6/06/2011

Keluarga Duda

Perfume.com
Waktu itu saya berenang di kolam renang milik sebuah Country Club, dimana saya tercatat sebagai membernya. Saat itu sudah amat sore, sekitar pukul 5. Saya baru saja naik ke pinggir kolam renang untuk handukkan. Saya melihat ada seorang cowok mungil bersama anak cowok kecil, cowok itu kira-kira berusia antara 14-15 tahun. Karena cowok itu berdiri tidak jauh dari saya, saya liatin aja dia. Untuk usia segitu, badannya bolah dibilang bagus, wajah manis, kulit putih bersih, rambut lurus, pahanya berbulu halus dan perutnya yang putih menantang sekali.
Setelah saya perhatikan baik-baik, tiba-tiba ‘Adik kecil’ saya bangun, bagaimana tidak.., ternyata dia tidak mengenakan celana dalam. Hal ini nyata sekali dari jendolan kontolnya yang tercetak di baju renangnya itu.

Eh.., nggak disangka-sangka, si anak kecil (yang ternyata adiknya), menghampiri saya, lalu dia bilang, “Om, mau main bola sama Reza gak?”
“Eh.., mmh.., boleh.., kamu sama kakakmu ya?” tanya saya gugup.
“Iya.., itu Kakak!” katanya sambil menunjuk kakaknya.

Lalu saya hampiri dia dan kami berkenalan. Ternyata, cowok manis itu bernama Gleno, dan juga, dia baru kelas 2 SMP.
“Mmh, Gleno cuma berdua sama Reza?” tanya saya mencoba untuk menghangatkan suasana.
“Nggak Om, kami sama Papa. Papa lagi senam BL di Gym diatas!” kata Gleno sambil menunjuk atas gedung Country Club.
“Ooo.., sama Papanya, toh” kata saya.
“Papi kamu ndak ikut Glen?”
“Nggak, Papi kan kalo pulang malem banget, yaa.., jam-jam 2-an gitu deh. Berangkatnya pagii bener” katanya lucu.

Saya tersenyum sambil memutar otak untuk dapat berkenalan sama Papanya.
“Mmh, Papa kamu bawa mobil Gleno? kalo ndak bawa, nanti pulang sama Om saja, mau ndak? Sekalian Om kenalan sama Papa kamu, boleh kan?”
“Boleh-boleh aja sih Om. Tapi, rencananya, habis dari sini, mau ke Mall sebentar. Reza katanya mau makan McD.”
“O, .. Ya udah ndak apa-apa. Om boleh ikut kan? Nanti pulangnya Om anterin”.
Tapi yang menjawab si kecil Reza, “Boleh.., Om boleh ikut..”

Sekitar 1/2 jam kami mengobrol, Papa mereka datang. Dan ternyata, orangnya gagah banget. Tinggi dan postur tubuhnya benar-benar mengingatkan saya pada Dosen saya, mirip abis. Otot dada yangn kekar, leher dan kulit yang putih.., pokoknya mirip. Singkat cerita, kami pun berkenalan. Gleno dan Reza berebut bercerita tentang awal kami semua berkenalan, dan Papa mereka mendengarkan sambil tersenyum-senyum, sesekali melirik ke saya.

Nama Papa mereka Hendy, umurnya sudah 29 tahun, tapi bodinya.., 20 tahun. Ngobrol punya ngobrol, ternyata Hendy dan istrinya sedang pisah ranjang. Saya dalam hati berkata, wah.., kesempatan nih. Makanya setelah makan dari Mall, saya memberanikan diri untuk mengantarkan mereka ke rumah, dan ternyata Hendy tidak berkeberatan. Setelah sampai di rumahnya di bilangan Cilandak, saya dipersilahkan masuk, langsung ke ruang keluarganya.

Waktu itu sudah hampir jam 8 malam. Reza yang sepertinya capek sekali, langsung tidur. Tapi saya, Hendy dan Gleno ngobrol-ngobrol di sofa depan TV.

“Hendy, Istrimu sebenarnya kerja dimana?”, tanya saya.

