah tidak terlalu jauh, dan berapa lama kemudian aku sudah sampai di pintu masuk cluster opal blok B, tempatku mengajar nanti. Seperti hampir perumahan seperti kebanyakan, ada pos satpam di pintu masuk cluster nya. Terlihat 2 satpam sedang berjaga di dalamnya. Yang satu sedang membaca koran, dan yang satunya sedang melihat - lihat handphone. Dengan napas yang sedikit tersengal - sengal karena capek, aku mengayuh sepedaku sedikit ke arah pos satpam itu.

"Permisi Pak, saya boleh masuk?" tanyaku kepada satpam yang tadinya sedang asik dengan handphonenya itu

"Oh Bapak mau ketemu siapa?" tanyanya. HA!?!? BAPAK!?!? Ya ampun, pasti ini karena aku belum mencukur kumis dan jenggotku yang mulai tebal lagi. Memang kata teman - temanku, dengan kumis, jenggot, dan muka oriental, aku benar - bentar terlihat seperti bapak - bapak.

"Oh iya Pak. Saya mau ketemu dengan Bapak John, rumahnya no 3A" jawabku. Ya sudahlah terima nasib saja atas "old face" ku.

"Pak John...John...", terlihat pak satpam itu sedang mengingat - ingat sesuatu.

"Oh mungkin Pak Jonathan ya??”, tiba – tiba Pak Satpam itu berbicara lagi kepadaku. Waduh, aku lupa bertanya nama lengkap bapak anak privatku waktu itu. Yang kuingat cuma namanya itu John. Aku tidak tahu itu nama depan, nama tengah, nama belakang, atau nama panggilannya saja. Haduh!
“Iya Pak! Saya mau ketemu Pak Jonathan. Rumahnya yang di nomor 3A kan?” memang dasar aku adalah tipe orang yang asal ceplas – ceplos saja. Ya sudahlah, lagipula ini sudah benar cluster opal blok B dan pastinya hanya satu rumah di sini yang nomornya 3A.

“Oh kalau begitu bisa tinggalkan KTP nya Pak?” Oh iya, memang untuk masuk ke cluster – cluster seperti ini, para tamu diharuskan meninggalkan data diri seperti KTP atau SIM untuk ditukarkan dengan kartu masuk cluster. Saat keluar, KTP atau SIM itu baru dikembalikan. Sudah seperti penitipan barang saja…

Aku langsung membuka resleting ranselku yang tadinya kupapah di pundak belakang, mengeluarkan dompetku, dan mengambil KTP, lalu kuserahkan kepada satpam yang menanyakanku tadi. Setelah itu, ia memberikan aku sebuah kartu masuk cluster. Kulihat bernomor 15, sama dengan tanggal lahirku.

“Terima kasih ya Pak!” jawabku sambil menerima kartu itu lalu memasukkannya ke dalam resleting depan ranselku yang memang biasanya kugunakan sebagai tempat barang – barang kecil penting yang akan digunakan sewaktu - waktu.

“Oke, Pak!” sambil satpam itu mengarahkan tangannya ke arah dalam cluster pertanda aku diperbolehkan masuk dibalas dengan sedikit anggukkan kepala dariku. Aku langsung saja mengayuh sepedaku masuk ke dalam cluster.

No 1…No 2… No 3...Nah ini dia! pikirku. Tidak sulit menemukan rumah tempat aku mengajar karena kebetulan cluster Opal ini memang dibuat kecil dan minimalis, tidak seperti perumahan – perumahan besar yang terkadang bahkan bisa membuat pengunjung yang baru pertama kali masuk tersasar di dalamnya. Rumah tempatku mengajar terletak di arah kiri begitu aku memasuki pintu masuk, berjarak 3 rumah dari rumah yang terletak paling kanan di sisi kiri.

Aku mengerem sepedaku tepat di depan rumah itu. Tidak ada pagar, pintu masuk rumah langsung menuju ke jalanan cluster. Hm…mungkin inilah yang membedakan cluster dengan perumahan. Cluster terkesan lebih sempit dan rumah – rumahnya sebagian besar lebih minimalis dan berdesain sama, apalagi halaman depannya langsung berhubungan dengan jalan raya cluster. Tidak ada halaman seperti rumah – rumah perumahan yang lainnya. Aku hanya heran kenapa rata – rata rumah di cluster lebih mahal dari perumahan. Mungkin ada hubugannya dengan trend hidup para orang kaya zaman sekarang. Hm…

Aku melihat sekilas, memastikan bahwa ini benar rumah tempatku mengajar. Rumahnya tidak jauh berbeda dari rumah lainnya di cluster itu. Modelnya menyerupai bangunan minimalis modern zaman sekarang. Bertingkat 2, bercat dinding putih campur sedikit dengan warna abu – abu, dan di depan pintu masuknya hanya ada teras kecil. Paling yang membedakan adalah terdapat 2 kursi kayu menghadap jalanan dengan meja kecil di tengah – tengahnya. Mungkin teras ini sering dipakai untuk ngobrol – ngobrol santai antara penghuni rumah ini dengan teman – temannya.

Aku memarkir sepedaku di luar secara menyamping, lalu melangkah ke teras, ke depan pintu masuk yang berwarna abu – abu dengan dilapisi pintu dengan kawat anti nyamuk di depannya. Biasanya setahuku pintu masuk dibuka begitu saja dengan pintu anti nyamuk tertutup. Apa ini artinya tidak ada orang di rumah itu?? Tapi tidak mungkin ya…aku yakin ini rumah tempatku mengajar. Tidak mungkin jika kosong atau ditinggal pergi. Mungkin pemiliknya memang lebih terbiasa membiarkan pintu rumahnya dalam keadaan seperti ini.

Aku mencari bel dan kutemukan tepat di dinding yang menjadi pemisah antara rumah itu dengan rumah di sebelah kanannya, kira – kira setinggi kepalaku, sebuah tombol coklat dengan gambar bel di tengah – tengahnya. Kutekan sekali dan kutunggu sebentar…

Hm…Kutekan belnya sekali lagi lalu kutunggu lagi…





Aneh…Tidak ada tanda – tanda ada orang di dalam. Apa belnya rusak?? Apa kuketok saja pintunya?? Tapi tidak mungkin juga karena pintu dengan kawat anti nyamuk itu tidak memungkinkan aku mengetok pintu kayu yang ada di dalamnya. Hm… jadi gimana ya?? Tampaknya orang rumah ini memang sedang keluar. Mungkin aku telepon saja ya?? Barangkali Om John lupa kalau hari ini aku akan datang…

Aku merasa tidak enak jika harus duduk di kursi yang ada di teras itu, jadi aku memilih lesehan di terasnya saja. Aku membuka resleting ranselku, lalu mengambil Nokia 6120 ku yang biasa kupakai.

Begitu kulihat, ternyata ada 1 pesan baru di Handphoneku. Kulihat dan ternyata….

“Maaf Den, saya John. Hari ini saya agak telat pulang ke rumah karena sehabis menjemput anak saya, tadi saya harus balik ke kantor karena ada sedikit urusan. Kalau kamu sudah sampai di rumah saya dan saya belum pulang, kamu tunggu sebentar di depan ya? Saya segera pulang secepat mungkin…” Oh ternyata ini dari Om John toh.

Ya sudah deh apa boleh buat, terpaksa memang aku harus menunggu di depan rumah. Saat aku mau memasukkan kembali handphoneku ke dalam ranselku, tiba – tiba hujan mulai turun, dan parahnya langsung deras. Serentak saja aku berdiri dari dudukku dan menggeser diriku agak ke dalam agar tidak terkena hujan. Kuputuskan saja duduk di kursi kayu ini sampai Om John datang.

