6/28/2011

Selamat Datang Aris Dan Paman Arjo! - bag. III

Seminggu ini rasanya aku selalu tersenyum. Belajar lebih semangat meskipun konsentarsi belu terfokus. Khayalanku tidak lagi terlalu mengembara. Paling-paling aku cukup membagi konsentrasiku antara belajar dengan mengingat kebaikan Fizkar di sekolah. Aris? Lupakan dulu! Ia bukan untukku ...

“Besok kita ke Monas, yuk!” tawar Fizkar di kelas padaku. Hari itu hari Sabtu.

“Mau apa ke sana?” tanyaku polos.

“Yah, rekreasi lah ... kan libur!” bibirnya sengaja dimonyongkan. Lucu! Tapi tetap jantan ...

“Mahal?” tanyaku lugu. Belasan tahun di Jakarta aku baru sekali ke Monas. Itu program MOS waktu aku baru masuk SMA ini. Saat itu dipungut bayaran cukup besar karena ada tiga tempat yang dikunjungi. Lubang Buaya, Museum Teknologi, dan Monas. Aku tidak tahu harga tiket masing-masing tempat.

“Gratis! Kita nggak usah masuk ke dalamnya cukup duduk-duduk di taman. Ongkos gue yang tanggung!” Fizkar memainkan alisnya. Oke tampan! Aku tak akan menolak ajakanmu! Apalagi kamu janji akan menjemput. Wah, laksana puteri raja ...

Minggu ...

Aku sudah berada di halte bersama Fizkar. Secara tidak sengaja aku melihat Aris sekelebatan. Ia membuntuti kami? Kuharap Fizkar tidak melihatnya. Aku tak ingin terjadi kekerasan antara keduanya.

Bus yang ditunggu datang.

Fizkar membimbingku duduk di kursi belakang. Kulihat Aris muncul dari balik gang. Ia sudah tahu kalau aku hari ini dengan Fizkar hendak ke Monas.

Kami duduk dekat jendela. Fizkar merengkuhku penuh kasih. Masih ngerikah aku dengan orang seperti ini?

Sepanjang jalan ia menyebutkan nama-nama wilayah yang dilewati bus yang kami tumpangi. Seperti seorang guide terhadap turis asing. Aku sangat berterima kasih. Meski tidak langsung hafal tetapi aku sudah pernah tahu wilayah-wilayah yang selama ini hanya bisa sekadar aku dengar.

Satu jam dalam perjalanan kurasakan kepalaku mulai pusing. Perutku mulai berontak. Aku mabuk perjalanan. Kebiasaan yang sangat memalukan! Ini salah satu penyebab aku tidak suka berpergian ...

“Mau muntah, Ro?” tanya Fizkar saat melihatku pucat dan berkeringat dingin. Aku mengangguk lemas. Fizkar mengajakku turun. Tujuan kami masih jauh. Namun, aku lebih nyaman kalau segera turun dari bus ini.

Kami turun di sebuah halte. Lega sekali. Perasaan ingin muntah agak berkurang. Fizkar mengeringkan dahi dan leherku dari keringat. Lembut. Untung tidak ada orang lain di halte itu.

Perjalanan dilanjutkan kembali setelah aku benar-benar merasa baik.

Di monas ...

Kami mencari tempat yang paling teduh dan jauh dari keramaian orang yang juga sedang bersantai. Fizkar merapatkan tubuhnya yang hangat. Aku menikmatinya. Akh ... kami seperti orang yang berpacaran. Apakah Fizkar tidak menyadarinya?

“Ro! Boleh gue cerita banyak tentang diri gue ke elo?” tiba-tiba Fizkar berbicara berbisik. Aku mengangguk dengan beribu tanya. Fizkar merebahkan kepalanya di pangkuanku. Diraihnya tanganku dan dibimbingnya supaya membelai kepalanya yang ditumbuhi rambut keriting pendek. Aku menyayanginya. Kubelai.

