5/21/2011

Papa Tiriku

Aku tinggal di kota Malang bersama mamaku. Karena ayahku telah meninggal saat aku masih kelas 2 SMP. Mamaku seorang singgle parent yang sukses dalam karirnya, sehingga semua kebutuhanku, baik jasmani maupun rohani, tercukupi. Tetapi mama rupanya butuh seorang pendamping, agar hidupnya lebih berwarna. Setelah sekian lama pacaran, akhirnya menikahlah mama dengan seorang pria, yang kini menjadi ayah tiriku. Walaupun dia ayah tiri, aku memanggilnya dengan sebutan “papa”. Kini saya sudah berusia 20 tahun. Kata teman-teman kuliahku, saya lumayan cakep. Tapi tak ada yang tahu bahwa saya gay. Saya haus akan kasih sayang seorang pria. Saya tak tahu mengapa saya bisa tumbuh menjadi seorang gay, mungkin karena dulu, semasa kecilnya saya terlalu dekat dengan papa tiriku. Entahlah, tapi yang pasti, sejak masa puber, aku sering memikirkan papa tiriku. Seringkali, aku sengaja menunggunya mandi hanya untuk dapat menyaksikannya keluar sambil bertelanjang dada.

Papa tiriku memang bukan model ataupun atlit, dia hanyalah seorang pria biasa. Usianya kini hampir mencapai 50 tahun. Karena sering bepergian keluar, kulit tangan dan wajahnya gelap. Namun dada, perut, dan punggungnya putih bersih. Dada papa tiriku lebar dan berisi, sedikit berlemak, namun tetap nampak seksi. Perutnya tidak buncit tapi jelas terlihat berlemak. Papa tiriku memang tidak memiliki tubuh seksi ala bintang porno homoseksual, tapi aku sangat menyukainya.

Papa iriku tak pernah tahu bahwa aku, anak tirinya ini adalah seorang homoseksual. Dia tak pernah mengacak-ngacak kamarku, maka dari itu semua barang-barang pornoku yang berbau homo aman. Di bawah ranjangku tergeletak bertumpuk-tumpuk majalah homo yang sering kupakai pada saat aku ingin bermasturbasi. Komputer di kamarku juga sarat dengan foto-foto pria macho. Tapi meskipun aku merasa bebas menjadi gay, walaupun hanya di dalam kamarku saja, aku merasa kesepian.

Aku rindu akan belaian lembut pria dewasa. Anehnya, aku kurang tertarik dengan pemuda seusiaku. Aku lebih suka pria-pria dewasa seusia Papa tiriku. Dulu saya pernah punya pacar yang seusia denganku namun kami sudah putus karena saya tidak merasakan gairah apa-apa dengannya. Aku memang sudah bukan perjaka lagi sebab mantanku sudah pernah mengentot pantatku. Namun, aku belum pernah dientoti oleh papa tiriku dan aku amat sangat ingin merasakannya. Tapi bagaimana caranya?

Suatu malam, aku terbangun karena mendengar desahan dan erangan dari kamar papa tiriku. Kamar kami memang bersebelahan sehingga aku dapat mendengar dengan jelas suara-suara tadi. Kutempelkan telingaku pada dinding dan kudengar erangan papa tiriku. Mulanya kukira papa tiriku sedang kesakitan, namun setelah kudengar baik-baik, ternyata dia sedang berhubungan seks!

Penasaran, aku berjinjit keluar dan mengintip dari lubang kunci. Benar dugaanku. Papa tiriku membawa pulang seseorang, tapi aku tak dapat melihatnya. Dari lubang kunci itu, aku hanya bisa melihat tubuh papa tiriku. Papa tiriku sedang berdiri sambil mengentot seseorang. Kubayangkan orang yang sedang bersama papa tiriku itu pastilah seorang pelacur wanita murahan yang dipungutnya dari jalan. Dan mereka sedang asyik bercinta! Tapi aku merasa aneh sebab aku tak mendengar suara erangan wanita. Yang kudengar hanyalah suara desahan pria. Desahan nikmat papa tiriku. Mungkinkah pelacur itu bisu?