Tepat saat aku hendak duduk di kursi yang ada di kiri dari tempatku berdiri, samar – samar dari tumpahan air hujan, aku bisa melihat lampu sinar mobil datang dari arah kanan, lalu berbelok berhenti tepat di depan rumah…

Begitu melihat ada sebuah mobil yang berhenti di depanku, aku hanya berdiri mematung dan mengurungkan niatku untuk duduk di kursi yang ada di sana. Sinar lampu mobil nya cukup menyilaukan sehingga aku sedikit memicingkan mataku untuk melihat jelas mobilnya. Karena hujan yang deras dan hari sudah mulai gelap, aku tidak begitu jelas melihat mobil itu. Yang bisa kupastikan hanya itu sebuah mobil kijang berwarna biru tua, mungkin model baru atau bahkan mungkin baru – baru ini dibeli. Untunglah aku tidak perlu memicingkan mataku lama – lama karena sekarang lampu mobil itu terlihat sudah dimatikan.

Hhhh…hari pertamaku menjadi guru privat tampaknya sangat menarik. Terburu – buru, menunggu, hujan deras, dan lagi skripsiku. TIDAK!! Hm…? Terlihat pintu mobil bagian kanan depan dibuka.

Kembali karena hujan yang deras, aku tidak begitu melihat siapa yang keluar. Yang pasti laki – laki, memakai pakaian hitam, mungkin itu jas, cukup tinggi, mungkin lebih tinggi dari tinggiku yang sekitar 175 cm ini. Dia langsung keluar dengan cepat, menutup pintu mobilnya, kemudian berlari kecil ke pintu mobil bagian depan ke sebelah kiri. Dia membukanya dengan cepat, di membuka pakaian hitamnya yang membuatku yakin itu adalah jas dan menutupi dengan cepat seseorang yang turun dari pintu mobil itu. Jauh lebih pendek darinya. Mungkin itu anaknya. Berarti…

Mereka berdua berlari sedikit ke arah teras tempatku berdiri diam. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas. Laki – laki tersebut memang sedikit lebih tinggi dariku, dia memakai kemeja lengan panjang biru tua, wajahnya oriental, bisa kupastikan dia juga keturunan chinese sama sepertiku, alisnya tebal, matanya tidak terlalu sipit, bibirnya tipis, dan terlihat sekilas bekas cukuran di tempat tumbuhnya kumis dan jenggot. Rambutnya pendek cepak sepertiku dengan bagian depan rambutnya sedikit naik (yang banyak digunakan oleh para eksmud sekarang). Yang seorang lagi…

“Kamu Dennis ya??” tiba – tiba laki – laki itu menyapaku dengan terlihat air hujan yang menetes dari rambutnya yang terlihat turun karena basah oleh air hujan.

“Iya Om! Om om John??” tanyaku sambil melirik sedikit ke arah anak kecil yang berdiri di sampingnya.

“Pa! Pa! Masuk dulu yu!! Aku basah nih!” bisa kudengar anak kecil yang wajahnya hanya bisa kulihat sedikit saja karena tertutup jas besar memanggil – manggil sambil menarik lengan baju laki – laki itu.

“Oh ya sayang! Papa lupa! Maaf ya…” tanpa sempat menjawab pertanyaanku, laki – laki itu langsung merogoh kunci dari saku celana eksekutifnya, dan terlihat dia membuka pintu kawat yang ada paling depan…kemudian membuka pintu kayu yang ada di dalam…Tidak berapa lama terlihat pintu rumah itu sudah terbuka semua. Aku hanya bisa melihat mereka berdua tanpa sempat berbicara apa pun.

“Ayo Den kamu masuk aja! Saya mau bawa anak saya ke atas dulu. Kamu tunggu di ruang tamu depan sini saja ya?” kata laki – laki itu sambil menghadap ke arahku. Kulihat anaknya sudah masuk duluan dengan terburu – buru begitu pintu dibuka. Aku hanya mengangguk dan melihat laki – laki itu menyusulnya ke dalam setelah sebelumnya menyalakan lampu ruang tamu yang ada begitu pintu masuk dibuka.

Aku membuka sepatu dan kaos kakiku yang sedikit basah karena cipratan air hujan lalu masuk ke dalam setelah menutup pintu kawat yang ada paling depan. Setelah sedikit menyibakkan rambutku yang sedikit basah tadi, aku duduk di sofa panjang berwarna coklat tua yang ada di dekatku. Ruang tamu tempatku duduk ini tidak terlalu besar, tapi suasananya cukup terasa tenang di waktu hujan – hujan begini. Yang kudengar hanya suara hujan turun di luar dengan derasnya. Setelah duduk di sofa itu, aku melepas ransel dari pundakku dan menaruhnya di sampingku karena memang sofanya cukup lebar.

Hm…yang bisa kulakukan sekarang hanya menunggu pemilik rumah ini dan anaknya.






Sudah sekitar 15 menit aku menunggu di sofa dan aku mulai bosan. Kuambil handphone dari ranselku yang setelah kulihat sudah menujukkan pukul setengah 6 sore. Haduh, rasanya aku bakal pulang malam hari ini...

“Maaf ya nunggu lama!” aku tersadar dari pikiranku dan melihat ke arah laki – laki yang tadi mempersilakanku masuk.

“Oh gapapa kok Om. Um….” Aku bingung mau menjawab apa.

“Oya kenalin saya John.” Sapa laki – laki itu sambil menyodorkan tangan. Ternyata benar laki – laki itu yang bernama Om John, orang tua dari anak privatku. Karena lampu ruang tamu yang terang, sekarang aku bisa melihat Om John dengan jelas. Untunglah beliau masih muda, paling tidak terlihat masih muda. Mungkin bisa kuperkirakan sekitar pertengahan 30an. Badannya tegap dan lebih berisi dibandingkan badanku.

“Oya Om. Saya Dennis!” jawabku sambil menjabat tangannya. Tangannya juga lebih besar dariku.

“Oke Den. Ini anak saya!” sambil Om John melihat ke arah dalam, kemudian terlihat seorang anak kecil perempuan muncul dari dalam mengenakan baju terusan berwarna pink dengan rambut panjang diikat buntut kuda. Rasanya aku pernah melihatnya baru – baru ini. Mungkin cuma perasaanku saja.

“Ayo Cin, salaman donk sama kakak?” Om John mengelus – ngelus rambut anaknya yang panjang itu.
“Eh!? Kakak?? “ anak perempuan itu kelihatan senang campur kaget. Aduh! Jangan – jangan ada sesuatu di mukaku.

“Kak! Inget aku? Kemaren kakak yang di mall itu kan??” tanya anak perempuan itu.

Sebentar….mall?? Hm… Kemarin aku ke mall….OH YA!! Dia anak kemarin yang kuberikan Minute Maid.

“Oh iya ya! Hahaha, kebetulan banget ya!? Haha” aku tertawa kecil dan sedikit lega karena ternyata aku sempat bertemu dengan anak ini sebelumnya.

“Iya kak! Seneng deh bisa ketemu kakak lagi! Aku Cindy kak!” anak perempuan yang bernama Cindy itu mengulurkan tangannya dan kusambut dengan jabatan tanganku yang jauh lebih besar darinya. Aku dan Cindy saling berpandangan dan tersenyum.

