5/24/2011

Om John, cinta pertamaku - bag. II

... dari bagian ke-1
-----------------------
Aku bingung kenapa petugas wanita tadi lama sekali ya?? Padahal cuma mengantarkan surat itu saja, kemudian dibaca oleh manajernya, lalu manajernya tinggal memberi pesan, terserah deh tertulis atau lisan atau lewat sms langsung ke aku juga boleh. Hm….Aku hanya menerawang ke arah luar jendela kaca. Bisa kulihat kampusku yang masih sedikit terlihat bagian atapnya dari tempatku duduk. Memang kebetulan perusahaan ini tidak terlalu jauh dari kampusku.

“Maaf Mas…” tiba – tiba aku kaget karena petugas wanita tadi sudah berdiri di sampingku. Kapan dia muncul?? Apa resepsionis diajarkan untuk berjalan tanpa diketahui orang ya???

“Iya Mbak? Jadi gimana ya?” tanyaku tidak sabar. Aku siap apapun jawabannya asal...

“Maaf mas, Bapak Manajernya sekarang sedang rapat, dan beliau bilang tidak sempat membaca surat pengajuan wawancara ini sekarang, apalagi beliau bilang banyak jadwal wawancara lain yang harus beliau lakukan, jadi tampaknya jadwal wawancara dengan Mas masih belum bisa dibuat sekarang…” YA AMPUN!! Padahal baru saja aku mau bilang aku siap kapan saja. Sekarang gimana??

“Oh kalau begitu, surat ini saya tinggal aja di sini ya Mbak? Jika sudah ada jawaban yang pasti, tolong hubungi saya aja bagaimana? Nomor saya ada di dalam surat itu…” jawabku kepada petugas wanita itu sambil menunjuk ke arah map coklat yang dia pegang dengan tangan kanannya.

“Baik Mas. Sebelumnya maaf ya…” petugas wanita itu meminta maaf. Sebenarnya ini bukan salahnya. Kenapa sih Bapak Manajer itu selalu sibuk?? Apa jangan – jangan sebenarnya dia hanya menghindar wawancara dengan mahasiswa karena takut diekspos semuanya??? Ya elah…rasanya tidak akan kutanya sampai sebegitunya… Grrr!!!!!!!!

Aku keluar dari pintu otomatis di dengan raut muka senyum yang jelas – jelas dipaksakan. Ya ampun kenapa susah sekali meminta waktu wawancara saja?? Toh lagipula pasti hasilnya perusahaan ini akan menjadi lebih tenar dari sebelumnya. Dengan langkah yang berat, aku menuju ke parkiran depan gedung tempat sepedaku berada. Parkiran depan gedung perusahaan ini biasanya ditujukan untuk sepeda motor, tapi satpam yang berjaga di pos tepat di samping tempat sepedaku diparkir bilang bahwa sepedaku diparkir saja di sini.

“Mari Pak, saya duluan!” ucapku pada mas satpam yang dibalas dengan angkatan telapak tangannya. Kebetulan ini hari Senin dan seperti biasa aku mempunyai jadwal mengajar di rumah Cindy.

Jarak dari gedung perusahaan ini ke rumah Cindy hampir sama dengan jarak dari kampusku ke rumah Cindy. Tidak berbeda jauh, tapi mungkin sedikit lebih dekat. Aku cukup bingung melihat langit yang sudah mulai mendung kembali. Akhir – akhir ini turunnya hujan sama sekali tidak dapat diperkirakan. Saat aku datang ke perusahaan ini setengah jam yang lalu, aku yakin langit masih terang tadi. Sekarang sudah berwarna abu – abu pekat yang menandakan akan turun hujan yang cukup lebat nanti. Memang mendekati akhir bulan Februari seperti ini, cuaca tidak menentu dan sulit diperkirakan.

Aku hanya berharap hujan tidak turun di tengah jalan….

Tapi terlambat…

Hujan mulai turun begitu aku mulai memasuki jalan masuk ke cluster tempat rumah Cindy berada. Karena aku menganut sistem “nekat”, aku tetap mengayuh sepedaku sekuat tenaga, pada gigi tertinggi,dan kecepatan tertinggi.

“Uda mas gak apa – apa! Langsung aja!” kata satpam yang menjaga di pos depan cluster Opal. Hahaha. Pasti dia sudah lumayan kenal sama aku. Mungkin juga dia sudah tahu kalau aku menjadi guru privat salah satu rumah di dalam. Atau mungkin karena dia tahu aku kehujanan?? Ya…apapun bolehlah…

“Makasih ya Mas!” aku langsung saja mengayuh ke dalam di tengah derasnya guyuran hujan dan…

GUSRAKK!! Aku mendadak kehilangan keseimbangan tepat saat di belokan ke arah kiri mengarah ke rumah Cindy dan aku terjatuh dari sepedaku ke arah kiri. Aku terjatuh tepat di depan teras yang ada di rumah Cindy dengan keadaan tubuhku terjatuh ke arah kiri, dan betis kiriku tertimpa pedal sepeda dengan cukup keras.

Awww….aku merasakan nyeri sedikit pada bagian betis kiriku. Apa mungkin terluka ya?? Rasanya tidak…mungkin hanya sedikit memar saja. Hari ini aku memakai celana jenis katun yang cukup tebal, jadi rasanya cukup bagus melindungi betisku saat terjatuh tadi.

Aku langsung berdiri dan mendirikan sepedaku, lalu memasang standarnya tanpa menguncinya kembali. Aku tidak punya banyak waktu untuk mengambil terlebih dahulu gembok dan kunci yang kusimpan di tas ranselku, melingkarkannya di sekitar roda sepedaku, menguncinya, lalu memasukkan kuncinya kembali ke dalam tas ranselku. Akan memakan cukup waktu dan aku akan benar – benar membanjiri teras depan rumah Cindy dari air yang menetes dari pakaianku.

Sambil mengelap – ngelap sedikit lengan kanan dan kiriku yang basah, aku menekan bel seperti biasa. Aku menyibakkan rambutku yang sudah mulai panjang kembali sambil menunggu seseorang datang membukakan pintu. Bisa kurasakan hawa dingin hujan sedikit menusuk kulit tubuhku dicampur dengan sedikit rasa nyeri di bagian betis kiriku. Baju merah dan celana biru tuaku sudah cukup basah karena hujan. Sepatu dan kaos kakiku juga basah. Aku berharap Cindy tidak akan terganggu dengan penampilanku hari ini.

“Eh Kak Dennis, masuk yuk!” ternyata Cindy yang membukakan pintu. Ia masih mengenakan seragam sekolah putih merahnya.

“Halo Cin. Maaf ya kakak kehujanan nih!” aku meminta maaf pada Cindy karena mungkin aku terlihat agak berantakkan sekarang.

“Gak apa – apa kok Kak!” Cindy menjawab dengan senyum yang menurutku sangat lucu. Giginya tersusun rapi dan wajahnya putih dengan pipi sedikit tembem.

Aku melepaskan sepatu dan kaos kakiku dan seperti biasa, kutaruh di teras depan rumah di samping pintu depan. Cindy sudah masuk duluan ke dalam dengan membiarkan pintu dalam keadaan terbuka. Aku masuk, menutup pintu depan dengan perlahan setelah sebelumnya mengeringkan kakiku yang sedikit basah di keset depan, lalu masuk dan duduk di sofa tempat kami biasa belajar. Aku tidak melihat Cindy dimana – mana. Mungkin dia naik ke atas…

“Kak! Hari ini Cindy ada PR. Bantuin ya Kak!” ternyata benar Cindy naik ke atas tadi karena terlihat dia turun dari lantai atas dengan membawa sebuah buku besar tipis. Aku tidak melihat dengan jelas buku apa itu karena tertutup oleh pagar pengaman tangga.

“Oke Cin. PR apa nih??” aku bertanya saat Cindy sudah berada di lantai bawah dan berlari ke arah tempatku duduk.

“PR seni musik Kak!” Cindy menjawab antusias.

APA!!! PR seni musik?? Mati aku…

Oh Tuhan di antara semua pelajaran yang ada, mengapa kau harus memberiku tugas yang teramat sulit seperti ini??? Mengajarkan seni musik kepada seorang anak perempuan kelas 3 SD. Aku memang suka musik, tapi itu bukan berarti aku dapat mengajarkannya.

“Jadi gini Kak, ini PR Cindy. Jadi Cindy mesti ngubah angka – angka ini jadi bentuk – bentuk yang ada kepala, terus bendera, tangkai. Um…Cindy gak inget tu namanya Kak…Kakak tahu gak??” Cindy langsung menyerbuku dengan pertanyaan yang benar – benar sesuai dengan perkiraanku sambil membuka lembaran yang ternyata sudah ada 5 garis tipis masing – masing di setiap halamannya sebanyak kurang lebih 5 buah di satu halaman. Ternyata Cindy belajar not balok. Sesuatu yang sempat membuatku tertatih – tatih pada saat pertama kali aku mempelajarinya dulu.

“Oh itu namanya not balok deh kalo gak salah Cin…” jawabku sekenanya saja. Ya lagipula kalaupun ujian, tidak akan ditanyakan lah benda ini disebut apa, mengapa benda ini ada, dan bla bla bla sebagainya.

“Oh ya not balok Kak! Cindy baru inget. Um…jadi Cindy agak bingung nih gimana caranya ya kok angka bisa jadi not – not balok. Terus angka – angkanya kok ada garis – garisnya gitu sih diatasnya???” Oh Cindy, jangan membuat Kak Dennis ini lebih menderita lagi.

“Ok…jadi….erm….begini…” Akhirnya dengan tekad sekuat baja, aku berusaha untuk menjelaskannya kepada Cindy. Bahwa angka – angka dengan garis di atasnya itu berpengaruh pada ketukan musik setelah sebelumnya aku memberitahu apa itu ketukan. Bukannya aku tidak mengerti tentang not balok. Aku mengerti, hanya saja aku belum pernah sekalipun mengajar seni musik pada anak – anak privatku sebelumnya. Jadi bisa dibilang, Cindy adalah anak privatku yang pertama yang aku ajarkan seni musik. Semoga saja aku tidak memberikan penjelasan yang salah atau terlalu sulit dipahami.

“Jadi ya begitu Cin. Ketukan itu ada banyak macemnya. Ada yang 3 / 4, 4 / 4, 6 / 8, dan yang lainnya. Tapi biasanya sih yang paling umum dipakai di lagu – lagu sekarang sih 4 / 4. Terus itu kan ada tulisan 1 = C, artinya mulainya itu di kunci C. Terus yang tulisan titik – titik di belakang angka ini maksudnya…”

“Aduh Kak! Jadi bingung deh Cindy. Kunci C itu yang kayak gimana ya?? Terus kok bisa sih lagu itu pake kunci C?? Kenapa gak D, ato E, ato A aja gitu supaya gampang??? Kan A itu berarti mulai dari pertama??” Cindy menanyai hal – hal yang memang sih berhubungan erat dengan seni musik. Tapi gimana aku ngejelasinnya!!?!?!?!?

“Hm…itu sih terserah yang maen sih Cin. Si yang maenin lagu itu mau pake kunci apa. Bisa C, bisa D, bisa E, bisa A, terserah sih. Tapi setiap kunci yang dipiih, nanti lagunya juga bakal kedengeran lain…” aku masih bergumul dengan penjelasan yang kuberikan. Cindy kira – kira ngerti gak ya???