“Anu Mas.., dia CSO di sebuah bank terkenalgitu,” jawab Hendy ogah-ogahan.

“Iya Om, jangan nanya-nanya Mama. Papa suka sebel kalo ditanya tentang dia,” timpal Gleno, yang memang kelihatan banget kalo dia deket sama Papanya.

Mendengar Gleno bicara seperti itu, Hendy agak kaget, “Gleno, nggak boleh bicara gitu soal Papi, tapi bener Mas, aku nggak suka kalo ditanya soal istriku itu”.

“Iya deh, aku nggak nanya-nanya lagi..”, kata saya sambil tersenyum.

“Eh Iya.., Mas Vito mau minum apa?” tanya Hendy sembari bangkit dari sofa, “Kopi mau?”

“Eh.., iya deh boleh..” jawab saya.

Tak lama kemudian Hendy datang sambil membawa 2 cangkir kopi, “Ini kopinya..”, katanya sambil tersenyum.

Gleno yang sedang nonton TV, dengan mimik berharap tiba-tiba berkata, “Om, malem ini nginep di sini mau ya? bolehkan Mam?”. Hendy yang ditanya, menjawab dengan gugup, “Eh.., mmh.., boleh-boleh aja.., tapi emangnya Om Vito mau?”

Merasa dapat durian runtuh, saya menjawab sekenanya, “Yah.., mau sih..”,

Singkat cerita, waktu sudah menunjukkan jam 1/2 12 malam ketika Hendy berdiri dari sofa dan berkata, “Mas Vito, aku mau ganti baju dulu ya?”

“Eh, iya..”, jawab saya.

“Kamu ndak tidur Gleno, kan besok sekolah?”

“Mmh, belom ngantuk..”, jawabnya lucu.

Tak lama kemudian, Hendy datang lagi ke ruang TV dengan mengenakan celana pendek dan kaos singlet you can see. Gleno yang sedang tidur-tiduran di karpet sambil membaca majalah.

“Papa udah mau tidur tah?.”

“Gleno’ kamu tidur sana, sudah malam. Besok terlambat sekolah.., Papa masih mau ngobrol sama Om Vito.., sana tidur!” kata Hendy.

Saya juga ikut-ikutan ngomong, “Iya, Gleno’ besok telat masuk sekolahnya.., kamu tidur duluan sana.”

Gleno sepertinya kesal sekali di suruh tidur, “Aaahh.., Papa nih. Orang masih mau ngobrol sama Om Vito kok..”, tapi dia masuk juga ke kamarnya.

Setelah ditinggal Gleno, saya mulai melakukan agresi militer.

“Hen, paha kamu putih dan mulus yah? Dada kamu juga bagus. Apa ikut fitnes?

“Ah..biasa aja kok”

“Aku boleh memandangi perutmu ga? Aku tertarik banget dengan perutmu yang tidak buncit itu” pancingku untuk mengetahui bentuk tubuh Hendy.

“Kamu kok aneh she Vito”jawab Hendy.

“Mmh, boleh aku jujur tidak?”

“Boleh.., ngomong aja”

“Anu.., aku suka banget ama bentuk tubuhmu dan lagi aku yakin kalo ‘anu’mu pasti gede” kata saya sambil melakukan serangan awal dengan mengelus pahanya.

“Ooo.., ini,” kata Hendy sambil membuka celana dalamnya memamerkan celana dalamnya.

Aku agak terkejut jika Hendy akan melakukan itu. Tapi dengan pemandangan sekilas jendolan kontol di celana dalamnya ketika celana pendek itu dibuka, membuatku berdesir dan ingin tau dalamnya bagaimana.

“Kamu lama tidak berhubungan seks dengan istrimu, apa nafsu kamu tidak tersalurkan?”tanyaku hati-hati.

“Aku seringnya onani. Biasalah, kembali ke jaman remaja dulu, pelampiasan sendiri”jawab Hendy.

“Aku juga sering onani. Malah pernah onani bersama temen cowokku. Kalau kita Onani bareng, mau ga?,”serangku.