“Oalah kamu ternyata yang kemarin ya!? Kebetulan banget ya!” Om John serasa juga tidak percaya bahwa ternyata guru privat anaknya adalah aku.

Kami bertiga tertawa kecil merasa lucu dan aneh karena kebetulan ini. Om John mempersilakan aku masuk ke bagian dalam rumah. Ternyata masih ada satu ruang tamu yang lebih besar di bagian dalam rumah. Terdapat televisi LCD, sofa besar yang disusun beberapa buah secara melingkar, satu karpet berbulu sebagai alas di bawahnya, dan satu meja kaca sepinggangku di tengah – tengah lingkaran sofa itu. Menurutku tempat yang sangat cocok untuk mengajar dengan efektif.

“Jadi Den, tempat mengajar kamu di sini aja gimana?” Om John menanyaiku apakah tempat ini cocok untuk tempat belajar.

“Oh ya Om! Di mana aja bisa kok Om!” aku menjawab singkat.

“Ya, jadi silakan dimulai aja!” Om John mempersilakan aku duduk di karpet alas itu.

Aku mengangguk,lalu duduk secara lesehan di lantai. Terlihat Cindy membawa tas sekolahnya, lalu duduk di sampingku, sedangkan Om John naik ke lantai atas. Dia mengeluarkan beberapa buku, yang kulihat buku matematika dan IPA. Hm…memang 2 pelajaran ini juga sangat menyulitkanku saat aku SD dulu.

Kemudian mulailah aku mengajarkan Cindy. Pertama – tama aku menanyakan PR dia, lalu membantu menyelesaikannya sebelum aku mengajarkan materi yang lain. Untunglah aku sudah cukup berpengalaman dalam mengajarkan anak – anak seusia Cindy, jadi tidak perlu waktu lama bagiku untuk mencari penjelasan yang mudah dan cepat dimengerti untuk anak seusianya.

Perkalian, pembagian, beberapa review dan beberapa latihan soal aku ajarkan kepada Cindy selama kurang lebih satu jam dan hal ini membuatku mulai sedikit haus.

“Ayo – ayo istirahat dulu! Nih saya bawakan minuman!” kehadiran Om John bagaikan malaikat penyelamat. Aku tidak menyadari kapan beliau turun padahal tangga menuju lantai atas tepat berada di arah depan tempat aku lesehan,tapi yang pasti kehadirannya pas sekali saat aku haus. Hehehe. Beliau membawa 2 gelas minuman berwarna kuning cerah. Bisa kupastikan itu adalah sirup jeruk.

“Makasi ya Om. Maaf ngerepotin” jawabku tidak enak.

“Oh ya sama – sama. Hahaha. Ayo silakan dilanjutin.” Om John dengan suara rendahnya naik kembali ke atas.

Setelah aku meneguk sedikit minuman yang diberikan, rasanya aku menjadi bersemangat kembali. Karena kupikir Cindy sudah cukup memahami materi – materi yang tadi kami bahas bersama, aku beralih ke IPA. Yang kubahas paling cuma bahan – bahan penting yang harus dihapal, membuat singkatan – singkatan sebisaku buat Cindy agar dia lebih mudah menghapal, dan membantu menjelaskan beberapa materi yang cukup sulit dipahami oleh anak SD. Sesekali kami tertawa ketika Cindy menceritakan hari – harinya di sekolah dan kekonyolan yang dibuat oleh teman – temannya. Sungguh menyenangkan. Rasanya aku sudah lupa betapa menyenangkannya mengajar anak – anak kecil. Cindy juga anak yang menyenangkan dan tidak nakal, tidak seperti beberapa anak privatku sebelumnya.

“Jadi begitu Cindy. Ingetin aja singkatan – singkatan yang kakak buat tadi. Dijamin kamu pasti inget!” jawabku menutup materi hari itu.

“Oke kak!” jawab Cindy sembari ia memasukkan buku – bukunya kembali ke dalam tasnya. Pas sekali saat itu, Om John turun dari lantai atas. Kali ini aku melihatnya turun.

“Oh uda selesai ya?” tanya Om John.

“Iya Pak sudah selesai buat hari ini.” jawabku. Hm…rasanya ada yang harus kubicarakan lagi, tapi apa ya??

“Oh ya, masalah biayanya bagaimana nih?” tanyanya. Aku ingat aku belum memberitahu biaya untuk jasa privatku.

“Biasanya sih 350 ribu Om. Um…terlalu besar gak?” aku menjawab dengan ragu –ragu. Biasanya sih aku mematok tarif sebesar itu, dan hampir semua orang tua anak privatku yang dulu menawarnya dengan kejam. Aku cukup trauma dengan kejadian – kejadian dulu, tapi tidak ada salahnya aku memasang harga terlebih dahulu.

“Oh, kalo gitu kamu ambil segini dulu aja ya?” tiba – tiba Om John menyodorkan selembar 50 ribuan yang diambil dari saku kemeja yang dipakainya.

“Aduh, aduh gak usah om. Nanti aja setelah pas satu bulan.” Jawabku sambil memberi tanda dengan tangan kananku bahwa aku belum perlu menerimanya sekarang.

“Uda gapapa. Anggap aja uang pendaftaran. Ya??” Buset seperti sekolah saja ada uang pendaftarannya. Ya…mungkin sudah rejeki ya.

“Um…kalo gitu makasi ya Om!” aku menerimanya sambil mengangguk, lalu melipat uang itu dan memasukkannya ke saku celanaku. Aku tidak enak mengambil dompetku terlebih dahulu.

“Om, kalo gitu saya pulang dulu ya. Nanti hari Jumat, saya datang lagi ke sini.” Jawabku sambil mengambil ranselku lalu menggendongnya di pundakku.

“Oke, makasih ya Den!” jawab Om John, lalu kami berdua dan Cindy menuju pintu depan. Kulihat sekilas keluar, hari sudah gelap. Untunglah hujan sudah berhenti.

“Makasih ya Kak! Hari Jumat ke sini lagi ya!” terlihat Cindy tersenyum. Kulihat – lihat, wajah Cindy manis sekali saat tersenyum.

“Oke Cin. Kakak pulang dulu ya!” jawabku membalas senyumannya, lalu menuju teras depan dan memakai sandalku. Aku sebelumnya membersihkan dulu jok sepedaku yang basah karena hujan tadi, lalu baru menaikinya.

“Dadah kak!” terlihat Cindy melambai – lambaikan tangannya ke arahku.

“Dadah Cin! Mari Om, saya pulang dulu” aku mengangguk kecil ke arah Om John.

“Ya Den! Hati – hati ya!” balas Om John.

Aku memutar arah sepedaku, lalu langsung mengayuh ke arah pos satpam di depan. Rasanya hari pertama ku tidaklah buruk. Anak privat yang menyenangkan, orang tua yang baik, bahkan dapat 50 ribu pula. Tapi rasanya tadi ada yang kurang. Apa ya???

Sambil berpikir, aku menukarkan kartu masuk cluster dengan KTP ku yang tadi diambil oleh satpam, lalu kembali mengayuh sepedaku. Sempat kulihat sekilas jam dinding yang ternyata tergantung di pos satpam tadi sudah menunjukkan pukul 7:15 malam. Aku kembali mengayuh sepedaku di jalanan yang lingkungan luar cluster yang sudah mulai sepi.

Sambil berpikir – pikir apa yang kurang tadi, aku mengayuh sepedaku dengan santai. Hembusan angin malam yang cukup dingin menemaniku saat perjalananku kembali ke kostan ku malam itu…

“Mbak! Senyum – senyum aja dari tadi?? Ciee…bb an sama siapa tuh??” godaku terhadap wanita yang duduk sambil memegang blackberrynya di meja yang ada di samping kanan mejaku.