“Ah Cindy bingung. Perasaan kalo Cindy maen, gak pernah merhatiin yang kayak gitu – gitu deh…” terlihat raut wajah Cindy yang sudah mulai merengut. Wajar sih… Eh tapi tunggu dulu…Maksudnya Cindy pas dia bilang “pas maen”… itu maksudnya….

“Hm??? Kamu maen….keyboard…ato piano….gitu maksudnya???” tanyaku penasaran. Wah kalau misalnya ada alat musiknya, pasti lebih gampang deh ngejelasinnya.

“Ada sih kak. Di lantai atas, di deket kamarnya Papa. Ada keyboard. Cindy pernah sih diajarin papa maen lagu, tapi papa gak pernah bilang tuh ada yang beginian…” Cindy menjawab sambil mengangkat dan menunjuk – nunjuk ke lantai atas dengan jari telunjuk kanannya.

“Oh kamu ada keyboard ya??? Gimana kalau kita ke atas aja langsung kita praktekkin??? Kakak yakin deh kamu lebih bisa ngerti” aku akhirnya angkat bicara juga. Ya…bisa dibayangin kan kita belajar sesuatu dan belum pernah dipraktekkin sekalipun. Pasti walaupun merasa ngerti, merasa hampa…

“Oh ya uda Kak! Kalo gitu ke atas aja kali ya??” Cindy menjawab sambil membereskan buku musik yang tadi sempat kucoret – coret sedikit

“Oke Cin. Yu…” Aku menggandeng tangan Cindy dan bersama Cindy naik ke lantai atas dengan menaiki tangga yang ada di ruang tamu itu…






Ternyata bagian atas rumah Cindy terhubung langsung dengan beranda luar dengan di sisi kiri dan kanannya ada sebuah pintu berjendela kaca besar untuk menutup beranda. Bisa kulihat pagar pengaman berwarna sama dengan cat rumah ini sedikit menghalangi pandanganku ke rumah yang ada di seberang, ditambah lagi hari yang sudah mulai gelap. Di lantai atas hanya terdapat 2 buah pintu kayu yang saling berseberangan, susunan sofa yang membentuk huruf L berwarna biru tua yang terdapat di sudut kiri ruangan, dan sebuah keyboard….tunggu itu piano! Piano itu terletak di sisi kanan, mepet ke arah tembok dan berada persis di sebelah kanan pintu yang ada di sisi kanan. Bukan grand piano, hanya piano kecil berwarna coklat kehitaman dengan merk Yamaha jelas terpampang di salah satu bagian piano itu.

“Kak ini keyboardnya!!” Cindy melepas gandenganku lalu menunjuk ke arah piano yang dia bilang sebagai “keyboard” itu.

“Itu sebenarnya piano Cin. Bukan keyboard” Aku tersenyum melihat Cindy. Memang mungkin keyboard dan piano hampir mirip, tapi paling tidak aku tahu sedikit perbedaannya dan ada baiknya aku memberitahu Cindy.

“Oh jadi ini piano ya??? Cindy kirain keyboard…” jawab Cindy sambil duduk di kursi tanpa sandaran yang ada di depan piano itu, lalu membuka tutup piano itu dengan menggesernya ke dalam. Aku mendekat dan bisa kulihat banyak tombol di sana – sini dengan deretan tuts putih dan hitam yang rapi layaknya piano – piano lain. Hm…

Cindy menekan sebuah tombol yang terpisah dari tombol – tombol yang aku tidak begitu tahu fungsinya dan terlihat layar piano itu mulai menyala dengan diawali deretan lampu warna – warni yang sebelumnya muncul beruntun di sisi atas tuts piano.

Cindy mencoba menekan satu tuts dan bisa kudengar bunyi “ting”. Aku tidak tahu nada apa itu. Aku bukan orang peka akan nada.

“Jadi gimana Kak?” Cindy menoleh ke arah ku yang sekarang sudah berdiri di sisi kirinya.

“Jadi ini yang namanya…” Aku menjelaskan kepada Cindy apa itu kunci, tangga nada, sekaligus mempraktekannya. Mengapa bisa terdapat nada dasar C, apa maksudnya, dan segala macam pertanyaan yang diajukan Cindy seputar lagu, sambil sedikit demi sedikit membantunya mengerjakan PR seni musiknya…

Dan….akhirnya sekitar setengah jam, atau 45 menit atau berapapun lah PR seni musik Cindy selesai juga. Kelihatannya Cindy juga mulai memahami cara – cara mengubah not angka menjadi not balok. Hufff….Kulihat ke arah luar, hari sudah gelap. Sudah jam berapa ya???

“Eh Kak, Cindy kan cuma ada PR ini aja terus kan uda selesai. Papa juga belum pulang. Jadi kita main – main dulu yu???” Cindy tiba – tiba berbicara dengan nada yang sekarang sudah terdengar senang. Sebelumnya daritadi nada bicara Cindy menggambarkan seorang anak berusia 8 tahun yang mulai putus asa menyelesaikan Prnya. Eh ya tapi ngomong – ngomong Om John dari tadi tidak ada di rumah ya?? Aku baru sadar. Kemana ya Om John??? Sampai malam begini belum pulang??

“Nih Kak! Cindy bisa maenin satu lagu nih. Diajarin sama papa. Dengerin yah Kak!!” Cindy terlihat sangat gembira dan mengambil posisi layaknya seorang pianis. Hm…Aku penasaran lagu apa yang akan dia mainkan ya…

Ting Ting Ting Ting Ting Ting Ting….Hei…Aku tahu lagu ini! Twinkle twinkle little star…Lagu anak – anak yang paling sering kudengar. Walaupun sederhana, tetap saja enak mendengarkannya…

Satu persatu Cindy menekan tutsnya secara bergantian dan aku hanya tersenyum melihatnya. Kulihat ada suatu buku berjilid spiral yang berdiri di tempat biasanya partitur lagu dipajang. Aku iseng mengambilnya dan membuka lembarnya satu demi satu sambil terus mendengar alunan piano Cindy yang sangat menenangkan hati.

Hm…First Love….Tonight I’ll Celebrate My Love…River Flows In You…Buset dah. Lagunya tidak ada satupun yang bisa kumainkan. Aku tahu lagunya tapi tidak satupun lagu yang bisa kumainkan….Tapi….tunggu….

Terpampang jelas di situ judul lagu yang amat kukenal…”Eyes On Me”. Aku ingat ini adalah satu – satunya lagu dengan piano yang bisa kumainkan. Aku tidak bisa main piano, tetapi aku ingat sekali bahwa aku penggemar berat lagu ini saat aku memainkan game Final Fantasy VIII saat aku kecil dulu dan berusaha untuk dapat memainkannya dengan piano…Sudah berapa lama ya sekarang??? Apa masih bisa kumainkan lagu ini???

“Kak! Gimana??? Bagus gak??” Cindy melihatku dengan wajah berbinar – binar. Aku tidak sadar dia sudah selesai memainkan lagunya.

“Bagus banget deh Cin. Kamu punya bakat nih main piano. Hahaha!” aku mengelus – ngelus kepala Cindy dan terlihat dia tertawa – tawa kecil.

“Kak! Mau coba maenin gak?? Mumpung gak ada papa nih. Hehe…” Cindy tiba – tiba menawarkan ku untuk mencoba memainkan pianonya. Mumpung gak ada Om John?? Wah, kalau misalnya ketahuan gimana ya???

“Ayo Kak! Coba aja dimaenin! Lagu apa aja boleh!” Cindy berdiri dari duduknya lalu menarik tanganku untuk duduk di kursi tanpa sandaran itu. Aku duduk sambil menatap deretan tuts putih dan hitam yang ada di hadapanku sekarang. Tangan kananku masih memegang buku kumpulan lagu yang kubuka tadi. Kutaruh kembali buku itu ke tempatnya dengan satu halaman yang terbuka. Lagu yang sangat kusuka.

“Lagu apa itu kak?” Cindy bertanya dan aku menoleh ke arahnya.

“Ini doang Cin yang bisa kakak maenin, tapi uda lama juga sih. Gak tau deh masih bisa apa gak..” aku menjawab dengan senyuman ragu yang kupaksakan.

“Oh coba Kak coba! Cindy mau denger!!!” Cindy sekarang melompat – lompat kegirangan. Aku tersenyum lalu mulai memfokuskan diriku ke deretan tuts yang rapi itu lalu mencari letak nada pertama yang cocok dengan tangan kanan dan kiriku.

Aku ragu….

Perlahan…kutekan tuts yang ada tepat di bawah jempol tangan kananku… Satu persatu kumainkan jariku pada tuts piano yang terkenal berat itu….

(biar mudah dibayangin, bayangin aja si Dennis maenin pianonya kayak begini) http://www.youtube.com/watch?v=iMJ9OTXsQSg

Entah kenapa walaupun sudah mungkin bertahun – tahun tidak kumainkan, alunan nadanya masih bisa kuhapal….atau mungkin tepatnya masih bisa kurasakan dengan jelas.

Jari jemariku mampu mengingat posisinya masing – masing dalam memainkan lagu itu. Aku sedikit menggerakkan kepalaku… mungkin terbawa suasana lagu ini. Aku tidak tahu apakan Cindy suka dengan permainanku. Tapi…paling tidak dia mau mendengarkannya sampai selesai…

….
….
….

Kutekan jempol kananku pada tuts putih yang mengakhiri lagu ini…
Huff….ternyata aku masih bisa memainkannya sampai selesai...
Bisa kurasakan ada beberapa nada yang sempat selip tadi…
Tapi tidak apa….

Terdengar suara tepukan tangan membuatku tersadar kembali pada posisi dudukku…

Aku sentak menoleh ke arah tepuk tangan itu terdengar, dari arah tangga yang menuju ke bawah. Kulihat sosok laki – laki yang masih memakai jas lengkap dengan setelan kemeja putih dan dasi polos merah tua berdiri di sana dengan wajah tersenyum. Om John…Apa dia mendengar semuanya???? Malu sekali aku rasanya memainkan piano ini tanpa ijin.

“Eh papa! Kak Dennis tadi maenin lagu yang bagggusss banget! Papa denger gak tadi???” Cindy berlari menghampiri Om John lalu langsung memeluknya. Bagus?? Benarkah tadi itu terdengar bagus???

“Iya, tadi papa liat kok. Cindy, maaf ya papa pulang telat. Tadi ada rapat di kantor.” Om John melepas pelukannya sedikit lalu berbicara ke arah Cindy sambil mengelus – ngelus rambut panjang Cindy yang terkuncir rapi ke belakang. Oh rupanya tadi Om John ada rapat, makanya pulangnya malam begini…Ngomong – ngomong sekarang uda jam berapa ya?? Tadi aku lupa mengecek jam di HP ku karena tiba – tiba disuruh Cindy untuk mencoba piano ini.

Om John melepas pelukan Cindy, lalu menggandengnya berjalan menuju ke arahku. Aku sentak berdiri setelah sadar betapa tidak sopannya aku tetap duduk di kursi piano sedangkan dapat ijin untuk memainkan piaonya saja tidak. Dasar aku….