“Mas Vito mau? terus apaku yang seukuran.”

Belum selesai Hendy berbicara, Langsung saja aku potong dengan memegang dan mengelus kontolnya, “Ini.. Mu.., buka dong bajumu!” kata saya asal.

Hendy yang sepertinya sudah setengah jalan, langsung melepas kaos singlet yang menutupi tubuhnya. Sambil mengulum bibirnya yang tipis dan hangat, saya langsung membuka celana pendeknya. Hendy dengan gerakan spontan yang halus sekali, membiarkan celana dalamnya saya lucuti.

“Mas, aku sudah telanjang. Sekarang gantian ya..”, kata Hendy tanpa memberi saya kesempatan bicara,

Hendy langsung melepas baju dan celana serta celana dalam saya, akibatnya dia shock setengah mati melihat batangan saya yang sudah terkenal itu. Hebatnya lagi, dia tanpa minta ijin, langsung jongkok di bawah saya dan mengulum si ‘rudal’ dengan beringas. Sekitar 5 menit kemudian, dia berdiri dan menyuruh saya untuk menjilati kontolnya juga. Wow..saling jilat lolipop nih. Hendy kelojotan setengah mati, ketika lidah saya menyapu dengan kasar batang kontolnya dan saya hisap dalam-dalam buah pelernya.

Hendy saya suruh terlentang di karpet dan membuka kakinya, kontolnya teracung-acung keras. Tetapi yang menarik perhatianku adalah di bawah selangkangan itu, tersembunyi lubang pantat yang tampak rapat. Karena tidak tahan, langsung saya tindih Hendy, saya gesek-gesekkan kotol saya di perut, turun dan berbenturan dengan kontol Hendy. Terasa hangat dan sensasi yang aneh, ketika “main anggar” ini. Selang berapa lama, kaki Hendi terangkat, sehingga kontol saya menggesek bawah selangkangannya. Aku tusuk-tusukkan ke sekitar lubang pantatnya, akan tetapi tidak bisa serta merta masuk, jika tidak diberi pelicin dan dibimbing ke arah lubang yang tepat. Dengan sedikit gerakan, saya menyambar kondom dan pelicin yang tersedia di saku belakang celanaku. Kurobek kondom itu, kupasangkan ke kontolku yang teracung penuh dan aku lumuri lubang pantat Hendi dengan sedikit pelicin. Lalu setelah memasukkan kepala kontolku ke arah lubang yang tepat, saya hajar dengan gerakan tajam dan teratur. Sambil terus menyerang, saya meremas dadanya dan memelintir tetek kecilnya, sementara mulut kami sibuk berpagutan dan saya menghisap lidahnya dalam-dalam ke mulut saya. Sekitar 10 menit kami melakukan gaya itu, kemudian dia berdiri dan membelakangi saya dengan posisi menungging dan berpegangan di meja komputer didepannya, dia membuat jalan masuk dengan menggunakan kedua jarinya dan membimbing kontolku masuk ke lubang pantatnya secara benar.

Langsung saya pegang pantatnya dan saya tusuk dia perlahan-lahan sebelum gerakan makin cepat karena licinnya liang surga itu. Tak lama kemudian, Hendy bergetar hebat sekali.., dia ejakulasi dan kontolnya menyemburkan sperma ke perut kami berdua. Terasa hangat sperma yang baru muncrat itu. Aku semakin berusaha, tapi cairan sperma saya belum juga mau keluar. Saya percepat gerakan saya, dan tidak memperdulikan erangan dan desahan Hendy, dalam hati saya berkata, dia enak sudah klimaks, aku kan belum. Tak lama kemudian saya sudah ndak tahan.

Saya tanya, “Hen, aku mau keluar.., dimana nih?”

Di tengah cucuran keringat yang amat banyak, Hendy mendesah sambil berpaling ke arah saya, “Di dalam aja Mas! biar lengkap”.