“Ah…kamu mau tau aja Den! Ada deh pokoknya…! Hehe” wanita itu menjawab dengan tertawa kecil.

Hari ini aku sedang bekerja sebagai customer service di kampusku secara part time. Biasanya aku bekerja sebagai customer service dengan jadwal yang fleksibel, hanya dengan ketentuan 20 jam perminggu, karena upahnya akan dihitung secara perjam. Aku merasa beruntung pada semester terakhir ini aku bisa mendapatkan lowongan yang sebenarnya sudah dibuka semenjak aku semester 4. Peminatnya yang sangat banyak dan seleksi nya yang cukup ketat membuat lowongan ini cukup susah untuk aku ikuti pada awal – awal semester. Tetapi untunglah pendekatan dengan orang – orang marketing selama 3 tahun belakangan ini membuahkan hasil yang sesuai. Memang benar kata orang. Dalam dunia pekerjaan apa pun baik perkantoran ataupun wirausaha, yang terpenting adalah relasi.

Kebetulan karena semester ini aku hanya tinggal menyusun skripsi dan jadwal privatku yang hanya senin dan jumat sore, aku bisa bekerja full dari Senin sampai Jumat, walaupun seperti pada hari Senin kemarin aku tidak datang karena jadwal bimbinganku yang dadakan sehingga aku harus memfokuskan waktuku untuk menyelesaikan pendahuluan skripsku waktu itu. Dalam seminggu, kurang lebih aku bisa bekerja selama 30 jam, yang berarti penghasilan tambahanku lebih banyak. Lumayanlah. Di semester akhir ini, aku sudah secara mandiri mampu membayar uang kost, biaya hidup, dan menabung untuk modal usahaku nanti setiap bulannya.

“Aduh…! Mbak BB an mulu dari tadi sih! Bunyinya sampe kedengeran sampe sini gitu, gimana saya gak penasaran coba??” jawabku.

“Ya maklum lah Den….Mbak Dian lagi kangen nih ama dia…Hihihi…” jawab wanita yang bernama Dian Hapsari itu. Mbak Dian adalah petugas customer service di kampusku sejak aku semester 1 yang artinya sudah hampir 4 tahun dia bekerja di sini. Ada seorang lagi bernama Mbak Ayu, tetapi dia sudah mengundurkan diri karena mau menikah 2 tahun lalu, dan semenjak itulah dibuka lowongan menjadi customer service part time bagi para mahasiswa. Aku pernah tanya ke Mbak Dian kenapa tidak cari petugas tetap yang baru saja. Katanya sih karena pihak kampus memutuskan lowongan ini ditujukan saja untuk mahasiswa, sekalian latihan kerja gitu. Lagipula biayanya lebih murah dan perekrutan juga lebih cepat. Hmm…aku rasa sih pasti yang diutamakan alasan ke 2 deh…

“Eh uda ah..! Liatin Mbak terus deh kamu!? Ntar naksir loh sama Mbak, hehehe” sekarang Mbak Dian balas menggodaku.

“Wah, kalo gitu ntar saya saingan sama si dia yang lagi di seberang sana donk Mbak?? Hahaha!!” aku tertawa geli mendegar perkataan Mbak Dian.

“Eh ngomong – ngomong gimana tu Den masalah skripsi kamu? Kamu uda lakuin survey ke perusahaan nya belom? Perusahaan…apa itu namanya??” tanya Mbak Dian yang terlihat meletakkan BB nya kembali ke atas meja.

“Oh perusahaan Jaya Gading? Belom sih Mbak, tapi untung uda disetujuin sama Pak Dedi, jadi tinggal minta surat pengantar, dan buat janji sama manajernya.” Jawabku.

“Oh gitu. Kayaknya kamu mesti cepet deh Den, biasanya manajer perusahaan itu gak bakal langsung bisa diwawancarai. Sibuk biasanya. Apalagi kan wawancara kamu nanti sifatnya menyeluruh, jadi mungkin agak susah buat manajernya cari waktunya.” Saran Mbak Dian. Benar juga ya, aku lupa mesti buat janji dulu, buat pertanyaannya, minta surat pengantarnya, HADUH! Repot banget deh rasanya…

“Iya nih, rencananya senin besok deh saya langsung minta ke bagian kemahasiswaan” jawabku seraya melihat jam dinding yang tergantung di dinding atas yang ada di belakangku. Sudah jam setengah 5 sore. Ini hari Jumat, aku harus mengajar privat di rumah Cindy.

“Eh ya Mbak, saya balik dulu ya Mbak…Saya ada jadwal mengajar privat jem 5 nanti…” pesanku pada Mbak Dian sambil merapikan ranselku yang biasa kupakai yang kuletakkan di lantai di sisi kanan tempatku duduk.

“Oh ya Den. Hati – hati ya! Hm…anak SD ya?? Coba anak SMP ato SMA…kan bisa kamu gaet tuh. Hihihi” ya ampun Mbak Dian ini. Orang uda mau pulang masih dibercandain juga.

“Hahaha ya sih Mbak. Sayang…” haduh kujawab pertanyaan ini dengan jawaban yang konyol pula.

“Hihihi, ya uda Den. Semangat ya!” pesan Mbak Dian.

“Oke Mbak! Saya duluan ya!” jawabku sambil bangkit dari tempat dudukku, lalu menggendong ranselku di punggung, lalu melambaikan tangan sedikit ke Mbak Dian. Kebetulan tempatku bekerja ini berada di lantai satu, jadi aku hanya tinggal berjalan sedikit ke parkiran tempat sepeda hitamku diparkir…

---------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------

Untunglah, kali ini aku tidak telat seperti hari Senin kemarin. Kuparkir sepedaku di depan teras rumah Cindy, lalu beranjak ke terasnya. Kulihat pintu kayu bagian dalam terbuka dan itu artinya ada orang di dalam, jadi kutekan langsung saja bel yang ada di kanan tempatku berdiri di depan pintu berlapis kawat nyamuk yang kelihatan sedikit berdebu itu. Tak berapa lama, samar – samar kulihat sosok yang tinggi muncul dari dalam lalu membukakan pintu itu.

“Oh Dennis? Ayo – ayo masuk. Cindy uda nungguin dari tadi tuh. Kangen dia sama kamu kayaknya. Hahaha” Oh ternyata Om John yang membukakan pintu. Kulihat beliau masih memakai kemeja dan celana panjang dengan rapi. Mungkin beliau baru pulang dari kantornya.

“Iya om, permisi…” jawabku sambil melepas sepatu dan kaos kakiku lalu meletakkannya di samping keset yang ada di teras itu, lalu masuk ke dalam. Begitu masuk, aku sekilas mencium aroma parfum. Mungkin parfumnya Om John. Ya wajar lah beliau seorang pekerja kantoran, pasti harus tampil rapi dan wangi sepanjang hari. Jujur rasanya aku menyukai aroma parfumnya…tidak menyengat tapi bisa tercium dengan jelas…hm…

“Halo Cin!” sapaku pada Cindy yang terlihat sedang duduk di sofa sambil menonton TV LCD di ruang tamu tempat aku kemarin mengajarinya.

“Kak Dennis! Cindy uda tungguin dari tadi. Hihihi” Cindy tiba – tiba menarik tanganku lalu mengajakku duduk di sampingnya.