“Om, maaf ya tadi saya maenin pianonya” pintaku sambil menundukkan kepala sedikit. Aku sudah siap jika memang harus diomeli.

“Oalah gak apa – apa kok Den! Saya justru kaget lo kamu bisa maenin lagu bagus tadi!.” Untunglah Om John tidak marah, malah dia suka dengan permainan pianoku tadi. Syukur syukur…

“Pa….pa! Hari ini kita makan apa???” Cindy menarik – narik tangan kanan Om John yang digandengnya. Bisa kukira – kira mungkin ini sudah hampir jam tujuh karena biasanya anak seumuran Cindy sudah mulai lapar jam – jam segitu. Ya….walau tidak semua anak umur 8 tahun begitu sih…

“Oh papa uda beliin nasi goreng. Tu Cin ada di bawah!” Om John menjawab dengan menggerakkan sedikit kepalanya menandakan nasi goreng yang telah dibelinya ada lantai bawah. Ah….aku jadi lapar…

Cindy lalu bergegas turun ke bawah dengan berlari – lari. Aku tersenyum melihat Om John yang juga tersenyum padaku. Tunggu….Aku jadi grogi bila Om John senyum – senyum begitu melihatku. Apa ada yang salah dengan mukaku ya?? O…pasti dia marah pianonya kumainkan tadi.

“Den, kamu juga belom makan kan? Saya beliin juga buat kamu….Yu ke bawah…” Ha??? Serius?? Kebetulan sekali. Tapi artinya aku sudah 2 kali makan gratis….

Tapi….kan gak mungkin banget jika aku menolak…

Jadi….

“Oya Om. Makasi ya!” aku tersenyum, lalu meng – off kan piano tadi lalu menutupnya kembali berikut dengan buku musik yang tadi masih terbuka. Aku berjalan menuju tempat Om John berdiri dekat tangga…Duh! Ternyata memang ada yang salah dengan kaki kiriku. Pasti gara – gara terjatuh dari sepeda tadi…

“Kenapa kamu Den?” Om John tiba – tiba bertanya. Pasti karena cara jalanku yang agak aneh.

“Oh gapapa kok om!” aku menjawab, lalu dengan cepat turun ke lantai bawah dengan cara jalan sewajar – wajarnya walaupun dengan cara itu aku merasa lebih sakit dari sebelumnya.

Oh Tuhan, semoga saja lukanya tidak terlalu parah…

….
….
….

Aku melihat Cindy sedang asyik menonton acara Opera Van Java yang ditayangkan di Trans 7. Setelah kami makan tadi, Cindy langsung menyalakan TV lalu menyetel acara ini. Aku juga cukup suka acara ini. Sangat bagus mengusir stress setelah seharian penuh berkutat dengan urusan kuliah. Sesekali Cindy tertawa melihat acara itu. Hahaha…Cindy sangat lucu saat dia tertawa.

Om John sendiri seusai makan tadi, langsung bergegas ke lantai atas. Mungkin ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Cindy asyik menonton TV dan Om John asyik mengerjakan pekerjaan kantornya. Rasanya saat yang sangat bagus buatku untuk segera pulang. Aku ingin segera mengobati kaki kiriku yang bermasalah ini sebelum nantinya bertambah parah atau infeksi. Tapi….ada satu masalah….

“Den, coba kamu duduk di sofa. Kayaknya kaki kiri kamu ada yang luka deh…” Om John tiba – tiba turun dari lantai atas. Masih dengan setelan lengkap hanya saja tanpa jasnya. Tanpanya dia membawa sesuatu yang tidak bisa jelas kulihat. Hah!?!? Ya ampun…ketahuan ya??? Aku memang tidak pandai berakting.

“Gak apa – apa kok Om! Di kostan saya aja deh. Saya juga uda mau pulang kok!” Aku merasa sangat – sangat bodoh telah mengatakan bahwa “mau pulang”. Jelas – jelas hujan masih turun tanpa belas kasihan di luar sana.

“Uda, kamu duduk aja! Cin, geser sedikit ya…Kak Dennis mau duduk” Om John berkata kepada Cindy sambil terus berjalan menuju arah sofa.

“Eh papa kok bawa – bawa betadine sama obat gosok???” Cindy bertanya sambil menggeser sedikit posisi duduknya tadi. Betadine…obat gosok….kombinasi yang sangat pas. Hhhh….tidak ada salahnya aku mengobatinya di sini daripada makin parah nanti.

“Kak Dennis kayaknya agak luka deh. Den ayo sini!” Om John duduk di sebelah kiri Cindy, menyisakan ruang kosong yang cukup lebar di posisi tengah. Aku hanya mengangguk, lalu berjalan ke arah sofa dan duduk di tengah – tengah mereka berdua….

“Ayo Den! Coba deh kamu angkat celanamu sedikit.” Om John menyuruhku menggulung sedikit celana katunku supaya kelihatan apa yang mengganjal dan membuatku menderita selama 2 setengah jam tadi.

Dengan ragu – ragu, kuangkat sedikit celana katunku bagian kaki sebelah kiri. Begitu setinggi setegah lutut, terpampanglah satu garis luka memanjang arah bawah berwarna merah di bagian pertengahan antara betis dan tulang keringku. Masih ada bekas memar, mungkin sebesar ibu jari yang terlihat sudah mulai membiru di bagian tulang keringku, sejajar dengan luka tadi. Wah…pantesan…gimana gak sakit???

“Waduh! Lukanya panjang lo Den! Ada yang biru lagi di sini?? Kenapa kamu gak bilang dari tadi?” Om John terlihat sedikit tidak nyaman mengatakan hal itu. Ya…kan gak mungkin aku bilang juga Om…

“Maaf Om….” Aku hanya minta maaf saja. Ya…habis aku tidak bisa bicara yang lain lagi sih…

“Hm…diobatin dulu aja ya? Nih kebetulan ada betadine sama obat gosok…” Om John menaruh kedua botol itu di atas meja kaca yang ada di tengah – tengah.

“Wah kakak! Gak sakit tuh kak??” Cindy bertanya – tanya.

“Um…sedikit sih Cin. Tapi gak apa – apa sih…Hehe” aku menjawab sambil tertawa – tawa. Masa aku bilang “aduh sakit banget! SUMPAH!”.

“Hm…mungkin lebih bagus digosok dulu kali ya bagian yang memar, baru yang luka diobatin…” Om John menyarankanku untuk mengobati bagian yang memar dulu, baru lukanya. Ya..masuk akal sih.

“Pa, Cindy ke atas dulu ya! Mau sikat gigi dulu!” Cindy terlihat beranjak dari duduknya lalu berlari ke arah atas. Om John hanya mengangguk. Kulihat saluran Trans 7 sedang menyiarkan iklan. Mungkin dia akan balik lagi ketika acaranya dimulai lagi….

Oke jadi memarnya dulu baru…

“Bisa kamu gosok sendiri Den?” Om John bertanya padaku.

“Bisa Om!” Aku menjawab sekenanya. Aku membuka tutup botol obat gosok itu, lalu menuangkannya sedikit ke tangan kananku, lalu perlahan mulai menggosok….bagian yang terlihat biru mengerikan itu. Uh….sensasi perih, sakit, entah apa namanya lagi mulai terasa. Tidak kukira memar seperti ini saja sangat membuatku bertekuk lutut.

“Kayaknya agak susah ya kalo kamu sendiri Den….Mending saya aja yang gosok deh…” HAH!?!?!?

“Gak apa – apa Om!” aku panik setengah mati. Eh…kenapa aku panik ya???

Om John tiba – tiba memegang dan mengangkat kaki kiriku lalu meletakkannya di….pangkuannya. Aku hanya bisa diam…Aku benar – benar tidak mampu berkata – kata…

Dengan cekatan, Om John menuangkan sedikit obat gosok itu di tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegan pergelangan kaki kiriku. Dia mulai menggosoknya….ARGH! Sakit sekali. Aku mengerenyitkan wajahku menahan rasa sakit.

“Ditahan sedikit ya Den…Kalo begini baru bisa cepet sembuh…” Om John menatapku dengan pandangan….khawatir????

Aku diam saja. Tidak mengangguk. Tidak menggeleng. Tidak berkata apa pun. Aku sudah cukup shock dengan keadaanku sekarang….




Sakit yang kurasakan sedikit demi sedikit sudah mulai membuatku terbiasa. Kulihat Om John masih menggosok bagian memarku itu dengan jari – jari tangan kanannya. Sepertinya ini hal yang wajar…tapi….

“Ya sudah lumayan lah!” Om John mengangkat kembali kaki kiriku lalu meletakkannya kembali ke lantai. Kulihat masih ada bekas cairan coklat tua di bagian yang berwarna biru itu.

“Betadinenya kamu pakai sendiri ya. Saya mau cuci tangan dulu!” Om John berdiri dari duduknya lalu pergi ke dapur di belakang.

….
….
….

Aku kembali menaiki sepedaku. Di pintu terlihat Om John dan Cindy. Hujan sudah berhenti dan hari sudah mulai malam.

“Hati – hati ya Den!”

“Iya Om. Makasi banyak ya!”

“Hati – hati ya Kak!” Cindy melambai – lambaikan tangannya ke arahku.

Seperti biasa…jalanan cluster terlihat sepi karena hari sudah mulai malam. Masih ada genangan air di pinggir jalan akibat hujan deras tadi.

Aku mengayuh sepedaku…Lebih perlahan dari biasanya, karena kaki kiriku masih sakit akibat tadi…

….
….
Kurasa apa yang dilakukan Om John tadi wajar. Dia hanya khawatir denganku dan berusaha untuk membantuku…Tidak ada yang aneh…Tidak ada yang tidak wajar...

Ya…pasti begitu….

“Hoi, Den! Bengong aje lu!?!?” tiba – tiba aku tersadar dari lamunanku sendiri yang aku tidak tahu apa itu. Ah…dasar David! Ngagetin terus deh bisanya…

“Buset deh…Dari tadi bengong mulu lu…Ada apaan??” temanku David bertanya. David adalah teman satu angkatan dan satu jurusan denganku. Dia juga sama denganku, sedang berkutat dan berjuang untuk mengerjakan skripsinya. Kalau tidak salah akhirnya tema skripsinya diterima juga. Tentang…sistem inventory kalau tidak salah atau apa lah…

“Um…kagak vid! Bingung aja gua, dari tadi ujan kagak berhenti nih. Padahal kostan gua deket, tapi kalo gini deres mah bisa basah kuyup gua…” jawabku sambil sedikit melihat ke arah luar jendela bening besar yang ada di samping kanan tempat kami duduk. Sekarang kami berada di food court mall, sekitar jam 6 sore hari Jumat. Sudah sekitar satu jam kami duduk di sini membahas beberapa teori tentang analisis sistem. Kebetulan tema skripsi kami hampir sama, jadi kami bahas saja.

“Iya nih...Padahal perasaan tadi jem 5 an gua datang langitnya masih cerah – cerah aja tuh. Ya…lu masih enak lah kostannya deket. Kostan gua jauh, mana gua naik motor lagi. Kagak bisa pulang beneran gua…” Oya aku lupa kalo kostan si David lebih jauh lagi. Um…tepatnya dia ngontrak sih bareng satu temannya yang lain.

“Hahaha..makanya kan uda gua bilang dulu, mending satu kostan sama gua aja!”