Fizkar sama seperti aku. Dia anak ketiga dari tiga bersaudara. Namun, kakaknya lelaki semua. Abangnya yang pertama meninggal dunia karena over dosis saat berusia sembilan belas tahun. Abangnya yang kedua masuk penjara akibat terlibat pembunuhan terhadap rekan kerja abangnya yang sulung, yang menurutnya telah menyeret abngnya ke dunia obat-obatan terlarang. Ayahnya tidak kuat menghadapi semua itu hingga sakit dan meninggal. Ibunya setahun kemudian menyusul ayahnya. Fizkar diasuh pamannya, adik ayahnya. Saat itu ia berusia sebelas tahun.

Sejak itu Fizkar menjadi anak yang pendiam. Padahal sebelumnya ia dikenal sebagai anak yang banyak bicara dan selalu bergerak. Perubahan ini berlangsung hingga ia masuk SMP. Pamannya sengaja menyekolahkannya di sekolah yang jauh dari rumah orang tua Fizkar. Tujuannya untuk menghindari Fizkar berteman dengan anak-anak yang mengetahui episode hitam keluarga tersebut.

Suatu hari dalam perjalanan pulang sekolah ia diisengi oleh sekelompok siswa STM. Ia yang sendirian tiba-tiba dibekap dari belakang oleh salah seorang di antara mereka. Yang lain memegangi tangan dan kakinya. Ada juga yang menelanjanginya hingga bugil. Tak berhenti di situ, salah seorang di antaranya mempermainkan kontol Fizkar dan mengocoknya hingga muncrat. Mereka meninggalkan Fizkar sambil tertawa-tawa. Bara dendam muncul di dada Fizkar. Suatu hari ia berjumpa dengan anak STM yang mengocok kontolnya. Ia menghajar dan membuat kepalanya bocor. Hanya dengan tangan kosong.

Ia diamankan di kantor polisi. Ia tidak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya. Malu. Parahnya, anak STM itu justru memberikan kesaksian seolah-olah ia diperlakukan seperti itu tanpa ada sebab atau kesalahan yang ia lakukan. Fizkar menginap dua hari di kantor polisi. Pamannya menjemputnya tanpa berbicara dengannya sama sekali. Fizkar menjadi semakin pendiam.

Fizkar dikeluarkan dari sekolah akibat kasus tersebut. Ia dimasukkan pamannya ke sebuah SMP milik sebuah yayasan yang cukup terkenal. Sayangnya, masalah kembali datang. Seusai mata pelajaran olahraga saat berganti pakaian, anak ketua yayasan yang sekelas dengannya membuat masalah. Kontol Fizkar dipegang-pegangnya di depan beberapa teman yang lain. Fizkar marah. Dipelintirnya tangan anak itu hingga menjerit. Cerita yang beredar hingga patah. Dalam kesaksian, keempat teman yang berada di tempat kejadian menyebutkan bahwa Fizkar memaksa meminta uang pada anak itu. Karena tidak diberi, Fizkar memelintir tangannya. Fizkar tidak mau menceritakan yang sebenarnya. Lagi-lagi karena malu.

“Mengapa kamu tidak ungkapkan kejadian yang sebenarnya?” tanyaku penasaran.

“Elo pikir mereka akan percaya? Gue nggak punya saksi yang menguatkan alasan gue. Gue sendirian. Orang masih lebih suka mengaitkan gue dengan kedua abang gue. Mereka bilang dari tampang gue udah kelihatan penjahatnya! Padahal orang yang gue beri pelajaran itulah biang keroknya. Homo-homo sialan!” makinya. Aku langsung membuang muka. Aku juga homo, Fiz! Rutukku dalam hati.

“Gue akan hajar orang yang macem-macem sama kontol gue! Kontol gue itu hal yang paling pribadi. Kalau ada yang mau macem-macem ke kontol gue berarti dia harus berhadapan dengan ini!” Fizkar mengepalkan tangannya. Kepalan seorang petarung. Aku jadi gelisah. Lalu hubungan apakah yang terjadi antara aku dengan kamu saat ini, Fiz?