“Nih nih kak! Lihat deh! Terlihat Cindy memberikanku sebuah buku gambar yang sudah terbuka dan terdapat gambar di halaman samping kanannya. 2 orang dan 1 orang anak kecil. Anak kecil berdiri di tengah dan 2 orang dewasa terlihat menggandeng tangan anak kecil itu di samping kiri dan kanannya. Gambarnya mirip – mirip anime Jepang yang sering kulihat di majalah – majalah, tetapi tentu saja yang ini lebih kekanakkan. Tapi kuakui bila benar – benar Cindy yang menggambarnya sendiri, dia pasti memiliki bakat melukis yang besar.

“Gambar siapa nih Cin?? Bagus deh! Kamu gambar sendiri??” tanyaku serasa tidak percaya sambi terus melihat gambar itu.

“Itu gambar aku, papa, sama kakak!” jawab Cindy.

“Hahaha, kenapa gak…”

“Eh ya, hari ini aku ada PR Bahasa Inggris nih Kak! Kerjain dulu yu” tiba – tiba Cindy nyeletuk sebelum aku sempat menyelesaikan pertanyaanku. Ya sudahlah. Lagipula pertanyaan yang tidak penting kok.

“Oke – oke! Yuk kita kerjain!” jawabku melihat Cindy mengambil tasnya yang ada di sampingnya lalu mengeluarkan satu buku besar dan satu buku tulis kecil dari dalamnya. Di buku besar itu tertulis “English Learning for Third Elementary School”. Ternyata ini khusus untuk kelas 3 SD yang artinya Cindy sudah belajar bahasa Inggris semenjak dia duduk di kelas 1 SD. Padahal dulu aku baru mulai belajar Bahasa Inggris saat aku masuk kelas 3 SD. Memang tidak heran anak sekarang jauh lebih cepat berkembang dan lebih pintar dari anak – anak dulu.

…………..
…………..
…………..

Akhirnya aku selesai membantu Cindy menyelesaikan PR Bahasa Inggrisnya sekaligus mengajarinya. Aku sempat kaget karena ternyata Cindy sudah mempelajari tenses yang dulu baru kupelajari saat aku masuk SMP kelas 1. Aku tidak berani membayangkan jika aku mengajar Cindy yang sudah SMA. Pasti akhirnya berbalik aku yang minta diajari.

Kulihat sekilas jam di handphoneku yang kutaruh di meja kaca tempat kami belajar. 18:17. Huff…ternyata sudah satu jam lebih aku dan Cindy berkutat dengan Bahasa Inggris.

“Kak, istirahat dulu ya! Cindy ambilin minum ya! Kakak mau apa?? Ada coca – cola, fanta, lemon tea…” Hahaha, pas sekali Cindy saat aku haus..

“Kakak minta air putih aja deh.” Aku memang lebih suka meminum air putih dibandingkan minuman bersoda, walaupun sebenarnya lemon tea juga tidak terlalu buruk. Tapi aku takut merepotkan Cindy jika aku minta Lemon Tea.

“Oh bentar ya Kak!” Cindy terlihat masuk ke dapur yang terletak di ruangan belakang tempatku duduk sekarang, lalu terdengar bunyi gelas ditaruh, samar – samar dengan sesuatu yang dituangkan ke dalamnya. Tak berapa lama terlihat Cindy membawakanku segelas besar berisikan air bening dengan sedikit es batu di dalamnya.

“Waduh, makasi ya Cin! Kakak jadi ngerepotin nih…hehehe…” ucapku pada Cindy dan dia hanya menggangguk sambil tersenyum. Aku meneguknya dan saat tegukan ku yang ketiga, kudengar suara seperti sepatu yang turun dari lantai atas…

“Eh Cin, mau jalan – jalan gak?” Kulihat Om John turun dari lantai atas dengan sudah ganti baju mengenakan kaos biru muda dan celana jeans panjang biru tua.

“Mau mau Pa! Eh kakak ikut bareng ya! Cindy ganti baju dulu!” Cindy tiba – tiba langsung beranjak berlari ke atas tanpa sempat aku berkata apa – apa, lalu menghilang ke lantai atas.

“Den, kamu ikut aja ya! Kamu juga belum makan malam kan??” tahu – tahu Om John sudah berdiri di dekatku dan bertanya hal itu.

“Eh….gak deh Om!” Ya ampun, rasanya aku sangat tidak enak jika harus mengganggu acara keluarga mereka.

“Udah gapapa! Cindy juga pengen kamu ikut kok! Dia bisa sedih kalo kamu gak ikut…” Om John tersenyum berkata padaku.

“Tapi Om…” Hm…alasan apa lagi yang bisa kuberikan ya??

“Oke! Kalo gitu saya panasin mobil dulu ya!” kembali aku tidak diberikan kesempatan oleh keluarga ini berbicara. Ya sudahlah. Masa makan gratis ditolak?? Tidak baik untuk perut dan hubungan kekeluargaan…

Sekitar 10 menit kemudian, Cindy turun dan telah berganti baju kaos merah dengan celana jeans biru muda. Seperti biasa, kelihatan cantik dan manis… Aku telah membereskan buku – buku yang tadi ada di atas meja, jadi aku tinggal mengambil ranselku.

“Yu Kak!” Cindy menggandeng tangan kananku lalu menuntunku keluar ke arah teras, setelah sebelumnya dia mematikan lampu yang ada di ruang tamu.

Di teras, Cindy melepaskan gandengannya lalu naik ke mobil bagian depan kiri. Aku duduk di kursi kayu yang ada di teras, lalu mulai memakai kaos kakiku.

Kembali aku merasakaan sesuatu yang mengganjal lewat di otakku. Rasanya ada sesuatu hal yang benar - benar mengusikku semenjak aku datang ke rumah ini hari senin kemarin. Tapi memang dasar tidak peka, aku susah sekali untuk menemukannya. Lagipula kalaupun ada, pasti hal itu tidaklah penting karena memang aku pekanya pada hal – hal yang tidak penting.

Aku mengikat tali sepatuku sebelah kanan, lalu berdiri dan bersiap masuk ke mobil. Kulihat Om John keluar dari mobil lalu menutup pintu kayu sebelah dalam diikuti pintu berkawat lalu menguncinya.

“Yu Den!” Om John menepuk pundakku, lalu berjalan kembali ke arah mobil kijang biru tuanya, diikuti olehku dibelakangnya…

“Pa aku mau makan ikan!” terlihat Cindy menjawab dengan mata berbinar – binar.

Aku diajak oleh Cindy dan Om John ke mall yang biasa kudatangi atau tepatnya satu –satunya mall yang bisa didatangi, karena di lingkungan dekat sini hanya ada satu mall itu. Kami makan di sebuah restoran Chinese Food yang ada pada food court, tetapi bukan di dalam mall melainkan yang ada di luar mall dan biasanya disebut Food City. Biasanya setiap malam, para pengunjung Food City akan disuguhkan musik Live, entah dari penyanyi solo, atau kelompok band. Mungkin sudah ada penetapan jadwal harinya masing – masing, kapan penyanyi solo dan kapan kelompok band yang akan main.

Keadaan food city tempat kami makan saat ini cukup ramai. Hanya tinggal beberapa meja yang kosong di bagian tengah food city. Maklum lah hari ini hari Jumat. Banyak keluarga pergi ke sini untuk makan sekaligus mendegarkan musik Live yang dimainkan. Kami duduk di salah satu meja yang ada di tengah – tengah area food city. Sebuah meja makan segiempat ukuran sedang dengan 4 kursi, masing – masing 2 kursi berdampingan saling berhadapan. Cindy duduk di sebelahku, dan Om John duduk di kursi yang berhadapan dengan Cindy.