Benar saja, akhirnya cairan saya, saya semprotkan semua di dalam lubang pantatnya. Aku merasakan spermaku cukup banyak yang kusepmprotkan, kental dan lengket. Lalu aku buka kondom yang membukus kontolku yang masih setengah tegang itu.

Setelah itu, kami duduk di sofa sambil dia saya suruh menjilati ‘Mr. Penny’ saya. Hisapan Hendy tetap tidak berubah, tetap penuh gairah, walaupun bibirnya terkadang lengket di kepala ‘Mr. Penny’ saya. Sekitar 5 menit, Hendy menikmati si ‘vladimir’, sebelum dia akhirnya melepaskan hisapannya dan bangun.

“Mas, aku ke kamar mandi dulu ya,” katanya.

“Aku mau nyuci ‘ini’ dulu,” sambil dia menepuk pantatnya sendiri.

“Ya.., jangan lama-lama..”, kata saya.

Karena sendirian, saya kocok saja sendiri batangan saya yang masih tegang teracung itu. Tiba-tiba si Gleno keluar kamar.., dia berdiri di depan pintu kamarnya sambil memperhatikan saya. Saya kaget sekali.

“Loh, Gleno.. Kamu belum tidur?” tanya saya setengah panik.

“Belum.” Jawabnya singkat.

Lalu dia berjalan ke arah saya, sementara saya berusaha menutupi ‘Mr. Penny’ saya dengan bantal sofa.

“Om, tadi ngapain sama Papa?” tanyanya lagi.

“Eh.., anu.., Om sama Papa lagi..” belum selesai saya menjelaskan. Papa Gleno, Hendy masuk ke ruang TV.

Dia kaget sekali melihat Gleno ada di situ. Sambil tangan kanannya menutupi celana pendeknya. Hendy berkata, “Gleno kamu ngapain, kok belum tidur?”

Gleno berpaling menghadap Papanya, “Aku nggak bisa tidur, Papa tadi berisik banget. Ngapain sih sama Om Vito?”

“Hayooo…aga usah ngaku, karna aku melihat semuanya kok” Jelas Gleno.

Ups, aku kaget setengah mati. Akhirnya saya menjelaskan, setelah sebelumnya menyuruh Hendy duduk di samping saya, dan Gleno saya suruh duduk di karpet, menghadap kami.

“Gleno, kamu kan tahu, Papi sama Papamu sudah pisah ranjang selama hampir 4 bulan. Sebenarnya Om sama Papa sedang melakukan kegiatan yang sering dilakukan sama Papa dan Papimu setiap malam. Om dan istri Om juga sering melakukan ini,” kata saya sambil melirik Hendy yang terlihat sudah agak santai.

“Tapi karena sekarang ndak ada Papi, Papa minta tolong Om Vito untuk melakukan hal itu.”

Gleno terlihat sedikit bingung, “Hal itu hal apa Om?”

Di sini, Hendy mencoba menjelaskan, “Gleno, Papa jangan disalahin ya.., Gleno sayang Papa kan?”

Gleno tersenyum, “Iyalah, mi. Gleno saayyaang banget sama Papa. Tapi Gleno mau tahu, Papa sama Om Vito ngapain?”

Saya tersenyum sendiri mendengar rasa ingin tahu Gleno yang cukup besar, “Om Vito sama Papa lagi mutual masturbation, kamu tahu artinya kan?”

“Mmh.., iya dikit-dikit. Jelasin semua dong Om.., Gleno mau lihat,” jawab Gleno.

Wah.., kaget sekali mendengar Gleno bicara begitu. Lalu saya melirik Hendy, dan Hendy mengangguk mengerti.

“Gleno beneran mau lihat Papa sama Om Vito lakuin lagi?” tanya Hendy.

Gleno menjawab dengan polos, “Iya mau. Dan kalau Om Vito mau ngajarin, Gleno juga mau diajarin..sekalian prkatek, biar bisa”.

Saya beneran seperti ketiban durian runtuh, “Mmhh, tanya Papa ya?! soalnya Om tidak bisa ngajarin dan sekalian praktek, kalo Papamu tidak ngijinin.., Om sih mau aja ngajarin.”