“Elo nggak usah takut, Ro! Gue memang punya penampilan seperti berandalan. Tapi menghadapi orang yang lembut seperti elo, gue bisa lembut juga ...” ucapannya memang sudah terbukti.

Lalu bagaimana dengan harapanku terhadap kontol Fizkar? Haruskah berakhir seperti dengan Aris? Kedekatan antara dua lelaki tetapi tanpa aktivitas seksual. Aku homo sejati! Tak mungkin aku bertahan dengan persahabatan seperti itu ...

“Kita mutar-mutar, yuk!”

Fizkar bangkit berdiri. Dengan ujung mataku kuperhatikan tonjolan di depan celananya. Terlihat sangat menggunung. Menggairahkan!

Akh! Harapan itu kembali punah ...

“Fiz ...” sebutku. Fizkar tak jadi melangkah.

“Ada apa , Ro?”

“Kamu tahu kan kalau aku homo?” tanyaku berat. Fizkar tertawa.

“Tahu! Sekali lihat gue tahu elo hombreng ... ha ... ha ....” tawanya membuatku perih.

“Terus ... kenapa elo masih mau berteman dengan gue?” tanyaku ingin kepastian.

“Memang elo teman gue?” ungkitnya. Degggh ... lalu apa?

“Maaf, ... aku ke-ge er-an. Aku pikir kamu menganggapku teman ...” pedihnya ...

“Elo bukan teman gue ... tapi ... pacar gue, Ro!” aku menatapnya sendu. Bukan waktunya bergurau ...

“Pacar? Kamu mau pacaran dengan hombreng?” kugunakan istilah yang ia pakai.

“Kaum homo orang-orang yang tersisih. Gue juga tersisih. Kenapa gue nggak membahagiakan orang yang senasib dengan gue?”

“Kamu kan tak akan mau memberikan milikmu yang paling pribadi ... sedangkan orang-orang seperti aku sangat menginginkannya ...” Hueksss ... malu juga berbicara seperti itu. Namun, aku tak ingin memungkiri. Tak ada homo yang tidak menginginkan kontol!

“Maksud elo ini ...?” Fizkar memegangi kontolnya yang masih terbungkus celana. Aku menunduk. Memalukan sekali. Rendah kamu, Ro!

“Akan tiba waktunya ... tapi nggak sekarang! Gue benci orang-orang yang melecehkan gue sebelumnya. Mereka mengincar kontol gue buat dilecehkan. Elo bayangin laki-laki dikocok kontolnya tanpa bisa melakukan perlawanan. Mereka yang melihat hanya tertawa. Bagimana kalau hal itu terjadi pada diri mereka sendiri? Masih bisa tertawa?” wajah Fizkar mengeras. Aku memahami. Betapa hancurnya laki-laki jika dilecehkan dan ditertawakan ...

“Sabar, ya Ro! Gue pasti jadi milik elo ...” Fizkar memegangi pundakku. Mencium pipiku. Untuk yang kesekian kalinya.

Semoga ...


Kedekatanku dengan Fizkar kian erat. Bahkan, kini setiap pulang sekolah aku bisa lebih sore dibandingkan Aris. Apalagi yang kulakukan kalau bukan berduaan dengan Fizkar? Mengobrol di beberapa sudut sekolah, berjalan-jalan ke toko kaset, toko buku, atau pasar loak. Aku juga sudah beberapa kali diajak ke rumah pamannya. Namun, lebih sering dia yang ke rumahku karena keadaan rumahku lebih sepi. Selama kedekatan itu sayangnya belum pernah terjadi sesuatu yang sangat aku harapkan. Menikmati kehangatan dan kejantanan kontol Fizkar!

“Toro ... kamu sudah mendengar berita terbaru tentang Fizkar?” tanya Aris berbisik. Aku menautkan alisku. Aku selalu bersama Fizkar dan sampai saat ini keadaanku baik-baik saja. Bahkan, kurasakan jauh lebih baik daripada kehidupanku sebelumnya yang sunyi.