“Oh kalo gitu, ikan asam manis satu Mbak. Den, kamu mau makan apa??” Om John memesan makanan itu kepada pelayan wanita yang berdiri di dekat meja kami, lalu menanyakan apa yang ingin kupesan.

“Em…gak om saya mah terserah aja…” masa aku dengan entengnya “oh, saya mau ini om, sama itu, terus nanti dibungkus buat dibawa ke kostan saya ya…”. Bisa – bisa mukaku langsung kubeli yang baru saking malunya.

“Hm..kalo gitu om pesen capcay aja kali ya? Gimana? Cindy juga doyan capcay kan??” tanya Om John pada Cindy. Kebetulan juga sih. Aku lebih suka sayur – sayuran daripada daging. Tapi itu bukan berarti aku vegetarian juga sih.

“Iya pa! Kak Den doyan capcay gak??” Cindy bertanya padaku.

“Oh Kakak mah semua doyan kok! Haha” jawabku mantap. Ya gak semua makanan, tapi minimal hampir semua chinese food aku lumayan suka.

“Oke. Kalo gitu capcay deh Mbak! Minumnya…kamu mau apa Cin?” Om John bertanya lagi.

“Cindy mau es jeruk deh!” jawab Cindy.

“Terus kamu Den?” haduh Om John jangan tanya terus dong…

“Em…um…hm…es teh manis deh om…” aku mulai ragu – ragu. Entah kenapa rasanya malu deh aku minta air putih.

“Oh, satu es jeruk, satu es the manis, saya air putih aja Mbak!” Yah…ternyata Om John pesan air putih. Tahu gitu aku tadi tidak usah malu – malu pesan air putih.

“Baik Pak. Ditunggu sebentar ya…” terlihat pelayan wanita itu mengambil menu yang tadi diberikan kepada kami, lalu beranjak ke restoran tempat kami memesan menu – menu tadi.

Saat itu, yang sedang menyuguhkan musik live adalah sebuah kelompok band anak muda dan kebetulan saat itu yang dimainkan adalah lagu Marcell yang sempat hits yaitu “Takkan Terganti”. Hm…aku sempat terhanyut oleh bagian reff yang dinyanyikan oleh vokalis pria yang berdiri di panggung sana.

“Eh Kak Den! Ntar abis makan, kita main – main di Timezone yu! Cindy ada kartunya nih! Waktu itu bonus jadi isinya masih banyak. Hehe” tiba – tiba Cindy menarik – narik sedikit lenganku dan membuyarkan penghayatanku kepada lagu itu.

“Eh, oh ya ya!” Kebetulan nih. Walaupun aku sudah kuliah, aku tetap saja suka bermain – main di tempat – tempat seperti itu.

“Pa pa, nanti abis makan kita main – main dulu ya! Mumpung ada Kak Den nih…” Cindy bertanya pada Om John dengan ekspresi wajah anak kecil yang sedang meminta sesuatu kepada orang tuanya.

“Iya Cin. Tapi kita makan dulu ya…” Om John menjawab dengan lembut sambil mengelus – elus kepala Cindy. Hm…aku bisa melihat sekarang bahwa Om John adalah ayah yang sangat baik dan sayang pada Cindy. Aku jadi ingat ayah dan ibuku yang ada di rumah…

“Permisi…” tidak berapa lama pelayaan wanita yang tadi membawa sebuah nampan yang di atasnya sudah terdapat menu – menu yang kami pesan tadi. Kami, tepatnya aku makan dengan lahap. Tapi tetap saja aku makan dengan pelan – pelan. Takut ketahuan rakusnya hehehe…

……………..
……………..
……………..

“Eh kak itu bagus ya!” Cindy menunjuk – nunjuk sebuah boneka panda besar yang dipajang di etalase toko di mall tempat kami berjalan – jalan setelah kami makan dan bermain – main di Timezone tadi. Rasanya memang wajar Cindy menyukai boneka – boneka besar seperti itu.

“Iya…Cindy pengen beli ya??” tanyaku pada Cindy. Hm…rasanya kalau dia meminta pada Om John pasti langsung dibelikan deh…

“Iya sih Kak. Tapi nanti aja deh kalo Cindy uangnya uda cukup! Sekarang Cindy masih nyimpen terus dikit – dikit dari uang jajan yang dikasih papa” Ya ampun aku benar – benar kagum! Anak sekecil dia sudah mulai terbiasa dalam menabung. Aku ingat sekali saat aku kelas 3 SD, setiap punya uang jajan langsung kuhabiskan. Ternyata penilaianku terhadap anak sekarang yang makin canggih tetapi manja tidak sepenuhnya benar.

“Yu Cin, Den. Uda malem ini. Kita pulang aja ya…” Om John menghampiri kami dari arah samping. Tadi Om John sedang ke ATM yang ada di samping kanan toko tempat kami melihat boneka panda ini.

“Oh ya pa! Yu Kak!” Cindy menggandeng tangan kiriku dan berjalan berdampingan di kiriku. Om John berjalan sedikit lebih ke depan.

“Pa pa! Tungguin dong!” Cindy melepaskan gandenganku lalu berlari kecil ke arah Om John. Om John menoleh ke arahnya, tersenyum lalu menggandeng tangan kiri Cindy dengan tangan kanannya. Hahaha. Aku ditinggal sendirian di belakang deh.

“Kak!” Cindy tiba – tiba menoleh ke belakang, ke arahku. Aku berlari ke depan sedikit, lalu tangan kanan Cindy kembali menggandeng tangan kiriku sedangkan tangan kirinya menggandenga tangan kanan Om John. Kami bertiga berjalan bergandengan seperti itu di deretan pertokoan mall sampai dengan tempat parkiran tempat mobil Om John diparkir.

Sesampainya di tempat parkir, Om John membukakan pintu mobil bagian depan sebelah kiri terlebih dahulu, lalu Cindy naik masuk. Setelah itu barulah Om John membuka pintu mobil bagian depan sebelah kanan tempat menyetir, lalu naik ke dalam mobil. Aku membuka pintu mobil bagian tengah lalu naik setelah Cindy dan Om John naik. Mobil kijang biru tua ini pun melaju ke tempat pintu keluar mall yang terletak agak jauh dari lapangan tempat Om John memarkir mobil ini.

Selama perjalanan pulang, kulihat deretan lampu jalanan yang sudah menyala terang menghiasi jalan dari mall kembali ke rumah Om John. Aku jarang keluar malam – malam seperti ini, jadi tampaknya pemandangan lingkungan sekitarku masih cukup membuatku sedikit terkagum. Kulihat ada beberapa toko yang sudah hampir tutup, tetapi ada juga masih buka. Karena jalan dari mall menuju rumah Om John kebetulan lewat di bagian depan kostku, kulihat sejenak ke arah bangungan bertingkat 3 tempat kost – kostanku. Lampu bagian paling atas terlihat sudah menyala, dan hanya satu dari deretan jendela kamar paling atas yang terbuka yang menandakan bahwa itu adalah kamarku. Bila dilihat seperti ini, ternyata bangunan tempat kostku besar juga. Dan tidak terasa sekali bahwa aku sudah menginap di bangunan itu selama 3 setengah tahun.

Mobil sampai di tikungan yang mengarah ke jalan masuk cluster Opal. Oh ternyata sudah mau sampai toh…Jam berapa sekarang?

