5/26/2011

Aku Ketahuan

(by: djpaijo@yahoo.com)

Entah mengapa aku menjadi gagu saat membuka
email. Sejak cerita berjudul DOMPET, banyak teman yang mengirimku
email. Aku jadi serba salah saat harus membalas email yang memang
beragam inginnya. Ada yang sekedar memberikan komentar, yang mau
kenalan, yang minta no HP, ada yang ingin ketemuan, bahkan tidak
sedikit yang menanyakan ciri-ciri fisikku, ukuran penisku, gayaku
bercinta dengan istriku, dan lain-lain.

Aku mungkin kaget dengan keadaan yang tidak kubayangkan sebelumnya,
karena memang alasanku semula mengirim cerita, hanya ingin agar
traumaku yang sejak kecil kupendam, bisa sedikit kubagi. Tidak mungkin
aku cerita tentang apa yang kualami kepada sembarang orang, bahkan pada
sahabat terdekatku sekalipun, karena menurutku, dengan membuka aibku
kepada seseorang, berarti aku sudah menggadaikan hidupku padanya, dan
aku tidak mau itu. Pikirku, dengan bercerita di dunia maya, maka aku
bisa seekspresif mungkin. Aku tidak harus takut akan dihujat, dihina,
dicemooh, bahkan dijauhi, karena toh tidak ada yang tahu sedikitpun
tentang aku.

Aku bingung saat harus menjawab email yang intinya mengajak
ketemuan. Di satu sisi, tidak mau mengecewakan yang telah mencurahkan
energinya untuk mengirimku email, tetapi aku belum siap untuk membuka
diri. Terlalu banyak yang harus dipertaruhkan jika sampai ada yang
tahu. Akhirnya aku hanya bisa sedikit membatasi diri. Namun kejadian
selanjutnya sungguh membuatku shock berat dan tidak kubayangkan
sebelumnya.

Jika biasanya langsung kuhapus semua file begitu yakin ceritaku
terkirim, namun setelah mengirim "Antara Dua Rasa", tidak kuhapus
karena akan kukirim ke teman-teman yang tidak sedikit minta kiriman
ceritaku. Namun ternyata aku masih manusia, yang jauh dari alpa.

*****

Setelah dari warnet, hari itu aku ke kampus. Kuliah ekstensi-Filsafat,
yang dulu menjadi pilihan keduaku ketika lulus SMA, setelah Teknik
Sipil, akhirnya bisa kuambil.

"Hafidz..! Naah, kebetulan ketemu. Tinggal kamu yang belum mengumpulkan tugas syarat ujian. Tak tunggu sampai sore ini yaa!"

Tepukan di bahuku mengejutkanku di tengah sibuknya aku mengisi
segala persyaratan ujian. Aahh, aab Saddam (begitu biasa saya
menyebutnya karena selain asalnya dari Irak, kumisnya yang melintang
menambah tepat julukan itu).

"Iyaa.. Pak, maaf. Banyak kerjaan. Nanti kukirim tugasnya!"

Aku gugup, merasa bersalah, kenapa tidak sekalian ketika di warnet
tadi. Namun sebelum beliau menjauh, aku baru ingat bahwa aku telah
menyimpan tugas itu di disket, dan aku ingat betul tadi kumasukkan
dalam tasku. Bergegas kuambil disket dan mengejarnya. Sambil
berbasa-basi aku menyerahkannya.

Dua hari aku disibukkan dengan proyek kantor, sampai saat menjelang
malam saat tiba di rumah, istriku memberikan pesan dari aab Saddam yang
katanya siangnya ke rumah. Aku berpikir keras, ada apa? Kubaca pesannya
sekali lagi. Yaah.. Hanya sebuah alamat dan sepenggal tulisan, "Harap
datang!".

Aku masih belum bisa menebak apa gerangan, bahkan sampai ketika
kupencet bel kontrakan bercat krem, sebagaimana alamat tertera. Dengan
senyum mengembang, aab Saddam mempersilakanku masuk. Aku masih bingung.

"Aahh, ceritamu bagus, Dj-Paijo!"

Plaak. Seolah tamparan keras telah mengahantamku. Spontan aku
gemetaran saat nama samaranku disebut. Wuiihh, disket itu. Aku baru
sadar bahwa aku telah salah menyerahkan disket. Aku bengong. Keringat
dingin mulai mengucur.