“Tentang apa?” balasku bertanya.

“Berita yang aku dengar kemarin menyebutkan bahwa Fizkar pernah menjadi selingkuhan Mamanya Doni, anak kelas II Sosial 4 ...!” Hah! Sadis sekali berita itu!

“Sepertinya siswa-siswa di sekolah kita mempunyai bakat yang besar untuk menjadi pekerja-pekerja infotainment, deh! Biang gosip semua!” cibirku.

“Kamu bisa klarifikasi ke Fizkar, Ro! Aku juga nyaris tidak mempercayai berita tersebut ...” kata Aris ragu.

“Nyaris?” aku mempertanyakan ucapannya.

“Ya! Doni sendiri membenarkan cerita itu. Ia pernah memergoki mereka. Saat itu Fizkar belum masuk sekolah kita. Kini orang tua Doni bercerai. Dan ... Doni akan membuat perhitungan dengan Fizkar ...!” Aris kembali berbisik. Benarkah? Fizkar merusak rumah tangga orang? Aku akan coba mencari tahu kebenaran cerita tersebut ...

Di kamarku sepulang sekolah ...

Aris masih sibuk dengan kegiatan tambahannya. Fizkar berbaring di sisiku. Ia bertelanjang dada. Kekar sekali. Khas lelaki maskulin.

“Kamu sudah mendengar berita terbaru di sekolah, Fiz?” tanyaku hati-hati.

“Gosip?” ejeknya.

“Tentang kamu, lho!” rajukku. Kuusap dadanya yang bidang dengan lembut. Fizkar tidak keberatan aku menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang semua kukagumi, kecuali satu. Kontolnya ...

“Ya ... tetapi aku tidak mau percaya begitu saja ...” jelasku. Aku ingin ia nyaman bersamaku.

“Masalah apa?” tanyanya penasaran. Kutatap matanya. Si jantan bermata elang ini meredupkan matanya. Ia ingin meyakinkan bahwa aku dapat menceritakan berita itu dengan nyaman. Tak ada ancaman.

“Kamu pernah menjadi selingkuhan?” pancingku. Akh, dadaku berdebar. Fizkar menghela nafas. Ia tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia mengambil posisi duduk bersandar di atas tempat tidurku.

“Tante Yosie menjebak gue ...” desahnya, “Kami bertemu di sebuah warung bakso. Waktu itu gue lagi bolos sekolah. Kami mengobrol. Ia menawarkan minuman yang sudah ditaburi serbuk obat. Supaya tidak depresi katanya. Gue yang memang lagi banyak masalah tidak menolaknya. Kami terus berbicara. Pembicaraan mulai menjurus ke hal-hal yang berbau seks. Gue sange’. Ngaceng berat. Obat perangsang itu sudah bekerja. Tante Yosie membawa gue ke rumahnya. Gue tidak bisa menolak ajakannya. Kontol gue benar-benar tidak bisa diajak kompromi ...”

“Terus ...” aku penasaran. Keingintahuanku berbaur dengan rangsangan. Ini cerita tentang petualangan kontol Fizkar!

“Gue entot dia berkali-kali. Gue heran, kontol gue ngaceng terus. Apalagi Tante Yosie terus memutarkan bokep. Hingga kami lupa waktu. Doni pulang. Dia tidak melihat persetubuhan itu. Namun, saat gue diantar mamanya ke depan pintu gerbang dia melihat gue. Gue yakin dia sudah bisa menyimpulkan sesuatu yang terjadi antara gue dengan mamanya ...”

“Terus? ...” cecarku lagi. Kali ini benar-benar penasaran.

