6/27/2011

Selamat Datang Aris Dan Paman Arjo! - bag. II

Hari ini Paman Arjo akan kembali ke kampung. Aku dan Aris mengantarkan sampai stasiun. Bapak dan ibu tidak ikut mengantar karena hari Minggu ini kantor tempat mereka berdagang mengadakan acara yang membutuhkan konsumsi tambahan.

“Temani Paman ke wartel, ya Ro!?” ajak Paman Arjo. Aku tinggalkan Aris dan mengiringi langkah Paman Arjo.

Di sebuah tempat yang tidak terlihat oleh Aris Paman Arjo menarikku merapatkan tubuhku ke tubuhnya.

“Tetap diingat, ya ucapan Paman! Jangan kamu apa-apakan Aris!” desisnya sambil menatapiku dengan redup. Aku hanya mengangguk. Selama ini tidak terjadi apa-apa lagi dengan Aris.

“Sebelum Paman pulang, ada yang kamu inginkan?” tawar Pamanku. Wajahku langsung memerah. Apakah ini ajakan yang berikutnya? Pamanku ingin diisap lagi kontolnya olehku! Aku mengangguk ...

“Tapi kamu janji tidak melakukannya pada Aris, ya? Nanti kalau kita bertemu lagi Paman serahkan lagi kontol Paman buat kamu!” pintanya. Mana mungkin aku berjanji? Aku sudah pernah mengocok kontol Aris sekali. Di samping Paman Arjo persis!

“Saya takut pada Aris, Paman ...” ada dusta dalam ucapanku. Aku takut kalau Aris akan marah. Namun, aku tidak takut melakukan apa yang telah kulakukan pada Paman Arjo ke Aris! Kalau Aris tidak menolak tentu saja ...

Kami menuju toilet stasiun. Masuk bersamaan ke salah satu wc. Aku langsung jongkok di depan Pamanku yang sudah memelorotkan celananya. Lagi-lagi tanpa sempak!

“Jangan lama-lama! Nanti Aris curiga ... “ ingat Paman Arjo. Aku tak menjawab ucapannya. Mulutku sudah terisi penuh oleh kontolnya yang besar panjang dan hitam kekar. Akan butuh waktu lama lagi untukku bisa menikmati kontol itu. Paman Arjo harus kembali ke kampung. Kontol Aris senikmat kontol bapaknya tidak ya? Seandainya Aris juga bersifat seperti bapaknya ...

Tujuh menit. Usai sudah.

Kereta Matarmaja akan segera berangkat. Aris mencium tangan bapaknya. Paman Arjo merangkul anaknya itu. Sungguh berat melepas anak satu-satunya hidup jauh dari orang tua. Paman Arjo juga menarikku ke dalam rangkulannya.

“Yang akur, ya!” pintanya sebelum masuk ke dalam kereta.

Kereta meninggalkan stasiun ...

“Ro! Kok aku jadi sentimentil begini, ya?” Aris menangis sambil memelukku. Oh, my God! Aku harus menetralisir nafsuku.

“Wajar, Ris! Justru aneh kalau kamu tidak sedih berpisah dengan orang tuamu!” hiburku.

“Kamu janji tidak nakal, ya?” katanya. Air matanya sudah terhapus. Kupikir ia bergurau.

“Ya, ampun memangnya aku anak kecil ...”

“Kamu janji tidak menakaliku, ya!” Aris mengulang ucapannya dengan penekanan di akhir kalimat. Aku paham maksudnya. Ya, aku janji pria jantan!, kataku dalam hati. Lemas ... kesempatan itu semakin tertutup ...

“Kita ke mall dulu, yuk!” ajak Aris. Ia sering mendengar kata itu dan ingin sekali berkunjung ke sana. Namun, keinginannya belum terpenuhi sebab aku sendiri tidak pernah keluar rumah. Kebutuhan pakaianku sudah dipenuhi bapak dan ibuku dengan membelikannya di pasar. Lagi pula kalau aku ke mall dengan siapa?

“Aku belum pernah ke mall ...” ucapku sunguh-sungguh.