“Ya…waktu itu gua uda terlanjur ngontrak. Gimana lagi donk?? Eh…ngomong – ngomong gimana tu nasib anak privat lu??? Hari ini kan mestinya lu ngajar kan??” David bertanya dengan muka sedikit kaget. Alisnya yang sedikit tebal terlihat sedikit menyeramkan dengan muka mengerenyit seperti itu.

“Oh…tadi bapak anak privat gua…si Cindy sms. Katanya hari ini Cindy ada kegiatan retret gitu di sekolahnya ke….ke mana gitu gua lupa…Pulang hari Sabtu sore katanya. Jadi hari ini gua gak ngajar deh. Hohoho” Aku menjawab sambil tertawa – tawa sedikit. Sebenernya sih jujur aku seneng – seneng aja kalo gak ngajar. Toh bayaranku juga gak akan dipotong kok. Tapi….kok rasanya….ada yang hilang gitu ya….

“Wah, enak donk. Gaji buta. Wahaha!” Nah si David malah ketawa. Deretan giginya yang rapi terlihat sedikit karena tawanya yang lepas itu. Matanya yang sedikit sipit sepertiku makin terlihat sipit aja.

“Ya gitu deh!....Eh…Aduh nih ujan kagak mau berhenti juga ya?? Mana uda mulai malem lagi…ck...” Aku mulai merasa tidak nyaman karena hujan yang tidak kunjung berhenti juga.

“Kenapa Den? Nyantai aja lah…Kalo kemaleman makan di sini aja.” David sedikit mengarahkan kepalanya ke arah belakang. Ke arah deretan counter makanan yang terlihat padat dan bervariasi, mulai dari makanan Indonesia, makanan Jepang, sampai makanan barat. Bukannya aku tidak mau sih, tapi kan makanan di sini tidak begitu bersahabat…dengan isi dompetku.

“Gak sih Vid. Di kostan gua banyak sayur sih. Sayang kalo didiemin, ntar keburu busuk lagi. Rencana sih malam ini gua mau masak aja lah…” jawabku sambil kembali melihat ke arah luar. Bagus banget nih….Langit uda mulai gelap. Hujan tidak reda sedikitpun. Nih hujan bener – bener deh…

“Oh gitu…Hm…lu gak bawa payung?” tanya David sambil merapikan isi tas putih yang ada di sampingnya. Mungkin dia juga sudah mau pulang, eh….mungkin cuma jalan – jalan di mall kali…

“Kagak, lupa gua. Yah…mesti nyumput – nyumput gesit – gesit deh pulangnya ini.” Aku juga bergegas merapikan isi ranselku lalu berdiri dengan menimbulkan sedikit bunyi pada bangku plastik yang kududuki tadi. Hufff….Hujan oh hujan…mengapa kau turun di saat yang tidak pernah tepat??? GRRR!!!

“Oke deh Den. Kalo gitu gua ke sana dulu deh. Mau lihat gadget Hp.” David terlihat sudah memakai tas di pundak kirinya.

“Oh oke vid! Gua ke bawah deh kalo gitu. Duluan ya!” Aku menepuk pundah kanan David, lalu bergegas turun ke lantai bawah dengan eskalator yang kebetulan tidak terlalu jauh dari tempat diskusi kami tadi.

Aku hanya bisa membayangkan sebasah apa aku saat sampai di kostanku nanti…

….
….
….

Aku sudah berada di pintu depan mall…
Aku hanya menatap sedikit ke arah langit…
Gelap…
Air hujan turun tanpa ampun….
Walah….
Aku menarik napas sedikit…Berpikir bahwa tidak masalah jika aku basah kuyup. Toh baju dan celana yang kupakai sekarang bakal dicuci juga. Masalah masuk angin sih…tidak lah ya. Begitu pulang ke kostan, aku akan langsung mandi.

Oke…sekarang atau tidak sama sekali…

Aku langsung berlari ke arah luar menuju area pejalan kaki yang sedikit terlindungi oleh atap yang aku tidak tahu terbuat dari apa. Mungkin beton, mungkin aluminium, mungkin cuma asbes….ugh siapa yang peduli??

Berjalan sedikit, aku berlari lagi. Sekarang cukup jauh. Ke arah tempat karaoke yang terletak di sebelah kiri pintu masuk mobil. Bunyi cipratan air yang lumayan terdengar sama sekali tidak kuhiraukan. Yang penting sekarang aku sudah berada di bawah atap luar tempat karaoke itu. Sudah setengah jalan… Aku juga sudah setengah basah…

Sekarang bagian yang lumayan sulit. Aku harus menyebrangi jalan kecil dan yang sangat disayangkan langsung berhubungan dengan belokan yang artinya tidak akan ada kendaraan yang berhenti, dan…jalanan itu sudah terlihat tergenangi oleh air yang mungkin sudah hampir mencapai mata kaki.

Sudah kepalang basah (maksudnya bener – bener basah). Ya sudah deh…

Aku berlari secepat mungkin menyeberangi jalan itu walaupun sempat mendapat klakson panjang mobil – mobil yang akan melaju karena kebetulan sekali aku menyebrang saat lampu lalu lintas berganti hijau. Aku tidak begitu peduli. Mungkin aku dimaki – maki oleh para pengendara di sana. Tapi biarlah, toh aku tidak mendengarnya juga.

….
….
….

Akhirnya sampailah aku pada deretan pertokoan yang mengarah langsung ke arah tempat kostku. Hufff….sudah banyak tetesan air yang turun dari rambutku. Celana katun coklat mudaku sudah berganti warna menjadi coklat tua mulai dari lutut ke bawah karena basah. Nasib ranselku juga lumayan parah. Basah total. Untung saja aku tidak bawa laptop tadi.

Aku berjalan lumayan cepat walaupun sekarang aku sudah bisa bernafas sedikit lega karena aku tidak akan banyak kehujanan. Tapi, ada baiknya aku cepat sampai di kostan untuk segera mandi. Sambil berjalan, sesekali aku mengusap – ngusap tangan kanan dan kiriku, berharap bisa sedikit kering walaupun tidak banyak.

Sedikit lagi dan…

Ah….akhirnya aku sudah berada persis di bawah ruko tempat kostanku. Terlihat sedikit sepi. Mungkin karena hujan, orang jadi malas keluar. Atau hanya perasaanku saja???

Hujan masih deras….sangat deras…Arah jalanan saja sulit kulihat…
Ini hujan atau badai ya???

BRUKK!! Tiba – tiba seseorang menabrak badanku dari samping kanan membuat badanku sedikit terhempas ke arah kiri dan sempat membuat pandanganku kabur. Mungkin dia datang dari arah seberang dengan terburu – buru. Hujan dan lingkungan yang mulai gelap mungkin sedikit membuatnya kesulitan.

“Eh! Aduh! Maaf ya!” Tunggu…

Orang yang menabrakku tadi…


“….Den??”

“….Loh?? Om John??”

Oke….Jadi tadi yang nabrak aku itu Om John??? Atau orang lain, terus Om John sebenernya uda dari tadi di sini.

Ngomong – ngomong kalaupun dia di sini…

Ngapain??

“Maaf ya Den…Om gak liat kamu tadi…” aku merasa pundakku dipegang oleh tangannya. Tampaknya memang tadi Om John yang menabrakku.

“Gak… gak apa – apa kok Om!” aku mengibas – ngibaskan tangan kiriku, menandakan bahwa aku baik – baik saja. Tangannya masih saja memegang pundakku…

Um…entah kenapa….aku merasa….

Sedikit…deg – degan…

“Um…Om kok ada di sini?” aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya alasan utama adalah aku berusaha mengalihkan perhatianku dari tangan Om John yang memegang pundakku.

Ah…Om John perhatian sekali ya….

…. Apa yang kupikirkan sih!?!?

“Oh, gak…Tadi saya ada urusan sedikit di toko mebel yang ada di seberang…” Toko mebel?? Oh…yang di seberang itu toh…

“Om…gak bawa mobil aja?” aku baru ingat kijang biru nya tidak ada dimana – mana.

“Oh gak tadi saya jalan kaki. Gak kepikiran sih bakal ujan gede kayak gini. Paling gak coba tadi saya bawa payung…” Om John menjawab, lalu menoleh ke arah langit yang sudah terlihat gelap, bercampur dengan awan putih pekat.

….
“Oh ya…Kamu sendiri dari mana?” Om John balik menanyaiku.

“Oh saya dari mall Om. Sekarang mau pulang ke kostan sih…” jawabku.

“Wah kehujanan juga kamu ya? Sampe basah gitu??? Kostan kamu masih jauh?” tanyanya lagi dengan alisnya yang tebal sedikit naik, tanda Om John penasaran dengan tempat kostku.

Hm…mungkin jawabannya bakal kedengeran aneh ya..

“Gak Om. Kebetulan kostan saya ada di lantai atas bangunan ini…” aku menjawab dengan mengangkat sedikit kepalaku ke atas, ke arah kamarku yang sebenarnya sedikit lebih ke arah dalam.

“Oh, di sini ya?? Saya kirain ini cuma ruko biasa…” Om John serasa tidak percaya. Ya…wajar sih. Pertama kali aku datang ke sini juga aku mengira ini hanya ruko biasa, apalagi jika dilihat dari depan tertutup oleh bank. Mungkin ini ya salah satu sebab kenapa tempat kostku susah sekali dapat penghuni dulu – dulunya.

“Iya Om…” aku menjawab….bingung….


Aku harus ngomong apa lagi??
Masa “Eh Om kalo gitu saya ke atas dulu ya! Semoga hujannya cepet reda ya…”
Gak mungkin, jadi…

…tapi…

“Om….mau mampir ke kostan saya dulu…sambil nunggu hujan reda???” Oke!!! Seperti biasa, belum selesai nih otak mikir, mulut sudah ngoceh aja….

….
Kok gak ada jawaban??? Lah…malah wajah Om John terlihat senyum – senyum aja…
Oke…aku tahu pasti Om John mikir “Nih anak pasti ada maunya deh…”.
Mati dah…

….
“Hm…boleh sih Den. Tapi apa gak ngerepotin??” Om John bertanya dengan sedikit tertawa. Aku bisa melihat sedikit deretan gigi putihnya yang rapi.

“Gak kok Om! Kebetulan saya hari ini gak ada tugas apa – apa kok!” aku kembali mengibas – ngibaskan tangan kananku. Aku sedikit memberi tanda kepada Om John untuk mengikutiku dari belakang. Sayangnya bagian depan pintu masuk ke kostanku tidak sepenuhnya terlindung dari atap. Jadi…yah….maaf ya Om harus berbasah – basah sedikit lagi…

….
Aku menaiki satu persatu anak tangga menuju ke lantai paling atas, lantai 3 tempat kamarku berada dan Om John mengikutiku dari belakang.

“Maaf ya Om kamar saya agak jauh di lantai paling atas…” aku berbasa – basi agar Om John tidak sedikit teralihkan perhatiannya menaiki tangga – tangga ini.

“Ah…gak apa – apa kok Den! Wah…tiap hari kamu naik turun tangga kayak begini…Lama – lama berotot kaki kamu Den. Hahaha!!” Aku hanya bisa ikut tertawa. Fiuuhh….untunglah Om John tidak terlalu terbebani dengan kegiatan naik tangga ini.