Tak peduli siapa pun dia, aku sangat cemburu pada pelacur itu sebab aku menginginkan papa tiriku yang bercinta denganku. Hanya denganku saja! Tiba-tiba papa tiriku mengerang hebat. Tubuhnya kemudian berkelojotan. Semuanya terjadi dengan begitu cepat, namun aku masih sempat melihat papa tiriku ngecret di dalam kondom. Kondom bening yang tadinya melapisi kontol ayahku, langsung terisi cairan kental putih. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berhasil mengintip kontol papa tiriku. Lumayan panjang dan gemuk.

Aku buru-buru kembali ke kamarku dengan kontol yang ngaceng. Jam dinding menunjukkan hampir jam 1 pagi saat kudengar suara pintu depan terbuka dan tertutup. Pelacur itu rupanya sudah pergi. Diam-diam, aku berjalan keluar kamar. Aku hanya mengenakan celana pendek usang tanpa celana dalam sehingga tonjolan kontolku terlihat sangat menantang. Udara malam membuat kedua puting dadaku melancip.

Kucari papa tiriku namun dia tak ada di mana-mana. Kamarnya juga kosong. Kuduga papa tiriku pasti sedang mengantar wanita pelacur itu pulang. Kesempatan, pikirku. Aku langsung memeriksa kamar papa tiriku. Mataku memeriksa setiap sudut kamarnya dengan teliti, namun barang yang kucari tak ada. Aku hanya menemukan celana dalam papa tiriku yang masih basah belepotan precum. Kuambil saja celana dalam itu sambil bergegas menuju dapur. Semua sampah di rumah kami pasti dibuang ke dalam tong sampah yang letaknya di dapur. Mataku bersinar-sinar saat kutemukan barang yang kucari. Kondom papa tiriku!

Sayang, sebagian spermanya sudah tumpah keluar, namun kondom itu masih mengandung sedikit sperma papa tiriku. Untung saja tong sampah itu sudah dikosongkan dan hanya diisi dengan sampah kertas hingga aku tak perlu dipusingkan dengan bau sampah. Segera kuambil kondom itu. Hhmm.. Aroma pejuh yang tajam masuk ke dalam hidungku dan naik ke dalam otakku. Kontolku ngaceng berat dan mulai mengeluarkan precum. Berdiri di depan tong sampah, aku mulai bermasturbasi. Celana pendekku kutanggalkan dan kulempar ke pojok. Kontolku langsung kumainkan.

"Hhoohh.. Aahh.. Hhoosshh.." desahku keenakkan.

Celana dalam papa tiriku kucium-cium. Aroma kelaki-lakiannya menusuk hidungku. Jelas tercium bau pesing dari noda kencingnya dan juga bau pejuh dari noda precumnya. Kudekatkan bagian yang ternoda oleh precum papa tiriku dan kujilati bagian itu. Samar-samar, kurasakan rasa asin precum papa tiriku. Mm.. Lezat sekali. Semakin kujilat, aku menjadi semakin bersemangat. Seperti anjing, aku mengais-ngais sisa noda precum tersebut dengan lidahku sampai aku puas. Kontolku sendiri sudah mengalirkan precum hingga menetes ke lantai. Kocokan tanganku kupercepat agar aku dapat segera ejakulasi.

Kurasakan spermaku mendesak-desak ingin keluar dari lubang kontolku. Namun ketika hal itu akan terjadi, aku sengaja berhenti mencoli dan kupaksa libidoku untuk turun kembali. Aku tak mau ngecret duluan sebelum aku menikmati hidangan utama. Sperma papa tiriku!

Kondom papa tiriku nampak indah sekali, berkilauan di bawah sinar lampu. Isinya nampak keputihan, setengah penuh dengan sperma papa tiriku. Dengan mendongakkan kepala, kuangkat kondom itu. Pelan-pelan kumiringkan tanganku agar isi dari kondom itu mengalir keluar dan jatuh tepat di atas mulutku yang terbuka lebar. Kontolku yang tadi sudah agak melemas, kini bangun kembali. Oohh.. Kenikmatan yang kurasakan sangat berbeda dibandingkan sesi-sesi masturbasiku. Biasanya, aku hanya menggunakan foto dan video porno serta imajinasiku. Namun sekarang di tanganku tergenggam kondom papa tiriku. Jelas aku lebih terangsang.