“Ya, sudah cuek saja! Kalau kita tersasar kan berdua ini!” yakinnya. Benar, Ris! Kesasar ke manapun aku tidak keberatan asalkan selalu dengan kamu.

Jadilah kami berdua menuju mall yang tidak terlalu jauh dengan stasiun. Dua orang yang belum pernah ke mall pun berjalan beriringan. Yang satu memang berasal dari kampung yang tidak ada mall di sana. Yang satu lagi sekor katak dalam tempurung ...

Meskipun agak canggung kami berdua memasuki mall tersebut. Hmmm ... sejuk sekali. Kami hanya berputar-putar saja. Tidak ada niat untuk berbelanja memang. Tiba-tiba seorang satpam mendekati kami.

“Kalian berdua ikut saya!” ucapannya yang tegas mengejutkan kami. Kami saling berpandangan. Ada apa?

Kami diajak ke suatu tempat melewati tangga darurat. Apa kami dianggap pengutil? Kami tiba di tempat yang dituju. Di sebuah ruangan ada seorang laki-laki sebaya kakak iparku yang sulung.

“Yang ini, Pak?” tanya satpam itu sambil mendorong perlahan tubuh Aris ke lelaki tersebut. Orang itu mengangguk. Ia berdiri dan menuju sebuah ruangan yang lebih kecil di dalam ruangan yang kami masuki. Ia mengajak Aris masuk.

Satpam yang membawa kami menarikku ke ruangan yang lain. Aku sempat takut dengan seragamnya tetapi karena satpam itu tersenyum manis padaku, rasa takutku hilang. Di sebelah sepertinya Aris sedang diinterogasi oleh pria tadi.

“Isep, ya?!” satpam itu sudah menyodorkan kontolnya yang setengah ngaceng. Hahhhh ...

“Tapi teman saya ...” kataku gagap. Wahh, mimpi apa aku semalam? Ada pria jantan yang menawarkan kontolnya padaku. Memang tidak sebesar kontol Paman Arjo, tetapi tubuh satpam ini ramping kekar. Perutnya terlihat lebih keras daripada Paman Arjo.

“Teman kamu sudah diurus orang tadi!”

“Salah apa dia?” aku belum mengerti.

“Sama seperti kamu ...” satpam itu tidak melanjutkan kata-katanya. Tangannya menarik kepalaku ke kontolnya. Aku tidak berontak. Aku menginginkannya. Kudengar di ruangan sebelah Aris sedang berbicara dengan orang tadi. Membicarakan apa, ya? Akh, nikmati ini saja dulu ...

“Terus... terus ... Isep yang lebih kuat!” satpam itu memaju-mundurkan pantatnya. Oh, sensasi yang baru kali ini kualami. Kontol satpam itu betul-betul mengentoti mulutku! Tidak sekonvensional Paman Arjo...

Beberapa menit berlalu ...

“Toro! Kita kabur! Orang itu ternyata ...” Aris! Ia sudah berdiri di ambang pintu ruangan tempatku dientoti satpam. Aku kaget. Kulepas kontol yang sudah mengeras di mulutku. Pucat. Malu ...

Aris membalikkan badan. Ia berlari.

“Aris, tunggu!” aku berdiri dan berupaya menyusul Aris. Satpam itu mencoba mencegah, tetapi karena celananya sudah ia pelorotkan dan dengan kontol dalam keadaan ngaceng ia tidak mengejarku. Saat aku keluar ruangan, pria di sebelah sudah berdiri di pintu sambil menaikkan risleting celananya.

Aris tidak lagi berlari. Aku tertinggal di belakang. Kami sudah kembali berada di dalam sebuah counter pakaian remaja. Tidak berhenti tetapi langsung menuju ke luar.

“Aris! Tunggu, dong!” teriakku lagi setelah berada di pinggir jalan. Ia membalikkan badan. Menatapku penuh kemarahan.

“Kamu ingin saya kembali saja ke kampung?!” tanyanya menggugat.

“Aku juga menjadi korban, Ris! Kok, kamu marah padaku ...”

“Kamu menikmatinya, kan?!” tantangnya, “ ... kalau tidak, bagaimana mungkin kamu sudah ada di selangkangan satpam itu? Dasar banci!” cacinya kasar.