Kulihat sekilas jam digital yang kebetulan terlihat menyala terang pada pemutar vdc player yang ada di mobil Om John. Karena aku tepat duduk di tengah, dengan mudah bisa kulihat bahwa sekarang sudah hampir jam 22:01 atau sekitar jam sepuluh malam. Kulihat sekeliling, ternyata kami sudah berada pada jalan masuk cluster.

Aku akhirnya teringat hal apa yang sempat mengusikku saat hari Senin aku pertama kali datang dan yang tadi sore saat kami bertiga berjalan bergandengan di dalam deretan pertokoan mall tadi. Mungkin tidak begitu penting buatku, atau malah bukan urusanku sama sekali. Tapi jujur, ada baiknya aku mengetahui hal itu mengingat aku adalah guru privat Cindy dan mungkin kelak aku bisa bersikap yang tepat nantinya pada Cindy.

Tadi ada aku, Cindy, dan Om John…

Jadi…

Di mana mamanya Cindy…?

“Kamu mau masuk Den? Saya mau bawa Cindy ke dalam dulu!” kata Om John yang sedang menggendong Cindy di punggungnya. Kelihatannya Cindy ketiduran di dalam mobil tadi. Memang wajar untuk anak seusianya sudah merasa ngantuk jam segini.

“Oh gak Om. Saya tunggu di teras sini aja deh!” jawabku sambil berjalan menuju teras rumah Om John yang tidak begitu luas itu.

“Kalau gitu, kamu tunggu bentar ya…Duduk dulu aja di kursi” kata Om John yang kemudian masuk dengan tetap menggendong Cindy di punggungnya. Aku melihat dari depan pintu Om John dan Cindy masuk ke dalam dengan memunggungiku. Cindy terlihat sedikit terbangun, lalu mengusap – usap matanya, kemudian terlihat tertidur dengan meletakkan kepalanya di punggung ayahnya. Mereka kemudian menghilang ke lantai atas…

Hm….apa yang kulakukan sekarang???

Tampaknya mestinya tadi langsung saja kubilang mau pulang, jadi aku tidak perlu menunggu seperti ini. Lagipula aku cukup yakin akan lumayan lama menunggu Om John membawa Cindy ke kamarnya, lalu menidurkannya. Atau mungkin Om John akan membangunkannya terlebih dahulu, menyuruhnya menyikat gigi, lalu menemaninya sampai tertidur. Sudah pasti tidak akan makan waktu singkat…

Ya sudahlah. Aku memutuskan akan duduk saja di kursi yang ada di teras depan tempat ku berdiri sekarang. Duduk sendirian dengan dihembus angin malam seperti ini di lingkungan cluster mungkin juga bukan hal yang jelek. Siapa tau aku bisa dapat ilham, terutama untuk tugas skripsiku yang nasibnya masih diperjuangkan ini. Hufff…

Aku kemudian duduk di kursi yang ada di sisi kiri jika dilihat dari arah depan pintu setelah tentunya menutup pintu berlapis kawat nyamuk yang tadi dibiarkan terbuka oleh Om John karena langsung membawa Cindy ke dalam rumah tanpa menutupnya. Walaupun anti nyamuk, tentu saja nyamuk akan menyerbu rumah jika pintunya dibiarkan terbuka lebar seperti itu.

Aku duduk. Melihat ke arah jalanan kecil yang ada di depanku, sesekali melihat beberapa rumah yang bentuk, warna cat, dan tipe bangunannya sama seperti rumah ini, atau melihat ke arah kolam renang persegi panjang yang kebetulan berada di tengah – tengah cluster ini. Karena jarak dari rumah Om John tidak terlalu jauh dari pintu masuk cluster yang berada di tengah – tengah cluster, aku dapat melihat kolam renang itu dengan cukup jelas. Aku membayangkan jika andai saja ada orang yang berenang malam – malam begini, pasti orang itu nekad untuk masuk angin.

Aku mengeluarkan handphone nokia dari dalam tasku, melihat jamnya yang sudah bertuliskan “22:22”. Wow! Angka yang bagus! Tapi sayang itu artinya sudah hampir jam setengah 11 malam.

Aku tidak tahu berapa lama aku duduk menunggu di kursi ini. Mungkin sudah sekitar 5 atau 10 menit, dan buruknya, aku sudah mulai bosan.

Kutarik napas panjang, lalu aku iseng saja memejamkan mata sebentar. Aku tidak mengantuk, tapi tidak ada salahnya memejamkan mata sebentar.






“Den??” aku segera terbangun dari kesadaranku yang sudah setengah hilang tadi. Ternyata walaupun tidak mengantuk, itu bukan berarti badan kita tidak capek. Buktinya memejamkan mata sebentar seperti ini saja, aku langsung sudah kehilangan setengah kesadaran.

“Ah…maaf Om. Saya hampir ketiduran…” aku menjawab dengan mata yang hanya setengah terbuka. Aku tidak berani membayangkan bagaimana wajahku terlihat oleh Om John. Mungkin seperti anak – anak kuliahan malas yang dipaksa bangun pagi hanya karena waktu kuliahnya yang pagi hari.

“Ah gak apa – apa. Nih saya bawakan teh hangat…” Om John terlihat membawa 2 cangkir kecil berisikan teh dengan uapnya yang sedikit masih mengepul lengkap dengan piring kecilnya, lalu meletakkannya di meja yang ada di tengah. Aduh! Kenapa malah disuguhin teh ya? Jadi makin lama deh pulangnya…

“Ah gak usah repot – repot om…” aku yakin perkataan ini sama sekali tidak membantu dan memperkuat alasanku untuk segera pulang.

“Gak repot kok. Diminum dulu Den tehnya. Malem – malem begini enak minum yang hangat – hangat…” kata Om John sambil duduk di kursi yang ada di sebelahku.

Hhhh….ya sudahlah. Toh lagipula besok hari Sabtu, aku tidak harus ke kampus lagi.

Aku mengambil cangkir sudah disuguhkan itu, lalu meneguknya perlahan. Aku kaget karena tehnya tidak sepanas yang kukira. Hangatnya menurutku sangat pas. Bisa sedikit kurasakan rasa manis. Mungkin ditambahkan sedikit gula. Yang pasti tehnya sangat enak.

“Jadi gimana?” tiba – tiba Om John bertanya padaku.

“Oh tehnya enak kok Om!” jawabku spontan sambil menaruh kembali cangkir yang tadi kuminum. Ya ampun! Ternyata hampir kuminum habis semuanya. Haus atau doyan ya aku ini??

“Hahaha bukan. Maksud saya kamu. Gimana kamu seminggu ini ngajar Cindy?” Oh dia bertanya pendapatku tentang Cindy toh.

“Oh saya kirain tehnya Om. Hehe…” aku merasa malu tadi kujawab dengan sangat PD.

“Cindy…anaknya pinter kok Om. Dia cepet nangkap yang saya ajarin. Anaknya juga gak bandel kok Om. Lucu. Dari ceritanya sih, rasanya dia anak yang ramah sama teman – temannya juga kok.” Jawabku.

“Oh syukur deh. Saya jadi lega…” Om John tersenyum sambil menatap ke bawah. Hm…maksudnya apa ya lega??

Oh ya, aku ingat ada sesuatu yang ingin kutanyakan……

“Om…em…um…” Hei! Dasar mulut. Belom kuperintahkan ngomong, udah bunyi saja.

Tapi….

Tanya tidak ya….???

Gimana kalo jawabannya ternyata….

Haduh....!