Bagaikan adegan lambat, kulihat sperma papa tiriku menetes keluar dari kondom itu. Saat tetesan pertama itu menyentuh lidah, aku langung terhenyak oleh rasanya. Sebelumnya, aku belum pernah meminum sperma, baik itu spermaku sendiri maupun sperma mantanku. Maka dari itu, aku agak terkejut saat merasakan betapa nikmatnya rasa sperma. Rasa yang paling menonjol adalah asin kepahitan. Dan saat cairan itu menyentuh lidahku, aku merasa lidahku kesat licin. Pasti itu dikarenakan oleh kandungan basa yang terkandung dalam semua sperma laki-laki. Oleh karena itu, sperma terasa kesat licin jika dimainkan dengan jari.

Mm.. Tetesan kedua membuatku semakin gila dengan nafsu. Aku menjadi ketagihan. Kutuang saja langsung semuanya. Tetes demi tetes masuk ke dalam mulutku. Kutelan semuanya tanpa sisa. Mm.. Enaknya. Aku semakin mempercepat kocokanku sambil membayangkan betapa asyiknya jika papa tiriku sedang menyodomiku.

Terbayang di hadapanku, rupa papa tiriku saat dia sedang bertelanjang bulat. Oohh.. Rasa sperma papa tiriku masih tersisa di mulutku. Kucoba mengingat kembali adegan tadi saat aku baru pertama kali mencicipi sperma papa tiriku. Oh, semuanya sungguh merangsang kontolku. Birahiku bergejolak, tak terkendalikan lagi. Aku mau ngecret! Aku mengerang saat kontolku tiba-tiba melepaskan tembakan sperma. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!! Berkali-kali, pejuhku tersemprot keluar hingga menodai lantai. Aku terus mengerang sambil sibuk meremas kontolku. Aku sangat menyukai melihat spermaku saat menyemprot keluar. Sungguh pemandangan yang indah. Aku mendesah saat berhasil memeras tetes pejuh yang terakhir.

"Apa yang kamu lakukan?" sebuah suara mengejutkanku.

Bagai tersambar petir, aku hanya bisa berdiri tertegun dengan mata melotot kaget. Di depanku telah berdiri papa tiriku! Rupanya tadi Papa tidak keluar rumah sebab dia kini berdiri di depanku dengan hanya mengenakan celana pendek saja. Dadanya telanjang, terekspos untuk kenikmatan mataku.

"Pp.. Paappa.." ucapku terbata-bata.

Aku merasa malu sekali, ingin rasanya bumi menelanku saja. Bayangkan saja. Aku berdiri bertelanjang bulat dengan kontol ngaceng. Dan aku tertangkap sedang menelan sperma papa tiriku sendiri yang kucuri dari kondom bekasnya. Belum lagi, Papa pasti tadi sempat menyaksikan sesi masturbasiku. Sekujur tubuhku gemetaran, salah tingkah, malu bercampur takut. Apalagi di bawah kakiku masih teronggok celana dalam papa tiriku. Papa tiriku bukan orang bodoh. Dia pasti mengetahui bahwa putra satu-satunya ternyata seorang homoseks. Kontolku yang tadi ngaceng langsung menciut. Tetesan precum nampak masih menggantung di kepala kontolku.

“Apa yang kamu lakukan?" tanyanya lagi.

"Kenapa kamu menelan sperma Papa? Kamu benar-benar homo?"

Meskipun semua pertanyan yang diajukan terasa sangat memojokkanku, namun aku tak menemukan intonasi kemarahan atau pun keterkejutan dalam nada bicaranya. Papa tiriku terdengar seolah-olah dia sudah tahu sejak lama bahwa aku gay. Tapi bagaimana mungkin? Papa tiriku berjalan ke arahku. Saat kami telah berdiri berhadapan, aku hanya bisa menundukkan kepalaku dalam-dalam, malu sekali.