Akhirnya kami sampai di depan kamarku yang ada di lantai 3. Aku merogoh saku kanan celana katunku, meraih kunci, lalu kumasukkan ke dalam lubang kunci pintu kamarku yang terkunci.

Tiba – tiba…beberapa kecemasan menghampiriku.

Kamar…rapi??? Okelah lumayan rapi buat ukuran anak cowok…
Bau??? Gak kok! Aku gak merokok, dan kamarku selalu kusapu setiap hari…
Barang – barang aneh??? Ah….paling hanya boneka kura – kura yang dikasih keponakanku saat ulang tahunku tahun lalu.

Ckrek! Terdengar pintu sudah terbuka. Kubuka pintu kamarku dengan perlahan lalu sedikit kuintip bagian dalam kamarku yang sedikit gelap gulita.

Rapi….bersih….oke lah ya…???

Ah siapa yang peduli sih sekalipun berantakan?? Om John kan laki – laki juga. Pasti bisa memahami lah…

Aku melepaskan sandalku lalu kutaruh di samping keset bergambar mobil yang ada di depan pintu kamarku. Aku masuk, menyalakan lampu, lalu menaruh tas ranselku di atas bangku yang biasa kugunakan untuk duduk ketika mengerjakan tugas atau apapun di atas meja.

Om John…ah iya…Om John masih di depan…

“Om…masuk aja Om…Sepatunya taruh di sini aja boleh…” aku mempersilakan Om John untuk masuk sambil menunjuk ke arah sandal dan sepatu yang biasa kugunakan saat kuliah yang terletak di samping keset tadi.

Kulihat Om John mengangguk, lalu mulai melepaskan sepatu nya yang berukuran cukup besar itu tepat di samping sepatu kuliahku. Mungkin tadi aku tidak begitu melihatnya, tapi sekarang aku bisa melihat kalau rambut Om John cukup berkilauan terkena sinar lampu karena basah oleh air hujan. Kemeja merah dan celana hitamnya hanya basah sedikit. Tapi rambutnya….

Aku bergegas masuk, membuka lemari, lalu mengeluarkan handuk kecil berwarna putih. Gawat….Rambut basah seperti itu jika dibiarkan terlalu lama bisa sakit nanti…

“Om, pake ini buat keringin rambut om aja…” aku segera menyerahkan handuk kecil itu pada Om John.

“Makasi loh Den. Tuh kan bener…Saya jadi ngerepotin…” Om John sedikit menyunggingkan senyum ke arahku. Dia mulai mengelap rambutnya yang basah sehingga tatanan rambutnya yang biasanya rapi menjadi sedikit berantakan.

“Ah gak apa – apa kok Om! Santai aja. Maaf ya Om, kalo kamar saya agak berantakan…” aku hanya bisa tertawa – tawa seperti biasa, seperti orang konyol.

“Loh, kalo saya bilang kamar kamu rapi kok. Kamarnya Cindy malah kayaknya lebih berantakan. Hahaha…”

“Wah gak mungkin lah Om. Oya, saya mandi dulu ya Om? Om tunggu di sini aja gak apa – apa?” aku bertanya sembari mengambil kaos polo coklat muda, celana panjang coklat, dan CD dari dalam lemariku.

“Oh, ya udah Den, saya tunggu di sini aja!”

“Kalo gitu saya mandi dulu ya Om…” aku mengangguk sedikit lalu keluar dari kamarku, bergegas menuju kamar mandi setelah memakai sandal jepit yang biasa kupakai ketika ke kamar mandi. Aku menutup pintu dan kulihat Om John duduk di bangku yang biasa kududuki.


….
…Aku hanya berharap dia tidak bosan menunggu…

Suara hujan yang mulai turun kembali rasanya tidak begitu mengganggu telingaku, mungkin karena perutku yang sudah mulai lapar…

Hhhh….hari ini rasanya tidak begitu baik…

Hujan deras…
Skripsiku yang belum menemui nasib baik… Apalagi manajer yang “terhormat” dari perusahaan tempatku survey waktu itu belum menghubungiku sama sekali. Yah…gak mungkin juga sih manajernya yang langsung nelpon. Pasti beliau kan “SIBUK”.
Belum lagi, misalkan selesai, aku masih harus berkutat dengan penyusunan sistem baru.
Diagram – diagram yang tidak jelas bentuknya itu harus kugambarkan dengan seksama…. Salah sedikit… habislah sudah…

“Den?” Suara Om John membuyarkan lamunanku.

Lagi – lagi aku melamun hal yang tidak jelas. Pantas saja teman – temanku bilang rambutku banyak ubannya. Wong mikirin hal – hal gak penting seperti tadi melulu sih…

“Kamu ngelamunin apa? Dari tadi kelihatannya kamu bengong terus?” Om John bertanya dengan wajah cemas.

Cemas??? Hahaha. Om…. Tidak perlu mencemaskan aku. Memang Dennis itu terkenal dengan sering melamun dan berpikiran tidak jelas kok.

“Ah gak Om. Cuma saya sempat kepikiran aja soal skripsi saya buat kelulusan semester ini…” aku menjawab jujur. Ya…jujur. Toh, tidak ada alasan untuk menutupinya.

“Oh ya kamu sekarang sudah semester 8 ya? Kamu jurusan….apa ya? Saya lupa..” Loh, bukannya waktu itu sudah pernah kubilang ya?

“Saya Teknik Informatika Om.” Aku menjawab sedikit berat dengan senyum yang sedikit kupaksakan. Mungkin Om John tahu itu tapi rasanya tidak begitu kupedulikan.

“Permisi…” Seorang mas – mas membawakan kami 2 nasi uduk, lengkap dengan sepiring tahu tempe dan semangkuk sayur asem berukuran sedang yang sempat kami pesan tadi. Sebenarnya aku sempat tidak enak tadi, karena lagi – lagi aku diajak makan oleh Om John sehabis aku mandi tadi. Dia bilang karena hujannya sudah reda dan dia juga belum makan, dia menanyakan apakah aku juga mau menemani dia makan.

Ya….masa aku bilang “tidak”, jadi ya….

Beginilah sekarang. Aku diajak makan ke sebuah kedai kaki lima yang cukup jauh dari tempat kostanku. Aku juga belum pernah makan ke sini, karena kupikir cukup mahal untuk ukuran anak kost sepertiku.

“Kamu buat skripsi tentang apa?” Om John bertanya sambil mengambil sendok dan garpu dari tempatnya yang ada di atas meja tempat kami duduk.

“Oh, saya buat analisis tentang sistem penggajian sebuah perusahaan gitu Om. Terus nanti saya buat rancangan menyeluruh yang bisa direkomendasikan untuk sebuah perusahaan dari situ…” Um…apakah penjelasanku terlalu sulit? Ah…tapi kan Om John juga pasti lulusan universitas. Paling tidak pasti dia mendapat sedikit bayangan tentang apa yang kuceritakan tadi.

“Hm…gitu ya…Perusahaan apa Den?” Om John bertanya lagi.

“Perusahaan Jaya Gading Om. Yang ada deket kampus saya itu.” Huff…entah kenapa rasanya aku berat memberitahu tentang perusahaan ini. Mungkin karena aku sedikit tidak yakin apakah perusahaan ini tepat untuk bahan skripsiku.

“Oh yang itu…” Om John hanya mengangguk – angguk.

“Terus kamu uda ke perusahaannya? Maksudnya, kamu uda tahu sistem penggajian di sana?” Om John kembali bertanya lagi. Sekarang aku sedikit melihat ada rasa ingin tahu di wajahnya karena kebetulan kami duduk berseberangan.

“Saya sih udah ngajuin proposal Om…ke bapak manajer perusahaannya. Tapi sampai sekarang belum dapet pemberitahuan lebih lanjut….” aku menjawab dengan muka sedikit merengut.

“Oh gitu…”

“Tau tuh Om. Mungkin manajernya sibuk atau dia gak mau diwawancarain atau apa gitu saya juga gak yakin sih. Jujur sih Om saya agak sebel deh. Mungkin mestinya saya wawancara salah satu staff aja, pasti lebih cepat.” Aku sedikit mengungkapkan kekesalanku.

“Hahaha. Emang kadang manajer itu ya…gitu deh Den…” Om John sedikit tertawa mendengar keluhanku. Oya…Om John kan juga orang kantoran. Pasti dia juga sering mengalami hal – hal yang mirip – mirip denganku.

“Iya tuh Om. Kali manajernya menganggap, posisinya sebagai manajer itu terhormat banget gitu kali, makanya dia gak mau diwawancarain sama anak kuliahan. Kadang emang orang dengan posisi tinggi itu sedikit sombong rasanya…” Aku menjawab dengan menghembuskan napas kesal.

“Ya sudah Den. Ditunggu aja. Ntar pasti dibales juga kok…Sekarang makan dulu aja yu…” Om John terlihat sudah mulai mengaduk – aduk sayur asem yang ada di bagian kananku. Aku mengangguk…perutku memang sudah lapar.

….
….
….

“Den, kamu pulang duluan aja. Gapapa kok, Om tunggu di sini…”

Payungku cuma satu. Memang hujan ini sedikit kurang ajar. Tadi pas kami pergi makan, hujan sudah reda, bahkan berhenti sama sekali. Sekarang pas kami mau pulang, malah hujannya turun lebih deras daripada tadi….

Jadi…masa aku meninggalkan Om John sendirian di sini? Setelah dia mentraktirku makan tadi? Gak sopan rasanya. Tapi dipikir – pikir gak efektif juga aku nunggu di sini sama Om John sampai hujan berhenti. Secara, aku kan membawa payung.

Apa payungnya kuberikan saja kepada Om John, biar dia bisa pulang ke rumahnya?

Tidak…kalau begitu aku yang harus menunggu?? Wah, gak ada yang tau kan nih hujan kapan berhentinya???

Hm….

“Om, kalo gak pake payung ini aja ke rumah Om…” Mulutmu harimaumu… Seperti biasa aku ngomong sebelum selesai mikir.

“Loh? Terus kamu gimana?” Om John kebingungan. Yah….wajar sih.

ADUH! Seandainya aku gak ketemu Om John malem ini….

“Saya anterin Om sampai ke rumah aja…” Eh….? Barusan aku ngomong apaan?

“Oh, gak ngerepotin nih Den? Payungnya juga kayaknya gak muat deh…” Om John terlihat sedikit menahan tawa. Namanya juga payung lipat. Pasti gak bakal muat kalau mau dipakai berdua.

“Gapapa Om. Paling cuma basah sedikit lah nanti…” Aku menjawab sambil membuka payung lipat abu – abu yang tadi kubawa. Tapi dipikir – pikir Om John benar juga. Jangankan berdua. Sendiri saja sudah sangat sempit.

“Hm…Oke deh, Den! Yu!” Om John tersenyum dan…tiba – tiba merangkul pundakku yang sempat membuatku menahan napas sebentar. Mungkin agar posisinya nyaman. Bisa kubayangkan betapa tidak nyamannya jalan berdua sempit – sempitan di bawah satu payung yang sangat kecil seperti ini.




Hujan turun dengan deras…
Kami berdua mulai berjalan ke arah rumah Om John, melewati deretan pertokoan...
Berjalan berdampingan seperti ini…
Membuatku sedikit…tidak…sangat….

Gugup….