Ya, Tuhan! Aku harus jawab apa? Apa yang dikatakan Aris benar. Aku menikmatinya. Aku banci!

Kami pulang.

Sebulan kami tidak saling berbicara. Di kamar maupun di sekolah. Hanya di depan ibu dan bapak kami menutupi kerenggangan kami dengan berbicara ala kadarnya. Mereka mungkin menduga kalau kami butuh waktu untuk bisa lebih akrab.

Aris! Jangan kamu siksa aku dengan seperti ini! Tubuhmu tergolek seranjang denganku tetapi engkau tidak mengizinkan aku menikmatinya. Ketika aku memperolehnya dari satpam yang tidak kukenal itu mengapa engkau pun tak memakluminya. Marahlah pada satpam dan lelaki itu! Satpam itu yang membawa kita ke ruangan itu. Aku yakin lelaki yang sudah menunggu di ruangan itu sangat menginginkan dirimu. Salahku apa padamu, Ris?

Menikmati kontol ngaceng yang sangat aku impi-impikan adalah sebuah kesalahan?


Sudah sebulan lebih Aris sekolah di tempat yang sama denganku. Sebuah SMA terbaik nomor dua di sebuah kotamadya di Jakarta saat itu. Aku masuk program Fisika atau A-1 sedangkan Aris masuk program Biologi atau A-2. Nilainya memang cukup lumayan. Peringkat ketiga belas di kelasnya, saat kuintip rapornya.

Temannya sudah jauh lebih banyak dibandingkan aku. Tentu saja. Sangat tidak adil membandingkan sebutir berlian dengan sebuah kerikil! Huhhh ...

Aris sudah bergabung dengan kepengurusan OSIS di seksi Kesehatan dan Olahraga. Ia juga aktif di ekstrakurikuler karate. Melanjutkan ekstrakurikuler yang juga dipilihnya saat sekolah di kampung. Sesekali ia juga bergabung dengan anak-anak yang terlibat dalam kerohanian Islam. Saat itu di sekolahku disebut Majelis Ta’lim (MT). Hebatnya lagi, ia langsung terpilih sebagai ketua kelas di kelas II Biologi 2. Adapun diriku? Masih seperti dulu. Aktivitasku hanya belajar semampu dan semauku. Yah, semauku! Terlalu banyak yang mengoyak konsentrasiku dalam belajar.

Akibat dari itu semua, aku dan Aris tidak pernah lagi pulang bersama. Sebelum jam satu siang aku sudah melemparkan tubuhku di tempat tidur kamarku. Aris baru kembali paling cepat jam tiga sore. Untungnya ia selalu dengan sengaja membarengiku saat berangkat. Jadi, orang tuaku yang selalu kembali sebelum maghrib selalu menganggap kami pulang pergi sekolah selalu bersama. Sejujurnya aku ingin seperti itu tetapi aku sangat tersiksa kalau berada di setiap lingkungan kegiatan yang biasa Aris ikuti.

Akh, semua sudah tidak mungkin. Aku dan Aris hanya secara fisik saja terlihat bersama-sama. Di kamar saat belajar atau tidur, di meja makan, atau saat berangkat sekolah. Itupun tanpa ada dialog yang berarti.

Duniaku kembali sepi.

“Nanti pulang bareng, ya?!” aku sangat terkejut mendengar Aris berbicara padaku sebelum mencapai pintu gerbang sekolah kami. Aku sampai terperangah. Mulutku terbuka heran.

“Kamu tidak ada kegiatan?” tanyaku setelah keherananku berkurang.

“Hari ini aku mau langsung pulang saja. Besok ulangan Biologi dan Sejarah. Aku harus siap-siap. Aku malu kalau nilaiku kalah jauh sama kamu!” senyumnya menggoda. Ya, beberapa guru sudah mengadakan ulangan. Aku sendiri sudah ulangan Matematika beberapa hari yang lalu. Nilai delapan yang kuperoleh cukup melegakan. Padahal aku belajar dengan kondisi hati tercabik-cabik. Seandainya jiwaku sesempurna Aris, mungkin nilai sepuluh bukanlah hal yang sulit.