"Ada apa denganmu? Papa sudah berdiri di sini dari tadi. Papa melihat bagaimana kamu menikmati noda pada celana dalam itu dan bagaimana kamu menyukai setiap tetes dari pejuh Papa. Papa juga lihat bagaimana kamu sangat menikmati masturbasimu. Kamu ngecret sangat banyak. Anakku, kalau kamu begitu menyukai sperma Papa, kamu 'kan bisa minta."

"Hah?!" Aku tak percaya mendengar ucapannya. Apa maksudnya?

"Papa sudah tahu kamu homo, tapi Papa tak berani memintamu ngeseks dengan Papa. Kamu pasti tidak tahu, tapi Papa sering mengendap masuk ke dalam kamarmu saat kamu sedang keluar. Papa suka sekali dengan semua koleksi film porno homo, majalah homo, dan juga foto-foto di komputer kamu. Semuanya merangsang. Sering Papa berfantasi bagaimana nikmatnya bersetubuh dengan anak Papa sendiri tapi Papa takut."

Pengakuan Papa Tiriku sangat mengagetkanku. Dalam sekejap, bayanganku tentang Papa langsung pecah berkeping-keping.

"Tapi saat Papa tadi melihatmu asyik mencoli kontol kamu sambil meminum sperma Papa, Papa yakin bahwa kamu juga sering membayangkan Papa dalam setiap fantasi jorokmu. Benar 'kan?"

"Tapi, Pa, tadi aku lihat Papa sedang ngeseks dengan seorang wanita pelacur. Papa biseks?" tanyaku penasaran. Rasa takut dan maluku berangsur-angsur hilang.

"Wanita?" papa tiriku tertawa kecil.

"Anakku, yang tadi Papa bawa pulang namanya Jon. Dia laki-laki tulen, seumur Papa. Dia adalah anak buah Papa di kantor. Selama bertahun-tahun, Jon telah sering melayani nafsu homoseksual Papa. Sebenarnya sudah berkali-kali Papa mengajaknya kemari, namun baru kali ini Papa tertangkap basah oleh kamu. Celana dalam yang tadi kamu jilat-jilat adalah celana dalam yang sengaja ditinggalkan Jon untuk Papa," jelasnya sambil tersenyum mesum.

"Anakku, Papa sama homonya seperti kamu. Sejak Papa ditinggal mamamu, Papa membenci wanita dan mulai menyukai sesama jenis." Penjelasan Papa membuatku tercengang. Kami hanya berdiri saling menatap selama bermenit-menit sebelum akhirnya aku merangkul papa tiriku sambil menangis lega.

"Papa.. Saya sayang Papa.. Sudah lama saya memimpikan Papa.." Kepalaku bersandar di atas dadanya yang gempal namun padat berisi. Tanpa ragu, kuraba-raba dadanya sambil memuaskan impianku untuk memeluknya. Pelan-pelan, kontol Papa membentuk tonjolan besar di depan celana pendeknya. Dan saat itu Papa bertanya..

"Kamu masih kuat? Mau bercinta dengan Papa?"

Kutatap wajah papa tiriku dan kutemukan nafsu birahi kembali menguasainya. Aku mengangguk-ngangguk, setuju. Tanpa basa-basi, Papa memerosotkan celana pendeknya. Ternyata Papa juga sudah tidak mengenakan celana dalam. Pepatah mengatakan, ayah dan anak sama saja. Kurasa pepatah itu benar. Kontolnya langsung melompat keluar, berdenyut-denyut dengan bangga. Rasanya hangat sekali saat kontolnya itu menempel di pahaku, beradu dengan kontolku. Perlahan, kontolku yang tadi sempat melemas, kini mulai mengeras lagi. Noda pejuh yang masih melekat pada kontolku menodai paha Papa, namun Papa tampak tak keberatan.