Tangan kananku memengang gagang payung, pundak kiri dan kananku dipegang oleh kedua tangan Om John.


Wajar saja, dengan keadaan seperti ini, kami harus berjalan sangat…sangat berdekatan seperti ini…

Bahkan wajah kami berdua hampir menempel…


Sepanjang jalan, kami hanya terdiam. Mungkin memang tidak ada yang bisa diomongkan…untuk saat ini…dengan keadaan seperti ini…




“Makasi ya Den…” Om John tersenyum padaku. Baju dan celana panjangnya sedikit basah. Tapi untunglah, cuma sedikit. Semoga saja Om John tidak sakit.

“Iya Om. Saya…pulang dulu ya…” Aku mengangguk dan berbalik berjalan ke arah gerbang depan cluster.

Langit sudah gelap, dan dipenuhi oleh awan putih pekat. Kelihatannya hujan ini masih akan turun dalam waktu yang lama. Aku terus saja berjalan perlahan pulang ke tempat kostku.

….
….
Ada yang aneh…Tidak biasanya aku seperti ini…
….Ada sesuatu…. Entah kenapa…aku merasakan ada sedikit yang aneh tadi..

Tiba – tiba kurasakan getaran handphoneku yang kutaruh di saku kanan celanaku. Ada seseorang yang menelepon.

Kulihat nomornya…Nomor tidak dikenal…Siapa ini??

Kutekan tombol jawab dan di seberang sana terdengar suara seorang wanita. Rasanya suaranya pernah kudengar…

“Halo, dengan Mas Dennis?” suara di seberang itu bertanya. Benar…suara ini terdengar familiar.

“Iya saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?” aku bertanya.

“Saya customer service perusahaan Jaya Gading. Hari Senin kemarin mas ke sini untuk memberikan proposal pengajuan wawancara…” Oh! Ternyata mbak yang waktu itu…

“Oh ya mbak! Hm…ada apa ya?” Akhirnya ada kabar juga. Kuharap ini kabar baik…

“Jadi begini mas. Bapak manajer tadi menelepon. Beliau sudah membaca dan menyetujui proposal wawancara mas. Beliau bilang, beliau bersedia diwawancarai hari Senin besok jam 5 sore…” Senin, jam 5…Bagus sekali… pas saat aku ada jadwal mengajar. Emang tuh manajer ngajak berantem ya… Uda balesnya lama, sekali dibales waktunya bener – bener gak tepat lagi…

Kalau aku menunda lagi, mungkin aku akan kehilangan kesempatan ini selamanya…

“Oh bisa Mbak! Kalau gitu, saya datang lagi hari Senin besok ya?” aku menjawab dengan nada “pura – pura” senang.

“Oke mas, akan saya beritahu ke bapak manajer. Terima kasih mas..” wanita itu mengakhiri pembicaraannya dan menutup teleponnya setelah aku juga mengucapkan terima kasih kepadanya.

….
….
Kuharap Om John bisa mengerti hal ini…

Oke, sampai kapan aku harus menunggu????

Kukeluarkan lagi handphone ku dari dalam ransel ku dengan muka sedikit kesal. Jam 16:30. Grrrrr!!!!!!

Okelah, memang kita janjian untuk ketemuan jam 5. Tapi masa gak bisa dipercepat sih??? Lah, aku juga gak akan bertanya lama – lama kok. Selama manajer atau apapun jabatannya itu bersedia bekerja sama dengan baik, DAN tentunya tidak bertele – tele…

Tidak bertele – tele….Hm….Untuk ketemuan begini saja aku harus menunggu sampai sekitar…5 hari. Itupun waktunya tidak pas, dan parahnya aku tidak mungkin untuk menolak. Kupikir – pikir lagi, emang seberapa ter “hormat” kah bapak yang nanti aku temui. Kenapa rasanya sulit banget?? Atau memang sengaja dipersulit??

Hufff…sudahlah, sekarang aku sudah berada di sini. Cepat bicara, cepat bertindak, cepat selesai.

Aku memasukkan kembali handphone ku ke dalam bagian depan ranselku. Aku disuruh menunggu di tempat yang sama persis waktu aku datang hari Senin minggu kemarin. Mbak customer service yang waktu itu aku temui sudah naik ke lantai atas. Katanya sih untuk menemui bapak manajer yang akan kutemui itu. Aku sedikit bingung sih. Tadi sebelumnya, mbak tadi sempat menelepon….kelihatannya bapak manajer itu, kemudian tiba – tiba disuruh langsung ke atas menghadapnya, dan aku disuruh menunggu di sofa ini.

Kira – kira ada apa ya??

…Mungkin “ada apa” tidak begitu penting. Yang paling ingin kutahu adalah “kapan” aku bisa bertemu dengan bapak manajer itu. Sudah sekitar 15 menit mbak petugas customer service tadi naik ke lantai atas.

Aku sangat berharap ketika nanti dia kembali, dia tidak berkata, misalnya “Aduh, maaf mas….”. Atau “Hm…begini mas….” Atau “Mas, sepertinya…”. Yang ingin kudengar adalah “Oke mas, silakan bertemu dengan bapak manajer di lantai atas…” atau apapun deh asalkan jangan 3 contoh kalimat yang tadi.

Oh Tuhan, betapa berat cobaan yang Engkau berikan padaku sore ini…
Aku terjebak dalam situasi sulit. Menunggu tanpa kepastian, dan harus membatalkan… OH YA!!! Aku lupa memberitahu Om John dan Cindy kalau hari ini aku akan telat atau mungkin tidak bisa datang.

Langsung saja aku mengambil handphone ku kembali dengan cepat. Kutekan tombol bawah, dan langsung terpampang di layar handphoneku daftar kontak yang telah kusimpan. Kucari nomor Om John dengan terburu – buru…

Ah…. Ini dia. Hm….Kutelepon atau ku sms saja? Kalau ku SMS, bagaimana kalau dia tidak melihatnya? Kalau ku telepon, bagaimana kalau ternyata misalnya dia sedang meeting. Aku kan tidak tahu kapan Om John pulang kantor. Salah – salah nanti malah aku dimarahin karena menelepon di waktu yang tidak tepat.

…ARGH!! Kutelepon atau ku sms saja ya??

…Ah… ya sudahlah ku telepon saja. Yang penting bertindak dulu baru lihat hasilnya nanti. Ada pepatah bilang, kalau terlalu perhitungan, kita tidak akan bertindak. Ya entah itu pepatah atau kukarang sendiri.

Kutekan saja tombol bergambar telepon berwarna hijau, dan terlihat di layar handphone ku sebuah tulisan “Memanggil Om John…”. Segera kuletakkan handphone ku di telinga kananku. Berharap Om John segera mengangkatnya….

TUUUUTTT…… TUUUUUUTTTT….

“Maaf mas Dennis??” Tiba – tiba aku terkejut dengan mbak yang tadi sudah ada di sampingku dan tanpa sadar mematikan panggilanku tadi. Ya ampunn….mbak!! Udah 2 kali loh mbak ngagetin aku. Gimana kalo aku jantungan??

“Ya Mbak?” Aku berdiri dari dudukku. Memasang muka penuh harap. Harap – harap cemas maksudnya…

“Bapak Manajer bersedia di wawancarai oleh mas. Tapi kelihatannya mas harus menunggu sebentar lagi. Beliau sedang ada urusan sedikit dan sekarang sedang keluar.” HORE!! Akhirnya, aku bisa membuat kemajuan lagi dalam penyusunan skripsiku. Eh tunggu…Dari tadi aku kan di sini…Terus tadi emangnya ada yang keluar ya?? Rasanya tidak deh…atau mungkin ada… aku juga tidak yakin.

Ya siapa yang peduli lah. Toh kita bukan tim penyidik atau reserse yang sedang mengintai. Siapa yang keluar masuk tidak penting lah…

“Oh begitu. Kalo gitu gapapa Mbak. Saya tunggu aja…” Aku akhirnya bisa menjawab dengan wajah tersenyum. Kali ini benar – benar senyum lega.

“Oh ya mas. Bapak Manajer bilang, mas tunggu di ruangannya aja di atas…” Apa??

“Um…gapapa mbak. Saya tunggu di sini aja deh.” Terus terang entah aku harus merasa apa. Tersanjung?? Terhormat?? Aneh?? Gak juga rasanya. Aku hanya tidak enak saja rasanya harus menunggu di ruangan seperti itu sendirian. Ruangan manajer yang akan aku wawancara lagi….Rasanya tidak begitu etis…

“Gapapa kok mas, soalnya beliau sendiri yang suruh mas tunggu di ruangannya. Mari, saya anterin…” Mbak yang tidak aku tahu namanya itu mengangguk dan menyuruhku mengikutinya. Jadi yah….

Kuikuti dia sampai ke area belakang, ke arah lift. Kulihat dia menekan tombol naik, dan pintu lift langsung terbuka. Begitu masuk, kulihat deretan tombol standar lift di dalam. Cukup menarik perhatianku melihat angka paling besar yang menunjukkan nomor lantai di perusahaan ini adalah 9. Sama dengan bangunan kampusku.

Dan…dia menekan lantai nomor 9…Eh???

Kok yang ditekan lantai nomor 9? Bukannya biasanya makin tinggi lantainya, berarti makin tinggi kedudukannya ya?? Apalagi ini lantai tertinggi, berarti bisa dipastikan beliau, entah siapa namanya nanti adalah orang yang cukup penting di perusahaan ini. Hm…aku jadi ingin makin tahu siapa sebenarnya “bapak” manajer yang akan kuwawancarai nanti…

Ting….Terdengar bunyi lift yang menandakan kami sudah sampai di lantai paling atas. Kebetulan tidak ada orang yang naik di tengah jalan tadi. Begitu pintu lift terbuka…

Aku bisa melihat ruangan – ruangan kecil yang tertutup oleh pintu berwarna coklat. Ada jendela kecil di masing – masing pintu. Mungkin digunakan untuk melihat apakah orang yang ada di dalamnya sedang ada tamu atau meeting atau yang lain. Kebetulan tepat saat pintu lift terbuka, yang tepat berada di depanku adalah ruangan yang tertutup pintu yang berukuran lebih besar dari ruangan – ruangan yang lain. Mungkin ruangan inilah yang digunakan untuk meeting kepala – kepala bagian perusahaan ini dengan direktur. Di kiri dan kanan terdapat lorong yang mengarah ke sederetan ruangan. Tidak banyak. Mungkin hanya sekitar 2 – 3 ruangan di masing – masing lorong.

Jadi….di mana ruangannya???

Aku dituntun ke lorong sebelah kanan oleh mbak customer service yang akhirnya bisa kutahu bernama Linda itu saat aku berkenalan dengannya di lift tadi. Memang aneh rasanya baru berkenalan apalagi dia tahu namaku dari awal. Tapi ya….wajar lah. Lingkungan formal seperti ini terkadang membuatku agak gugup untuk berkenalan dengan orang – orang yang terlibat di dalamnya.

Aku hanya mengikutinya, sambil melihat – lihat sekelilingku. Tidak banyak furnitur, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Padahal sempat kubayangkan, suasana kantor itu adalah meja di sana – sini dengan karyawan yang padat. Mungkin memang agak beda tingkatan staff dengan deretan kepala perusahaan.