“Kamu tidak harus pulang bareng aku, kok!” selaku “... bapak dan ibu tidak tahu kalau selama ini kita sudah tidak pernah pulang sama-sama lagi. Mereka sore baru pulang ...”

Aris menghentikan langkahnya. Otomatis aku mengikutinya berhenti. Sinar matanya protes terhadap ucapanku. Ia menarikku duduk di pendopo sekolah. Jauh dari orang lain.

“Selama ini aku tidak bisa pulang bareng kamu karena selalu ada kegiatan tambahan. Rapat OSIS, ekskul, MT, atau belajar kelompok!” belanya.

“Kamu tidak pernah mau berbicara lagi denganku kalau tidak di depan ibu atau bapak!” sindirku.

“Kamu tidak tahu penyebabnya?” nada tanyanya sangat menekan.

“Aku tahu!” tantangku.

“Apa?” selidiknya.

“Karena aku banci!”

“Toro!...”

“Bencong yang menjijikkan!” lanjutku pedas.

“Ro!”

“Jangan menyentuh aku! Nanti kamu tertular!” aku tepis tangannya yang mencoba mencekal pundakku. Aku lari menuju kelasku. Ya, Tuhan! Jangan sampai air mata ini keluar sebelum aku sampai ruang kelas ...

Proses pembelajaran berlangsung biasa hingga akhir jam istirahat.

Setelah itu ada peristiwa yang mengejutkan. Ada anak baru di kelasku, II Fisika 3. Fizkar Zakaria namanya. Tubuhnya kecil tetapi tegap. Rambut agak cepak. Kurasa kalau gondrong ia akan menjadi kribo. Wajah tampannya terlihat lelaki sekali. Menurutku kesan badungnya sangat menonjol. Tentu saja gumpalan di celananya yang agak ketat juga tidak kalah menonjol. Ouch ...

Ada yang lebih mengejutkan lagi. Sebagian teman sudah mengenal Fizkar. Ia pernah dikeluarkan saat kelas dua SMP karena membuat kepala siswa sebuah STM berdarah-darah. Di kelas tiga SMP berikutnya dikeluarkan lagi gara-gara mematahkan tangan salah seorang teman sekelasnya yang juga anak ketua yayasan SMP tersebut. Kini kelas dua SMA kok bisa masuk program Fisika?

Satu lagi yang mengejutkan. Ia duduk sebangku denganku. Yah, mau tidak mau. Hanya aku yang tidak memiliki pasangan duduk. Siapa yang mau duduk dengan bencong waktu itu? Apalagi posisiku di depan meja guru persis.

“Fizkar ...” sebuah telapak tangan terulur ke arahku. Ia kembali memperkenalkan diri secara pribadi padaku. Gentle sekali. Tatapannya sangat maskulin. Aku dengan penuh rasa grogi menyambut uluran tangan tersebut.

“Toro ...” nyaris tak terdengar.

Bel pulang.

“Rumah elo di mana?” tanya Fizkar padaku saat teman-teman yang lain berhamburan ke luar kelas.

Kusebutkan kawasan tempatku tinggal dengan malu-malu. Huhh... malu-maluin! Baru ditanya begitu sudah kehabisan nafas ...

“Oooh, dekat SMA ** dong!?” ia menyebut sebuah SMA negeri yang sangat dekat dengan rumahku. Aku mengangguk.

“Kenal Mas Jarwo, dong!” tanyanya lagi . Gila! Siapa yang tidak kenal nama itu di daerahku? Beberapa maling yang tertangkap langsung pingsan meski hanya sekali tampar olehnya. Tubuhnya kekar berotot. Wajahnya dingin. Lagi-lagi aku mengangguk. Kali ini sambil menelan ludah.

Dengan mencuri-curi kuamati Fizkar. Pernah membuat kepala orang bocor. Mematahkan tangan anak ketua yayasan. Menanyakan Mas Jarwo, orang yang paling ditakuti di daerahku. Jelas, dia bukan anak baik-baik. Oh, Tuhan! Jauhkan aku dari kejahatannya ...

“Kok, diam?” tanyanya tajam.

“Oh! A..a..aku ke..kenal ...” Sialan! Jelas sekali kalau aku gugup. Ia merangkulkan tangannya di pinggangku.