Papa memelukku sambil meraba-raba seluruh tubuhku. Tangannya terasa lebar dan kasar, namun aku suka. Bibirnya asyik masyuk mencium-cium wajah dan leherku. Deru napasnya terdengar jelas seperti suara mesin pesawat tempur. Kedua puting Papa yang keras melenting terasa menusuk-nusuk dadaku, membangkitkan putingku. Bibir Papa kemudian beralih ke mulutku, dan kami pun berciuman mesra sekali. Papa tampak agak terkejut melihat betapa terampilnya aku dalam membalas ciumannya. Ketika kujelaskan bahwa aku dulu pernah punya pacar homo, Papa hanya tersenyum mesum saja. Tangannya aktif meremas-remas belahan pantatku, sesekali melebar-lebarkan pantatku agar anusku tertarik.

"Hhoohh.. Papa sayang kamu.. Aahh.. Kamu anak Papa yang seksi.. Hhoohh.." desahnya.

Papa tiba-tiba menekan badanku ke bawah seraya mengisyaratkan bahwa dia ingin dihisap. Aku tak menolaknya. Aku berjongkok di depan kontolnya tanpa mengeluh. Aroma jantan langsung memancar dari kontol itu. Nampak noda-noda pejuh masih melekat pada kepala kontolnya. Aromanya sangat menusuk, mengingatkanku pada pejuh Papa yang baru saja kutelan tadi.

Mm.. Kontol Papa berdenyut-denyut dan mulai mengalirkan precum. Papa nampaknya tak sabar lagi sebab dia mulai menggerak-gerakkan kontolnya menuju mulutku. Begitu mulutku terbuka, kontolnya melesat masuk dan berdiam di sana. Mm.. Rasa pejuh bercampur precum langsung memenuhi setiap sel dari lidahku. Sungguh tak terbayangkan, aku sedang menyedot kontol yang dulu pernah menciptakanku. Jika tak ada kontol itu, aku takkan pernah ada. Oleh karena itu, aku harus melayani kontol Papa sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasih, dan lagipula aku memang suka menyedot kontol Papa. Slurp! Slurp! Slurp!

Kontol itu terasa menyesakkan mulutku. Ukurannya jauh lebih besar daripada kontol mantanku. Aku harus pintar-pintar menghisap kontol itu sebab mulutku hampir kram. Lidahku bermain-main sambil mengusap-ngusap kepala kontol itu, menggodanya. Sengaja kujilat-jilat bagian bawah kepala kontolnya karena bagian itulah yang paling sensitif. Kucoba untuk memampatkan mulutku agar hisapanku menguat. Kupaksa kontol Papa untuk memberikanku lebih banyak precum. Mm.. Enak sekali. Slurp! Semakin keras kusedot kontol itu, Papa mengerang semakin keras pula.

"Hhoohh.. Hisap kontol Papa.. Aahh.. Ya, begitu.. Jilat terus.. Oohh.. Mulutmu lebih enak daripada mulut Jon.. Aahh.. Layani Papa, anakku.. Oohh.."

Papa menjambak rambutku dan memakainya sebagai pengendali kepalaku. Meski agak kesakitan, tapi aku tak keberatan karena Papa melakukannya dengan lembut.

"Hhoohh.. Hisap terus.. Aahh.."

Kedua tanganku merayap naik. Begitu kutemukan dada Papa, aku langsung meraba-rabanya. Ah, aku rindu sekali menyentuh dada itu, dada Papa yang kucintai. Putingnya mengeras di bawah rabaanku. Ketika kupelintir, papa tiriku mengejang-ngejang sembari mengerang keenakkan.

"Hhoohh.. Yyeeaahh.. Mainin puting Papa.. Aahh.. Ayo, nak.. Buat Papa terangsang.. Hhoohh.." Precum Papa mengalir makin banyak, habis kutelan semuanya.

"Aarrgghh!!" erang Papa mendadak sambil mendorongku jauh-jauh.

Aku terkejut tapi belakangan aku baru menyadari bahwa Papa tadi hampir ngecret dan dia hanya mau agar aku berhenti menyedot kontolnya sebentar.

Papa kemudian menghampiriku. Dengan sepasang tangannya yang kuat, Papa mengangkatku dan membaringkanku di atas meja dapur. Kami memang punya sebuah meja dapur yang kokoh tepat di tengah dapur, berfungsi sebagai meja masak dan sekaligus meja makan. Dengan bernafsu, kakiku dikangkangkannya lebar-lebar. Anusku nampak berkedut-kedut menyapa papa tiriku. Papa hanya tersenyum padaku seraya berkomentar nakal.