“Beberapa hari kemudian gue dijemput polisi dari sekolah. Di kantor polisi sudah menunggu Tante Yosie dan suaminya, papanya Doni. Gue tidak tahu posisi gue sebagai apa. Gue mengakui perbuatan gue dan Tante Yosie. Namun, gue tidak menceritakan masalah obat perangsang itu. Lagi-lagi gue malu. Gue rasa orang lain tidak perlu mengetahui kebodohan gue! Tante Yosie tidak berkata apa-apa saat suaminya mengatakan cerai.Gue sendiri langsung dipindahkan paman gue setelah pembagian rapor. Itu juga karena tekanan dari pihak sekolah. Namun, sebelum pindah paman gue minta supaya gue dinyatakan naik dan masuk program Fisika. Dia berharap gue bisa berada di lingkungan belajar yang serius.”

“Jadi benar ...” gumamku seolah-olah tidak percaya.

“Sekarang terserah elo, Ro! Elo mau membenci gue seperti yang lain silahkan! Gue sadar, gue bukan orang yang pantas dibela dan dipercayai ...” pasrah kudengar kata-kata Fizkar.

“Kamu dijebak, Fiz! Kalau dalam keadaan sadar kamu pasti tidak akan melakukannya ... mungkin ...” hiburku ragu. Fizkar tidak menginginkannya?

“Nafsu gue besar, Ro! Namun, tidak sebesar rasa kebencian dan kemarahan gue pada orang-orang di sekitar gue. Yang jelas, tanpa obat perangsang itu pun gue tetap akan ngentot dengan Tante Yosie. Gue akan buktikan bahwa kontol gue yang selalu jadi bahan pelecehan mampu menaklukkan nafsu keperempuanan dan kejalangannya!” Wajah Fizkar mengeras. Api berkobar-kobar di matanya yang tajam. Bukan nafsu seks yang membuatnya melakukan itu! Kebencian!

“Maaf, aku hanya bermaksud mencari kejelasan dari kamu ...” ucapku lirih.

“Gue bukan perjaka lagi, Ro! ... Elo masih menginginkannya?” Fizkar meletakkan tanganku di atas kontolnya. Besar sekali! Padahal belum ngaceng! Glekk ... aku malu menjawabnya. Kontol Paman Arjo yang sudah bertahun-tahun dimasukkan ke istrinya saja aku sangat bernafsu, apalagi kontol Fizkar yang baru dipakai beberapa kali ke Tante Yosie?

Aku usap perlahan benda pribadi Fizkar itu.

“Isep, Ro!” sebuah perintah sekaligus bentuk pembolehan. Kini saatnya!

Kuraih batang bulat panjang yang besar dan mulai menegang itu. Kuciumi. Kusapukan lidahku ke seluruh bagian dan lekuk-lekuknya. Kepalanya. Lingkar cincinnya. Batangnya yang panjang penuh ukiran ototnya. Kedua benda bulat yang menggantung menggairahkan. Segar! Kusibak rerimbunan hitam di pangkal kemaluan Fizkar. Kuhisap batang kontolnya. Kupijat dengan lingkar mulutku. Kujilati penuh nafsu. Fizkar berulang mendesah. Sesekali mengelepar saat ku sentuh perbatasan zakar dan duburnya dengan ujung lidahku.

“Terus, Ro! Sampai keluar!” pintanya. Hampir setengah jam aku memuluti kontolnya. Belum pernah aku mengoral kontol selama itu. Mulutku mulai pegal. Kulepas batang hitam membara itu dari mulutku. Kuraih dengan tanganku. Kukocok perlahan. Terus. Ritme kocokan agak kupercepat. Terus. Lebih cepat lagi. Terus. Semakin cepat ...

“Aaaarrrggghhh ....!” CROTTTT ... CROTTT ... CROTT ... CROT ...

Hening.

“Enak, Fiz?” tanyaku manja. Fizkar tersenyum. Manis sekali. Diraihnya kepalaku ke arahnya. Diciuminya bibir dan seluruh wajahku.

“Terima kasih, Ro!” bisiknya di belakang telingaku menggelitik. Geli. “Mau lagi?” pertanyaan atau permintaan?