“Jangan terpengaruh dengan anggapan atau penilaian orang lain!” kata-katanya tegas “... percayalah dengan apa yang ada dalam perasaan elo!”

Perasaanku saat mengenal kamu tidak berbeda jauh dengan perasaan teman-teman lain, Fiz! Ngeri, batinku ...

“Dan jangan terlalu cepat menilai seseorang ... apalagi baru bertemu atau cuma melihat dari jauh! Kenali dulu orang itu, baru menilai!” ingatnya lagi.

Dari kelasnya Aris berlari menghampiri kami berdua.

Ia berdiri di hadapan kami. Tidak bersuara. Fizkar memandangnya tajam. Aris balas menatapnya. Dua sinar berkilatan. Alah! Berlebihan!

“Eh ... Fizkar! Ini saudaraku ... Aris! Dia anak pamanku ...” aku mencoba mencairkan suasana yang beku. Sulit sekali ...

Tidak ada jabat tangan. Hanya saling menatap. Saling menjajaki apa yang ada di dada masing-masing. Aku jadi bingung.

“Fiz ... aku duluan, ya!” kuputuskan untuk memisahkan mereka segera. Fizkar mendekatkan kepalanya ke arahku. Tak terduga ia mencium pipiku! Hah!

“Oke! Ketemu lagi besok!” bibirnya tersenyum manis. Namun, matanya masih memancarkan kengerian. Ia pergi menjauhi aku dan Aris.

“Setan ...” kudengar Aris berdesis. Wajahnya mengeras. Tangannya mengepal. Puncak kemarahan yang tak pernah kulihat sebelumnya.

“Jangan mendekati dia, Ro!” larangnya.

“Dia yang mendekatiku!” tangkisku.

“Dia anak liar!” tegasnya.

“Dari mana kamu tahu?” selidikku.

“Beberapa teman sekelasku pernah sekelas dengannya di SMP. Mereka melihatnya masuk sekolah ini dan langsung membicarakannya.. Mereka juga mengingatkanku agar menjauhkan kamu darinya. Mereka lihat kamu berdua dengan dia tadi!” terangnya panjang lebar.

“Kamu percaya?” tanyaku ringan.

“Aku mempercayai teman-temanku!” tekannya.

“Mereka bukan teman-temanku. Jadi, tidak wajib bagiku mempercayai mereka, bukan?!” bantahku.

“Kamu tidak mempercayai aku?” gugatnya kali ini.

“Apakah kamu pernah meyakinkan aku supaya mempercayai kamu?” aku menggugat balik.

“Tapi kamu sudah mengenal aku sejak lama, Ro! Dengannya kamu baru kenal!” bandingnya.

“Aku merasa belum mengenalmu!” tangkisku.

“Paling tidak kamu sudah lebih dulu bertemu denganku sebelum dengannya?” cecarnya.

“Yang namanya Cagax dan Hendra sudah lebih dulu bertemu denganku sebelum kamu. Apakah kamu tidak keberatan kalau aku lebih mempercayai mereka dibandingkan kamu?”

“Ro ...” Aris terkulai.

Kami tetap pulang bersama. Namun, tanpa dialog.

Di kamar ...

“Toro ... maafkan aku! Aku terlalu memaksakan kehendak. Tapi, tetaplah waspada ... Track record Fizkar sangat tidak baik ...” Aris berbisik dari belakang.

“Sudah, ah! Aku mau tidur siang ... ngantuk!” putusku. Aris justru mendekapku. Kurasakan kontolku menegang saat kontol Aris menyentuh bagian belakang tubuhku. Namun, tidak ada perubahan apapun. Kontol Aris memang cukup besar dibandingkan anak seusia kami, tapi ia tidak ngaceng sama sekali. Ia tidak birahi ...

Aku mengantuk. Aku berharap Aris tetap memelukku hingga tertidur. Aku ingin bermimpi indah. Namun, harapan tetap harapan, impian tinggallah impian.

Aris melepas dekapannya di tubuhku. Ia beranjak mengambil buku. Belajar.

Hiks ...

No comments:

Post a Comment

Paling Populer Selama Ini