Akhirnya…langkah kami terhenti di ruangan yang ada di tengah. Pintunya dibukakan oleh mbak Linda dan…

Wah….inikah ruangannya???

“Silakan masuk mas Dennis.” Mbak Linda mempersilakanku masuk. Tiba – tiba saja perasaanku menjadi gugup…Benarkah aku boleh masuk dan menunggu di…ruangan ini?????

Aku masuk sambil tersenyum. Tersenyum gugup. Aku masuk dan….

“Silakan duduk dulu mas…” Oke…mbak saya duduk. Terus…

“Ditunggu sebentar ya mas. Saya cek ke bawah dulu, apa beliau sudah datang…” Mbak Linda tersenyum lalu keluar dan menutup pintu coklat tadi dengan perlahan.



Aku duduk lalu meletakkan ranselku di….bawah. Ruangan ini cukup besar…. Dingin….ACnya mungkin terlalu kencang…Atau memang aku tidak kuat dengan AC?

Aku duduk di sofa yang mungkin memang diperuntukkan untuk tamu. Di depanku terdapat meja dengan kursi yang saling berhadapan. Satu kursi terlihat lebih besar dan ada di bagian dalam meja. Pasti di situ tempat bapak manajer itu duduk…

Aku melihat sekeliling. Standard lah… tapi entah mengapa ruangan ini cukup nyaman. Ada tempat sampah di sudut ruangan sebelah pintu masuk, meja yang kuceritakan tadi, AC berdiri di sudut ruangan dekat meja tadi….

Eh ya! Sebaiknya aku menelepon Om John sekarang.

Kembali kukeluarkan handphoneku dan langsung saja kutekan panggil 2 kali. Langsung lah kuletakkan handphone ku di telinga kananku seperti tadi. Kuharap kali ini Om John…

“Halo? Iya kenapa Den?” Ternyata langsung diangkat oleh Om John di dering pertama tadi.

“Iya Om. Hm…jadi begini. Hari ini saya harus melakukan wawancara buat bahan skripsi saya. Jadi…rasanya mungkin hari ini saya gak bisa dateng buat ngajarin Cindy deh…” Aku harap Om John tidak marah…

“Oh….” Hanya Oh???? Bisa kupastikan Om John mungkin sedikit kesal mendengarnya…

“Iya. Maaf banget ya Om…”

“Yah…gapapa sih Den. Hm…padahal saya baru aja jemput Cindy…” Om John terdengar kecewa.

Samar – samar bisa kudengar suara anak perempuan di seberang sana. Mungkin suaranya Cindy. Aku tidak yakin apa yang Cindy omongkan.

“Maaf ya Om. Maaf banget….” Aku hanya bisa meminta maaf dan maaf….

“Ya udah gapapa. Tapi laen kali, kamu jangan keseringan begini ya… Kasihan Cindy nungguin terus, tapi kamunya gak bisa dateng…”

“Iya Om. Laen kali pasti saya beritahu lebih awal, jadi bisa diatur untuk penggantinya Om…” Kelihatannya secara resmi aku diomeli oleh Om John.

“Oke oke. Uda dulu ya Den. Ntar saya bilangin sama Cindy…” Om John langsung menutup teleponnya tanpa sempat aku balas.

….Jadi…tadi aku dimarahi kan??? Ini semua gara – gara wawancara ini….

GRR!! Aku ingin cepat – cepat melihat wajah Bapak Manajer yang akan aku wawancarai ini. Aku ingin tahu seberapa garang, atau seberapa berwibawa, atau seberapa menyeramkannya wajahnya. Yang membuatku diomeli seperti ini…
Saat aku memasukkan kembali handphoneku ke dalam ransel…

“Mas Dennis…Beliau sudah datang, kebetulan bersama anaknya… Silakan Pak….” Tiba – tiba pintu terbuka dan terlihat Mbak Linda sudah berdiri di sana, mempersilakan seseorang masuk…Anak?? Jadi dia ke sini bersama anaknya???

Dan masuklah seorang….

A….APA!????!?! DI….DI….DIA MANAJERNYA!?!?!?

Aku tidak percaya dengan siapa yang berdiri di hadapanku…
Pikiranku langsung tertuju pada tempat sampah yang tadi kulihat di sudut ruangan ini.
Coba tempat sampah itu lebih besar sedikit….Ingin rasanya kubenamkan semua wajahku….tidak….seluruh tubuhku kalau perlu ke dalam sana…

“Pak, kalau begitu saya permisi dulu ya…” Mbak Linda pamit lalu keluar dan menutup pintu itu…. TUNGGU….!!! JANGAN TINGGALKAN AKU SENDIRIAN DI SINI!!!

Pintu ditutup dan…

Tinggalah aku sendirian di ruangan itu…Tepatnya berdua…

……………………………………………………………
“KAK!” Anak bapak itu memanggil….Tiba - tiba terlintas kata “BODOH!” di pikiranku…

“Kak Dennis, ngapain di sini???? Cindy baru pulang terus diajak papa ke sini. Katanya Kak Dennis ada di sini…” Anak itu….Tidak….Maksudku…Cindy…diajak oleh papanya ke sini…

Yang berarti…

“Oke….Sebelumnya maaf ya Den, kalo misalnya saya terkesan sombong sama kamu…” Bapak manajer… TEPATNYA….Om John…. Itu memulai percakapan….

Yang terlintas di otakku langsung saat itu adalah “DASAR BODOH!” Seandainya aku dan mulut besarku saat itu tidak nyerocos dengan lincahnya waktu itu….

Sekarang gimana??????????????????????????????????

Masihkah pantas buatku untuk melakukan wawancara ini?????

“Um…Maaf Om….” Ya Den, minta maaflah sebanyak mungkin! Ini lantai 9 loh! Gimana kalo kamu terjun aja dari sini??????????

Aku hanya tertunduk….Tidak berani melihat Om John….Bahkan aku tidak berani melihat Cindy, padahal Cindy melihatku dengan wajah penuh kebingungan…

……

“Hahaha! Ya ampun, Den! Gak usah jadi salah tingkah gitu! Wajar aja kok kalo kamu mikir kayak gitu. Tapi mohon dimaklumin juga ya. Soalnya waktu itu saya belum sempat baca proposal kamu….Saya aja baru tahu kamu mau wawancara di sini pas kamu ceritain waktu itu…” Om John akhirnya…..menjawab dengan melegakan. Aku merasakan tangannya memegang pundak kananku….Membuatku merasa lega…..sedikit.

“Maaf Om…Maaf sekali….Saya gak ada maksud sama sekali buat….” Aku memberanikan diriku untuk menatap wajahnya yang ternyata….sama sekali tidak menggambarkan kemarahan…

…..Apakah aku boleh lega sekarang??? Tidak….belum, belum…

“Gak apa – apa kok Den, Om sama sekali gak marah kok. Mestinya Om langsung kasih tahu kamu aja kalo sebenarnya yang bakal kamu wawancarai itu Om. Tapi….Om pengen kasih sedikit kejutan buat kamu…” Benarkah???? Benarkah….Om John tidak marah??

“Kak! Kak Den! Kakak kok ada di sini??? Papa tadi bilang sih mau ke sini dulu, tapi Cindy gak tau kakak ada di sini….” Cindy memegang – megang tangan kananku.

“Kakak di sini mau nanya – nanya buat tugas kakak Cin. Tapi kakak gak tau ternyata yang orang yang mau kakak tanyain itu papanya Cindy…” Aku tersenyum melihat Cindy yang saat itu masih memakai baju seragam putih merah SD nya.

“Iya, jadi….Cindy bisa tunggu sebentar di sini gak??? Papa sama Kak Dennis mau ke lantai bawah dulu buat lihat – lihat…” Om John akhirnya…melepas tangannya dari pundakku lalu mengelus – ngelus kepala Cindy. Entah kenapa aku sangat senang melihat Om John sangat menyayangi Cindy.

“Ya pa! Tapi jangan lama – lama ya…” Cindy tersenyum melihat Om John, lalu Om John kembali…merangkul pundakku…mengarahkanku keluar ruangan.

….Aku tahu, laki – laki merangkul pundak laki – laki lain adalah hal yang sangat…sangat wajar. Tapi….entah kenapa….

Aku merasa ada yang lain…..

….
Pintu lift terbuka dan kami sudah berada di lantai 5. Di sinilah baru kulihat deretan meja dan kursi kerja tertata dengan rapi….ya masih bisa dibilang rapi, tersusun sampai sekitar setengah isi ruangan. Masing – masing sudah dilengkapi satu unit komputer dan dipisahkan dengan sekat seperti halnya meja – meja para dosen di kampusku. Hanya beberapa orang yang sedang bekerja di mejanya. Mungkin karena ini sudah jam pulang kantor…

“Selamat sore Pak Jonathan!” Tiba – tiba seorang pemuda menyapa Om John dari balik mejanya yang kebetulan terletak persis di sisi kiri tidak terlalu jauh dari pintu lift.

“Ya, sore Di!” Pemuda itu melihat ke arahku dan mengangguk sambil tersenyum. Aku juga membalas anggukkannya. Di….Mungkin namanya Jodi, Eddi, Andi atau semacamnya…

Om John berjalan sambil memberikan beberapa penjelasan. Aku mengikut di sampingnya.

“Jadi, lantai 5 ini dikhususkan buat mengatur keuangan, gaji, dan arsip Den. Di sini rata- rata sudah pakai komputer…” Kami berhenti di salah satu meja yang kebetulan tampaknya pekerjanya sudah pulang. Om John terlihat menyalakan komputer yang ada di meja itu…

“Ini meja admin program keuangannya Den. Mungkin orangnya sudah pulang….Kamu….mau coba lihat program keuangannya Den???” Apa??? Ya ampun, aku sampai diperbolehkan melihat contoh program penggajian perusahaan ini??? Tampaknya hari ini tidak seburuk yang kukira…

“Boleh Om…Buat tambahan referensi…” Aku mengangguk tanda setuju. Setelah beberapa saat…

Terpampanglah suatu program yang kelihatannya masih sedikit asing bagiku. Paling yang kutahu ini menggunakan PHP dan….

“Jadi cara mengoperasikannya gini Den…Hm…Kamu ambil kursi dari meja yang kosong aja…” Aku mengangguk dan kuambil saja kursi yang berada tepat di meja seberang meja tempat Om John duduk sekarang. Kebetulan kursi di ruangan ini adalah kursi yang beroda di bagian bawahnya, jadi tidak memerlukan banyak tenaga untuk memindahkannya ke samping kursi yang diduduki Om John. Aku menggesernya tepat berada di samping kiri Om John, lalu duduk…

Um…rasanya terlalu dekat….Ah…tidak juga…Aku bisa melihat dengan jelas wajah Om John dari samping kirinya…

“Jadi begini Den. Kita masuk dulu. Kebetulan passwordnya…hm…” Bisa kulihat sedikit bekas cukuran janggut dan kumisnya….

“Nah setelah login kita ke…” Aku tidak tahu hidungnya sangat mancung…Mungkin menyamai orang – orang bule yang sering kulihat di TV....