"Maaf, jika membuatmu salah tingkah. Buatku bukan apa-apa, dan aku tahu perasaanmu!"

Sentuhan aab Saddam mengejutkan keterpakuanku. Aku mencoba menepisnya, namun aku benar-benar di batas kebimbangan..

"Perlu kau ketahui, aku mengikuti setiap ceritamu, Dj. Bayangkan,
dari bulan April, aku begitu terobsesi dengan sosok yang ternyata
adalah salah satu mahasiswaku, ha-ha-ha"

Aku menyengir mencoba mengimbangi tawanya. Entah mengapa aku mulai sedikit lega setelah mendengar pengakuannya.

"Kau pasti tahu Mr.DOT, kan?".

Aahh, iyaa. Sosok itulah yang paling sering mengirimku email yang isinya berbau cabul. Diakah?

"Tanpa kejadian inipun aku sudah sangat terobsesi denganmu, Dj. Setiap
kau tidak masuk kelasku, kuliahku jadi hambar. Tapi kini, kuharap kau
ngerti dan sedikit mau berbagi!"

Aab Saddam semakin berani merajuk. Aku menggeleng, mencoba meminta pengertiannya. Tapi justru dia semakin penasaran.

"Bukan tipeku pemaksa, Dj, tapi aku ingin kau ngerti, please! Aku benar-benar ingin lebih darimu"

Aku semakin serba salah. Aab Saddam yang semula begitu kuhormati, kini
seolah monster yang siap melahapku. Rasa tidak enakku sudah terkalahkan
dengan ketidakberdayaanku. Aku hanya terdiam, pasrah.

"Istrimu, keluargamu, dan yang mengenalmu tentu belum tahu
sebenarnya, kan? Dan aku juga yakin kau belum siap untuk diketahui.
So.. Gimana?"

Nada yang begitu sopan dan lirih, justru telah mengulitiku habis.
Sangat berkesan memaksa. Aku semakin membisu, ketika tangannya
menyentuh wajahku. Ketidaksiapanku akan terbongkarnya rahasiaku,
membuat semakin leluasa tangannya meraih apapun yang ingin disentuhnya
di diriku. Aku berpikir keras dan tidak mau kalah sebelum perang. Akal
sehatku berputar, mencoba menemukan apa yang bisa kuperbuat. Ahaa..
Akhirnya aku mendapatkan ide cemerlang.

Lumatan bibirnya yang semula kurasakan hambar, kubalas jauh lebih
ganas. Aku harus benar-benar berakting. Kugigit bibirnya, dia mengaduh,
namun aku tetap mengganas. Meski terganggu dengan kumisnya yang
melintang tebal, namun aku harus. Bahkan kini aku yang mengambil
inisiatif, harus membuatnya terlena. Kutarik paksa kaosnya, nyaris
robek. Meski sudah menduga sebelumnya namun aku sempat terkejut juga
dengan apa yang di depanku. Darah Iraknya membuat hampir semua badannya
di tumbuhi rambut. Sangat lebat. Aku tak peduli. Kupagut semua yang
menempel di dadanya. Dua putingnya kulumat dan kugigit.

Dia meraung, mendekapku erat. Tangannya ganas mencopot bajuku, sehingga
tak seberapa lama, semua yang kupakai sudah direnggutnya. Aku pun
berbuat yang sama. Kutarik paksa celana dalamnya yang masih tersisa,
dan aah... aku sempat ngeri melihat betapa panjang dan besar penisnya.
Bayangan betapa wibawanya dia ketika sedang di kelas yang begitu rapi,
berdasi, sepatu, rambut klimis suara berat, badan kekar hilang sudah.
Ahh sudah kepalang.

Dia menindihku, garang. Aku kelabakan menahan nafas saat mulutku
dibungkam dengan mulutnya. Belum lagi gairah yang membubung di
ubun-ubun seiring dengan permainan tangannya di penisku. Dijilatinya
hampir sekujur tubuhku. Bahkan anusku yang aku sendiri jijik
membayangkannya, tak luput dari jilatannya. Aku mendesah-desah ketika
sensasi luar biasa kurasakan, setiap lidahnya menusuk-nusuk anusku. Aku
rancap penisku seiring permainan gilanya. Aku mengerang, bahkan sedikit
kudramatisir berharap agar dia semakin memuncak, bernafsu dan lupa
diri.