Gleno merajuk, merayu Papanya, “Pi, boleh ya?”

Hendy ragu-ragu menjawab, “Kamu lihat aja dulu deh ya. Ntar kalo dah dikasi tanda, kamu boleh ikutan?!”

Sambil tersenyum Gleno menjawab, “Iya deh..” senang sekali ia.

Setelah itu, Gleno saya suruh mundur beberapa langkah, dia masih duduk dan memperhatikan dengan serius, ketika saya ‘memamerkan’ batangan besar saya. Dan Gleno hanya bisa melongo ketika saya mengulum bibir Papanya sambil mengelus-elus vagina yang tanpa bulu itu. Tak lama kemudian, Hendy saya suruh untuk melakukan pekerjaan menghisap lagi. Sambil Hendy disibukkan dengan pekerjaannya itu, saya menyuruh Gleno untuk duduk mendekat disamping saya.

“Lihat Gleno, Papa seneng banget kan?” kata saya. Sementara Hendy melirik kami sambil terus menjilati ‘Mr. Penny’ saya.

“Gleno sudah pernah ciuman belom?” tanya saya.

“Belum Om.”

“Mau Om ajarin ndak?” tanya saya lagi sambil melingkarkan tangan saya di lehernya.

“Mau!” jawabnya singkat.

“Ya sudah.., Gleno ikutin Om aja ya.., apa yang Om Vito lakukan, diikutin ya?!”

Belum sempat Gleno menjawab, saya langsung saja mengulum bibirnya, tegang sekali si Gleno. Ketika saya menarik lidah saya dengan lembut di dalam mulutnya, Gleno terasa berusaha mengikuti, walaupun dengan gerakan yang tidak beraturan. Hendy terus menghisap batangan saya, ketika saya melucuti tubuh anaknya yang putih bersih dan mulus itu. Dada Gleno memang belum begitu tercetak, tapi untuk ukuran anak kelas 2 SMP, aku malah suka dengan perutnya yang putih bersih. Puting susunya masih berwarna merah muda dan kecil sekali dan ketika saya memilin-milinnya, si Gleno bergelinjang kegelian. Tak lama kemudian, Hendy berlutut di depan saya dan membantu Gleno melepas celana dalamnya yang berwarna hijau muda.

“Gleno menurut aja ya sama Om Vito “kata Hendy. Sementara saya meremas-remas kontolnya yang imut itu, Hendy menyuruh Gleno untuk menggenggam batang ‘Mr. Penny’ saya.

“Gleno, sekarang kamu jongkok disini ya” kata Hendy.

“Kamu hisap ‘Mr. Penny’nya Om Vito, seperti Papa tadi. Jangan dihisap terus, nanti kamu kehabisan nafas” Hendy tersenyum sayang kepada Gleno.

“Kadang di lepas, terus di jilat-jilat. Pokoknya kayak Papa tadi. Bisa kan?”

Gleno menjawab singkat, “Bisa, Mam”

Saya mengarahkan si ‘Adik’ ke mulut Gleno, sambil mengelus rambutnya yang hitam legam.

“Pelan-pelan Gleno, jangan ditelan semuanya ya!” Gleno tersenyum.

Hendy memperhatikan cara Gleno menghisap, kadang dia memberikan instruksi. Tak lama setelah itu, saya menyuruh Gleno berdiri. Saya tersenyum memandang kontolnya yang berwarna kemerahan, tampak bulu-bulu halus menghiasi kontol itu.

Dan sekilas aku perhatikan pantat Gleno begitu montok dan mulus, pasti lubang pantatnya juga sangat rapat. Akhirnya, saya ciumi dan jilati saja ‘kontol” muda itu. Gleno benar-benar kegelian. Akhirnya, Hendy menyuruh Gleno istirahat.