“Ya…?” Om John balik bertanya. Ya tentu saja dia bingung. Lah aku cuma em…um… doang tadi.

Aku terdiam sejenak. Aku mulai ragu untuk bertanya. Lagipula apa memang penting buatku untuk tahu soal tadi?? Rasanya tidak deh…

“……………..Kamu bingung ya kenapa tadi kita cuma bertiga….?” Om John pun angkat bicara karena aku tidak kunjung membuka suara. Tepat sasaran. Sekarang aku benar –benar bingung mau jawab apa…

“Gak kok, Om…em…em…” em…lagi em…lagi. Penyakit lama kambuh…

“…..Istri saya…mamanya Cindy….sudah meninggal….” Om John memberikan jawaban yang sama persis dengan salah satu alternatif jawaban yang kupikirkan. Malah yang terburuk. Dasar bodoh aku ini…

Aku kehilangan kata – kata untuk berkata – kata. Aku hanya memandang Om John yang sekarang memandangiku. Dia tetap tersenyum…

“Istri saya…Lena…sudah meninggal 8 tahun lalu. Dia meninggal saat melahirkan Cindy…” Oh ternyata….

“Jadi Cindy belum pernah bertemu mamanya ya om?” Tiba – tiba aku spontan bertanya hal bodoh lalu langsung merasa jadi orang paling bodoh di dunia. Rasanya otakku bukan di kepala mungkin ya?? Mungkin di mulut. Belum apa – apa uda langsung nyerocos aja…

“Eh maaf om…” aku meminta maaf atas pertanyaan bodohku.

“Ah gak apa – apa Den. Iya…Cindy sendiri belum pernah bertemu langsung sama mamanya. Paling dia cuma bisa lihat mamanya di foto – foto yang ada di rumah aja…” Om John menjawab tetap dengan wajah tersenyum. Tapi…

Sebodoh – bodohnya atau setidak pekanya aku, aku yakin itu bukan senyum bahagia atau senyum lega. Bukan senyum yang dilontarkan seseorang saat menerima lotere. Bukan senyum seseorang saat memenangkan tender. Bukan pula senyum seseorang saat bercerita tentang sesuatu….

Ini senyum sedih…Senyum sedih saat seseorang menghadapi kenyataan pahit. Senyum sedih saat seseorang memaksa dirinya untuk tersenyum. Senyum sedih saat seseorang kehilangan sesuatu yang amat berharga baginya…

Aku tidak ingin Om John bercerita lebih banyak lagi. Hal itu hanya akan membuatnya bertambah sedih. Aku cukup tahu hal ini, tapi sudah benar – benar cukup hanya sebatas ini.

“Maaf Om…Um…Sudah malam. Saya pulang dulu aja ya…Takut kemalaman nanti.” Aku langsung mengakhiri pembicaraan ini. Aku beranjak dari tempat dudukku tanpa memberikan kesempatan pada Om John untuk meneruskan pembicaraan.

“Terima kasih ya Om tehnya…” aku memakai ransel di punggungku lalu mengangguk sedikit ke arah Om John, menuju sepedaku yang terparkir tepat di hadapanku.

“Oh sama – sama Den. Maaf ya jadi kemalaman begini…” Sekarang aku bisa melihat Om John tersenyum kembali. Kali ini tidak ada rasa sedih di raut wajahnya. Paling tidak dia tidak perlu mengingat – ingat lagi ceritanya tadi lebih jauh.

“Gak apa – apa Om. Oya, Om jangan tidur terlalu malam. Denger – denger lagi musim sakit Om sekarang.” Pesanku pada Om John.

“Oh hahaha. Kamu juga jaga kesehatan ya Den!” Om John tertawa kecil. Mungkin aneh dan lucu mendengar anak seusiaku menasehatinya seperti itu.

“Ya Om. Saya pulang dulu ya Om....” Aku tersenyum ke arahnya, lalu memutar sepedaku…

“Den!” Om John memanggilku kembali. Aku menoleh ke belakang dengan keadaan sudah naik di atas sepedaku.

Kulihat dia memandangku….Deg….Biasanya aku salah tingkah jika dilihat langsung seperti ini…

“Makasi ya….” Om John ternyata hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah menemani Cindy jalan – jalan malam ini. Seharusnya aku yang berterima kasih karena telah ditraktir malam ini.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu berbalik, mengayuh sepedaku ke arah pintu keluar, ke arah pos satpam tempat KTP ku ditawan.

Malam itu aku mengayuh sepeda seperti biasanya di jalanan keluar cluster yang sudah jauh lebih sepi dari sebelumnya. Aku hanya berpikir kasihan sekali Cindy yang belum pernah bertemu mamanya sejak lahir dan Om John yang kehilangan istrinya sampai sekarang. Aku merasa bersyukur masih diberikan orang tua yang lengkap, dibesarkan oleh kedua orangtuaku sampai sebesar ini, dan diberikan suasana keluarga yang harmonis.

Sambil merenung sedikit, aku mengayuh sepedaku ke arah jalan raya yang terihat dari kejauhan. Hanya suara putaran rantai sepedaku yang kudengar malam ini…

“Silakan ditunggu sebentar ya mas..!” jawab seorang wanita berpakaian rapi dengan setelan jas biru tua dengan kemeja putih dan rok panjang yang berwarna biru tua juga yang masuk ke lorong yang terletak di sisi kiri tempatku berdiri sekarang.

Hari ini hari Selasa dan aku telah berada di perusahaan tempat aku akan melakukan survey, Perusahaan Jaya Gading. Perusahaan ini bergerak di bidang supplier alat tulis kantor, sekolah, dan rumahan. Mungkin ini bukan perusahaan pusatnya, tapi di lingkungan tempat tinggalku sekarang, perusahaan ini cukup besar dan merupakan salah satu perusahaan yang paling banyak diincar oleh para lulusan dari kampusku. Aku sendiri sejujurnya ragu memilih perusahaan ini sebagai target surveyku, tapi apa boleh buat. Pengajuan tempat surveyku juga diterima oleh Pak Dedi karena perusahaan inilah yang aku pilih. Jadinya aku sedikit menyesal aku terburu – buru memilih perusahaan besar seperti ini sebagai bahan penulisan skripsiku. Coba perusahaan kecil atau franchise saja. Pasti akan lebih mudah dan sederhana. Tinggal bagaimana aku mengolah tata bahasaku saja agar terlihat menarik nanti di skripsi.

5 menit…
10 menit…

Aku duduk di sebuah sofa panjang berwarna hijau muda yang ada di samping pintu masuk otomatis di lobby tempat aku menyerahkan proposalku kepada petugas wanita tadi. Aku bilang padanya bahwa aku seorang mahasiswa yang meminta ijin untuk melakukan wawancara dengan manajer perusahaan seputar tentang sistem penggajian yang berjalan di perusahaan ini, bagaimana implementasinya, hubungannya dengan sistem lain dan bla bla bla… Aku sudah menulisnya semua dalam surat pengajuan beserta surat pengantar resmi dari kampusku lengkap jadi satu dibungkus dalam map coklat dan sudah kuberikan tadi. Aku gugup walaupun sekarang aku cuma ingin membuat janji. Rencananya pertanyaan dan seputarnya akan kubahas lagi hari Kamis dengan Pak Dedi lalu baru melakukan wawancara resmi dengan manajernya sesuai dengan jadwal yang disepakati nantinya.




... bersambung ke bagian ke-2

sumber: http://gayindo.forumotion.net/t18686p126-om-john-cinta-pertamaku

No comments:

Post a Comment

Paling Populer Selama Ini