Ketika mulutnya menemukan penisku, kuhentikkan aksiku. Kuajukan
syarat, agar dia mau ditutup matanya. Benar dugaanku, hasrat membaranya
tidak lagi bisa membaca apa mauku. Dengan ganas dilumatnya penisku. Aku
semakin mengerang. Aku berdiri, masih dengan mendesah kumaju-mundurkan
pantatku. Semakin ganas melumatku. Rasa nikmat yang ditawarkan masih
menyadarkanku untuk mengambil ponsel kameraku. Kubidik dengan pas
setiap aksinya melumat penisku. Kujambak rambutnya dan kutengadahkan
wajahnya agar aku bisa membidik tepat wajahnya. Kuambil pose terbagus
saat dia menjilati penisku. Aku mendesah penuh kemenangan. Kukembalikan
ponselku, dan kunikmati permainan.

Kubuka tutup matanya. Kuraih penisnya yang sudah sangat tegang.
Rasa mual yang pernah hadir ketika harus mengulum penis, kulupakan,
demi hebatnya aktingku. Dia mulai meraung, ketika semakin kupercepat
mulutku. Tadinya aku hendak menyerahkan anusku yang memang sampai
sekarang belum pernah termasuki penis. Namun untungnya dia sudah tidak
tahan. Dia meraung semakin keras. Aku yakin geloranya sudah memuncak.
Dipegangya kepalaku dengan kuat. Tapi aku tidak mau spermanya muncrat
di mulut. Dengan cepat pula kucabut mulutku, dan kuraih penisnya.
Kubanting dia, dan mulai kubisikkan berbagai kata di kupingnya yang
bisa memacu laju spermanya. Sambil kurancap, kugigit berkali-kali
kupingnya, dan akhirnya dia meraung panjang, ketika kurasakan spermanya
muncrat membasahi perutku. Didekapnya tubuhku erat, seolah tidak hendak
dilepasnya. Aku tersenyum. Ah, satu-satu.

Aku sudah hendak beranjak, saat dia terbaring lemas. Namun ternyata
dia menuntut agar bisa melihat bagaimana wajahku ketika spermaku
muntah. Tanpa pikir panjang, aku berdiri. Kusodorkan penisku ke
mulutnya. Sambil berjongkok, dia terus menatap wajahku. Aku meringis,
merem melek, menelan ludah, mendesah dan banyak lagi aksi wajahku yang
menggambarkan saat hasratku menegang. Dia semakin mempercepat aksinya.
Aku mulai mengejang. Kurasakan spermaku sudah di ujung tanduk untuk
dimuncratkan. Kucabut penisku dari mulutnya. Kurancap kencang di depan
wajahnya, sambil mendesah keras kumuncratkan spermaku ke wajahnya.
Belum habis spermaku muncrat, dia kulum penisku. Kusodokkan muncratan
terakhir spermaku ke mulutnya, penuh dengan bahagia. Aku tak peduli
ketika dia telan spermaku.

Lebih dua jam kami habiskan berdua, dan banyak hal yang dimauninya.
Aku tahu banyak darinya bahwa di negaranya, dia tidak pernah
mendapatkan kenikmatan yang diingininya. Dia hanya bisa merancap diri
sambil membayangkan lelaki pujaannya, tidak lebih dari itu. Namun,
setelah 2 tahun di Jogja, dia mula menemukan keasyikkan baru yang
semula hanya sebuah angan, dan aku bisa membayangkan bagamana
bergairahnya dia setiap melampiaskan hasrat terpendamnya.

Belum hilang rasa capekku, dia kembali mencoba menaikkan gairahku
lagi. Sebenarnya aku tidak mau lagi, karena malamnya aku harus melayani
istriku yang sudah 4 hari tidak kukabulkan hasratnya. Namun karena aku
belum yakin akan keberhasilan jepretanku, maka aku hanya mengangguk dan
mengangguk, karena memang aku belum tahu hasil jepretanku sebagai
senjata tandingannya.

Kami kembali bergumul, untuk kesekian kalinya, dan aku tidak tahu
entah berapa kali aku harus bisa berbaik-baik dengannya, dan entah
untuk berapa lama. Namun aku berharap semoga hasil jepretanku akan
baik, dan bisa dijadikan senjata tandingan.

E N D

No comments:

Post a Comment

Paling Populer Selama Ini