"Pantatmu kelihatan sempit. Pasti enak kalau Papa entoti."

Berbekal kondom yang tersimpan di celana pendeknya, Papa mempersenjatai kontolnya. Kemudian, tanpa bicara lagi, Papa langsung menusukkan kontolnya dalam-dalam.

"Aahh.." erangnya, matanya merem-melek.

Anusku yang masih sempit, mencekik kontolnya. Namun pelumas yang menempel pada kondom Papa membantu proses penetrasi sehingga kontol Papa dapat masuk seluruhnya. Blleess.. Namun Papa tak mau buang-buang waktu, dia langsung menggenjot pantatku.

"Aarrgghh.. Sakit, Pa.. Hhoohh.. Uugghh.." rintihku.

Kontol Papa memang besar sekali hingga anusku serasa sobek. Air mataku mengalir keluar, tak tahan menahan sakit. Duburku serasa terbakar dan berdarah. Namun Papa berusaha menenangkanku.

"Hhoohh.. Sakit.. Aahh.."

"Aahh.. Tahan saja.. Uugghh.. Demi Papa.. Hhoohh.. Sempit banget.. Aahh.. Kontol Papa dijepit pantatmu.. Aahh.."

Kontol Papa memang terasa sempit di dalam duburku, namun Papa malah semakin menyukainya. Dengan bernafsu sekali, Papa mengentotku. Kepala kontolnya menghajar isi pantatku tanpa ampun. Rasanya setiap organ dalam pantatku sudah dirombak ulang. Ketika kontol itu menemukan prostatku, aku mulai mengerang-ngerang karena nikmat. Prostatku memancarkan rasa nikmat yang mirip orgasme. Aku merasa senang dan tak merasa sakit lagi. Berkali-kali prostatku ditumbuk, lagi, lagi, dan lagi.

"Oohh.. Pa, enak banget.. Aahh.. Fuck me.. Oohh.. entoti anakmu, Pa.. Aahh.. Aku butuh kontol Papa.. Aarrgghh.. Ayo, Pa.. Ngentot terus.. Aahh.."

Aku mengerang-ngerang seperti pria murahan, namun aku suka melayani Papa. Papa tahu kebutuhanku, maka dari itu dia menggenggam kontolku dan langsung mengocok-ngocoknya. Dari deru napas kami, kami akan segera ngecret.

"Aarrgghh.. Pa, aku mau.. Aahh.. Kkeluar.." erangku.

Aku sungguh tak kuat lagi. Prostatku dihajar terus-menerus oleh kontol Papa sementara kontolku dikocok terus oleh tangan Papa. Orgasmeku sungguh tak dapat dicegah. Seiring dnegan membanjirnya precumku, aku ngecret! Kontolku berdenyut-denyut dengan ganas, menyemburkan lahar putih ke mana-mana. Semburannya begitu kuatnya sehingga mengenai dada Papa. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!!

"Oohh.. Semprotkan pejuhmu.. Oohh.. Yyeeaahh.. Biar Papa lihat.. Hhoohh.."

Papa menyemangatiku sambil terus menyodok-nyodok pantatku. Tapi rupanya orgasmeku justru memicu orgasmenya sebab bibir anusku berkontraksi hebat ketika orgasmeku terjadi. Papa menggeram seperti banteng, perutnya berkontraksi. Seiring dengan erangan panjangnya, kontol Papa mulai mengisi pantatku dengan spermanya. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!!

"Hhoohh!! Hhoosshh!! Aahh!!" lenguhnya.

Setiap kali kontolnya menembakkan sperma, tubuhnya akan terguncang. Dada gempalnya ikut terguncang-guncang, seksi sekali. Ccrroott!! Sebagian sperma meleleh keluar dari pantatku.

Lalu Papa memeluk tubuhku saat semuanya telah usai. Dia membisikkan bahwa betapa dia mencintai dan menyayangiku. Kubalas dengan sebuah ciuman mesra di pipinya.

"Aku sayang Papa," bisikku.

No comments:

Post a Comment

Paling Populer Selama Ini