“Di sini kita bisa lihat jumlah kehadiran masing – masing pegawai, terus di…” Alisnya tebal…tidak seperti alisku tipis…

“Data – data kehadiran pegawai ini jadi terhubung ke…” Matanya....hitam kecoklatan seperti orang – orang Asia lainnya…Ada sedikit kantung mata….Mungkin Om John sering kurang tidur sepertiku…

“Program yang ini didesain buat menghitung gaji karyawan yang tadi sudah dihitung itu ke…” Bibirnya tidak terlalu merah…Mungkin mendekati merah muda….Rasanya Om John bukan seorang perokok. Aku tidak pernah melihat dia merokok…

“Jadi, tinggal kita klik ke tab ini, tapi yang jelas kita mesti pastikan dulu kalau…” Wajahnya terlihat tidak terlalu halus. Wajarlah, hampir semua laki – laki begitu…

“Dari sini, kita bisa langsung ke….” Harum….Aroma parfum yang sama ketika aku pertama kali datang ke rumahnya….Wangi yang entah kenapa sangat kusuka…Maskulin, tapi tidak berlebihan…

“Oke, jadi terakhir tinggal kita klik di sini terus tinggal…” Dia….

“Nah sudah selesai Den…Gimana??” …..

“Den??” ….tampan…..

“Den???” ….Ya…dia memang tampan….sangat tampan dan….

“Den!” Jantungku serasa langsung turun dari dada ke perutku…Ya ampun….??? Apa saja yang kupikirkan tadi….??????????????????????

Bisa kudengar Om John dan Cindy sedang berbincang – bincang dan tertawa – tawa kecil….
Mungkin Cindy sedang bercerita tentang sekolahnya hari ini, atau gurunya yang konyol hari ini…. Atau…

“Eh, Kak Den! Um….Kakak kenapa???” Cindy membuyarkan lamunanku…….

…..Aku yakin 1000% mukaku pasti seperti orang bodoh tadi. Melamun tanpa sebab…Sebenarnya ada sebabnya, tapi….

Aku hanya tersenyum tanpa berbicara apa – apa ke arah Cindy yang sedang duduk di seberangku. Aku sedikit melirik ke arah….

…..Ya ampun! Dia tersenyum lagi ke arahku…. Ini sudah yang ke berapa hari ini??? Rasanya aku menjadi orang paling bodoh jika dilihat dengan senyuman seperti itu….

“Um….kakak gak apa – apa kok Cin… Cuma sedikit capek aja hari ini mungkin….” Aku menjawab sekenanya saja… Untunglah Cindy kelihatannya tidak bertanya lebih jauh lagi.

“Den….” Ah….suara yang entah kenapa akhir – akhir ini selalu membuatku salah tingkah kembali terdengar olehku…

“Y….ya Om….?” Suara Om John… Dalam, rendah, berat, dan….keren…. mungkin???

“Gimana tadi?? Kamu uda jelas semua??” Om John akhirnya bertanya sesuatu yang bisa kujawab.

“Oh….um…lumayan Om. Sudah lumayan jelas. Paling nggak saya uda dapet gambaran keseluruhan buat bahan analisis saya…” Aku mengangguk sedikit. Dipikir – pikir lagi, sebenarnya tidak juga…

“Eh eh Kak! Sebenernya tadi kakak sama papa ngapain aja???” Cindy bertanya kepadaku. Ngapain aja….???

“Cuma tanya – tanya sedikit tentang keadaan kantor kok Cin.” Aku menjawab kembali dengan sekenanya saja. Kuambil gelas yang berisikan air putih yang ada di kananku, lalu kuteguk sedikit…

“Eh ya, Kak! Hari ini Cindy gak ada PR. Abis ini, Kakak ke rumah aja. Maen – maen….” Cindy kelihatan sangat senang. Hm….bisa saja sih. Tapi artinya aku gaji buta lagi dong….????

“Iya Den. Abis makan, kamu ke rumah aja, maen – maen sama Cindy. Nanti pulangnya saya anterin aja…” Om John sekarang yang “memberikan perintah”. Yang artinya, tidak mungkin kutolak…

“Oh…ya uda Om…” Aku menjawab, sambil melirik ke arah mas – mas pelayan berbaju rapi yang kelihatannya membawakan pesanan kami tadi…

Oya, aku belum bilang yah di mana aku sekarang??
Kebetulan seusai di kantor tadi, aku “kembali” ditraktir untuk ke sekian kalinya oleh Om John. Aku diajak makan malam di sebuah rumah makan yang dekat sekali dengan kostanku, jadi sebelum ke sini, aku taruh dulu sepedaku di kostku. Dipikir – pikir, aku sudah beberapa kali ditraktir seperti ini, jadi aku sempat menolak tadi. Tapi, karena Om John memaksa jadi aku terima saja…
Jadi kelihatannya, aku akan ke rumah Cindy sehabis makan ini. Parahnya bukan untuk memberikan pengajaran, tapi untuk menemani Cindy bermain. Hm…mungkin anggap saja itu bagian dari pekerjaan…

…………...
…………...
……………
…………...

“Hayo Cindy, uda malem loh…Kamu tidur yah sekarang…” Om John memegang kedua pundak Cindy dari belakang. Wajahnya tersenyum… Um…entah kenapa akhir – akhir ini, tepatnya beberapa jam yang lalu aku sering sekali mempehatikan senyum Om John…

Kenapa ya….???

…..”Iya, pa. Cindy juga uda ngantuk…” Cindy terlihat menguap cukup lebar, lalu mengusap – usap matanya yang sekarang kelihatan sedikit berair. Kelihatannya Cindy benar – benar mengantuk. Yah…mungkin dia kecapekan. Pulang sekolah, dia langsung di ajak Om John ke kantor, lalu sepulang ke rumah ini Cindy langsung mengajakku ngobrol di ruang tamu tempat biasa aku mengajarnya sampai jam segini. Ngomong – ngomong, aku juga tidak tahu sekarang jam berapa. Tapi, bisa kupastikan mungkin sudah melewati jam 9 malam.

“Den….Bisa tolong kamu anterin Cindy ke atas?” Om John sekarang tersenyum padaku.

“Oh ya Om. Yuk, Cin…” Cindy menggandeng tangan kananku, lalu perlahan aku menuntunnya ke lantai atas. Cindy terlihat sudah sangat mengantuk. Aku menuntunnya menaiki satu persatu anak tangga ke lantai atas dengan perlahan.

Sesampainya di atas, seperti biasa sudah terpampang piano yang waktu itu aku mainkan satu pintu di kiri dan kanan. Um….yang mana kamarnya Cindy ya?? Aku tidak pernah tahu yang mana itu…

“Cin, kamar kamu yang mana??” Aku bertanya kepada Cindy dan bisa kurasakan dia sedikit menarikku ke arah kanan. Oh, ternyata kamarnya yang ada di sebelah kanan…

Aku membuka pintunya. Kebetulan tidak terkunci, dan….

Gelap….Gelap sekali….Aku hampir tidak bisa melihat apa pun. Terpaksa pintu kamar Cindy kubuka sedikit lebih lebar lagi agar paling tidak ada sedikit cahaya yang masuk…Ah…bisa kulihat samar – samar bayangan persegi yang ada di sisi kiri dinding kamar Cindy. Pasti itu tombol lampunya…

Kutekan saja dan….

…..Inikah kamar Cindy………….?

“Kak….Cindy gosok gigi dulu ya…” Aku melihat ke arah wajahnya dan mengangguk sambil tersenyum mengiyakan. Cindy melepaskan gandengannya dan pergi ke arah pintu yang ada di pojok kanan kamar. Kelihatannya itu kamar mandi…

Cindy pergi ke arah dalam lalu menutup pintu kamar mandinya. Aku menutup pintu kamar dan….

Wah….kamar Cindy bisa kupastikan dengan sangat akurat lebih besar dari kamarku. Mungkin hampir satu setengah kalinya…

Dindingnya kebetulan dicat putih, sama seperti kamar kostku. Di tengah – tengah ruangan ada spring bed berukuran sedang yang hanya cukup ditiduri oleh satu orang dilapisi sprei bergambar Pikachu. Hm…Apa Cindy menyukai pokemon?? Haha…

Di seberang ranjangnya ada meja belajar yang hm…sedikit berantakan….mungkin besarnya sama dengan meja belajar di kamarku. Standard lah ukuran segitu…. Kuambil sebuah remote AC yang ada di atas meja itu, lalu kutekan tombol ON dengan mengarahkannya ke AC yang berada di sebelah kanan tombol lampu tadi… TIIT…. Kelihatannya AC nya sudah menyala. 200 C….Tidak terlalu dingin lah….

Kuletakkan remote kembali di atas meja, lalu kembali mengamati meja belajarnya. Hm….lampu meja, beberapa buku sekolah, dan… hm….bingkai foto???

Kuambil bingkai foto itu lalu kuamati sejenak…Cindy dan Om John….Cindy tersenyum mengenakan baju terusan berwarna merah muda dan Om John berlutut memegang pundak Cindy. Mereka berdua tersenyum…Aku teringat…Cindy sampai sekarang belum pernah sekalipun bertemu dengan mamanya…

……Kasihan sekali Cindy….Seandainya saja ada seseorang yang bisa menggantikan mamanya….

……………………..
……………………..
……………………..

“Makasih ya Om, uda nganterin saya…” Aku tersenyum melihat Om John yang duduk di sebelah kananku. Sesuai janjinya, Om John mengantarku pulang ke kostanku dengan mobilnya…

“Ya, sama – sama Den…” Om John membalas senyumanku….Lagi….Senyuman yang entah kenapa membuatku….

“Kalo gitu saya pulang dulu ya Om…” Aku mengangguk, lalu melepaskan seat belt ku….

Tiba – tiba….

Kurasakan tangan Om John….memegang tangan kananku….DEG! Kembali jantungku berdegup….seperti di kantor tadi….

……….Om John…hanya menatapku….Tangannya masih memegang tanganku dengan erat…..Erat….tapi tidak mencengkramnya….

………Rasanya tanganku jadi berkeringat……Detak jantungku sudah mendekati kata “tidak beraturan”…

………..”A….a….ada….apa ya….Om….?” Kuberanikan diri untuk bertanya padanya. Pertama, aku bisa mati duduk jika keadaan ini dilanjutkan. Kedua….aku tidak ingin Om John tahu kalau aku bisa mati duduk jika keadaan ini dilanjutkan.

…..”Eh….ma….maaf Den…..” Om John tiba – tiba melepas pegangannya lalu mengalihkan tatapannya ke arah depan. Eh tunggu, tunggu….. Jangan bilang tadi Om John bengong memperhatikan aku….

……Oke, lebih baik ku sudahi percapakan ini secepatnya….

“Ya….gapapa Om. Saya pulang dulu ya Om…” Aku tersenyum, lalu bergegas membuka pintu mobil….

Sebelum aku menutupnya kembali, aku melambaikan tanganku ke arah Om John yang lalu membalas lambaian tanganku. Pintu mobil kututup dan mobil Om John pun melaju menjauh….

…..Aku melihat mobil Om John yang semakin menjauh ke arah depan sambil tersenyum…. Senyum yang masih belum ku tahu karena apa….

>>>>bersambung....

sumber: http://gayindo.forumotion.net/t18686p126-om-john-cinta-pertamaku

2 comments:

  1. mas bro

    lanjutan Om John, cinta pertama ku - bag III kpn di posting nh??

    jd penasaran dgn kelanjutannya hehehe....

    ReplyDelete

Paling Populer Selama Ini