Pekerjaannya dilanjutkan oleh Hendy. Tanpa berbasa-basi, Hendy langsung memasangkan kondom ke kontol saya dan langsung menduduki ‘Mr. Penny’ saya, dan mulai melakukan gerak maju mundur, nikmat sekali. Sambil Hendy terus mengerjai ‘Mr. Penny’ saya, saya meremas-remas kontolnya yang bergetar-getar karena gerakan naik turun Hendy yang menduduki kontol saya.. Setelah itu, kami pindah tempat. Saya berbaring di karpet, dengan Hendy masih menduduki si ‘Adik’, kali ini dia membelakangi saya. Gleno yang hanya diam melihat aksi kami, saya suruh mendekat ke arah saya.

Saya menyuruh dia untuk jongkok, dengan posisi ‘kontol muda’nya di mulut saya. Sambil saya remas pantatnya, saya jilatin kontol itu dengan lidah, terkadang, saya sapu dengan mulut. Sambil jari-jari saya bermain-main di area lubang pantatnya sampai akhirnya, setengah jari tengah saya, masuk ke lubang pantatnya dan direspon dengan gerakan yang sangat liar. Gleno mulai mendesah tidak karuan, sementara pada saat bersamaan, Papanya mendesah keenakkan. Saya mulai serius menanggapi Hendy.

Gleno saya suruh menyingkir. Setelah itu, saya membalik tubuh Hendy, sekarang dia yang dibawah. Saya lebarkan kakinya dan saya tusuk dengan tajam dan tanpa ampun. Kali ini, Hendy bertahan cukup lama, dia sudah mulai terbiasa dengan tusukan-tusukan saya. Akhirnya Hendy tidak tahan juga, begitu juga saya. Dia ejakulasi, berbarengan dengan saya yang kembali memuntahkan sperma ke dalam lubang pantatnya. Setelah melepas si ‘vladimir’ dari kondom yang membukusi kontolku. Gleno saya suruh menjilatinya.

“Mmmhh.., Om.. Kok asin sih rasanya?” protes Gleno.

Hendy sambil terengah-engah menjawab, “Memang gitu rasa sperma. Tapi enak kan? Papa bagi dong?!”

Saya senyum-senyum saja melihat papa dan anak itu berebut menjilati ‘Mr. Penny’ saya dan menjilati sisa sperma di ujungnya. Begitu juga Hendy dan anaknya, Gleno, yang seperti mengagungkan batangan saya. Saya memegang kepala Bapak dan anak itu, dan dengan maksud bercanda, kadang saya buat gerakan yang memaksa mereka harus berciuman dan menempelkan lidah masing-masing. Mereka tertawa dan tersenyum ceria, tanpa beban.

Sekali dua kali, kami masih sering bersenggama bertiga. Tapi sekali tempo, saya hanya berdua saja dengan Gleno, yang benar-benar telah merelakan lubang pantat yang masih perawan itu saya entotin. Tapi kalau dengan Hendy.., wow, jangan ditanya berapa kali, kami sering janjian di sebuah restoran di PIM, dan Reza, anak bungsu Hendy, selalu diajak. Pernah suatu saat, ketika saya dan

Hendy sedang ‘perang alat kelamin’ di kamar mandi rumahnya (tanpa menutup pintu), Reza, adik Gleno yang masih kecil tiba-tiba masuk dan menonton dengan bingung adegan saya dan Papanya yang sedang nungging di bathtub.

Dia bertanya kepada Papanya (walaupun tidak dijawab, karena sedang ’sibuk’), “Papa diapain Om Vito, kok teriak-teriak?” katanya.

Dan dia pun ikut menyaksikan kakaknya, yang saya senggamai di ruang TV, di samping Papanya yang telanjang bulat, dengan sperma berceceran di dadanya itu (bila saya buang di luar, dia tidak mau membersihkan sendiri, selalu menyuruh Gleno untuk menjilatinya).

Kami masih sering melakukan itu sampai sekarang. Untuk yang satu ini, saya tidak mau berbagi rezeki dengan teman kantor saya, karena keluarga ini sungguh memberiku kenikmatan yang tiada tara.

No comments:

Post a Comment

Paling Populer Selama Ini