“Nggak capek?” tanyaku lugu. Ia tersenyum lagi. Ia pagut bibir dan lidahku bergantian seraya melepaskan pakaianku. Kami kini sama-sama telanjang.

“Elo kan belum gue keluarin ...” tangannya meremas halus kontol kecilku. Ouch! Nikmatnya berada dalam genggaman tangan kekar itu ...

Fizkar menindihku. Dia mengangkat kakiku dan merentangkannya. Ohh, jangan ...

“Gue bikin elo lebih enak lagi ...” ia ludahi lubang anusku. Ia arahkan kontolnya yang sudah kembali ngaceng ke duburku. JANGAAAAN!

Aku teringat kejadian di toilet itu. Sakit sekali! Padahal Hendra hanya memasukkannya sekali dan sebentar. Kali ini pasti akan lama ... Apalagi kontol Fizkar jauh lebih besar dan panjang ...

“Rileks, Ro!” Fizkar menyadari kalau aku ketakutan. Tubuhku gemetar hebat. Fizkar menghentikan serangannya. Keringat dingin mengucur di tubuhku. Aku pucat.

“Elo sakit, Ro?” tanya Fizkar khawatir. Dia usapkan tangan ke dahiku.

“Aku takut sakit, Fiz ... Kontol kamu besar sekali ...” aku memelas. Mudah-mudahan Fizkar tidak kecewa.

“Pelan-pelan ...” bisiknya menenangkan.

“Kalau sakit, berhenti ya! Jangan diteruskan ... “ pintaku memohon. Ia mengangguk. Ia ciumi leherku dan memilin lembut putingku. Aku terangsang sekali. Kurasakan kontol Fizkar kembali mengarah ke duburku. Kubiarkan.

“Sakit ...?” tanya Fizkar memastikan. Aku menggeleng. Kontol Fizkar baru menekan. Belum bisa masuk. Kucoba pasrah. Aku ingin Fizkar menikmati lubang yang kumiliki.

“Pelan, Fiz ...” pintaku. Lubangku terasa tersingkap. Benda keras hangat itu telah menembus meskipun baru sedikit. Aku tahan rasa sakitku. Lubang anusku terlalu kecil untuk kontol Fizkar yang dahsyat itu.

“Terusin tidak, Ro? ...” Fizkar meminta kepastian. Baru kepala kontolnya yang masuk Air mataku sudah meleleh. Air mata kesakitan ...

Aku peluk leher Fizkar. Kusembunyikan segala rasa sakit itu.

“Terus, Fiz ... aku sangat ingin ...” kuciumi leher dan telinganya yang berkeringat maskulin. Kontol itu semakin menembus. Terus, Fiz! Biar aku kesakitan yang penting kamu menikmatinya. Terus kusembunyikan wajahku yang penuh rasa kesakitan di lehernya. Kuacak-acak rambut keriting Fizkar yang pendek.

“Ro! Sudah masuk semua ...!” wajah Fizkar tersenyum bahagia. Ada kebanggaan di sorot matanya. Kontolnya yang besar mampu menaklukkan duburku yang sempit. Aku juga tak percaya. Namun, aku merasakan pantatku penuh sekali ... juga hangat! Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku. Kudorong tubuhnya sambil kuremas dada dan perutnya yang datar kencang.

“Entot pelan-pelan, ya? Biar enak ...” pintaku binal. Fizkar tidak menyahuti ucapanku. Hanya pantatnya yang maju mundur dengan penuh perasaan. Aku berusaha menjepit dan memijat batang yang keluar masuk itu dengan otot pelepasanku. Fizkar membuka mulutnya. Mendesah penuh kenikmatan! Aaarrgghh ...

Kontol itu terus mengaduk-aduk liang belakang kenikmatanku. Kadang perlahan kadang memacu. Dua kali aku ejakulasi. Dan aku tak ingin itu terhenti!

No comments:

Post a Comment

Paling Populer Selama Ini